• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODAL SOSIAL DAN PROSES PEMULIHAN PASCA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODAL SOSIAL DAN PROSES PEMULIHAN PASCA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Habis Bencana Terbitlah Terang:

Modal Sosial dan Proses Pemulihan Tsunami Aceh 2004 Menggunakan Data Outer Space1

Oleh: Fajri Muharja.2 Teguh Dartanto3

Abstrak

Tsunami Aceh 2004 telah menewaskan banyak korban dan merusak sebagian besar infrastruktur ekonomi dan sosial masyarakat. Hal ini jelas berdampak terhadap produktifitas dan efisiensi pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan jangka panjang wilayah tersebut. Keterbatasan data pasca tsunami menjadikan penilaian terhadap proses pemulihan bencana yang dilakukan menjadi terbatas. Besarnya bantuan penanggulangan bencana mencapai USD 6,7 M dinilai oleh berbagai pihak sebagai keberhasilan menjadikan Aceh lebih baik (UNDP, 2009). Namun disisi lain perlu dicermati bahwa seberapa besar modal sosial dalam menentukan keberhasilan proses pemulihan bencana tersebut.

Penilaian Proses pemulihan pada dasarnya sulit dilakukan pasca bencana yang tergolong besar dan masif. Hal ini terjadi karena keterbatasan data yang dimiliki oleh berbagai sumber yang bersifat konvensional. Data yang bersifat konvensional setidaknya dapat menilai proses pemulihan bencana bersifat fisik. Namun proses pemulihan dalam konteks aktifitas sosial dan ekonomi dapat menggunakan alternatif data lain yaitu dari outer space. Henderson (2012), Olivia (2013), Raschky (2013), dan (Chen dan Nordhaus, 2011) menyatakan bahwa penggunaan data outer space dapat dijadikan sebagai proksi dalam menilai aktifitas ekonomi dan sosial di suatu wilayah. Di lain sisi, Aldrich (2011), Murphy (2007) dan Lindell dan Prater (2003) menjelaskan bahwa faktor modal sosial merupakan kekuatan internal dalam menentukan keberhasilan proses pemulihan bencana.

Dari 789 desa yang terdampak Tsunami Aceh 2004, penelitian ini baru mensimulasi 296 desa dengan menggunakan metode mengkonversi data deteksi satelit The Defence Metereological Program (DMSP) Operational Linescan System (OLS) sebagai alternatif penilaian terhadap proses pemulihan bencana Tsunami Aceh 2004. Data tersebut dikonversi dari bentuk pixel ke dalam vektor dan di-overlay menggunakan ID peta menurut masing-masing wilayah yang dianalisis dan dilakukan penyesuaian terhadap data sosial dan ekonomi pada level desa (PODES) maupun data lainnya. Temuan sementara adalah fenomena kondisi ground space seperti sosial ekonomi (Agriculture activities, Water Supply, Gotong royong, Heterogenitas etnik, kepadatan penduduk) berpengaruh terhadap proses pemulihan bencana Tsunami Aceh 2004 dimana terlihat terjadinya perubahan pencahayaan di malam hari (outer space data).

Keyword: Proses Pemulihan, Modal Sosial, Outer Space

1. PENDAHULUAN

Tsunami Aceh 2004 merupakan jenis bencana alam yang tergolong besar, masif, berdampak terburuk

secara fisik, sosial dan ekonomi dalam dua dekade terakhir di Indonesia. Bencana tersebut jelas

berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Setidaknya perlu

1Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Akademik Pembangunan Ekonomi Indonesia (SAPEI) 2014 Tanggal 2

Desember 2014 di Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih atas sumbang saran yang diberikan oleh teman-teman di Weekly Meeting Frontiers Development Research Group di bawah bimbingan Bapak Teguh Dartanto, Ph.D. Selanjutnya terima kasih juga atas masukan dan kritik dari rekan-rekan mahasiswa S3 PPIE FEUI/POCIN INSTITUTE (Windiarso Putranto, Watheki, Davy Hendri, Indra dan Imanuddin Sahabat).

2Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia/Dosen Program Studi Ilmu

Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Email: fajri.muharja11@ui.ac.id

3Kepala Kajian Kemiskinan dan Pembangunan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) dan Kepala

(2)

dipahami bahwa kebutuhan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan di suatu wilayah

merupakan satu upaya untuk meningkatkan standar kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya

membangun pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan terutama di daerah pasca bencana

memerlukan upaya dari pelaku ekonomi dalam meningkatkan produktifitas dan efisiensi. Salah satu

langkah penting bagi daerah pasca bencana adalah melakukan proses pemulihan secara tepat dan

benar.

Besarnya kepedulian dan partisipasi berbagai pihak dalam proses pemulihan pasca bencana ini

tercatat bahwa jumlah bantuan finansial yang disalurkan adalah sebesar USD 6,7 M, terdiri dari terdiri

dari 35,82% bersumber dari organisasi non pemerintah (NGO), 32,83% dari lembaga donor

internasional, dan 31,34% bersumber dari Pemerintah Republik Indonesia (BRR, 2009).

Tabel 1

Capaian 4 Tahun Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tsunami Aceh 2004

No. Kondisi Awal Tsunami Kondisi 4 Tahun Pasca Tsunami

1 Penduduk kehilangan tempat tinggal (Jiwa) 635.384

2 Koban meninggal (Jiwa) 127.720

3 Korban hilang (jiwa) 93.285

4 Usaha Kecil Menengah yang lumpuh (UKM) (unit) 104.500 Tenaga kerja dilatih (orang) 155.182 UKM menerima bantuan (unit) 195.726

5 Rumah rusak dan hancur (unit) 139.195 Rumah permanen dibangun 140.304

6 Lahan pertanian hancur (ha) 73.869 Lahan pertanian direhalibitasi 69.979

7. Jumlah guru meninggal (orang) 1.927 Guru dilatih (orang) 39.663

8. Kapal nelayan hancur (unit) 13.828 Kapal nelayan dibangun/dibagikan (unit) 7.109 9 Sarana ibadah hancur dan rusak (unit) 1.089 Sarana ibadah dibangun/diperbaiki (unit) 3.781

10 Jalan rusak (km) 2.618 Jalan dibangun/perbaiki (km) 3.696

11 Sekolah hancur/rusak (unit) 3.415 Sekolah dibangun/perbaiki (unit) 1.759

12 Sarana kesehatan hancur/rusak (unit) 517 Sarana kesehatan dibangun (unit) 1.115 13 Bangunan pemerintah hancur/rusak 669 Bangunan pemerintah dibangun (unit) 995

14 Jembatan hancur/rusak (unit) 119 Jembatan dibangun kembali (unit) 363

15 Pelabuhan rusak (unit) 22 Pelabuhan dibangun (unit) 23

16 Bandara/airstrip rusak (unit) 8 Bandara/airstrip dibangun (unit) 13

Sumber: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR), 2009.

Tabel 1 menjelaskan bahwa bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak secara keseluruhan

berdampak terhadap proses pemulihan dan perubahan pembangunan secara fisik yang relatif lebih baik

dibandingkan dengan kondisi sebelum bencana. Di lain sisi, pencapaian kualitas proses pemulihan

pasca bencana tidak dapat diukur secara fisik saja. Untuk itu, sangat diperlukan penilaian proses

pemulihan pasca bencana dari aspek ekonomi dan sosial masyarakat dengan unit analisis menurut

wilayah (desa) yang secara langsung terkena dampak.

Masif dan besarnya kerusakan akibat kejadian bencana berakibat sulitnya melakukan penilaian

terhadap aktifitas ekonomi dan sosial di masing-masing wilayah (desa) yang terkena dampak tsunami

tersebut. Penilalain proses pemulihan pasca bencana berdasarkan wilayah (desa) memerlukan suatu

pendekatan alternatif, di samping memanfaatkan sumber informasi yang ada walaupun belum begitu

memadai. Salah satu alternatif metode pengukuran yang dapat digunakan adalah pemanfaatkan

teknologi informasi kegeografian. Metode pengukuran ini dapat dijadikan sebagai proksi penilaian

perubahan aktifitas ekonomi dalam proses pemulihan pasca bencana.

Proksi data untuk menilai aktifitas ekonomi dalam proses pemulihan bencana adalah

(3)

System (OLS)”. Data ini dipublikasi oleh National Oceanic Atmospheric Administraition (NOAA)

United State Department of Commerce. Pemanfaatan sistem informasi ini dapat dikatakan sebagai

terobosan baru yang bersifat transdicipliner dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebelumnya,

beberapa peneliti telah membuktikan bahwa penggunaan data proksi ini layak digunakan dalamenilai

perkembangan aktifitas ekonomi yang berbasis kewilayahan (Henderson (2012), Olivia (2013) dan

Raschky (2013), (Chen dan Nordhaus, 2011).

Proses pemulihan merupakan salah satu bagian utama dalam aktifitas penanggulangan

bencana di suatu wilayah. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan paradigma dalam

pengelolaan bencana. Kesepakatan berbagai negara di dunia dalam Hiyogo Framework of Action

(HFA) (2005) menyatakan bahwa pandangan terhadap penanggulangan bencana telah bergeser dari

penanggulangan bencana sebagai respon yang bersifat darurat (emergency response) menjadi sebuah

pengelolaan risiko (risk management). Implikasinya adalah perlindungan masyarakat terhadap

bencana merupakan hak azasi manusia yang pengelolaannya merupakan tugas harian dari pemerintah.

Di samping itu, perlu memberikan peluang partisipasi masyarakat/swasta baik secara lokal, nasional

maupun internasional dalam pengelolaan risiko bencana.

Kebijakan mitigasi bencana dan implementasi secara praktis di Indonesia telah banyak

dilakukan baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Pendekatan secara rekayasa sain dan

teknologi telah banyak dilakukan untuk implementasi secara praktis seperti dalam menentukan

dampak potensial terhadap bahaya bencana di masa datang. Di samping kemajuan rekayasa teknik

dalam pengelolaan resiko bencana juga dibutuhkan penanggulangan bencana dilihat dari aspek sosial

dan ekonomi masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Aldrich (2011), Murphy (2007), Lindell &

Prater (2003) dan Bankoff (2001) menjelaskan bahwa faktor sosial turut memberikan kekuatan bagi

masyarakat dalam menentu keberhasilan proses pemuliahan bencana dan pengelolaan resiko terhadap

bencana. Beck (2006) menjelaskan bahwa pada dasarnya bencana merupakan bagian dari perubahan

sosial bagi masyarakat yang berakar dari kalkulasi secara ekonomi, sosial, sejarah dan politik dalam

membentuk prilaku dalam menghadapinya.

Tulisan ini membahas dua hal penting: 1) Bagaimana pemanfaatan informasi deteksi satelit

DMSP-OLS (data outer space) sebagai proksi dalam menilai proses pemulihan aktifitas ekonomi di

daerah bencana, dan 2) Bagaimana faktor modal sosial dalam mempengaruhi proses pemulihan

bencana. Kontribusi utama dari penelitian ini adalah: 1) Mengembangkan dan melakukan inovasi

memanfaatkan teknologi informasi kegeografian untuk kepentingan ilmu ekonomi dan sosial

(transdicipliner), dan 2) Menganalisis dampak faktor modal sosial masyarakat dalam mempengaruhi

proses pemulihan bencana. Ruang lingkup dari penelitian ini adalah melakukan penilaian terhadap

kapasitas modal sosial masyarakat di masing-masing desa terdampak Tsunami Aceh 2004 dalam

(4)

2. TINJAUAN TEORITIS

Proses Pemulihan Bencana dan Data Outer Space

Proses pemulihan bencana (recovery process) merupakan bagian terpenting dari rangkaian

kegiatan penanggulangan bencana. Tahapan ini setidaknya dapat mengembalikan kondisi daerah

pasca bencana sama atau mendekati kondisi pra bencana dalam waktu yang relatif cepat. (Sullivan,

2003) dan Lindell et al, 2006). Bollin et al (1978) dan Yelvington (1997) menjelaskan bahwa aspek

utama yang perlu diperhatikan dalam proses pemulihan bencana yaitu pemulihan infrastruktur

ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Proses pemulihan bencana dapat dilakukan oleh individu rumah

tangga, pemerintah dan masyarakat luas. Quarantelli (1999) dan Mileti (1999) menjelaskan bahwa

secara sosial, proses pemulihan bencana merupakan proses yang saling bergantungan antara individu

dan institusi di tingkat komuitas masyarakat yang dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu

serta membutuhkan interaksi berbagai pihak dalam pengambilan keputusan pada proses pemulihan

bencana bersangkutan.

Mencermati keterbatasan informasi yang dibutuhkan untuk menilai proses pemulihan terutama

di daerah bencana yang tergolong besar dan masif membutuhkan berbagai alternatif solusi yang harus

dilakukan agar penilaian dapat dilakukan lebih efektif. Dalam dua dekade terkahir, penggunaan

informasi data outer space telah berkembang dan menjadi salah satu pilihan untuk memberikan solusi

terhadap kepentingan analisis di bidang sosial dan ekonomi (Henderson, 2012), Olivia (2013) dan

Raschky (2013) dan (Chen dan Nordhaus, 2011). Data outer space adalah data dengan pemanfaatan

informasi deteksi cahaya malam hari oleh satelit DMSP-OLS yang memiliki kemampuan pencitraan

pencahayaan dengan resolusi yang rendah. Sistem ini merupakan radiometer yang berosilasi

pemindaian dengan kemampuan pengamatan mencapai 1 km2 di permukaan bumi. Sistem ini

menghasilkan informasi dalam bentuk sel grid yang disebut dengan data pixel (picture element).

Lazimnya data yang dihasilkan adalah dalam bentuk raster dan data ini agar dapat digunakan maka

ditransformasi ke dalam data berbentuk vektor. Selanjutnya, dilakukan overlay menggunakan ID peta

digital agar dapat digabungkan penggunaannya dengan data sosial ekonomi lainnya.

Secara ekonometrika, data outer space dapat dibuktikan bahwa penggunaannya layak

dijadikan sebagai proksi aktifitas ekonomi dan sosial suatu wilayah. Henderson (2012)

mengilustrasikan bahwa pengukuran aktifitas ekonomi seperti pendapatan domestik bruto (GDP),

dapat diukur dan memiliki error:

(1) = +

Dimana adalah pertumbuhan GDP sebenarnya di wilayah i. adalah pertumbuhan GDP yang

(5)

pertumbuhan pendapatan sebenarnya adalah dan varian dari adalah . Penggunaan cahaya

malam hari sebagai proksi ukuran kegiatan ekonomi jika terjadi peningkatan dapat dilihat dari terjadi

kenaikan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat secara lansung meningkatan

penggunaan energi/cahaya bagi masyarakat terutama beraktifitas di malam hari, baik untuk kegiatan

konsumsi maupun untuk investasi. Hampir semua barang-barang konsumsi di masyarakat yang

digunakan pada malam hari membutuhkan energi/lampu. Dampaknya adalah terjadinya pertumbuhan

cahaya malam hari yang dijadikan sebagai proksi ukuran untuk pertumbuhan pendapatan yang

sebenarnya. Dengan demikian, hubungan pertumbuhan cahaya malam hari dan pertumbuhan ekonomi

dapat direpresentasikan sebagai:

(2) = +

Dimana adalah pertumbuhan observasi cahaya malam hari dan adalah rendom error

term. Langkah awal dalam menganalisis adalah mengestimasi persamaan (2) yang menghasilkan

koefisien estimasi . Dengan asumsi bahwa data GDP yang ada di suatu wilayah diasumsikan kurang

baik dalam pengukuran, hal tersebut cenderung dan banyak terjadi di negara-negara sedang

berkembang. Untuk itu dibutuhkan koreksi kesalahan untuk dari estimasi sebelumnya yaitu

hubungan antara pertumbuhan cahaya malam hari dan pertumbuhan GDP yang diukur. Setidaknya

metode ini merupakan sebuah koreksi terhadap berbagai informasi ekonomi yang di publikasi yang

dianggap terhadap kesalahan pengukuran (measuremen error) terutama data ekonomi di

negara-negara sedang berkembang (Browning dan Crosley, 2009). Koefisien koreksi dapat dihitung dengan:

(3) =

Dimana adalah koefisien estimasi pada persamaan (2). Untuk tujuan melakukan prediksi

pertumbuhan ekonomi dapat menggunakan pertumbuhan cahaya malam hari di suatu wilayah. Dengan

membalikan persamaan (2) diperoleh proksi pertumbuhan pendapatan dari berdasarkan pertumbuhan

cahaya ( ) sebagai berikut:

(4) =

Dimana adalah koefisein koreksi pada persamaan (3)

Modal Sosial dan Proses Pemulihan Pasca Bencana

Dewasa ini pembahasan modal sosial sudah berkembang dan direlasikan dengan pencapaian

pembangunan ekonomi. Namun perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan definisi yang mendasar

dalam memahami modal sosial dalam pembangunan ekonomi. Dua hal mendasar tersebut adalah

pemahaman tentang transaksi ekonomi (economic transaction) dan transaksi sosial (social

(6)

dalam periode waktu dengan kejadian yang dapat berulang yang disebabkan oleh adanya keuntungan

yang diperoleh. Sedangkan transaksi sosial adalah relasi transaksi yang diperantarai dengan adanya

pengakuan. Hal ini dapat membentuk reputasi dan dapat menghasilkan manfaat seperti hubungan

sosial.

Modal sosial sebetulnya merupakan basis bagi sumberdaya ekonomi (economic resource)

serta dapat dijadikan alternatif mengalokasikan sumberdaya secara lebih efisien apabila mekanisme

pasar mengalami distorsi atau kegagalan. Kenyataannya, pasar (market) selalu sulit mengatasi

permasalahan eksternalitas, penyediaan barang publik, hak kepemilikan, bahkan monopoli (Caporaso

dan Levine, 1992). Modal sosial berperan sebagai alternatif yang lebih efisien. Seperti halnya dalam

penyediaan barang publik, pengelolaan barang dan jasa publik kepada individu pada dasarnya dapat

meningkatkan tanggung jawab (resposibility) dan keeratan komunitas (sense of community). Sehingga

efisiensi atas produksi barang publik bisa tercapai dalam meminimalisasi faktor free rider.

Kesimpulannya, modal sosial merupakan sarana bagi individu untuk bekerjasama secara sukarela

dalam mengelola barang publik/bersama (common goods) (Putnam, 1995) dan Champlin, 1999).

Hubungan modal sosial dan proses pemulihan bencana/ekonomi dapat dilacak dari sisi lain.

Kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah kegiatan kerjasama baik dalam pengertian kompetisi maupun

saling membantu antar pelaku dengan beragam motivasi yang mendorongnya (profit, status, harga diri,

pencitraan, preferensi dan lain-lain). Kerjasama membutukan kepercayaan (trust, dalam ekonomi

modern dapat digantikan dengan makanisme formal untuk mencegah terjadinya kecurangan, seperti

sistem kontrak). Namun, formalitas tidak akan pernah mampu secara sempurna menggantikan

kepercayaan, karena sistem kontrak hanya merupakan intrumen pendukung dan bukanlah aspek utama

dalam sebuah kerjasama. Modal sosial menyatakan bahwa kerjasama tergantung dari kepercayaan.

Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi (high trust society) akan sanggup melakukan

kerjasama sampai ke level organisasi yang sangat besar seperti koorporasi internasional. Sebaliknya,

masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah (low trust societies) kerjasama yang dapat digalang

hanya pada level terbatas, seperti perusahaan yang berbasis keluarga. Jadi modal sosial adalah

sumberdaya bermakna bahwa komunitas bukanlah suatu produk atau hasil (outcome) dari

pertumbuhan ekonomi, namun merupakan prakondisi dari percapainya pertumbuhan ekonomi

(Putnam, 1995) dan Chaplin, 1999).

Dalam standar ilmu ekonomi mekanisme efek modal sosial terhadap kinerja ekonomi dapat

diasumsikan menggunakan fungsi output perkapita seperti dalam persamaan (5) menjelaskan

eksistensi ekonomi pasar menfasilitasi pelakunya mendapatkan laba, upah, dan pengembalian modal,

sehingga memberikan insentif untuk berptoduksi. Jika pasar gagal, alternatif insentif mungkin

dilakukan adalah intervensi pemerintah atau pemberian sangsi seperti pengenaan pajak untuk

pembiayaan barang publik. Apabila pasar dan pemerintah menemui kegagalan maka langkah lain

(7)

(social sanctions) dalam masyarakat sipil (civil society). Masing-masing dari mekanisme tersenbut

dapat berkomplementer (Wallis, 2004).

(5) =

Dimana: adalah output ekonomi wilayah i, adalah stok modal fisik, adalah stok modal

manusia. adalah total output, adalah tenaga kerja, dan adalah teknologi. Apabila ada dua

wilayah memiliki ekonomi pasar yang berfungsi, teknologi yang sama, stok modal fisik dan manusia

yang equivalen, sangat mungkin level produksi dari kedua wilayah tersebut berbeda karena perbedaan

efektifitas kelembagaan (institutional effectiveness) dan norma masyarakat (societal norm). Efek

produktifitas langsung dari modal sosial ditunjukan dalam persamaan (6) sebagai faktor skala dari

fungsi produksi. Putnam (1995) menyatakan bahwa dapat diwakili dengan jumlah keanggotaan

dalam organisasi sukarela sebagai hasil dari kepercayaan sosial (social trust) dan penilaian subjektif

atas efektifitas pemerintahan. Beberapa studi mengidentifikasi bahwa kohesi sosial dan efektifitas

pemerintahan secara langsung dapat menfasilitasi peningkatan produktifitas (Wallis, 2004).

(6) =

Sebagai efek langsung terhadap produktifitas, modal sosial juga memiliki efek tidak langsung

melalui peningkatan akumulasi modal manusia seperti yang diilustrasikan dalam persamaan (7),

melalui investasi yang lebih besar dalam sistem pendidikan publik (masyarakat), partisipasi

komunitas yang lebih intensif dalam manajemen sekolah, dan akses yang lebih baik terhadap kredit

informal bagi kaum miskin. Coleman (1988) juga menemukan bahwa modal sosial juga berhubungan

dengan tingkat putus sekolah (drop out) sekolah. Prichett (2000) mendefinisikan bahwa modal sosial

diasosiasikan dengan tingkat partisipasi orang tua dan kualitas sekolah pada level yang lebih tinggi.

Katz and Margo (2013) menjelaskan bahwa di Amerika Serikat homogentitas yang lebih besar dari

pendapatan atau kesejahteraan, tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, stabilitas komunitas yang lebih

besar, etnik yang lebih banyak, dan homogenitas keyakinan (religious homogeneity) mempercepat

ekspansi sekolah lanjutan (high school). Implikasinya, homogenitas sosial dan stabilitas komunitas

dapat mempercepat akumulasi modal manusia di Amerika Serikat, karena mereka dibentuk dari level

modal sosial yang tinggi.

(7) =

Modal sosial juga memfasilitasi akumulasi bersih (net accumulation) dari modal fisik, seperti yang

terlihat dalam persamaan (8). Tingkat investasi dan tabungan domestik selama ini diandaikan lebih

tinggi di bawah kondisi sosial politik dan kepastian keuangan (Alesina, et al., 1992) dan Guiso et al.

(2004) menjelaskan bahwa di Italia dengan level kepercayaan sosial yang lebih tinggi, rumah tangga

(8)

lebih banyak cek (checks), dan memiliki akses yang lebih baik terhadap kredit. Perusahaan di wilayah

dengan kepercayaan tinggi (high trust area) juga lebih banyak memegang saham (multiple

shareholders). Demikian juga dengan kualitas tata kelola (quality of governance) merupakan kunci

terpenting dari meningkatkan investasi asing (Rodrik, 2003). Hal ini dapat disimpulkan bahwa modal

sosial dapat menghasilkan akumulasi modal, kemahiran keterampilan, inovasi, transfer informasi dan

teknologi dan mengurangi biaya transaksi (Hall dan Jones, 1999). Di sisi lain, modal sosial juga

memfasilitasi pengelolaan kepemilikan bersama (common property) dan penyediaan barang publik,

peningkatan investasi, dan mengurangi biaya sosial kriminalitas, korupsi, dan bentuk-bentuk tindakan

tercela (non-cooperative) lainnya (Wallis, 2004).

(8) =

Perbedaan pencapaian (outcome) pembangunan tidak dapat dijelaskan dari ketidaksamaan input

material saja. Dalam hal ini terdapat konsensus umum bahwa inisiatif pembangunan seharusnya

dengan memasukan peranan modal sosial, semacam ilmu pengetahuan, pemahaman, nilai-nilai,

norma, sifat, dan jaringan sosial untuk memperkuat hasil yang diinginkan. Setidaknyanya konsep

modal sosial paralel dengan konsep lain tentang tindakan (action), sehingga konsep modal sosial

merepresentasikan aset sebagai bentuk lain dari modal. Sedang seluruh bentuk dari modal selalu

penting bagi pembangunan. Meskipun dari masing-masing dari modal tersebut tidak mencukupi bila

hanya diambil dari salah satunya. Dalam kondisi yang sudah pasti, modal sosial dapat

dipertimbangkan sebagai sumberdaya yang dapat memperbaiki efektifitas akan input lainnya dalam

proses pembangunan. Jika kondisi ini tidak ada, modal sosial dapat menjadi penghambat

pembangunan. Dalam hal ini, modal sosial dapat diputuskan sebagai akumulasi beragam tipe sosial,

psikologi, budaya, kelembagaan Uphoff (2000) dan (Dhesi, 2000). Seluruh argumen yang terbangun

tersebut dapat diartikan bahwa modal sosial merupakan pilar utama dalam pembangunan ekonomi.

3. METODE

Model Empiris

Penelitian ini melakukan simulasi permodelan modal sosial dalam mempengaruhi proses pemulihan

bencana dengan unit analisis adalah pada tingkat desa yang terkena dampak bencana., sebagai berikut:

(9) = + + +

Dimana: adalah perubahan pencahayaan malam hari (outer space) yang menjelaskan proses

pemulihan bencana, adalah vektor sosial-ekonomi meliputi kepadatan penduduk, aktifitas sektor

pertanian, penyediaan sumber air minum masyarakat, jarak desa dengan ibu kota kabupaten,

kecamatan dan kota-kota lainnya, kualitas jalan, dan status wilayah (perkotaan/pedesaan)dan

adalah vektor modal sosial meliputi berbagai aktifitas sosial masyarakat yaitu arisan, gotong royong,

(9)

Data dan Sumber Data

Pengukuran terhadap proses pemulihan bencana dalam menilai aktifitas ekonomi menggunakan data

deteksi pencahayaan malam hari oleh DMSP-OLS yang dipublikasi oleh (NOAA) United State

Department of Commerce. Penelitian ini menggunakan data yang bersifat stabil tahunan dari

2003-2012. Selanjutnya untuk kebutuhan variabel modal sosial, penelitian ini memanfaatkan sumber

informasi dari PODES tahun 2003-2011. Jumlah desa di Propinsi Aceh yang tercatat dalam PODES

2006 yang dijadikan sebagai basis penilaian pemulihan bencana adalah sebanyak 5.050 desa dan

jumlah desa yang terdampak tsunami 2004 adalah 856 desa. Setelah dilakukan merge data PODES

2003 – 2011, desa yang terdampak tsunami 2004 diperoleh menjadi 789 desa. Hal ini terjadi karena

adanya desa yang hilang, penggabungan atau pemekaran dan secara teknis juga disebabkan

ketidakcocokan dengan ID desa.

Data PODES yang telah digabungkan dari tahun 2003-2011 dilanjutkan dengan

pemgambungannya menggunakan ID peta yang dipublikasi BPS. ID Peta tersebut yang

mengakomodasi (overlay) data satelit DMSP-OLS yang secara komputerisasi telah menerjemahkan

data cahaya dalam bentuk raster dirubah ke dalam data yang berbentuk nilai vektor. Hasil sementara

data yang dapat digunakan adalah sebanyak 463 observasi. Simulasi terhadap model peneltian ini

adalah menggunakan analisis regresi sederhana (OLS) untuk data cross sectional menurut

masing-masing desa yang terkena dampak adalah sebanyak 287 observasi untuk tahun 2003, 296 untuk

observasi tahun 2006, 181 observasi untuk tahun 2008 dan 185 observasi untuk tahun 2011. Perbedaan

jumlah observasi menurut tahun tersebut di atas disebabkan tidak adanya data. Selanjutnya model

analisis dalam penelitian ini juga menggunakan model panel 2003-2011 dengan jumlah observasi yang

dapat dianalisis adalah sebanyak 583.

SIMULASI DAN HASIL ANALISIS

Pada daerah terkena dampak tsunami Aceh 2004 terlihat pola perubahan yang sama antara informasi

dari outer space dan perubahan dari jumlah penduduk dan infrastruktur pembangunan wilayah sebagai

berikut

Tabel 2: Perubahan Pencahayaan Malam Hari, Jumlah Penduduk dan Sarana Pembangunan di Daerah Bencana Tsunami 2004

PODES2003 PODES2006 PODES2008 PODES2011

Average Digital Number (DN) of Night Ligths 3.511 2,471 5,934 7,829

Jumlah Penduduk (jiwa) 462,911 435,776 471,796 481,901

Jumlah SD (Negeri dan Swasta) (Unit) 383 272 340 343

Jumlah Posyandu (unit) 434 321 401 563

Jumlah Polindes (unit) 271 160 184 123

Asphalt road 0.969 0.538 0.592 0.729

(10)

Tabel 2 menjelaskan bahwa terjadi kecenderungan perubahan yang sama antara nilai rata-rata

pencahayaan malam hari (outer space) dengan data ground (PODES) yaitu jumlah penduduk dan

fasilitas fisik pembangunan seperti sarana pendidikan, kesehatan dan transportasi di masing-masing

wilayah daerah yang terkena dampak Tsunami Aceh 2004. Perubahan tersebut memberlihatkan

penurunan yang tajam pada tahun 2006, dimana hal tersebut disebabkan oleh terjadinya bencana.

Pasca tsunami setelah terjadinya proses pemulihan bencana terlihat perubahan perbaikan sarana dan

prasarana fisik untuk fasilitas pendidikan, kesehatan dan transportasi di masing-masing desa yang

terdampak bencana. Perubahan tersebut juga terlihat dari nilai cahaya yang dihasilkan yang terus

menaik pada tahun-tahun pasca tsunami.

Untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap proses pemulihan bencana dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 3: Hasil Regresi Modal Sosial dan Proses Pemulihan Bencana

Ln-cahaya 2003 2006 2008 2011 Panel 03-11

Lembaga Swadaya Masyarakat -0.076 -0.308 0.114 -0.180 -0.203

(0,692) (0,082) (0,419) (0,732) (0,069)

Population Density 0,265 0,197 0,209 0,175 0,056

(0,000) (0,000) (0,000) (0,001) (0,082)

Distance to City Capital -0.185 -0.283 -0.144 -0.020 -0.353

(0,000) (0,000) (0,091) (0,766) (0,000)

Distance to Other Cities -0.025 -0.098 -0.244 -0.111 -0.127

(0,605) (0,097) (0,009) (0,112) (0,012)

Distance to District Capital -0.096 -0.145 -0.196 -0.208 -0.184

(0,147) (0,022) (0,010) (0,001) (0,005)

Tabel 3 menjelaskan pengaruh modal sosial terhadap proses pemulihan bencana di

masing-masing desa yang terkena dampak Tsunami Aceh 2004. Penjelasan dalam tabel tersebut setidaknya

membagi kondisi kepada tiga kondisi yaitu situasi modal sosial memperngaruhi perubahan aktifitas

ekonomi sebelum bencana yang dijelaskan dengan data inisiasi pada tahun 2003. Pada masa sebelum

tsunami setidaknya variabel modal sosial (arisan dan gotong royong) mempengaruhi perubahan

ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. Namun keberadaan lembaga swadaya masyarkat (LSM) dan

(11)

masing-masing daerah di Aceh terpengaruh oleh memburuknya situasi politik dan keamanan antara

pemerintah pusat dan propinsi Aceh. Sehingga keberadaan LSM dan keberagaman etnik dalam

masyarakat tidak dapat memberikan dorongan terhadap perubahan ekonomi menjadi lenbih baik.

Selanjutnya pada masa tanggap darurat (emergency period) yang dijelaskan dengan hasil

regresi pada tahun 2006 menjelaskan bahwa aspek gotong royong adalah modal sosial yang

berkontribusi dalam proses pemulihan bencana di daerah terkena dampak tsunami di Aceh. Namun

keberadaan keberagaman etnik dan lembaga swadaya masyarakat belum memberikan pengaruh yang

baik terhadap proses pemulihan bencana di Aceh. Pada tahun 2006, juga menjelaskan kondisi pra

tsunami dan terkesan masyarakat masih trouma dengan kejadian bencana dan partisipasi lembaga

bantuan yang bersifat eksternal belum berjalan dengan optimal. Pada tahun 2008 yang dapat mewakili

kondisi proses rehalibitasi dan rekonstruksi pada masing-masing daerah bencana tsunami Aceh

memperlihatkan bahwa faktor gotong royong dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat

memberikan peran dalam menentukan proses pemulihan bencana. Setidaknya pada tahun 2008 dapat

dijelaskan bahwa bantuan penanggulangan bencana di Aceh yang dilakukan oleh berbagai pihak

eksternal telah berjalan.

Untuk melihat situasi daerah terdampak tsunami di Aceh pasca berakhirnya masa kerja

berbagai lembaga bantuan bencana yang bersifat eksternal memperlihatkan kondisi bahwa modal

sosial seperti gotong royong dan heterogenitas etnik memberikan pengaruh terhadap perubahan

aktifitas ekonomi masyarakat. Namun keberadaan lembaga swadaya masyaakat tidak terlihat

memeberikan kintribusi terhadap perbaikan aktifitas sosial ekonomi masyarakat yang pada intinya

mempengaruh proses pemulihan terhadap bencana. Terakhir dapat juga dijelaskan secara keseluruhan

bahwa di daerah yang terkena dampak tsunami Aceh 2004, sebelum dan sesudah bencana variabel

modal sosial yaitu gotong royong dan keberagaman etnik adalah faktor yang menentukan secara sosial

dalam perubahan aktifitas ekonomi masyarakat yang pada dasarnya merupakan faktor penilaian

terhadap proses pemulihan bencana.

Permasalahan tingkat signifikansi yang sangat rendah dari hasil temuan diatas sangat

dipengaruhi oleh masih sedikit data yang di eksplorasi. Dari 789 desa yang terdampak bencana di

Aceh, barus bisa dilakukan simulasi untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap proses pemulihan

bencana antara 181-287 desa. Beberapa faktor yang menyebab tereliminasinya banyak desa yang

terdampak tsunami dalam analisis ini diperkirakan oleh faktor teknis dalam melakukan pengabungan

data melalui ID peta dan ID PODES yang yang berbeda dalam hal tahun acuanya. Disamping itu

masih sedikitnya data desa yang terekplorasi juga dipengaruh oleh banyaknya data ground (PODES)

yang kosong di masing-masing desa bersangkutan. Setidaknya analisis ini memperlihatkan arah bahwa

(12)

Untuk melihat perbandingan perubahan pencahayaan kondisi sebelum bencana ke bencana

dan kondisi perubahan dari awal terjadinya bencana sampai 8 tahun pasca tsunami Aceh dapat dilihat

gambar sebagai berikut.

Gambar 1:

Perbandingan Perubahan Pencahayaan Sebelum dan Sesudah Tsunami Aceh 2004

Sumber: Penulis Data diolah dari DMSP-OLS (NOAA, 2013)

Gambar 5 menperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup jelas antara

kondisi sebelum Tsunami Aceh 2004 (2003-2005) dimana terjadi penurunan yang tajam

dalam hal pencahayaan malam hari di masing-masing desa terkena dampak tsunami tersebut.

Selanjutnya kondisi berbeda memperlihatkan bahwa masing-masing mengalami kondisi

proses pemulihan pasca bencana dengan terlihat perubahan yang nyata dari tahun 2005-2012.

Hal ini dapat dipahami bahwa proses pemulihan bencana Tsunami Aceh dalam kurun

mendekati 10 tahun terakhir secara keseluruhan memperlihatkan kondisi yang makin

membaik.

4. KESIMPULAN

Penggunaan data deteksi satelit DMSP-OLS merupakan suatu terobosan baru dalam

pemanfaatan teknologi informasi kegeografian untuk kebutuhan pengembangan metodologi

bidang ilmu sosial dan ekonomi terkini, yang dapat dibuktikan dan digunakan untuk menilai

proses pemulihan bencana Tsunami Aceh 2004 dalam kurun mendekati waktu 10 tahun

(13)

Penggunaan data satelit DMSP-OLS dapat dijadikan sebagai proksi penilaian proses proses

pemulihan bencana. 2) Faktor modal sosial seperti gotong royong adalah komponen sosial

dalam masyarakat yang telah ada dalam sejak sebelum bencana dan berpengaruh terhadap

perubahan aktifitas ekonomi di daerah bencana tersbut. 3) Peran lembaga Swadaya

Masyarakat di daerah terkena dampak bencana lebih berkontribusi positif pada masa

rehabilitasi dan rekonstruksi. 4) secara keseluruhan di daerah terdampak bencana keberadaan

keberagaman ektis juga memberikan pengaruh terhadap perbaikan ekonomi masyarakat.

KEPUSTAKAAN

Alesina et al. (1992). Political Instability and Economic Growth. NBER Working Paper Series 4173. I050 Massachusets Avenue Cambridge. MA 02138

Badan Rehalibitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2009). From Disaster to the Emergence light. United Nation Development Program (UNDP).

Bankoff (2001). Rendering the World Unsafe: ‘Vulnerability’ as Western Discourse.Disaster 25(1) pp 19-35

Beck, U (2006). Living in the World Risk Society. Economy and Society 35(3) pp329-345

Bollin et al (1978). Model of Family Recovery Following Disaster: A Cross National Studies. In Quarentally E. L. (ed). Disaster Theory and Research. Beverly Hill. CA. Sage. Pp. 233-247.

Caporaso, James A, dan David P. Levine (1992). Theory of Political Economics. Cambridge University Press.

Chaplin, Dell (1999). Social Capital and the Privatization of Public Good. International Journal of Social Economics. Vol. 26. No. 10. 1302-1314.

Chen, X and Nordhaus W, W. (2011). Using Lunimosity data as proxy for Economic Statistics. Proceeding at The National Academy of Science of The United State of America 108 (21): 8589-8594.

Colerman (1988). Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology. Vol. 95. Suplement 95-120.

Croft, T. A. (1979). The Brightness og Lights on Earth at Night, Digitally Recorded by DMSP Satelite. Stanford Research Institute Final Report Prepared for The US Geological Survey. Palo Alto CA.

Dhesi, Autar (2000). Social Capital and Community Development. Community Development Journal. Vol 30. No. 3. July p. 199-124.

Guiso, Luigi (2004). The Role of Social Capital in Financial Development .The American Economic Review, Vol. 94, No. 3 , pp. 526-556

Hall, Robert E and Charles I. Jones (1999). Why Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker Than Others?. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 114, No. 1 (Feb., 1999), pp. 83-116

Henderson, Vernon et al (2012). Measuring Economic Growth from Outerspace. American Economic Review.

Jalan, Jyotsna dan Martin Ravallion. (2002). Geographic Poverty Trap? A Micro Model of

(14)

Katz, Laurence F, and Margo (2013). Technical Change and Relative Demand for Skilled Labor: The United State in Historical Perspective. Revision paper presented at the Human Capital an History: The American Record Conference Cambridge MA.

Lindell , M. K and Prater. C. S (2003). Assesing the Community Impacts of Natural Disaster. Natural Hazard Review Vo. 4. No. 4. Pp. 176-185.

Lindell et al. (2006) Fundamental of Emergency Management. Emmitsburg. MD Federal Emergency Management.

Lin, Nam (2001). Social Capital: A Theory of Social Culture and Action. Cambridge University Press. UK

Olivia, S (2013). Economic Rise and Decline in Indonesia–As Seem from Spac. The Agriculture and Applied Economic Association.

Perry (2006). Natural Disaster Management Planning. A study of Logistic Managers Responding to The Tsunami. International Journal of Physical Distribution and Logistic Management. Vol. 37No. 5 pp. 403-433.#286.

Pritchett, Lant (2000). The tyranny of concepts - CUDIE (Cumulated, Depreciated nvestment Effort) is NOT capital," Policy Research Working Paper Series 2341, The World Bank.

Putnam (1995). Social Capital: Measurement and Conseguences. Keneddy School of Governance. Harvard University.

Quarantelli, E. (1999). The Disaster Recovery Process: What We Know and Do Not Know From Research. University of Delawar Disaster Research Center. Preliminary Paper

Raschky, P (2013). Estimating the Effect of West Sumatra Public Assets Insurance Program on Shortterm Recovery After the September 2009 Earthquake. ERIA Discussion Paper.

Rodrik (2003). The Primacy of Institution: What this does and does not mean. Finance and Development. Vol 40 No. 2. June pp. 31-34

Sullivan, M (2003). Integrated Recovery Management: A New Way of Looking at a Delicate Process. Aust J. Emerg Manage 18:4-27.

Uphoff, Norman (2000). Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of Participation. In Partha Dasgupta and Ismail Serageldin (eds.), Social Capital: A

Multifaceted Perspective, Washington, D.C.: World Bank.

Wallis (2004). Social Economic and Social Capital. International Journal of Social Economics. Vo. 31. No. 3 pp. 239-258

Gambar

Tabel 1Capaian 4 Tahun Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tsunami Aceh 2004
Tabel 2: Perubahan Pencahayaan Malam Hari, Jumlah Penduduk dan Sarana Pembangunan di DaerahBencana Tsunami 2004
Tabel 3: Hasil Regresi Modal Sosial dan Proses Pemulihan Bencana
Gambar 1:Perbandingan Perubahan Pencahayaan Sebelum dan

Referensi

Dokumen terkait

Pada bagian ini akan diperlihatkan bagaimana penerapan Demand Side Management (DSM) menggunakan strategi peak clipping (sub. bagian c) pada beban harian IPA PDAM Mulia Baru seperti

Penelitian lebih memfokuskan pada kategori frekuensi kunjungan yang kurang dari 2 kali kunjungan, dengan harapan bahwa data yang didapat dapat mewakili persepsi dari konsumen

Pada penelitian ini daya hambat yang ditunjukkan masih rendah, sehinga penelitian perlu dilakukan pada pengen- dalian penyakit antraknosa langsung pada buah untuk

Pilihlah salah satu dari empat pilihan jawaban yang tersedia yang paling sesuai dengan diri Anda dengan memberikan tanda silang (X) pada tempat yang telah

Secara konsepsional, pendekatan sistem perwilayahan yang diterapkan di negara kita adalah melalui “pengembngan wilayah berdasarkan klaster-klaster pengembangan” yang

Sistem pelayanan pelanggan yang berjalan saat ini pada PT Sahabat Kreasi Muda masih berjalan dengan mengunakan aplikasi google untuk mengisi keluhan pelanggan

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan (1) pilihan kata yang terdapat dalam kegiatan panjat dinding di

lklim sosial yang baik ditandai dengan terciptanya hubungan yang harmonis anatara guru-anak didik, guru dan guru, guru dengan pihak pengelola (Kepala