• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Bahaya Taqlid dalam Berilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "3. Bahaya Taqlid dalam Berilmu"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Bahaya Taqlid Dalam Berilmu

Abu Khuzaimah Abdussalam Al-Atsari

Terkadang suatu anjuran untuk mengikuti dan berpegang teguh dengan dua wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) serta memalingkan jiwa dari selain keduanya dianggap sebagai seruan yang mengajak kepada pelecehan pendapat para ulama dan menghalangi untuk mengikuti jejak para ulama atau mengajak untuk menentang perkataan mereka. Padahal tidak demikian yang dimaksudkan, bahkan mesti harus dibedakan antara mengikuti Nabi shallallahu `alaihi wa sallam semata dengan pelecehan terhadap pendapat ulama.

Diantara perbedaan tersebut adalah bahwa pemurnian mengikuti Nabi shallallahu `alaihi wa sallam semata. Itu berarti tidak boleh mengutamakan pendapat seseorang di atas apa yang telah dibawa oleh beliau shallallahu `alaihi wa sallam dan tidak juga pemikirannya, siapapun orang tersebut. Bahkan hal pertama yang harus diperhatikan adalah keshahihan hadits yang dibawakan. Yang kedua adalah memperhatikan maknanya. Jika sudah jelas maknanya, maka tidak boleh berpaling dari hadits itu meskipun orang yang berada di Timur dan di Barat telah menyalahi kamu. Kita berlindung kepada Allah dari bersepakatnya umat ini dalam menyalahi apa yang dibawa oleh Nabi-Nya. Senantiasa ada di kalangan umat ini orang yang berkata dengan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, meskipun kita belum mengetahuinya. Oleh sebab itu janganlah menjadikan ketidaktahuan kita sebagai hujjah untuk membantah Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi berusahalah untuk mencari dalil dan tidak lemah semangat kita.

Hal ini disertai dengan menjaga kedudukan para ulama dan tetap berloyalitas (setia) terhadap mereka serta meyakini kemuliaan dan amanat yang ada pada mereka dan kesungguhan mereka dalam menjaga agama dan mengokohkannya. Karena hal itulah mereka dijanjikan ganjaran antara dua pahala (jika benar) dan satu pahala (jika salah dalam berijtihad) serta ampunan bagi mereka. Hanya saja sikap seperti ini tidak mesti harus mengalahkan dalil- dalil dan mengutamakan pendapat seseorang di antara mereka di atas dalil dengan alasan yang syubhat bahwa orang tersebut lebih tahu tentang dalil daripada kita.

Maka siapa saja yang telah memperlihatkan pendapat para ulama dengan dalil-dalil dan telah mempertimbangkan pendapat tersebut dengan dalil tersebut lalu menyalahi sebagian pendapat yang menyelisihinya, hal ini bukan berarti melecehkan pendapat para ulama dan juga tidak mengurangi kedudukan mereka; bahkan dia tetap menjadikan para ulama sebagai suri teladannya. Orang seperti inilah yang layak dijadikan ikutan yang sebenarnya oleh orang-orang yang melaksanakan apa yang telah diwasiatkan oleh para ulama itu, bukan orang yang menyalahinya. Perselisihan mereka karena pendapat yang berbeda dalam memahami nash lebih ringan terjadi daripada mereka melanggar kaidah syar'i yang menyeluruh yang diperintahkan serta yang telah mereka dakwahkan seperti kaidah "lebih mendahulukan dalil di atas pendapat mereka".

(2)

Maka orang tersebut menjadikan ulama tersebut seperti kedudukan rambu yang pertama. Apabila dia telah melewati rambu pertama tersebut kepada petunjuk Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, berarti dia tidak lagi membutuhkan pengambilan dari orang lain. Ibarat orang yang mengambil petunjuk dengan suatu bintang tentang arah kiblat, jika dia telah mengetahui arah kiblat berarti sudah tidak memerlukan lagi pengetahuan orang lain yang mengambil petunjuk dengan cahaya bintang tersebut.

Imam Syafi'i rahimahullah telah berkata: "Manusia telah bersepakat bahwa siapa saja yang telah mendapat penjelasan tentang sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, berarti tidak ada hak baginya untuk meninggalkannya hanya karena pendapat seseorang." (Ar-Ruuh, hal. 356) Dapat disimpulkan perbedaan antara ketentuan hukum yang diturunkan (wahyu Allah baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah) yang wajib untuk diikuti dan ketentuan hukum yang didasarkan pada penafsiran yang mu'tabar (bisa diikuti) adalah bahwa ketetapan hukum yang diturunkan adalah hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk menghukumi di antara hamba-Nya dan merupakan ketentuan hukum-Nya yang tidak ada hukum selain hukum itu. Sedangkan ketentuan hukum yang didasarkan pada penafsiran adalah seluruh pendapat para ulama mujtahidin (seseorang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad) yang berbeda-beda, yang tidak wajib untuk diikuti dan tidak akan dikafirkan atau difasikkan oleh mereka yang menyalahi pendapat itu, karena para ulama yang memiliki pendapat itu tidak pernah mengatakan: "Ini ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya," bahkan mereka berkata: "Kami telah berijtihad dengan pendapat kami, maka barangsiapa berkehendak bisa mengambil pendapat kami dan boleh tidak mengambilnya."

Imam Abu Hanifah berkata: "Ini pendapatku, barangsiapa membawa sesuatu yang lebih baik dari hal ini, niscaya kami akan menerimanya." Demikian juga dengan Imam Malik yang pernah dimintai petunjuknya oleh Ar-Rasyid agar beliau menetapkan ilmu yang terdapat dalam kitab Al-Muwatha' kepada manusia (sebagai madzhab resmi negara, ed.). Beliau menolaknya dan berkata: "Para shahabat pernah tersebar di berbagai daerah dan negeri sehingga setiap kaum memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh kaum yang lain." Seperti ini pula keadaan Imam Syafi'i yang melarang kepada para pengikutnya untuk bersikap taqlid terhadap beliau dan memberikan wasiat kepada mereka agar meninggalkan pendapatnya bila datang hadits shahih yang menyalahinya. Juga keadaan Imam Ahmad yang pernah mengingkari orang yang telah menulis semua fatwa-fatwanya dan membukukannya seraya berkata: "Jangan kalian taqlid kepadaku dan tidak pula kepada si fulan dan si fulan. Akan tetapi ambillah dari mana mereka telah mengambil."

Andaikan para shahabat radliallahu 'anhum mengetahui bahwa pendapatnya wajib untuk diikuti, niscaya mereka akan mengharamkan kepada shahabatnya sikap menyalahi pendapatnya. Karena mereka mengizinkan para shahabat mereka untuk memberikan fatwa yang berbeda dengan mereka dalam suatu hal dan karena salah seorang di antara mereka pernah mengatakan suatu pendapat, kemudian dia berfatwa dalam hal yang diperselisihkan itu, maka telah diriwayatkan tentang masalah itu dua atau tiga pendapat, bahkan lebih. Oleh sebab itu pendapat ijtihad yang terbaik keadaannya saja yang dibolehkan untuk diikuti, sedangkan hukum yang diturunkan (wahyu Allah) tidak halal bagi seorang muslim untuk menyelisihi dan keluar darinya." (Kitab Ar-Ruuh, hal. 36)

(3)

beliau bagaimanapun keadaan orangnya. Di sini akan dicantumkan sebagian perkataan para imam tersebut.

Adapun perkataan Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit rahimahullah telah diriwayatkan dari beliau oleh para muridnya beberapa perkataan yang beraneka ragam dalam pengungkapannya yang semuanya kembali kepada satu kesimpulan yakni kewajiban untuk mengambil hadits dan meninggalkan taqlid kepada pendapat para Imam yang menyalahi hadits. Beberapa perkataan tersebut antara lain:

1. Jika hadits itu shahih itulah madzhabku.

2. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami sebelum dia mengetahui darimana kami mengambilnya.

3. Bila saya telah berkata dengan suatu pendapat yang telah menyalahi kitab Allah ta'ala dan Sunah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.

Sedangkan Imam Malik rahimahullah telah berkata:

1. Saya ini hanyalah manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku, setiap pendapat yang sesuai dengan kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, maka ambillah dan yang tidak sesuai tinggalkanlah."

2. Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, kecuali pendapatnya boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali Nabi shallallahu `alaihi wa sallam.

3. Ibnu Wahab berkata: "Saya telah mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari-jari kedua kaki dalam wudlu. Maka beliau berpendapat bahwa hal itu tidak wajib atas manusia. Orang itu berkata: 'Lalu saya meninggalkannya sehingga manusia ringan dalam berwudlu'. Maka saya (Ibnu Wahab) berkata kepada beliau: "Menurut kami hal itu adalah sunnah". Beliau bertanya: "Sunnah yang mana?" Saya menjawab: "Telah menceritakan kepada kami Laits bin Sa'ad dan Ibnu Lahi'ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al-Ma'afiry dari Abu Abdurrahman Al-Habali dari Al-Mustaurid bin Syaddad Al-Quraisyi telah berkata: 'Saya telah melihat Rasululullah shallallahu `alaihi wa sallam (berwudlu) dan beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan jari kelingkingnya'. Maka dia berkata: "Hadits ini hasan dan aku tidak mendengar hadits tersebut sama sekali, kecuali hanya saat ini saja." Kemudian saya mendengar beliau (Imam Malik) setelah itu ditanyai, maka beliau memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari kaki.

Imam Syafi'i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih baik perkataannya, di antaranya adalah : 1. Tidak ada seorang pun kecuali (harus) bermadzhab dengan Sunnah Nabi shallallahu `alaihi

wa sallam dan mencukupi diri dengannya. Maka pendapat apapun yang saya katakan lalu saya mendapatkan suatu pendapat yang berdasar hadits dari Rasul shallallahu `alaihi wa sallam yang menyalahi apa yang saya katakan, maka pendapat yang dikatakan oleh Rasul itulah perkataanku.

2. Setiap permasalahan yang terdapat dalil yang shahih dari Rasul shallallahu `alaihi wa sallam menurut para periwayat hadits yang berbeda dengan pendapat saya, maka saya akan meralat kembali pendapatku baik pada waktu aku masih hidup atau sesudah kematianku.

3. Bila hadits itu shahih, maka itulah pendapatku.

4. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan kejelasan baginya tentang Sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat seseorang.

(4)

1. Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula kepada Malik, Syafi;i dan Al-Auza'i, tetapi ambillah darimana mereka mengambil.

2. Pendapat Al-Auza'i, Malik dan Abu Hanifah adalah pendapat yang menurutku sama. Sedangkan hujjah itu hanya ada pada atsar (sumber riwayat).

3. Barangsiapa yang menolak hadits Rasul shallallahu `alaihi wa sallam, maka ia berada di tepi kebinasaan.

Syaikh Al-Albani hafizhahullah berkata: "Itulah perkataan para Imam rahimahumullah dalam memerintahkan untuk berpegang kepada hadits Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan melarang mengikuti mereka tanpa ilmu yang jelas yakni ilmu yang tidak mengundang perdebatan dan pentakwilan. Atas dasar itulah maka barangsiapa berpegang teguh dengan semua yang shahih dari Sunnah meskipun telah menyalahi sebagian pendapat para Imam, tidaklah hal itu menjadikannya menentang madzhab mereka dan keluar dari jalan mereka; bahkan dia telah mengikuti jejak mereka semua dan telah berpegang dengan tali ikatan yang kuat yang tidak dapat terpisahkan. Berbeda dengan keadaan orang yang meninggalkan sunnah yang shahih hanya disebabkan semata-mata menyalahi pendapat mereka. Sikap seperti itu berarti dia telah berbuat kedurhakaan terhadap mereka (para Imam madzhab) dan telah melanggar perkataan mereka yang tersebut di atas. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa': 65)

Dan juga firman-Nya:

"...maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur: 63) (Kitab Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, hal. 19)

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah dalam kitab Al-Jami' bab "Sekitar rusaknya ketaqlidan dan peniadaan sifat itu dan perbedaan antara taqlid dengan ittiba' berkata: "Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman:

"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya." Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (Az-Zukhruf: 24)

Sikap taqlid kepada nenek moyang itulah yang telah menghalangi mereka untuk menerima petunjuk, mereka berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Tentang keadaan mereka ini dan yang sejenisnya, Allah berfirman:

"Sesungguhnya binatang (mahluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun." (Al-Anfal: 22)

Dan firman-Nya lagi:

"(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi penyesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka." (Al-Baqarah: 167)

(5)

"(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya." (Al-Anbiya': 53)

"Dan mereka berkata:"Ya Rabb Kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)." (Al-Ahzab: 67)

Ayat-ayat seperti ini dalam Al-Qur'an banyak sekali yang berisi pencelaan terhadap sikap taqlid kepada nenek moyang dan para pemimpin.

Banyak di kalangan para ulama mengambil hujah dengan ayat- ayat tersebut dalam membatalkan sikap taqlid. Kafirnya mereka (orang yang disebutkan dalam ayat itu) tidak menghalangi mereka (para ulama) untuk berdalil dengan ayat itu, karena penyerupaan itu bukan di antara dua sisi yakni kekafiran dan keimanan 1, akan tetapi di antara kedua sikap taqlid yang sama tanpa ada hujjah. Semua itu adalah bentuk taqlid yang serupa satu dengan yang lainnya, meskipun berbeda dalam dosanya."

Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman:

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (At-Taubah: 115)

Telah sah pemakaian hujjah dengan apa yang telah kami sajikan di atas dalam bab sebelum ini (yang dimaksud oleh Ibnu Abdil Barr adalah bab "Penetapan Diskusi, Saling Argumentasi dan Penegakkan Hujjah") dan sah juga ayat itu dipakai dalam membatalkan ketaqlidan. Maka apabila ketaqlidan itu telah batal dengan semua hal yang telah kami sebutkan alasannya tadi berarti wajib untuk menyerah dan tunduk kepada dasar-dasar pokok yang mestinya yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah atau apa yang terdapat pengertiannya dari kedua pokok itu dengan dalil yang mencakup hal tersebut.

(6)

Boleh jadi orang yang kamu tinggalkan pendapatnya di antara mereka itu lebih utama daripada orang yang telah kamu ambil pendapatnya, bahkan tidak benar pula (diikuti) jika dengan sebab melihat keutamaan orang yang mengatakannya. Akan tetapi yang benar itu hanyalah dengan petunjuk dalil atasnya.'" (Jami'ul Bayan, hal. 383)

Al-'Allamah Ibnul Qayyim berkata: "Akan dikatakan kepada orang yang taqlid: 'Dengan dasar apa engkau mengetahui bahwa yang benar itu ada pada orang yang engkau taqlid kepadanya, bukan kepada orang yang engkau tidak taqlid?' Jika dia berkata: 'Saya mengetahui dengan dalil', berarti dia bukan orang yang taqlid. Jika dia berkata: 'Saya mengetahuinya hanya karena taqlid kepadanya, sebab dia telah memberi fatwa dengan pendapat ini dan dianut, lagi pula dia mengetahui hal itu serta baiknya agama yang dipeganginya dan baiknya pujian umat atas dirinya, maka mustahil dia mengatakan yang tidak benar. Maka katakanlah kepadanya: 'Apakah dia ma'shum (terjaga dari kesalahan) menurut kamu, atau bisa saja dia terkena kesalahan?' Jika dia berkata tentang kema'shuman orang tersebut berarti perkataannya batil dan jika dia menganggap mungkin atas diri orang tersebut kesalahan'. Katakan kepadanya: 'Apa yang meyakinkan dirimu bahwa dia tidak berbuat kesalahan dalam hal yang engkau taqlid kepadanya padahal orang lain telah menyalahinya?' Jika dia berkata: 'Jika dia berbuat kesalahan, maka dia diberi ganjaran.' Maka katakan: 'Ya, memang betul dia diberi ganjaran karena ijtihadnya, sedangkan engkau tidak diberi ganjaran karena engkau tidak membawa hal yang mengharuskan engkau diberi ganjaran. Bahkan engkau telah menyia- nyiakan untuk mengikuti yang wajib, kalau begitu engkau diberi dosa'. Jika dia berkata: 'Bagaimana hal itu dapat terjadi, bahwa Allah memberi ganjaran pada orang yang berfatwa dan memujinya, tetapi dia mencela orang yang meminta fatwa atas pendapatnya. Apakah hal ini bisa dipahami?' Katakan kepadanya: 'Orang yang meminta fatwa jika telah menyepelekan dan menyia-nyiakan untuk mengetahui kebenaran, padahal dia mempunyai kemampuan atas hal itu, niscaya dia terkena ancaman dan celaan. Tetapi jika dia telah berusaha semaksimal mungkin (dalam mengetahui kebenaran) dan tidak menyia-nyiakan terhadap hal yang diperintahkannya dan dia bertaqwa kepada Allah menurut kemampuannya, niscaya dia diberi ganjaran juga.'

Adapun orang yang fanatik adalah orang yang telah menjadikan perkataan orang yang diikutinya itu sebagai tolak ukur atas kitab Allah dan sunnah serta perkataan para shahabat, dia akan mengukurnya dengan pendapat orang yang diikutinya itu, sehingga apa yang sesuai dengan pendapat yang diikutinya, dia akan menerimanya dan apa yang telah menyalahinya, akan dibantahnya. Maka sikap ini termasuk hal yang tercela dan balasan siksa lebih dekat kepadanya daripada ganjaran pahala.

Jika dia berkata -dan ini telah menjadi kenyataan-: 'Saya telah mengikutinya dan taqlid kepadanya dan saya tidak tahu apakah dia di atas kebenaran atau tidak? Sedangkan jaminan itu ditanggung oleh orang yang mengatakannya. Dan saya hanya meriwayatkan beberapa perkataannya.' Katakan kepadanya: 'Apakah engkau mampu menyelesaikan hal ini di hadapan Allah pada saat engkau ditanya tentang hal-hal yang engkau telah menghukumi dengannya terhadap hamba-hamba Allah dan hal yang telah engkau fatwakan? Maka demi Allah, sesungguhnya para hakim dan ahli fatwa itu mempunyai hak untuk menghadapi pertanyaan yang tidak ada yang mampu untuk menyelesaikannya, kecuali orang yang telah mengetahui kebenaran dan menghukumi dengannya. Dan yang telah memahaminya lalu memfatwakannya. Adapun orang yang selain keduanya, maka niscaya dia akan mengetahui ketika tersingkapnya keadaan bahwa dia tidak berada di atas suatu ilmu.'" (I'lamul Muwaqqi'in, juz 2/232)

(7)

fatwanya kembali baik ketika hidup dan meninggalnya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Syafi'i rahimahullah di muka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah membersihkan jiwanya- telah berkata: "Hendaknya diketahui bahwa tidak seorangpun di antara para imam -yang diakui- berbuat kesengajaan dalam menyalahi Nabi shallallahu `alaihi wa sallam tentang hal yang disunnahkannya. Mereka telah menyelidiki dengan tinjauan yang sangat teliti dan detail, karena mereka telah bersepakat dengan sangat meyakinkan atas kewajiban mengikuti Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan bahwa setiap orang dapat diambil pendapatnya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan bila terdapat pada salah seorang di antara mereka suatu pendapat yang menyalahi hadits yang shahih, maka sudah mesti baginya untuk meninggalkan pendapatnya itu (dengan beberapa alasan).

Alasan-alasan tersebut ada tiga macam:

1. Dia tidak yakin bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang mengatakannya. 2. Dia tidak meyakini bahwa maksud dari masalah itu adalah pendapat tersebut.

3. Dia meyakini bahwa hukum itu telah dihapus [mansukh]. (Raf'ul Ma Lam 'Anil Aimmatul 'A'lam, hal. 12)

Sikap yang selamat adalah menyerahkan diri kepada kitab Allah dan sunnah baik lahir atau batin dengan sikap menerima kebenaran dengan dalilnya, bukan dengan mengambil pendapat-pendapat para tokoh dan fanatik terhadap hal-hal yang masih dipertimbangkan oleh akal manusia dan mencampakkan diri dalam arena persepsi manusia yang membingungkan. Terkadang orang berkata: "Sesungguhnya menggugurkan ketaqlidan itu sulit bagi manusia yang tidak mampu untuk memikulnya, karena tidak semua manusia itu berilmu dan tidak semua orang itu mempunyai kemampuan untuk istinbat (mengambil ketentuan hukum syar'i) serta mampu untuk mencari dalil dan menelitinya. Perkara ini -wallahu a'lam- adalah suatu syubhat (hal yang samar dan tidak jelas) yang telah diletakkan oleh setan. Di sini Ibnul Qayyim rahimahullah tergerak untuk menghadapi masalah ini lalu beliau mampu untuk mematahkannya.

Beliau berkata: "Untuk menjawab hal ini ada beberapa alasan:

1. Bahwa termasuk rahmat Allah dan sifat kelembutan-Nya kepada kita adalah Dia tidak memberikan beban kepada kita dengan ketaqlidan. Karena seandainya Dia memberikan beban kepada kita dengan hal itu, niscaya telah hilang urusan kehidupan kita dan segala kemaslahatan kita telah rusak, karena kita tidak mengetahui siapa yang harus kita taqlidi dari kalangan mufti atau ahli fiqh. Padahal jumlah mereka banyak dan tidak ada yang mengetahui jumlah yang sebenarnya kecuali hanya Allah. Sebab kaum muslimin telah memenuhi dunia baik di Barat, Timur atau di Utara dan di Selatan serta Islam telah tersebar -dengan memuji Allah dan karunia-Nya- ke segala penjuru.

Seandainya Allah membebani kita dengan taqlid, niscaya kita jatuh dalam kebinasaan dan kerusakan yang terbesar. Jika Allah telah membebani kita dengan taqlid kepada setiap orang yang berilmu, berarti sungguh Dia telah membebani kita dengan hal yang dihalalkan dan diharamkan-Nya secara bersamaan. Jika Dia membebani kita untuk taqlid kepada orang yang lebih tahu, maka tentunya Allah lebih tahu sedangkan mengetahui apa yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dari beberapa masalah hukum itu lebih mudah daripada mencari orang yang lebih tahu yang telah terkumpul padanya syarat-syarat untuk ditaqlidi. Untuk mengetahuinya adalah suatu hal yang sangat sulit bagi orang yang berilmu dan kuat akan ilmunya. Terlebih lagi bagi seorang yang taqlid yang keadaannya itu seperti orang yang buta.

(8)

sendirinya merupakan suatu hal yang mustahil. Maka sudah semestinya ittiba' itu kepada orang yang telah diperintahkan oleh Allah untuk diikuti perkataannya dan diterima Dien ini di antara kedua bibirnya. Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kepercayaan Allah atas wahyu dan hujah-Nya (untuk) makhluk-Nya serta Allah tidak menjadikan kedudukan ini pada selain beliau sesudahnya selama-lamanya.2. Bahwa mengadakan peninjauan dalil dan menelitinya itu adalah kebaikan dalam semua urusan kehidupannya, bukan akan menghilangkannya dan bahwasanya sikap meremehkan peninjauan dalil dan taqlid kepada orang yang salah atau benar itu justru akan menghilangkan dan merusakkan semua urusan kehidupannya sebagaimana kenyataan yang kita saksikan sekarang ini.

2. Masing-masing di antara kita diperintahkan untuk meyakini Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam hal yang beliau kabarkan dan mentaati beliau dalam hal yang diperintahkan. Hal itu tidak akan terjadi, kecuali setelah memahami perintah dan kabarnya. Tidaklah Allah mewajibkan hal tersebut atas umat- Nya, kecuali karena hal itu merupakan pemeliharaan terhadap agama umat dan urusan dunia serta kebaikan bagi umat dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat. Sebaliknya dengan sebab meremehkan hal yang demikian itu akan berakibat hilangnya kemaslahatan umat dan akan rusak semua urusan kehidupannya. Oleh sebab itu tidaklah kehancuran seseorang, kecuali dengan sebab kejahilan dan tidak ada yang membangkitkannya kecuali dengan ilmu.

Jika ilmu telah nampak dalam suatu negeri atau satu tempat, niscaya akan sedikit kejahatan pada penduduknya. Namun, apabila ilmu itu telah tersembunyi di sana niscaya akan tampak kejahatan dan kerusakan. Barangsiapa tidak memahami hal ini, maka dia termasuk orang yang tidak dijadikan Allah cahaya baginya.

Imam Ahmad berkata: "Seandainya tidak ada ilmu niscaya manusia keadaannya seperti binatang". Juga beliau pernah berkata: "Manusia itu sebenarnya lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman itu dibutuhkan olehnya setiap hari dua kali atau tiga kali, sedangkan ilmu itu dibutuhkan olehnya setiap saat."

3. Wajib atas setiap hamba untuk mengetahui hal yang khusus dari beberapa hukum (yang wajib untuk diketahui) dan tidak wajib atasnya untuk mengetahui hal yang tidak diperlukan untuk memahaminya.

Hal ini tidak akan menghilangkan kemaslahatan manusia dan tidak membatalkan kehidupannya. Sungguh keadaan para shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam radliallahu 'anhum betul- betul menegakkan kemaslahatan kehidupannya, dan membangun ladang-ladang serta mengurus peternakannya, mereka berjalan di muka bumi untuk berdagang dan berjual beli di pasar. Padahal mereka adalah para ulama (orang-orang yang berilmu) yang lebih mendapatkan petunjuk, mereka tidak disusahkan oleh debu dalam berilmu (yakni tidak lemah semangatnya).

4. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, bukan menurut beberapa pertimbangan akal dan bukan hal-hal yang dusta dan direkayasa. Yang demikian itu -dengan memuji Allah- adalah suatu hal yang sangat mudah bagi jiwa untuk memperoleh apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan mampu untuk menjaga dan memahaminya. Ilmu itu adalah kitab Allah yang telah dimudahkan oleh-Nya untuk mengingatnya, sebagaimana Allah telah berfirman:

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran." (Al-Qamar: 22)

(9)

tersebut ada sekitar 500 hadits dan keterangan serta penjelasannya itu sekitar 4000 hadits.' Yang menimbulkan kesulitan dan keberatan itu hanyalah beberapa persepsi yang timbul dari perkiraan akal pikiran dan pandangan yang salah dalam mendudukkan permasalahan serta beberapa masalah cabang syar'i dan pokok-pokoknya yang tidak diturunkan oleh Allah keterangannya, sehingga agama itu semua nilainya menjadi asing dan semakin berkurang penganutnya. Hanya Allahlah yang dimintai pertolongan." (I'lamul Muwaqqi'in, juz 2/256) Oleh karena itu wajib atas setiap muslim untuk mengambil kebenaran dengan dalil serta meninggalkan fanatik dan taqlid sejauh-jauhnya. Kebaikan adalah segala hal yang baik dalam mengikuti sunnah, sedangkan keburukan adalah segala hal buruk yang diada-adakan oleh pengikutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata jumlah akar tunas pisang Kepok pada umur 12 MST pada media kontrol tidak berbeda nyata dengan jumlah akar pada media yang mengandung ancymidol 2

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 149 Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Pasal 72 Peraturan Gubernur Nomor 107 Tahun 2009

Peristiwa kedua adalah opini rakyat Prancis terhadap konstitusi Eropa yang membagi mereka ke dalam 2 (dua) kelompok, seperti terlihat dari hasil referendum tahun

¾ Stratigrafi daerah panas bumi Alor Timur terdiri dari batuan berumur Tersier yang terdiri dari batuan sedimen dan batuan vulkanik yang tidak diketahui sumber erupsinya;

Todani dan kawan – kawan, berdasarkan analisisnya menggunakan endoscopic retrogarde cholangiography (ERCP) dan pemeriksaan dengan kolangiografi lain, menerangkan

Latar belakang : Pada kematian yang sudah lama, perkiraan lokasi kematian menjadi sulit. Salah satu alternatif yaitu dengan pemeriksaan organisme yang berkembang biak pada mayat

 Kepala Kepala Daerah Daerah termasuk termasuk pimpinan pimpinan SKPD SKPD se seharus harusnya nya mempunyai kedua mempunyai kedua bentuk kepemimpinan organisasional

Karakter Religius Anak di TK Nurul Huda Klatakan Tanggul Jember Tahun. Pelajaran