• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

Volume 2 Nomor 1, April 2018

ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

ISSN (Online) : 2581 - 2092

ASOSIASI PENGAJAR HUKUM ADAT

(APHA) INDONESIA

(3)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

JIAL adalah wadah informasi dan komunikasi keilmuan di bidang Hukum Adat yang berisi artikel ilmiah hasil penelitian dan gagasan konseptual dan kajian lain yang berkaitan dengan Ilmu Hukum Adat. Diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, terbit tiga kali dalam satu tahun, April, Agustus dan Desember.

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Vol. 2 No. 1, April 2018 Published by :

Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia

Alamat : Fakultas Hukum Universitas Trisakti Kampus A Gedung H Lantai 6, Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol Jakarta Barat.

Telp. +62 878 8325 6166, +62 813 1667 2509 E-mai : apha.sekretariat@gmail.com

Edited & Distributed by :

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

Alamat Redaksi : Jl. Haji Nawi Raya No. 10 B Jakarta, Indonesia Telp. +62-21-7201478

Website : http://jial.apha.or.id E-mai : jurnaljial.apha@gmail.com

Copyright 2018

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

(4)

Ketua Editor

M.Syamsudin (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Editor Pelaksana

Ni Nyoman Sukerti (Universitas Udayana Denpasar)

Nurul Miqat (Universitas Tadulako Palu)

M.Hazmi Wicaksono (Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

Rosa Widyawan (Lembaga Studi Hukum Indonesia)

Dewan Editor

Jamal Wiwoho (Universitas Sebelas Maret, Surakarta)

Dominikus Rato (Universitas Negeri, Jember)

Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia, Jakarta)

Aminuddin Salle (Universitas Hasanudin, Makasar)

Wayan P. Windia (Universitas Udayana, Bali)

Catharina Dewi Wulansari (Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Jeane Neltje Saly (Universitas Tarumanegara, Jakarta)

Sulastriyono (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Ade Saptomo (Universitas Pancasila, Jakarta)

MG Endang Sumiarni (Universitas Atmajaya, Yogyakarta)

St. Laksanto Utomo (Universitas Sahid Jakarta)

Asisten Editor

Irwan Kusmadi

Nelson Kapoyos

Admin

Arga Mahendra

(5)

Sikap Masyarakat Adat Bali terkait Putusan Pesamuhan Agung

III Majelis Utama Desa Pakraman Propinsi Bali Tahun 2010

(Studi di Kota Denpasar)

Ni Nyoman Sukerti & I G. A. A. Ari Krisnawati

1-15

Peran Serta Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan

Konservasi melalui Pemberdayaan Masyarakat Berbasis pada

Kearifan Lokal (Studi Kasus di Taman Nasional Bali Barat)

Caritas Woro Murdiati Runggandini

16-40

Wakaf Tanah Ulayat sebagai Solusi Peralihan Hak Atas Tanah

Ulayat Secara Permanen di Sumatera Barat

Yulia Mirwati, Yontri Faisal, & Zahara

41-60

Pemaknaan Tanah Eks Swapraja (Kerajaan) sebagai Tanah Adat

di Kota Surakarta

IGA Gangga Santi Dewi

61-82

Peran Tokoh Adat dalam Membantu Penyelesaian Sengketa

Perbatasan Darat antara Indonesia dan Timor Leste di Wilayah

Enclave Oecussi

Dewa Gede Sudika Mangku

83-112

Hakikat dan Eksistensi Peradilan Adat di Sulawesi Selatan

Andika Prawira Buana

113-137

Sistem Perkawinan dan Pewarisan pada Masyarakat Hukum

Adat Rejang Provinsi Bengkulu

(6)

SISTEM PERKAWINAN DAN PEWARISAN PADA

MASYARAKAT HUKUM ADAT REJANG PROVINSI

BENGKULU

Dimas Dwi Arso

Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Jl. WR. Supratman, Kandang Limun, Muara Bangkahulu, Kota Bengkulu

E-mail:

Dimasdwiarso@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem perkawinan dan pewarisan pada masyarakat hukum Adat Rejang Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Dalam penelitian ini akan menggambarkan dan menganalisa mengenai sistem perkawinan dan pewarisan mengenai masyarakat hukum Adat Rejang di Provinsi Bengkulu. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, yang dilakukan dengan cara mengadakan penelusuran studi bahan pustaka baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier guna memperoleh jawaban mengenai perkawinan dan pewarisan pada masyarakat hukum Adat Rejang. Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analisis, dalam penelitian ini analisis kualitatif dilakukan dengan metode berpikir deduktif induktif dan sebaliknya untuk mendeskripsikan mengenai sistem perkawinan dan pewarisan pada masyarakat hukum Adat Rejang di Provinsi Bengkulu. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bagi suku bangsa rejang, upacara perkawinan merupakan tempat untuk menunjukkan kekuatan (baik harta maupun besarnya jumlah keluarga) sekaligus merupakan tanda kesucian. Upacara perkawinan merupakan upacara terakhir yang diselenggarakan oleh orang tua terhadap masing-masing anaknya. Bisa juga dikatakan sebagai upacara “melepaskan hutang” kewajiban orang tua terhadap anak. Dalam sistem perkawinan Adat Rejang, suku Rejang menganut sistem perkawinan eleutherogami. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya keharusan atau larangan seperti sistem perkawinan endogami dan sistem perkawinan eksogami. Masyarakat Adat Rejang memiliki sistem kewarisan mayorat dimana penguasaan tunggal atas harta peninggalan ditangan anak tertua laki-laki. Bila anak tersebut menjual atau menggadaikan harta warisan yang belum dibagi, bukan arena suatu kewenangan yang sah, maka tindakan tersebut bisa dituntut oleh saudara-saudaranya yang lain karena pada prinsipnya setiap indvidu memiliki hak mewaris dari harta orang tuanya. Namun dalam perubahannya saat ini, ada pula dalam pembagian warisan pada masyarakat Adat Rejang dilaksanakan dengan sistem pembagian secara individual, yaitu harta warisan dibagi-bagi pada masing-masing individu sebagai ahli waris dan untuk kemudian hari akan berada pada penguasaan dan pengelolaan masing-masing individu ahli waris.

(7)

- 139 - ABSTRACT

This study aims to find out the marriage and inheritance system in the Rejang Customary Law community of Bengkulu Province. This research is descriptive analysis. In this study will describe and analyze the marriage and inheritance system of the Rejang Customary law community in Bengkulu Province. This study uses a normative approach, which is done by conducting a study of library materials both primary, secondary and tertiary legal materials in order to obtain answers about marriage and inheritance to the Rejang Customary law community. The data obtained in this study analyzed by using qualitative analysis and the output is descriptive analysis data, in this study qualitative analysis was carried out with inductive deductive thinking methods and vice versa to describe the marriage and inheritance system of the Rejang Customary law community in Bengkulu Province. Research results show that for the rejang tribe, the marriage ceremony is a place to show strength (both wealth and the large number of families) as well as a sign of sanctity. The marriage ceremony is the last ceremony held by parents towards each of their children. It could also be said to be a ceremony of "releasing debt" the obligation of parents to children. In the Adjang Indigenous marriage system, the Rejang tribe adheres to the eleutherogami marriage system. This can be seen from the absence of necessities or prohibitions such as the endogamous marriage system and the exogamous marriage system. The Rejang Indigenous Community has a major inheritance system in which sole control over inheritance in the hands of the oldest male child. If the child sells or pawns inheritance that has not been divided, not the arena of a legitimate authority, then the action can be prosecuted by his other brothers because in principle each individual has the right to inherit from the assets of his parents. But in the current changes, there is also a division of inheritance in the Rejang Indigenous people carried out by an individual distribution system, namely inheritance is divided into each individual as heirs and for the future will be in the mastery and management of each individual heir.

Keywords: marriage; Inheritance; Rejang Customary Law Community.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Salah satu hukum adat yang terdapat di Provinsi Bengkulu yaitu Hukum Adat Rejang. Kedudukan hukum Adat Rejang mayoritas terletak di kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Adapun instrumen hukum yang masih dipertahankan oleh masyarakat hukum Adat Rejang yaitu mengenai tata cara perkawinan dan pembagian harta warisan.

Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Pasal 1 undang-undang ini “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

(8)

- 140 -

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.” Dari definisi ini dapat dijelaskan bahwa salah satu asas perkawinan yaitu asas monogami, meskipun asas poligami juga diperbolehkan oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan namun dipersulit dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Perkawinan juga dijelaskan dalam hukum adat, perkawinan merupakan bagian dari kehidupan manusia karena berkaitan dengan perasaan, kesadaran dan pandangan hidup. Perkawinan tidak hanya urusan laki-laki dan perempuan yang ingin membina kehidupan berumah tangga, namun kenyataannya menurut hukum adat perkawinan juga merupakan urusan kedua belah pihak, kerabat, dan juga merupakan urusan masyarakat, bahkan sekarang merupakan urusan negara. (Merry Yono, 2006:48)

Dalam hukum Adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dari pasangan demi pasangan itulah selanjutnya terlahir keturunan yang pada akhirnya mengisi dan mengubah warna kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, bagi masyarakat makna sebuah perkawinan menjadi sangat penting. Misalnya dalam masyarakat jawa. Selain harus jelas bibit, bebet, dan bobot bagi si calon pasangan, berbagai perhitungan ritual lain harus pula diperhitungkan agar perkawinan itu bisa lestari, bahagia dan dimurahkan rejekinya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pada akhirnya melahirkan anak-anak yang cerdas, patuh kepada kedua orangtuanya, serta taat beribadah.

Di dalam bukunya “Redjang” Hazairin mengemukakan bahwa peristiwa perkawinan itu merupakan tiga buah rentetan magis yang bertujuan untuk menjamin ketenangan (“Koelte”), kebahagiaan (“Welvaart”) dan kesuburan (“Vruchbaarheid”). Hal ini berarti bahwa ketika seseorang telah melakukan perkawinan diharapkan dapat memperoleh ketenangan lahir bathin, bahagia dan memperoleh keturunan.

(9)

- 141 -

Indonesia memiliki keanekaragaman dalam sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakatnya. Misalnya sistem kekerabatan patrilineal yang mengutamakan keturunan anak laki-laki, ada juga sistem kekerabatan matrilineal yang mengutamakan keturunan pihak perempuan, dan ada sistem parental atau bilateral yang menyetarakan antara keturunan laki-laki dan anak perempuan. Oleh karena itu hukum kekerabatan dari masing-masing adat memiliki perbedaan tersendiri.

Ketika telah ada ikatan perkawinan, maka pasangan suami istri memiliki harta kekayaan gono gini (harta bersama) dan akan mengakibatkan adanya pembagian harta warisan bagi anggota keluarga apabila ada yang meninggal dunia. Waris menunjukkan orang yang menerima atau mempusakai dari orang yang telah meninggal dunia. Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab terjadinya warisan tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan kepada warisnya (Nurkhadijah, tt: 14).

Hukum waris adat sangat erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakat hukum yang bersangkutan serta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat tersebut (Harijanto Hartiman, 2007: 104). Hukum adat merupakan salah satu sumber yang sangat penting dalam memperoleh bahan-bahan bagi pembentukan hukum nasional menuju ke arah unifikasi hukum, terutama dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan. Untuk itu, pembangunan hukum nasional harus tetap berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, termasuk hukum adat.

Rumusan Masalah

Permasalahan kajian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana sistem perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat hukum Adat Rejang?; (2) Bagaimana sistem pewarisan yang dianut oleh masyarakat hukum Adat Rejang?

(10)

- 142 -

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan kajian ini adalah: (1) Untuk mengetahui sistem perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat hukum Adat Rejang; (2) Untuk mengetahui sistem pewarisan yang dianut oleh masyarakat hukum Adat Rejang. Kegunaan penelitian diharapkan: (1) Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum adat yang berkaitan dengan hukum keluarga dan waris adat terutama yang berkaitan dengan Adat Rejang; (2) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat serta pihak yang berkeinginan untuk mengetahui lebih jelas tentang hukum keluarga dan waris Adat Rejang.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soekanto,1986: 10). Dalam penelitian ini akan menggambarkan dan menganalisa mengenai sistem perkawinan dan pewarisan mengenai masyarakat hukum Adat Rejang di Provinsi Bengkulu.

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, yang di lakukan dengan cara mengadakan penelusuran bahan pustaka baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier guna memperoleh jawaban mengenai perkawinan dan pewarisan pada masyarakat hukum Adat Rejang.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analisis, dalam penelitian ini analisis kualitatif dilakukan dengan metode berpikir deduktif induktif dan sebaliknya untuk mendeskripsikan mengenai sistem perkawinan dan pewarisan pada masyarakat hukum Adat Rejang di Provinsi Bengkulu.

(11)

- 143 -

TINJAUAN PUSTAKA

Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa. Dalam penjelasan Undang-undang ini dijelaskan bahwa Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2 :

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3 :

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam :

Pasal 6 :

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(12)

- 144 -

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7 :

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi

kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

(13)

- 145 -

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.

b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

(14)

- 146 -

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

Perkawinan Menurut Hukum Islam

Mohd. Idris Ramulyo perkawinan menurut bahasa arab ialah nikah, menurut syarat hakekat perkawinan ialah agar antara calon suami dan calon isteri membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri. Nikah menurut bahasa arab berarti suatu aqad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita, sedangkan menurut arti lain bersetubuh, demikian menurut Madzhab Syafii. Sedangkan menurut Madzhab Hanafi nikah menurut arti aslinya ialah bersetubuh (hubungan seksual), sedangkan menurut arti majazi (methaporic) adalah aqad yang dengannya menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan seorang wanita. (Ramulyo, 1996: 1).

Perkawinan adalah suatu aqad atau perikatan yang menghalalkan hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai kebahagiaan hidup yang meliputi rasa tenang dan tentram agar diridhoi oleh Allah SWT. Menurut H. Zainuddin Ali tujuan perkawinan yaitu : (Ali, tt: 34)

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia

b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan. c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.

(15)

- 147 -

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.

Menurut H. Zainudin Ali prinsip-prinsip dalam perkawinan adalah sebagai berikut: (Ali, tt: 34)

a. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

b. Tidak semua wanita dapat dinikahi oleh seorang pria sebab ada ketenuan-ketentuan larangan perkawinan antara pria dam wanita yang harus diindahkan. c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk suatu keluarga/rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.

e. Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut Andri Harijanto Hartiman, adat adalah sebagai berikut: kata adat berasal dari bahasa Arab, diartikan sebagai kebiasaan baik untuk menyebut kebiasaan yang buruk (adat Jahiliah) maupun bagi kebiasaan yang baik (adat Islamiah istilah adat yang berasal dari bahasa Arab ini. diambil alih oleh Bahasa Indonesia dan dianggap sebagai bahasa sendiri, maka pengertian adat dalam bahasa indonesia menjadi berbeda. (Hartiman, 2007: 8)

Menurut Soerojo Wignjodiopoero adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad (Wignjodipoero, 1967:25). Dari pengertian adat diatas dapat dijelaskan bahwa Adat Rejang adalah aturan-aturan

(16)

- 148 -

kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dari masyarakat rejang dengan tujuannya sama-sama mengatur hidup dan kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik.

Dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Pada umumnya, menurut hukum adat di Indonesia perkawinan bukan saja sebagai perikatan perdata melainkan juga perikatan adat sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketanggaan. Menurut Djamanat Samosir, perkawinan bukanlah hanya urusan dari seorang pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan (Samosir, 2013:79). Menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Hilman Hadikusuma bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi (Hadikusuma, 2007:8).

Tolib Setiady menjelaskan bahwa fungsi perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut: “Merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang bersangkutan. Disamping itu, adalanya suatu perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jatuh atau retak, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan, dan masalah perkawinan” (Setiady, 2009: 222)

Pengertian Ganti Tikar Menurut Hukum Adat

Putusnya perkawinan diakibatkan kematian suami atau istri. Jika si isteri wafat, maka si suami yang ditinggalkan diharuskan melakukan kawin ganti istri (Verlog Huwelijk) lagi dengan saudara isterinya. Menurut Tolib Setiady di mana dalam pelaksanannyapun tidak diperlukan lagi adanya pembayaran uang atau barang jujur oleh karena jujur telah diberikan ketika pihak laki-laki mengambil isteri yang telah wafat (Setiady, 2009: 235)

(17)

- 149 -

Perkawinan seperti ini dalam hukum Adat Rejang dikenal dengan perkawinan Ngebalau atau dalam hukum adat dikenal ganti tikar atau yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang berasal dari lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut (Akbar, 2014: 32). Perkawinan Ngebalau merupakan bentuk perkawinan meneruskan, karena suatu perkawinan seorang duda (balu) dengan saudara perempuan mendiang istrinya. Perempuan tersebut meneruskan fungsi istri pertama tanpa suatu pembayaran jujur.

Perkawinan meneruskan (sororat) adalah suatu perkawinan seseorang duda dengan saudara perempuan istrinya. Menurut Merry Yono perempuan tersebut meneruskan fungsi istri pertama tanpa suatu pembayaran jujur. Perkawinan ini disebut kawin turun ranjang atau ngarang wulu (jawa) (Yono, 2006: 53). Perkawinan ganti tikar atau turun ranjang ini dilakukan karena untuk meneruskan fungsi dari istri yang sebelumnya meninggal kemudian diganti oleh saudara perempuannya.

Tinjauan Umum tentang Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat merupakan kesatuan masyarakat yang bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi, dan lain sebagainya), masyarakat lahir dari berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri (Saptomo, 2010: 13).

Masyarakat hukum adat menurut Hazairin dalam Buku Soerjono Soekanto memberi suatu penjelasan mengenai masyarakat hukum adat yaitu: masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Kuriah di Tapanuli, Wanna di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah air bagi semua anggotanya.bentuk hukum kekeluargaan mempunyai sistem pemerintahan terutama berdasarkan atas pertanian, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air ditambang dengan perburuhan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam

(18)

- 150 -

hak dan kewajiban penghidupan mereka sendiri, komunal. Dimana gotong royong, tolong menolong, serasa, semalu dan mempunyai peran besar (Soekanto dan Taneko, 2010: 91).

Tinjauan tentang Hukum Waris Adat

Menurut Hilman Hadikusuma (Putra, 2014: 18) di Indonesia menurut hukum adat sistem pewarisan dibedakan menjadi tiga diantaranya:

1. Sistem Pewarisan Individual

Sistem pewarisan individual diterapkan pada masyarakat bilateral. Ciri-ciri dari sistem pewarisan ini ialah harta warisan dapat dibagikan kepada masing-masing ahli waris. Sebagai ahli waris utama dalam sistem ini ialah anak dan janda. Jika pasangan suami isteri mempunyai keturunan maka pewarisan tidak menjadi persoalan, karena sudah pasti harta warisan itu akan jatuh ke tangan janda untuk menafkahi dirinya dan anak-anaknya, sampai anak-anaknya dewasa atau menikah. Yang menjadi persoalan adalah apabila pasangan suami isteri itu tidak mempunyai keturunan, sedangkan pihak keluarga pewaris menuntut harta warisan tersebut. Apabila terjadi permasalahan seperti itu maka pembagian warisannya adalah sebagai berikut: a. Pada dasarnya harta bawaan kembali pada masing-masing pihak yang

membawanya. Hal itu berarti harta bawaan yang dibawa oleh pewaris akan kembali kepada keluarga pewaris.

b. Harta gono-gini pada prinsipnya merupakan hak bagi janda yang masih hidup. c. Bagian barang-barang yang didapat suami atau istri baik sebagai hibah atau warisan yang didapat selama mereka masih dalam satu perkawinan maka barang itu dapat disamakan dengan harta bawaan masing-masing pihak. d. Jika harta gono-gini belum mencukupi bagi kehidupan sehari-hari maka harta

asal suami dapat digunakan oleh janda sampai meninggal dunia atau sampai janda itu kawin lagi.

2. Sistem Pewaris Kolektif

Sistem pewarisan kolektif diterapkan pada masyarakat matrilineal seperti minangkabau. Harta warisnya disebut harta pusaka, harta tersebut diwariskan kepada

(19)

- 151 -

sekumpulan ahli waris secara bersama-sama, tidak boleh dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris tetapi hanya berhak memakainya. Hal ini disebabkan karena adanya pemikiran bahwa harta yang ditinggalkan itu merupakan harta turun temurun, tidak mungkin dimiliki seorang sehingga menjadi milik bersama.

3. Sistem Pewarisan Mayorat

Sistem pewarisan ini mempunyai ciri-ciri harta warisan secara keseluruhan diserahkan kepada salah satu anak atau ahli warisnya. Misalkan seperti di Bali yang berhak mewarisi hanyalah anak laki-laki yang tertua, sedangkan di Sumatera Selatan yang berhak mewarisi adalah anak perempuan yang tertua.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berlakunya hukum adat perkawinan tergantung pada pola susunan masyarakat adatnya. Oleh karenanya tanpa mengetahui bagaimana susunan masyarakat adat bersangkutan, maka tidak mudah dapat diketahui hukum perkawinannya. Menurut teori telah diketahui ada susunan masyarakat adat yang genealogis patrilinial, genealogis matrilinial, genealogis parental, dan genealogis territorial. Namun demikian tidaklah berarti bahwa ada setiap masyarakat adat yang menganut garis keturunan kebapak-an misalnya akan berlaku hukum adat yang sama, ada kemungkinan bersamaan (Hadikusuma, 1983: 16).

Tata Cara Pelaksanaan Upacara Pernikahan Suku Bangsa Rejang di Kecamatan Uram Jaya Kabupaten Lebong :

1. Asal-Usul

Perkawinan merupakan bagian dari ritual lingkaran hidup di dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang, Suku Bangsa Rejang pada dasamya hanya mengenal bentuk Kawin Jujur. Akan tetapi dalam perkembangan kemudian, muncul pula bentuk Kawin Semendo yang disebabkan karena pengaruh adat Minangkabau dan Islam. Kawin Jujur merupakan bentuk perkawinan eksogami yang dilakukan dengan pembayaran (jujur) dari pihak pria kepada pihak wanita. Kawin jujur merupakan bentuk perkawinan yang menjamin garis keturunan patrilinel. Dengan dibayarkannya sejumlah uang maka pihak wanita dan anak-anaknya nanti melepaskan hak dan

(20)

- 152 -

kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri dan dimasukkan ke dalam kerabat dari pihak suami. Kawin Jujur juga menghariskan pihak perempuan mempunyai kewajiban untuk tinggal ditempat suami, setidak-tidaknya tinggal di keluarga suaminya.

Kawin Semendo adalah bentuk perkawinan tanpa jujur (pembayaran) dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan, suami harus menetap di keluarga pihak isteri dan berkewajiban untuk meneruskan keturunan dari pihak isteri serta melepaskan hak dan kedudakannya di pihak sendiri. Kawin Semendo merupakan bentuk perkawinan yang menjamin garis keturunan matrilinel.

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Dalam adat istiadat perkawinan Suku Bangsa Rejang, bagian paling penting prosesi perkawinan adalah mengikeak dan uleak.Mengikeak artinya melaksanakan kegiatan akad nikah dan uleak artinya upacara perayaan perkawinan. Pelaksanaan mengikeak biasanya dilakukan di rumah pihak yang mengadakan uleak. Pihak yang mengadakan uleak biasanya dari pihak wanita. Sedangkan waktu pelaksanaan mengikeak dan uleak biasanya dilakukan pada hari baik, bulan haik, pada masa lengang atau sehabis musim panen.

3. Tahapan dan Proses Perkawinan

Sebelum membicarakan tahapan dan proses perkawinan, di dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang diatur larangan kawin sesama suku. Pembatasan jodoh menurut ketentuan adat Suku Bangsa Rejang, yaitu sebaik-baiknya perkawinan dilakukan dengan orang lain (mok tun luyen), Pembatasan ini secara tegas memuat larangan untuk kawin dengan orangtua, dengan orang yang saudara dekat, bahkan dengan orang yang senama dengan orang tua dan saudara dekat. Apabila terjadi perkawinan dengan saudara dekat, maka disebut sehagai perkawinan sambang yang dalam istilah Suku Bangsa Rejang discbut dengan komok (memalukan atau mengelikan). Sedangkan kawinan dengan saudara sepupu senenek dan sepoyang (saudara nenek) kika terpaksa dilakukan maka akan dikenakan denda kutai adat (lembaga adat). Denda tersebut berupa uang atau hewan peliharaan yang dalam istilah Suku Bangsa Rejang disebut dengan mecuak kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang

(21)

- 153 -

secara adat adalah perkawinan antara seorang pria atau wanita dengan bekas isteri atau suami dari saudaranya sendiri, apabila saudaranya tersebut masih hidup. Setelah beberapa larangan tersebut dipastikan tidak dilanggar, maka tahap dan prosesi perkawinan adat istiadat Suku Bangsa Rejang dapat dimulai.

Tahapan dan proses perkawinan

Dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang secara umum dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu upacara sebelum perkawinan, upacara pelaksanaan perkawinan, dan upacara sesudah perkawinan. Berikut ini merupakan tahapan dari ketiga proses perkawinan tersebut.

a. Upacara Sebelum Perkawinan

Menurut adat istiadat Suku Bangsa Rejang, upacara sebelum perkawinan terdiri dari 1). Meletak uang.

Meletak uang artinya memberi tanda ikatan.Tujuan dari prosesi ini, pertama, sebagai bukti bahwa ucapan kedua belah pihak mengandung keseriusan dan kesepakatan untuk mewujudkan ikatan perkawinan di antara sepasang bujang gadis. Kedua, bersifat pemagaran bahwa sang bujang dan gadis telah terikat, sehingga tidak ada orang lain yang mengganggumya. Tempat pelaksanaan upacara meletakkan uang biasanya dilakukan di rumah pihak wanita. Waktu pelaksanaan biasanya dilakukan di malam hari dan sering terjadi pada musim senggang sehabis panen.

2). Mengasen.

Mengasen artinya membayar. Tetapi dalam adat istiadat perkawinan diartikan sebagai meminang. Terdapat tiga tahapan dalam mengusen, yaitu semulwokasen, semtoaasen dan jemejai asen.

3). Jemejai atau SemakupAsen.

Ini artinya upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan pembulatan kemufakatan kedua belah pibak. Tujuan upacara ini adalah untuk meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut telah bertunangan dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin) dan

(22)

- 154 -

menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah menikah.

4). Sembeak Sujud.

Ini artinya sembah sujud. Dalam Adat Rejang minta maap sembah sujud ini di artikan sebagai acara untuk dari keluarga mempelai baik yang dari pihak laki laki maupun pihak perempuan

5). Melandai.

Ini artinya bertamu atau bertandang Ini dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri kepada masing-masing kelurga calon mempelai, baik mempelai laki-laki ataupun perempuan.

6).Basen asua basuak

Ini maksudnya adalah untuk musyawarah rapat panitia keluaraga kedua calon mempelai untuk membicarakan masalah resepsi pernikahan. Dalam musyawarah ini untuk menentukan hari dan tanggal perkawinan, acara yang akan diadakan selama resepsi pernikahan.

7) . Basen kutai

Ini maksudnya adalah musyawarah kepada para pemuka adat untuk memberitahukan bahwa akan mengadakan acara perkawinan.

b. Upacara Pelaksanaan Perkawinan

Di dalam adat istiadat perkawinan Suku Bangsa Rejang, upacara pelaksanaan perkawinan dihagi menjadi dua tahap, yaitu mengikeak (artinya melaksanakan kegiatan akad nikah) dan uleak (upacara perayaan perkawinan). Pelaksanaan mengikeak biasanya dilakukan di rumah pihak perempuan. Upacara Uleak dalam bahasa Suku Bangsa Rejang disebut juga dengan alek atau umbung (yang berarti pekerjaan atau kegiatan yang diaturr selama pesta perkawinan berlangsung). Sesuai dengan derajat kemampuan pihak yang melaksanakan alek, dalam Suku Bangsa Rejang dibagi menjadi tiga macam, yaitu alek besar, alek biasa dan alek kecil. Menurut adat istiadat Suku Bangsa Rejang, upacara pelaksanaan perkawinan terdiri dari:

(23)

- 155 -

1) Mdu’o sudur artinya dalah acara untuk meminta izin. Di sini acaranya adalah berdoa meminta izin kepada para arwah poyang, nenek, bapak, ibu, dan orang-orang yang telah mendahului kita.

2) Temje kemujung adalah acara untuk tegak tarub /untuk membangun tempat pelaksanaan selama acara perkawinan berlangsung. Setelah tegak tenda ada yang namanya acara du 'o kemujung ini adalah acara untuk berdoa karena tenda tempat pernikahan telah selesai di buat.

3) Nyebeliak adalah acara memotong hewan seperti sapi, kerbau. kambing, ayam untuk di masak pada acara perkawinan. Acara ini di laksanakan bersamaan dengan hari tegak tenda. Orang yang biasanya memotong hewan adalah imam desa tempat acara berlangsung

4) Mengesok adalah hari masak. Maksudnya adalah hari untuk masak- masak untuk acara pernikahan. Hari ini biasanya ibu-ibu bekerja sama untuk memasak hidangan pada hari pernikahan/ untuk para tamu undangan.

5) Misai penoi ngen menea sukung adalah acara untuk membuat tempat sesaji pada saat acara kutai yaitu acara ritual sebelum akad nikah berlangsung. 6) Demapet bakaea sematen/bakea ngenyam adalah acara hari perkawinan/pada

hari akad nikah yaitu menjemput calon mempelai wanita atau mempelai pria ke kediamannya dengan membawa sesaji yang didalamnya berisi :

a). Uang atau barang-barang yang terbuat dari emas (perhiasan). Uang atau barang dimaksudkan sebagai pelangkah yang diberikan dari pihak pria kepada pihak wanita pada saat prosesi meletak uang. Prosesi ini dilakukan pada upacara scbelum perkawinan. Uang atau barang tersebut diberikan dari pihak pria dengan ditempatkan pada selepeak, tabung yang terbuat dari kuningan atau perak, dan dibungkus dengan kain cualao, kain ikat kepala, dari pihak pria dan ciai, kain yang biasanya berupa kain panjang dari pihak wanita.

b). Sirih dan udut (rokok) lengkap dengan bakul (sirih) dan selpo (rokok). Alat-alat upacara tersebut diperlukan saat terjadi prosesi mengasen, tepatnya

(24)

- 156 -

pada tahapan temotoaasen yang merupakan prosesi upacara sebelum perkawinan.

c). Cakkedik bentuknya berupa bahan atau barang, haik benda mati maupun hidup. Barang-harang tersebut antaralain: selimut (baik untuk calon mempelai wanita maupun ibunya), pakaian untuk calon mempelai wanita, adik atau kakak dari mempelai wanita, keris petik untuk lengea atau dukun sukaunya, cincin,dan sebagainya. Barang-barang tersebut dibawa dalam prosesi mengasen,

d). Canang yang terbuat dari bambu, rotan, dan balet taboa (akar sebangsa tumbuhan yang daunnya berbentuk bulat)

e). Alat-alat tersebut dipergunakan sewaktu prosesi pelaksaraan upacara perkawinan, tepatnya pada prosesi mengikeak. Akan tetapi pada masa sekarang peralatan tersebut mulai digantikan dengan surat kelengkapan administrasi dari KUA dan mas kawin.

f. Peralatan dalam prosesi alek atau uleak yang terdiri dari pengujung (merupakan lambang peralihan) umeaksanin (tempat duduk pengantin) beserta dekorasinya, alat kesenian berupa gong kulintang, rebuna, rebab, dan alat musik lainnya) dan sebagainya.

7) Temu un gung kecitang adalah acara kejai, dalam acara ini disertai dengan tari kejei (tari daerah dari suku rejang).

8) Mengikeak adalah acara akad nikah/ acatra pengucapan janji setia kedua mepelai yang akan menikah, dalam cara adata rejang ada 2 cara akad nikah yaitu: cara adat dan cara agama Islam.

9) Mei Suwei adalah acara suap-suapan antara mempelai laki-laki dan perempuan, juga acara suap-suapan orang tua kepada kedua mempelai kepada anaknya dan menantunya yang telah menikah.

10) Benapa adalah acara penjemputan orang-orang yang tinggal diluar desa tempat pernikahan berlangsung untuk diajak datang ke desa tempat diadakannya acara pesta perkawinan.

(25)

- 157 -

11) Jamau kutai kelmen doa yang dilaksanakan pada malam hari. Yaitu doa bersama seluruh pemuka adat dan seluruh masyarakat baik masyarakat di desa tempat pernikahan berlangsung maupun dari desa tersebut.

12) Gandei sekeluweng yaitu, acara setelah doa bersama seluruh pemukan ada dan seluruh masyarakat, yaitu acara bercerita sampai pagi hari. Yang diceritakan dalam acara ini adalah cerita pengela, andak,ngesiyen, pengaep, tapi sekarang adat ini sudah mulai di tinggalkan, karena waktunya yang terlalu lama yaitu dari malam sampai pagi hari

13) Mateabuiakminryok adalah acara para remaja perempuan dan laki- laki yaitu acara saling mengucapkan permohonan maap dan terima kasih jika selama acara permikahan berlangsung para remaja laki- laki dan perempuan ini banyak melakukan kesalahan dalam mengisi acara pada acara pesta pernikahan. 14) Belmang adalah acara remaja perempuan dan laki-laki untuk masak benik yaitu

makanan khas dari suku Rejang yaitu memasak beras ketan yang dimasukkan dalam bambu kemudian dipanggang. Acara ini melambangkan kebersaman antar para remaja yang telah ikut menyukseskan acara pemikahan temannya yang telah menikah. Dengan kata lain acara belmang ini adalah acara makan bersama.

15) Mpas sot mpas sangai yaitu acara untuk memberitałhukan kepada arwah nenek moyang dan kepada seluruh masyarakat yang ada diseluruh desa maupun yang dari luar desa bahwa acara pesta pernikahan telah selesai dilaksanakan, Orang yang memimpin acara ini adalah orang pintar atau dukun.

16) Kem 'ok kemujung adalah acara perombakan tenda tempat acara perkawinan berlangsung. Acara ini dilanjutkan denagan makan bersama. Itulah acara-acara yang dilaksanakan selama proses perkawinan suku rejang di Kecamatan Uram Jaya Kabupaten Lebong.

c. Upacara Sesudah Perkawinan

Secara umum, upacara sesudah perkawinan dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang dimaksudkan sebagai ucapan rasa syukur dan terimakasih kepada berbagai pihak

(26)

- 158 -

yang telah membantu dalam pelaksanaan prosesi perkawinan. Adapun yang termasuk ke dalam upacara sesudah perkawinan meliputi: mengembalikan alat-alat yang dipinjam, pengantin mandi-mandian, doa syukuran, serta cemucu bi oa (menyiram kuburan) dan me lau dai (berkunjung).

Bagi suku bangsa rejang, upacara perkawinan merupakan tempat untuk menunjukkan kekuatan (baik harta maupun besarnya jumlah keluarga) sekaligus merupakan tanda kesucian. Upacara perkawinan merupakan upacara terakhir yang diselenggarakan oleh orang tua terhadap masing-masing anaknya. Bisa juga dikatakan sebagai upacara “melepaskan hutang” kewajiban orang tua terhadap anak. Setiap keluarga berusaha untuk membuat acara perkawinan semeriah mungkin. Siang-malam para anggota keluarga menyiapkan pesta. Tidak jarang disini timbul hutang dalam upaya membuat pesta yang meriah. Akan tetapi, kebiasaan ini sudah lumrah terjadi di dalam budaya rejang. Bagi suku bangsa Rejang, perkawinan tanpa upacara yang meriah dikatakan mengekeak de men yang berarti bujang gadis yang dikawinkan tersebut keca peak (sudah cacat dan tidak suci lagi). Karena hal tersebut, bagi suku bangsa Rejang, perkawinan merupakan peristiwa yang bersejarah, tempat menilai kesucian anak yang menyangkut martabat keluarga besar. Dalam hukum perkawinan adat dikenal adanya tiga sistem perkawinan, menurut Merry Yono yaitu: a. Sistem perkawinan endogami yaitu : perkawinan yang hanya dilakukan di

dalam lingkungan clan atau kerabat sendiri.

b. Sistem perkawinan eksogami, yaitu : perkawinan yang dilaksanakan dengan pihak di luar kerabat, dan justru dilarang melakukan perkawinan dalam satu kerabat.

c. Sistem perkawinan eleutherogami, yaitu pada sistem ini tidak ada keharusan atau larangan seperti sistem diatas, sehingga perkawinan dapat dilakukan dalam kelompok k kerabat maupun kelompok kerabatnya. Yan g dilarang adalah perkawinan yang masih terdapat hubungan darah maupun hubungan semenda. Sistem ini merata di Indonesia karena itu dianut dalam sistem perkawinan menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(27)

- 159 -

Dari penjelasan sistem perkawinan diatas dalam perkawinan Adat Rejang tidak ada keharusan atau larangan seperti sistem perkawinan endogami dan sistem perkawinan eksogami. Jadi di dalam Adat Rejang menganut sistem perkawinan eleutherogami.

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterial goederen) dari suatu generasi manusia kepada keturunannya. Proses tersebut mulai pada waktu orang tuapada turunannya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Adat Rejang ini memiliki sistem kewarisan mayorat dimana penguasaan tunggal atas harta peninggalan ditangan anak tertua laki-laki. Bila anak tersebut menjual atau menggadaikan harta warisan yang belum dibagi, bukan arena suiatu kewenangan yang sah, maka tindakan tersebut bisa dituntut oleh saudara-saudaranya yang lain karena pada prinsipnya setiap indvidu memiliki hak mewaris dari harta orang tuanya. (Martin Satrya, 2014:62)

Namun dalam perubahannya saat ini, ada pula dalam pembagian warisan pada masyarakat Adat Rejang dilaksanakan dengan sistem pembagian secara individual, yaitu harta warisan dibagi-bagi pada masing-masing individu sebagai ahli waris dan untuk kemudian hari akan berada pada penguasaan dan pengeloloaan masing-masing individu ahli waris.

Faktor penyebab perlu dilaksanakannya pembagian warisan secara individual adalah dikarenakan tidak ada lagi yang berhasrat memimpin penguasaan atau pemilikan harta warisan secara bersama, disebabkan para waris tidak terikat lagi pada satu rumah kerabat atau rumah orang tua dan lapangan kehidupan masing-masing anggota waris telah tersebar tempat kediamannya.

Namun pergesaran nilai-nilai pada harta peninggalan tersebut tidak diikuti oleh adanya pergeseran adat masyarakat Rejang yang masih dipegang teguh, yaitu dari segi pola kebudayaan masyarakat adat berupa pola sikap, pola perilaku, dan cara berpikir kritis). Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut tidak langsung menghapus tradisi adat yang ada dan menggantikan suatu tradisi yang baru tetapi sedikit demi sedikit mengikis keberadaan tradisi adat yang lama.

(28)

- 160 -

Menurut Adat Rejang, janda bukanlah ahli waris, mereka hanya dapat menikmati hasil dari pemanfaatan tanaman dan tumbuhan di tanah yang dikuasai oleh anak laki-laki tertua. Akan tetapi, pada saat ini janda diberikan bagian dari harta warisan karena berdasarkan rasa keadilan dan kemanusiaan karena apabila janda tidak mendapatkan bagian dikhawatirkan akan dapat menyulitkan kehidupan janda tersebut nantinya, sedangkan anak angkat dalam Adat Rejang merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah. Namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta pencarian/harta bersama orang tua angkatnya, sedangkan untuk harta pusaka tidak berhak.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Bagi suku bangsa rejang, upacara perkawinan merupakan tempat untuk menunjukkan kekuatan (baik harta maupun besarnya jumlah keluarga) sekaligus merupakan tanda kesucian. Upacara perkawinan merupakan upacara terakhir yang diselenggarakan oleh orang tua terhadap masing-masing anaknya. Bisa juga dikatakan sebagai upacara “melepaskan hutang” kewajiban orang tua terhadap anak. Dalam sistem perkawinan Adat Rejang, suku Rejang menganut sistem perkawinan eleutherogami. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya keharusan atau larangan seperti sistem perkawinan endogami dan sistem perkawinan eksogami.

Masyarakat Adat Rejang memiliki sistem kewarisan mayorat dimana penguasaan tunggal atas harta peninggalan ditangan anak tertua laki-laki. Bila anak tersebut menjual atau menggadaikan harta warisan yang belum dibagi, bukan karena suatu kewenangan yang sah, maka tindakan tersebut bisa dituntut oleh saudara-saudaranya yang lain karena pada prinsipnya setiap indvidu memiliki hak mewaris dari harta orang tuanya. Namun dalam perubahannya saat ini, ada pula dalam pembagian warisan pada masyarakat Adat Rejang dilaksanakan dengan sistem pembagian secara individual, yaitu harta warisan dibagi-bagi pada masing-masing individu sebagai ahli waris dan untuk kemudian hari akan berada pada penguasaan dan pengeloloaan masing-masing individu ahli waris.

(29)

- 161 -

Saran

Bagi masyarakat hukum Adat Rejang sebaiknya apabila melakukan perkawinan yang terpenting adalah syarat sahnya perkawinan terpenuhi dan dicatat oleh pegawai KUA. Oleh karena itu apabila tidak mampu untuk melaksanakan pesta perkawinan secara meriah hal ini tidaklah mengakibatkan perkawinan itu menjadi tidak sah. Hendaknya masyarakat hukum Adat Rejang tetap menjaga adat istiadat aslinya daerahnya, meskipun perubahan masyarakat modern dapat mempengaruhi cara berfikir dan bertindak sesuai dengan adat istiadat.

DAFTAR ACUAN

Ade Saptomo, (2010), Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Grasindo, Jakarta.

Andri Harijanto Hartiman, dkk, (2007), Bahan Ajar Hukum Adat, Fakultas Hukum UNIB, Bengkulu.

Boby Ardiansyah Putra, (2014), Kedudukan Isteri Terhadap Harta Peninggalan Suami Menurut Hukum Adat Jawa di Desa Margo Mulyo Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah, Skripsi, Fakultas Hukum UNIB. Djamanat Samosir, (2013), Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika

perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.

H. Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. Hilman Hadikusuma, (2007), Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju,

Bandung.

Hilman Hadikusuma, (1983), Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung. Hiksyani Nurkhadijah, Sistem Pembagian Warisan Pada Masyarakat Ammatowa

di Kabupaten Bulukkumba, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Hasanudin. Merry Yono, (2006), Ikhtisar Hukum Adat, Universitas Bengkulu.

Mohd. Idris Ramulyo, (1996), Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. M.R Hasan Akbar, (2014), Pelaksanaan Perkawinan Ngebalau dalam Hukum Adat

Rejang di Kecamatan Uram Jaya Kabupaten Lebong, Skripsi, FH Unib. Soerjono Soekanto dan Soleman B, (2010), Hukum Adat Indonesia,Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto, (1986), Pengantar Penelitian Hukum, Depok, UI Press. Soerojo Wignjodipoero, (1967), Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Alumni,

Bandung.

(30)

- 162 -

BIODATA PENULIS

Dimas Dwi Arso, lahir di Bengkulu pada tanggal 25 Mei tahun 1991 adalah dosen di Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu mengampu mata kuliah Hukum Adat dan Hukum Perjanjian. Penulis menyelesaikan Pendidikan S1 di Fakultas HukumUniversitas Bengkulu tahun 2013 dengan predikat “Cumlaude”. Kemudian melanjutkan studinya di Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada dan selesai pada tahun 2016 dengan predikat “Sangat Memuaskan”. Penulis memulai karier sebagai dosen pada Januari 2017. Adapun penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis diantaranya, berjudul “Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Menanggulangi Investasi Fiktif di Kota Bengkulu padaTahun 2017”. Kemudian di tahun yang sama melaksanakan penelitian yang berjudul “Penguatan Kerangka Regulasi yang Responsif Terhadap Anak sebagai Upaya Mewujudkan Kota Bengkulu Layak Anak” dan “Eksplorasi Pengetahuan Obat Tradisional dalam Perspektif Hukum Kekayaan Intelektual di Bengkulu”.

(31)
(32)

Referensi

Dokumen terkait

PT JAKARTA INTERNATIONAL HOTELS & DEVELOPMENT Tbk DAN ENTITAS ANAK Catatan atas Laporan Keuangan Konsolidasian Untuk Tahun-tahun yang Berakhir. 31 Desember 2014

Uraian ini menjadi suatu penilaian bagi suatu organisasi dalam menunjukkan kualitas layanan kepada setiap orang yang diberi pelayanan sesuai dengan bentuk-bentuk kepuasan

1) Hasil pemetaan menunjukkan sebaran kepadatan tanah kurang baik pada wilayah Kabupaten Sukoharjo bagian tengah, sementara untuk daerah pinggiran menunnjukkan

Perumusan Model Upaya Mengatasi Masalah Keamanan Pangan Berdasarkan risiko ketidakamanan pangan dari semua sekolah, upaya alternatif yang dapat dilakukan adalah

Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hudup Pasal 1 Ayat (2) pengertian AMDAL adalah kajian mengenai dampak

Faktor yang sangat penting untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi adalah pelaksanaan disiplin kerja dari para karyawan, karena hal tersebut merupakan salah

No No Peserta Nama Kandidat Pendidikan Tanggal Tempat Waktu 80 SKD032018080 David Dwiadiputra Hartanto Dokter Umum 26/03/2018 Dinkes DKI Blok C lt... Membawa alat tulis lengkap

Undang-undang No.28 tahun 2014 Tentang Hak Cipta mengatur mengenai upaya penyelesaian apabila terjadi sengketa antara pemotret dengan orang yang dipotret. Ketentuan