• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF SUMBER TERBUNGKUS BERDASARKAN REKOMENDASI BADAN TENAGA ATOM INTERNASIONAL (IAEA)**)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF SUMBER TERBUNGKUS BERDASARKAN REKOMENDASI BADAN TENAGA ATOM INTERNASIONAL (IAEA)**)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

*) Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif - BAPETEN

**) International Atomic Energy Agency

37

KAJIAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

SUMBER TERBUNGKUS BERDASARKAN REKOMENDASI

BADAN TENAGA ATOM INTERNASIONAL (IAEA)

**)

Togap Marpaung, PGD*)

ABSTRAK

KAJIAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF SUMBER TERBUNGKUS BERDASARKAN REKOMENDASI IAEA. Pada umumnya, suatu buatan manusia yang meskipun berbasis teknologi canggih pada suatu siklus tertentu dapat tidak berguna lagi. Dalam konteks pemanfaatan tenaga nuklir secara umum diartikan sesuatu yang tidak bermanfaat lagi akan menjadi “limbah”. Pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya sumber terbungkus (sealed source) yang pada suatu siklus tertentu akan menjadi limbah radioaktif sumber terbungkus (LRST). IAEA merekomendasikan kepada setiap negara anggota agar mengharmonisasi peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan limbah radioaktif. LRST berasal dari pemanfaatan tenaga nuklir di bidang medik, industi dan penelitian, yang dalam konteks pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir, lazim disebut fasilitas radiasi dan zat radioaktif (FRZR). Pemanfaatan sumber terbungkus di Indonesia sangat besar.Izin yang sudah diterbitkan oleh BAPETEN untuk pemanfaatan sumber radioaktif terbungkus per tanggal 10 Juni 2009, ada 76 izin untuk bidang radioterapi (medik), 3.750 izin untuk di bidang industri, dan 36 izin di bidang penelitian. Untuk mengendalikan bahaya radiologik dan non-radiologik yang terkandung dalam limbah radioaktif, ada 9 (sembilan) prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif yang harus dipertimbangkan secara terintegrasi. Dalam rangka perubahan Peraturan Pemerintah No.27 tahun 2002 tentang Pengelolaan limbah radioaktif, konsep klasifikasi limbah radioaktif yang baru dan tahapan pengelolaan limbah radioaktif telah dipelajari, kedua poin utama tersebut masih sesuai dengan amanat Undang-undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan rekomendasi IAEA. Kata kunci: klasifikasi, limbah radioaktif, pengelolaan limbah, sumber terbungkus.

ABSTRACT

STUDY ON “RADIOACTIVE SEALED SOURCE – WASTE” MANAGEMENT BASED ON IAEA RECOMMENDATIONS. In general, a man-made though based on advanced technology, in a particular cycle will not be useful anymore. In the context of utilization of nuclear energy, in general speaking, something will not be usefuland finally it wll be a "waste". Utilization of nuclear energy, especially sealed source, which in a particular cycle will be “radioactive sealed source – waste”. IAEA recommends that each member state should harmonize their regulations related to radioactive waste management. “Radioactive sealed source – waste generates from the use of nuclear in the field of medical, industrial and research, which in the context of regulating the utilization of nuclear energy, commonly called radiation facilities and radioactive substances. Utilization of sealed source in Indonesia is very large. Licenses that already have been published by BAPETEN to utilization of sealed source as of June 10, 2009, there are 76 licenses for radiotherapy (medical), 3,750 licenses for the industry, and 36 licenses for research facilities.In order to control radiological and non-radiological hazards which are contained in radioactive waste, there are 9 (nine) the basic principles of management of radioactive waste that must be considered in an integrated manner. In order to revision the Government Regulation No.27 Year 2002 on Management of Radioactive Waste, concept for a new classification of radioactive waste and radioactive waste management steps already studied, those the main point are still in line with the mandate of the Act No.10 Year 1997 on Nuclear Energy and the IAEA recommendations.

(2)

38

PENDAHULUAN

Pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) bidang utama terdiri dari: instalasi dan bahan nuklir (IBN), dan FRZR. Pada umumnya, suatu buatan manusia yang meskipun berbasis teknologi canggih pada suatu siklus tertentu dapat tidak berguna lagi, dalam konteks pemanfaataan tenaga nuklir ini yang pada awalnya “bermanfaat” maka suatu ketika menjadi “tidak bermanfaat” lagi, secara umum diartikan sesuatu yang tidak bermanfaat lagi akan menjadi “limbah”. Pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya sumber terbungkus yang pada suatu siklus tertentu akan menjadi LRST. Sebelum menjadi rezim “limbah” maka sumber radioaktif dikategorikan menjadi “baklim” (bakal limbah) berupa spent sealed source atau disused sealed source.

Perkembangan penggunaan sumber radioaktif terbungkus yang semakin luas dan bervariasi menyebabkan LRST yang dihasilkan oleh pihak pengguna di bidang medik, industri dan penelitian juga semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kompleksitasnya. Sumber radioaktif terbungkus mempunyai range aktivitas yang luas bergantung pada jenis penggunaannya, misalnya untuk sumber kalibrasi, mulai dari beberapa microcurie (µCi) atau megabecquerel (MBq), dan untuk sumber teleterapi sekitar ribuan curie (kCi) atau sekitar ratusan terabecquerel (TBq).

Sehubungan dengan masalah pengelolaan limbah radioaktif yang semakin pelik tersebut maka IAEA merekomendasikan kepada setiap negara anggota agar mengharmonisasi peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan limbah radioaktif. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara anggota IAEA, merencanakan akan mengharmonisasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. Kegiatan pada tahun 2009 diawali dengan penyusunan konsepsi dan tahun 2010 ini dilanjutkan dengan penyusunan draf rancangan dalam bentuk pasal.

Lingkup pembahasan makalah ini adalah pengelolaan LRST berbasis pada prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif sesuai rekomendasi IAEA Safety Standards,

Classification of Radioactive Waste, No. GSG-1, tahun 2009 tetapi tetap secara substansi konsisten dengan UU No. 10 Tahun

1997 mengenai pengertian pengelolaan limbah radioaktif, metode klasifikasi hingga kriteria pembuangan (disposal) serta menguraikan prinsip ke-7 pengelolaan LRST.

PENGHASIL LRST

Pemanfaatan tenaga nuklir dalam FRZR tidak hanya menggunakan sumber radioaktif tetapi juga dengan pembangkit radiasi pengion (pesawat sinar-X dan pemercepat elektron-Linac). Sumber radioaktif terdiri dari sumber terbungkus dan sumber terbuka.

LRST dari Penggunaan Medik

LRST dari penggunaan medik berasal dari fasilitas radioterapi yang menggunakan peralatan Brakiterapi dan Teleterapi untuk pengobatan kanker (treatment for cancer).

Brakiterapi Manual

Terapi untuk kanker cervix yang dilakukan secara manual adalah brakiterapi pertama kali sekitar tahun 1900 (seribu sembilan ratus), yang tidak berapa lama setelah radium ditemukan oleh Marie dan Pierre Curie pada tahun 1898. Pengertian ”braki” adalah jarak sangat dekat. Pada awalnya ada juga Brakiterapi manual digunakan di Indonesia, namun sejak beberapa tahun yang lalu penggunaannya sudah tidak ada lagi dan semua limbahnya disimpan di Fasilitas Pengelolaan Limbah Radioaktif, BATAN, di Serpong, Propinsi Banten. Alasan tidak digunakannya lagi sumber radioaktif tersebut terutama faktor keselamatan (safety), khusus untuk sumber radioaktif radium-226, ada faktor lain, yaitu biaya (cost) yang sangat mahal dalam pengelolaan limbahnya. Di negara lain, seperti China penggunaan Brakiterapi manual ini masih cukup handal terutama dengan sumber radioaktif I-125. Penggunaan sumber radioaktif terbungkus untuk tujuan brakiterapi ini juga diawasi oleh BAPETEN, meliputi peraturan, perizinan dan inspeksi.

Brakiterapi – Remote Afterloading

Peralatan brakiterapi yang sudah modern (bukan manual) adalah lazim disebut

Remote afterloading, merupakan teknik brakiterapi yang dilengkapi dengan sistem remote untuk mendorong sumber keluar dari wadahnya melalui kateter atau wire hingga sumber masuk ke aplikator tepat berada di dalam organ tubuh pasien yang disinari. Setelah waktu penyinaran selesai, sumber ditarik kembali masuk ke wadahnya secara elektromekanik dengan kendali komputer.

(3)

39

Sumber Ir-192 merupakan sumber tunggal, sedangkan sumber Cs-137 dan Co-60 merupakan sumber yang banyak (multi

sources). Berdasarkan data di Direktorat Perizinan FRZR-BAPETEN Mei 2010, jumlah rumah sakit yang memiliki remote

afterloading sebanyak 9 instansi, dan jumlah teleterapi sebanyak 12 unit.

Teleterapi

Peralatan radioterapi jenis ini lazim juga disebut Telegamma karena sumber radioaktif yang digunakan adalah pemancar radiasi gamma dan pengertian ”tele” adalah jarak yang relatif panjang, terutama jika dibandingkan dengan pengertian Brakiterapi.

Salah satu ciri LRST adalah zat radioaktif volume kecil berbentuk padat yang

terbungkus secara permanen dalam kapsul yang terikat kuat (encapsulated), terbuat dari material densitas tinggi, seperti: logam baja tahan karat, timah hitam dan/atau depleted

uranium. Sumber radioaktif dan pembungkus mempunyai batas yang jelas, dan pembungkus berguna sebagai perisai (shielding). Untuk itu parameter kandungan aktivitas yang sesuai adalah aktivitas total. Sebagai contoh, LRST dari penggunaan teleterapi, sumber berbentuk kapsul tersebut berada di dalam wadah sumber (“source

head”) yang terbuat dari uranium susut kadar (“depleted uranium”) yang bagian dalamnya diberi timah hitam, sebagaimana dalam Gambar 1.

Tabel 1. Sumber Radioaktif untuk Remote Afterloading

Radio-isotop Cs-137 Co-60 Ir-192

Waktu paro (T1/2) 30 tahun 5,4 tahun 74 hari Energi (MeV) 0,66 1,17 1,33 0,136 1,062

Jenis radiasi Gamma Gamma Gamma Aktivitas efektif

(mCi) 1,5 - 60 6 - 14 10 -12 Waktu efektif 15 - 30 tahun 5 - 10 tahun 3 - 4 bulan

Tabel 2. Sumber Radioaktif untuk Teleterapi No Radio-isotop Waktu Paro

(T1/2)

Energi (MeV)

Jenis Radiasi Aktivitas (Ci)

1 Cs-137 30 tahun 0,66 Gamma 1.500 – 2.500 2 Co-60 5, 4 tahun 1,17 & 1,33 Gamma 2.500 – 12.500

(4)

40

Gambar 2. Kapsul Berisi Zat Radioaktif

(Sumber Radioaktif/Sumber Terbungkus) Radionuklida berada di dalam kapsul dengan

diameter 2 cm, yang terbuat dari dua lapis baja tahan karat dan dilas dengan memenuhi standar pengujian tertentu sehingga potensi zat radioaktif bocor tidak mungkin, sebagaimana dalam Gambar 2. Total izin yang sudah diterbitkan BAPETEN untuk pemanfaatan sumber radioaktif terbungkus untuk bidang radioterapi (medik) per 10 Juni 2009 sekitar 76 izin.

LRST dari Penggunaan Industri

Penggunaan sumber radioaktif terbungkus dalam bidang industri sungguh sangat luas meliputi bidang jasa, kendali proses hingga kendali mutu produk dan lebih unggul jika dibandingkan dengan teknik konvensional. Penggunaan teknik nuklir dalam bidang industri meliputi: iradiator, radiografi industri, gauging, logging, perunut, fluoroskopi bagasi, fotofluorografi, dan sebagai barang konsumen. Total izin yang sudah diterbitkan BAPETEN untuk pemanfaatan sumber radioaktif terbungkus untuk bidang industri per 10 Juni 2009 sekitar 3.750 izin.

LRST dari Penggunaan Penelitian

Penggunaan sumber radioaktif terbungkus selain digunakan di bidang medik dan industri juga digunakan di bidang penelitian. Pengertian penelitian ini adalah penggunaan untuk tujuan bukan komersil dimana sumber radioaktif terbungkus untuk penelitian dan pengembangan (litbang), seperti di universitas dan instansi yang paling banyak menggunakan sumber radioaktif terbungkus dalam rangka litbang adalah BATAN. Pada umumnya, sumber terbungkus yang digunakan untuk tujuan litbang adalah yang radioaktivitasnya kecil, namun demikian ada juga milik BATAN, yaitu fasilitas kalibrasi, dan fasilitas iradiasi gamma dengan sumber radioaktif terbungkus cobalt (Co-60) dengan aktivitas yang tinggi.

Total izin yang sudah diterbitkan BAPETEN untuk pemanfaatan sumber radioaktif terbungkus untuk bidang penelitian per 10 Juni 2009 sekitar 36 izin.

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN

LIMBAH RADIOAKTIF

Oleh IAEA dalam sejumlah publikasinya menjelaskan bahwa kegiatan pengelolaan limbah radioaktif merupakan paparan terhadap anggota masyarakat (public

exposure) sama dengan kegiatan pengangkutan zat radioaktif. Untuk mengendalikan bahaya radiologik dan non-radiologik yang terkandung dalam limbah radioaktif, ada 9 (sembilan) prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif yang harus dipertimbangkan secara terintegrasi, meliputi:

1. Proteksi Kesehatan Manusia

Limbah harus dikelola sedemikian rupa untuk menjamin tingkat proteksi yang dapat diterima bagi kesehatan manusia.

2. Perlindungan Lingkungan Hidup

Limbah harus dikelola sedemikian rupa sehingga memberikan tingkat perlindungan yang dapat diterima bagi lingkungan hidup.

3. Proteksi Melampaui Batas Nasional

Limbah harus dikelola sedemikian rupa untuk memastikan bahwa pertimbangan telah dilakukan terhadap kemungkinan dampak yang diterima oleh kesehatan manusia dan lingkungan, yang melampaui batas nasional.

4. Proteksi untuk Generasi Mendatang

Limbah harus dikelola sedemikian rupa sehingga dampak yang diperkirakan untuk generasi mendatang tingkatnya tidak lebih besar dari dampak yang dapat diterima generasi saat ini.

(5)

41 5. Beban Generasi Mendatang

Limbah harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menjadi beban yang tidak semestinya bagi generasi mendatang.

6. Kerangka Hukum Nasional

Limbah harus dikelola dalam kerangka hukum yang tepat meliputi pembagian tanggung jawab dan ketentuan yang jelas untuk terwujudnya fungsi pengawasan yang mandiri.

7. Pengendalian Timbulnya Limbah Radioaktif

Timbulnya Limbah harus diupayakan seminimal mungkin yang dapat dicapai.

8. Saling Ketergantungan dalam Penimbulan dan Pengelolaan Limbah Radioaktif

Saling ketergantungan antar seluruh tahapan dalam penimbulan dan pengelolaan limbah harus diperhitungkan secara tepat

9. Keselamatan Fasilitas

Keselamatan fasilitas untuk pengelolaan limbah harus dijamin sesuai ketentuan selama umur fasilitas tersebut.

Prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif ini berlaku juga untuk LRST sebab LRST merupakan salah satu jenis dari unsur limbah radioaktif itu sendiri, sebagaimana diuraikan dalam ketentuan umum UU No.10 Tahun 1997. Limbah Radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir yang tidak dapat digunakan lagi.

Pengertian Pengelolaan limbah radioaktif yang ditetapkan dalam UU No. 10 Tahun 1997 secara substansi adalah sama dengan yang direkomendasikan oleh IAEA (yang akan diatur dalam amendemen PP No. 27 Tahun 2002), sebagaimana dalam Tabel 3 pada akhir makalah ini. Agar keseluruhan prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif ini dapat diterapkan secara konsisten sesuai ketentuan untuk semua tahap kegiatan, (dimulai dari pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan dan/atau pembuangan) maka limbah radioaktif harus diklasifikasi dengan suatu metode.

Tabel 3. Pengertian Pengelolaan Limbah Radioaktif berdasarkan UU No.10/1997 dan Referensi

IAEA No. UU No. 10/ 2007 Referensi IAEA

Garis besar Uraian 1. Pengumpulan Pra Pengolahan

Pretreatment)

1. Pengumpulan (collection) 2. Pemisahan (segregation) 2. Pengolahan Pengolahan (treatment) 1. Reduksi volume (volume

reduction)

2. Penyesuaian kimia (chemical adjustment)

3. Dekontaminasi (Decontamination) 4. activity removal

5. Pengubahan komposisi (change of composition)

Kondisioning (conditioning)

1. Imobilisasi (immobilization) 2. Pembungkusan (packanging) 3. Pembungkusan luar (overpack) 3. Pengangkutan - -

4. Penyimpanan Penyimpanan (Storage) 5. Pembuangan Pembuangan (Disposal) 6. Pengangkutan

7. Dekomisioning

(6)

42

Klasifikasi Limbah Radioaktif

Pengklasifikasian limbah radioaktif dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain asalkan berbasis pada prinsip dasar pengelolaan limbah tersebut. Dalam UU No. 10 Tahun 1997 ditetapkan bahwa klasifikasi limbah radioaktif dibagi atas 3 (tiga) jenis, meliputi:

1.

Limbah Tingkat Rendah (Low Level

Waste - LLW);

2.

Limbah Tingkat Sedang (Intermediate

Level Waste - ILW); dan

3.

Limbah Tingkat Tinggi (High Level

Waste - HLW)

Ketiga jenis klasifikasi limbah ini sudah mencakup keseluruhan spektrum limbah pada umumnya, termasuk LRST hingga pembuangan (disposal). Agar harmonis dengan rekomendasi IAEA dan selaras dengan prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif maka terjadi perubahan pengklasifikasian hanya untuk Limbah Tingkat Rendah yang dibagi lagi menjadi 3 (tiga) tingkat, terdiri dari:

a. Limbah Umur Sangat Pendek (very

short lived waste - VSLW);

b. Limbah Tingkat Sangat Rendah (very

low level waste - VLLW); dan

c. Limbah Tingkat Relatif Rendah (relative low level waste - RLLW). Secara lengkap klasifikasi limbah pada umumnya termasuk LRST menjadi:

1. Limbah Tingkat Rendah (Low Level

Waste - LLW);

a.

Limbah Umur Sangat Pendek (very

short lived waste - VSLW);

b.

Limbah Tingkat Sangat Rendah (very low level waste - VLLW); dan

c.

Limbah Tingkat Relatif Rendah

(relative low level waste - RLLW). 2. Limbah Tingkat Sedang (Intermediate

Level Waste - ILW); dan

3. Limbah Tingkat Tinggi (High Level

Waste - HLW).

Dengan demikian, klasifikasi limbah yang baru ini tetap mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 1997, klasifikasi inilah yang akan ditetapkan dalam amendemen PP Nomor 27 Tahun 2002. Pengelolaan limbah LRST akan bergantung pada penetapan klasifikasi limbah radioaktif untuk selanjutnya ditentukan kriteria pembuangan (disposal) LRST.

Metode Klasifikasi Limbah Radioaktif

IAEA memberikan beberapa alternatif parameter sebagai kriteria pengelompokan limbah ke dalam salah satu dari 5 (lima) tingkatan klassifikai LRST. Berdasarkan kajian oleh tim amendemen PP Nomor 27 Tahun 2002 terhadap literatur IAEA Safety

Standards, Classification of Radioactive Waste, No. GSG-1, ada 2 (dua) parameter utama sebagai kriteria kuantitatif pengklasifikasian limbah radioaktif, yaitu: waktu paro (T1/2) dan kandungan aktivitas radionuklida, yang meliputi konsentrasi aktivitas (Ac), aktivitas total (At) dan aktivitas

jenis (Asp).

(7)

43

IAEA tidak menggariskan secara tegas perihal penerapan kedua parameter kuantitatif tersebut ke dalam suatu metode klasifikasi. Pendekatan kuantitatif dari IAEA hanya disajikan dalam bentuk grafik “konsentrasi aktivitas vs waktu paro”, seperti pada Gambar 3, dengan kedua sumbu koordinat terukur dalam skala logaritmik dan hanya ditandai dengan beberapa nilai acuan untuk membantu interpretasi grafik.

Dari penjelasan dalam referensi tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak ada nilai-nilai batas kuantitatif (aktivitas dan waktu paro) yang dapat berlaku secara generik untuk semua model klasifikasi limbah. Penentuan nilai batas secara presisi nampaknya diserahkan kepada negara anggota agar dapat disesuaikan dengan kemampuan dan prioritas setiap negara Tim Penyusunan Konsepsi telah menentukan nilai-nilai dengan menginterpretasikan grafik berdasarkan asal dan jenis limbah, diperoleh metode klasifikasi limbah radioaktif termasuk LRST sebagai berikut:

1. Limbah Tingkat Rendah (LLW), terbagi atas 3 tingkat sebagai berikut:

a. Limbah Umur Sangat Pendek (Very

Short Lived Waste-VSLW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif terbungkus dengan batasan waktu paro lebih dari atau sama dengan 150 hari;

b. Limbah Tingkat Sangat Rendah (Very Short Level Waste-VLLW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif terbungkus dengan batasan:

i. jika waktu paro lebih dari 15 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 105 Bq tetapi lebih kecil dari 107 Bq; dan ii. jika waktu paro lebih dari 15

tahun tetapi kurang dari 30 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 104 Bq tetapi lebih kecil dari 105 Bq;

c. Limbah Tingkat Relatif Rendah (Relative Low Level Waste-RLLW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif terbungkus dengan batasan sebagai berikut:

i. jika waktu paro lebih dari 15 tahun, maka batasan Aktivitas

lebih besar dari 107 Bq tetapi lebih kecil dari 108 Bq; atau ii. jika waktu paro lebih dari 15

tahun tetapi kurang dari 30 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 105 Bq tetapi lebih kecil dari 106 Bq;

2. Limbah Tingkat Sedang (Intermediate

Level Waste-ILW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif terbungkus dengan batasan sebagai berikut:

i. jika waktu paro kurang dari 15 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 100 MBq tetapi lebih kecil dari 100 TBq;

ii. jika waktu paro lebih dari 15 tahun tetapi kurang dari 30 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 1 MBq tetapi lebih kecil dari 1 PBq; dan

iii. jika waktu paro lebih dari 30 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 40 MBq tetapi lebih kecil dari 10 GBq.

3. Limbah Tingkat Tinggi (High Level

Waste-HLW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif dengan batasan waktu paro lebih dari 5 tahun dan batasan Aktivitas lebih besar dari 400 TBq.

Semua LRST dengan waktu paro lebih dari 30 tahun tidak termasuk Limbah Tingkat Relatif Rendah (RLWW). Secara praktis metode klasifikasi ini dapat disajikan dalam sebuah diagram alir, sebagaimana pada gambar pada akhir makalah, sehingga pengklasifikasian limbah dan/atau verifikasinya dapat dilakukan secara otomatis dengan program komputer.

Pembuangan Limbah Radioaktif

Sebagaimana ditetapkan dalam PP. No. 27 Tahun 2002 bahwa, setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan tenaga nuklir wajib menyatakan kepada Badan Pengawas (BAPETEN) bahwa limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau diserahkan kepada Badan Pelaksana (BATAN) untuk dikelola. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa Penghasil LRST tidak boleh melakukan Klierens dan tidak perlu melakukan tahapan pengelolaan limbah sesuai Kriteria Keberterimaan. Oleh karena itu, LRST yang diserahkan kepada Pengelola

(8)

44

Limbah (BATAN) akan menjadi tanggung jawabnya dan selanjutnya dilakukan

Pra-disposal yang akhirnya tindakan disposal. Setelah melalui penyimpanan sementara, LRST dapat diklasifikasi ulang dengan metode klasifikasi. BATAN akan memutuskan opsi disposal LRST sebagai berikut:

1. Limbah Tingkat Sangat Rendah (Very

Low Level Waste-VLLW): cukup disimpan dalam landfill disposal dimana kedalaman disposal tersebut cukup dekat dengan permukaan tanah (kurang dari 5 meter).

2. Limbah Tingkat Relatif Rendah (Relative Low Level Waste-RLLW: disimpan dalam low near surface

disposal, kedalaman disposal 5 sampai 30 meter. Untuk beberapa limbah dengan radionuklida pemancar gamma kadang memerlukan penahan radiasi. Waktu pengendalian disposal hingga 300 tahun.

3. Limbah Tingkat Sedang (Intermediate

Level Waste-ILW): disimpan dalam

intermediate depth disposal, bila kedalaman disposal 30 sampai 300 meter, memerlukan penahan radiasi dan waktu pengendalian lebih lama dari 300 tahun, serta dilengkapi pendingin jika diperlukan.

4. Limbah Tingkat Tinggi (High Level

Waste-HLW: disimpan dalam deep

geological disposal, dengan kedalaman disposal lebih dari 300 meter, memerlukan penahan radiasi, dan waktu pengendalian lebih lama dari 300 tahun, serta memerlukan pendingin.

Prinsip Dasar Ke-7 Pengelolaan Limbah Radioaktif

Prinsip dasar ke-7 pengelolaan limbah radioaktif adalah “Pengendalian Timbulnya Limbah Radioaktif” yang berarti “timbulnya Limbah harus diupayakan seminimal mungkin yang dapat dicapai”. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya minimisasi limbah radioaktif. IAEA merekomendasikan prinsip minimisasi (reduce) volume LSRT, dengan cara:

1. menggunakan radionuklida berumur paro relatif pendek sehingga sumber radioaktif akan cepat meluruh ke tingkat aktivitas yang relatif kecil.

2. menggunakan kembali (reuse) dan mendaur-ulang (recyle) sumber radioaktif dan peralatan tersebut.

Minimisasi limbah adalah suatu langkah penting dalam pengelolaan limbah dan pengendalian risiko potensial. Implikasi minimisasi limbah yang dihasilkan harus dikaji sebagai bagian dari kajian keselamatan. Untuk alasan keselamatan, bahan yang tidak diperlukan, misalnya pembungkus peralatan, seharusnya tidak boleh dimasukkan ke dalam rezim pengendalian secara radiologik. Hal ini dapat mengurangi potensi limbah radioaktif yang dihasilkan dan mengurangi penyebaran kontaminasi dan minimisasi volume limbah.

Aspek penting lain minimisasi limbah radioaktif adalah menggunakan jumlah zat radioaktif seminimum mungkin sesuai dengan pencapaian tujuan aplikasinya. Oleh karena pertimbangan tersebut seharusnya diberikan opsi untuk membatasi jumlah zat radioaktif yang digunakan dalam setiap kegiatan tertentu. Apabila dimungkinkan, ketika pembelian sumber terbungkus, kesepakatan kontrak harus mengatur ketentuan pengembalian sumber ke pihak pabrikan. Hal ini penting sekali dilakukan khususnya untuk sumber radioaktif yang aktivitasnya tinggi, dan berumur panjang. Sedangkan untuk sumber radioaktif dengan aktivitas rendah dan berumur paro pendek dikirim ke Pengelola Limbah Radioaktif dalam negeri.

Penggunaan kembali (reuse) dan/atau pendaur-ulangan (recycle) zat radioaktif harus dipertimbangkan sebagai suatu alternatif untuk disposal jika dimungkinkan. Keselamatan penggunaan kembali dan/atau pendaurulangan harus dikaji sebelum “operasi” dimulai, risiko yang dapat terjadi, dan ketentuan yang dipersyaratakan oleh badan pengawas harus dipenuhi.

KESIMPULAN

Dalam kegiatan perubahan PP No.27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, sudah disusun klasifikasi limbah radioaktif yang baru, sesuai dengan rekomendasi IAEA dan masih sesuai dengan amanat Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. LRST akan lebih mudah dikelola karena klasifikasi limbah radioaktif dapat ditentukan berdasarkan nilai-nilai akvitas dan waktu paro yang diperoleh dari interpretasi grafik antara aktivitas vs waktu paro. Salah satu cara untuk minimisasi

(9)

45

LRST adalah dengan menerapkan kebijakan bahwa untuk LRST dengan aktivitas tinggi dan umur paro panjang seharusnya di re-ekspor ke negara asal dan untuk LRST dengan aktivitas rendah dan waktu paro pendek seharusnya diserahkan ke Pengelola Limbah Radioaktif. Dengan penerapan kebijakan ini maka prinsip dasar ke-7 pengelolaan limbah radioaktif yaitu: “Pengendalian Timbulnya Limbah Radioaktif”, akan terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pengawas Tenaga Nuklir,

Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Jakarta, 1998.

2. Marpaung, T, Kecelakaan Radiasi yang

Terkait dengan Peralatan Radioterapi,

Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jakarta, 2000.

3. IAEA, Management of Waste from the

Use of Radioactive Material in Medicine, Industri, Agriculture, Research and Education, Waste, IAEA Safety Standard Series No. WS-G-2.7, Viena, 2005.

4. Marpaung, T, Pengawasan Keselamatan Radiasi di Fasilitas Brakiterapi, Jakarta, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2009.

5. IAEA, 2009, Classification of Radioactive Waste, IAEA Safety Standard Series No. GSG-1, Viena. 6. Badan Pengawas Tenaga Nuklir,

Konsepsi Amendemen PP. No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, Jakarta, 2009.

Tabel 4. Contoh Klasifikasi Limbah Radioaktif Sumber Terbungkus

No. Waktu Paro Aktivitas (Bq) Volume Contoh i. < 150 hari

108 kecil Y-90, Au-198, (brakiterapi) ii. 5.1012 kecil

Ir-192 (brakiterapi) Ir-192, Se-79 (radiografi industri) iii. < 15 tahun < 10 7 kecil Co-60, H-3 (target tritium), Kr-85 iv.

< 1014 kecil Co-60 (iradiator, radioterapi) v.

< 30 tahun

< 106 kecil Cs-137 (brakiterapi, detektor densitas kelembaban) vi. ≈1015 kecil Cs-137 (iradiator) Sr-190 (gauging ketebalan, generator termoelektrik radioisotop-RTG) vii. > 30 tahun

< 4.107 kecil Pu, Am, Ra (eliminator statik)

viii. < 1010

kecil, tetapi dalam jumlah sumber yang banyak (hingga sepuluh ribuan)

Am-241, Ra-226 (gauging)

Tabel ini merupakan modifikasi dari tabel GSG-1 IAEA agar sesuai dengan kriteria klasifikasi yang diuraikan dalam bab tentang Klafisikasi Limbah Radioaktif. Khusus untuk Cs-137, meskipun waktu paro sedikit di atas 30 tahun, tetapi dimasukkan dalam kriteria di bawah 30 tahun.

(10)

Gambar

Tabel 2.  Sumber Radioaktif untuk Teleterapi  No  Radio-isotop  Waktu Paro
Gambar 2. Kapsul Berisi Zat Radioaktif  (Sumber Radioaktif/Sumber Terbungkus)  Radionuklida berada di dalam kapsul dengan
Tabel 3. Pengertian Pengelolaan Limbah Radioaktif berdasarkan UU No.10/1997 dan Referensi  IAEA
Gambar 3. Grafik Aktivitas vs Waktu Paro
+2

Referensi

Dokumen terkait

Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam

Segenap Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam mengurus segala keperluan administrasi baik selama masa perkuliahan maupun

Bahkan ITN juga memfasilitasi semua keperluan mereka mulai dari tiket PP, menjamu dan menyenangkan marketer selama berada di Malang, serta uang saku tentunya,” tambahnya

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Itulah sebabnya banyak persoalan, keributan, atau konflik dalam gereja, karena ada pemimpinnya yang melayani menurut pola “apa yang dipikirkan manusia.” Maka

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 272 / Kpts.II / 2003 tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka

 Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial,