• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Bioekologi Sagu 2.1.1 Klasifikasi

McClatchey et. al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum (H. Wendland) Beccari, 2). M. paulcoxii McClatchey, 3). M. sagu Rottboell, 4). M. salomonensse (Warburg) Beccari, 5). M. vittiense (H. Wendland) H. Wendland ex Bentham dan Hooker F, dan 6). M. warburgii (Heim) Beccari. Penyebaran wilayah jenis-jenis sagu ini meliputi Asia Tenggara, Melanesia dan beberapa pulau di Micronesia dan Polynesia.

Indonesia memiliki keanekaragaman jenis sagu yang tinggi. Di Maluku awalnya terdapat lima jenis sagu. Namun sekarang dapat ditemukan sembilan jenis sagu. Pertambahan ini dikarenakan terjadi penyerbukan silang pada jenis-jenis tersebut. Berikut ini disajikan beberapa jenis-jenis sagu dan lokasi penyebarannya di Kepulauan Maluku.

Tabel 1 Penyebaran sagu di Kepulauan Maluku

Tipe Sagu Nama Latin Penyebaran

Sagu Tuni Metroxylon rumphii Mart Piru, Kairatu, Amahai, Buru, Werinama Seram, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan

Sagu Ilhur M. sylvester Mart Piru, Amahai, Buru,

Werinama Seram, Aru, Oba, Bacan

Sagu Makanaru M. microcantum Mart Piru, Kairatu, Amahai, Werinama Seram, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan

Sagu Duri Rotan M. microcantum Mart Werinama, Seram, Kao, Bacan

Sagu Suanggi Werinama, Seram

Sagu Molat Berduri Piru

Sagu Molat Merah Berduri

Sagu Molat M. sagu Rottb Piru, Kairatu, Amahai, Buru, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan Sagu Molat Merah

(2)

Klasifikasi lebih lanjut dari tumbuhan sagu menurut USDA (2005), adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan vascular) Superdivisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Klass : Liliopsida (monokotil)

Subkelas : Archidae Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae (Palmae) Genus : Metroxylon Rottb

Spesies : Metroxylon sagu Rottb (sago palm), M. rumpii, M. sylvester, M. microcantum

2.1.2 Morfologi

Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tumbuhan yang mengandung pati, kandungan pati dapat ditemukan pada bagian batang. Rumalatu (1981) menyebutkan bahwa tinggi batang pohon sagu berkisar 10-14 m, diameter antara 40-60 cm dan berat mancapai 1,2 ton. Tajuk pohon sagu pada umumnya terdiri dari 6 hingga 15 rangkaian daun dan setiap daun terdapat pelepah daun, tangkai, dan kira-kira terdapat 20 pasang helaian daun yang panjangnya berkisar 60-80 cm. Letak daun relatif berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4,5 cm, panjang lembaran daun mencapai 1,5 m dan lebar daun sekitar 7 cm. Namun Nitta et al. (2006) menyebutkan bahwa panjang helaian daun pada tanaman sagu bisa mencapai 160 cm hingga 172 cm.

Kemudian pada bagian bunga, menurut Flach (1996), tumbuhan sagu merupakan tanaman hapaxantik (berbunga satu kali dalam satu siklus hidup) dan

Gambar 1 Morfologi Metroxylon spp. Sumber: Flach dan Rumawas (1996)

(3)

soboliferous (anakan). Bunga berpasangan dan penataan yang membentuk spiral, tiap pasang bunga terdiri dari satu bunga jantan dan satu bunga hermafrodit, dan lebih dari setengah bagian susunan bunga pada umumnya adalah bunga jantan. Bunga merupakan bunga trimerous dengan enam stamen. Sedangkan bagian akar tumbuhan sagu merupakan akar serabut dan terbagi menjadi dua bagian yaitu akar primer dan akar sekunder.

2.1.3 Ekologi

Pada umumnya sagu (Metroxylon spp.) dapat tumbuh pada lahan yang basah atau tergenang, baik bersifat permanen, tergenang ketika berlangsung musim hujan dan ada pula yang tumbuh pada lahan kering. Suhardi et al.(1999) menyebutkan bahwa lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak asam. Pertumbuhan sagu air tawar membutuhkan beberapa zat antara lain potasium, fosfat, kalsium dan magnesium.

Di daerah rawa pantai dengan salinitas tinggi, tumbuhan sagu masih dapat hidup, tumbuh berdampingan dengan nipah. Namun pertumbuhan sagu tidak optimal, seperti pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Ditambahkan oleh Mofu et al. (2005) diacu dalam Barahima (2006) bahwa tanaman sagu dapat tumbuh pada tanah rawa, gambut dan mineral. Selain itu, sagu juga dapat hidup pada lahan kering, lahan basah dan lahan sangat basah.

Menurut Flach (1996), tumbuhan sagu merupakan spesies tumbuhan daerah dataran rendah tropis yang lembab, secara alamiah dapat ditemui pada lahan dengan ktinggian hingga 700 m dpl. Kondisi tumbuh terbaik adalah pada suhu rata-rata 26o C, kelembaban relatif pada level 90% dan radiasi matahari sekitar 9 MJ/m2 per hari. Bintoro (2008) menambahkan, tanaman sagu dapat tumbuh baik pada ketinggian sampai 400 m dpl. Lebih dari 400 m dpl pertumbuhan sagu terhambat dan kadar patinya rendah. Pada ketinggian di atas 600 m dpl, tinggi tanaman sagu sekitar 6 meter. Tegakan sagu secara alamiah ditemukan sampai pada ketinggian 1000 m dpl.

Pertumbuhan dan produksi tanaman sagu yang tumbuh pada tanah mineral dan tanah rawa atau gambut, menunjukkan bahwa pada tanah mineral tanaman

(4)

sagu dapat tumbuh lebih cepat dan menghasilkan pati lebih banyak dibanding tanaman sagu yang tumbuh pada tanah rawa. Sebagaimana dijelaskan oleh Bintoro (1999) bahwa di Papua dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan daerah yang luas.

Menurut Suhardi et al. (1999), tanaman sagu banyak tumbuh dengan baik secara alamiah pada tanah liat berawa dan kaya akan bahan-bahan organik seperti di hutan mangrove atau nipah. Selain itu sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik latosol, andosol, podzolik merah kuning, aluvial hidromorfik kelabu. Sedangkan kondisi tumbuh yang sesuai untuk tanaman sagu adalah pada suhu rata-rata sedikit diatas 25o C dengan kelembaban 90% dan radiasi matahari 900J/cm2/hari. Djumadi (1989) menyebutkan bahwa tanaman sagu dapat tumbuh di semua hutan hujan tropis dengan curah hujan berkisar 2000-4000 mm/tahun.

2.1.4 Penyebaran

Secara astronomis, sagu dapat tumbuh diantara 10o LS-15o LU dan 90o -180o BT (Suhardi et al. 1999). McClatchey (2006) menyebutkan bahwa sagu dapat ditemukan di hutan hujan tropis, hutan dataran tinggi dan hutan gambut Asia Tenggara, Melanesia dan beberapa pulau vulkanik di Micronesia dan Polynesia. Tanaman sagu juga ditemukan di areal gambut di Thailand, semenanjung Malaysia, Indonesia dan Philipina. Selanjutnya McClatchey percaya bahwa sagu endemik di Papua New Guinea, New Britain dan pulau-pulau di Maluku. Namun Becari (1981) diacu dalam Barahima (2006) berkesimpulan bahwa pusat biodiversitas tanaman sagu terdapat di kepulauan Maluku.

Menurut Kertopermono (1996), luasan lahan sagu pada beberapa pulau di Indonesia yaitu: Papua seluas 1.471.232 Ha, Sulawesi seluas 45.540 Ha, Kalimantan seluas 2.795 Ha, Sumatera seluas 31.875 Ha dan Maluku seluas 41.949 Ha. Lebih spesifik pada Maluku, Papilaya (2009) mencatat persebaran sagu khusus untuk Propinsi Maluku adalah sebagai berikut, Kabupaten Seram Bagian Timur dengan 9.250 Ha (29,50% dari luas Provinsi Maluku); Kabupaten Seram Bagian Barat dengan 8.410 Ha; Kabupaten Maluku Tengah 6.425 Ha; Kabupaten Buru 5.457 Ha; Kabupaten Aru 1.318 Ha; Kodya Ambon 255 Ha dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat seluas 245 Ha.

(5)

Sagu merupakan tumbuhan asli Indonesia. Sagu dapat tumbuh dengan baik dari daerah Filipina bagian selatan sampai Pulau Rote atau dari kisaran lintang 10o LU – 10o LS dan dari Kepulauan Pasifik (Barat Indonesia) sampai ke India Bagian Timur (Timur Indonesia). Di kawasan tersebut hutan sagu dapat ditemukan pada lahan-lahan dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl, di sepanjang tepi sungai, di tepi danau ataupun di daerah rawa-rawa dangkal. (Bintoro, 2008)

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.2.1 Definisi SIG

Menurut Prahasta (2001), Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu sitem yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk. Masalah informasi yang yang dimaksud mencakup tiga hal, yaitu:

1. Pengorganisasian data dan informasi. 2. Penempatan informasi pada lokasi tertentu.

3. Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu dengan lainnya, serta analisa-analisa spasial lainnya.

Sistem Informasi Geografis memiliki fungsi sebagai fungsi analisis. Fungsi analisis tersebut ada dua macam yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis spasial antara lain: klasifikasi, network (jaringan), overlay, buffering, 3D analisis dan Digital Image Processing. Sedangkan fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sitem pengelolaan basis data (Data Based Management System) dan perluasannya.

2.2.2 Aplikasi SIG dalam konservasi sumberdaya hutan

Penggunaan SIG dalam bidang konservasi sumberdaya hutan sudah mulai digunakan dalam beberapa topik penelitian. Salah satunya adalah mengenai kesesuaian habitat baik tumbuhan maupun satwa. Penelitian dengan judul “Pemetaan Kesesuian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis” (Gamasari, 2007). Penelitian ini menggunakan peta dasar berupa peta: citra landsat, Peta CA dan TWA Pangandaran, peta tata batas, peta kontur, peta jenis tanah dan peta jaringan sungaidi CA dan TWA Pangandaran.

(6)

Dengan menggunakan analisis regresi linier berganda, penelitian ini menghasilkan peta kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di CA dan TWA Pananjung Pangandaran beserta tingkat kesesuaian habitatnya (kesesuaian tinggi, sedang ataupaun rendah). Kemudian, dengan objek yang sama yaitu Rafflesia patma Blume namun di lokasi lain, dilakukan penelitian oleh Hediyanti (2009). Penelitian tersebut berjudul “Pemetaan Kesesuaian Habitat Raflessia patma Blume. di Cagar Alam Leuweng Sancang Garut Jawa Barat”, dengan menggunakan peta dasar yaitu: Citra lansat, peta topografi, peta batas CA, peta kontur, peta jenis tanah dan peta jaringan sungai. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis komponen utama dengan keragaman kumulatif sebesar 84,506%. Hasil penelitian berupa peta kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuwung Sancang Garut Jawa Barat beserta tingkat kesesuaian habitatnya (kesesuaian tinggi, sedang ataupaun rendah) dengan nilai validasi sebesar 93%.

Disamping kesesuaian habitat tumbuhan, SIG juga dapat diaplikasikan pada penelitian dengan objek satwa. Sebagai contoh Koeswara (2010) dengan penelitian “Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Tapir (Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti Taman Nasional kerinci Seblat”. Penelitian ini menggunakan data dasar berupa Peta Tata Batas Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Peta Rupa Bumi Indonesia, Citra Landsat TM5 path 127 row 61, peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan, peta jarak dari tepi hutan dan peta NDVI (Normalized Difference Index). Analisis yang digunakan adalah analisis komponen utama dan hasil yang didapatkan adalah Model sebaran spasial habitat Tapir (Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti Taman Nasional kerinci Seblat dengan validasi sebesar 42,86%.

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan yang dapat dirumuskan mengacu pada pembahasan di atas, yaitu : (1) Pengaruh persepsi keadilan distributif dalam pemulihan layanan pada kepuasan, menunjukan

Menyimak permasalahan di atas, sudah selayaknya dosen dapat mengembangkan materi pembelajaran Fiqih yang ada supaya lebih bermakna bagi mahasiswa dan bisa

Untuk perancangan unified modeling language, dilakukan dengan merujuk pada business model canvas yang terdapat di dalam blok channels, sehingga unified modeling

Kombinasi pemberian kompos berbahan MOL rumpun bambu dengan penerapan budidaya jenuh air pada lahan rawa mampu menghasilkan produktivitas kedelai yang tinggi yaitu

Teknologi geomembran adalah upaya menghindari kontak langsung antara dasar meja kristalisasi (tanah) dengan air laut yang akan dikristalkan dengan cara melapisi

Selain menerapkan pembagian fifty-fifty, dari ketujuh perkara yang dianalisis tentang gugatan harta bersama oleh isteri yang tidak bekerja terhadap suami yang bekerja

This research obtained four species of kupang, namely Musculita senhousia (senhoue’s mussel or kupang renteng), Corbula faba (white clam or kupang putih), Corbula amurensis (asian

Perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi memiliki peran menyalurkan dana yang terhimpun, penyaluraan pembiayaan tersebut dapat ditempatkan pada Pasar Uang