• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISA FUNGSI PELAYANAN PASTORAL PENDETA BAGI WARGA JEMAAT. 4.1 Analisa Panca Pelayanan GMIT Menggunakan Teori Pastoral.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISA FUNGSI PELAYANAN PASTORAL PENDETA BAGI WARGA JEMAAT. 4.1 Analisa Panca Pelayanan GMIT Menggunakan Teori Pastoral."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISA FUNGSI PELAYANAN PASTORAL PENDETA BAGI WARGA JEMAAT

4.1 Analisa Panca Pelayanan GMIT Menggunakan Teori Pastoral.

Dari temuan-temuan yang telah penulis simpulkan pada bab 3, maka pada bab 4 ini penulis akan menganalisa panca pelayanan yang ada di gereja Bukit Zaitun Oelelo dengan menggunakan teori-teori pastoral.

a) Bidang Koinonia (Persekutuan Jemaat)

Di gereja Bukit Zaitun Oelelo, inti dan tujuan dari fungsi pendeta dalam bidang koinonia ialah mempersatukan jemaat yang berbeda-beda dalam Yesus Kristus. Tugas dan tanggung jawab pendeta tersebut juga diperkuat dengan pendapat dari G. D. Dahlenburg yang mengatakan bahwa pendeta adalah seorang hamba yang diutus Tuhan untuk

bertanggung jawab terhadap jemaat Tuhan yang telah dipercayakan kepadanya.1

Ditambahkan oleh Notohamidjojo bahwa seorang pemimpin (pendeta) adalah orang dewasa dengan wibawanya berusaha untuk mencapai tujuan organisasinya atas dasar

kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan,2 oleh karena itu seorang pendeta yang

adalah pemimpin dalam jemaat mempunyai fungsi untuk memelihara jemaat dalam persekutuan agar pertumbuhan jemaat menjadi lebih baik dan warga jemaat mampu

mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah sepanjang kehidupannya.3

Dari hasil penelitian yang penulis dapatkan ternyata teori tidak sejalan dengan

1 G.D Dahlenburg, Siapakah Pendeta Itu? (Jakartta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal.73.

2 O. Notohamidjodjo, Kreatifitas yang Bertanggungjawab, (Salatiga: LPIS IKIP Kristen Satya Wacana,

Bagian II, 1973), hal. 386.

(2)

praktek yang ada dimana terdapat tanda-tanda bahwa sistem pelayanan dalam bidang koinonia belum mencapai tujuannya yakni, jemaat sebagai persekutuan menjadi suatu persekutuan keluarga yang besar. Memang pertumbuhan persekutuan keluarga yang besar ini tidak bertujuan untuk menjadikan jemaat sebagai jemaat yang “besar” melainkan penekanan pada aspek kualitas, karena dengan pertumbuhan kualitas yang baik maka memampukan jemaat untuk dapat berfungsi dengan baik ditengah-tengah dunia ini, namun sayangnya banyak orang berpendapat bahwa pelayanan bidang koinonia termasuk pada pekerjaan pembangunan jemaat dan bukan pada pelayanan pastoral. Pendapat ini tidak benar. Pelayanan pastoral tidak dapat dipisahkan dari bidang koinonia. Maksud pelayanan pastoral ialah memperbaiki hubungan yang terganggu atau yang rusak itu, supaya anggota jemaat yang bersangkutan mendapat kembali tempatnya dalam persekutuan itu, sehingga ia dapat berfungsi lagi sebagai anggota tubuh Kristus.

Dari kasus yang terjadi di gereja Bukit Zaitun Oelelo, kualitas persekutuan serta hubungan jemaat tidak akan menjadi lebih baik jika pendeta yang adalah sang gembala belum mampu untuk menunjukan wibawanya guna membimbing serta memelihara domba-dombanya kearah yang lebih baik jika sang gembala tersebut tidak menetap bersama domba-dombanya, padahal koinonia sendiri memliki arti persekutuan. Koinonia sebagai salah satu dari tugas panggilan gereja menyatakan keberadaan gereja selaku persekutuan orang-orang percaya yang diutus ke dalam dunia. Koinonia ditempatkan pertama dalam pembidangan tugas-tugas gereja karena persekutuan dipandang sebagai kunci sukses tidaknya seluruh aktifitas pelayanan dalam gereja.

b) Bidang Marturia (Kesaksian)

(3)

meningkatkan etos kerja jemaat seabagai kesaksian hidup di segala bidang pelayanan; meningkatnya pelayanan marturia menuju jemaat yang berdaya dan berdisiplin; berkembangnya pembinaan kelompok kategorial berusia muda guna membangun ketahanan persekutuan; serta meningkatkan pembinaan kelompok kategorial dan fungsional.

Berdasarkan hasil penelitian penulis mendapatkan fakta bahwa fungsi pendeta dalam bidang marturia belum dilaksanakan dengan baik oleh pendeta yang melayani di gereja Bukit Zaitun Oelelo, karena jika kita berbicara tentang pelayanan dalam bidang marturia maka tidak terlepas dari pemahaman bahwa marturia tidak hanya dinyatakan dalam khotbah pada hari minggu, marturia juga tidak terbatas dalam gedung gereja, tetapi dalam kehidupan orang percaya setiap hari. Oleh karena itu fungsi pendeta dalam bidang marturia tidak dapat dikatakan sudah dilaksanakan dengan baik jika ia hanya melakukan khotbah pada hari minggu serta melakukan pelayanan sidi jemaat, tetapi tugas dan tanggungjawab tersebut haruslah ia laksanakan setiap hari dengan memberikan contoh sikap dan perilaku yang baik kepada anggota jemaat, dan oleh karenanya seorang pendeta jemaat haruslah tinggal dan menetap bersama-sama dengan jemaat agar jemaat mempunyai figur yang dapat dijadikan contoh kesehariannya.

Hal tersebut diatas didukung oleh pendapat yang mengatakan bawha pendeta sebagai seorang pemimpin diharapkan mampu untuk menempatkan warga jemaat dalam

hubungan yang benar dengan Allah dan sesama.4 Pendeta juga mempunyai tugas sebagai

pelayanan pastoral yang merupakan pelayanan untuk membantu dan mendekatkan orang pada mereka yang berpengalaman dan mengerti akan masalah-masalah kehidupan seperti:

(4)

sakit, perawatan, ketidakmampuan, kematian dan kehilangan.5

Pelayanan pastoral pendeta adalah ungkapan pendampingan yang memliki fungsi

untuk menyembuhkan6 oleh karena itu pelayanan pastoral bersifat memperbaiki,

berusaha membawa kesembuhan bagi orang baik anggota dari gereja yang sedang menderita gangguan fungsi dan kehancuran pribadi karena krisis dari dalam dan luar diri sendiri, sehingga pelayanan pastoral jemaat mempunyai misi yang menjangkau baik ke dalam maupun ke luar, dimana pun orang membutuhkan pertolongan. Pelayanan pastoral sebagai pemberitaan firman merupakan bagian dalam pelayanan yang harus dilaksanakan oleh gereja dalam mewujudkan misinya di dunia ini dan dalam pemberitaan itu tidak hanya di tujukan kepada golongan tertentu tetapi keada seluruh manusia yang ada di bumi ini. Pelayanan pastoral sebagai pemberitaan firman adalah satu-satunya bentuk pelayanan pastoral yang benar-benar melayani injil sebagai berita dari aktifitas Allah yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus. Selain dari pada itu, pelayanan pastoral juga berarti pemeliharaan jiwa yaitu pemberitaan firman kepada anggota jemaat sebagai individu, yang berbentuk percakapan antara dua orang yaitu pendeta dan anggota jemaatnya. c) Bidang Diakonia (Pelayanan Kasih)

Gereja Bukit Zaitun Oelelo menetapkan diakonia sebagai salah satu pelayanannya bagi warga jemaat sebagai identitasnya dengan mengacu pada Kristus sendiri yang menyatakan diri-Nya sebagai seorang penolong yang melayani (Mat. 20:28). Secara praktis, pelayanan dalam gereja selalu dihubungakan untuk menolong warga gereja agar mereka mencapai kehidupan yang lebih layak. Ada pemberian yang bersifat jangka panjang dalam wujud meningkatkan sumber daya manusia, bentuk seperti ini disebut

5 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar..., hal.237. 6 Howard Clinebell, Tipe-Tipe..., hal.54.

(5)

dengan dikokonia transformatif. Ada pemberian dalam bentuk modal untuk usaha-usaha produktif, bentuk ini disebut dengan diakonia reformatif. Sementara ada juga pemberian dalam bentuk materi dengan maksud membantu warga jemaat secara insidentil, bentuk ini

disebut dengan diakonia karikatif.7 Dengan demikian, diakonia adalah pelayanan kasih

yang memberikan kebaikan-kebaikan berdasarkan kemurahan Allah dalam rangka mengubah dan meningkatkan kesejahtaraan jemaat dan masyarakat. Yang tercakup dalam pelayanan ini adalah pelayanan para janda, duda, anak yatim piatu, orang sakit, orang miskin, orang-orang yang tertindas dan orang-orang yang terbelakang.

Ketika melakukan penelitian, penulis juga mendapatkan fakta bahwa pendeta yang melayani di gereja Bukit Zaitun Oelelo telah melakukan fungsinya sebagai seorang pendeta dalam hal diakonia gereja bagi jemaat, akan tetapi pelayanan di bidang diakonia ini hanya sebatas pelayanan diakonia yang karikatif dimana bantuan yang diberikan hanya sekedar materi padahal bantuan itu tidak dapat di andalkan untuk mengubah kondisi sosial dari seseorang, namun tidak dapat disangkali pula masalah kemiskinan yang dialami sebagian warga gereja seolah-olah memaksa gereja untuk lebih fokus pada pelayanan diakonia karikatif.

Hal inilah yang menjadi kritik penulis bagi gereja, karena pelayanan pastoral pendeta dalam bidang diakonia seharusnya seperti apa yang dikatakan Clinebell tentang tujuan dari dimensi utama dalam pelayanan yaitu pelayanan tersebut seharusnya saling menyembuhkan, menumbuhkan dan mengalami perubahan di dalam jemaat sepanjang

perjalanan kehidupan mereka.8 Gereja memang telah melakukan diakonia yang karikatif

dengan memberikan sumbangan-sumbangan kepada janda dan anak yatim-piatu dalam

7 MS GMIT, Rencana Induk Pelayanan 2011-2030, (Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2011)

8 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Patoral, (Yogykarta: Kanisius, 2002),

(6)

setiap menjelang Natal atau hari-hari gerejawi lainnya, akan tetapi diakonia karikatif dianggap belum cukup, karena pelayanan diakonia sendiri bukan hanya memperlihatkan belas kasihan kepada “korban” tetapi mencegah agar jangan sampai terjadi “korban-korban” baru.

Dengan melaksanakan pelayanan di bidang diakonia GMIT pada umunya dan gereja Bukit Zaitun Oelelo pada khususnya mewujudkan diri sebagai tanda kehadiran kerajaan Allah. Tentu saja perkara itu tidak mudah, karena jemaat sendiri membutuhkan diakonia karikatif, oleh karena itu jangan sampai hanya karena mencita-citakan sebuah diakonia transformatif, lalu tugas gereja untuk memberi perhatian terhadap yang membutuhkan diabaikan. Pendeknya gereja harus menjalankan tugas pelayanan pastoral dalam bidang diakonia-nya kepada jemaat, sebab gereja tanpa diakonia akan kehilangan hak hidupnya sebagai gereja.

Membahas tentang diakonia yang dilakukan gereja, mengingatkan penulis tentang beberapa cerita diakonia yang terdapat di dalam Alkitab. Yang pertama cerita tentang pemberian persembahan seorang anak berupa 5 roti dan 2 ikan kepada Yesus untuk berkarya mengenyangkan perut 5000 orang, demikian pula mukjizat Allah membutuhkan tindakan manusia dalam pelayanan. Ada dua sisi yang berperan, yaitu Allah sebagai subjek utama dan manusia sebagai partner yang dipercayai. Tindakan Allah yaitu membebaskan dan menyatukan manusia dalam kasih-Nya, sedangkan manusia mengupayakan pembebasan yang sejati untuk umat manusia dan mengupayakannya dalam realitas yang saling menghidupi sebagai umat ciptaan Tuhan. Yang kedua cerita tentang orang Samaria yang baik hati. Gereja harus menjadi seperti orang Samaria yang turun dari keledai kemapanan dan bukan sekedar menjadi Sinterklas yang membagi uang

(7)

di jalanan tetapi harus membagi semangat hidup kepada semua orang yang dijumpai di jalan.

Diakonia harus diletakan ditempat yang sentral, sebagai suatu misi dalam kehidupan gereja. Perlu disadari bahwa fungsi diakonia bukan semata-mata persoalan memberikan uang tetapi berbagi solidaritas dengan mereka yang membutuhkan. Hal inilah yang perlu disadari oleh gereja dalam melakukan tugas diakonia bagi jemaat. Tentu saja perkara itu tidak mudah, karena jemaat sendiri membutuhkan diakonia karikatif, oleh karena itu jangan sampai hanya karena mencita-citakan sebuah diakonia transformatif, lalu tugas gereja untuk memberi perhatian terhadap yang membutuhkan diabaikan. Pendeknya gereja harus menjalankan tugas pelayanan pastoral dalam bidang diakonia-nya kepada jemaat, sebab gereja tanpa diakonia akan kehilangan hak hidupnya sebagai gereja.

d) Bidang Liturgia (Tata Ibadah)

Fungsi gereja Bukit Zaitun Oelelo dalam bidang liturgi mencakup: melaksanakan semua jenis dan bentuk ibadah dan pelayanan pastoral kepada anggota jemaat; mengajarkan dan pemberitaan Firman Allat serta melayani Sakramen; membina dan meningkatkan pemahaman jemaat tentang arti dan makna ibadah yang benar; serta mengusahakan. Tersediannya sarana-sarana yang mendukung terciptanya suasana liturgi dalam ibadah. Berdasarkan hasil penelitian, pelayanan pastoral pendeta di gereja Bukit Zaitun Oelelo memang telah dilaksanakan dengan baik, akan tetapi jemaat di gereja Bukit Zaitun Oelelo pada umumnya baru memahami pelayanan liturgi secara terbatas dan mensakralkan jenis-jenis ibadah atau kebaktian digereja padahal makna liturgi dalam arti yang luas harus meliputi juga seluruh aspek hidup manusia yang perlu dipersembahkan kepada Tuhan Allah dalam hidup berkeluarga, bergereja bermasyarakat pada setiap

(8)

waktu.

Gereja menetapkan liturgi sebagai salah satu tugas dengan maksud agar mendidik warganya beribadah kepada Allah. Ibadah kepada Allah merupakan respons umat atas berkat-berkat yang diterima dari Allah. Ibadah menuntut sikap bathin penuh hormat kepada Allah. Dan ibadah harus diselenggarakan dalam keteraturan agar mernjadi persembahan yang benar kapada Allah. Selanjutnya, “Liturgi memiliki hubungan dengan kehidupan karena liturgi merupakan liniatur dari kehidupan nyata manusia.” Liturgi merupakan demonstrasi dari kehidupan manusia. Jadi, apa yang terjadi dalam liturgi, juga terjadi dalam kehidupan nyata. “Ketika umat beribadah sebelumnya ia sedang merayakan hasil pekerjaannya sehari-hari bersama Allah. Oleh karena suasana liturgi adalah gembira dan penuh ucapan syukur atas curahan berkat Allah kepada manusia sehingga berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan sehari-hari.” Jadi liturgi gereja adalah liturgi kehidupan (tata ibadah atau tata kehidupan). Kita menjumpai Allah dalam pekerjaan kita sehari-hari

dan mempersembahkan karya kita kepada Allah dengan lambang perayaan ibadah.9

Liturgi tidak terlepas dari tata ibadah dan kalender gerejawi. Seperti baru-baru ini kegiatan paskah yang dilaksanakan oleh GMIT sebagaimana judul pada website PGI (persekutuan gereja-gereja di Indonesia) bahwa prosesi paskah pemuda GMIT ke-20

cerminkan kerukunan umat beragama di kota Kupang.10 Berangkat dari judul ini tentu

peran pendampingan pastoral pendeta khusunya di GMIT pada umumnya dan gereja Bukit Zaitun Oelelo pada khususnya terhadap pemuda perlu mendapat perhatian yang serius, karena pemuda sebagai generasi penerus perlu mencerminkan kerukunan hidup antar umat beragama tidak hanya di kota Kupang melainkan juga di seluruh Indonesia.

9 MS GMIT, Rencana Induk... 2011.

(9)

Melalui adanya kegiatan paskah sesuai liturgi atau kalender gerejawi maka jemaat tidak hanya melaksanakan kegiatan yang bersifat rutinitas tetapi makna pastoral adalah bagaimana dampak dari kegiatan tersebut dialami masyarakat sekitar. Menggali potensi pemuda untuk berpandangan hidup rukun antar sesama umat manusia yang terdiri atas beragam macam suku, ras, dan agama. Di samping itu, upaya preservasi terhadap budaya lokal juga perlu disuarakan pendeta, karena gereja-gereja khususnya di Asia tidak terlepas dari konteks budan dan suku. Upaya yang dulakukan gereja seperti menterjemahkan bahasa di Alkitab terhadap bahasa lokal budaya sehingga memudahkan jemaat untuk memahami.

e) Bidang Oikonomia (Penatalayanan)

Fungsi gereja Bukit Zaitun Oelelo dalam bidang pelayanan mencakup: memegang

dan melaksanakan kepemimpinan umum atas jemaat yang mencakup pelayanan dari

unit-unit pembantu Majelis Jemaat dan Majelis Mata Jemaat; program pelayanan dan APBJ; manejeman personil; perbendaharaan dan perkantoran gereja; menyelenggarakan persidangan jemaat, majelis jemaat dan majelis mata jemaat, disamping tugas-tugas yang lainnya.

Oikonomia berarti aturan kerumahtanggaan, atau gereja menyebutnya dengan penatalayanan. Bumi dipandang sebagai rumah tangga Allah. (Kel. 9:29), karena itu manusia bertanggung jawab “menatalayani” agar bumi layak didiami (Yes. 45:18) yang dapat menjamin kelangsungan hidup manusia. Manusia diberi kuasa untuk mengatur dan mengusahakan bumi (Kej. 1:26; Maz. 115:16). Kata “menatalayani” mengandung maksud mengatur bumi sebagai rumah tangga Allah sekaligus melayaninya. Jadi, tugas ini tidak sebatas menentukan rambu-rambu, batasan-batasan dan pedoman-pedoman

(10)

tetapi mengisinya dengan pelayanan yang bersetuhan dengan kehidupan nyata umat dan lingkungan hidup. Tugas “menatalayani” atau “penatalayanan” meliputi tugas membangun, baik itu pembangunan keorganisasian, pembangunan ekonomi, maupun

pembangunan lingkungan hidup.11

Pendeta seharusnya memahami oikumene secara konvensional yang berlaku pada aturan-peraturan sinode gereja. Langkah pastoral yang perlu diperhatikan dan didiskusikan adalah pertama, pendeta sebaiknya berdialog dengan sesama pendeta tentang pengertian dan penerapan oikumene ditengah-tengah sinode gereja. Kedua, pendeta mendialogkan oikumene ditengah-tengah jemaat dengan memberikan pemahaman dan meminta pertanyaan kepada jemaat. Hal ini pertama, bertujuan bahwa pemahaman dan penerapan oikumene di tengah-tengah kehidupan umat tidak berlaku dan berlangsung hanya di tengah-tengah sinode gereja melainkan terjadi secara komprehensif antara sinode dan jemaat. Tujuan kedua untuk menghindari opini dan praktik baru di luar konvensional oikumene yang berlaku.

Kesepakatan terhadap pemahaman dan pelaksanaan oikumene bersama di tengah-tengah kehidupan bergereja tentu dapat menciptakan keutuhan, keseimbangan dan keharmonisan. Pertama, keutuhan gereja dapat dipahami secara kuantitas dan kualitas, di mana kuantitas membicarakan mengenai tubuh atau anggota jemaat dan bangunan gereja sedangkan kualitas berkaitan dengan pemahaman pendeta dan jemaat terhadap oikumene. Kedua, keseimbangan di sini dapat dikaitkan dengan pelaksanaan oikumene di tengah-tengah kehidupan gereja melalui program-program yang telah direncanakan dan dipustuskan oeh sinode gereja. Artinya, kehidupan pelaksanaan program oikumene berjalan seimbang. Ketiga, keharmonisan tercipta di tengah-tengah kehidupan bergereja

(11)

dan antar lintas keyakinan. Adapun beberapa contoh program oikumene GMIT yang diperoleh dari sumber media, yaitu GMIT menggelar natal oikumene bersama Keuskupan Agung Kupang (KAK) di mana natal ini terlaksana sebanyak empat kali yakni dua kali di GMIT, yaitu di jemaat Marturia Oesapa Selatan dan Pniel Sikumana, dan di KAK yakni

di St Yosep Naikoten dan St Simon Petrus Tarus.12

GMIT diakui dan disadari hidup di tengah-tengah kemajemukan budaya, suku, dan agama. Pendeta perlu memahami makna kemajemukan dan siap berinteraksi dengan kemajemukan. Dengan adanya konteks realitas masyarakat yang semakin kompleks dan plural, maka pendekatan pastoral semakin membutuhkan pendekatan yang lintas ilmu dan lintas bidang. Karena pendekatan satu dimensi hanya akan membentuk wajah komunitas kehidupan yang berciri satu dimensi. Konsekuensinya, seorang pendeta membutuhkan bantuan dari berbagai disiplin ilmu dan telaah persoalan: sejarah, sosiologi, psikologi,

antropologi budaya, analisis ekonomi dan sosial-politik.13 Dengan demikian, pendeta

diharapkan memiliki potensi bergaul terhadap realitas konteks yang dihadapi.

4.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pendeta dalam Melakukan Pelayanan Pastoral kepada Jemaat.

Dari hasil penelitian yang telah penulis sebutkan di bab 3, penulis menganalisa tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pendeta dalam melakukan konseling pastoral, yaitu:

1. Tradisi

Tradisi yang dimaksud penulis di sini bukan kepada tradisi yang mengarah kepada

12 Timor Express Harian Kupang, Senin 27 September 2015, diambil pada tanggal 01 April 2016. 13 Krispurwana Cahyadi, Pastoral Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 20.

(12)

budaya masyarakat lokal, tetapi tentang tradisi turun temurun fenomena pendeta weekend. Seperti telah dijelaskan di atas, fenomena ini sudah ada sejak lama dan yang menariknya adalah hal tersebut tidak diberikan perhatian sehingga dianggap sebagai tradisi yang turun temurun dan tidak dijadikan suatu pembelajaran tentang tanggung jawab yang ada. Penulis teringat tentang sebuah pepatah kuno yang ada, yaitu “hidup adalah sekolah abadi” maka sepanjang hidup kita harus selalu belajar bukan saja belajar menggunakan sesuatu tetapi kita juga tidak bisa menghindar dalam proses mempelajari segala sesuatu yang pernah kita lakukan, oleh karena itu adalah hal yang wajar jika dalam proses pembelajaran kita melakukan suatu kesalahan, tetapi sebagai manusia yang terus belajar ada baiknya kita dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Dari kaca mata penulis, fenomena pendeta weekend adalah suatu kesalahan tradisi dalam tubuh GMIT, namun selayaknya suatu proses pembelajaran maka hal tersebut dapat diubah menjadi lebih baik karena hal tersebut bukanlah suatu tradisi yang paten dan tidak dapat dirubah.

2. Ketegasan dalam Peraturan Sinode

Hal tentang ketegasan dalam peraturan sinode memang lebih condong ke bagian organisasi, tetapi harus diakui bahwa pendeta merupakan bagian dalam organisasi GMIT, oleh karena itu hal tentang peraturan juga perlu diperhatikan agar pekerjaan pelayanan kepada jemaat dapat dilaksanakan dengan baik. Memang dalam setiap organisasi selalu diperhadapkan dengan tantangan tetapi tantangan tersebut harus dihadapi agar kualitas kepemimpinan dapat dibuktikan dan menjadi warisan yang baik untuk generasi selanjutnya. Seharusnya bidang yang menaungi tentang pekerjaan pelayanan pendeta lebih mempertajam lagi tentang tugas-tugas pelayanan seorang pendeta serta bekerja sama dengan pemimpin untuk mempertegas konsekuensi yang akan dihadapi jika pendeta

(13)

tersebut lalai dalam melakukan pekerjaannya. Ada baiknya juga jika peraturan tentang tugas dan tanggung jawab pendeta dikaji ulang sehingga menjadi relevan dengan kehidupan pendeta itu sendiri dan membawa dampak yang baik bagi kehidupan spiritual jemaat.

3. Individu

Jika dilihat tentang peryaratan GMIT bagi seorang calon pendeta menjadi pendeta (lihat bab I halaman 1), maka jabatan kependetaan merupakan hal yang totalitas dalam GMIT karena dari syarat tersebut bisa dikatakan bahwa seorang pendeta harus mengabdikan dirinya dalam hal pelayanan. Jabatan kependetaan tidak sama dengan jabatan yang lainnya, karena kebanyakan orang mengatakan bahwa mereka menjadi pendeta dengan alasan panggilan untuk melayani tetapi seiring berjalannya waktu tugas dan panggilan itu menjadi pudar dengan alsan-alasan yang ada. Disini komitmen awal dan janji kependetaan perlu dipertanyakan apakah menjadi pendeta hanya merupakan suatu profesi ataukah menjadi pendeta berarti mengabdikan hidupnya untuk melayani jemaat. Hal yang sulit memang karena secara manusiawi seseorang terkadang memiliki sifat individualisme dimana terkadang ia memikirkan dirinya sendiri, apalagi jika ia sudah berkeluarga seperti contoh kasus yang diangkat oleh penulis. Terkadang seorang pendeta karena tuntutan tersebut akhirnya mengingkari janji / syarat menjadi seorang pendeta dengan alasan tersebut. Hal inilah yang menurut penulis perlu untuk menjadi fokus kedepannya, yaitu seorang calon pendeta harus dipertanyakan lagi motifasinya untuk menjadi pendeta, bukan sekedar profesi tetapi lebih kepada pengabdian dirinya untuk jemaat agar mental pelayanannya menjadi semakin kuat.

(14)

4. Dukungan

Dukungan yang diterima oleh para pendeta dalam melakukan konseling pastoral sangatlah besar. Dukungan yang terbesar diterima adalah dari keluarga dan majelis gereja. Hal ini terjadi karena keluarga adalah tempat dimana para pendeta dapat berbagi tentang permasalahan yang ada di jemaat, sedangkan majelis gereja memang memiliki tugas untuk menjadi rekan kerja pendeta dalam melayani jemaatnya, terutama dalam berorganisasi didalam gereja, oleh karena itu, majelis akan memberikan dukungan penuh terhadap pendeta untuk melaksanakan tugasnya. Dukungan yang diterima dari jemaat juga bisa dikatakan besar. Di samping itu budaya juga sangat mempengaruhi pendampingan jemaat terhadap pendetanya. Pendeta masih dianggap sebagai seorang yang memiliki wibawa yang lebih dari orang lain. Karena rasa hormat jemaat juga dinyatakan dengan memberikan dukungan kepada pendeta dalam melaksanakan pendampingan dan konseling pastoral. Di sisi yang lain terlihat jelas bahwa jemaat juga sangat membutuhkan konseling pastoral dari pendetanya. Ketika jemaat mengalami persoalan yang berat di dalam hidupnya, terlebih persoalan kehidupan rohaninya, maka jemaat akan datang kepada pendeta untuk mendapatkan pertolongan lewat pendampingan dan konseling pastoral.

Banyak pendeta mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan dalam melaksanakan konseling pastoral. Pada kenyataannya memang tidak mungkin seorang pendeta dapat mengerti benar setiap permasalahan yang sedang dihadapi oleh setiap warga jemaat. Meskipun begitu, kebanyakan pendeta melaksanakan konseling pastoral seorang diri saja. Para pendeta memerlukan bantuan orang lain dalam pelaksanaan konseling pastoral, meskipun tidak pada setiap konseling pastoral. Pendeta juga sering

(15)

memberika rujukan kepada orang yang dinggap lebih ahli atau kompeten pada permasalahan yang sedang dihadapi oleh jemaat. Ini berarti bahwa para pendeta mengakui bahwa tidak semua permasalahan jemaat dapat diselesaikannya sendiri. Seringkali dibutuhkan orang lain yang memang ahli atau lebih mengenal permasalahan yang dihadapai oleh orang yang mengalami maslah. Meskipun begitu, para pendeta-pendeta ini belum memiliki tim pastoral yang terdiri dari orang-orang ahli dalam berbagai bidang untuk membantu pelaksanaan pendampingan dan pelayanan konseling pastoral.

5. Pelatihan atau Seminar

Sebagian besar pendeta mengakui bahwa seminar atau pelatihan yang berkaitan dengan konseling pastoral memberi manfaat yang baik untuk mengembangkan praktek konseling pastoral yang sedang dilakukan. Pengetahuan yang diterima dari seminar atau pelatihan yang diikuti dapat memberi pengetahuan terbaru yang terjadi dalam perkembangan konseling pastoral, sehingga akan semakin memperkaya pendeta dalam mengembangkan praktek konseling pastoralnya. Banyak pendeta merasa kekurangan waktu untuk mengembangkan praktek konseling pastoral yang baru. Karena itu mereka cenderung untuk menggunakan model pendampingan pastoral yang sudah ada. Sebenarnya para pendeta sudah dibekali dengan ilmu pastoral pada saat kuliah. Namun didalam praktek berjemaat, pendeta masih sering menggunakan teori pastoral itu secara kaku. Pendeta menggunakan teori-teori pastoral yang dipelajari pada saat kuliah tanpa menyesuaikan dengan keadaan jemaat. Padahal teori-teori pastoral yang dipelajari pada masa kuliah, kebanyakan adalah teori dari barat. Matakuliah pastoral di Fakultas Teologi seringkali hanya memberikan teori-teori pastoral dari barat, tetapi kurang melatih

(16)

mahasiswa untuk mengembangkan teori-teori itu supaya lebih kontekstual dengan budaya setempat yang mengakibatkan konseling pastoral yang diterapkan dijemaat seringkali kurang kontekstual dengan budaya yang ada di jemaat.

4.3 Kesimpulan

Jika diamati akan tugas panggilan pelayan pendeta dalam panca pelayanan GMIT, secara implisit mencirikan bahwa pelayanan pastoral mendapat tempat dalam tugas panggilan pelayan dalam jemaat. Namun dalam prakteknya pelayanan pastoral yang dilakukan oleh pendeta tidak begitu dijalankan dengan baik sehingga muncul istilah tentang pendeta weekend atau pendeta hari minggu. Fenomena ini menurut pengalaman

pelayanan pendeta YN14 sudah ada sejak tahun 1980an tetapi pada saat itu dianggap

tidak bermasalah karena tidak terlalu banyak masalah dalam kehidupan jemaat, namum sekarang pendeta memiliki kewajiban untuk tinggal di wilayah pelayanan supaya kedekatan dengan jemaat lebih terasa. Hal yang menarik di sini adalah walaupun fenomena ini sudah ada sejak lama namun tidak ada sangsi bagi pendeta weekend tersebut dan jemaat pun sepertinya hanya menganggap masalah ini adalah masalah yang menjadi perbincangan sehari-hari tanpa ada suatu tindakan seperti misalnya menyurati Majelis Sinode GMIT tentang masalah tersebut.

Sinode GMIT memang telah menjelaskan secara teoritis tentang fungsi pelayanan pastoral pendeta dengan baik, namun dalam prakteknya tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Hal yang menarik disini adalah fenomena tentang pendeta weekend ini sudah ada sejak lama dan sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagi para pelakunya. Jika penulis

14 Pendeta YN adalah salah satu pendeta yang melayani di GMIT dari tahun 1981-2013. Wawancara Selasa

(17)

melihat sepertinya tidak ada ketegasan tentang konsekuensi yang akan dihadapi jika tidak melakukan tugas dan tanggung jawab pelayanan dengan baik sehingga penulis menganggap bahwa peran Majelis Sinode menjadi tumpul dalam mendisiplinkan karyawannya. Memang Majelis Sinode GMIT telah bekerja keras untuk mengevaluasi karyawannya, akan tetapi tidak ada suatu upaya untuk meningkatkan kinerja kerja yang dikatakan rendah dalam evaluasi tersebut (lihat bab I halaman 2). Menurut penulis Majelis Sinode GMIT haruslah bersikap tegas dan tajam terhadap segala kekurangan yang dimiliki, karena toh pekerjaan tersebut merupakan kepercayaan jemaat kepada atasan-atasan gereja agar pelayanan kepada jemaat dapat dilaksanakan dengan maksimal. Hal lain yang dapat dianalisis oleh penulis ialah Majelis Sinode GMIT perlu merevisi peraturan-peraturan tentang pelayanan yang ada agar sejalan dengan kebutuhan pelayanan jemaat saat ini, agar relasi kehidupan jemaat dengan sesamanya menjadi lebih baik dan bertanggung jawab kepada Tuhan serta kehidupan spiritualnya menjadi lebih baik dan para pelayan pun bia mengenal kehidupan jemaatnya secara lebih dekat lagi.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Istilah lain atau tipelogi lain yang diberikan kepada agama-agama ini adalah agama ardhi dan agama samawi.Agama ardhi adalah agama yang tidak berdasarkan atas firman

Berdasarkan tabel 4.10 didapatkan hasil dengan menggunakan rumus Kendall Tau bahwa tidak ada hubungan antara peran orang tua dalam pendidikan seks dengan perilaku seksual

misalnya memberikan kebebasan dalam membuat karya seni atau membuat sesuatu yang baru (puisi, cerita pendek), memberikan kebebasan berimajinasi seperti bercerita

KEMAMPUAN MENULIS BAHASA JEPANG MENGGUNAKAN FOTO MELALUI MEDIA SOSIAL FACEBOOK Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Hal ini dikarenakan korban kejahatan cyber lebih bersifat luas (global) sehingga jumlahnya lebih besar, juga dampak yang ditimbulkan. Kondisi seperti ini tidak dapat

Objek pajak yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib

Pada penelitian ini penulis melakukan proses elektroplating dengan menggunakan pelapisan tembaga pada plat baja karbon tinggi yang selanjutnya akan diuji untuk