• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Konsep Diri

a. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri dikatakan sebagai pandangan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri seseorang erat hubunganya dengan gambaran dirinya, citra dirinya, penerimaan dan harga dirinya, penilaian dan karya dirinya.

Brooks dalam Rahmat (2000) menjelaskan konsep diri sebagai pandangan dan perasaan mengenai diri sendiri. Presepsi mengenai diri sendiri dapat bersifat psikis, sosial, dan fisik. Konsep diri dapat berkembang menjadi konsep diri positif dan negatif.

Konsep diri menurut Daryanto dan Tasrial (2012) adalah bahwa ia makhluk hidup yang bergantung pada orang lain, setelah menjadi dewasa semakin sadar atas kemampuanya mengambil sikap sendiri. Kemudian dari pengalaman menunjukkan bahwa ia sudah mampu mengembangkan dirinya. Bila keadaan ini terjadi pada seseorang, maka dapat dikatakan bahwa orang itu telah memasuki alam dewasa. Jenjang kedewasaan telah terjadi perubahan kejiwaan, dari sikap yang tadinya tergantung pada orang lain menjadi sikap yang lebih mandiri. Kemandirian itulah proses belajar mengajar bagi orang dewasa lebih dititikberatkan pada upaya menggali pengalaman dan mengadakan aktivitas berdasarkan pengalaman.

Brehm dan Kassin dalam Dayaksini dan Hudainah (2003) adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri sifat) yang dimilikinya, sedangkan Chaplin dalam kamus 2002, bahwa self concept diartikan sebagai evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran mengenail diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Menurut Hurlock (1999) memberikan pengertian konsep diri adalah gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki orang tentang diri mereka sendiri-karakteristik fisik, psikologis, sosial, aspirasi dan prestasi. Semua konsep diri mencakup citra fisik dan psikologis diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri adalah pandangan individu mengenai dirinya, meliputi gambaran mengenai diri dan kepribadian yang diinginkan, yang diperoleh dari pengalaman interaksi yang mencakup aspek fisik dan psikologis.

(2)

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Siswa

Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain. Interaksi yang dilakukan menimbulkan setiap individu akan menerima tanggapan dan tanggapan yang diberikan tersebut akan dijadikan cermin bagi individu untuk melihat dan memandang dirinya sendiri. Konsep diri berasal dan berakar dari pengalaman masa kanak-kanak dan berkembang terutama sebagai akibat hubungan kita dengan orang lain dan orang lain memperlakukan kita, kita menangkap pantulan tentang diri kita dan membentuk gagasan dalam diri kita seperti apakah kita ini sebagai pribadi.

Orang yang paling berpengaruh dengan pembentukan konsep diri yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri individu yaitu significant other, misalnya orang tua, saudara kandung, anggota keluarga lainnya, guru, masyarakat sekitarnya, sahabat, teman sekelas, dan sebagainya. Dewey & Humber menamainya dengan affective others, yaitu orang lain yang dengannya individu mempunyai ikatan emosional (Sobur 2003). Hal ini didukung oleh pendapat Rytkonen (2007) yang menyatakan bahwa konsep diri siswa sangat dipengaruhi oleh persepsi dan tingkah laku orang tua mereka.

c. Klasifikasi dan Penjabaran Konsep Diri

Beberapa ahli membagi konsep diri menjadi beberapa bagian. Menurut Gunawan (2003), konsep diri terdiri atas 3 komponen, yaitu:

1). Diri Ideal (Self Ideal)

Diri ideal merupakan gabungan dari semua kualitas dan ciri kepribadian yang sangat dikagumi. Diri ideal merupakan gambaran dari sosok seseorang yang sangat diinginkan untuk menjadi seperti orang itu. Dalam konteks pendidikan, diri ideal merupakan hal yang ditetapkan orang tua bagi anak mereka untuk dicapai, misalnya mendapatkan nilai sempurna (100/A) dalam setiap ujian.

2). Citra Diri (Self Image)

Citra diri adalah cara seseorang melihat dirinya sendiri dan berpikir mengenai dirinya sekarang/saat ini. Citra diri sering juga disebut sebagai “cermin diri”. Seseorang akan senantiasa melihat cermin diri ini untuk mengetahui bagaimana ia harus bertindak atau berlaku pada suatu keadaan tertentu. Ia akan selalu bertindak dan bersikap sesuai dengan gambar yang muncul pada cermin dirinya.

(3)

Harga diri merupakan komponen yang bersifat emosional dan merupakan komponen yang paling penting dalam menentukan sikap dan kepribadian kita. Harga diri merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup.

d. Indikator Konsep Diri

Menurut Brooks (dalam Rahkmat, 2005) bahwa dalam menilai dirinya seseorang ada yang menilai positif dan ada yang menilai negatif. Maksudnya individu tersebut ada yang mempunyai konsep diri yang positif dan ada yang mempunyai konsep diri yang negatif.

Tanda-tanda individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah yakin akan kemampuan dalam mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan dan keinginan serta perilaku yang tidak seharusnya disetujui oleh masyarakat, mampu memperbaiki serta sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.

Orang yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah mempunyai rasa percaya diri sehingga merasa mampu dan yakin untuk mengatasi masalah yang dihadapi, tidak lari dari masalah, dan percaya bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Orang yang merasa setara dengan orang orang lain selalu merendah diri, tidak sombong, mencela atau meremehkan siapapun, selalu menghargai orang lain.

Orang yang menerima pujian tanpa rasa malu dan tanpa menghilangkan rasa merendah diri, maka meskipun ia menerima pujian ia tidak membanggakan dirinya apalagi meremehkan orang lain. Begitu pula orang yang peka terhadap perasaan orang lain akan menghargai perasaan orang lain meskipun kadang tidak di setujui oleh masyarakat. Orang yang mampu mengungkapkan aspek-aspek kepribadian maka ia mampu mengintrospeksi dirinya sendiri sebelum menginstrospeksi orang lain, dan mampu untuk mengubahnya menjadi lebih baik agar diterima di lingkungannya. Berbeda individu yang memiliki konsep diri negatif ada 5 hal yaitu peka terhadap kritik, responsif sekali terhadap pujian, cenderung bersikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi oleh orang lain, bersikap psimis terhadap kompetisi.

Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya dan mudah, hal ini berarti dilihat dari faktor yang mempengaruhi dari individu tersebut belum dapat mengendalikan emosinya, sehingga kritikan dianggap sebagai hal yang salah. Bagi orang seperti ini koreksi sering dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam berkomunikasi orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka, dan berusaha mempertahankan pendapatnya dengan berbagai logika yang salah.

(4)

Orang yang responsif terhadap pujian, walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, merekapun akan selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun dan siapapun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.

Selanjutnya orang yang merasa tidak disenangi oleh orang lain maka ia merasa tidak diperhatikan, karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan, berarti individu tersebut merasa rendah diri atau bahkan berperilaku yang tidak disenangi, contohnya membenci, mencela atau bahkan yang melibatkan fisik yaitu mengajak berkelahi (bermusuhan). Begitu pula orang yang bersikap pesimis, ia menjadi enggan untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia akan menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.

e. Dimensi Konsep Diri

Konsep diri memiliki dua dimesi pokok menurut William H. Fitts (dalam Agustiani, 2006), yaitu pertama dimensi Internal yang terdiri dari diri identitas (identity self), diri Pelaku (behavioral self) dan diri penerima/penilai (judging self). Kedua dimensi eksternal yang meliputi diri fisik (psysical self), diri etik-moral (moral-ethical self), diri pribadi (personal self), diri keluarga (family self), dan diri sosial (social self).

Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu yakni penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Diri identitas (identity self) merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “siapakah saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya, misalnya “Saya Ita”, kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan tentang dirinya juga bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti “Saya pintar tetapi saya terlalu gemuk” dan sebagaianya.

Selanjutnya diri pelaku (behavioral self) merupakan presepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh dirinya”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang kuat akan menunjukkan

(5)

adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku.

Dimensi internal yang terakhir adalah diri penerima/penilai (judging self). Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri pelaku. Manusia cenderung memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, lebel-label yang dikenakan pada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian ini lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya.

Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan diriya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Keputusan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan memfokuskan energi serta perhatiannya ke luar dirinya dan pada akhirnya dapat berfungsi lebih konstruktif. Diri sebagai penilai erat kaitannya dengan harga diri (self esteem), karena sesungguhnya kecenderungan evaluasi diri ini tidak saja hanya merupakan komponen utama dari persepsi diri, melainkan juga merupakan komponen utama pembentukan harga diri.

Penghargaan diri pada dasarnya didapat dari 2 (dua) sumber utama, yaitu (1) dari diri sendiri dan (2) dari orang lain. Penghargaan diperoleh bila individu berhasil mencapai tujuan-tujuan dari nilai-nilai tertentu, tujuan, nilai dan standar ini dapat berasal dari internal, eksternal maupun keduanya.

Umumnya, nilai-nilai dan tujuan-tujuan pada mulanya dimasukkan oleh orang lain. Penghargaan hanya akan didapat melalui pemenuhan tuntuan dan harapan orang lain. Namun, pada saat diri sebagai pelaku telah berhubungan dengan tingkah laku aktualisasi diri, maka penghargaan juga dapat berasal dari diri individu itu sendiri. Oleh karena itu, walaupun harga diri (self esteem) merupakan hal yang mendasar untuk aktualisasi diri, aktualisasi diri juga penting untuk harga diri. Penjelasan mengenai ketiga bagian dari dimensi internal, memperlihatkan bahwa masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, namun saling melengkapi, berinteraksi dan membentuk suatu diri (self) serta konsep diri (self concept) secara utuh dan menyeluruh.

(6)

Dimensi yang kedua adalah dimensi Eksternal. Dimensi eksternal ini, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya. Namun, dimensi yang dikemukakan oleh Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang.

Diri fisik (psysical self) menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).

Diri etik-moral (moral-ethical self) merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

Diri pribadi (personal self) merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

Diri keluarga (family self) menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga. Dan yang terakhir adalah Diri Sosial (social self) bagian ini merupakan penilaian terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitar.

Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seseorang tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki sifat yang baik tanpa adanya reaksi dari orang lain yang memperlihatkan bahwa secara fisik ia memang menarik. Demikian pula seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik tanpa adanya tanggapan atau reaksi orang lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memang memiliki pribadi yang baik.

(7)

f. Konsep Diri dan Pembelajaran Matematika

Menurut Gelman dalam Handayani (2004), pelajaran matematika merupakan pelajaran yang potensial memberikan pengalaman salah dan gagal cukup besar pada anak. Hal ini didukung oleh pendapat (Gunawan, 2007) yang menyatakan bahwa mata pelajaran yang mempengaruhi konsep diri siswa adalah bahasa dan matematika. Bahasa adalah sarana atau media untuk orang dapat memahami materi yang lain karena materi termasuk mata pelajaran disajikan dengan menggunakan bahasa. Anak yang kesulitan dalam memahami bahasa maka mereka juga mengalami kesulitan dalam memahami mata pelajarann lainnya. Matematika adalah cara utama untuk memahami dan mengembangkan logika, yang merupakan cara memecahkan masalah sehari-hari. Masyarakat seringkali beranggapan bahwa anak yang tidak bisa matematika dianggap dan dicap sebagai anak yang bodoh. Julukan yang diberikan ini akan masuk dan meresap dalam diri anak tersebut dan akan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak tersebut. Akibatnya, anak takut untuk bertanya, mengungkapkan pendapat, mencoba untuk kreatif dan inovatif, serta konsep diri yang terbentuk akan bersifat negatif. Jika konsep diri yang terbentuk bersifat negatif maka perilaku yang muncul akan cenderung negatif dan produktivitasnya akan menurun. Begitu juga dalam belajar matematika.

Belajar matematika membutuhkan tiga macam kemampuan yaitu kemampuan prosedural, konseptual, dan pemanfaatan. Kemampuan prosedural melalui serangkaian urut-urutan tindakan. Kemampuan konseptual meliputi pemahaman terhadap prinsip-prinsip yang mendasari urut-urutan tindakan tersebut. Kemampuan pemanfaatan adalah mengetahui keadaan yang tepat untuk mengambil tindakan. Jadi, ketiga kemampuan tersebut meliputi pengetahuan bagaimana memecahkan masalah, mengapa dipecahkan dengan cara itu, dan kapan metode pemecahan masalah tersebut seharusnya digunakan. Kemampuan prosedural, konseptual, dan pemanfaatan bukan proses yang sederhana karena melibatkan kemampuan penggunaan simbol, abstraksi, hipotesis, dan analisis.

Hal ini berdampak, seorang anak tidak dengan mudah untuk trampil dan menguasai matematika. Seorang anak harus banyak berlatih supaya dapat meningkatkan kemampuan berpikir abstrak. Dalam berlatih, seringkali anak mengalami kegagalan dan kesalahan maka ia akan semakin frustasi, menganggap dirinya tidak mampu, dan akan cenderung menghindari pelajaran matematika. Oleh karena itu, peran guru di sekolah menjadi signifikan untuk membantu siswa mengatasi persoalan ini. Pengalaman awal yang diberikan oleh guru yang membuat siswa menjadi tenang, tidak tertekan, termotivasi untuk

(8)

belajar, dan memecahkan masalah akan menjadi dasar yang baik bagi perkembangan anak selanjutnya. Pengalaman tersebut bisa berupa penghargaan pada kemauan dan usaha anak, menghargai keunikan anak, memandang anak sebagai sosok individu yang positif dan mampu berkembang, serta pendampingan yang mendorong anak untuk mengalami kemajuan dan mampu memecahkan matematika dengan bantuan benda-benda kongkret. Penciptaan suasana yang sehat ini merupakan upaya pemberian penguatan positif bagi perkembangan konsep diri anak yang sehat (Handayani, 2004).

Orang dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Tidak seperti konsep diri yang terlalu kaku atau terlalu longgar, konsep diri yang postif bersifat stabil dan bervariasi. Konsep ini berisi berbagai ”kotak kepribadian”, sehingga orang dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri, informasi positif maupun negatif. Jadi, dengan konsep diri positif, seseorang dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bervariasi tentang dirinya sendiri.

Menurut Handayani (2004), pembentukan sekaligus penguatan bagi konsep diri positif terhadap kemampuan diri terhadap pelajaran matematika bisa dilakukan dengan cara:

1). Memberikan suatu tantangan yaitu memberikan permasalahan yang cukup sulit tetapi pasti bisa dikerjakan oleh siswa

2). Mendorong anak untuk terus menerus mencoba memecahkan soal-soal matematika tanpa dihantui oleh perasaan cemas karena melakukan kesalahan

3). Menghargai dan mempercayai siswa serta menghindari tanggapan-tanggapan yang bersifat merusak harga diri serta menertawakan, mengolok-olok, mencela dan sebagainya

4). Memberikan kehangatan pada siswa berupa pengertian, pemahaman, sikap bersahabat, toleransi yang tinggi terhadap siswa, serta penerimaan. Kehangatan guru sangat berkaitan dengan prestasi, perbendaharaan kata dan aritmatika

5). Memberikan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif anak

6). Menghindari berbagai bentuk hukuman baik secara fisik maupun verbal.

Menurut Purwaningsih (2008), pengembangan konsep diri yang positif ditempuh melalui: mendorong siswa membuat pilihan dan mengelola proses belajarnya sendiri, memelihara lingkungan belajar yang hangat dan interpersonal, mendorong siswa bekerja keras, menunjukkan kepada siswa adanya emosi dan perasaan, perasaan positif siswa dikembangkan dengan memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan, siswa diberi pengalaman yang mengembangkan

(9)

kebiasaan dan sikap positif, guru sensitif terhadap kebutuhan siswa dan guru sendiri mampu memberikan contoh sikap positif, sensitif terhadap perasaan orang lain, mempunyai toleransi, dapat dipercaya, dan tepat waktu.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penciptaan suasana positif lebih efektif dalam meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, penciptaan suasana yang positif dianggap sebagai penguat (reinforcement) bagi peningkatan motivasi belajar dan konsep diri sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar.

Konsep diri dikategorikan dalam 3 kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Teori di atas, konsep diri dikategorikan dalam 2 macam, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Pengkategorian konsep diri dapat pula dibagi menjadi 3 macam. Menurut Burn (1993), konsep diri tinggi disebut juga konsep diri lebih positif, konsep diri sedang disebut juga konsep diri positif, dan konsep diri rendah disebut juga konsep diri negatif.

2. Prestasi Belajar Matematika a. Pengertian Prestasi Belajar

Tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan guru dan untuk mengetahui tingkat ketercapaian kurikulum digunakan alat ukur yang dikenal dengan istilah “prestasi belajar”. Menurut Louis, prestasi belajar adalah pernyataan khusus tentang apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa, sebagai hasil kegiatan belajar, biasanya berupa pengetahuan (knowlegde), keterampilan (skill), atau sikap (attitude) atau pencapaian kompetensi siswa. Menurut Abi Samra, prestasi belajar menunjuk pada kecakapan dan unjuk kerja siswa yang multi dimensi, terkait dengan perkembangan manusia: kognitif, emosi, sosial, dan fisik yang merefleksikan keutuhan siswa. Clarck memberi batasan tentang prestasi belajar sebagai hasil pengukuran tentang apa yang diketahui atau yang dapat dilakukan seseorang setelah belajar. Pengukuran yang dimaksud adalah sebagai alat yang dipakai untuk menyediakan balikan bagi siswa dan pihak lainnya, untuk menentukan posisi siswa dalam hubungannya dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, Slameto (2003) menyimpulkan bahwa prestasi belajar siswa adalah pernyataan tentang tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan sekolah, setelah usai satu satuan program pengalaman pembelajaran, dalam satu periode waktu tertentu (semester atau tahun ajaran). Tujuan pembelajaran dapat berupa penguasaan pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, dan

(10)

sikap akademik. Pencapaian tujuan pembelajaran sering diukur dengan skor tes/ulangan/ujian standar atau buatan guru, dan tugas-tugas lain, termasuk pekerjaan rumah (PR) untuk mata pelajaran tertentu. Skor tes, tugas, dan PR mencerminkan perilaku hasil pengalaman, berkaitan dengan konsep, topik, atau masalah tertentu dalam mata pelajaran yang diikuti. Pengalaman yang memungkinkan terbentuknya hasil belajar siswa tersebut dapat berupa pengetahuan siswa dan apa yang ingin diketahuinya, apa yang telah dipelajari, serta apa yang benar-benar dapat dilakukan, dari apa yang telah diketahuinya. Selain itu, dapat juga berupa kepercayaan diri dan motivasinya dalam mendemonstrasikan apa yang dapat dilakukannya. Pada akhirnya, ciri hasil belajar tersebut bersifat baru, menetap, positif, disadari, dan fungsional (Slameto, 2006).

Menurut Winkel (1992), prestasi belajar adalah aktivitas psikis yang berlangsung dalam lingkungan untuk menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan sikap yang akan diperoleh hasil yang baru atau penyempurnaan dari hasil yang diperoleh sebelumnya. Menurut Sadali dalam Purwaningsih (2008), prestasi belajar siswa berhubungan dengan kinerja akademik yang dalam Bahasa Ingris disebut Academic Performance berupa hasil belajar siswa. Prestasi belajar adalah hasil dari usaha, kemampuan dan sikap siswa dalam menyelesaikan kegiatan dalam bidang pendidikan. Menurut Arikunto dalam Purwaningsih (2008), prestasi belajar juga diartikan sebagai hasil yang mencerminkan sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada setiap jenjang studi. Gambaran prestasi siswa dinyatakan dengan angka 0 sampai dengan 10. Menurut Suharjana (2005), prestasi belajar adalah bukti usaha yang dapat dicapai atau perubahan yang terjadi pada siswa dalam bidang pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai hasil proses belajar. Prestasi belajar merupakan hasil-hasil kemampuan nyata sebagai akibat keaktifannya dalam kegiatan belajar yang dinyatakan dengan simbol angka atau huruf. Dengan kata lain, prestasi belajar merupakan bukti dari hasil yang telah dicapai.

Berdasarkan definisi-definisi prestasi belajar diatas maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan pernyataan tentang tingkat keberhasilan siswa sebagai hasil kegiatan belajar, biasanya berupa pengetahuan (knowlegde), keterampilan (skill), atau sikap (attitude) atau pencapaian kompetensi siswa. Prestasi belajar dapat diwujudkan dengan angka atau huruf.

b. Faktor- faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar

Prestasi belajar matematika dalam penelitian ini adalah pencapaian yang diperoleh siswa berupa kecakapan tentang bilangan

(11)

khususnya bidang aritmatika penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan campuran melalui proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu pada jangka waktu tertentu sebagai hasil dari pengalamannya yang secara akademik diwujudkan dalam bentuk penilaian angka oleh guru.

Faktor-faktor prestasi belajar menurut Slameto (2010)adalah sebagai berikut):

1. Faktor internal meliputi faktor jasmaniah yang terdiri dari kesehatan dan cacat tubuh dan faktor psikologis yang terdiri dari inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan, faktor kelelahan yang terdiri dari kelelahan jasmani dan rohani.

2. Faktor eksternal antara lain faktor keluarga, faktor sekolah yang terdiri dari metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pengajaran (media), waktu sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah, faktor masyarakat.

c. Prestasi Belajar Matematika

Menurut Johnson dan Myklebust (dalan Mulyono Abdurrahman, 2003) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Lerner (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003), mengemukakan bahwa matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas.

Pengertian matematika menurut Bell (dalam H. Veithzal Rivai, 2000) menyatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang lagika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep berhubungan lainnya yang jumlahnya banyak. Sedangkan menurut Heckhausen (dalam H. Veithzal Rivai, 2000) mengungkapkan bahwa matematika dikenal sebagai himpunan dan subsistem yang masing-masing dapat memiliki struktur sendiri-sendiri.

Matematika adalah suatu sistem yang dapat berdiri sendiri tetapi dapat pula menjadi subsistem untuk sistem atau suatu sistem lain Menurut Alfred (dalam H. Veithzal Rivai, 2000). Oleh karena itu, banyak materi pelajaran matematika yang memerlukan pengetahuan prasyarat untuk dapat mempelajarinya. Ditambahkan pula, matematika merupakan pelajaran yang banyak menggunakan simbol yang dilakukan sesuai aturan-aturan yang telah ditentukan, sehingga untuk mempelajari matematika perlu menguasai hal-hal di atas secara pasti atau eksak.

(12)

Pengertian-pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa matematika adalah bahasa simbolis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan, yang memudahkan setiap individu berpikir dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut lagi, matematika pada dasarnya merupakan pelajaran yang banyak memerlukan pemusatan pemikiran dan perhatian untuk mengingat dan mengenal kembali semua ide-ide atau konsep hubungan yang ada serta aturan-aturan yang harus dipenuhi untuk menguasai materi yang sedang dipelajari. Sehingga berdasarkan uraian di atas tentang prestasi belajar dan pengertian matematika maka yang dimaksud prestasi belajar matematika adalah hasil yang telah dicapai siswa sebagai tanda atau simbol keberhasilan dari usaha belajar (hasil aktivitas belajar) matematika yang meliputi pemusatan pemikiran dan perhatian untuk mengingat dan mengenal kembali semua ide-ide atau konsep hubungan baik yang menyangkut materi bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran serta statistika dan peluang yang pada dasarnya menghasilkan perubahan, pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, dan dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes matematika yang diikutinya.

B. Penelitian yang Relevan

Pada penelitian yang dilakukan Belina Prasti (2011) mengenai”hubungan antara konsep diri dengan prestasi belajar matematika kelas VIII SMP N 2 Tengaran” menghasilkan koefisien korelasi r = 0,489 dan signifikan 0,000 p < 0,05. Itu menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara konsep diri dengan prestasi belajar matematika.

Nunik Miyati (2010) yang melakukan penelitian pada siswa kelas V SDN di gugusan merbabu kecamatan ngablak kabupaten magelang tahun pelajaran 2009/2010 menyimpulkan ada hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar siswa dengan hasil r = 0,4777 dan p = 0,000 (p < 0,05). Dengan arti semakin tinggi konsep diri yang dimiliki siswa maka semakin tinggi pula prestasi belajar siswa yang dapat diraih. Sebaliknya jika konsep diri siswa rendah maka prestasi belajar siswa pun juga semakin rendah. Menurut Suharmi (2005) berdasarkan analisis tentang hubungan antara konsep diri dengan prestasi belajar yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa koefisien korelasi rho = 0,166 dengan signifikansi p = 0,193 > 0,050. Jadi tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar siswa.

Begitu pula menurut Maria Pindi Munggul (2010) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar matematika siswa kelas V SD gugus kanirogo kecamatan tingkir.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa sudah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara konsep diri dengan prestasi belajar,

(13)

seperti yang dilakukan Belina Prasti, Munik Miyati, Suharmi, Maria Pindi Munggul. Meskipun mereka melakukan penelitian dengan persoalan yang sama tetapi hasil penelitian yang diperoleh berbeda dan bertentangan. Hasil penelitian yang dilakukan Belina Prasti dan Nunik, diperoleh kesimpulan bahwa konsep diri mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan prestasi belajar matematika, sedangkan Suharmi dan Maria Pindi Munggul tidak ada korelasi antara konsep diri dengan prestasi belajar.

C. Kerangka Berpikir

Berdasarkan tinjauan pustaka yang sudah dipaparkan sebelumnya tampak bahwa prestasi belajar matematika dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi konsep diri yang merupakan bagian terpenting bagi kepribadian seseorang, yaitu sebagai penentu bagaimana seseorang bersikap dan bertingkah laku. Konsep diri merupakan seperangkat instrument pengendali mental dan karenanya mempengaruhi prestasi belajar matematika. Sementara faktor eksternal meliputi guru, teman, orang tua, fasilitas.

D. Hipotesis

Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian dan berdasarkan kajian teori di atas maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan prestasi belajar matematika pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Salatiga”.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut analisa penulis, bahwa seseorang yang telah banyak ibadahnya kepada Allah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan melakukan dosa, sebab manusia

para bawahan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Dalam kaitannya untuk melihat intensitas koordinasi kepala sekolah dan pengawas dalam

Sedangkan jenis analisis data yang digunakan adalah kuanlitatif dengan teknik prosentase.Untuk mengukur Sikap Keberagamaan Mahasiwa Fakultas Agama Islam Setelah Mengikuti

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus,

Pada dasarnya, kepuasan dan ketidakpuasan konsumen atas suatu produk akan berpengaruh pada pola perilaku selanjutnya yang ditunjukkan oleh konsumen setelah proses pembelian terjadi

Dan untuk menganalisis tentang efektivitas model inkuiri terbimbing dalam meningkatkan sikap ilmiah dan keterampilan berpikir kritis siswa pada pembelajaran IPA di

Pada masing-masing umur tegakan dilakukan pendugaan parameter tegakan (diameter, jumlah pohon, dan volume) dengan mensimulasikan 8 ukuran plot contoh (mulai dari 10 m x 10

Menurut penelitian Widowati (2013), hasil observasi data umur obligasi perusahaan penerbit obligasi cenderung ke arah nilai maksimalnya, mengindikasikan bahwa