8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Proses Belajar - Mengajar 2.1.1 Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu kegiatan yang membawa perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan melainkan juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat, penyesuaian diri, pendeknya mengenai segala aspek atau pribadi seseorang (Nasution, 1995: 35). Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Slameto, 2003: 2).
Selanjutnya Winkel (1989: 15) mengemukakan bahwa belajar pada manusia merupakan suatu proses siklus yang berlangsung dalam interaksi aktif subyek dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang bersifat menetap/ konstan. Selain itu Sardiman (1992: 22) menyatakan bahwa belajar senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau keterampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya membaca, mengamati, mendengarkan dan lain sebagainya.
Dari uraian beberapa pendapat di atas maka dapat dirumuskan defenisi belajar yaitu suatu proses untuk mencapai suatu tujuan yaitu perubahan kearah yang lebih baik. Perubahan tersebut adalah perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap dan tingkah laku yang bersifat menetap.
2.1.2. Pengertian Mengajar.
Menurut Slameto (2001: 29) mengajar adalah penyerahan kebudayaan berupa pengalaman dan kecakapan kepada anak didik kita. Adapun defenisi lain di negara-negara modern yang sudah maju mengatakan bahwa mengajar adalah bimbingan kepada siswa dalam proses belajar. Defenisi ini menunjukkan bahwa yang aktif adalah siswa, yang mengalami proses belajar. Guru hanya membimbing, menunjukkan jalan dengan memperhitungkan kepribadian siswa.
9
Kesempatan untuk berbuat dan aktif berpikir lebih banyak diberikan kepada siswa.
Mengajar didefinisikan oleh Sudjana (2000: 37) sebagai alat yang direncanakan melalui pengaturan dan penyediaan kondisi yang memungkinkan siswa melakukan berbagai kegiatan belajar seoptimal mungkin. Pasaribu (1983: 7) mengajar adalah suatu kegiatan mengorganisir (mengatur) lingkungan sebaik-baiknya dengan anak sehingga terjadi proses belajar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu kegiatan membimbing dan mengorganisasikan lingkungan sekitar anak didik, agar tercipta lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang optimal.
2.1.3. Proses belajar-mengajar Matematika
Berdasarkan pengertian belajar dan mengajar di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Belajar merupakan proses perubahan sedangkan belajar merupakan proses pengaturan agar perubahan itu terjadi. Proses belajar mengajar untuk mata pelajaran matematika harus memperhatikan karakteristik matematika. Sumarmo (2002: 2) mengemukakan beberapa karakteristik matematika yaitu : materi matematika menekankan penalaran yang bersifat deduktif materi matematika bersifat hirarkis dan terstruktur dan dalam mempelajari matematika dibutuhkan ketekunan, keuletan, serta rasa cinta terhadap matematika. Karena materi matematika bersifat hirarkis dan terstruktur maka dalam belajar matematika, tidak boleh terputus-putus dan urutan materi harus diperhatikan. Artinya, perlu mendahulukan belajar tentang konsep matematika yang mempunyai daya bantu terhadap konsep matematika yang lain.
2.2. Keaktifan Belajar
Menurut Mc Keachie dalam Dimyati dan Mujiono (1999:45) berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan bahwa “individu merupakan manusia belajar yang selalu ingin tahu.” Menurut Sriyono (1992:75),”Keaktifan adalah pada waktu guru mengajar ia harus
10
mengusahakan agar murid-muridnya aktif jasmani maupun rohani.” Menurut Sagala (2006:124-134), keaktifan jasmani maupun rohani itu meliputi antara lain:
a. Keaktifan indera : pendengaran, penglihatan, peraba dan lain-lain. Murid harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik mungkin. b. Keaktifan akal : akal anak-anak harus aktif atau diaktifkan untuk
memecahkan masalah, menimbang-nimbang, menyusun pendapat dan mengambil keputusan.
c. Keaktifan ingatan : pada waktu mengajar, anak harus aktif menerima bahan pengajaran yang disampaikan guru dan menyimpannya dalam otak, kemudian pada suatu saat ia siap mengutarakan kembali.
d. Keaktifan emosi : dalam hal ini murid hendaklah senantiasa berusaha mencintai pelajarannya.
Menurut Sudjana (1988:72), mengemukakan keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar dapat dilihat dalam :
a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya. b. Terlibat dalam pemecahan masalah.
c. Bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya.
d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
e. Melatih diri dalam memecahkan masalah atau soal.
f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperoleh.
Menurut Paul. B. Diedrich dalam Rohani (1991:8-9) mengklasifikasikan aktifitas menjadi :
a. Visual activities, seperti : membaca, melihat gambar, percobaan, mengamati pekerjaan orang lain.
b. Oral activities, seperti : menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, diskusi.
c. Listening activities, seperti : mendengarkan uraian, percakapan, musik, pidato.
11
d. Writing activities, seperti : menulis, keterangan, laporan.
e. Drawing activities, seperti : menggambar, membuat grafik, peta, diagram. f. Motor activities, seperti : melakukan percobaan, membuat konstruksi.
g. Mental activities, seperti : menanggapi, mengingat-ingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.
h. Emotional activities, seperti : menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.
Melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran IPA sangat penting, karena dalam IPA banyak kegiatan pemecahan masalah yang menuntut kreativitas siswa aktif. Siswa sebagai subyek didik adalah yang merencanakan dan ia sendiri yang melaksanakan belajar. Untuk menarik keterlibatan siswa dalam pembelajaran guru harus membangun hubungan baik yaitu dengan menjalinan rasa simpati dan saling pengertian. Membina hubungan baik bisa mempermudahkan pengelolaan kelas dan memperpanjang waktu
2.3. Hasil Belajar
Hasil belajar pada dasarnya berkaitan pula dengan hasil yang dicapai dalam belajar. Pengertian hasil belajar itu sendiri dapat diketahui dari pendapat ahli pendidikan. Hasil belajar berasal dari kata hasil dan belajar. Agar tidak menyimpang dari pengertian sesungguhnya maka perlu dijelaskan secara per kata terlebih dahulu.
Hasil belajar dari gabungan kata hasil dan kata belajar. Hasil belajar diartikan sebagai keberhasilan usaha yang dapat dicapai (Winkel,1998:162). Hasil belajar merupakan keberhasilan yang telah dirumuskan guru berupa kemampuan akademik. Winarno Surachmad (1981:2) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan nilai hasil belajar yang menentukan berhasil tidaknya siswa dalam belajar. Hal tersebut berarti hasil belajar merupakan hasil dari proses belajar. Dalam hasil belajar meliputi kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor (Sunaryo,1983:4).
12
Dari berbagai kajian definisi hasil belajar di atas maka yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil belajar matematika yang berupa kemampuan akademis siswa dalam mencapai standar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya dan harus dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Belajar dipengaruhi pula oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain dibagi menjadi dua kategori yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai berikut: 1) Kesehatan anak, 2) Rasa aman, 3) Kemampuan dan minat, 4) Kebutuhan diri anak akan sesuatu yang akan dipelajari (Rustiyah NK,1995:123).
Faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai berikut. 1) Lingkungan belajar, iklim, dan teman belajar. 2) Motivasi dari luar (Rustiyah NK,1995:123).
Adapun faktor yang datang dari luar diri anak, yaitu dari sekolah tempat anak belajar seperti guru, waktu, sarana dan prasarana belajar, kurikulum, materi, dan suasana belajar. Selain faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, juga siswa mengalami hambatan-hambatan dalam belajar baik itu bersifat endogen maupun bersifat eksogen. Yang bersifat endogen adalah faktor biologis dan faktor psikologis siswa. Sedangkan faktor eksogen adalah seperti sikap orang tua, suasana lingkungan, sosial ekonominya, dan sikap budayanya. Untuk dapat meningkatkan belajar dengan baik maka guru harus mengenal anak dengan baik pula karena setiap anak tidak sama persis kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian guru harus mampu meneliti setiap kekurangan-kekurangan dalam hasil belajar siswa.
Hasil belajar yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hasil akademis yaitu hasil yang dicapai siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar yang telah dirumuskan guru baik berupa segi kognitif, afektif maupun dari segi psikomotornya. Dalam proses belajar dan mengajar seorang guru wajib menentukan tujuan pembelajaran baik tujuan pembelajaran umum maupun khusus.
13
Mengukur keberhasilan belajar siswa atau hasil yang dicapai siswa harus mampu mengevaluasi belajar siswa. Keberhasilan belajar siswa dapat dilihat dari segi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Untuk memudahkan guru dalam mengukur keberhasilan belajar maka guru harus menentukan tujuan pembelajaran khusus yang baik. Ada beberapa kriteria dalam pembuatan TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus) yang baik yaitu sebagai berikut.
a) Mengandung satu jenis perbuatan.
b) Dinyatakan dalam kualitas dan kuantitas penguasaan siswa.
c) Kondisi yang bagaimana yang diinginkan guru (Tim MKDK IKIP Semarang, 1995:28).
Jadi hasil belajar dapat diartikan sebagai hasil belajar yang telah dicapai siswa setelah mengikuti kegiatan proses belajar dan mengajar, baik yang menyangkut segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Hasil yang dimaksudkan dalam penelitian tindakan kelas ini, berupa hasil belajar yang berupa hasil akademik siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu. Hasil akademik ini berupa angka kuantitas yang dituliskan dalam buku raport. Sedangkan dalam kaitannya dengan penelitian ini, hasil belajar adalah peningkatan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan guru.
Hasil belajar yang dicapai siswa berkaitan erat dengan kesulitan belajar dan keberhasilan belajar. Kesulitan belajar siswa dalam mata pelajaran matematika dapat diketahui dari ciri-cirinya. Kesulitan belajar yaitu di mana anak didik atau siswa tidak mampu belajar sehingga hasil di bawah potensi intelektualnya (Alan O Ross, 1974:103). Menurut Lerner (1931:367) dalam buku pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, (Dr. Mulyono Abdurrahman, 1999:262) adalah kekurang pahaman tentang simbol, nilai tempat, perhitungan dan penggunaan proses yang keliru dan tulisan yang tidak terbaca.
Menurut Mulyono Abdurrahman (1996:6) bahwa kesulitan belajar adalah terjemahan dari learning disability. Terjemahan tersebut diartikan sebagai ketidakmampuan belajar. Menurut Kuffman dan Lloyd (1985:14)
14
dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996:6) bahwa kesulitan belajar adalah gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut memungkinkan menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Learner berpendapat, ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar, yaitu :
a. Adanya gangguan dalam hubungan keruangan. b. Abnormalitas persepsi visual.
c. Assosiasi visual motorik. d. Perverasi.
e. Kesulitan mengenal dan memahami simbol. f. Gangguan penghayatan tubuh.
g. Kesulitan dalam bahasa dan membaca
h. Performance IQ jauh lebih rendah daripada sektor verbal IQ (Mulyono Abdurrahman, 1999:259).
Jadi kesulitan belajar matematika disebabkan rendahnya kemampuan intelegensi, banyaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep visual dan adanya gangguan assosiasi visual motorik. Gejala adanya kesulitan belajar meliputi :
a. Hasil yang rendah di bawah rata-rata kelompok kelas. b. Hasil yang dicapai dengan usaha tidak seimbang. c. Lambat dalam melakukan tugas belajar.
d. Menunjukkan sikap kurang wajar seperti acuh tak acuh, berpura-pura dusta dan lain-lain.
e. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan (Widodo Supriyono, 1991:89). Jenis kesulitan belajar menurut Erman Amti, (1992:67) masalah belajar pada dasarnya digolongkan atas: (a) sangat cepat dalam belajar, b) keterlambatan akademik, (c) lambat belajar, (d) penempatan kelas, (e) kurang motivasi dalam belajar, (f) sikap dan kebiasaan yang buruk dalam belajar dan kehadiran di sekolah sering tidak masuk. Dengan demikian bahwa anak yang
15
perlu mendapat bantuan dari guru dalam hal ini adalah layanan bimbingan belajar, agar peserta didik dapat melaksanakan kegiatan belajar secara baik dan terarah.
2.4. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Pembelajaran Matematika di SD merupakan salah satu kajian yang selalu menarik untuk dikemukakan karena adanya perbedaan karakteristik khususnya antara hakekat anak dan hakekat matematika. Untuk itu diperlukan adanya jembatan yang dapat menetralisir perbedaan atau pertentangan tersebut. Anak usia SD sedang mengalami perkembangan dalam tingkat berfikirnya.
Para ahli jiwa seperti Reaget, Bruner, bruwnell Dienes percaya bahwa jika kita akan memberikan pelajaran tentang sesuatu kepada anak didik, maka harus diperhatikan tingkat perkembangan berfikir anak tersebut.
Jean Reaget dengan teori belajar yang disebut perkembangan mental anak (mental atau intelektual atau kognitif) atau ada pula yang menyebutkan teori tingkat perkembangan berfikir anak telah membagi tahapan yaitu tahapan sensori motorik (dari lahir sampai usia 2 tahun), tahap operasional awal, pra operasional (usia 2 sampai 7 tahun), tahap operasional / oprasi konkret (usia 7 sampai 11 tahun) dan tahap operasional formal / operasi formal (usia 11 tahun ke atas)
Jadi, pada dasarnya agar pelajaran matematika di SD itu dapat dimengerti oleh para siswa dengan baik. Maka seyogyanya kita akan melihat untuk bisa mengetahui tahapan perkembangan intelektual atau berfikir siswa di SD dalam pembelajaran matematika.
2.5. Pembelajaran Kooperatif
Konsep pembelajaran kooperatif (cooperative learning) bukanlah suatu konsep baru, melainkan telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pada awal abad pertama, seorang filosofi berpendapat bahwa agar seseorang belajar harus memiliki pasangan.
16
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan adanya kerja sama, yakni kerja sama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran (Johnson dan Johnson dalam Ismail, 2002: 12). Para siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan, dalam hal ini sebagaian besar aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa yakni mempelajari materi pelajaran dan berdiskusi untuk memecahkan masalah (tugas). Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dalam kegiatan belajar mengajar.
Model pembelajaran koopertif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan secara asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan efektif.
Roger dan David Johnson dalam Lie (2002: 30) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Kelima unsur tersebut yaitu : 1) saling ketergantungan positif, 2) tanggung jawab perseorangan, 3) tatap muka, 4) komunikasi antar anggota, 5) evaluasi proses kelompok.
Untuk memenuhi kelima unsur tersebut harus dibutuhkan proses yang melibatkan niat dan kiat para anggota kelompok para peserta didik harus mempunyai niat untuk bekerja sama dengan yang lainnya dalam kegiatan belajar kelompok yang akan saling menguntungkan. Selain niat, peserta didik juga harus menguasai kiat-kiat berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Salah satu cara untuk mengembangkan niat dan kerja sama antar peserta didik dalam model pembelajaran kooperatif adalah melalui pengelolaan kelas. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model pembelajaran kooperatif, yakni pengelompokan semangat kerja sama dan penataan ruang kelas.
17
2.5.1.Ciri-ciri pembelajaran kooperatif
Menurut Stahl dalam Ismail (2002: 12) bahwa ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah :
1. Belajar dengan teman 2. Tatap muka antar teman
3. Mendengarkan diantara anggota
4. Belajar dari teman sendiri dalam kelompok 5. Belajar dalam kelompok kecil
6. Produktif berbicara atau mengemukakan pendapat 7. Siswa membuat keputusan
8. Siswa aktif
Sedangkan menurut Johnson dalam Ismail (2002: 12) belajar dengan koopertif mempunyai ciri :
1) Saling ketergantungan yang positif
2) Dapat dipertanggungjawabkan secara individu 3) Heterogen
4) Berbagi kepemimpinan 5) Berbagi tanggung jawab
6) Ditekankan pada tugas dan kebersamaan
7) Mempunyai ketrampilan dalam berhubungan sosial 8) Guru mengamati
9) Efektifitas tergantung kepada kelompok
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Siswa belajar dalam kelompok, produktif mendengar, mengemukakan pendapat dan membuat keputusan secara bersama.
2) Kelompok siswa yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, jenis kelamin, dan kemampuan belajar.
18
Menurut Ibrahim (2000: 6) unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
1) Siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama.
2) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.
3) Siswa harus melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
4) Siswa haruslah berbagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
5) Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama dalam proses belajarnya.
7) Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
2.5.2. Tujuan pembelajaran kooperatif
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif mempunyai tiga tujuan yang hendak dicapai :
1. Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif unggul dalam membantu siswa untuk memahami konsep-konsep yang sulit.
2. Pengakuan adanya keragaman
Model pembelajaran kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar belakang. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik dan tingkat sosial.
19
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengembangkan keterampilan social siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif adalah berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, dan bekerja sama dalam kelompok.
2.5.3. Manfaat Model Pembelajaran Kooperatif
Manfaat-manfaat model pembelajaran kooperatif bagi siswa dengan hasil belajar yang rendah, antara lain Linda Lundgren dalam Ibrahim (2000 : 18) adalah :
1) Rasa harga diri menjadi lebih tinggi 2) Memperbaiki kehadiran
3) Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar 4) Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
5) Konflik antar pribadi berkurang 6) Pemahaman yang lebih mendalam
7) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi 8) Hasil belajar lebih tinggi
2.6. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa dalam memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan isi akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kagen dalam Ibrahim (2000 : 28) dengan melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Spencer Kagen dalam Ibrahim (2000 : 28) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dengan mengecek pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan lansung kepada seluruh kelas, guru menggunakan empat
20
langkah sebagai berikut : (a) Penomoran, (b) Pengajuan pertanyaan, (c) Berpikir bersama, (d) Pemberian jawaban.
Langkah-langkah tersebut kemudian dikembangkan menjadi enam langkah sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan penelitian ini. Keenam langkah tersebut adalah sebagai berikut :
Langkah 1. Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Langkah 2. pembentukan kelompok
Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Selain itu, dalam pembentukan kelompok digunakan nilai tes (pre-test) sebagai dasar dalam menentukan masing-masing kelompok.
Sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, guru memperkenalkan keterampilan kooperatif dan menjelaskan tiga aturan dasar dalam pembelajaran kooperatif yaitu :
1) Tetap berada dalam kelas
2) Mengajukan pertanyaan kepada kelompok sebelum mengajukan pertanyaan kepada guru
3) Memberikan umpan balik terhadap ide-ide serta menghindari saling mengkritik sesama siswa dalam kelompok.
Langkah 3. Diskusi masalah
Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok, setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa setiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau
21
pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari spesifik sampai yang bersifat umum.
Langkah 4. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas.
Langkah 5. Memberi kesimpulan
Guru memberikan kesimpulan atau jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan.
Langkah 6. Memberikan penghargaan
Pada tahap ini, guru memberikan penghargaan berupa kata-kata pujian pada siswa dan memberi nilai yang lebih tinggi kepada kelompok yang hasil belajarnya lebih baik.
2.7. Hasil Penelitian Yang Relevan
Hastuti, Dwi Eri (2008) dalam penelitian yang berjudul Pengaruh Kecemasan Matematika dan Motivasi Belajar Siswa Dalam Kooperatif Tipe NHT Terhadap Hasil Belajar Matematika di SMP N 6 Pekalongan menunjukkan bahwa pada siklus 1 siswa mengalami ketuntasan belajar 64,57% dan motivasi belajar 70,42%. Pada siklus 2 ketuntasan belajar 84,85% dan motivasi belajar 81,69%.
Lestari, Indriyati (2008) dalam penelitian yang berjudul Peningkatan Prestasi Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD pada Siswa SD Negeri Pancakarya Semarang menunjukkan bahwa sebelum siklus ketuntasan belajar sebesar 22%, setelah siklus I menjadi 48%, Siklus II 70%, Siklus III 91%.
Nadziroh, Aeni (2008) dalam penelitian yang berjudul Keefektifan Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Melalui Pemanfaatan LKS Materi Pokok Bangun Ruang Sisi Datar (Kubus dan Balok) Siswa Kelas VIII Semester 2 SMP N 36 Semarang menunjukkan bahwa pada aktivitas belajar siswa
22
mengalami peningkatan dari siklus I - III, yaitu siklus I 59,24% siklus II 64,87% dan siklus III 82,5%.
2.8. Kerangka Berpikir
Kondisi akhir Kondisi awal
Proses pembelajaran masih berpusat pada guru
Hasil belajar meningkat
Pemahaman materi meningkat Komunikasi siswa tidak
terjadi
Aktivitas siswa meningkat
Sugiyono, 2010
2.9. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian pustaka, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan keaktifan
Aktivitas siswa rendah
Pemahaman materi rendah
Hasil belajar rendah
Komunikasi siswa terjadi
Pelaksanaan siklus I dan siklus II
Inovasi model pembelajaran Numbered Heads Together
Tindakan Aktivitas guru dalam
pembelajaran kurang
Aktivitas guru dalam pembelajaran meningkat
23
dan hasil belajar tentang materi menaksir dan membulatkan operasi hitung pada siswa kelas IV SD Kepohkencono 01 Semester 1 tahun 2011/2012.