PENDAHULUAN
Latar BelakangOtonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa dibiarkan begitu saja mengalir tanpa upaya untuk mengarahkan dan mengisinya dengan berbagai tindakan nyata. Salah satu yang harus dilakukan dan sudah menjadi kebutuhan adalah upaya untuk mempersiapkan diri, khususnya masyarakat dan aparat pemerintah daerah (Pemda) untuk meningkatkan kualitas, baik kualitas sumberdaya manusia maupun kualitas sumberdaya lain, yang akan berdampak bagi terciptanya kuantitas program pembangunan di daerah.
Berkenaan dengan peningkatan kuantitas program pembangunan ini, banyak hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat daerah khususnya. Diantaranya adalah Pemda harus mampu menciptakan suatu sistem yang kondusif bagi terlaksananya proses pembangunan daerah sejak awal (perencanaan) hingga proses evaluasinya, sehingga apa yang diharapkan dari setiap program pembangunan di daerah dapat terwujud. Dengan kata lain tujuan dan dampak yang ditimbulkan dari program pembangunan benar-benar dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam memberikan panduan kepada alokasi sumber-sumber daya (semua capital yang berkaitan dengan natural, human, man-made maupun sosial) baik pada tingkatan nasional maupun regional dan lokal. Namun untuk mencapai hal tersebut sering memerlukan sumber daya dari luar, seperti barang-barang modal untuk diinvestasikan guna mengembangkan infrastruktur ekonomi sosial dan lingkungan (Anwar, 2005).
Kabupaten Agam sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Barat secara geografis terletak antara 000 01’ 34” s/d 000 28’ 43” Lintang Selatan dan 990 46’ 39” s/d 1000 32’ 50” Bujur Timur dengan luas wilayah 2 212.19 Km2 yang berarti hanya 5.26 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat yang mencapai 43 229.04 Km2. Terbagi atas empat wilayah berdasarkan topografinya yaitu:
1) wilayah datar dengan kemiringan 00 - 30 dengan luas 662 Km2; 2) wilayah datar berombak dengan kemiringan 30 - 80 dengan luas 153 Km2; 3) wilayah berombak
dan bergelombang dengan kemiringan 80 - 150 dengan luas 801 Km2; dan 4) wilayah bukit bergunung dengan kemiringan 150 lebih dengan luas 616 Km2
(BPS, 2005).
Berdasarkan penggunaan lahan existing, pembagian wilayah Kabupaten Agam terbagi menjadi 3 (tiga) bagian: 1) bagian barat; 2) bagian tengah; dan 3) bagian timur. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pembagian Wilayah Kabupaten Agam Berdasarkan Penggunaan Lahan
No. Wilayah Kecamatan Kegiatan yang dominan
I. Agam bagian barat 1. Tanjung Mutiara Kebun kelapa, kelapa sawit, 2. Lubuk Basung hutan rawa air tawar, hutan 3. Ampek Nagari rawa gambut, sebagian pertanian
dan hutan alami
II. Agam bagian tengah 4. Tanjung Raya Hutan alam dan kebun campuran 5. Palembayan
6. Matur
7. Palupuh
8. Ampek Koto
III. Agam bagian timur 9. Tilatang Kamang Pertanian (sawah), permukiman, 10.Kamang Magek kebun campuran dan hutan alam
11.Baso
12. Ampek Angkek Canduang
13.Canduang
14.Banuhampu
15.Sungai Pua Sumber: RTRW Kabupaten Agam 2004-2014
Dengan pola seperti itu, maka kawasan permukiman umumnya terdapat dibagian timur kabupaten, tepatnya di kecamatan-kecamatan sekitar Kota Bukittinggi yang merupakan konsentrasi permukiman, dan sebagian di sekitar Kecamatan Lubuk Basung yang terletak di bagian barat kabupaten yang saat ini menjadi ibukota kabupaten. Kawasan permukiman tersebut ada yang berbentuk linier mengikuti jalan dan ada pula yang berbentuk konsentris memusat (Bappeda, 2005).
Gambar 1 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Berdasarkan RTRW Tahun 2004-2014.
Berkenaan dengan arahan pemanfaatan ruang seperti yang terlihat pada Gambar 1 bahwa Kabupaten Agam terbagi dalam 3 bagian yaitu:
a. Wilayah pesisir dengan arahan pemanfaat ruang untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kelapa, permukiman, kebun campuran, tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan perikanan laut meliputi Kecamatan Lubuk Basung,Tanjung Mutiara, dan Ampek Nagari ;
b. Wilayah Tengah Agam dengan arahan kelapa sawit, kelapa, hutan lindung, hutan suaka alam, hutan produksi terbatas, agroforestry, kebun campuran, dan tanaman pangan lahan basah, dan perikanan darat yang mencakup Kecamatan Palembayan, Tanjung Raya, Matur, Ampek Koto dan Palupuh;
c. Wilayah Timur Agam dengan arahan pemanfaatan ruang untuk tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, permukiman, hutan suaka alam dan wisata, hutan produksi terbatas, agroforestry, dan hutan lindung yang mencakup wilayah Kecamatan Tilatang Kamang, Kamang Magek, Banuhampu, Sungai Puar, Ampek Angkek Canduang, Canduang, dan Baso.
Adanya arahan pemanfaatan ruang dengan pewilayahan pembangunan tersebut dimaksudkan untuk memfokuskan proses pembangunan di masing-masing wilayah. Adanya pewilayahan tersebut berarti Kabupaten Agam telah mengembangkan wilayahnya dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Dengan menggunakan SIG, semua informasi telah menggambarkan lokasi, posisi, kordinat, peta, keruangan dan pemodelan spasial serta permasalahannya. Karena SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data-data spasial. Dalam SIG, data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel dan bentuk konvensional lainnya (Barus & Wiradisastra, 2000). Permasalahan yang menyangkut spasial tersebut dapat dianalisis dengan baik secara tekstual, spasial maupun kombinasinya dan yang paling penting adalah dapat disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhannya (Prahastra, 2004).
Namun demikian, pembangunan wilayah di Kabupaten Agam masih memiliki banyak kendala dan masalah, kendala tersebut meliputi: 1) keadaan fisiografis, dimana topografi daerah ini dominan bergelombang dan berombak (hampir 53 persen dari luas wilayah kabupaten); 2) merupakan daerah rawan bencana, berupa longsor terutama pada daerah yang memiliki lereng 25 persen ke atas dengan tekstur tanah kasar peka terhadap erosi, banjir dan genangan pada daerah dataran rendah (diantaranya pinggiran pantai), serta rawan gempa; 3) kondisi sarana jalan baru mencapai 50 persen yang sudah layak (diaspal); dan 4) Ada beberapa daerah yang masih sulit dijangkau oleh PDAM dan PLN padahal di daerah ini merupakan penyuplai energi listrik terbesar kedua setelah Kabupaten Solok, dimana jangkauan penggunannya meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Sedangkan masalah pembangunan yang faktual diantaranya: 1) masih lemahnya pemahaman dan keterampilan aparatur untuk menerapkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan; 2) masih tingginya angka kemiskinan; 3) masih rendahnya produktivitas sektor pertanian, peternakan, dan perikanan; 4) masih rendahnya daya saing produk pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan; 5) belum optimalnya perluasan akses dan pemerataan
pendidikan terutama pada daerah terpencil dan terisolir; 6) pendapatan daerah didominasi oleh dana perimbangan sebesar 88,86 persen sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) hanya 4,67 persen ; serta 7) belum terwujudnya pemerataan pembangunan atau masih terjadi kesenjangan antar wilayah kecamatan, yang ditandai dengan masih adanya daerah terisolir (Bappeda, 2005).
Berdasarkan kendala dan permasalahan tersebut maka dalam perencanaan pengembangan wilayah di Kabupaten Agam: 1) harus melakukan evaluasi terhadap sumberdaya alam agar dalam pemanfaatannya dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkelanjutan; dan 2) harus memperhatikan sumberdaya lainya seperti sumberdaya manusia, kelembagaan, sosial-kapital, dan buatan.
Identifikasi dan Perumusan Masalah
Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata. Kesenjangan antar daerah seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mengalami pertumbuhan cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena kurangnya sumber-sumber daya yang dimiliki, adanya kecenderungan penanam modal (investor) memilih daerah yang telah memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, juga tenaga kerja terampil; disamping itu ada ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat ke daerah.
Ada 6 (enam) hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas (kesenjangan) antar daerah yaitu: 1) perbedaan karakteristik limpahan sumber daya alam; 2) perbedaan demografi; 3) perbedaan kemampuan sumber daya manusia; 4) perbedaan potensi lokasi; 5) perbedaan aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) perbedaan aspek potensi pasar. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam tipologi wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) wilayah maju; 2) wilayah sedang berkembang; 3) wilayah belum berkembang; dan 4) wilayah tidak berkembang (Anwar, 2005).
Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan dengan: 1) sebagai pusat pertumbuhan; 2) terdapat pemusatan penduduk,
industri, pemerintahan, dan pasar potensial; 3) tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang tinggi, serta struktur ekonomi yang relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan dengan: 1) pertumbuhan yang cepat; 2) biasanya merupakan daerah penyangga dari wilayah maju; dan 3) mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang yang belum berkembang mempunyai ciri berikut: 1) tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun relatif; 2) memiliki potensi sumber daya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan; 3) kepadatan penduduk yang masih rendah dan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal: 1) tidak memiliki potensi sumber daya alam dan potensi lokasi
sehingga secara alamiah sulit berkembang dan kurang mengalami pertumbuhan; 2) sebenarnya memiliki potensi baik sumber daya alam maupun potensi tetapi
tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Adapun ciri-ciri yang dapat dilihat dari jenis wilayah ini adalah tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumber daya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibiltas yang rendah (Anwar, 2005).
Perkembangan suatu wilayah secara alami ditentukan oleh karakter dari sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah relatif akan lebih maju dibanding dengan wilayah yang miskin sumberdaya, khususnya pada awal perkembangannya. Demikian juga wilayah yang secara alamiah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan umumnya terletak di suatu wilayah yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah atau tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain disekitarnya (Rustiadi et al., 2006).
Selanjutnya Rustiadi et al. (2006) mengemukakan bahwa dalam perkembangan wilayah yang menjadi indikator penting adalah tingkat interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Wilayah-wilayah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding dengan wilayah lain yang belum berkembang. Interaksi itu sendiri
terjadi karena adanya faktor aksesibilitas wilayah itu ke wilayah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembangan suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang. Faktor lain yang mendorong perkembangan wilayah adalah lokasinya yang berdekatan dengan pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi yang dekat dengan pusat ekonomi atau pemerintahan umumnya akan lebih terpacu perkembangannya dibanding wilayah-wilayah yang relatif lebih jauh dan bisa jadi nantinya akan berkembang sebagai penyangga bagi wilayah pusat tersebut.
Perbedaan perkembangan wilayah tersebut akan membentuk suatu struktur wilayah yang berhirarki, dimana wilayah yang telah maju cenderung akan cepat berkembang menjadi pusat aktifitas baik perekonomian maupun pemerintahan. Wilayah yang sumber daya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat menjadi faktor pendorong terutama bagi sumber daya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga akan semakin sulit bagi wilayah ini untuk berkembang karena telah mengalami kekurangan sumberdaya manusia.
Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan tahun 2006, kesenjangan pembangunan antar wilayah kecamatan di Kabupaten Agam merupakan salah satu permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian dari seluruh komponen pelaku pembangunan (stakeholder). Apabila kesenjangan tersebut tidak dilakukan penanganan secara serius maka berdampak pada masalah ekonomi, sosial dan politik di daerah tersebut.
Berdasarkan hasil kajian Bappeda Kabupaten Agam (2006), terdapat tingkatan kesenjangan yang relatif tinggi pada sektor pertanian bahan makanan yaitu padi, sektor industri (industri kecil), dan perkoperasian. Kesenjangan hasil-hasil pembangunan untuk semua sektor tersebut terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Indeks Williamson Beberapa Indikator Ekonomi Kabupaten Agam 2001-2005
No Indikator Ekonomi Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 1. Padi Produksi 0.846 0.972 0.766 0.703 0.792 Luas sawah 0.690 0.604 0.549 0.762 0.739 Produksi/ha 0.064 0.05 0.001 0.002 0.106 2. Industri kecil Jumlah 0.637 0.867 0.94 0.940 0.942 Jumlah tenaga kerja 0.943 1.096 1.188 1.192 1.189 3. Pelanggan listrik 0.534 0.478 0.474 0.474 0.475 4. Koperasi
Volume usaha KUD 0.472 0.402 0.403 0.399 0.423 Volume usaha non KUD 1.045 0.903 0.902 0.901 1.129 Simpanan Anggota 1.012 0.929 0.861 0.875 1.056
Sumber: Bappeda Tahun 2006
Baik produksi maupun luas sawah mempunyai tingkat kesenjangan yang relatif tinggi. Angka ini turun menjadi 0.792 pada tahun 2005. Berbeda halnya dengan luas sawah mempunyai tingkat ketimpangan yang tinggi tahun 2001 dan memperlihatkan adanya kenaikan pada tahun 2005. Kenaikan kesenjangan antar wilayah ini disebabkan oleh perubahan luas sawah yang cukup berarti pada wilayah-wilayah pembangunan. Ada kecamatan yang mengalami pertambahan luas sawah (Kecamatan Palembayan) dan yang mengalami pengurangan luas sawah sebanyak 14 kecamatan. Penurunan luas sawah ini dipengaruhi oleh berkurangnya luas sawah tadah hujan dan pengairan sederhana, sedangkan luas sawah pengairan setengah teknis mengalami kenaikan.
Dampak positif kebijakan pembangunan antar wilayah untuk produksi padi diikuti oleh pelaksanaan kebijakan peningkatan produktivitas padi. Pada tahun 2001, tingkat kesenjangan produktivitas padi adalah rendah (0.064). Angka kesenjangan ini hanya sedikit mengalami kenaikan pada tahun 2005 (0.106).
Secara rata-rata, produksi padi per hektar tidak mengalami permasalahan yang berarti dalam tahun 2001-2005. Pada tahun 2001, produksi per hektar
berada sekitar 4.95 ton. Angka ini naik menjadi 4.96 ton pada tahun 2005 (naik sekitar 0.2 %). Kenaikan produksi per hektar ini kelihatannya tidak merata antar wilayah pembangunan. Beberapa kecamatan (Lubuk Basung, Matur dan Baso) mengalami peningkatan produksi per hektar dalam periode tahun 2001-2005. Sedangkan sejumlah kecamatan lainnya mengalami penurunan produksi per hektar yang relatif kecil pada periode yang sama. Perbedaan-perbedaan kenaikan dan penurunan produksi per hektar ini memberi kontribusi terhadap meningkatkan kesenjangan produktivitas padi antar wilayah.
Tingkat kesenjangan yang relatif tinggi diperlihatkan pula oleh sektor industri, baik diukur dari jumlah industri antar wilayah maupun diukur dengan jumlah tenaga kerja. Tingkat kesenjangan antar waktu memberikan indikasi peningkatan seperti terlihat Tabel 2.
Berbeda halnya dengan tingkat kesenjangan pelanggan listrik, walaupun angka kesenjangan antar wilayah pembangunan tidak terlalu tinggi, namun ada kecenderungan terjadinya penurunan tingkat kesenjangan dalam periode 2001-2005. Indeks Williamson menurun dari 0.534 tahun 2001 menjadi 0.475 pada tahun 2005 (turun sekitar 10.9 persen).
Selanjutnya, dari tiga variabel yang digunakan sebagai dasar pengukuran kesenjangan perkoperasian antar wilayah pembangunan, satu variabel (volume usaha KUD) menunjukan angka penurunan pada tingkat kesenjangan sedang, sedangkan dua variabel lainnya (volume usaha non KUD dan simpanan anggota) mempunyai tingkat kesenjangan sangat tinggi dan ada indikasi pertambahan dalam periode 2001-2005.
Disamping itu, tingkat kesenjangan berfluktuasi antara tahun 2001 dan 2005. Kesenjangan volume usaha KUD secara konsisten menurun dari tahun 2001 sampai dengan 2004, kemudian tahun 2005 meningkat dibanding tahun 2004. Hal yang sama terlihat pula pada variabel volume usaha non KUD dan simpanan anggota.
Adanya kesenjangan wilayah ini tentu akan berdampak terhadap kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat serta dampaknya dari proses pembangunan itu sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat maupun sumber daya alam yang ada.
Adanya kesenjangan wilayah (daerah) seperti yang telah digambarkan tersebut akan memberikan dampak terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan. Untuk wilayah yang telah maju akan menyediakan lapangan pekerjaan yang jauh lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan wilayah yang kurang atau tidak berkembang. Perkembangan wilayah yang relatif maju akan menjadi daya tarik tenaga kerja dari berbagai wilayah di sekitarnya. Hal ini akan menyebabkan kesenjangan dalam penyebaran tenaga kerja dimana daerah yang maju akan mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja sedangkan daerah yang belum atau tidak maju menjadi kekurangan suplai tenaga kerja.
Kerangka umum kebijakan pembangunan adalah mengurangi segala bentuk hambatan sehingga dapat mengalir ke segala wilayah secara efisien dan diharapkan dapat memecahkan atau mengurangi berbagai permasalahan pembangunan di setiap wilayah (Nugroho & Dahuri, 2004).
Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam merumuskan strategi pembangunan, yaitu strategi pembangunan yang berpedoman pada pemahaman mendalam terhadap karakteristik, potensi dan permasalahan pembangunan untuk mencapai kemajuan wilayah yang kompetitif.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik wilayah di Kabupaten Agam?
2. Apakah struktur wilayah-wilayah di Kabupaten Agam memiliki hirarki dan bagaimana bentuk struktur hirarkinya?
3. Apakah ada keterkaitan antar wilayah dan bagaimana bentuk keterkaitannya? 4. Berapa besar tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah? Faktor-faktor
apa saja yang menyebabkan kesenjangan tersebut dan bagaimana pula hubungan antara faktor-faktor tersebut.
5. Bagaimana strategi pembangunan wilayah Kabupaten Agam? Tujuan Penelitian
Memperhatikan hal tersebut, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan untuk menjawab sejumlah permasalahan perkembangan pembangunan wilayah terutama menyangkut kesenjangan.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Membuat tipologi wilayah Kabupaten Agam berdasarkan data-data spasial dan data sosial ekonomi wilayah dengan unit analisis wilayah nagari;
2. Mengidentifikasi hirarki wilayah berkaitan dengan pola sebaran fasilitas publik yang ada;
3. Mengidentifikasi keterkaitan antar wilayah dengan menggunakan data aliran barang/orang;
4. Menghitung besarnya tingkat kesenjangan, mengidentifikasi faktor penentu penyebab kesenjangan dan mengetahui hubungan antar faktor-faktor tersebut. 5. Menyusun strategi pembangunan wilayah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Agam
sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam menyusun perencanaan pembangunan daerah;
2. Sebagai bahan masukan untuk pembelajaran (learning process) dalam perumusan kebijakan pembangunan dan pengembangan daerah terutama berkaitan dengan keberimbangan pembangunan antar wilayah kecamatan;
Batasan Penelitian
Agar penelitian ini lebih fokus pada tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka ditetapkan batasan-batasan penelitian sebagai berikut:
1. Analisis dilakukan hanya pada aspek-aspek fisik, sosial dan ekonomi yang berpengaruh terhadap perkembangan wilayah serta permasalahan kesenjangan pembangunan;
2. Objek penelitian adalah seluruh nagari di Kabupaten Agam berdasarkan
dokumen RTRW tahun 2004-2014 yaitu sebanyak 73 nagari pada 15 kecamatan.