• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM KEPARIWISATAAN KOTA YOGYAKARTA. A. Letak Geografis. terbagi dalam Kotamadya Yogyakarta (32,5 km 2 ), Kabupaten Bantul (506,85

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM KEPARIWISATAAN KOTA YOGYAKARTA. A. Letak Geografis. terbagi dalam Kotamadya Yogyakarta (32,5 km 2 ), Kabupaten Bantul (506,85"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM KEPARIWISATAAN KOTA YOGYAKARTA

A. Letak Geografis

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas daerah 3185,80 km2 yang terbagi dalam Kotamadya Yogyakarta (32,5 km2), Kabupaten Bantul (506,85 km2), Kabupaten Kulonprogo (586,27 km2), kabupaten Gunung Kidul (1485,36 km2), kabupaten Sleman (574,82 km2). Ditinjau dari segi garis lintang dan garis bujur, Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada 7’33” – 8’12” LS dan 100’00” – 110’50” BT. Dari segi geografis tersusun atas empat satuan, yaitu Pegunungan Selatan, Gunung Api Merapi, dataran rendah antara pegunungan selatan dan pegunungan Kulonprogo dan dataran rendah selatan. Di tengah wilayah kota tersebut mengalir tiga buah sungai dari arah utara ke selatan, yaitu Sungai Winongo yang terletak di bagian barat kota, Sungai Code terletak di bagian tengah dan Sungai Gadjah Wong terletak di bagian timur.

Secara keseluruhan kota Yogyakarta berada di daerah dataran lereng gunung Merapi, dengan kemiringan yang relatif datar (antara 0-3 %) dan pada ketinggian 114 meter di atas permukaan air laut. Adapun wilayah kota yang luasnya 32,5 km2 di sebelah utara dibatasi oleh Kabupaten Sleman, di sebelah timur dibatasi oleh Kabupaten Sleman dan Bantul, di sebelah selatan oleh Kabupaten Bantul dan sebelah barat oleh Kabupaten Bantul dan Sleman (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2002:3). Batas-batas kota tersebut

(2)

sesungguhnya mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan jaman dari masa kerajaan, kolonial, kemerdekaaan dan masa-masa mutakhir.

Kedudukan kota Yogyakarta sejak kemerdekaan hingga masa kini ialah menjadi Ibu Kota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Gubernur, dan masa kini dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono X. Selain itu kota Yogyakarta pada masa kini juga menjadi Ibu Kota Pemerintah Kota Yogyakarta yang dipimipin oleh seorang Wali Kota. Wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta terbagi atas 14 wilayah Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW dan 2.532 RT ( Buku Saku Kotamadya Yogyakarta, 1998 ). Secara singkat dapat dikemukakan bahwa luas wilayah kota Yogyakarta mengalami proses perubahan dari semenjak pendirian kota hingga masa mutakhir. Luas dan kecepatan pemekaran fisik tersebut dapat dilihat dari tahun ke tahun ( http://regionalinvestment.com/sipid/id/area.php?ia=34&is=32 ).

1. Iklim

a. Temperatur

Temperatur harian rata-rata berkisar antara 26,6○C sampai 28,8○C, sedangkan temperatur minimum 18○C dan maximum 35○C.

b. Kelembaban Udara

Kelembaban udara rata-rata 74 % dengan kelembaban minimum 65 % dan maximum 84 %.

c. Curah hujan

(3)

300 mm terjadi pada bulan Januari, Februari, dan April. Curah hujan tertinggi 496 mm terjadi pada bulan Februari dan curah hujan terendah 3mm sampai 24 mm terjadi pada bulan Mei sampai Oktober. Curah hujan tahunan rata-rata 1855 mm ( Disparta kota Yogyakarta, 2008:9 ).

2. Keadaan Alam

Dibagian utara seluas kurang lebih 4 % tanahnya miring (kelanjutan dari gunung berapi) dengan sifat-sifat: wilayah hujan, kaya akan mata air dan sangat subur. Dibagian selatan/barat seluas kurang lebih 7 % dari barat ke arah selatan dengan ketinggian semakin rendah berakhir pada daratan pantai alluvial dengan sifat tanah: wilayah hujan, banyak mata air. Dibagian tengah seluas 41 % merupakan tanah datar dengan sifat tanah cukup subur, jaringan pengairan baik dengan penduduk yang padat.

Tipe Tanah adalah Tanah Regosol/Vulkanis muda yang terletak antara sungai Progo dan sungai Opak (di Kabupaten Sleman dan Bantul). Tanah Latosol dan Inargalit terletak di atas batu kapur terdapat di daerah Gunung Kidul dan perbukitan Kabupaten Bantul serta Kabupaten Kulonprogo. Tanah Aluvial dan Regosol terdapat di sepanjang selatan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo ( www.jogja.go.id ).

(4)

3. Kependudukan

Jumlah penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan registrasi tahun 1991 sebanyak 3.004.046 jiwa. Pada tahun 1995 jumlah penduduk tercatat sebanyak 3.154.265 jiwa dengan perincian: Kota Yogyakarta 466.313 jiwa, Kabupaten Sleman 794.101 jiwa, Kabupaten Bantul 740.535 jiwa, Kabupaten Kulonprogo 428.630 jiwa dan Kabupaten Gunung Kidul 724.685 jiwa. Kepadatan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta rata-rata 990.10 jiwa/km2, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km². pada tahun 2006 kepadatan penduduk mencapai 13,606.43/ km² ( Kantor Statistik DIY ).

B. Sejarah Singkat Kota Yogyakarta

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah pimpinan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti yaitu Negara Mataram dibagi menjadi dua, setengah masih menjadi hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya

(5)

adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu: Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai membuat perjanjian pembagian daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat untuk membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. pesanggrahan tersebut resmi ditempati pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Satu tahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki istana baru sebagai penggantinya. Dengan demikian berdirilah Kota

(6)

Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk pindah menetap di Kraton yang baru. Peresmiannya terjadi pada tanggal 7 Oktober 1756 ( www.jogja.go.id ).

Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut sangat strategis dilihat dari segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.

Meskipun Kota Yogyakarta, baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi kota Yogyakarta belum menjadi Kota

(7)

Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan masih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.

Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir. Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta ( Soedarisman Poerwokoesoemo, 1984: 17-19 ).

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr. Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu tahun

(8)

1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka dikeluarkan Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini,

(9)

maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut dengan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya ( www.jogja.go.id ).

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah kota yang kaya akan predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata. Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya.

C. Potensi dan Daya Tarik Wisata Kota Yogyakarta

Dalam peta kepariwisataan nasional, potensi Daerah Istimewa Yogyakarta menduduki peringkat kedua setelah Bali. Penilaian tersebut didasarkan pada beberapa faktor yang menjadi kekuatan pengembangan wisata di DIY. Pertama, berkenaan dengan keragaman obyek. Dengan berbagai predikatnya, DIY memiliki keragaman obyek wisata yang relatif

(10)

menyeluruh baik dari segi fisik maupun non fisik, di samping kesiapan sarana penunjang wisata. Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta juga relatif memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Terdapat tidak kurang dari 70.000 industri kerajinan tangan, dan sarana lain yang sangat kondusif seperti fasilitas akomodasi dan transportasi yang beragam, aneka jasa boga, biro perjalanan umum, serta dukungan pramuwisata yang memadai dan tim pengamanan wisata yang disebut sebagai Bhayangkara Wisata.

Yogyakarta yang letaknya bersebelahan dengan Propinsi Jawa Tengah, sehingga menambah keragaman obyek yang telah ada. Kedua, berkaitan dengan ragam spesifisitas obyek dengan karakter mantap dan unik seperti Kraton, Candi Prambanan, kerajinan perak di Kotagede dan masih banyak lagi yang lainnya. Spesifikasi obyek ini masih didukung oleh kombinasi obyek fisik dan obyek non fisik dalam paduan yang serasi. Kesemua faktor tersebut memperkuat daya saing DIY sebagai propinsi tujuan utama (primary

destination) tidak saja bagi wisatawan nusantara tetapi juga wisatawan

mancanegara. Sebutan Prawirotaman dan Sosrowijayan sebagai kampung internasional membuktikan kedekatan atmosfir Yogyakarta dengan selera eksotisme wisatawan mancanegara (wawancara dengan Wahyudi, 3 Juni 2009).

Yogyakarta terkenal sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan nusantara (domestik) maupun mancanegara. Potensi wisata yang dimiliki daerah Yogyakarta

(11)

terbentuk dari kondisi geografis, sejarah dan budaya yang dimilikinya ( Tontje Tnunay: 1991:9).

Potensi wisata yang berasal dari kondisi geografis meliputi obyek wisata alam, obyek wisata laut/bahari, dan obyek wisata buatan. Obyek wisata alam yang berasal dari pemandangan alam Gunung Merapi yang terkenal di Yogyakarta antara lain adalah kawasan wisata alam Kaliurang, Kaliadem dan kawasan Lava Tour. Kawasan Lava Tour terkenal sejak Gunung Merapi memuntahkan lava dan bahan-bahan lain dari perut Gunung Merapi. Kawasan wisata pantai yang terdiri dari Pantai Parangtritis, Parangkusumo, Parangendog, dan Pandansimo yang terkenal dengan legenda Nyi Roro Kidul, Pantai Glagah Indah yang terkenal dengan ombak besar dari Samudra Hindia, Pantai Krakal dan Pantai Baron yang terkenal dengan tempat pelelangan ikan (TPI) dan pasir pantainya yang berwarna putih, Pantai Samas, Pantai Sadeng, dan Pantai Bugel yang terkenal karena budaya masyarakatnya, dan juga Pantai Trisik dan Pantai Congot yang terkenal dengan tempat pelelangan ikannya. Selain itu masih banyak lagi lokasi wisata alam lainnya antara lain Goa Kiskendo yang terkenal dengan legenda wayangnya, Goa Selarong yang merupakan goa tempat persembunyian Pangeran Diponegoro pada waktu melawan Belanda, Goa Maria Gunung Kidul yang merupakan tempat wisata agama Katholik, Goa Cermai, Goa Bribin, Goa Lowo, dan lain-lain ( Tontje Tnunay: 1991:9 ).

Obyek wisata buatan yang ada di Yogyakarta adalah Waduk Sermo yang merupakan waduk buatan yang banyak dikunjungi wisatawan lokal yang

(12)

ingin menyaksikan kecanggihan teknologi waduk dan juga menikmati hidangan makanan di atas rakit yag dibuat oleh penduduk di kawasan waduk tersebut. Selain waduk Sermo ada juga Kebun Binatang Gembiraloka yang selain dijadikan obyek wisata juga sering dijadikan sebagai tempat penelitian untuk bidang biologi dan penangkaran hewan langka. Ada juga lokasi wisata buatan yang berbentuk agrowisata, antara lain Agrowisata Kalibawang, Agrowisata Congot, dan juga Agrowisata Salak di Turi. Wisata buatan lainnya yang juga tidak kalah terkenal sebagai tempat para wisatawan untuk mendapatkan cinderamata khas Jogja adalah kawasan Malioboro, Pasar Ngasem dan Kota Gede yang terkenal dengan kerajinan peraknya.

Potensi wisata yang berasal dari sejarah meliputi obyek wisata peninggalan-peninggalan sejarah dan budaya, antara lain Candi Prambanan (yang sering disebut juga Candi Sewu dan Candi Roro Jonggrang), Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Gebang, Candi Ijo, Candi Banyunibo, Candi Morangan, Candi Barong, Candi Abang, Candi Rejo, Candi Ratu Boko, Candi Watu Gudig, dan Candi Sambisari. Selain itu yang juga dikategorikan sebagai potensi wisata sejarah adalah Kraton Yogyakarta, Kraton Pakualaman, Makam Panembahan Senopati, Museum Sonobudoyo, Museum Sasmitaloka, Museum Ulen Sentalu, Museum Panglima Sudirman, Benteng Vredeburg, dan lain-lain.

Menurut penelitian Puslitbang Pariwisata pada tahun 1980, pariwisata Yogyakarta memiliki beberapa kekuatan daya tarik, seperti iklim yang baik, atraksi pemandangan yang beragam, budaya dan sejarah yang menarik,

(13)

masyarakat yang ramah dan bersahabat, akomodasi yang khas, gaya hidup serta harga yang pantas.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Perolehan nilai hasil analisis kriteria investasi tersebut diperoleh nilai NPV > 0, Net B/C > 1 dan IRR > tingkat suku bunga bank yang berlaku,

Permintaan dan penawaran produk pada masa mendatang, dihitung menggunakan metode peramalan; (b) Pangsa pasar yang dapat diserap oleh usaha tersebut dari keseluruhan

Dalam hal dilakukan pemutusan Kontrak secara sepihak oleh PPK karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kelompok Kerja ULP dapat

Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat

[r]

Saya akan membuat partisi C: (untuk menginstal Windows) saya bakan banyak menginstal aplikasi lain, maka saya butuh ruang yang cukup banyak, 70 GB.. Jumlah yang dimasukan harus

Pada tahun 2015, de Castro et all membuat ATreVEE IN, sebuah simulasi prosedur kelistrikan dengan menggunakan Leap Motion Controller sebagai alat masukan yang mendeteksi gerakan

Dari hasil penelitian tentang desain sistem pembelajaran yang dirancang efektif, efisien, dan berkualitas pada mata kuliah Psikologi Perkembangan Peserta Didik