• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3. Analisis Data. Dalam menganalisis data dari bunyi-bunyi yang mengalami interferensi, penulis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 3. Analisis Data. Dalam menganalisis data dari bunyi-bunyi yang mengalami interferensi, penulis"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 3 Analisis Data

Dalam menganalisis data dari bunyi-bunyi yang mengalami interferensi, penulis meninjau dari segi artikulatoris yang menjadi penyebab penyimpangan beberapa bunyi konsonan bahasa Jepang dari data yang telah diambil dari 20 responden. Segi artikulatoris yang penulis maksudkan yaitu penulis melihat kesalahan pengucapan yang terjadi dengan memperhatikan kesalahan titik artikulasi serta artikulator yang digunakan dalam mengucapkan kata-kata bahasa Jepang yang telah dipilih untuk responden ucapkan.

Selain itu, penulis juga menggunakan teori Weinreich tentang pembagian interferensi bunyi dari sudut pandang fonemik yang telah diuraikan pada bab 2 sebagai acuan analisis mengenai gejala yang terjadi atas kesalahan pengucapan konsonan-konsonan tersebut. Pembagian interferensi bunyi tersebut yaitu:

1) Pembedaan fonem yang berkekurangan

Interferensi yang terjadi jika dua buah bunyi yang berpasangan dibedakan dalam sistem bunyi bahasa kedua/ bahasa sasaran, namun bunyi tersebut tidak dibedakan dalam sistem bunyi bahasa pertama/ bahasa ibu.

2) Pembedaan fonem yang berkelebihan

Interferensi yang terjadi jika perbedaan fonemik bahasa pertama/ bahasa ibu diterapkan kepada bunyi pada bahasa kedua/ bahasa sasaran yang tidak memerlukannya atau tidak mengenal perbedaan tersebut.

▸ Baca selengkapnya: contoh bunyi yang berasal dari alam adalah ...

(2)

3) Penafsiran kembali terhadap perbedaan

Interferensi yang terjadi jika penutur membedakan fonem-fonem sistem bahasa kedua/ bahasa sasaran berdasarkan ciri-ciri yang diabaikan dalam bahasa kedua namun penting dalam bahasa pertama.

4) Penggantian bunyi

Interferensi yang terjadi jika fonem-fonem dalam kedua bahasa tampak sama, tetapi pada kenyataannya diucapkan dengan cara yang berbeda, oleh penutur diucapkan seperti ucapan fonem tersebut dalam bahasa pertama.

Dalam hal ini, sistem bahasa pertama/ bahasa ibu adalah bahasa Indonesia, sedangkan sistem bahasa kedua/ bahasa sasaran adalah bahasa Jepang, karena para responden berbangsa Indonesia dan berbahasa ibu bahasa Indonesia.

Dalam pengambilan sampel dari para responden, penulis memilih tiga bunyi konsonan dalam bahasa Jepang untuk diteliti konsonan manakah yang paling sering salah diucapkan dan untuk diketahui di manakah letak kesalahan pengucapan tersebut. Ketiga konsonan bahasa Jepang tersebut adalah し (shi) [ʃi], つ (tsu) [tsɯ], dan ず/づ

(zu) [dzɯ]. Sedangkan dalam menganalisis kesalahan pengucapan yang terjadi, penulis

juga melakukan perekaman suara Bapak Kooji Ueda selaku native speaker di jurusan sastra Jepang Universitas Bina Nusantara. Melalui contoh pelafalan Bapak Ueda yang digunakan sebagai acuan, penulis mengidentifikasi kesalahan yang diucapkan oleh responden.

(3)

3.1. Analisis Kesalahan Ucap Pada Konsonan “し” (shi) [ʃi] Kesalahan terjadi pada pengucapan kata-kata di bawah ini.

Tabel 3.1

Analisis Kesalahan Pengucapan “し” (shi) [ʃi]

Kata Lafal Seharusnya Lafal Responden

Jumlah Kesalahan

(Orang)

しずかな shizukana [ʃizɯkana] [sizɯkana] 3 / 20

おしえ oshie [oʃie] [osie] 2 / 20

おかし okashi [okaʃi] [okasi] 5 / 20

くつした kutsushita [kɯtsɯʃta]

[kɯtsɯsita],

[kɯtsɯsta]

(4)

Gambar 3.1

Grafik Kesalahan Pengucapan “し” (shi) [ʃ i]

15% 10% 25% 50% しずかな shizukana おしえ oshie おかし okashi くつした kutsushita

Dari data tabel tersebut, jika dihubungkan dengan teori pembagian interferensi bunyi dari sudut pandang fonemik, maka interferensi yang terjadi termasuk gejala pembedaan bunyi yang berkekurangan, yaitu gejala interferensi yang terjadi jika dua buah bunyi yang berbeda dalam sistem bunyi bahasa kedua/ bahasa sasaran, namun bunyi tersebut tidak dibedakan dalam sistem bunyi bahasa pertama/ bahasa ibu. Hal ini dapat dilihat dari adanya penyamarataan konsonan [ʃ] dan [s] pada sukukata [ʃi] dan [si].

Konsonan frikatif alveolar-palatal /ʃ/ dihasilkan dengan membentuk celah sempit

antara bagian depan lidah dan bagian pangkal gigi seri atas atau gusi (alveolum) sampai langit-langit keras (palatum). Jadi lidah bagian depan harus terangkat ke arah alveolum dan palatum. Lalu udara dihembuskan melalui celah sempit yang terbentuk.

Konsonan frikatif dental-alveolar /s/ dihasilkan dengan mendekatkan ujung lidah pada gigi seri atas, sehingga antara ujung lidah dan pangkal gigi seri terbentuk celah untuk dilalui udara.

Ket.: persentase berdasarkan pada jumlah total dari keseluruhan kesalahan pelafalan bunyi shi, bukan dari jumlah total responden.

(5)

Dalam bahasa Jepang, kedua konsonan ini dibedakan, tetapi dalam bahasa Indonesia tidak dibedakan. Bahasa Indonesia tidak memiliki konsonan /ʃ/, maka responden yang

menggunakan konsonan /s/ dalam bahasa Indonesia melafalkan /ʃ/ sebagai /s/.

Untuk menghasilkan bunyi [ʃi], posisi artikulator dan titik artikulasinya haruslah

seperti tampak pada gambar berikut ini.

Gambar 3.2 Bunyi [ʃ]

Sumber: Kawase (Nihongo-Hatsuon : 22)

Garis berwarna tebal menunjukkan lidah. Saat membunyikan [ʃ], maka posisi lidah

haruslah seperti yang ditunjukkan gambar tersebut. Jika posisi lidah tidak seperti itu, maka bunyi yang dihasilkan akan menjadi lain. Seperti pada bunyi [s] yang ditunjukkan dalam gambar berikut.

(6)

Gambar 3.3 Bunyi [s]

Sumber: Kawase (Nihongo-Hatsuon : 21)

Melalui gambar di atas, terlihat bahwa dalam membunyikan konsonan [s] lidah tidak membuat suatu lengkungan dalam membentuk celah sempit. Lain halnya saat membunyikan konsonan [ʃ], dimana lidah membentuk suatu lengkungan yang berfungsi

untuk menciptakan celah sempit dalam menghasilkan bunyi desis.

Dari data hasil analisis, terlihat bahwa responden cenderung melafalkan bunyi [ʃ]

menjadi [s]. Walaupun bunyi yang dihasilkan menjadi berbeda, namun tidak menimbulkan perbedaan arti. Kesalahan pelafalan bunyi ini memang tidak menimbulkan kesalahpahaman arti kata bagi pendengar. Tetapi kata-kata yang diucapkan menjadi tidak sama dengan kata aslinya dalam bahasa Jepang serta tidak terdengar layaknya bahasa Jepang.

3.2. Analisis Kesalahan Ucap Pada Konsonan “つ” (tsu) [tsɯ]

(7)

Tabel 3.2

Analisis Kesalahan Pengucapan “つ” (tsu) [tsɯ]

Kata Lafal Seharusnya Lafal Responden Jumlah Kesalahan (Orang) つき tsuki [tsɯki] [sɯki], [tʃɯki], [zɯki] 9 1 1 Total = 11 / 20 つかう tsukau [tsɯkaɯ] [sɯkaɯ], [tʃɯkaɯ], [zɯkaɯ] 4 1 1 Total = 6 / 20

つうしょう tsuushoo [tsɯ:ʃo:] [sɯ:ʃo:] 4

つづく tsuzuku [tsɯzɯkɯ]

[sɯzɯkɯ],

[sɯsɯkɯ],

6 1

(8)

[zɯzɯkɯ]

Total = 7 / 20

Gambar 3.4

Grafik Kesalahan Pengucapan “つ” (tsu) [tsɯ]

40% 21% 14% 25% つき tsuki つかう tsukau つうしょう tsuushoo つづく tsuzuku

Dari data hasil analisis dalam tabel di atas, dapat dilihat bahwa terjadi tiga gejala interferensi bunyi yang dilihat dari sudut pandang fonemik. Beberapa responden mengucapkan satu kata yang sama dengan melakukan kesalahan yang berbeda-beda. Ada responden yang mengucapkan bunyi konsonan [ts] menjadi [s], ada pula responden yang mengucapkan bunyi [ts] menjadi [tʃ]. Lalu ada juga responden yang mengucapkan

bunyi [ts] menjadi [z], namun jumlah yang mencucapkan kesalahan bunyi ini sangat sedikit sekali dan jarang ditemukan.

Ket.: persentase berdasarkan pada jumlah total dari keseluruhan kesalahan pelafalan bunyi tsu, bukan dari jumlah total responden.

(9)

Dari ketiga jenis kesalahan ini, dapat dikelompokkan kesalahannya ke dalam dua pembagian interferensi bunyi. Kelompok gejala interferensi yang terjadi yaitu:

1) Pembedaan fonem yang berkekurangan 2) Penggantian bunyi

3.2.1. Pembedaan Fonem yang Berkekurangan

Pada kesalahan responden yang mengucapkan bunyi konsonan [ts] menjadi [s], terjadi gejala pembedaan fonem yang berkekurangan, yaitu gejala interferensi yang terjadi jika dua buah bunyi yang berbeda dalam sistem bunyi bahasa kedua/ bahasa sasaran, namun bunyi tersebut tidak dibedakan dalam sistem bunyi bahasa pertama/ bahasa ibu. Dalam bahasa Indonesia, konsonan [ts] tidak ada dalam khazanah fonem konsonannya, maka responden melakukan penyamarataan bunyi konsonan [ts] dan bunyi konsonan [s]. Hal ini dapat dilihat pada kata tsunami yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang atau ombak yang besar. Kata ini digunakan sebagai istilah yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan arti kata yang tidak berubah. Namun orang Indonesia melakukan perubahan pengucapan pada kata ini yang disebabkan oleh tidak adanya konsonan [ts] dalam bahasa Indonesia, sebagai gantinya, orang Indonesia mengganti konsonan [ts] yang dianggap sama saja dengan konsonan [s]. Jadi, kata tsunami yang seharusnya dilafalkan [tsɯnami]

dilafalkan oleh orang Indonesia menjadi [sunami]. Hal inilah yang menyebabkan responden mengucapkan bunyi [ts] menjadi [s].

(10)

seperti waktu mengucapkan bunyi [t], akan tetapi waktu melepaskannya, lidah digeser ke posisi pengucapan [s]. Seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Gambar 3.5 Gambar 3.6

Bunyi [t] Bunyi [s]

Sumber: Kawase (Nihongo-Hatsuon : 25) Sumber: Kawase (Nihongo-Hatsuon : 21)

Responden yang melakukan kesalahan pengucapan bunyi [ts] hanya memposisikan lidah seperti garis tebal yang ditunjukkan pada gambar 3.4 tanpa memposisikan lidah seperti pada gambar 3.3 terlebih dahulu. Oleh karena itu, bunyi yang dihasilkan responden menjadi bunyi [s] yang merupakan konsonan frikatif dental-alveolar.

Saat melakukan pengambilan sampel rekaman suara responden, untuk bunyi [tsɯ],

penulis memilih delapan kata yang mengandung bunyi [tsɯ] untuk diucapkan oleh para

responden. Tetapi dari delapan kata tersebut, responden hanya melakukan kesalahan pada empat kata yang ada dalam tabel 3.2. Empat kata lain yang diucapkan dengan benar antara lain:

(11)

Tabel 3.3

Pengucapan “つ” (tsu) [tsɯ] yang Tidak Salah Diucapkan Responden

Kata Lafal

てつ tetsu [tetsɯ]

まつり matsuri [matsɯɼi]

くつした kutsushita [kɯtsɯʃta]

しゅっぱつ shuppatsu [ʃɯppatsɯ]

Responden mengucapkan bunyi [ts] pada keempat kata tersebut dengan benar. Hal ini disebabkan karena bunyi [ts] yang harus diucapkan berada di tengah atau akhir kata. Dari hasil perekaman diperoleh bahwa beberapa responden tidak dapat mengucapkan bunyi [ts] yang berada di awal kata. Kesulitan mengucapkan bunyi [ts] yang ada di awal kata yaitu karena tidak adanya awalan bunyi vokal sebelum bunyi [ts] tersebut. Jika bunyi [ts] ada di tengah atau di akhir kata, otomatis lebih mudah mengucapkannya, karena sebelum bunyi [ts] ada awalan bunyi vokal yang memungkinkan mengucapkan bunyi konsonan [t] sebelum bunyi [s] dibunyikan.

Kesalahan pengucapan pada bunyi konsonan [ts] yang diucapkan oleh responden dapat menyebabkan kesalahpahaman bagi pendengar karena bunyi konsonan [ts] akan terdengar sebagai bunyi yang lain, yaitu bunyi [s]. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan arti pada suatu kata. Seperti pada kata つき (tsuki) yang seharusnya diucapkan [tsɯki]

(12)

ini memiliki arti yang berbeda dalam bahasa Jepang. Kata tsuki memiliki arti “bulan” dan kata suki memiliki arti “suka”. Maka kesalahan pengucapan bunyi [ts] menjadi [s] ini dapat menimbulkan efek yang fatal bagi pendengar.

3.2.2. Penggantian Bunyi

Kesalahan responden yang mengucapkan bunyi konsonan [ts] menjadi [tʃ] dan

kesalahan pengucapan [ts] menjadi [z] merupakan kesalahan yang terjadi akibat gejala penggantian bunyi, yaitu gejala interferensi yang terjadi jika fonem-fonem dalam kedua bahasa tampak sama, tetapi pada kenyataannya diucapkan dengan cara yang berbeda.

Dalam menganalisis kesalahan pelafalan konsonan [ts] berdasarkan gejala penggantian bunyi ini, penulis memisahkan jenis kesalahan antara penggantian bunyi [ts] menjadi [tʃ] dan bunyi [ts] menjadi [z].

3.2.2.1.Penggantian Bunyi [ts] Menjadi [tʃ]

Dari data yang diperoleh pada tabel 3.2, terdapat kesalahan pelafalan bunyi tsuki dan

tsukau dengan mengganti bunyi [tsɯ] pada kedua kata tersebut dengan bunyi [tʃɯ]. Hal

ini disebabkan karena tidak adanya bunyi [ts] dalam bahasa Indonesia dan responden mengetahui bahwa bunyi [ts] berbeda dengan bunyi [s]. Oleh karena itu, responden tidak mengucapkan bunyi [ts] menjadi [s], tetapi malah mengganti dengan bunyi yang lain. Maka gejala ini bukanlah gejala pembedaan bunyi yang berkekurangan. Dalam hal ini, responden tidak menyadari bahwa bunyi yang dihasilkan tidak tercapai titik artikulasi yang tepat.

(13)

Bunyi konsonan afrikat dental-alveolar /ts/ dihasilkan dengan menyentuhkan ujung lidah pada bagian belakang gigi seri atas dan gusi (alveolum) sambil menghambat aliran udara seperti waktu mengucapkan bunyi [t], akan tetapi waktu melepaskannya, lidah digeser ke posisi pengucapan [s]. Seperti ditunjukkan pada gambar 3.3 dan 3.4. Tetapi responden mengucapkan bunyi konsonan [tʃ] yang merupakan bunyi kombinasi desis

hambatan atau konsonan afrikat alveolar-palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menyentuhkan ujung lidah dengan bagian gusi atas (alveolum) sampai bagian depan langit-langit keras (palatum) dan menghambat aliran udara, akan tetapi waktu melepaskannya, lidah bergeser ke posisi pembentukan bunyi [ʃ].

Posisi lidah dalam menghasilkan bunyi [tʃ] dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.7 Bunyi [tʃ]

Sumber: Kawase (Nihongo-Hatsuon : 26)

(14)

yang dilakukan adalah lidah bergeser ke posisi pembentukan bunyi [ʃ]. Penggantian

bunyi ini dilakukan secara tidak sadar atau reflek yang menurut mereka untuk membunyikan [ts] posisi lidah harus digeser pada posisi [ʃ], bukan pada posisi [s].

Kesalahan pengucapan bunyi konsonan [ts] menjadi [tʃ] ini tidak menimbulkan

kesalahpahaman arti kata bagi pendengar, tetapi terdengar tidak benar dan tidak selayaknya bahasa Jepang.

3.2.2.2.Penggantian Bunyi [ts] Menjadi [z]

Dari data yang diperoleh, responden yang melakukan kesalahan pengucapan bunyi [ts] menjadi [z] hanya berjumlah satu orang saja. Namun tidak pada semua kata yang mengandung bunyi [ts]. Kesalahan yang terjadi hanyalah pada tiga kata saja. Bunyi [ts] yang salah diucapkan menjadi [z] dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.4

Analisis Kesalahan Pengucapan Bunyi [ts] Menjadi [z] yang Dilakukan Responden

Kata Lafal Seharusnya Lafal Responden

つき tsuki [tsɯki] [zɯki]

つかう tsukau [tsɯkaɯ] [zɯkaɯ]

(15)

Dalam bahasa Indonesia, memang tidak terdapat bunyi konsonan [ts], namun pada umumnya responden mengucapkan bunyi [ts] menjadi [s] atau [tʃ] seperti yang

dijelaskan pada sub-sub bab sebelumnya. Tetapi yang terjadi pada responden ini adalah mengganti bunyi [ts] menjadi [z] yang merupakan konsonan frikatif dental-alveolar, yaitu bunyi konsonan yang dihasilkan dengan mendekatkan ujung lidah pada gigi seri atas, sehingga antara ujung lidah dan pangkal gigi seri terbentuk celah untuk dilalui udara. Kemudian melalui celah itu dilepaskan ledakan udara dan disertai desahan. Kesalahan pengucapan ini tidak ditemukan pada responden yang lain, oleh karena itu, penulis mengambil dua buah kesimpulan, yaitu:

1) Terjadi kesalahan pembacaan teks saat perekaman pengambilan suara dilakukan. Kesalahan pembacaan ini dapat saja terjadi, karena aksara つ (tsu) dalam bahasa

Jepang jika diberi tanda ( ゛) maka akan menjadi づ (zu).

2) Responden ingin memposisikan lidah seperti saat membunyikan konsonan [s] seperti kesalahan yang banyak dilakukan oleh responden yang lain, tetapi saat posisi lidah dalam membentuk bunyi [s] telah tercapai, responden melakukan ledakan udara yang disertai desahan. Ledakan udara ini tidak perlu dilakukan pada bunyi [s].

Kesalahan pengucapan ini tidak menimbulkan kesalahpahaman arti bagi pendengar, namun terjadi pengacauan bunyi yang tidak seharusnya. Selain itu pendengar akan tidak mengenali kata apa yang diucapkan jika bunyi [ts] diganti menjadi bunyi [z] yang perbedaan bunyi di antara keduanya cukup jauh.

(16)

3.3. Analisis Kesalahan Ucap Pada Konsonan “ず/づ” (zu) [zɯ] Kesalahan terjadi pada pengucapan kata-kata di bawah ini.

Tabel 3.5

Analisis Kesalahan Pengucapan “ず/づ” (zu) [zɯ]

Kata Lafal Seharusnya Lafal Responden Jumlah Kesalahan (Orang)

しずかな shizukana [ʃizɯkana] [ʃisɯkana] 1 / 20

ずっと zutto [dzɯtto] [zɯtto] 20 / 20

ずぼん zubon [dzɯboŋ] [zɯboŋ], [sɯboŋ] 18 2 Total = 20 / 20 ちかづく chikazuku [tʃikazɯkɯ] [tʃikasɯkɯ], [tʃikatsɯkɯ] 1 1 Total = 2 / 20

ずいぶん zuibun [dzɯibɯŋ] [zɯibɯŋ] 20 / 20

(17)

Gambar 3.8

Grafik Kesalahan Pengucapan “ず/づ” (zu) [zɯ]

2% 31% 31% 3% 31% 2% しずかな shizukana ずっと zutto ずぼん zubon ちかづく chikazuku ずいぶん zuibun つづく tsuzuku

Dari data tabel di atas, dapat dilihat bahwa bunyi konsonan [z] jika terletak pada awal kata, maka bunyi konsonan tersebut harus dibunyikan [dz], seperti pada kata ずっと

(zutto), ずぼん (zubon), dan ずいぶん (zuibun). Namun jika bunyi tersebut berada di tengah atau akhir kata, maka bunyi itu dibunyikan sebagai [z].

Dari data tersebut, jika dihubungkan dengan teori pembagian interferensi bunyi dari sudut pandang fonemik, maka interferensi yang terjadi termasuk gejala pembedaan bunyi yang berkekurangan, yaitu gejala interferensi yang terjadi jika dua buah bunyi yang berbeda dalam sistem bunyi bahasa kedua/ bahasa sasaran, namun bunyi tersebut tidak dibedakan dalam sistem bunyi bahasa pertama/ bahasa ibu. Hal ini dapat dilihat dari adanya penyamarataan konsonan [z] atau [dz] menjadi [s].

Konsonan frikatif dental-alveolar /z/ dihasilkan dengan mendekatkan ujung lidah pada gigi seri atas, sehingga antara ujung lidah dan pangkal gigi seri terbentuk celah

Ket.: persentase berdasarkan pada jumlah total dari keseluruhan kesalahan pelafalan bunyi zu, bukan dari jumlah total responden.

(18)

desahan. Sedangkan konsonan afrikat dental-alveolar /dz/ dihasilkan dengan menyentuhkan ujung lidah dengan pangkal gigi seri atas dan gusi (alveolum). Kontak ini kemudian dilepaskan dengan ledakan udara dan disertai desahan. Perbedaan dari bunyi konsonan [z] dan [dz] yaitu terletak pada tidak adanya kontak apapun antara ujung lidah dengan pangkal gigi seri atas dan gusi (alveolum) saat membunyikan bunyi [z].

Untuk menghasilkan bunyi [dz], posisi artikulator dan titik artikulasinya haruslah seperti tampak pada gambar berikut ini.

Gambar 3.9 Bunyi [dz]

Sumber: Kawase (Nihongo-Hatsuon : 59)

Melalui gambar di atas, terlihat perbedaan bunyi [dz] dan bunyi [z]. Saat membunyikan bunyi [dz], bagian ujung lidah harus menyentuh pangkal gigi seri atas dan gusi (alveolum) seperti ditunjukkan pada gambar 3.6 yang pertama. Sedangkan dalam membunyikan konsonan [z], cukup langsung memposisikan lidah seperti yang ditunjukkan pada gambar kedua.

Kesalahan yang dilakukan responden yaitu saat membunyikan bunyi [z] tidak disertai ledakan udara ketika mengeluarkan bunyi tersebut, sehingga bunyi yang timbul adalah

(19)

bunyi konsonan [s]. Sedangkan saat membunyikan konsonan [dz] yang ada di awal kata, ada responden yang membunyikannya sebagai bunyi [z] dan ada pula yang membunyikannya sebagai bunyi [s]. Hal ini disebabkan karena tidak adanya bunyi [dz] dalam bahasa Indonesia. Bunyi konsonan [z] pun, yang seharusnya ada dalam konsonan bahasa Indonesia sering sekali diucapkan sebagai konsonan [s]. Misalnya pada kata “zebra” yang sudah dianggap sebagai bahasa Indonesia sering sekali diucapkan menjadi “sebra”, walaupun tidak semua orang Indonesia mengucapkan bunyi [z] sebagai [s].

Dalam bahasa Jepang, kedua konsonan ini dibedakan, tetapi dalam bahasa Indonesia sering sekali tidak dibedakan. Walaupun bahasa Indonesia memiliki konsonan /z/, tetapi responden yang terbiasa menggunakan konsonan /s/ dalam melafalkan /z/ sebagai /s/.

Dari data yang diperoleh pada tabel 3.2 di atas, ada juga kesalahan pengucapan bunyi [z] menjadi [ts] pada kata ちかづく (chikazuku). Kesalahan ini dilakukan oleh sedikit

responden. Seperti pada kesalahan pengucapan bunyi [z] menjadi [s], kesalahan pengucapan bunyi [z] menjadi [ts] juga terletak pada tidak dilepaskannya ledakan udara saat lidah responden pada posisi bunyi [s]. Beberapa responden merasa bingung saat mengucapkan [zɯ]. Mereka bingung antara harus mengucapkan [dzɯ] atau [zɯ] pada

kata tersebut. Maka karena kebingungan itu, responden melafalkan [zɯ] menjadi [tsɯ]

dengan melakukan kontak lidah dengan pangkal gigi seri dan alveolum terlebih dahulu sebelum membunyikan desis.

Gambar

Gambar 3.2  Bunyi [ʃ]
Gambar 3.3  Bunyi [s]
Grafik Kesalahan Pengucapan “ つ” (tsu) [tsɯ]
Gambar  3.5     Gambar  3.6
+3

Referensi

Dokumen terkait

Next, untuk menampilkannya di browser, kita akan membuat view baru yang disimpan di resources\views\, silahkan buat folder baru dengan nama blog dalam folder

dan 30°-60° dapat digunakan secara kombinasi untuk menghasilkan garis dengan sudut kelipatan 15°. Lihat halaman 21. • Penggaris segitiga terbuat dari bahan akrilik yang

Adapun penelitian yang akan dilakukan adalah sebatas proses pencucian rumput laut dari proses pengolahan secara keseluruhan, dengan melakukan membuat rancang bangun

e. Hal ini karena It turun sebesar 0,87 persen, sedangkan Ib naik 0,26 persen. Penurunan It pada bulan Maret 2021 disebabkan indeks kelompok perikanan tangkap secara rata-rata

Dengan ini kami beritahukan bahwa perusahaan Saudara telah ditetapkan sebagai Calon Pemenang dalam Seleksi Sederhana untuk paket pekerjaan Jasa Konsultasi

The Ministry of Higher Education of Malaysia offers Malaysia International Scholarship (MIS) programmes for international students to pursue full-time studies at

Dalam hal ini kurator-lah yang memegang peranan utama dalam mengurus dan membereskan harta pailit sesuai ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU No. Berdasarkan uraian

dilaksanakannya penelitian tindakan kelas (PTK) dalam rangka meningkatkan hasil belajar matematika siswa khususnya materi teorema phytagoras. Subyek peneltian ini difokuskan pada