• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3. Analisis Data. Dalam bab ini penulis akan menganalisis unsur Zen pada arsitektur Chashitsu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 3. Analisis Data. Dalam bab ini penulis akan menganalisis unsur Zen pada arsitektur Chashitsu"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 3 Analisis Data

Dalam bab ini penulis akan menganalisis unsur Zen pada arsitektur Chashitsu bergaya souan yang berluas yojouhan, dengan menggunakan tujuh karakteristik Zen. Penulis akan menganalisisnya pada bagian-bagian chashitsu, yaitu: roji, tsukubai, machiai, setsuin, chashitsu dan mizuya.

3.1 Analisis Karakteristik Kanso, Kokou, Shizen, Fukinsei dan Datsuzoku Pada Roji Roji (露地) berfungsi sebagai jalan bagi para tamu, yang membimbing mereka ke

arah chashitsu. Pertama-tama mereka akan melewati gerbang depan yang disebut dengan sotomon.

3.1.1 Analisis Karakteristik Kanso, Kokou dan Shizen Pada Sotomon

Sotomon terbuat dari kayu dan tampilannya tidak mewah. Seperti yang ditulis oleh Jonas (2001:25) fungsi dari sotomon adalah sebagai pembatas antara lingkungan luar dengan roji.

Bahan-bahan yang dipakai dalam pembuatan gerbang sotomon adalah kayu, sedangkan disampingnya terdapat pagar yang terbuat dari bambu. Bagian atapnya juga terbuat dari jerami. Menurut analisis penulis, terkandung unsur kanso (kesederhanaan) dalam arsitektur sotomon ini.

(2)

Gambar 3.1 Sotomon

Sumber: Japanese-inspired gardens: adapting Japan's design traditions for your garden (2001:25)

Arti dari kata sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:888), adalah sesuatu yang tidak berlebihan atau sesuatu yang tidak banyak pernik (setelah ini, Kamus Bahasa Besar Indonesia akan disingkat menjadi KBBI). Kayu dan bambu yang dipakai dalam pembuatan sotomon ini tidak dihias dengan ukiran ataupun diwarnai oleh cat. Hal ini membuat sotomon terlihat sederhana, karena tidak dihiasi oleh banyak pernik, sesuai dengan pengertian dari KBBI. Hal tersebut menurut analisis penulis juga sesuai dengan salah satu karakteristik Zen, yaitu kanso (kesederhanaan). Hisamatsu (1997:31) mengatakan tentang karakteristik kanso (kesederhanaan) dalam Zen jika diibaratkan dengan warna adalah warna yang alami dan tidak mencolok. Kayu dan bambu yang tidak dicat, membuat bahan-bahan tersebut mempertahankan warna aslinya sehingga warna-warna tersebut membaur dengan warna disekelilingnya dan tidak memperlihatkan perbedaan warna yang mencolok.

Bahan pembuatan sotomon selain sesuai dengan karakteristik kanso, menurut analisis penulis juga sesuai dengan karakteristik shizen (kealamian). Kata alami menurut

(3)

KBBI (1995:25) adalah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi atau segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Kayu dan bambu yang digunakan dalam pembuatan sotomon merupakan bahan-bahan yang merupakan bagian dari bumi dan hal itu membuktikan bahwa penggunaan kayu dan bambu sebagai bahan dasar pembuatan sotomon mengandung unsur alami. Pengertian shizen (kealamian) dalam konsep Zen menurut Hisamatsu (1997: 32) adalah sesuatu yang tidak terlihat dipaksakan, hal ini mengandung arti sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Bisa kita lihat pada gambar, keberadaan sotomon tidak terlihat menonjol dan menyatu dengan lingkungan sekitar atau dengan kata lain, tidak dipaksakan keberadaannya. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan yang sama dengan lingkungannya, yaitu kayu dan bambu yang tidak diwarnai, sehingga masih memiliki warna alami sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Menurut analisis penulis diatas, sotomon mengandung karakteristik dari shizen (kealamian).

Atap sotomon terbuat dari jerami atau rumput yang dikeringkan. Menurut analisis penulis, penggunaan jerami pada atap sotomon mencerminkan karakteristik kokou (esensi waktu). Esensi waktu terdiri dua kata, yaitu kata esensi dan kata waktu. Menurut KBBI (1995:270,1123), kata “esensi” memiliki arti “inti” atau “hal yang pokok” sedangkan kata “waktu” memiliki pengertian mengenai seluruh rangkaian pada saat terjadinya proses, perbuatan atau keadaan yang sedang berlangsung. Sehingga esensi waktu memiliki arti kurang lebih sebagai inti dari seluruh rangkaian dari proses yang terjadi. Pengertian tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Hisamatsu (1997:31) mengenai karakteristik kokou yang mengandung makna menjadi “kering” atau hilangnya kesegaran. Hilangnya kesegaran berarti menjadi tua, menjadi dewasa dan telah membuang sagala sesuatu yang tidak dibutuhkan, sehingga hanya tersisa intinya saja.

(4)

menurut konsep kecantikan Zen, keadaan ini mencerminkan telah tercapainya tingkat tertinggi dalam Zen. Untuk menjadi jerami atau rumput yang dikeringkan dibutuhkan proses waktu yang lama, sehingga hilang kesegarannya dan menyisakan inti yang diperlukan. Hal ini menurut konsep Zen, jerami tersebut telah mengalami esensi waktu dan memiliki karakteristik kokou (esensi waktu).

3.1.2 Analisis Karakteristik Fukinsei, Datsuzoku, Shizen, dan Kanso Pada Batu Setelah melewati sotomon, kita akan masuk kedalam roji.

Gambar 3.2 Roji

Sumber: http://picasaweb.google.com/lh/photo/QKQUWDkVVLidpWBAhECOsw Dalam Roji, terdapat batu-batu yang mempunyai berbagai macam fungsi dan ukuran. Dalam penyusunan batu, Harada dalam Sadler (1989:21) mengatakan bahwa batu pada roji tidak boleh disusun secara garis lurus. Menurut analisis penulis, hal ini sesuai dengan salah satu karakteristik Zen yaitu fukinsei (asimetris). Asimetris dalam KBBI (1995:61,941) adalah sesuatu yang tidak sama pada kedua belah bagiannya. Pengertian tersebut mendukung penjelasan tentang karakteristik fukinsei (asimetris) yang dijelaskan oleh Hisamatsu (1997;29) yaitu, sesuatu yang tidak seimbang atau memiliki bentuk yang

Batu

pijakan

(5)

tidak sempurna. Batu yang digunakan dalam roji tidak berbentuk simetris dan ukurannya pun berbeda-beda. Penyusunan batu yang berfungsi sebagai lintasanpun tidak disusun secara garis lurus, hal ini membuktikan bahwa penyusunan batu dalam roji menerapkan karakteristik fukinsei (asimetris). Menurut analisis penulis hal tersebut juga mengandung karakteristik datsuzoku (bebas dari ikatan). Roji yang berfungsi sebagai lintasan, seharusnya menyusun batu-batu tersebut secara garis lurus, karena penyusunan batu lintasan yang berkelok-kelok akan membuat waktu menempuh menuju chashitsu akan lebih lama. Menurut KBBI (1995:103), kata “bebas” memiliki arti lepas sama sekali, sedangkan kata “ikatan” dalam KBBI (1995:368) memiliki arti rangkaian atau dibebat. Pengertian tersebut sesuai dengan yang telah dituliskan oleh Hisamatsu (1997:34), datsuzoku yang memiliki arti bebas dari rumusan, kebiasaan, adat, aturan atau dengan kata lain tidak terikat dengan apapun. Karakteristik tersebut meliputi kebebasan dalam berpikir, sehingga membuat para arsitektur mampu mengembangkan imajinasi mereka, dan menuangkannya dalam bentuk seni, dalam hal ini adalah seni arsitektur, sehingga membuat alur lintasan terlihat lebih menarik. Penyusunan batu lintasan ini pada roji dalam setiap chashitsu, tidak ada yang sama, hal ini tergantung dengan kreatifitas setiap arsitektur yang mendesain chashitsu tersebut. Tidak ada pola penyusunan batu yang diwajibkan untuk diikuti dalam desain arsitektur roji.

Menurut Harada dalam Sadler (1989:21), penyusunan batu dalam roji juga harus diletakan agar terlihat alami. Menurut analisis penulis, hal ini sesuai dengan karakteristik shizen yang mengandung arti kealamian. Arti kealamian disini bukan berarti batu tersebut sudah berada dalam posisi yang sudah ada pada saat roji tersebut dibangun. Kealamian dalam KBBI (1995:22) memiliki arti sebagai segala sesuatu yang ada di langit dan bumi dan segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Batu

(6)

merupakan bagian dari bumi, sehingga penggunaan batu dalam roji, membuat roji memiliki unsur kealamian. Hisamatsu (1997:32) menambahkan, bahwa alami mengandung unsur tidak dipaksakan dan tidak memiliki tujuan atau pemikiran tertentu. Penyusunan batu dalam arsitektur roji memang dilakukan oleh manusia, tetapi tidak boleh terlihat seperti batu yang sengaja dipilih lalu ditaruh dan disusun disana, melainkan penyusunan batu tersebut harus terlihat seperti sudah terbaring disana secara alami. Harada dalam Sadler (1989:21) mengatakan penggunaan batu pada roji tidak boleh merupakan batu yang bernilai. Menurut analisis penulis dalam hal penggunaan batu dalam arsitektur roji ini mengandung unsur kanso (kesederhanaan). Batu yang digunakan pada roji bukanlah batu yang memiliki warna mencolok dan bukan merupakan batu yang mempunyai nilai jual yang tinggi. Dalam KBBI (1995:888), sesuatu disebut sederhana jika sesuatu tersebut tidak memiliki banyak pernik dan tidak berlebihan. Penggunaan batu yang tidak memiliki nilai jual yang tinggi pada roji memiliki arti kesederhanaan yang tidak mencerminkan kemewahan (sesuatu yang berlebih) dan batu tersebut juga tidak dihias oleh pernak-pernik. Arti karakteristik kanso (kesederhanaan) jika diibaratkan dalam warna menurut Zen adalah, warna yang memiliki warna yang natural (Hisamatsu, 1997:55). Batu yang digunakan dalam roji bukanlah batu yang diwarnai dan tidak boleh memiliki warna yang mencolok, sehingga batu tersebut tetap memperlihatkan kealamian warnanya dan menyatu dengan lingkungan sekitar.

(7)

3.1.3 Analisis Karakteristik Shizen dan Kanso Pada Pohon

Selain batu, dalam arsitektur roji juga harus memperhatikan tentang pemilihan pohon yang akan digunakan. Sadler (1989:19) mengatakan bahwa pohon yang digunakan dalam roji tidak boleh disusun atau dibentuk sehingga menimbulkan kesan mewah. Kesan yang ditimbulkan haruslah sederhana, seperti jalan setapak di gunung. Menurut analisis penulis, hal ini sesuai dengan karakteristik shizen (kealamian). Kealamian dalam KBBI (1995:22) adalah sesuatu yang ada di langit maupun di bumi. Penggunaan pohon yang merupakan bagian dari bumi memperlihatkan adanya unsur kealamian dalam pembuatan roji. Sadler (1989:27) juga menuliskan bahwa, pohon yang digunakan dalam roji harus merupakan pohon yang membaur atau sejenis dengan lingkungan sekitar. Hisamatsu (1997:32) menuliskan tentang karakteristik shizen (kealamian) dalam Zen berarti sesuatu yang tidak dipaksakan dan tidak dilakukan dengan pemikiran atau tujuan tertentu. Sehingga sama seperti dalam pengaturan batu, pohon-pohon dalam roji walaupun ditanam oleh manusia, tetapi harus disusun sedemikian rupa, sehingga terlihat alami, tidak boleh terlihat seperti sengaja disusun dengan tujuan tertentu.

Penulis juga menganalisis terdapatnya unsur kanso (kesederhanaan) dalam pemilihan pohon-pohon yang akan ditanam dalam roji. KBBI (1995:888) menuliskan, bahwa kesederhanaan adalah sesuatu yang tidak banyak pernik dan tidak berlebihan. Pohon yang digunakan dalam roji tidak diberikan hiasan, seperti lampu atau pita-pita, maupun ukiran dan seperti yang dikatakan oleh Sadler (1989:27), pohon-pohon yang digunakan dalam roji tidak boleh pohon yang memiliki warna yang mencolok. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan Hisamatsu (1997:31) mengenai karakteristik kanso

(8)

(kesederhanaan) dalam Zen jika diibaratkan dengan warna, merupakan warna yang tidak mencolok dan menghindari perbedaan warna.

3.1.4 Analisis Karakteristik Fukinsei Pada Susunan Batu dan Pohon

Dalam hal penyusunan batu maupun pohon pada roji, menurut Sadler (1989:20) digunakan untuk memperkuat beberapa titik dalam roji. jumlah titik ini berbeda-beda, tergantung kepada ukuran rojinya. Untuk roji berukuran kecil, mempunyai tiga titik, sedangkan roji berukuran sedang mempunyai lima titik dan roji berukuran besar memiliki tujuh atau sembilan titik. Penempatan susunan pohon maupun batu ini, menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik fukinsei (asimetris). Roji besar maupun roji kecil, semuanya memiliki jumlah titik penguatan yang ganjil, hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Hisamatsu (1997:29) mengenai karakteristik fukinsei (asimetris) dalam Zen bahwa, asimetris jika diibaratkan dalam bilangan adalah bilangan yang ganjil.

3.1.5 Analisis Karakteristik Kanso, Shizen, Kokou dan Fukinsei Pada Nakakuguri / Chuumon

Menurut Sadler (1989:19), roji dibagi menjadi dua, yaitu roji luar dan roji dalam. Kedua roji tersebut dipisahkan oleh gerbang yang disebut nakakuguri atau chuumon. Menurut Keane dan Ōhashi (1996:81) gerbang tengah dalam roji dapat berbentuk seperti gerbang yang memiliki atap dan memiliki pintu yang berengsel, atau gerbang yang hanya terdiri dari bambu-bambu yang ditancapkan ke tanah dan membiarkan orang melewatinya (tanpa pintu).

(9)

Gambar 3.3 Nakakuguri / Chuumon

Sumber:

http://web-japan.org/kidsweb/meet/chado/chado03.html

Sumber:

Japanese-inspired gardens: adapting Japan's design traditions for your garden

(2001:26)

Sama seperti halnya sotomon, chuumon atau nakakuguri dibuat dari bahan-bahan yang alami. Keane (1996:81) menuliskan bahwa sebuah gerbang tengah tidak harus menimbulkan kesan kuat, karena hanya berfungsi sebagai pembatas antara roji dalam dengan roji luar.

Dari segi pemilihan bahan untuk membangun chuumon, penulis menganalisis terdapatnya karakteristik kanso (kesederhanaan) pada gerbang tengah. Arti kesederhanaan menurut KBBI (1995:888) adalah sesuatu hal yang tidak berlebih dan tidak memiliki banyak pernik. Pemakaian bahan-bahan yang alami tanpa melapisinya dengan cat, ataupun hiasan lain membuat gerbang tengah memiliki nilai kesederhanaan.

(10)

Hal tersebut juga sesuai dengan yang ditulis oleh Hisamatsu (1997:31) mengenai karakteristik kanso (kesederhanaan) dalam Zen, jika diumpamakan dalam dunia warna adalah warna yang alami dan tidak mencolok.

Pemilihan bahan alami juga membuat gerbang tengah tidak terlihat menonjol dan menyatu dengan sekitarnya. Hal ini menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik shizen (kealamian). Kealamian menurut KBBI (1995:22) mengandung arti segala yang ada di langit maupun di bumi, atau segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan gerbang tengah merupakan bahan-bahan yang terdapat di bumi, sehingga gerbang depan memiliki nilai kesederhanaan secara umum. Hisamatsu (1997:32) juga menyebutkan bahwa nilai karakteristik kanso (kealamian) yang dimaksud dalam Zen adalah keberadaan yang tidak dipaksakan. Hal ini dapat terlihat pada gambar, dimana penggunaan bahan-bahan alami dalam pembuatan gerbang tengah, membuat gerbang tengah memancarkan warna yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaan gerbang tengah tidak terlihat dipaksakan.

Jerami atau rumput kering digunakan sebagai bahan pembuatan atap gerbang tengah. Menurut analisis penulis, hal ini menyiratkan adanya karakteristik kokou (esensi waktu) dalam gerbang tengah. Kata esensi dalam KBBI (1995:270) memiliki arti inti atau hal yang pokok dan kata waktu (1995: 1123) memiliki arti seluruh rangkaian pada saat terjadinya suatu proses, perbuatan atau keadaan. Gabungan kedua kata tersebut kemudian memiliki arti sebagai inti dari seluruh rangkaian pada saat terjadinya suatu proses, perbuatan atau keadaan. Pengertian tersebut sesuai dengan yang ditulis oleh Hisamatsu (1997:31), kerakteristik kokou (esensi waktu) dalam Zen memiliki arti kering atau hilangnya masa muda atau kesegaran. Keadaan “kering” tersebut menyiratkan tercapainya tingkat tertinggi dalam seni menurut konsep kecantikan Zen. Untuk menjadi

(11)

jerami, dibutuhkan proses dan waktu, hingga hilang kesegarannya dan menjadi kering, atau dengan kata lain tersisa intinya saja. Hal ini menunjukkan bahwa jerami telah menjadi dewasa dan memiliki nilai dari esensi waku.

Dapat kita lihat pada gambar gerbang tengah sebelah kanan, susunan bambunya tidak memiliki tinggi yang sama. Besar bambu yang digunakanpun berbeda-beda. Hal ini menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik fukinsei (asimetris). Dalam KBBI (1995:61,941) dijelaskan bahwa pengertian asimetris adalah sesuatu yang tidak sama pada kedua belah bagiannya. Menurut Hisamatsu (1997:29), asimetris berarti mempunyai bentuk yang tidak seimbang. Hal ini sesuai pada gambar, dimana susunan bambu yang tidak sama panjang membuat gerbang tengah tidak terlihat sama tinggi.

3.2 Analisis Karakteristik Fukinsei, Kanso, Shizen dan Seijaku Pada Tsukubai Satō dan Sato (2005:23) menuliskan, tsukubai memiliki sebuah penampung air (chozubachi) dimana air akan terus mengalir, dan terdapat sebuah batu yang berfungsi sebagai tempat untuk menaruh ember yang berisi air hangat jika cuaca sedang dingin.

Gambar 3.4 Tsukubai Sumber: http://www.aisf.or.jp/~jaanus/deta/t/tsukubai.htm Ishidoro  chozubachi  Batu untuk  ember air  panas 

(12)

Tinggi chozubachi dengan tinggi batu untuk menaruh ember air panas serta ketinggian ishidoro (lentera batu) yang tidak sama tinggi, menurut analisis penulis mencerminkan karakteristik fukinsei (asimetris). Hal ini menurut penulis sesuai dengan yang ditulis dalam KBBI (1995:61,941), asimetris adalah sesuatu yang tidak kedua belah bagiannya tidak sama. Pengertian tersebut mendukung penjelasan oleh Hisamatsu (1997:29) yang menjelaskan tentang karakteristik fukinsei (asimetris) bahwa asimetris dalam Zen memiliki arti ketidakseimbangan.

Karakteristik kanso (kesederhanaan) juga dapat terlihat dari pemilihan bahan dalam pembuatan tsukubai ini. KBBI (1997:888) menuliskan tentang arti kesederhanaan, yaitu sesuatu yang tidak berlebih atau tidak memiliki banyak pernik. Batu yang digunakan dalam pembuatan tsukubai ini, bukanlah batu yang berharga dan tidak memiliki banyak hiasan. Hal tersebut membuktikan adanya nilai kesederhanaan dalam batu yang digunakan dalam pembuatan tsukubai ini. Selain itu, batu yang digunakan untuk ishidoro, chozubachi maupun batu untuk menaruh ember air panas, semuanya tidak ada yang berwarna mencolok. Hal ini sesuai dengan karakteristik kanso (kesederhanaan) yang terdapat dalam Hisamatsu (1997:31) kesederhanaan dalam Zen jika diibaratkan dalam warna, berarti menghindari perbedaan warna, dan hal ini tercermin dalam batu yang digunakan pada tsukubai. Semua batu yang digunakan tidak ada yang mencolok, dan tidak memiliki perbedaan warna.

Penyusunan pohon maupun batu yang terdapat pada tsukubai, menurut analisis penulis sesuai dengan konsep shizen (kealamian). Kata kealamian dalam KBBI (1995:22) adalah sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Sesuai dengan nilai yang terkandung dalam karakteristik shizen (kealamian) yang ditulis oleh Hisamatsu (1997:32) kealamian dalam Zen adalah sesuatu yang tidak dipaksakan, atau dengan kata

(13)

lain terlihat seperti satu lingkungan. Penyusunan batu dan pohon ini berfungsi untuk membantu keberadaan chozubachi, ishidoro maupun batu untuk ember air panas tersebut terlihat menyatu dengan lingkungan sekitar yang berupa pohon-pohon dan jalan setapak, sehingga memberikan keberadaan tsukubai tidak terlihat berbeda (mencolok) dari lingkungan sekitarnya.

Satō dan Sato (2005:23) mengatakan tsukubai harus ditata sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan menenangkan. Tsukubai merupakan salah satu titik yang diperkuat oleh penyusunan pohon dan batu (Sadler, 1989:20). Penataan susunan pohon dan batu ini membuat tsukubai mampu menimbulkan kesan damai, sejuk dan menenangkan. Hal ini menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik seijaku (ketenangan). Kata tenang menurut KBBI (1995:1036) adalah suatu keadaan yang diam, tidak ribut dan tidak gelisah. Pengertian tersebut sesuai dengan yang ditulis oleh Hisamatsu (1997:37) mengenai karakteristik seijaku (ketenangan), dimana ketenangan yang dimaksud dalam Zen adalah suasana yang sunyi, tenang dan berorientasi kearah batin. Hal ini nantinya didukung oleh suara air yang terus mengalir pada chozubachi.

3.3 Analisis Karakteristik Kanso, Shizen, Fukinsei dan Datsuzoku Pada Machiai Menurut Satō dan Sato (2005:23) machiai merupakan bangunan sederhana dengan atap dan tempat duduk yang menempel pada dinding. Fungsi utama machiai adalah sebagai tempat menunggu para tamu hingga dipersilahkan masuk ke dalam chashitsu, sekaligus untuk menikmati pemandangan.

(14)

Gambar 3.5 Machiai

Sumber: http://hoteldetective.org/album/20040621_oregon/tn/dscn3316.jpg.html

Machiai juga dibangun dengan bahan-bahan yang alami. Dapat terlihat pada gambar, pohon yang digunakan sebagai tiang penyangga machiai, tidak harus merupakan pohon yang sudah dibersihkan dan mulus. Keadaan ini menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik kanso (kesederhanaan). Kesederhanaan adalah sesuatu yang tidak banyak pernik dan tidak berlebih (KBBI, 1995:888). Pengertian tersebut selaras dengan karakteristik kanso (kesederhanaan) yang dituliskan Hisamatsu (1997:31), yang mengatakan bahwa kesederhanaan dalam Zen tidak memiliki perbedaan warna dan menggunakan warna yang tidak mencolok. Penggunaan bahan-bahan alami dalam arsitektur machiai menurut analisis penulis juga sesuai dengan karakteristik shizen (kealamian). Kealamian dalam KBBI (1995:22) memiliki arti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, atau segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Hisamatsu (1997:32) menjelaskan tentang makna kealamian dalam karakteristik shizen (kealamian), bahwa kealamian adalah sesuatu keadaan yang terlihat tidak dipaksakan. Hal ini memiliki kesamaan makna dengan arti kealamian menurut KBBI. Penggunaan

(15)

bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan machiai merupakan bahan-bahan-bahan-bahan yang merupakan bagian dari bumi. Hal tersebut menjelaskan terdapatnya unsur kealamian dalam machiai. Selain itu, menurut Tanaka (1998:85) machiai harus dibangun dekat dengan pepohonan. Pepohonan yang berada dekat dengan machiai memiliki fungsi sebagai penghubung antara machiai dengan lingkungan sekitar, sehingga keberadaan machiai tidak terlihat terpisah (mencolok) dengan lingkungan sekitar. Hal ini juga didukung oleh warna alami yang terdapat oleh bahan-bahan yang dipakai dalam proses pembangunannya.

Menurut analisis penulis terdapat karakteristik fukinsei (asimetris) dari segi penggunaan kayu yang belum dihaluskan sebagai tiang penyangga machiai. Kayu yang belum dihaluskan menyebabkan kayu memiliki bentuk yang tidak lurus, karena masih terdapat tonjolan-tonjolan bekas pemotongan dahan secara acak. Keadaan ini menurut KBBI (1995:61,941) adalah asimetris atau sesuatu yang tidak memiliki bagian yang sama pada kedua belah bagiannya. Hisamatsu (1997:29) juga menambahkan bahwa pengertian fukinsei (asimetris) dalam Zen adalah sesuatu yang tidak seimbang atau tidak sempurna. Selain itu, karakteristik fukinsei (asimetris) dalam Zen juga dapat diibaratkan dengan bentuk yang penyok atau tidak rata, sehingga tidak menghasilkan bentuk yang sempurna. Tonjolan-tonjolan pada batang kayu membuat kayu tersebut tidak membentuk garis lurus, dan jika dibelah menjadi dua bagian, bagian tersebut tidak memiliki bentuk yang sama. Menurut analisis penulis, hal ini menunjukkan adanya karakteristik fukinsei pada tiang penyangga machiai.

Bebas menurut KBBI (1995:103) memiliki arti lepas sama sekali atau tidak terhalang, dan kata ikatan (1995:368) memiliki arti dibebat atau rangkaian. Sehingga bebas dari keterikatan berarti terlepas sama sekali dari suatu rangkaian, atau tidak ada yang

(16)

membebat. Pengertian ini sama dengan pengertian yang disampaikan oleh Hisamatsu (1997:34) mengenai karakteristik datsuzoku (bebas dari kebiasaan), yaitu terbebas dari segala adat, aturan maupun rumusan dan hal ini mendorong manusia mengembangkan kreatifitasnya dan menuangkannya dalam bentuk seni. Menurut analisis penulis, karakteristik datsuzoku (bebas dari keterikatan) terdapat dalam machiai. Hal ini terlihat dalam penggunaan batang kayu yang belum dibersihkan atau dihaluskan sebagai tiang-tiang dalam machiai, karena penggunaan bahan yang tidak dihaluskan merupakan suatu yang tidak biasa dalam dunia arsitektur. Hal ini seperti yang dikatakan Ishar (1992:75), bahwa keindahan arsitektur dapat terlihat pada prinsip keindahan bentuk, salah satunya adalah keseimbangan dan keteraturan.

3.4 Analisis Karakteristik Kanso dan Fukinsei Pada Setsuin

Sadler (1989:33) menuliskan ada dua macam setsuin. Yang pertama disebut dengan kafuku setsuin, sedangkan yang kedua disebut dengan kazari setsuin atau toilet yang berfungsi sebagai ornamental.

Gambar 3.6 Kafuku Setsuin

(17)

Gambar 3.7 Kazari Setsuin

Sumber: http://appius.blog51.fc2.com/blog-entry-299.html

Dapat terlihat pada gambar, bangunan kafuku setsuin maupun kazari setsuin, keduanya masih menggunakan bahan-bahan yang natural. Hal ini menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik kanso (kesederhanaan). Arti kesederhanaan dalam KBBI (1995:888) adalah sesuatu yang tidak banyak pernik. Dapat terlihat pada gambar, kayu yang digunakan sebagai bahan dalam pembangunan setsuin, tidak diberi ukiran, atau diwarnai dengan cat, atau dengan kata lain tidak banyak hiasan. Ditambahkan juga mengenai pengertian tentang karakteristik kanso (kesederhanaan) menurut konsep Zen yang ditulis dalam Hisamatsu (1997:31), bahwa kesederhanaan dalam Zen dapat diibaratkan dengan warna yang tidak mencolok.

Sadler (1989:33) mengatakan walaupun pada chashitsu dapat digunakan kayu tua atau bambu, akan tetapi dalam setsuin hanya menggunakan kayu yang baru dan bersih. Karena dilihat dari fungsinya, setsuin harus dijaga kebersihannya. Hal ini menurut analisis penulis terdapat karakteristik fukinsei (asimetris). Perbedaan bahan yang dipakai pada satu bangunan yang masih berhubungan membuat kesan yang ditimbulkan juga berbeda. Seperti yang dituliskan oleh Hisamatsu (1997:29) asimetris berarti sesuatu yang

(18)

tidak seimbang atau tidak sempurna. Perbedaan bahan yang dipakai membuat suasana yang tercipta menjadi sedikit tidak seimbang, karena dibandingkan dengan bangunan lain yang menggunakan kayu yang tidak diolah (masih kasar), setsuin menggunakan kayu yang baru dan bersih. Akan tetapi, hal ini menurut analisis penulis membuat sukiya tampil lebih menarik. Sesuai dengan yang dikatakan Hisamatsu (1997: 54) bahwa sesuatu yang dianggap sempurna, dalam Zen bukanlah kesempurnaan sejati.

3.5 Analisis Karakteristik Kanso, Shizen dan Kokou Pada Chashitsu

Chashitsu adalah salah sau bangunan yang mencerminkan keunikan Jepang. Menurut Kishida (2008:91) perkembangan arsitektur chashitsu dimulai dari abad keenambelas, dari bentuk rumah biasa berubah menjadi sesuatu yang indah. Tanaka (1998:84-85) mengatakan bahwa rumah teh dapat dibuat dengan menggunakan batang kayu dengan kulit yang masih menempel, atau dari pilar kayu yang belum dihaluskan dan bengkok karena umur, dan bagian dindingnya diplester dengan lumpur.

Gambar: 3.8 Chashitsu Gaya Souan

(19)

Chashitsu dalam pembangunannya menggunakan bahan-bahan yang alami, seperti yang dapat terlihat pada gambar. Hal ini menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik kanso (kesederhanaan). Kesederhanaan dalam KBBI (1995:888) dijelaskan dengan sesuatu yang tidak memiliki banyak hiasan. Dapat terlihat pada gambar, pada chashitsu tidak terdapat banyak hiasan, bentuk bangunannya tidak memiliki ukiran, dan tidak terdapat bagian yang memiliki bentuk-bentuk yang rumit. Hal tersebut didukung dengan penjelasan yang ditulis oleh Hisamatsu (1997:31) bahwa karakteristik kanso (kesederhanaan) berarti menghindari warna-warna yang mencolok. Penggunaan bahan-bahan yang dipakai dalam proses pembangunan chashitsu, seperti yang sudah dikatakan Tanaka (1998:84-85) merupakan bahan-bahan yang alami dan tidak mengalami proses pewarnaan, sehingga membuat warna yang terdapat pada chashitsu adalah warna-warna yang alami dan tidak mencolok. Penyusunan pohon dan batu sekeliling chashitsu, menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik shizen (kealamian). Seperti yang tertulis dalam KBBI mengenai arti kealamian, yaitu segala yang berada di langit dan di bumi. Penggunaan bahan dalam pembangunan chashitsu, menggunakan bahan-bahan yang merupakan bagian dari bumi, sehingga hal ini membuktikan adanya nilai kealamian dalam chashitsu. Menurut Hisamatsu (1997:32), karakteristik shizen (kealamian) memiliki arti tidak dipaksakan. Penyusunan pohon maupun batu pada sekeliling chashitsu, membuat chashitsu terlihat menyatu dengan lingkungan sekitar dan tidak tampak seperti bangunan yang sengaja dibangun atau dipaksakan ada dalam lingkungan tersebut.

Penggunaan jerami pada atap chashitsu menurut analisis penulis mengandung karakteristik kokou (esensi waktu). Kata esensi dalam KBBI (1995:270) mengandung arti hal yang pokok atau inti, sedangkan kata waktu (1995:1123) memiliki arti seluruh

(20)

rangkaian saat terjadinya proses, perbuatan atau keadaan. Gabungan kedua kata tersebut memiliki arti inti atau hal yang pokok dari keseluruhan rangkaian saat terjadinya suatu proses. Pengertian tersebut mendukung penjelasan Hisamatsu (1997:31) mengenai karakteristik kokou (esensi waktu) dalam Zen, yaitu menjadi berpengalaman seiring berlalunya waktu atau menjadi kering. Kering yang dimaksudkan adalah menjadi dewasa seiring berlalunya waktu, hingga mengilang kesegarannya dan menyisakan intinya saja. Jerami melambangkan kekeringan yang mengandung makna hilangnya kesegaran dan menjadi dewasa. Jerami hanya dapat diperoleh, jika rumput tersebut sudah mengalami proses waktu, hingga mengering dan menyisakan intinya. Kering dalam Zen memiliki makna sudah menjadi ahli dan memiliki nilai kecantikan yang tinggi.

Menurut brown (1996:9), didalam chashitsu memiliki: pintu masuk yang sempit (nijiri-guchi), tokonoma, pilar tokonoma yang dihias, jendela kecil yang memiliki pintu geser, dan bagian tengah (inti).

Gambar: 3.9 Bagian Dalam Chashitsu

tokonoma  jendela  Bagian tengah  (inti)  Sadoguchi (pintu  masuk tuan  rumah)  nijiriguchi 

(21)

Sumber: www.terebess.hu/tea/teakunyho.html

3.5.1 Analisis Karakteristik Fukinsei, Kanso dan Shizen Pada Nijiriguchi

Dalam Satō dan Sato (2005:25) dituliskan bahwa, chashitsu memiliki sebuah pintu masuk yang unik. Tinggi pintu ini hanya tiga kaki (901 mm) dan mempunyai lebar dua setengah kaki (751 mm). Pintu ini disebut dengan nijiriguchi. Kata nijiri berarti merangkak, sedangkan kata guchi memiliki arti pintu.

Gambar 3.10 Nijiriguchi

Sumber: http://ecosamurai.blogspot.com/2008/09/ultimate-minimal-chashitsu-japanese-tea.html

Menurut analisis penulis, ukuran pintu nijiriguchi memiliki nilai dari karakteristik fukinsei (asimetris). Hisamatsu (1997:29) mengatakan bahwa bilangan ganjil merupakan karakteristik fukinsei (asimetris) dalam Zen jika diibaratkan dalam bilangan. Kedua ukuran nijiriguchi merupakan bilangan ganjil, dan sesuai dengan konsep asimetris dalam bilangan dalam Hisamatsu.

Penggunaan bahan kayu sebagai bingkai nijiriguchi, menurut analisis penulis terdapat karakteristik kanso (kesederhanaan) dan shizen (kealamian). Kesederhanaan

(22)

dalam KBBI (1995:888) memiliki arti sesuatu yang tidak memiliki banyak pernik, sedangkan kata kealamian memiliki arti segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi atau bisa juga berarti segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Menurut analisis penullis, karakteristik kanso (kesederhanaan) tercermin dalam warna kayu yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan nijiriguchi. Kayu yang digunakan tidak diwarnai dan tidak memiliki banyak hiasan, sehingga kayu yang digunakan mengandung unsur kesederhanaan. Menurut Hisamatsu (1997:31) bahwa karakteristik kanso (kesederhanaan) dalam Zen jika diibaratkan dalam warna adalah warna yang tidak mencolok, dan kayu memiliki warna yang alami. Karakteristik shizen tercermin dalam pemilihan kayu sebagai bahan utama nijiriguchi. Kayu merupakan bahan yang terdapat di bumi, sehingga memiliki unsur kealamian. Menurut analisis penulis, sukiya yang menggunakan rangka kayu sebagai fondasi utamanya, membuat keberadaan nijiriguchi tidak tampak mencolok dibandingkan dengan bagian sukiya yang lain dan terlihat alami (sudah sepantasnya) berada disana. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan utama dalam pembuatan sukiya, semuanya merupakan bahan alami dan memiliki kesamaan warna, sehingga keberadaan nijiriguchi tidak terlihat mencolok atau terlihat dipaksakan. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Hisamatsu (1997:32) mengenai karakteristik shizen (kealamian) dalam Zen adalah sesuatu yang bukan buatan dan tidak terlihat dipaksakan.

3.5.2 Analisis Karakteristik Kanso, Shizen, Yuugen, Seijaku dan Kokou Pada Chaseki

Alexander (2002:304) mengatakan bahwa sebuah chaseki (ruangan bagian dalam chashitsu) memiliki tinggi kurang lebih enam setengah kaki (1953 mm). Letak pintu

(23)

masuk tuan rumah (sadoguchi) harus berbeda dinding dengan dinding dimana nijiriguchi dibangun.

Gambar 3.11 Arsitektur Chaseki

Sumber: http://japanese-tea-ceremony.net/chashitsu.html Keterangan gambar:

1. Sadoguchi (pintu masuk tuan rumah) 2. Tokobashira (tiang utama dalam tokonoma) 3. Otoshigake (tiang bagian atas pada tokonoma)

4. Kakejiku (tempat menggantung lukisan gulung atau kaligrafi) 5. Tokogamachi (tiang bagian bawah pada tokonoma)

6. Tatami

Gambar yang diberi nomor 2,3 dan 5 merupakan pilar yang membentuk tokonoma.

Menurut Satō dan Sato (2005:25) struktur chaseki dibuat dari pilar kayu dan memiliki dinding yang terbuat dari lumpur. Hal ini menurut analisis penulis,

(24)

membuktikan bahwa dalam chaseki memiliki karakteristik kanso (kesederhanaan). Sesuai dengan yang ditulis dalam KBBI (1995:888) mengenai arti kesederhanaan, yaitu sesuatu yang tidak memiliki banyak pernik. Pengertian ini mendukung penjelasan dalam Hisamatsu (1997:31) mengenai karakteristik kanso (kesederhanaan). Dalam Zen karakteristik kanso (kesederhanaan) dapat digambarkan dalam warna, yaitu warna yang tidak mencolok serta menghindari perbedaan warna. Dapat terlihat pada gambar, dinding chaseki, tatami, shoji, serta kayu yang digunakan dalam arsitektur chaseki memiliki warna yang seragam dan tidak mencolok, karena semuanya menggunakan bahan-bahan alami selain itu, tidak terlihat pola bentuk yang rumit dalam struktur chaseki, dengan kata lain tidak memiliki banyak hiasan.

Chaseki dalam hal ini menurut analisis penulis, juga memiliki karakteristik shizen (kealamian), dimana dalam KBBI (1995:22) dijabarkan mengenai pengertian kealamian, yaitu segala sesuatu yang berada di langit dan bumi atau bisa juga berarti segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Pengunaan bahan-bahan pada arsitektur chaseki semuanya merupakan bagian dari bumi, hal ini membuktikan terdapatnya nilai kealamian dalam arsitektur chaseki. Hisamatsu (1997:32) menuliskan tentang karakteristik shizen (kealamian) dalam Zen dimana keberadaan antara satu bagian dengan bagian lain tidak ada yang memiliki kesan dipaksakan. Terlihat pada arsitektur chaseki, keberadaan bagian yang satu dengan yang lain tidak ada yang terlihat tidak pantas berada disana. Hal ini dapat ditinjau dari segi warna maupun bentuk. Dimana warna dalam chaseki, seperti yang sudah dijelaskan diatas, telah membaur. Dari segi bentuk, tidak ada bagian dari chaseki yang memiliki bentuk yang lebih mencolok dibanding yang lain. Semuanya menjalin satu kesatuan dan tidak terlihat adanya bagian yang dipaksakan keberadaannya.

(25)

Satō dan Sato (2005:25) juga mengatakan di dalam chaseki terdapat kertas putih buatan tangan yang menutupi jendela shoji dan pintu geser. Hal ini menciptakan suasana yang tenang dan sunyi. Alexander (2002:304) mengatakan pada sisi atas, dekat langit-langit, terdapat jendela yang berfungsi untuk memberikan penerangan redup ke dalam ruang teh.

Gambar 3.12 Jendela Pada Chaseki

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Tokonoma

Suasana ruang teh yang redup tersebut, menurut analisis penulis, sesuai dengan karakteristik yuugen (kedalaman makna). Menurut KBBI (1995:205,619), kedalaman makna memiliki arti benar-benar mengerti arti yang terkandung dalam sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Hisamatsu (1997:33) mengenai karakteristik yuugen (kedalaman makna) dalam Zen yang menyebutkan bahwa suasana yang tidak terang atau gelap biasanya memberikan kesan suram atau mencekam, tetapi dalam Zen, suasana tersebut memberikan kesan menumbuhkan konsentrasi dan suasana hening dan cerah.

Cahaya yang ditimbulkan oleh jendela tersebut memberikan kesan tenang dan sunyi, menurut analisis penulis juga terdapat karakteristik seijaku (ketenangan) dalam hal tersebut. Kata tenang dalam KBBI (1995:1036) memiliki arti tidak ribut atau tidak

Jendela pada  langit‐langit 

Jendela 

shoji  Pintu 

(26)

gelisah. Hal yang sama dikatakan oleh Hisamatsu (1997:37) yang menjelaskan tentang karakteristik seijaku (ketenangan) memiliki arti suatu keadaan yang tenang dan sunyi.

Menurut analisis penulis, chashitsu yang berluas 4 ½ tatami juga mengandung makna seijaku (ketenangan), karena dengan luas yang hanya bisa menampung 3 sampai 5 orang tersebut, membuat upacara chanoyu akan dapat berjalan dengan lebih tenang nantinya, seperti yang dikatakan oleh Sen (1998:111).

Pada lantai chashitsu, dialasi oleh tatami. Tatami adalah sebuah tatakan lantai yang terbuat dari jerami yang berukuran 3 shaku x 6 shaku. 1 shaku sama dengan 12 inci (Hopper, 2000:97). Menurut analisis penulis, penggunaan tatami dalam chashitsu memiliki karakteristik kokou (esensi waktu). Kata esensi menurut KBBI (1995:270) memiliki arti hal yang pokok atau inti, sedangkan kata waktu mengandung makna seluruh rangkaian pada saat terjadinya suatu proses, perbuatan atau keadaan. Gabungan kedua kata tersebut kemudian memiliki arti sebagai inti dari seluruh rangkaian yang terjadi pada saat berlangsungnya suatu proses, perbuatan atau keadaan. Arti tersebut memiliki kesamaan arti dengan yang dijelaskan oleh Hisamatsu (1997:31), bahwa kokou mengandung makna kekeringan. Dimana kekeringan yang dimaksud adalah meninggalan kesegaran atau masa muda, dan menjadi dewasa karena telah mengalami proses berlalunya waktu atau proses. Tatami yang menggunakan bahan dasar jerami memiliki nilai dari kekeringan tersebut. Jerami memiliki nilai esensi waktu yang telah melewati rangkaian proses hingga menjadi kering dan menyisakan intinya saja. Hal tersebut dalam Zen memiliki nilai seni dan kecantikan yang tinggi.

(27)

3.5.3 Analisis Karakteristik Fukinsei dan Kanso Pada Tokonoma

Alexander (2002:304) mengatakan bahwa pilar tokonoma harus terbuat dari jenis kayu yang belum dipakai pada kerangka rumah teh. Hal tersebut menurut analisis penulis sesuai dengan karakteristik fukinsei (asimetris). KBBI (1995:61-941) menuliskan pengertian asimetris yaitu, sesuatu yang tidak memiliki kesamaan pada kedua belah bagiannya. Menurut Hisamatsu (1997:29) karakteristik fukinsei (asimetris) dalam Zen memiliki arti tidak seimbang. Pemakaian jenis kayu yang berbeda dalam pilar tokonoma, memiliki nilai ketidakseimbangan, atau ketidaksempurnaan. Hal ini disebabkan karena, seluruh chashitsu memakai jenis kayu yang sama, dan hanya tokonoma yang memiliki jenis kayu yang berbeda. Tetapi seperti yang dikatakan Hisamatsu (1997:54) kesempurnaan yang dianggap sempurna bukanlah kesempurnaan sejati dalam Zen.

Menurut Brown (1996:9), tokonoma memiliki pilar yang dihias. Hal ini berarti ada sesuatu kemewahan yang lebih, dibanding dengan pilar-pilar yang lain. Menurut analisis penulis, pilar tersebut memiliki nilai fukinsei (asimetris). Seperti yang ditulis dalam KBBI (1995:61,941) yaitu sesuatu yang tidak sama pada kedua belah bagiannya. Dimana pengertian ini mendukung penjelasan tentang karakteristik fukinsei (asimetris) menurut Hisamatsu (1997:29) yang memiliki nilai ketidakseimbangan. Pilar berhias pada tokonoma tersebut memiliki nilai yang lebih dibanding pilar lain, dan hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan jika dibandingkan dengan pilar-pilar dalam chashitsu yang lain. Seperti yang dituliskan oleh Hisamatsu (1997:29) asimetris memiliki arti bentuk yang tidak biasa dan tidak seimbang. Selain itu, menurut analisis penulis, terdapat nilai kanso (kesederhanaan) dalam hal tersebut. Arti kesederhanaan dalam KBBI (1995:888) adalah sesuatu yang tidak mengandung banyak pernik. Akan tetapi menurut pendapat Hisamatsu (1997: 55), unsur kesederhanaan terdapat dalam

(28)

sesuatu yang sederhana maupun yang kompleks. Pilar tokonoma yang memiliki hiasan tersebut, walaupun memiliki nilai kemewahan yang lebih dibanding pilar yang lain, tetapi pilar tersebut tetap merupakan tiang yang berasal dari pohon yang belum dihaluskan atau diolah. Hal tersebut membuat penulis menyimpulkan, masih terdapatnya unsur kanso (kesederhanaan) dalam pilar tokonoma yang berhias tersebut, walaupun tidak sesuai dengan arti harafiah dari kata sederhana, tetapi mengandung karakteristik kanso (kesederhanaan).

3.6 Analisis Karakteristik Kanso dan Shizen Pada Mizuya

Menurut Sadler (1989:25) mizuya pada umumnya dibangun sebagai sebuah ceruk dengan lebar 3-4 kaki (901 mm- 1202 mm) dengan dalam kurang lebih 2 kaki (601 mm) dan memiliki jarak sekitar 1 tatami pada bagian depannya.

Mizuya menggunakan bahan-bahan yang alami dalam pembuatannya. Hal ini menurut analisis penulis membuat mizuya mengandung karakteristik kanso (kesederhanaan). Kesederhanaan dalam KBBI (1995:888) adalah sesuatu yang tidak banyak pernik. Pada arsitektur mizuya tidak ditemukan adanya bagian yang memiliki ataupun berfungsi sebagai hiasan maupun ukiran, sehingga penulis menyimpulkan adanya sifat kesederhaan dalam arsitektur mizuya.

Dalam Hisamatsu (1997:31), disebutkan bahwa karakteristik kanso (kesederhanaan) dalam Zen bisa diibaratkan dengan warna yang tidak mecolok atau menghindari perbedaan warna. Penggunaan bahan-bahan yang alami membuat mizuya terhindar dari warna-warna yang mencolok, dan memiliki kesatuan warna didalamnya, sehingga penulis menarik kesimpulan adanya karakteristik kanso (kesederhanaan) dalam mizuya.

(29)

Gambar 3.13 Mizuya

Penggunaan bahan alami, menurut analisis penulis, juga membuat mizuya memiliki karakteristik shizen (kealamian). KBBI (1995:22) menuliskan tentang arti kealamian, yaitu sesuatu yang berada di langit maupun di bumi atau segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan. Bahan-bahan yang dipakai dalam arsitektur mizuya menggunakan bahan-bahan yang merupakan bagian dari bumi, sehingga memiliki sifat kealamian. Selain itu, arsitektur pada mizuya tidak terlihat ada sesuatu yang lebih menonjol dan membuat bagian tersebut tidak pantas berada di mizuya. Seperti yang dikatakan oleh Hisamatsu (1997:32) mengenai karakteristik shizen (kealamian) dalam Zen, yaitu tidak ada sesuatu yang dipaksakan. Menurut analisis penulis, penggunaan

Sumber:

http://japankenchiku.com/images/web_tear oom_mizuya.jpg

sumber:

(30)

bahan-bahan yang sejenis, membuat arsitektur mizuya terlihat menyatu tanpa adanya bagian yang terlihat lebih mencolok dan keberadaannya tidak pantas. Hal ini membuat penulis menarik kesimpulan adanya karakteristik shizen (kealamian) dalam arsitektur mizuya.

Gambar

Gambar 3.1 Sotomon
Gambar 3.2 Roji
Gambar 3.3 Nakakuguri / Chuumon
Gambar 3.4 Tsukubai  Sumber: http://www.aisf.or.jp/~jaanus/deta/t/tsukubai.htm  Ishidoro chozubachi Batu untuk ember air panas 
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga merupakan tempat untuk menjadikan sosialisasi kehidupan anak-anak dan terdapat fungsi-fungsi lainnya yang harus dipenuhi seperti fungsi kasih sayang,

Melalui penerapan metode pembelajaran Drill dapat meningkatkan kemampuan dan keaktifan siswa pada pembelajaran Bahasa Arab dengan materi Membaca Teks Bahasa Arab

Batang tanaman cabai rawit memiliki struktur tidak berkayu pada saat masih muda, tetapi pada saat tua pada bagian batang yang dekat dengan tanah akan mempunyai

Rasio ini membandingkan antara total Pendapatan Asli Daerah berbanding dengan total Pendapatan dari laporan APBD, sehingga dapat diketahui seberapa efektif dan efisiennya

Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disebut SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan

Untuk pengelolaan dengan asas lestari dan hasil yang maksimum perlu perencanaan dalam satu Kelas Perusahaan Cendana di dalam kawasan hutan dan Hutan Rakyat untuk pengembangan di

Apabila perjanjian kerja sama ini diperparjang PARA PIHAK melakukan koordinasi atas rancangan perpaljangan kerja sama, atau dalam hal salah satu pihak berkeinginar

Berdasarkan hasil observasi aktivitas guru dan siswa, 10 (sepuluh) menit pertama, siswa baik di kelas eksperimen dan kelas kontrol masih antusias dan bersemangat untuk