• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA

AGAMA

OLEH

RAGIL NOVITA SARI 802014166

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ragil Novita Sari Nim : 802014166 Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalty non-ekslusif (non-excusive royalty freeright) atas karya ilmiah saya berjudul:

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Dengan hak bebas royalty non-ekslusif ini, UKSW berhak menyimpan mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga

Pada Tanggal : 2 Mei 2018 Yang menyatakan,

Ragil Novita Sari

Mengetahui,

Pembimbing

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ragil Novita Sari Nim : 802014166 Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

KEPUASAN PERKAWIAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Yang dibimbing oleh :

Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-oleh sebagai karya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber lainnya.

Salatiga, 2 Mei 2018

Yang memberi pernyataan

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Oleh Ragil Novita Sari

802014166

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyarataan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Disetujui Pada Tanggal 2 Mei 2018 Oleh

Pembimbing

Enjang Wahyuningrum, M.Si., Psi.

Diketahui oleh,

Kaprogdi

Ratriana Y.E. Kusumiati, M.Si., Psi.

Disahkan oleh,

Dekan

Berta Esti A. Prasetya, S.Psi., MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(7)

KEPUASAN PERKAWINAN PADA PERNIKAHAN

BEDA AGAMA

Ragil Novita Sari

Enjang Wahyuningrum

Program Studi Psikologi

p

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan perkawinan pada pernikahan beda agama. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada metode tersebut peneliti menerapkan wawancara dan observasi untuk mengetahui gambaran kepuasan perkawinan pada pernikahan beda agama. Partisipan pada penelitian ini merupakan tiga orang yang menjalani perkawinan beda agama dan mempertahankan perkawinannya sampai penelitian ini dibuat, tinggal disatu tempat yang sama atau tidak menjalani hubungan jarak jauh, partisipan merupakan satu-satunya yang menjalani pernikahan beda agama didalam keluarganya dan pada saat penelitian ini dilakukan usia pernikahanya tidak lebih dari enam tahun. Hasil dari penelitian ini adalah kepuasan pernikahan itu bersifat subjektif karena tidak semua pasangan menunjukkan adanya kepuasan dalam pernikahannya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dua subjek yang merasakan kepuasan perkawinan dan subjek lain kurang menunjukkan kepuasan perkawinan, sesuai dengan aspek-aspek kepuasan perkawinan dalam teori Olson dan Fowers (1989) yaitu komunikasi, aktivitas waktu luang, orientasi keyakinan beragama, pemecahan masalah, pengaturan keuangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat, peran dalam keluarga, kepribadian pasangan, dan peran menjadi orang tua tidak semua pasangan menunjukkan adanya kepuasan dalam pernikahannya.

(9)

ii

Abstract

The purpose of this research is to know the picture of marriage satisfaction at

interfaith marriage. The research method used in this research is qualitative

research. In that method the researcher applies interview and observation to know

picture of marriage satisfaction at interfaith marriage. Participants in this study were

three people who underwent a interfaith marriage and maintained their marriage

until the study was made, living in one place or not undergoing a long distance

relationship, the participants were the only one who underwent interfaith marriages

in his family and at the time and at the time of this study the marriage age is not more

than six years old. The result of this research is the satisfaction of the marriage is

subjective because not all partners show satisfaction in their marriage. This is

indicated by the existence of two subjects who felt the satisfaction of marriage and

other subjects showed less indication of marital satisfaction, in accordance with

aspects of marital satisfaction in the theory of Olson and Fowers (1989) are

communication, leisure activities, religious beliefs orientation, problem solving,

financial, sexual orientation, family and relatives, family role, partner personality,

and parent role, not all partners show satisfaction in their marriage.

Keywords: Marital Satisfaction, interfaith marriage.

(10)

1

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan puncak dari suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan. Seperti halnya yang juga dikatakan oleh Duvall dan Miller (1985), perkawinan diartikan sebagai hubungan interaksi timbal balik antara laki-laki dan perempuan yang sifatnya paling intim dan cenderung diperhatikan. Pernikahan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada penerapannya perkawinan tidak selalu terjadi pada pasangan dengan agama yang sama. Kondisi tersebut semakin diperkuat dengan adanya keberagaman agama di Indonesia.

Keberagaman agama dapat dikatakan sebagai sebuah fenomena khas yang terdapat di Indonesia. Secara resmi, pemerintah Indonesia mengakui adanya enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Akan tetapi, di samping agama-agama yang diakui tersebut, pada dasarnya Indonesia masih memiliki beragam agama suku atau aliran kepercayaan yang terdapat di masing-masing daerah. Keberagaman agama yang ada, sedikit banyak turut mempengaruhi bagaimana tata kehidupan masyarakat Indonesia sendiri. Semua orang dari latar belakang agama yang berbeda saling berinteraksi di dalam kesehariannya. Bahkan terdapat fenomena dimana bentuk interaksi tersebut dapat berlanjut sampai pada tahapan hubungan perkawinan(http://satzchoochoo182.wordpress.com/2017/01/18/agamaleluhurmasing masingsukubangsadinusantaraindonesia/).

(11)

Dalam pernikahan yang dijalani setiap pasangan mengharapkan adanya kepuasan perkawinan. Menurut Spanier dan Cole (1976), kepuasan perkawinan didefiniksikan sebagai sebuah penilaian seseorang atas perasaannya terhadap pasangannya, perkawinanya, serta hubungannya dengan pasangannya. Dalam memahami sebuah penilaian ini, kita tidak dapat melihatnya secara statis atau final karena perkawinan berjalan terus, sehingga dimungkinkan adanya perubahan-perubahan penilain didalam pernikahannya tersebut.

Kepuasan perkawinan merupakan penilaian subjektif dari seseorang didalam menjalani kehidupan pernikahan tersebut. Seperti yang dikatakan Hendrick & Hendrick (1992), kepuasan perkawinan merujuk pada evaluasi hubungan pernikahan, apakah hubungan tersebut baik, buruk, atau memuaskan. Menurut Bahr, Chappell, dan Leigh (1983), pasangan suami atau istri akan merasakan kepuasan dalam perkawinan mereka, jika kebutuhan dan harapannya dapat terpenuhi. Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa kepuasan perkawinan itu tidak hanya bergantung pada diri individu itu sendiri, tetapi juga bergantung pada respon yang diberikan oleh pasangannya. Dengan demikian kepuasan perkawinan menuntut adanya hubungan timbal balik dari masing-masing pasangan suami atau istri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2012), memperlihatkan bahwa kepuasan perkawinan itu bersifat subjektif. Dari dua partisipan yang diteliti didapatkan hasil yang berbeda. Pada partisipan pertama partisipan belum meraskan kepuasan dalam perkawinannya karena belum terpenuhinya aspek material dan psikologis. Sedangkan pada partisipan kedua didapatkan partisipan telah merasakan

(12)

3

kepuasan perkawinan karena sudah terpenuhinya aspek material, psikologi, dan seksual.

Menurut Olson dan Fowers (1993) ada sepuluh aspek yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan. Aspek-aspek tersebut meliputi : 1) Komunikasi, melihat pada perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi yang berfokus pada kenyamanan. 2) Aktivitas waktu luang, mengukur pada kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu luang bersama. 3) Orientasi keyakinan beragama, mengukur makna kepercayaan dan praktiknya, dimana pemaknaan akan keagamaan yang tinggi akan memperlihatkan nilai yang tinggi dalam kepuasan perkawinannya. 4) Pemecahan masalah, mengukur persesi pasangan mengenai kemampuan menghadapi dan cara menyelesaikan masalah. 5) Pengaturan keuangan, dilihat sikap suami atau istri dalam melakukan pengelolaan keuangan rumah tangga mereka. 6) Orientasi seksual, mengukur perasaan pasangan menegenai afeksi dan hubungan seksual mereka. Apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan, penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidak bahagiaan. 7) Keluarga dan kerabat, menunjukan bagaimana harapan dan kenyamanan dalam menghabikan waktu luang bersama keluarga besar dan teman-teman. 8) Peran dalam keluarga, mengukur tentang perasaan dan sikap individu tentang perannya dalam keluarga. Yang berfokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah tangga, seks, serta peran sebagai orang tua. 9) Kepribadian pasangan, mengukur persepsi individu pada pasangannya dalam menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi. 10) Peran menjadi orang tua, mengukur sikap dan perasaan pasangan dalam membesarkan anak, kesepakatan dalam mengasuh dan

(13)

mendidik anak. Dari uraian tersebut, aspek-aspek kepuasan perkawinan merupakan unsur-unsur yang membentuk terciptanya kepuasan perkawinan. Semakin tinggi nilai dalam suatu aspek menunjukkan kepuasan suatu aspek tersebut.

Kepuasan perkawinan dapat dibangun oleh masing-masing pasangan melalui banyak faktor. Merujuk pada pemikiran Duvall dan Miller (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor sebelum perkawinan dan faktor sesudah perkawinan. Faktor sebelum perkawinan meliputi, kondisi perkawinan orang tua, kebahagiaan pada masa kanak-kanak, ketegasan dalam disiplin, pendidikan seks, tingkat pendidikan, dan lamanya waktu berkenalan dengan pasangan sebelum menikah. Faktor-faktor kepuasan perkawinan yang muncul setelah perkawinan yaitu, keterbukaan dalam mengekspresikan cinta pada pasangan, rasa saling percaya, tidak saling mendominasi dalam pengambilan keputusan, adanya komunikasi yang baik, perasaan senang kedua belah pihak dalam berhubungan seks, penghasilan yang cukup dalam memenuhi kebutuhan keluarga, dan memiliki tempat tinggal yang relatif menetap, serta saling berpartisipasi dalam kehidupan sosial pasangan.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Srisusanti dan Zulkaida (2013). Mereka meneliti tentang faktor dominan apa saja yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Dengan hasil, hubungan interpersonal dengan pasangan, partisipasi keagamaan, dan kehidupan sosial merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kepuasan perkawinan.

(14)

5

Menurut Mandra & Artadi (dalam Eoh, 1996), pernikahan beda agama atau yang sering disebut interfaith marriage dapat dipahami sebagai ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang memiliki latar belakang agama yang berbeda tetapi mereka tetap mempertahankan perbedaan tersebut didalam hubungan suami istri dengan tujuan untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pengertian ini dapat dipahami bahwa ketika dua orang yang memiliki agama yang berbeda dan memutuskan untuk menikah tetapi kemudian mereka menjalani hubungan suami istri dalam satu agama yang sama, berarti mereka tidak dapat dikatakan menjalani pernikahan beda agama.

Pernikahan beda agama merupakan hal yang masih menarik perhatian di negara ini. Meskipun hal ini dianggap kebiasaan yang menyimpang dari kebiasaan yang ada, namun fenomena pernikahan beda agama pada kenyataanya masing sering terjadi. Hal ini didukung oleh penelitian dari Wahyuni (2004) yang melihat realitas di masyarakat bahwa pernikahan beda agama masih relatif terjadi dibeberapa daerah. Di daerah kabupaten Gunung Kidul terdapat data rata-rata 32% pertahun pernikahan berasal dari agama yang berbeda dan juga di beberapa KUA (Kantor Urusan Agama) terdapat rata-rata 2,5% pernikahan yang berasal dari agama yang berbeda.

Terkait dengan pernikahan beda agama, Mistranmi (2008) pernah melakukan penelitian tentang motivasi pasangan yang menikah beda agama. Hasilnya, motivasi seseorang menikah beda agama bersifat subjektif. Pada partisipan satu dan dua mereka memiliki motivasi yang sama yaitu pernikahan yang bahagia, sehat, sejahtera, kekal, keluarga yang harmonis, serta penuh kasih sayang. Sedangkan pada partisipan

(15)

tiga, motivasi pernikahan beda agama karena adanya kesatuan dari perbedaan agama antara partisipan dan pasangan partisipan.

Jika dilihat dari persepsi masyarakat pernikahan dengan agama yang sama akan lebih memiliki kepuasan dibanding dengan orang yang menikah beda agama. Hal ini seperti yang dikatakan Pratiwi (2014), bahwa pernikahan beda agama dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara internal maupun eksternal dan mendapat pandangan yang tidak baik dari masyarakat dan lingkungan agama itu sendiri.

Dari penelitian-penelitian diatas penulis melihat bahwa kepuasan perkawinan itu bersifat subjektif, tergantung pemaknaan dari masing-masing orang. Meskipun bersifat subjektif, tetapi terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawian itu sendiri. Salah satu faktornya adalah orientasi keagamaan. Namun pada penelitian sebelumnya tidak membahas secara mendalam mengenai orientasi keagamaan. Jika dilihat dari penelitian yang dilakukan sebelumnya pernikahan beda agama tidak dapat dikatakan hal yang dipandang sebelah mata lagi karena didalam penelitian tersebut didapat 32% penduduk yang menikah beda agama dan itu bukan jumlah yang kecil.

Banyak persepsi masyarakat yang melihat bahwa kepuasan perkawinan akan lebih mudah terbentuk apabila pasangan memiliki orientasi keagamaan yang sama, namun bagaimana jika persepsi itu salah. Bagaimana jika kepuasan perkawinan itu dilihat dari pasangan yang menikah beda agama. Sehingga hal-hal di atas menjadi alasan peneliti untuk melakukan penelitian pada orang yang menjalani pernikahan beda agama. Berdasarkan uraian diatas mengenai kepuasan perkawinan penulis ingin

(16)

7

meneliti lebih dalam tentang bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada pernikahan beda agama.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu Psikologi pada umumnya dan khususnya kajian bagi Psikologi Sosial serta memberikan informasi mengenai gambaran kepuasan perkawinan pada pernikahan beda agama, keluarga dapat memberikan dukungan bagi pasangan yang menikah beda agama, memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya khususnya mengenai kepuasan perkawinan pada pernikahan beda agama.

METODE Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, secara khusus penelitian ini dilakukan karena peneliti ingin mengetahui gambaran kepuasan perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang menjalani pernikahan beda agama, berdasarkan sifat masalah yang akan diteliti dan mempertimbangkan suatu peristiwa yang tidak dapat diungkap secara kuantitatif, sehingga akan diperoleh data yang lebih lengkap, komplek, dan mendalam sesuai dengan penghayatan dan perasaan subjektif individu.

Partisipan

Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan partisipan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kriteria partisipan ialah orang yang menjalani pernikahan beda agama dan mempertahankan perbedaan agama itu hingga penelitian ini dilakukan, tinggal di satu tempat yang sama atau tidak menjalani hubungan jarak

(17)

jauh, partisipan ini merupakan satu-satunya yang menjalani pernikahan beda agama didalam keluarga besarnya, saat penelitian ini dilakukan usia pernikahannya lebih dari enam bulan dan kurang dari enam tahun pernikahan. Berdasarkan kriteria tersebut peneliti memperoleh tiga orang partisipan yang memenuhi kriteria tersebut.

Metode Pengumpulan Data

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan peneliti untuk pengumpulan data adalah dengan wawancara dan observasi. Sebagai pendukung dari penelitian ini, pengumpulan data didukung dengan melakukan observasi.

Proses Pengambilan Data

Pada bagian ini peneliti melakukan persiapan penelitian yang berkaitan dengan pengambilan data pada penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pengambilan data dengan observasi dan wawancara, sehingga peneliti mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan. Untuk merekam seluruh hasil wawancara, peneliti menggunakan smatphone sebagai alat perekam suara dan alat tulis guna mencatat hal-hal penting yang muncul selama pendekatan, proses wawancara dan pengamatan terhadap partisipan. Peneliti juga mempersiapkan interview guide yang digunakan sebagai panduan dalam melalukan wawancara.

Awalnya peneliti mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria dalam penelitian. Peneliti mendapatkan beberapa partisipan, setelah disesuaikan dengan kriteria akhirnya peneliti mendapatkan tiga orang sebagai partisipan. Sebelum melakukan pengambilan data dengan wawancara, peneliti melakukan pendekatan terlebih dahulu pada ketiga partisipan yang berlangsung selama tiga minggu. Ketiga

(18)

9

partisipan merupakan orang yang sudah dikenal peneliti sehingga mempermudah dalam memperoleh kesepakatan dan proses wawancara. Selama proses pendekatan peneliti melakukan kesepakatan dengan partisipan, berupa kesediaan partisipan untuk di wawancara dan penggunaan perekam suara berupa smartphone sebagai keperluan dalam penelitian. Ketiga partisipan bersedia memberikan informasi tetapi dengan nama yang diinisialkan.

Analisa Data

Setelah mendaptkan data, maka peneliti melakukan analisis data dengan metode pengolahan data. Menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2012), metode pengolahan data meliputi tahapan pengumpulan data yang cukup, sesuai dengan topik penelitian dan dapat dianalisis, kemudian peneliti menggabungkan dan menyeragamkan segala bentuk data menjadi satu bentuk tulisan, selanjutnya penulis membuat matriks kategorisasi sesuai kategori atau kelompok tema-tema, dipecah dalam bentuk yang lebih konkret dan sederhana (subtema), kemudian memberikan kode (coding) dari subtema sesuai verbatime wawancara, dan yang terakhir adalah kesimpulan atau verifikasi yang berisi menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan fokus penelitian.

HASIL

Dari analisis verbatim dan hingga sampai pada disesuaikannya dengan sejumlah kategori yang sesuai dengan sepuluh aspek pada pasangan yang menikah yaitu: komunikasi, aktivitas waktu luang, orientasi keagamaan, pemecahan masalah, pengaturan keuangan, kepribadian pasangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat,

(19)

peran dalam keluarga, peran menjadi orang tua yang merupakan evaluasi menyeluruh mengenai kepuasan perkawinan.

Komunikasi

P1 secara keseluruhan terbuka dengan pasangannya, begitu pula sebaliknya, dalam hal empati saat P1 bercerita tentang keluhannya kepada pasangan, pasangan menunjukan sikap peduli dengan memberi masukan, pasangan juga tidak menginterupsi P1 tetapi mendengarkan dulu sampai selesai, P1 mengatakan:

“Ya kalau pasangan saya soal terbuka ya terbuka, tapi gimana ya kayak aku gitu. Diem dulu, kalau sudah siap mau bicara ya baru dibicarakan gitu biasanya dibicarain apa yang menjadi ganjelan gitu" (P1 28-30)

“misal udah dikasih tahu aku punya keluhan apa, ada masalah apa, itu pasti dikasih jalan keluar enaknya gimana” (P140-41)

“pasti didengerke dulu sampai selesai baru dikasih solusi” (P1 44)

P3 juga merasakan hal yang sama dengan P1 dimana ia dan pasangannya selalu menceritakan tentang hal-hal yang P3 dan pasangan alami, pasangannya mendengarkan keluh kesah P1 degan mendengarkannya terlebih dahulu tanpa meginterupsi dan juga menangapi cerita P1 dengan perhatian, P3 mengatakan:

“… kami selau bercerita soal apa aja, saling terbuka gitu mbak satu sama

lain. Entah itu soal sepele, entah hanya gurauan, ya kita saling ngobrola aja” (P3 33-35)

“Engga kok, didengarkan. Ya gitu didengarkan dulu sampai selesai baru dikasih saran atau hanya ditanggepin aja sesuai apa yang saya ceritakan, gimana dan bagaimana, gak pernah kok dicuekin gitu, ga pernah” (P3 49-53)

"Kita obrolin dulu masalah apa yang terjadi, baru cari jalan keluarnya

(20)

11

Sedangkan P2 tidak semua hal dapat dikomunikasikan pada pasangan, pasangannya juga kurang merespon terhadap P2 dan dalam bebrapa kasus pasanga kurang peduli , serta pasangan sering memotng pembicaraan P2 saat ia bercerita, ia mengatakan:

"Emm untuk komunikasi, hanya beberapa yang saya ceritakan kepada suami saya, saya tidak sepenuhnya bercerita tentang apa yang saya alami kepada suami saya" (P2 29-31)

"Kalau masalah respon tergantung mbak, tergantung, kalau saya sudah sering menceritakan ya mungkin responnya kurang baguslah. Apa ya cueklah gitu, dan suka memotong pembicaraan saya" (P2 51-54)

Aktivitas waktu luang

Ketiga partisipan dan pasangannya saling menghabiskan waktu luang dengan intensitas P1 dan P3 sering menghabiskan waktu luang bersama-sama untuk sekedar jalan-jalan, mengobrol bersama, dan juga sebagai refresing. Seperti yang dikatakan P1:

“ Harus sama anak dan suami, gak perlu mahal yang penting seneng gitu, yang penting anak bojo(pasangan) itu lego atine (lega hatinya), ben pikirane refresh (supaya pikirannya segar)”(P1 148-149)

P3 juga mengatakan, P3 sekeluarga sering menghabiskan waktu bersama waktu luang bersama-sama untuk sekedar jalan-jalan, mengobrol bersama, ia mengatakan:

“Biasanya kita jalan jalan, walau ketempat yang deket sih tidak apa-apa, yang penting kita bisa ngobrol bareng- bareng sama mertua" (P3 175-176)

Dalam menghabiskan waktu luang bersama P2 sebisa mungkin menghabiskan waktu luang dengan pasangan dan juga anaknya, namun kurang intens karena bergantung dengan kemauan suami mau atau tidaknya, P2 mengatakan:

“Ya tergantung, kalau pas suami bisa dan mau ya bareng-bareng, tapi kalau enggak ya hanya ak dan anak aja." (P2 137-138)

(21)

Orientasi keyakinan beragama

Ketiga partisipan pada umumnya saling mendukung dan menghormati didalam menjalankan ibadahnya sesuai agama mereka. P1 dan pasangannya pada orientasi keyakinan beragama saling mendukung dan menghormati serta tidak memaksakan keyakinan masing-masing, seperti yang diungkapkan P1 dengan berkata:

"Ya saling mendukung, kita saling menghormati satu sama lain. Ya suamiku mendukung aku dia gak pernah maksa aku ikut dia dan akupun juga begitu, suamiku juga ga mempersoalkan apapun tentang agama. Kan rumahku deket masjid kan, gak pernah yang gimana-gimana juga kalau saya menjalani agama saya" (P1 263-267)

“…. aku bilang sama suamiku 'yah kok aku diajak ibu kegereja'. Tapi suamiku bilang 'yasudahlah kalau kamu ga dari hatimu ya jangan ikutan, orang aku juga gapernah nyuruh nyuruh kamu, aku dalam hati juga begitu gak mau kalau disuruh suruh'. Aku gak pernah maksa suamiku buat ikut aku dan suamiku juga begitu dan itu yang selalu kita tanamkan” (P1273-277)

Sama halnya dengan yang dirasakan P1, P3 dan pasangannya juga selalu mendukung dalam menjalani ibadahnya masing-masing dan dijalankan dengan baik bahkan pasangannya juga memperbolehkan partisipan mengenakan jilbab dalam kesehariannya, hal itu diungkapkan oleh P3 dengan mengatkan:

"Gak ada masalah, kita tidak saling mengganggu agama satu sama lain, kalau waktu ibadah ya kita ibadah dan kita jalankan dengan baik baik" (P3 104-105)

“…. saya kan pakai jilbab, ya diperbolehkan pasangan saya” (P3 119-120)

P2 dan pasangannya juga memberikan dukungan sama seperti P1 dan P3, namun ada batasan-batasan tertentu dalam menjalankan ibadah dan sebelum menikah juga telah

(22)

13

ada kesepakatan bersama, pasangan P3 juga kurang membaur saat P3 merayakan hari raya keagamaan, P2 mengatakan:

“Kan gak semua to orang yang ke mahjid itu berprilaku baik, punya pikiran baik juga, soalnya juga yang memprovokasilah, memprovokasi harus gini gini, orang beda agama harus gini gitu, dan itu menurut saya tidak baik” (P2 170-173)

“Emm sebelum menikah kita sudah ada perjanjian terlebih dahulu, kan tahu kalau kita berbeda keyakinan ya misalnya kalau pas ada acara seperti natal dan lebaran ya masing-masing menjalani keyakinan kita, soal kemahjid juga ya saya injinkan selama itu baik, kalau gak baik ya saya larang” (P2 164-165)

“Kalau soal toleransi ya perlu ditingkatkan ya, karena kan keluarga besar saya semua beragama katholik pas natal atau paskah kan ada pertemuan keluarga mungkin dia lebih bisa membaurlah, dikurang-kurangi sensitifnya terhadap keluarga saya yang sebagian besar ya beragama katholik” (P2 175-179)

Pemecahan masalah

P1 dan P3 dengan pasangannya masing-masing pada pemecahan masalah saling menguatkan dan memberi dukungan. P1 dan pasangannya dalam pemecahan masalah menenangkan diri masing-masing, memberi waktu kepada keduanya untuk berfikir sendiri-sendiri dan jikalau sudah tenang baru dibicarakan. P1 dan pasangannya juga saling memberi dukungan satu sama lain, P1 mengatakan:

“Misal dalam keluargaku, biasanya klo aku sama suamiku ada masalah to, itu

pasti diem, biasane diem tu satu kalo ga dua hari buat nenangke (menenagkan) pikiran, kan kalo udah tenang atine (hatinya) udah gak panas baru diomongin (bicarakan), soale nek pas (soalnya waktu) ada masalah langsung diomongke (dibicarakan) kan malah tambah panas to, makane nunggu atine adem (makanya tunggu harinya tenag) dulu.” (P1 49-54)

“…. Soalnya apa aku pernah kecentok (terdesak bicaraan) masak ya mertua aku bilang pas aku kesana "ko tahu maen ke sini juga km?". ya aku langsung bilang ke suamiku, ya makanya aku enggak pernah ditinggal sendiri sama pasanganku soalna takut kaya itu tadi”(P1 419-423)

(23)

Saat menghadapi masalah pasangan P3 selalu aktif mencari solusi saat menghadapi masalah. P3 dan pasangan sama halnya dengan P1, P3 dan pasangan selalu menguatkan dan saling terlibat dalam menyelesaikan masalah, P3 mengatakan:

“Dia selalu aktif dalam mencari solusi karena kan dia lebih dewasa daripada saya, tapi keputusan yang dihasilkan itu dari keputusan bersama" (S3 71-72) “Saling menguatkanlah, semuanya saling terlibat, segala sesuatu harus diselesaikan dengan baik supaya dikemudian hari tidak kejadian lagi” (S3 91-94)

Namun pasangan P2 kurang terlibat dalam memecahkan masalah karena menurut P2 pasanannya lebih percaya dengan orang tuanya, dalam pemecahan masalah pasangannya hanya membantu sebisanya da nada kecenderungan tidak peduli pada P2, ia mengungkapkan:

"Iyaa gitu, soalnya dari pihak suami saya lebih percaya sama orang tuanya, tapi kalau aku sebisa mungkin cari jalan keluar sendiri, soalnyakan kita gak selamanya hidup sama orang tua, apa-apa kok minta bantuan orang tua, ya kalau bener kalau enggakkan ya malah jadi kacau sendiri nati." (P2 99-103) “Kalau salaing menguatkan sih enggak juga sih. dilihat aja dari masalah yang sedang terjadi itu apa kalau sekiranya dianya bisa membantu ya dibantu, kalau enggak ya cueklah" (P2 83-84)

Pengaturan keuangan

Pada P1, ia sendiri yang mengatur keuangan sedangkan pasangan hanya mengambil seperlunya saja, dalam pengolahan keuangan P1 mengutamakan untuk keperluan sehari-hari dan lebihnya untuk tabunga, seperti yang P1 ungkapkan:

“Kalau uangku kan punyaku, ndak punya suamiku, soalnya kebutuhan cewe beda to, buat ini it uterus kebutuhan mendadak pasti, trus kebutuhan buat anak sekolah pasti harus, makane punyaku ya punyaku punya suamiku kasihke aku, tapi selama ini ambil secukupnya, kalaupun aku kurang aku gapernah minta”

“Kalau aku sih lebih tabungan anak, kebutuhan sehari hari, sama misal ada kebutuhan mendadak , ada layatan itu urusan istri, tapi kalau suami, suamiku

(24)

15

sih masa bodo tapi kalau misal meh beli apa, ganti apa , gitu pasti nego sik sama istrine, ngomong dulu” (P1 154-159)

Sedangkan P2 mengatur keuangan dan pasangannya hanya diberi untuk keperluan pasangannya. P2 dalam mengelola keuangan dengan cara meminimalkan keuangan pengeluaran mereka dan harus ada yang disisakan untuk ditabung, ia mengatakan:

“Emm masalah mengatur keuangan, semua yang mengatur saya. Kalau suami

paling saya kasih yang sekiranya cukup untuk kebutuhan dia. Dan sebisa mungkin pengeluaran diminimalisirlah buat tabungan juga” (P2 145-146)

P3 dan pasangannya juga memiliki cara sendiri dalam mengelola keuangan mereka, dengan cara mengabungkan penghasilan keduanya , dan sisanya juga untuk ditabung. P3 dan pasangan mengelola keuangan secara transparan, ia mengatakan:

“Penghasilan kita, kita jadikan satu, untuk kebutuhan sehari hari dan setiap bulan harus ada yang disisakan untuk tabungan masa depan, biar sewaktu waktu kalau pas gak kerja atau ada halangan, kita masih punya simpanan” (P3 85-87)

“Kita kalau menggunakan uang, harus transparan, mungkin harus ada yang ditulis untuk keperluan satu bulan atau bagaimana gitu, soalnya kan kadang kita lupa untuk apa uang itu tapi gak ada wujud barangn atau apa, jadi kita biasanya sih tulis supaya nanti nanti gak ada masalah” (P3 91-94)

Kepribadian pasangan

Dalam kepribadian pasangan P1, pasangannya merupakan orang yang tegas dan mudah membaur dan dalam stabilitas emosi juga pasangannya tidak mudah terbawa emosi dalam menghadapi masalahnya dan tidak berlarut-larut, ia mengatakan:

“Karakter suami saya kalo menurutku simple, gak ribet, kalau ada masalah pasti diem dulu, bisa ngemong aku sama anakku, tegas mau mendengarkan keluh kesah, mudah berbaur”(P1 250-252)

“….keterbukaan masalah ya sering kita bicarakan ga sering berlarut larut” (P1237-240)

(25)

Sedangkan karakter pasangan P2, pasangan kurang dewasa dan masih bergantung dngan orang tua, tidak mau mendengar opini, sensitive, dan terburu-buru dalam mengambil keputusan, serta masih egois, P2 mengatakan:

“Dia kurang dewsalah, masih bergantung sama orang tuanya, terus masih minta tolong soal menyelesaikan masalah sih, emm enggak bisa menyelesaikan berdua. Ya mungkin juga kalau hanya berduakan kita belum bisa, soalnya suamiku pasti yang emosi, meskipun udah bicara dengan kepala dingin pasti ending-endinge (ujung-ukungnya) tetep aja gak ada solusi yang tepatlah paling semua balik lagi ke orang tua suami saya, pak minta tolong ini, ini, ini gitu” (P2 90-96)

Dan karakter pasangan P3, pasangan P3 merupakan orang yang peduli dengan keluarg, tegas dan dalam menghadapi masalah emosinya naik-turun, P3 mengungkapkan:

“Dia itu orang yang sangat peduli sama keluarga, dan dia itu orang yang sangat tegas" (P3 74)

“Kalau itu dia naik turun sih, kadang mungkin kalau masih dengar dari orang lain dia suka marah tapi kalau sudah tahu yang sebenarnya ya engga, ya cuman minta maaf kalau pas marah marah (P3 80-82)

Orientasi seksual

P1 dan P2 merasakan hal yang sama dalam orientasi sekual dengan pasangannya mereka masing-masing, keduanya merasa kurang nyaman jika sedang lelah, P1 mengtakan:

“…. aku kan otomatis menolak dengan ngomong “aku capek yah””(P1 245)

P2 mengatakan:

“Kalau soal hubungan suami istri sih ya biasa aja mbak, cuman saya gak suka aja kalau pas saya lagi capek malah dia jadi marah atau diem aja gitu malah jadi jengkel sendiri aku” (P2 219-221)

(26)

17

Namun P3 dan pasangannya, mereka saling mengerti jika sama-sama lelah, dan P3 tidak terpaksa, P3 mengatakan:

“Gak ada keterpaksaan dalam melakukan hubungan suami istri, kan itu bagian dari ibadah jadi jangan sampai ada keterpaksaan, kalau capek ya saling mengerti” (P3 99-101)

Keluarga dan kerabat

Ketiga partisipan pada awalnya merasakan ketidaknyamanan dengan keluarga maupun kerabat. P1 merasa tidak nyaman karena keluarga pasangan menginginkan P1 untuk pindah keyakinan, dan interaksi P1 dengan keluarga dan kerabat pasangan kurang, namun lama kelamaan menjadi akrab. Interaksi pasangan P1, pasangan lebih bisa membaur dengan keluarga P1, P1 mengatakan:

“Pernah, ini mertuaku sendiri jadi waktu hamil itukan ada misa tiba tiba tangannya mertuaku ditaruh diatas kepalaku dan aku diajak ibadah dan disitu aku sampai nangis” (P1 270-277)

“Kalau sekarang malah yang punya inisiatif ke rumah atas aku, "ayo yah main-main ke rumah atas nginep disana" gitu kalau sekarang” (P1 479)

Namanya juga kayak pendatang kan awalnya, ya canggung gitu tapi kan sudah terbiasa, dia orangnya mudah membaur juga jadi mudah aja dalam membaur dengan keluargaku yang muslim semua."(P1 417-421)

Dalam keakraban dan interaksi dengan keluarga dan kerabat, P2 merasa pasangannya kurang membaur dengan keluarga P2, namun jika interaksinya tergantung jarak antara P2 dengan kerabat pasangan, P2 mengatakan:

“Kalau saudara yang jauh ya pas lebaran aja, tapi kalau kerabat-kerabat yang dekat pas ada waktu ya main ke rumah, atau berkunjung.”(P2 123-125)

"Lha giman pasanganku ya kayak gitu, masak dia bilang ko aku gak bisa akur sama orang tuanya, ya aku bilang ya mbok ya dilihat orang tuanya gimana….”(P2 175-179)

(27)

Sedangkan hubungan P3 dan pasangan dengan keluarga dan kerabat, awalnya P3 merasa kurang nyaman dengan kerabat pasangan, namun seiring berjalannya waktu malah jadi akrab, sedangkan pasangan P3 lebih akrab dengan keluarga P3. P3 dan pasangan juga selalu menyambut keluarga mereka saat hari raya, P3 mengatakan:

“Awalnya sih ada satu saudara yang gak srek beda keyakinan, tapi gimana lagi kita yang jalani, tapi lama kelamaan ya sekarang sudah baik malah jadi akrab" (P3 126-128)

"Awalnya kan ya kurang mengenal gitu yaa, tapi kan pas dikenalin gitu ya aku coba buat jalin komunikasi dengan saudara-saudara pasangan saya, karena kan bakal menjadi saudara saya juga. Tapi kalau pasanganku malah dia justru yang lebih bisa langsung akrab dengan saudara-saudara saya. mungkin karena dia memang orangnya akrap, kalau aku ya pelan-pelan gitu" (P3 260-265)

“Iya mbak soalnya kan kita ya pas bisa kumpul barng dan kenal keluarga ya pas ada acara hari raya gitu" (P3 126-128)

Peran dalam keluarga

Pada P1 dan pasangannya tidak menetapkan secara khusus peran dalama keluarga mereka, namun masing-masing saling bertanggungjawab atas hal-hal yang mereka kerjakan. Seperti yang diungkapkan subjek berikut ini:

“Kalau soal pembagian peran dalam keluarga, tidak ada peran secara

khusus, semua kita kerjakan sama sama, kesehariannya gitu” (P1 254-255)

“Kalau aku sih lebih tabungan anak, kebutuhan sehari hari, sama misal ada

kebutuhan mendadak , ada layatan itu urusan istri, tapi kalau suami, suamiku sih masa bodo tapi kalau misal meh beli apa, ganti apa , gitu pasti nego sik sama istrine, ngomong dulu” (P1 164-167)

Pasangan P2 sering membantu subjek dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga karena pekerjaan P2 terlalu banyak sehingga tidak mungkin diselesaikan sendiri. Namun, pasangan kurang bertanggung jawab terhadap perannya mengasuh anak. P2 mengatakan:

(28)

19

"Iya dia sering membantu kalau pas enggak capek, kita juga sering membagi tugas kalau misal saya lagi mencuci atau lagi masak, dia suka membantu bersih-bersih, ya tapi kalau pas lagi capek ya membentu sedikit, misal aku nyuci dia yang membilas" (P2 200-203)

“Iya terbantu mbak, kalau soal ngasuh anak yg saya suka kurang terbantu karena masih asik dengan game online dibanding menjaga anaknya, jadi lupa semuanya ngasuh anak ya tetep saya" (P2 205-207)

Sedangkan P3, ada kesadaran dari pasangan P3 tentang ketidak seimbangan bahwa P3 memiliki terlalu banyak peran dalam keluarga, sehingga saat P3 tidak bisa menjalankan perannya, pasangan P3 sebisa mungkin mengantikan peran itu. P3 dan pasangan selalu mempertanggung jawabkan perannya masing-maasing. P3 mengatkan:

"Iya soalnya kan sebagai ibu rumah tangga, kan banyak pekerjaannya kalau diselesaikan sendiri kan gak selesai, soalnya kita masing masing bekerja, jadi saya dan pasangan itu saling menyadari" (P3 144-146)

"Ya itu harus dipertanggung jawabkan, contohnya misalkan tugas saya kan nyuci masak, nah itu harus saya kerjakan sebelum saya berangkat kerja, kalau peran suami lebih ke kayak nyapu gitu, yang bersih bersihlah mbak.” (P3 148-150)

Peran menjadi orang tua

Dalam peran menjadi orang tua pasangna P1 dan P3 turut serta dalam pengasuhan anak dan memberi arahan kepada anak, P1 mengatakan:

“Iya pasti, misal anakku panas kan dua duanya kerja, jadi iburnya itu gantian, misalnya anakku pengen pergi kemana ya itu diusahakan kesana, tergantung siapa yang bisa, tapi seringnya bertiga sama anak. Misal anak dirumah dan aku capek, yaudah dia yang mengurus anak” (P1 254-255)

“Kalo anak saya ikut agama katholik ya, dan saya ga paham paham banget soal katholik, jadi saya serahkan ke dia untuk mengajari, misal ada jadwal ibadah ya aku ingetin, kalo aku yang ngajarin kan aku sama anakku juga beda, doa doa kan yang tahu juga suamiku, jadi aku biarin aja yang mengajari suamiku”(P1 164-167)

(29)

P3 dalam peran menjadi orang tua mengatakan:

“Dia itu mengajarkan yang baik baik, kalau misal anak ada yang salah dia menasihati yang bener itu gini” (P3 148-150)

“Iya mbak, dibandingkan saya dia yang lebih memperhatikan anak, soal makanan, mainan, kadang sampai baju bajunya pun dia yang lebih memperhatikan"gini” (P3 153-155)

Sedangkan P2, pasanganya kurang terlibat dalam pengasuhan anak, pasangan lebih memilig game online dibanging mengasuh anak, namun jika soal bimbingan kepada anak P2 dan pasangan disusikan dulu. P2 mengatakan:

“…. kalau soal ngasuh anak yg saya suka kurang terbantu karena masih asik dengan game online dibanding menjaga anaknya, jadi lupa semuanya ngasuh anak ya tetep saya” (P2 206-207)

“Kalau soal membimbing dan mengarahkan kita berdua sih, soalnya kan gak bisa juga kalau hanya pendapat saya sendiri, kalau soal membimbing harus ada omongan berdualah” (P2 210-212)

PEMBAHASAN

Pasangan yang menikah beda agama memperlihatkan bahwa kepuasan perkawinan itu bersifat subjektif tergantung pada pemaknaan dari masing-masing orang yang menjalani, seperti yang dikatakan oleh Lemme (1995), bahwa penilaian atas kepuasan perkawinan itu bersifat dinamis seiring berjalannya perkawinan tersebut. Oleh karena itu, penilaian saat ini tentang kepuasan perkawinan seseorang tidak bisa kita asumsikan akan sama di waktu-waktu mendatang.

Perbedaan agama merupakan faktor penting dalam perkawinan beda agama karena akan berdampak pada banyak aspek dalam kehidupan mereka, sehingga faktor agama akan banyak mempengaruhi kepuasan perkawianan, tetapi kepuasan perkawinan tidak dapat didasari pada aspek perbedaan agama itu sendiri melainkan

(30)

21

ada aspek-aspek lain yang mempengaruhi kepuasan perkawinan yaitu komunikasi, aktivitas waktu luang, orientasi keagamaan, pemecahan masalah, pengaturan keuangan, kepribadian pasangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat, peran dalam keluarga, peran menjadi orang tua. Hal ini senada dengan teori Olson dan Fowers (1989) bahwa ada sepuluh aspek pada pasangan yang menikah yaitu komunikasi, aktivitas waktu luang, orientasi keagamaan, pemecahan masalah, pengaturan keuangan, kepribadian pasangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat, peran dalam keluarga, peran menjadi orang tua yang merupakan evaluasi menyeluruh mengenai kepuasan perkawinan. Selanjutnya akan dibahas mengenai aspek-aspek yang memengaruhi kepuasan perkawinan pada pernikahan beda agama.

Di dalam pernikahan tentunya harus memiliki komunikasi. Dari ketiga pasangan memiliki komunikasi yang berbeda-beda tetapi dua partisipan yaitu P1 dan P3 memiliki komunikasi yang terbuka dengan pasangannya. P1 dan P3 memiliki komunikasi yang berbeda tetapi secara keseluruhan mereka terbuka dengan pasangannya. Mereka berusaha untuk menceritakan apapun kepada pasangannya termasuk hal-hal yang menyangkut masalah perbedaan agama dalam keluarganya. Mereka terbiasa memyampaikan apapun termasuk keresahan, kekecewaan, dan lain-lain. Secara umum P1 dan P3 merasakan kenyamanan pada saat mereka bercerita kepada pasangan masing-masing. Sedangkan P2 kurang memiliki komunikasi yang kurang terbuka dengan pasangan, tidak semua hal dapat dikomunikasikan pada pasangan. Pasangan juga kurang merespon terhadap P2 dan dalam beberapa kasus pasangan kurang peduli, serta pasangan sering memotong pembicaraan P2 saat ia bercerita. Olson dan Fowers (1989) aspek komunikasi menyatakan bahwa aspek ini

(31)

melihat pada perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dalam peranan mereka sebagai pasangan. Fokus aspek ini yaitu pada kenyamanan yang dirasakan pasangan dalam membagi dan menerima informasi.

Ketiga partisipan pada umumnya saling mendukung dan menghormati di dalam menjalankan ibadahnya sesuai agama mereka. P1 dan pasangannya pada orientasi keyakinan beragama saling mendukung dan menghormati serta tidak memaksakan keyakinan masing-masing baik dalam beribadah ataupun dalam kesehariannya. Tidak ada konflik dalam hal beribadah bahkan P1 dalam kesehariannya selalu mengingatkan pasangannya untuk beribadah. Sama halnya dengan yang dirasakan P1, P3 dan pasangannya juga selalu mendukung dalam menjalani ibadahnya masing-masing dan dijalankan dengan baik. Walaupun berbeda agama pasangan tidak malu untuk menunjukkan agama P3 bahkan pasangan memperbolehkan partisipan mengenakan jilbab dalam kesehariannya, P2 dan pasangannya juga memberikan dukungan sama seperti P1 dan P3, namun ada batasan-batasan tertentu dalam menjalankan ibadah yaitu untuk tidak terlalu ikut dalam kegiatan beribadah karena menurutnya akan ada hasutan dari tempat ibadah itu memaksakan P2 untuk seagama dan membuat P2 ingin menghindari masalah tentang agama dan pandangan masyarakat. Pratiwi (2014) bahwa pernikahan beda agama dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara internal maupun eksternal dan mendapat pandangan yang tidak baik dari masyarakat dan lingkungan agama itu sendiri.

Agar tidak terjadi konflik dalam pernikahan beda agama ketiga pasangan umumnya membuat kesepakatan-kesepakatan tentang masalah-masalah yang akan

(32)

23

terjadi karena perbedaan agama tersebut. Yang paling utama adalah agama anak nantinya, karena biasanya dalam pernikahan seagama hal ini bukan menjadi masalah tetapi dalam pernikah agama ini merupakan masalah. Akhirnya untuk menghindari konflik ketiga pasangan membuat kesepakatan tentang bagaimana mengatur agama anak. Juga dalam menjalankan hari raya yang berbeda mereka membuat kesepakatan untuk mengikuti kegiatan hari raya tersebut. Olson dan Fowers (1989) Aspek orientasi keyakinan beragama merupakan aspek yang mengukur makna kepercayaan dan praktiknya, dimana pemaknaan akan keagamaan yang tinggi akan memperlihatkan nilai yang tinggi dalam kepuasan perkawinan. Faktor agama merupakan faktor yang penting dalam perkawinan pada pernikahan beda agama karena akan memengaruhi seberapa dekat hubungan mereka, bagaimana mereka menghargai agama masing-masing dan bagaimana mereka mengatur konflik yang terjadi dalam pernikahan beda agama. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Srisusanti dan Zulkaida (2013) Mereka meneliti tentang faktor dominan apa saja yang memengaruhi kepuasan perkawinan. Dengan hasil, hubungan interpersonal dengan pasangan, partisipasi keagamaan, dan kehidupan sosial merupakan faktor dominan yang memengaruhi kepuasan perkawinan.

Ketiga partisipan pada awalnya merasakan ketidaknyamanan dengan keluarga maupun kerabat. P1 merasa tidak nyaman karena keluarga pasangan menginginkan P1 untuk pindah keyakinan karena menurut keluarga besarnya hal itu masih tidak biasa dan akan menimbulkan banyak masalah jika tetap berbeda agama hal ini berdampak pada interaksi P1 dengan keluarga dan kerabat pasangan menjadi kurang, namun lama kelamaan interaksi P1 dengan keluarga pasangan menjadi lebih baik

(33)

karena keluarga sudah mulai terbiasa. P2 merasa pasangannya kurang membaur dengan keluarga P2 karena keluarga P2, namun interaksi tergantung jarak antara P2 dengan kerabat pasangan. Sedangkan hubungan P3 dan pasangan dengan keluarga dan kerabat awalnya P3 merasa kurang nyaman dengan kerabat pasangan karena P3 sering diminta untuk berpindah agama, namun seiring berjalannya waktu menjadi akrab dan ada penerimaan dari keluarga pasangan itu. P3 dan pasangan juga selalu menyambut keluarga mereka saat hari raya. Karena adanya perbedaan agama, ada ketidak nyamanan yang dialami oleh ketiga partisipan terhadap keluarga pasangannya karena pada umumnya keluarga pasangan partisipan meminta partisipan itu untuk berpindah agama, namun rata-rata hanya masalah waktu sampai ada penerimaan keluarga pasangan terhadap partisipan. Olson dan Fowers (1989) Aspek keluarga dan kerabat menunjukkan perasaan yang berhubungan dengan anggota keluarga, keluarga dari pasangan, dan teman-teman. Aspek ini menunjukkan bagaimana harapan dan kenyamanan dalam menghabiskan waktu luang bersama keluarga dan teman-teman.

Dalam peran menjadi orang tua pasangan P1 dan P3 turut serta dalam pengasuhan anak dan memberi arahan kepada anak, pasangan P1 dan pasngan P3 memberi arahan yang sesuai dengan apa yang baik dan sesuai dengan agama, karena anak P1 dan anak P3 mengikuti agama ayahnya maka pasangan P1 dan pasangan P3 mengusahakan memberi arahan dalam hal agama, disini P1 dan P3 walau awalnya kurang bisa menerima namun setelah beberapa saat mereka mau menerima dan malah mendukung pasangannya dalam mengasuh anak. Sedangkan pasangan P2 kurang terlibat dalam pengasuhan anak, pasangan lebih memilih kepentingannya sendiri dibanding mengasuh anak, namun jika soal bimbingan kepada anak P2 dan pasangan

(34)

25

mendiskusikan terlebih dulu. Pasangan P1 dan P3 memiliki peranan yang penting dalam mengasuh anak dan mereka menunjukkan kasih terhadap anaknya juga kepedulian terhadap anaknya. Hal ini menunjukkan adanya kebahagiaan dari pasangan P1 dan pasangan P3 karena terpenuhinya salah satu tujuan pernikahan yaitu anak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2012), memperlihatkan bahwa kepuasan perkawinan itu bersifat subjektif. Namun kepuasan perkawinan terhadap terpenuhinya aspek psikologis dan anak memberi hasil yang sama terhadap penelitian tersebut. Sedangkan pasangan P2 agak acuh terhadap anaknya, hal ini terjadi karena kepribadian pasangan itu sendiri dan mungkin faktor belum siap menjadi orang tua. Olson dan Fowers (1989) pada aspek peran menjadi orang tua yang diukur adalah sikap dan perasaan pasangan dalam membesarkan anak, kesepakatan dalam mengasuh dan mendidik anak merupakan cita-cita pribadi yang dapat menimbulkan kepuasan apabila hal itu terwujud.

Dalam pemecahan masalah P1 dan pasangannya masing-masing menenangkan diri terlebih dahulu, memberi waktu kepada keduanya untuk berpikir dan jika sudah tenang baru dibicarakan. P1 dan pasangan juga saling memberi dukungan satu sama lain. Saat menghadapi masalah pasangan P3 selalu aktif mencari solusi saat menghadapi masalah. P3 dan pasangan juga seperti P1, mereka selalu menguatkan dan saling terlibat dalam menyelesaikan masalah. P1 dan P3 dengan pasangannya masing-masing saling menguatkan dan memberi dukungan. Namun pasangan P2 kurang terlibat dalam memecahkan masalah karena menurut P2, pasanannya lebih percaya dengan orang tuanya ketimbang P2 itu sendiri, dalam

(35)

pemecahan masalah pasangan hanya membantu sebisanya dan ada kecenderungan tidak peduli pada P2. Ketiganya mempunyai cara pandang masing-masing terhadap pasangannya saat menghadapi masalah, P1 dan P3 memandang pasangan mereka secara positif dalam menghadapi masalah sedangkan P2 lebih memandang pasangannya secara negatif saat menghadapi masalah. Olson dan Fowers (1989) yang menjadi tolak ukur pada pemecahan masalah adalah persepsi pasangan mengenai kemampuan menghadapi masalah dan cara menyelesaikan masalah dalam hubungan perkawinannya.

P1 dan P3 sering menghabiskan waktu luang bersama-sama untuk sekedar jalan-jalan, mengobrol bersama, dan juga sebagai refresing. P3 juga mengatakan, P3 sekeluarga sering menghabiskan waktu bersama waktu luang bersama-sama untuk sekedar jalan-jalan, mengobrol bersama. Dalam menghabiskan waktu luang bersama P2 sebisa mungkin menghabiskan waktu luang dengan pasangan dan juga anak, namun tergantung dengan kemauan suami mau atau tidaknya. Ketiga pasangan saling menghabiskan waktu luang dengan intensitas cukup sering dan mereka pada umumnya selalu ingin menggunakan waktu luang bersama pasangan mereka melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat sederhana tapi menunjukkan kebersamaan. Olson dan Fowers (1989) aspek aktivitas waktu luang merupakan aspek yang mengukur pada kegiatan yang dipilih untuk menghabiskan waktu luang bersama pasangan.

Pada pengaturan keuangan ini ketiga partisipan memiliki cara sendiri-sendiri. Dalam mengatur keuangan, P1 sendiri yang mengatur keuangan sedangkan pasangan hanya mengambil seperlunya saja, dalam pengolahan keuangan P1 mengutamakan untuk keperluan sehari-hari dan lebihnya untuk tabungan. Sedangkan P2 mengatur

(36)

27

keuangan dan pasangannya hanya diberi untuk keperluan pasangannya sendiri. P2 mengelola keuangan dengan cara meminimalkan keuangan pengeluaran mereka dan harus menyisakan uang untuk ditabung. P3 dan pasangan juga memiliki cara sendiri dalam mengelola keuangan mereka, dengan cara menggabungkan penghasilan keduanya, dan sisanya juga untuk ditabung. P3 dan pasangan mengelola keuangan secara transparan. Ketiga pasangan memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola keuangan serta kepercayaan yang baik terhadap pasangannya mengenai mengelola keuangan. Olson dan Fowers (1989) aspek pengaturan keuangan untuk mengetahui sikap pasangan suami atau istri dalam melakukan pengelolaan keuangan rumah tangga mereka.

Kepribadian pasangan P1 merupakan orang yang tegas dan mudah membaur. Dalam stabilitas emosi juga pasangannya tidak mudah terbawa emosi dalam menghadapi masalahnya dan tidak berlarut-larut. Sedangkan karakter pasangan P2 kurang dewasa dan masih bergantung dengan orang tua, tidak mau mendengar opini, sensitif, dan terburu-buru dalam mengambil keputusan, serta masih egois. Karakter pasangan P3 merupakan orang yang peduli dengan keluarga, tegas dan dalam menghadapi masalah emosinya masih labil. P1 dan P3 memiliki cara pandang baik terhadap pasangan mereka dan mereka lebih suka melihat dari sudut pandang positif. Sedangkan P2 memiliki cara pandang negatif terhadap pasangannya. Olson dan Fowers (1989) aspek kepribadian pasangan digunakan untuk mengetahui persepsi individu pada pasangan dalam menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah-masalah yang dihadapi.

(37)

P1 dan P2 merasakan hal yang sama dalam orientasi sekual dengan pasangan mereka masing-masing, keduanya merasa kurang nyaman jika sedang lelah. Namun P3 dan pasangan, mereka saling mengerti jika sama-sama lelah, dan P3 tidak terpaksa. Ketiganya memiliki hubungan seksual yang baik karena tidak ada rasa terpaksa dalam berhubungan, hanya pada saat-saat tertentu saja pasngan merasa kurang nyaman. Olson dan Fowers (1989) Orientasi seksual mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan seksual mereka. Menunjukkan sikap mengenai isu-isu seksual, prilaku seksual, kontrol kelahiran dan kesetiaan. Apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan, penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidak bahagiaan.

P1 dan pasangan tidak menetapkan secara khusus peran dalam keluarga, melainkan mereka saling bekerja sama dan membantu. Walaupun tidak memiliki peran secara khusus namun mereka tetap bertanggung jawab atas hal-hal yang mereka kerjakan. Biasanya hal-hal yang komplek dikerjakan oleh P1 sedangkan pasangan lebih bertanggung jawab pada hal-hal yang bersifat sederhana. Pada P2 Peran dalam keluarga lebih dominan dikerjakan oleh P2, pasangan juga sering membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, namun kurang bertanggung jawab terhadap perannya dalam mengasuh anak. Sedangkan pada P3 dan pasangan saling menyadari banyaknya peranan dalam rumah tangga yang harus dikerjakan, sehingga mereka saling membantu dengan cara menggantikan peran itu jika belum terselesaikan. P3 dan pasangan saling bertanggung jawab atas tugas mereka masing-masing dalam pekerjaan rumah tangga. Ketiga pasangan memiliki cara-cara tersendiri dalam menjalani perannya dalam rumah tangga, namun semuannya memiliki sikap yang

(38)

29

baik dan tanggung jawab terhadap perannya dalam rumah tangga. Olson dan Fowers (1989) Aspek peran dalam keluarga mengukur tentang perasaan dan sikap individu tentang peran-peran dalam pernikahan dan keluarga.

Dari aspek-aspek kepuasan diatas, tidak semua pasangan menunjukkan adanya kepuasan dalam pernikahannya. Hal ini dikarenakan pasangan ini hamil diluar nikah dan menjadikan belum siap menjalani kehidupan pernikahan. Hal ini termasuk dalam faktor-faktor yang mempengarui sebelum pernikahan. Sama dengan pemikiran pemikiran Duvall dan Miller (1985), Faktor sebelum perkawinan meliputi, kondisi perkawinan orang tua, kebahagiaan pada masa kanak-kanak, ketegasan dalam disiplin, pendidikan seks, tingkat pendidikan, dan lamanya waktu berkenalan dengan pasangan sebelum menikah.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengambil kesimpulan bahwa secara keseluruhan seseorang yang menikah beda agama memperlihatkan bahwa kepuasan perkawinan itu bersifat subjektif karena dari aspek-aspek kepuasan diatas, tidak semua pasangan menunjukkan adanya kepuasan dalam pernikahannya. Meskipun demikian faktor perbedaan agama cukup mempengaruhi kepuasan perkawinan didalam rumah tangganya. Dari segi komunikasi ada dua pasangan yang memiliki komunikasi yang terbuka dalam mengungkapkan apapun yang ingin mereka sampaikan kepada pasangannya. Termasuk dalam menghadapi masalah mereka saling menguatkan karena mereka pasangan memiliki kepribadian yang baik. Sedangkan pasangan lain memiliki komunikasi yang kurang terbuka dalam banyak hal, termasuk jika ada masalah dalam rumah tangga karena kepribadian pasangan yang kurang

(39)

dewasa, bergantung dengan orang tua, serta tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.

Dalam beragama ketiga partisipan dan pasangannya saling menjalankan keyakinan masing-masing, perbedaan agama tidak membuat partisipan dan pasangannya memaksakan keyakinan mereka, tetapi membuat mereka saling menerima satu sama lain sedangkan satu partisipan memiliki batasan-batasan tertentu saat mengikuti kegiatan keagamaan. Dalam menghadapi konflik yang akan terjadi karena masalah perbedaan agama, sehingga mereka membuat kesepakatan tentang hal-hal yang menyangkut masalah agama seperti kesepakatan tentang bagaimana agama anak natinya. Jika ada hari raya keagamaan ketiga partisipan saling mengikuti kegiatan keagamaan, namun satu pasangan partisipan tidak mau terlibat dalam kegiatan keagamaan.

Awalnya mereka memiliki persoalan dengan keluarga maupun keluarga pasangan, karena masing-masing dari keluarga menginginkan pasangannya untuk pindah agama, begitu pula dengan keluarga pasangan, sehingga mereka kurang akrab dengan keluarga dari pasangan mereka. Tetapi seiring berjalannya waktu mereka dapat saling menerima dan saling akrab dengan keluarga pasangan, namun pada pasangan yang lain kurang bisa membangun hubungan dengan keluarga dan cenderung mementingkan dirinya sendiri.

Ketika partisipan dan pasangan memiliki waktu luang mereka menghabiskan waktu luang tersebut dengan keluarganya, tapi ada yang menghabiskan waktu luang tergantung kemauan dari pasangannya. Saat menghadapi masalah ada dua pasang

(40)

31

yang saling terlibat dan memberi penguatan saat terjadi masalah dalam keluarga. Tetapi satu pasang partisipan kurang memberi dukungan dan terlibat.

Aspek pengaturan keuangan ketiga partisipan, dua pasang partisipan mengatur keuangan dengan perencanaan dan pengelolaan dari pihak istri, namun pada satu pasang pengaturan keuangan dalam hal perencanaan dan pengolahan partisipan dan pasangan saling berperan. Tentunya ketiga pasangan memiliki kepribadian yang berbeda, namun dilihat dari sikap, ada dua pasangan memiliki sikap mudah berbaur, dan tegas. Dalam berhubungan seksual ketiga pasangan merasakan kepuasan, namun ada dua pasangan yang merasa keberatan saat mereka merasa lelah. Sedangkan pasangan lainnya saling mengerti.

Dalam hal keluarga, ketiga pasangan memiliki peran yang berbeda dalam keluarga. dalam dominasi peran ada satu keluarga yang cenderung didominasi oleh istri, ada yang membagi peran secara rata jadi tidak ada dominasi, sedangkan pasangan yang lain saling melengkapi. Dalam hal peran menjadi orang tua, ketiga pasangan memiliki peranannya sendiri. Faktor ibu atau ayah dalam pengasuhan anak tidak ada dominasi karena ada pasangan yang pengasuhannya lenih ke ayah dan ada yang ke ibu dan ada pula yang dititipkan ke orang tua.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, peneliti menyadari adanya keterbatasan penelitian. Supaya penelitian ini dapat semakin berkembang dan memberikan manfaat yang lebih bagi para pembaca dan peneliti selanjutnya, maka peneliti menyarankan :

(41)

Dengan penelitian ini diharapkan pasangan yang menjalani pernikahan beda agama dalam menjalani hubungan untuk lebih menyadari bahwa ada aspek-aspek dalam kepuasan perkawinan terutama hubungan intersonal dengan pasangan, toleransi dalam keagamaan, dan kehidupan sosial karena merupakan faktor-faktor yang dominan dalam memengaruhi kepuasan perkawinan.

2. Bagi calon pasangan yang ingin menikah beda agama

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai kepuasan pernikahan beda agama.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Dengan adanya penelitian ini diharapkan secara lebih mendalam mengenai kepuasan pernikahan yang terjadi dengan menggali informasi dari keduanya (suami dan istri) agar dapat melihat dari dua sudut pandang yang berbeda

DAFTAR PUSTAKA

Bahr, S.J., Chappell, C. B. & Leigh, G. K. (1983). Age at marriage, role enactment, role consensus and marital satisfaction. Journal of Marriage and the Family, 45, 793-805. Diunduh dari http://www.jstor.org/discover/10.2307/351792 ?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=211020302875775

Duvall, Evelyn, R.M.,& Brent, C. M. (1985). Marriage and FamilyDevelopment. Michigan: Harper & Row.

Fowers, B.J. dan Olson, D.H. (1989). Enrich martial inventory; A discriminant validity and cross-validity assessment. Journal of Martial and Family

Theraphy, 15(1), 65-79. Diunduh dari

http://www.prepare-enrich.com/pe_main_site_content /pdf/research/study3.pdf

(42)

33

Larasati, A. (2012). Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau dari Keterlibatan

Suami dalam Menghadapi Tuntutan Ekonomi dan Pembagian Peran dalam Rumah Tangga. Diunduh dari

http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/alpenia_ringkasancorel.pdf.

Mistranmi. (2008). “Motivasi Menikah Berbeda Agama”. Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Nugroho, A. (2017). Agama Leluhur Masing-Masing Suku Bangsa di Nusantara Indonesia. Diunduh dari http://satzchoochoo182.wordpress.com/2017/ 01/18/ agama-leluhur-masing-masing-suku-bangsa-di-nusantara-indonesia/.

Pratiwi, I. (2014). Pernikahan Pasangan Beda Agama. Diunduh dari http://eprints.ums.ac.id/31792/1/02._naskah _publikasi.pdf

Spanier, G. B.& Charles L. C. (1976). Toward Clarification and Investigation of

Marital Adjustment. Journal International Spring. Retrived from

http://wwwjstor.org/stable/23027977?seq=1#page_scan_tab_contents.

Srisusanti & Zulkaida. (2013). Studi Deskriptif Mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan Pada Istri. Diunduh dari

http://www.ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/ugjournal/article/viewFile/119 8/1059.

Wahyuni, Sri. (2004). “Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama di Kabupaten Gunung Kidul”. Diunduh dari http://media.neliti.com/media/publications/37025-ID-kontroversi-perkawinan-beda-agama-di-indonesia.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi pembelajaran TIK berbasis multimedia ini dirancang berdasarkan beberapa pertimbangan antar lain, pemakai ( user ) yaitu siswa sekolah dasar yang berpengaruh pada

Sebelum digunakan sebagai alat pengumpul data, maka instrumen tersebut harus diuji coba terlebih dahulu agar memenuhi syarat sebagai alat ukur. Instrumen yang

Puji syukur atas karunia yang Allah swt berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang- Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Puji syukur kepada Yesus Kristus atas segala talenta dan karunia yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum denag judul “ Penyidikan

karena ini merupakan suatu bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, pada kenyataannya ada masyarakat Bengkulu yang melakukan pembagian warisan

Kecamatan Tualang merupakan salah satu wilayah administratif Kabupaten Siak dan merupakan wilayah kemenangan pasangan Syamsuar- Alfedri dalam pemilihan kepala Daerah

É necessário registrar, também, que, segundo Challub, para que não se perca a noção de metalinguagem é preciso “recortar o vasto tema” (CHALLUB, 2005, pp. Em suma,

Tabel 1 skala mual sebelum diberikan roti gandum Vari abel N Me an SD M in M ax Skala Mual 2 0 5,8 5 0,7 45 5 7 Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa dari 20