• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. Komunitas Aboge di Cikakak merupakan salah satu dari beberapa masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. Komunitas Aboge di Cikakak merupakan salah satu dari beberapa masyarakat"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

“.... Aboge ya Aboge, Islam ya Islam. Bukan Islam Aboge. Hanya saja Islam yang berkembang pada komunitas Aboge..” (Pak Bagyo (Kunci Dalem). Komunitas Aboge di Cikakak merupakan salah satu dari beberapa masyarakat yang masih menjalankan adat dan tradisi lokal hingga sekarang, terutama terkait dengan penggunaan kalender Aboge sebagai dasar perhitungan di segala aktivitas. Komunitas Aboge memiliki dua identitas lekat yang tidak dapat dipisahkan yaitu tradisi-tradisi kejawen sebagai perwakilan dari identitas adat, dan ajaran Islam sebagai perwakilan dari identitas agama. Keduanya tidak dapat dilepaskan sebagai identitas Aboge dan saling berkaitan satu sama lain. Berbagai tradisi dan kepercayaan yang masih dilaksanakan hingga sekarang di tengah perkembangan zaman yang menuntut pemikiran serba rasional, tidak akan bertahan tanpa adanya masyarakat yang masih setia menjalankan dan adanya wadah untuk menjalankan tradisi tersebut. Dalam kategori ilmiah disebut sebagai agen dan struktur. Penelitian tentang komunitas Aboge dalam dimensi sinkretisme antara Islam dan Jawa, serta dalam dimensi pembentukan habitus dalam suatu ranah (arena) ini menggunakan metode fenomenologi. Riset Fenomenologi ini dimaksudkan agar peneliti mampu menjelaskan realitas-realitas dan fenomena dari sudut pandang informan (penganut

(2)

Aboge) tanpa adanya campur tangan dari sudut pandang peneliti sendiri. Dimana keyakinan dan kepercayaan terhadap ajaran Aboge hanya bisa dirasakan sepenuhnya oleh orang yang termasuk dalam kehidupan sosial komunitas Aboge.

Berdasarkan pengkajian dan penelitian yang telah dilakukan tentang Komunitas Aboge di Cikakak terdapat beberapa hal yang menjadi kesimpulan dari seluruh proses pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Peneliti sadar bahwa tidak mudah menyimpulkan data dan informasi yang begiu banyak dalam beberapa halaman tanpa mengurangi konten dari penelitian itu sendiri. Maka dari itu, kesimpulan ini hanya merupkan upaya peneliti untuk menggambarkan secara ringkas hasil penelitian mengenai komunitas Aboge dalam arena budaya, spiritual, dan politik. Kesimpulan dibagi dalam dua pembahasan sesuai dengan research questions yang diajukan oleh peneliti pada bab satu, yaitu tentang konsep sinkretisme dan pembentukan habitus dan arena pada komunitas Aboge di Cikakak.

Pertama, antara tradisi Aboge dan ajaran Islam sebagai dua identitas yang melekat dalam komunitas Aboge tentunya menimbulkan persinggungan-persinggungan dalam pelaksanannya. Persinggungan yang tidak dapat dihindari ini harus dirubah bentuk guna mewujudkan keserasian dan keseimbangan agar dua identitas tersebut tetap dapat terakomodasi tanpa ada makna ajaran yang terduksi, yang kemudian disebut sebagai sinkretisme. Sinkretisme antara tradisi Aboge dan Islam secara praksis telah dilaksanakan oleh komunitas Aboge sejak dulu sebagai umat muslim yang juga masih memegang kepercayaan adat. Layaknya umat

(3)

muslim lainnya, komunitas Aboge menjalankan syariat Islam sesuai Alquran dan Hadist, namun ada beberapa ajaran Islam yang dibungkus dengan simbol adat Aboge.

Konsep sinkretisme yang paling mendasar adalah bagaimana Aboge “bergabung” dengan Islam sebagai upaya mempeertahankan adat yang mereka miliki. “Bergabung” dengan agama Islam menjadi pilihan komunitas Aboge untuk memperoleh sumber pegangan lain, yang sejalan dengan ajaran Aboge itu sendiri. Penggunaan kalender Aboge sebagai gabungan antara kalender Jawa Kuno dengan huruf Hijriyah menjadi contoh penggabungan kedua “sumber pegangan” komunitas Aboge. Dengan bergabung menjadi bagian dari Islam, maka komunitas Aboge tidak hanya memiliki identitas adat, namun juga memiliki identitas lain yang juga dimiliki oleh masyarakat umum, yaitu identitas agama. Kepemilikan identitas agama menjadi salah satu cara agar adat dan tradisi yang ada bisa terus dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan status agama (khususnya agama samawi) menjadi satu institusi kuat yang dapat melegitimasi keberadaan suatu masyarakat.

Selanjutnya, konsep sinkretisme yang terbentuk antara ajaran Islam dengan tradisi Aboge membentuk relasi-relasi baik dalam tataran kognitif maupun praktis. Beberapa relasi tersebut antara lain relasi genealogis, relasi logis, relasi historis, relasi profetis, dan relasi kooperaif. Kepercayaan terhadap Mbah Tolih sebagai waliullah pada komunitas Aboge menggambarkan adanya persinggungan antara ajaran Islam dengan adat Aboge dalam dua relasi, yaitu relasi genealogis dan relasi profetis. Mbah Tolih merupakan tokoh yang memperkenalkan Islam di Cikakak dan yang

(4)

membangun Masjid Saka Tunggal (masjid tertua di Indonesia). Sejarah asal-usul Mbah Tolih dan kaitannya dengan tokoh penyebar Islam di Indonesia lainnya (seperti Wali Songo) akan menjadi gambaran mengenai relasi genealogis.. Menurut sumber “kitab turki” Mbah Tolih merupakan nama samaran dari Raden Kian Santang dari kerajaan Bono Keling yang merupakan Putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebelum Syarif Hidayatullah mendapat julukan Sunan Gunung Jati, di Caruban (Cirebon) sudah ada ulama besar yang menjadi pelopor persebaran Islam di Jawa Barat. Beliau adalah Syech Datuk Kahfi atau Syarif Hidayatullah (Mbah Tolih) yang juga membawa Islam ke Cikakak dan menjadi sosok sentral dalam “peradaban” Komunitas Aboge. Dengan relasi genealogis seperti ini maka tokoh-tokoh (Mbah Tholih) yang dikenal sebagai tokoh penyebar Islam, juga merupakan tokoh Aboge. Sehingga orang Jawa, Cikakak pada khususnya tidak lagi memandang kategori-kategori “Islam” dan “Aboge” sebagai kategori yang eksklusif. Selanjutnya adalah relasi logis yang berkaitan dengan apa yang dialami oleh tokoh Islam diyakini pula dialami oleh tokoh Aboge (Jawa). Mbah Tolih tidak hanya menjadi tokoh yang disakralkan oleh komunitas Aboge. Namun Mbah Tolih ini ada kaitannya dengan masa penyebaran Islam di Indonesia, bahkan lebih tua dari Sunan Gunung jati. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan Mbah Tolih berupa Masjid Saka Tunggal di Cikakak yang berdiri tahun 1522. Relasi berikutnya adalah relasi historis yang berkaitan dengan komunitas Aboge yang memiliki sejarah panjang dan berkaitan erat dengan sejarah Islam sebagai agama yang dianut oleh

(5)

komunitas Aboge. Relasi historis untuk mengaitkan antara masa pra Islam yang diwakili dengan penggunaan tahun saka Jawa kuno, dengan masa Islam yang diwakili oleh adanya kalender hijriyah dari perjalanan Hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, dan kemudian mengalami proses sinkretisme melalui terbentuknya kalender Aboge sebagai pertemuan antara Jawa dan Islam.

Relasi ketiga yang terbentuk adalah relasi profetis yang mendasari hubungan antara keyakinan-keyakinan Jawa yang berkembang di komunitas Aboge dan keyakinan yang bersumber dari ajaran Islam. Salah satu bentuknya adalah pelaksanaan tradisi ngapati (memperingati usia kehamilan 4 bulan). Tradisi ngapati tidak hanya bermakna secara kultural sebagai tradisi warisan nenek moyang zaman Jawa Kuno (Hindu Budha), tetapi juga memiliki makna Islami yang tercantum dalam hadist bahwa usia kandungan 4 bulan adalah saat dimana janin ditiupkan roh, sehingga harus didoakan. Keduanya memiliki akar ajaran yang berbeda, namun kemudian bisa bertemu pada satu titik yang bisa diterima oleh masyarakat. Hubungan relasi terakhir adalah relasi kooperatif yang menjadi basis perilaku saling menghormati perbedaan antara Islam dan tradisi Jawa yang kemudian tertuang dalam ajaran-ajaran komunitas Aboge. Salah satu bentuk perpaduan yang nyata adalah pada pelaksanaan sholat Jumat yang menggunakan simbol-simbol Aboge, yaitu menggunakan teks khotbah warisan leluhur yang sama dari dulu hingga sekarang, serta memaka ikat kepala (iket) yang melambangkan 50 (dalam bahasa Jawa disebut seket) yaitu jumlah antara huruf Jawa dan huruf Arab. Praktik tersebut menunjukkan

(6)

sinkretisme secara praksis, yaitu sholat Jumat yang merupakan ajaran agama Islam, dipadukan dengan penggunaan “iket” yang merupakan tradisi Aboge sejak dulu, keduanya dijalankan tanpa mengurangi makna sholat Jumat itu sendiri, namun tetap mengakomodasi pelestarian adat Aboge. Kelima relasi tersebut menunjukkan adanya proses perpaduan dan persinggungan antara dua identitas yang berbeda (Aboge dan Islam) dengan tetap mengakmodasi dan tidak mereduksi makna keduanya.

Pembahasan kedua terkait dengan pembentukan habitus komunitas Aboge dalam arena budaya, spiritual, dan politik (relasi dengan organisasi NU), dengan meminjam konsep habitus dari Pierre Bourdieu sebagai sintesis dari objektivitas dan subjektivitas. Praktik-praktik dalam masyarakat yang tidak bisa terlepas dari kehendak obyektif dan kemauan individual masyarakat kiranya tepat untuk menganalisis bagaimana komunitas Aboge di Cikakak tetap bisa bertahan sejak ratusan tahun yang lalu hingga sekarang. Wilayah perjuangan komunitas Aboge dalam mempertahankan tradisi dilakukan dalam 3 arena yaitu arena budaya yang berkaitan dengan perjuangan mempertahankan tradisi, arena spiritual yang berkaitan dengan kehidupan transenden komunitas Aboge serta, arena politik yang berkaitan dengan relasi antara komunitas Aboge dan NU.

Arena budaya merupakan arena yang paling kuat dan menonjol dalam proses perjuangan komunitas Aboge sebagai komunitas adat, sehingga sumberdaya yang diperjuangkan oleh agen dan struktur juga beragam. Pembentukan habitus dalam

(7)

arena ini dimungkinkan dengan adanya adat dan tradisi yang sudah ada sejak lama sehingga bersifat mengikat bagi penganut Aboge (struktur objektif), dengan kesadaran, pikiran, dan pengetahuan penganut terhadap adat dan tradisi Aboge yang dianggap membawa keberkahan hidup membentuk komunitas adat Aboge ini terus hidup bahkan semakin kuat (struktur subjektif). Beberapa poin penting yang dimiliki komunitas Aboge untuk membentuk habitus dalam arena budaya adalah pertama falsafah atau worldview berupa “kitab turki” (petuah dari nenek moyang) yang sangat dipercaya dan menjadi pedoman hidup penganut Aboge. Kedua yaitu kepemilikan pengetahuan lokal berupa perhitungan Aboge untuk menentukan hari baik seperti hari baik untuk menanam padi, melangsungkan pernikahan, mendirikan rumah, menentukan jodoh berdasarkan weton, bahkan hari larangan melakukan aktivitas melalui mitos. Ketiga, adanya tradisi-tradisi yang masih dilaksanakan menjadi unsur pendukung pembentukan habitus. Tradisi tersebut diantaranya adalah tradisi ganti jaro atau penjaron sebagai tradisi terbesar pada komunitas Aboge di Cikakak, sedekah bumi, sadranan, muludan, dan apitan.

Unsur-unsur pembentuk habitus dalam tataran objektif tersebut juga didukung dengan kepemilikan modal sebagai sumberdaya yang penting guna memberi makna pada arena budaya komunitas Aboge. Terdapat 4 modal yaitu modal sosial sebagai modal komunitas Aboge berhubungan dengan pihak lain guna mendapat dukungan dalam rangka memperjuangkan arena budaya yaitu dengan pemerintah (pusat dan desa), dengan lembaga pendidikan, dengan komunitas Aboge dari daerah lain, dan

(8)

dengan masyarakat sekitar. Selanjutnya adalah modal ekonomi berkaitan dengan sumber dana yang diperoleh dalam pelaksanaan tradisi komunitas Aboge melalui swadaya dan kesadaran dari penganut Aboge. Ketiga adalah modal kultural berkaitan dengan pengetahuan masyarakat mengenai ajaran Aboge mulai dari filosofi, perhitungan kalender, pedoman hidup, mitos yang berkembang, dan beberapa tradisi yang wajib dijalankan dalam waktu-waktu tertentu yang diperoleh secara turun temurun. Terakhir adalah modal simbolik yang terkait dengan derajat prestise dan kehormatan yang dapat mendukung perjuangan suatu arena. Sumberdaya simbolis yang dimiliki komunitas Aboge adalah penetapan status desa adat yang diberikan kepada Cikakak dari Kementrian dalam Negeri sejak tahun 2010. Dari keempat modal tersebut, modal kultural merupakan modal yang paling berpengaruh dalam perjuangan arena budaya, disusul dengan modal sosial, ekonomi, dan simbolik. Proses pembentukan habitus sebagai struktur objektif dan struktur subjektif juga memerlukan agen sebagai perantarannya, dalam arena budaya terdapat agen yang memiliki peran sentral yaitu juru kunci. Juru kunci pada komunitas Aboge memiliki peran kutural sebagai pemimpin adat yang diperoleh secara keturunan.

Wilayah perjuangan selanjutnya adalah arena spiritual yang merupakan arena komunitas Aboge berkaitan dengan keyakinan terhadap Islam dan tradisi Jawa secara bersamaan dalam simbol-simbol tertentu. Arena spiritual tidak hanya berhubungan dengan Islam sebagai sebuah agama samawi yang mewakili keyakinan komunitas Aboge. Tetapi sisi transenden tersebut juga berhubungan dengan kebudayaan (tradisi)

(9)

yang dianggap merupakan kekuatan untuk dijadikan sebagai pedoman hidup bagi penganut Aboge. Pembentukan habitus pada arena spiritual didukung oleh beberapa unsur antara lain dalam proses kecenderungan untuk bertindak pada hal-hal yang khusus, yaitu kebiasaan sholat Jumat yang menggunakan iket kepala dan teks khotbah yang sama dari dulu hingga sekarang. Kekhasan sholat Jumat ini merupakan cara komunitas Aboge untuk mengakomodasi dua ajaran yang sama-sama menjadi sumber pengalaman transenden. Unsur selanjutnya adalah perilaku mendarah daging berupa kebiasaan saling membantu (solidaritas sosial) yang tinggi dalam komunitas Aboge sebagai bentuk penguatan hubungan habluminannas (hubungan dengan sesama manusia). Perilaku saling menolong, rasa persaudaraan (dalam Islam disebut ukhuwah Islamiah) merupakan bentuk kehidupan keagamaan secara horizontal yang juga penting dalam pengaruhnya terhadap perjuangan di kehidupan spiritual individu dan masyarakat. Unsur ketiga dalam pembentukan habitus arena spiritual adalah pandangan terhadap tokoh tertentu, yaitu Mbah Tolih yang dianggap sebagai Waliullah (orang yang dekat dengan Allah). Kesetiaan untuk terus mengenal sejarah Mbah Tolih sebagai penyebar Islam di Cikakak dan meyakininya sebagai Waliullah merupakan salah satu cara membentuk arena spiritual. Sosok Mbah Tolih sebagai tokoh yang secara simbolis memiliki peran sebagai agen yang sentral dalam pembentukan pengalaman spiritual dan transnden bagi komunitas Aboge. Dimana status Mbah Tolih yang dipercaya sebagai waliullah, sehingga komunitas Aboge menganggap bahwa mendapat Ridho Allah dapat diperoleh dengan cara menghormati

(10)

dan mendoakan sosok Mbah Tolih tersebut.

Perjuangan dalam arena spiritual menjadi berarti dengan adanya kepemilikan modal berupa modal sosial, ekonomi, kultural, dan simbolis. Modal sosial berkenaan dengan Sisi spiritualitas yang dibangun penganut Aboge yang tidak hanya secara personal saja, namun dibangun secara komunal bersama penganut lain dan menjadi kebiasaan yang dapat mendukung perjuangan kehidupan beragama komunitas Aboge. Salah satu bentuknya adalah adanya pengajian rutin yang terdapat di setiap mushola desa Cikakak. Modal ekonomi sebagai modal yang berkaitan dengan sumberdaya material tidak terlalu mendapatkan nilai berharga dalam arena spiritual Komunitas Aboge di Cikakak. Karena tanpa kepemilikan modal ekonomi pun komunitas Aboge bisa tetap mengekspresikan dan memperjuangkan kehidupan spiritual mereka melalui keimanan terhadap Islam dan kepercayaan terhadap tradisi Aboge. Modal selanjutnya adalah modal kultural yang berbentuk pengetahuan terhadap ajaran Islam dan kode-kode atau simbol keagamaan yang dimiliki oleh komunitas Aboge secara lokal. Dimana pengetahuan mengenai ajaran Islam disesuaikan dengan lokus perkembangannya yaitu pada komunitas adat, misalnya saja pengetahuan terhadap kalender Aboge. Modal terakhir adalah modal simbolik, yaitu dengan adanya Masjid Saka Tunggal di Cikakak sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia (tahun 1522) dan menjadi objek wisata religius. Masjid ini menjadi simbol perjuangan komunitas Aboge dalam kehidupan beragama, bahwa masyarakat Cikakak, komunitas Aboge pada umumnya telah mengenal dan menganut agama Islam sejak Islam pertamakali

(11)

datang ke Indonesia. Modal simbolik ini merupakan modal yang paling memiliki nilai pada perjuangan arena spiritual komunitas Aboge, disusul modal kultural dan modal sosial.

Arena ketiga yang dibahas adalah arena politik, terkait relasi antara komunitas Aboge dengan organisasi sosial keagamaan NU (Nahdlatul Ulama). Pembahasan mengenai arena politik pada komunitas Aboge bukan berati hanya berkaitan dengan politik praktis dimana individu dan masyarakat bergabung dalam kegiatan politik kenegaraan. Tetapi lebih dari itu, arena politik merupakan usaha atau strategi komunitas Aboge dalam mempertahankan keberadaannya melalui dukungan dari pihak lain. Afiliasi komunitas Aboge terhadap organisasi NU tidak semata-mata karena faktor warisan atau mana yang dirasa lebih “sreg”, namun memiliki pertimbangan logis yaitu berkaitan dengan bagaimana komunitas Aboge memilih organisasi keagamaan yang kiranya bisa menerima tradisi-tradisi lokal tanpa menuntut perubahan dengan alasan pemurnian nilai-nilai Islam. Sedangkan pertimbangan politis berkaitan dengan bargaining position (posisi tawar) komunitas Aboge dengan NU untuk mendapat dukungan dari pihak luar yang berguna bagi eksistensi serta keberadaan komunitas Aboge di Cikakak. Pembentukan habitus pada arena politik dipengaruhi pula oleh kepemilikan modal yang berbeda dengan masyarakat lain, yaitu berupa modal budaya dimana perjuangan di arena politik bertujuan untuk mempertahankan komunitas adat (budaya) mereka. Habitus sebagai pengaruh dari adanya struktur objektif dan struktur subjektif membentuk kebiasaan

(12)

dalam hal pikiran maupun tindakan dalam proses mengisi perjuangan arena politik. Habitus yang terbentuk antara lain pandangan umum bahwa NU adalah keniscayaan bagi komunitas Aboge, keterikatan yang cukup kuat dengan NU, membentuk habitus yaitu keniscayaan bahwa Aboge “pasti” beraifiliasi dengan NU. Bahkan tidak mau disebut sebagai muhammadiah atau organisasi keagmaan lain, hal ini merupakan hasil dari sosialisasi orang tua yang terus dipercaya dan dirutunkan oleh komunitas Aboge. Pembentukan habitus lain dalam arena politik adalah kegiatan-kegiatan pada komunitas Aboge yang berhubungan dengan ajaran NU seperti pengajian rutin dan sholawatan yang diadakan rutin setiap dua kali seminggu. Mengikuti ajaran (Ahlusunnah Waljamaah) dan kegiatan-kegiatan NU merupakan bentuk kebiasaan yang mengukuhkan afiliasi komunitas Aboge terhadap NU. Tawaran yang diberikan NU untuk bisa mengakomodir “kebutuhan” komunitas Aboge yaitu keseimbangan antara agama dan budaya lokal dibalas dengan loyalitas dan antusias dalam mengikuti kegiatan-kegiatan NU.

Habitus yang terbentuk sebagai pengaruh dari afiliasi terhadap NU berupa keniscayaan NU atas komunitas Aboge dan keikutsertaan dalam setiap kegiatan NU tidak terlepas dari kepemilikan modal sebagai sumberdaya yang bernilai dalam perjuangan arena politik. Modal tersebut antara lain modal sosial yaitu terkait hubungan atau relasi komunitas Aboge dengan NU. Afiliasi dengan NU menjadi modal sosial bagi perjuangan arena politik berkaitan dengan relasi dan terbentuknya jaringan antara NU dengan komunitas Aboge. Hubungan keduanya menghasilkan

(13)

strategi-strategi yang saling menguntungkan bagi masing-masing pihak. Modal selanjutnya adalah modal kultural berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan terhadap ajaran NU yaitu ajaran Ahlusunnah Waljamaah dan masih meneladani ajaran-ajaran yang diwariskan oleh para walisongo, serta pengetahuan tentang parpol yang identik dengan organisasi keagamaan tertentu. Sehingga dari pengetahuan tersebut komunitas Aboge mau berafiliasi terhadap NU yang kiranya dapat mendukung eksistensi komunitas Aboge di Cikakak. Modal ketiga dan keempat adalah modal simbolik yang berupa derajat prestise (ketersohoran) dan modal ekonomi yang berupa sumberdaya material. Keduanya tidak terlalu memiliki nilai berharga dalam perjuangan arena politik komunitas Aboge, karena perjuangan politis komunitas Aboge bukan dalam tataran praktis pada keanggotaan parpol tetapi pada kegiatan untuk mendapat dukungan dari organisasi keagamaan besar seperti NU terkait usaha mempertahankan adat dan tradisinya. Sedangkan modal yang paling berpengaruh dalam arena politik komunitas Aboge adalah modal sosial dan kultural. Kepemilikan kedua modal paling signifikan yaitu berkaitan dengan afiliasi terhadap NU, menjadikan sebuah wilayah perjuangan menjadi arena politik bagi komunitas Aboge. Perjuangan tersebut tidak saja berkaitan dengan kegiatan dan strategi dalam politik praktis, namun yang lebih penting adalah berkaitan dengan modal untuk menjaga agar tradisi Aboge tetap bertahan di tengah usaha-usaha organisasi keagamaan lain melakukan purifikasi.

(14)

politik merupakan perjuangan yang mengarah pada satu tujuan yaitu usaha untuk mempertahankan eksistensi komunitas Aboge sebagai komunitas yang masih melestarikan adat dan tradisi lokal. Usaha yang dilakukan dalam ketiga arena tersebut membentuk habitus-habitus (kebiasaan) baik secara personal maupun kebiasaan komunal yang diperoleh dari adanya aturan adat yang mengikat (unsur objektif) dan kesadaran penganut Aboge (unsur subjektif) untuk tetap mempercayai adat sebagai pedoman yang menjadikan hidup adem dan tenang. Pembentukan habitus tersebut juga tidak terlepas dari peran agen sebagai “pendukung dan fasilitator” dalam setiap arena perjuangan, seperti dalam arena budaya yang memiliki agen penting berupa Juru Kunci dan dalam arena spiritual yang memiliki agen sentral dari sosok Mbah Tolih sebagai waliullah (orang yang dekat dengan Allah). Adanya habitus, modal, dan agen yang ditempatkan dalam suatu wilayah perjuangan tertentu (mempertahankan tradisi Aboge) menghasilkan sebuah praktik-praktik secara individu maupun kelompok bahwa tradisi Aboge merupakan keniscayaan dan jalan untuk mencapai ketenangan hidup secara lahir dan batin.

B. CATATAN KRITIS

Peneliti menyadari bahwa begitu banyak aspek yang tidak dapat tersampaikan guna menjaga fokus penelitian ini, hal ini karena banyaknya data yang harus diterjemahkan dalam deskripsi yang bisa mewakili kondisi komunitas Aboge dalam perspektif sinkretisme dan pembentukan habitus di dalamnya. Penelitian lapangan

(15)

yang dilakukan peneliti dengan cara live in di lokasi penelitian selama kurang lebih 3 minggu dirasa belum mampu menggali data-data atau informasi tentang kesadaran penganut Aboge yang lebih mendalam terkait kesediaan untuk terus menjalankan adat dan tradisi Aboge dalam setiap aktivitas. Data penelitian belum mampu mengungkapkan bagaimana individu membangun kesadaran intersubjektif untuk terus melaksanakan tradisi Aboge yang “sedikit” berbeda dengan masyarakat muslim pada umumnya. Apakah kesadaran tersebut bersifat semu karena masyarakat hidup dalam ikatan adat yang mau tidak mau harus mengikuti, atau kesadaran tersebut berada pada tataran filosofis bahwa tradisi Aboge merupakan ajaran yang dapat membawa pada ketentraman dan kedamaian hidup, terutama dalam pengalaman transenden seseorang.

Peneliti sadar sepenuhnya bahwa penelitian yang dilakukan harus jauh dari tendensi guna menangkap fenomena yang sesungguhnya. Penggunaan pendekatan fenomenologi dalam penelitian ini menuntut adanya ketidakterlibatan sumbangan gagasan peneliti dalam menerjemahkan realitas-realitas yang ada pada komunitas Aboge di Cikakak. Proses “braketing” ini yang dirasa sulit bagi peneliti untuk menarik stock of knowledge peneliti dalam mendeskripsikan dan mengungkap makna realitas-realitas yang terjadi di komunitas Aboge. Sehingga pengungkapan makna dari realitas dan tindakan komunitas Aboge mungkin kurang sesuai dengan apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan oleh penganut Aboge dalam tataran kesadaran intersubjektif. Keterbatasan waktu dan pengalaman peneliti menjadikan penelitian

(16)

fenomenologi ini kurang mendapatkan “roh” nya karena belum mampu mengungkapkan makna-makna dari pelaksanaan tradisi Aboge dan pengalaman transenden keagamaan secara intersubjektif penganut Aboge itu sendiri. Serta banyak pengungkapan-pengungkapan relitas sosial komunitas Aboge yang masih bercampur dengan gagasan dan sudut pandang peneliti

Penelitian yang dilakukan guna melihat pembentukan habitus komunitas Aboge dalam berbagai arena perjuangan ini tidak terlepas dari adanya limitasi (keterbatasan) baik secara teknis maupun substansinya. Salah satu kendala yang dirasakan adalah adanya limitasi teknis, berupa keterbatasan peneliti dalam mengakses data dan informasi terkait ajaran dan doa-doa khusus yang dimiliki komunitas Aboge dengan alasan kerahasiaan internal penganut Aboge. Limitasi secara teknis ini berpengaruh pada adanya limitasi secara substansi juga, karena informan tidak bisa memberikan data-data yang bersifat rahasia dan tidak bisa diungkapkan kepada pihak di luar penganut Aboge. Sehingga pembahasan mengenai berbagai hal terkait ritual (tradisi) yang menggunakan doa-doa khusus tidak dapat dipaparkan secara inheren.

C. SARAN 1. Saran Teoritis

Konsep habitus yang dipadukan dengan modal dan ditempatkan pada suatu arena kemudian menghasilkan praktik sosial memiliki ketepatan untuk menjelaskan konteks usaha mempertahankan tradisi Aboge sebagai struktur objektif dan penganut Aboge sebagai struktur subjektif. Namun teori habitus milik Boudieu yang lahir dan

(17)

berkembang di Eropa mungkin tidak bisa menjadi “alat pembedah” yang menyeluruh untuk menganalisis tradisi komunitas Aboge yang memiliki unsur-unsur transenden khas masyarakat Jawa. Lokus yang berbeda antara tempat berkembangnya teori habitus dengan masyarakat Indonesia khususnya Jawa menjadikan suatu realitas tidak hanya terbentuk dari aturan, norma, nilai yang menjadi struktur objektif dan dari kesadaran individu sebagai struktur subjektifnya. Lebih dari itu, keyakinan untuk terus melaksanakan adat dan tradisi Aboge sebagai bentuk penghormatan terhadap “kitab turki” memiliki aspek pendukung lain dari sekedar aturan adat yang memaksa dan kesadaran pada tingkat individu. Terdapat keyakinan besar pada hal-hal transenden dan mistis yang disimbolkan dalam sosok “leluhur” dan menjadi acuan atau pedoman untuk menjalani kehidupan adat komunitas Aboge. Sehingga pada taraf ini, konsep habitus Bourdieu kurang dapat menjelaskan faktor lain (faktor x) dalam proses pembentukan habitus, di samping adanya jembatan antara objektivisme dan subjektivisme. Faktor x ini bisa saja akan berbeda antar masyarakat sesuai dengan kondisi dan latar belakang masyarakat itu sendiri. Sehingga pada penelitian selanjutnya, penggunaan teori lain sebagai pisau analisis menjadi sangat penting untuk memaparkan bagaimana faktor x sebagai faktor khas ini juga sangat berpengaruh dalam proses pembentukan habitus individu maupun kelompok dalam sebuah arena.

2. Saran Praksis

(18)

Aboge yaitu sebagai komunitas adat dan masyarakat muslim yang tumbuh bersama dalam suatu masyarakat. Identitas tersebut menjadi landasan bagaimana agama sangat dipengaruhi oleh lokasi dan masa dimana agama tersebut berkembang. Saran ditujukan kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan komunitas Aboge seperti pemerintah dan masyarakat secara umum. Pertama, bagi pemerintah sebagai pihak yang memberikan perlindungan bagi kebebasan beragama warga negaranya yang telah dijamin pula dalam Undang-undang. Pemberian status desa adat pada Cikakak sejak tahun 2010 seharusnya tidak hanya sebatas status saja, namun juga dibarengi dengan keberlanjutan tindakan seperti berupa penyuluhan dan bantuan dana kepada komunitas Aboge. Penyuluhan tersebut bisa berupa pemberian pelatihan terkait cara memelihara adat dan tradisi setempat, baik secara ajaran maupun bentuk materialnya, yang dapat digunakan sebagai aset untuk menjadi daerah wisata dan role model bagi daerah lain yang masih memiliki tradisi lokal. .Sehingga nama desa adat tidak hanya berhenti pada tataran “status” saja melainkan juga bermanfaat bagi perkembangan dan pelestarian komunitas adat Aboge di desa Cikakak.

Saran kedua ditujukkan kepada masyarakat umum, yaitu terkait pemberian “label” Islam kejawen pada komunitas Aboge dan masyarakat muslim lain yang masih mempercayai adat lokal. Sudah disebutkan di awal, bahwa perkembangan suatu agama tidak akan terlepas dari waktu dan lokasi dimana agama tersebut tumbuh. Seperti halnya agama Islam, walaupun memiliki kitab dan dasar ajaran yang sama, Islam di Arab, Mesir, Indonesia, bahkan di Sumatra dan Jawa akan berbeda mengenai

(19)

pemahaman tentang ajaran Islam. Budaya yang dimiliki juga sangat mempengaruhi bagaimana Islam sebagai agama yang baru dikenal masuk dan menyesuaikan dengan budaya sebelumnya. Begitu pula dengan Islam yang berkembang pada komunitas Aboge, dimana masyarakatnya masih sangat berpegang kuat pada adat lokal, sehingga perkemangan Islam pun harus menyesuaikan dengan adat tersebut. Adanya anggapan masyarakat umum kepada masyarakat muslim yang masih berpegang pada adat sebagai “Islam Kejawen” yang cenderung menjurus pada konsep bid’ah dan syirik tidak dapat dibenarkan begitu saja. Karena perbedaan budaya dan waktu yang menyebabkan pemahaman terhadap Islam juga akan berbeda satu dengan yang lainnya. Berkaitan dengan kehidupan transenden seseorang, tidak bisa hanya ditentukan oleh afiliasi terhadap agama besar tertentu, lebih dari itu komunikasi manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya bisa diwujudkan dalam berbagai hal, salah satunya melalui pelaksanaan adat sebagai bentuk rasa terimakasih melalui simbol-simbol tertentu. Sehingga, bukan berarti masyarakat muslim yang masih meyakini adat tidak termasuk dalam masyarakat beragama (dalam bacaan dominan) bahkan digolongkan sebagai musyrik. Karena masing-masing individu atau masyarakat memiliki cara tersendiri untuk berinteraksi dan mewujudkan keyakinan pada Tuhannya.

Referensi

Dokumen terkait

Tingkah laku, tindakan dan ucapan Ibuk meyakinkan anak-anak bahwa mereka akan bisa terus sekolah. Tidak hanya sekolah dasar tapi sampai jenjang pendidikan tertinggi

Pada Pasal 104 UU KPKPU- 2004 tersebut, kurator dalam proses “on going concern” mempunyai atau diberi kewenangan penuh untuk menjalankan usaha debitor pailit

omstandigheden) dalam perjanjian pinjam meminjam uang pada rentenir di desa Montong Buwuh antara lain: a. Penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis: 1)

Menurut Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM), rasuah merupakan satu jenis jenayah apabila seseorang itu menerima atau memberi suapan sebagai ganjaran untuk seseorang

Penilaian terhadap kebenaran pelaksanaan pembela"aran $udi%-&isual didahului dengan men6atat hal-hal penting seperti akti5itas bela"ar !ang dilakukan pada

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, taufiq, dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Setelah diperolehnya waktu normal pekerjaan maka dapat dibuat suatu jaringan kerja yang terencana dengan menggunakan metode analisa lintasan kritis (Critical Path

Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan pengaruh secara deskriptif tentang pembelajaran pengajuan masalah berbantuan GeoGebra terhadap kemampuan pemahaman konsep,