• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Komitmen

1.1 Pengertian Komitmen

Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009). Menurut Meyer dan Allen (1991, dalam Soekidjan, 2009), komitmen dapat juga berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut.

Menurut Van Dyne dan Graham (2005, dalam Muchlas, 2008), faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah: personal, situasional dan posisi. Personal mempunyai ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu teliti, ektrovert, berpandangan positif (optimis), cendrung lebih komit. Lebih lanjut Dyen dan Graham (2005, dalam Muchlas, 2008) menjelaskan karakteristik dari personal yang ada yaitu: usia, masa kerja, pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dan keterlibatan kerja. Situasional yang mempunyai ciri-ciri dengan adanya: nilai (value) tempat kerja, keadilan organisasi, karakteristik pekerjaan, dan dukungan organisasi. Sedangkan posisional dipengaruhi oleh masa kerja dan tingkat pekerjaan.

(2)

Menurut Quest (1995, dalam Soekidjan, 2009) komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan soliditas organisasi. Hasil penelitian Quest (1995, dalam Soekidjan, 2009) tentang komitmen organisasi mendapatkan hasil :

1.1.1 Komitmen tinggi dari anggota organisasi berkorelasi positif dengan tingginya motivasi dan meningkatnya kinerja.

1.1.2 Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kemandirian dan “Self

Control”.

1.1.3 Komitmen tinggi berkorelasi positif dengan kesetiaan terhadap organisasi.

1.1.4 Komitmen tinggi berkorelasi dengan tidak terlibatnya anggota dengan aktifitas kolektif yang mengurangi kualitas dan kuantitas kontribusinya.

Lebih lanjut Soekidjan (2009) menjelaskan bahwa secara umum komitmen kuat terhadap organisasi terbukti, meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi absensi dan meningkatkan kinerja.

1.2 Indikator perilaku komitmen

1.2.1 Indikator perilaku komitmen menurut Ques.

Menurut Quest (1995, Soekidjan, 2009) indikator-indikator prilaku komitmen yang dapat dilihat pada karyawan adalah :

a. Melakukan upaya penyesuaian, dengan cara agar cocok di organisasinya dan melakukan hal-hal yang diharapkan, serta menghormati norma-norma organisasi, menuruti peraturan dan ketentuan yang berlaku.

(3)

b. Meneladani kesetiaan, dengan cara membantu orang lain, menghormati dan menerima hal-hal yang dianggap penting oleh atasan, bangga menjadi bagian dari organisasi, serta peduli akan citra organisasi.

c. Mendukung secara aktif, dengan cara bertindak mendukung misi memenuhi kebutuhan/misi organisasi dan menyesuaikan diri dengan misi organisasi

d. Melakukan pengorbanan pribadi, dengan cara menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi, pengorbanan dalam hal pilihan pribadi, serta mendukung keputusan yang menguntungkan organisasi walaupun keputusan tersebut tidak disenangi.

1.2.2 Indikator perilaku komitmen menurut Meyer dan Ellen.

Meyer dan Allen (1991 dalam Soekidjan, 2009) membagi komitmen organisasi menjadi tiga macam atas dasar sumbernya :

a. Affective commitment, Berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat dengan organisasi, identifikasi serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang sama.

b. Continuance Commitment, Komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya-biaya yang akan ditanggung jika tidak bergabung dengan organisasi. Disini juga didasari oleh tidak adanya alternatif lain.

c. Normative Commitment, Komitmen berdasarkan perasaan wajib sebagai anggota/karyawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang budi. Disini terjadi juga internalisasi norma-norma.

(4)

Dari ketiga jenis komitmen diatas tentu saja yang tertinggi tingkatannya adalah Affective Commitment. Anggota/karyawan dengan Affective Commitment tinggi akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi. Sedangkan tingkatan terendah adalah Continuance

Commitment. Anggota/karyawan yang terpaksa menjadi anggota/karyawan untuk

menghindari kerugian financial atau kerugian lain, akan kurang/tidak dapat diharapkan berkontribusi berarti bagi organisasi. Untuk Normative Commitment, tergantung seberapa jauh internalisasi norma agar anggota/karyawan bertindak sesuai dengan tujuan dan keinginan organisasi. komponen normatif akan menimbulkan perasaan kewajiban atau tugas yang memang sudah sepantasnya dilakukan atas keuntungan-keuntungan yang telah diberikan organisasi (Soekidjan, 2009)

Menurut Allen & Meyer (1997) mendeskripsikan indikator dari komitmen organisasi sebagai berikut: Indikator affective commitment, Individu dengan

affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan emosional yang erat

terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah. Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment memiliki hubungan yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi. Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective commitment akan bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik

(5)

dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen & Meyer, 1997) menyatakan individu dengan affective commitment tinggi akan lebih mendukung kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Affective

commitment memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari

keseluruhan hasil pekerjaan individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor, & Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).

Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen & Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan assesment tingkah laku (e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen & Meyer, 1997) karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah. Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al. (1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect.

Dalam penelitian yang diadakan pada perawat, affective commitment ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan suatu hal demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect). Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk melakukan internal

whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang

(6)

Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).

Indikator Continuance comimitment, Dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk.

Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa continuance commitment tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan. Individu dengan

continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi

dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson; Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa penelitian

continuance commitment tidak memiliki hubungan yang sangat erat dengan

seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi.

(7)

citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan dalam

penelitian lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang negatif. Continuance

commitment juga dianggap tidak berhubungan dengan tingkah laku altruism

ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk ke dalam

organizational citizenship ataupun extra-role.

Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota organisasi untuk mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik.

Indikator Normative commitment, Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya normative

commitment diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku

dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan organizational

citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan

(8)

Hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett et al.; Somers dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan hasil penelitian normative commitment berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen & Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan (Ashfort & Saks dalam Allen & Meyer, 1997). Normative commitment memiliki hubungan dengan tingkah laku organizational citizenship (Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan antara normative commitment dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika dibandingkan affective commitment.

Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti affective commitment,

normative commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress

anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997). Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan actual turnover (Allen & Meyer; Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen & Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar terdapat pada affective commitment, terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan turnover variable diantara ketiga dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi saja.

(9)

1.3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasi.

Menurut Dyne dan Graham (2005, dalam Soekidjan, 2009) faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen adalah : Personal, Situasional dan Posisi.

1.3.1 Karakteristik Personal.

a. Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ektrovert, berpandangan positif (optimis), cenderung lebih komit. Demikian juga individu yang lebih berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan kelompok diatas tujuan sendiri serta individu yang altruistik (senang membantu) akan cenderung lebih komit.

b. Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi. c. Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang mungkin

tidak dapat di akomodir, sehingga komitmennya semakin rendah.

d. Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi.

e. Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya. f. Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu

berhubungan positif dengan komitmen organisasi. 1.3.2 Situasional.

a. Nilai (Value) Tempat kerja. Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah suatu komponen kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai kualitas, Inovasi, Kooperasi, partisipasi dan Trust akan mempermudah setiap anggota/karyawan untuk saling berbagi dan memba- ngun hubungan erat. Jika para anggota/karyawan percaya bahwa nilai organisasinya adalah

(10)

kualitas produk jasa, para anggota/karyawan akan terlibat dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan hal itu.

b. Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi: Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, keadilan dalam proses pengambilan keputusan, serta keadilan dalam persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi.

c. Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna, otonomi dan umpan balik dapat merupakan motivasi kerja yang internal. Jerigan, Beggs menyatakan kepuasan atas otonomi, status dan kebijakan merupakan prediktor penting dari komitmen. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap organisasi.

d. Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan sebagai sejauh mana anggota/karyawan mempersepsi bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan, respek, menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal anggota/karyawan dan juga menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan menjadi komit.

1.3.3 Positional.

a. Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/karyawan komit, hal ini disebabkan oleh karena: semakin

(11)

memberi peluang anggota/karyawan untuk menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.

b. Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status sosioekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat. Status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampun aktif terlibat.

1.4 Membangun komitmen organisasi.

1.4.1 Menurut Martin dan Nichols (1991, dalam Soekidjan, 2009), Tiga pilar komitmen yang perlu dibangun adalah:

a. Rasa memiliki (a sense of belonging) b. Rasa bergairah terhadap pekerjaannya

c. Kepemilikan terhadap organisasi (ownership)

Rasa memiliki dapat dibangun dengan menumbuhkan rasa yakin anggota bahwa apa yang dikerjakan berharga, rasa nyaman dalam organisasi, cara mendapat dukungan penuh dari organisasi berupa misi dan nilai-nilai yang jelas yang berlaku di organisasi. Rasa bergairah terhadap pekerjaan ditimbulkan dengan cara memberi perhatian, memberi delegasi wewenang, serta memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi anggota/karyawan untuk menggunakan ketrampilan dan keahliannya secara maksimal. Rasa kepemilikan dapat ditimbulkan dengan melibatkan anggota/karyawan dalam membuat keputusan-keputusan (Soekidjan, 2009).

(12)

2. Konsep Budaya organisasi 2.1 Pengertian Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang Merupakan bentuk Jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan Sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan Disebut budaya, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau Mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Juga bisa diartikan Sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia.

2.2 Pengertian Organisasi

Kata budaya kadang juga diterjemahkan Sebagai kultur dalam bahasa Indonesia (Wikipedia, 2009).

Sutarto (2006) mendefinisikan organisasi adalah proses penggabungan pekerjaan yang para individu atau kelompok-kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas, sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk pemakaian yang efisien, sistematis, positif, dan terkoordinasi dari usaha yang tersedia. Dan Bernand (1938, dalam Sutarto, 2006) mendefinisikan organisasi adalah suatu sistem aktivitas-aktivitas kerja sama dari dua orang atau lebih sesuatu yang tak berwujud dan tak bersifat pribadi, sebagaian besar mengenai hal hubungan-hubungan. Sedangkan Mooney (1974, dalam Sutarto, 2006) mendefinisikan organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk pencapaian suatu tujuan bersama.

(13)

Organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Sutarto, 2006). Faktor-faktor yang dapat menimbulkan organisasi yaitu: orang-orang, kerjasama dan tujuan tertentu. Berbagai faktor tersebut tidak dapat saling lepas berdiri sendiri, melainkan saling kait merupakan suatu kebulatan. Maka dalam pengertian organisasi digunakan sebutan sistem yang berarti kebulatan dari berbagai faktor yang terikat oleh berbagai asas tertentu (Sutarto, 2006)

2.3 Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2003), budaya organisasi merupakan sistem makna bersama terhadap nilai-nilai primer yang dianut bersama dan dihargai organisasi, yang berfungsi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, menciptakan rasa identitas bagi para anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen kolektif terhadap organisasi, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta menciptakan mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi. Deal dan Kennedy sebagaimana dikutip Robbins (2001) menjelaskan budaya organisasi sebagai nilai-nilai dominan yang didukung organisasi.

Gibson (1996, dalam Rastodio, 2009) merumuskan: Kultur organisasi mengandung bauran nilai-nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma, kekhasan dan pola perilaku. Kreitner dan Kinicki (2003, dalam Ratodio, 2009) memberi batasan budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi yang berfungsi sebagai pemberi rasa identitas kepada anggota,

(14)

mempromosikan komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta menendalikan perilaku para anggota.

Schein (1992, dalam Rastodio, 2009) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.

Menurut Noe dan Mondy (1993, dalam Rastodio, 2009), budaya organisasi adalah sistem dari shared values

Berdasarkan uraian di atas, meskipun konsep budaya organisasi memunculkan perspektif yang beragam, terdapat kesepakatan di antara para ahli budaya dalam hal mendefinisikan budaya organisasi. Intinya bahwa budaya organisasi berkaitan dengan sistem makna bersama yang diyakini oleh anggota organisasi

, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk mendapatkan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.

(Rastodio, 2009)

(15)

2.4 Karakreristik budaya organisasi

2.4.1 Karakteristik budaya Organisasi menurut Muchlas

Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik penting (Muchlas, 2008). Beberapa karakteristik yang telah disetujui adalah sebagai berikut :

a. Keteraturan perilaku yang dapat diamati

Ketika para partisipan organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan bahasa, terminologi, dan upacara yang umum berlaku dalam organisasi tersebut

b. Perilaku standar terjadi termasuk petunjuk-petunjuk tentang berapa banyak yang harus dikerjakan, yang dalam banyak organisasi berlaku: Jangan bekerja terlalu banyak, jangan bekerja terlalu sedikit.

c. Nilai-nilai yang dominan

Banyak nilai penting yag dianjurkan oleh sebuah organisasi dan diharapkan para partisipan mau berbagi rasa dengan nilai-nilai tersebut. Contoh yang khusus adalah kualitas produk yang tinggi, angka absen kerja rendah, dan efisiensi yang tinggi.

d. Filosofi

Banyak kebijakan yang dibuat untuk menanamkan kepercayaan pada organisasi tentang bagaimana para karyawan dan para pelanggan harus diperlakukan.

(16)

e. Aturan-aturan

Beberapa petunjuk yang ketat berhubungan dengan penyesuaian diri dalam organisasi. Para pendatang baru harus belajar meniti tali, ini supaya dapat diterima sebagai anggota penuh dari kelompok.

f. Iklim Organisasi

Hal ini merupakan perasaan umum yang dibawa oleh penempatan fisik, cara partisipan berinteraksi, dan cara para anggota organisasi membawa diri terhadap para pelanggan atau orang-orang luar lainnya (Muchlas, 2008).

2.4.2 Karakteristik Budaya Organisasi menurut Robbins

Tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya suatu organisasi apapun bentuk organisasinya (Robbins, 2003) Ketujuh karakteristik tersebut, yaitu:

a. Inovasi dan pengambilan resiko: Tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.

b. Perhatian terhadap detail: Tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail.

c. Orientasi terhadap hasil: Tingkat tuntutan terhadap manajemen untuk lebih memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut.

(17)

d. Orientasi terhadap individu: Tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.

e. Orientasi terhadap tim: Tingkat aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan.

f. Agresivitas: Tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresif dan bersaing, dan tidak bersikap santai.

g. Stabilitas: Tingkat penekanan aktivitas organisasi dalam mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.

Adapun tipologi budaya menurut Sonnenfeld (Robbins, 2003 ), ada empat tipe budaya organisasi: pertama tipe akademi yaitu perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah. Kedua tipe klab yaitu Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim dan yang ketiga tipe tim bisbol perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan

(18)

insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi serta yang keempat adalah tipe benteng yaitu perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat lagi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena mereka memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada dalam masa peralihan.

2.5 Fungsi Budaya Organisasi

2.5.1 Fungsi Budaya Organisasi menurut Robbins

Menurut Robbins (1996, dalam Rastodio, 2009 ), fungsi budaya organisasi terdiri dari :

a. Budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.

b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.

c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.

d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.

e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

(19)

2.5.2 Fungsi Budaya Organisasi menurut Noe dan Mondy

Sedangkan budaya organisasi menurut Noe dan Mondy (1996, dalam rastodio, 2009) berfungsi untuk:

a. Memberikan sense of identity

b. Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi kepada para anggota organisasi untuk memahami visi, misi, serta menjadi bagian integral dari organisasi.

c. Memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.

2.6 Tipe Budaya Organisasi

Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009), berdasarkan hasil serangkaian penelitian yang dilakukannya, mengemukakan tiga tipe budaya organisasi, yaitu budaya kuat dan budaya lemah, budaya yang secara strategis cocok, dan budaya yang adaptif dan tidak adaptif.

Budaya kuat dan budaya lemah. Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menyatakan bahwa nilai-nilai, norma-norma dan asumsi-asumsi yang terinternalisasi dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi dapat melahirkan perasaan tenang, committed, loyalitas, memacu kerja lebih keras, kohesivitas, keseragaman sasaran (goal alignment), dan mengendalikan perilaku anggota organisasi, serta produktivitas. Logika tentang cara kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja meliputi tiga gagasan, yaitu:

(20)

2.6.1 Penyatuan tujuan. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, pegawai cenderung melakukan tindakan ke arah yang sama.

2.6.2 Menciptakan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa dalam diri pegawai.

2.6.2 Memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.

Budaya yang secara strategis cocok. Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menjelaskan pentingnya kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi objektif perusahaan dimana perusahaan itu berada. Artinya, suatu budaya dikatakan baik apabila serasi dan selaras dengan konteks bisnis dalam karakteristik lingkungan industrinya, dan segmen industrinya yang dispesifikasikan oleh strategi perusahaan atau strategi bisnisnya. Semakin besar kecocokan dengan lingkungan, maka semakin baik kinerjanya. Sebaliknya semakin kurang kecocokannya dengan lingkungan, maka semakin jelek kinerjanya. Dengan demikian, tidak ada kriteria umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik dan bersifat satu ukuran untuk semua, dan berfungsi baik dalam organisasi apapun. Kritik terhadap tipe budaya organisasi ini adalah bahwa lingkungan organisasi tidak pernah stabil, melainkan selalu berubah, sehingga budaya yang dianggap cocok pada kurun waktu tertentu, mungkin tidak akan cocok di waktu yang lain. Implikasinya budaya organisasi harus selalu mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan perubahan dari lingkungan. Karena

(21)

itulah, Kotter dan Heskett mengajukan tipe budaya adaptif dan tidak adaptif (Rastodio, 2009).

Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. Menurut Kotter dan Heskett (1992, dalam Rastodio, 2009) menjelaskan bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan (adaptif), yang diasosiasikan dengan kinerja tinggi dalam periode waktu yang panjang. Teori ini mengarahkan budaya organisasi untuk senantiasa bersikap adaptif dan inovatif sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi.

Makna terpenting dari hasil penelitian pada teori ketiga ini adalah bahwa perusahaan yang budayanya adaptif secara ideal para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya menampakkan kepemimpinan yang mempelopori perubahan dalam strategi dan taktik kapan saja diperlukan untuk memuaskan kepentingan para pemegang saham, pelanggan, dan para pegawainya. Sedangkan perusahaan yang budayanya tidak adaptif para manajer pada seluruh tingkatan organisasinya cenderung berperilaku secara hati-hati dan politis untuk melindungi atau memajukan diri sendiri, produknya, atau kelompoknya.

Referensi

Dokumen terkait

PCA sangat berperan penting dalam pendugaan data curah hujan dikarenakan variabel yang digunakan sangatlah banyak serta memiliki multikolinieritas yang tinggi, sehingga

- Pada maksila ekspansi kistaumumnya kearah bukal atau labialsedangkan pada kista pada radikuler yang berasal dari gigiinsisivus lateral, akar-akar palatal dari

Nilai konsumen yang dipersepsikan lebih unggul adalah ketika bauran pemasaran yang ditawarkan oleh perusahaan dirasakan lebih tinggi oleh pasar sasaran dibandingkan

Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan di atas, dapat dilihat bahwa ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotis dari

Puskesmas adalah upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan. Puskesmas merupakan salah satu tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan

Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan mengidentifikasi gulma yang ditemukan pada pertanaman jagung serta menginterpretasikan pengendalian

sehingga aksessibilitas setiap geosite dengan homestay yang ada masihterjangkau serta informasi atau model homestay disesuaikan dengan geosite yang berada di

Adapun tugas utama LSPP AAMAI adalah menyelenggarakan ujian profesi profisiensi yang mengacu kepada unit kompetensi sertifikasi Ajun Ahli dan Ahli Asuransi Jiwa sesuai Standar