• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) INDUSTRI KECAP IKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) INDUSTRI KECAP IKAN"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL

(PPUK)

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis. Namun demikian, UMKM masih memiliki kendala, baik untuk mendapatkan pembiayaan maupun untuk mengembangkan usahanya. Dari sisi pembiayaan, masih banyak pelaku UMKM yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses kredit dari bank, baik karena kendala teknis, misalnya tidak mempunyai/tidak cukup agunan, maupun kendala non teknis, misalnya keterbatasan akses informasi ke perbankan. Dari sisi pengembangan usaha, pelaku UMKM masih memiliki keterbatasan informasi mengenai pola pembiayaan untuk komoditas tertentu. Di sisi lain, ternyata perbankan juga membutuhkan informasi tentang komoditas yang potensial untuk dibiayai.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka menyediakan rujukan bagi perbankan untuk meningkatkan pembiayaan terhadap UMKM serta menyediakan informasi dan pengetahuan bagi UMKM yang bermaksud mengembangkan usahanya, maka menjadi kebutuhan untuk penyediaan informasi pola pembiayaan untuk komoditi potensial tersebut dalam bentuk model/pola pembiayaan komoditas (Lending Model). Sampai saat ini, Bank Indonesia telah menghasilkan 112 judul buku pola pembiayaan komoditi pertanian, industri dan perdagangan dengan sistem pembiayaan konvensional dan 30 judul dengan sistem syariah. Dalam upaya menyebarluaskan lending model tersebut kepada masyarakat maka buku pola pembiayaan ini telah dimasukkan dalam website Sistem Informasi Terpadu Pengembangan UKM (SI-PUK) yang terintegrasi dalam Data dan Informasi Bisnis Indonesia (DIBI) dan dapat diakses melalui internet di alamat www.bi.go.id.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu dan bekerjasama serta memberikan masukan selama penyusunan buku lending model. Bagi pembaca yang ingin memberikan kritik, saran dan masukan bagi kesempurnaan buku ini atau ingin mengajukan pertanyaan terkait dengan buku ini dapat menghubungi:

(5)

Tim Penelitian dan Pengembangan Perkreditan dan UMKM Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat

Telp. (021) 381.8922 atau 381.7794 Fax. (021) 351.8951

Besar Harapan kami bahwa buku ini dapat melengkapi informasi tentang pola pembiayaan komoditi potensial bagi perbankan dan sekaligus memperluas replikasi pembiayaan terhadap UMKM pada komoditi tersebut.

(6)

RINGKASAN POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL

INDUSTRI KECAP IKAN

No UNSUR PEMBINAAN URAIAN

1 Jenis usaha Industri Kecap Ikan

2 Lokasi usaha Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara 3 Dana yang digunakan Investasi = Rp. 119.270.000

Modal Kerja = Rp. 50.087.734 Total = Rp. 169.357.734 4 Sumber dana a. Kredit (40%) b. Modal Sendiri (60%) Rp. 67.743.094 Rp. 101.614.640

Suku Bunga per tahun = 14% Jangka Waktu Kredit :

- Investasi = 3 tahun - Modal Kerja = 1 tahun

5 Periode pembayaran kredit Pengusaha melakukan angsuran pokok dan angsuran bunga setiap bulan selama jangka waktu kredit 6 Kelayakan usaha A Periode proyek B Produk utama C Skala proyek D Teknologi E Pemasaran produk 3 tahun Kecap Ikan

Pendapatan per tahun : Rp. 423.360.000

Perebusan ikan sampai hancur dan penambahan gula aren

Masyarakat secara umum 7 Kriteria kelayakan usaha

NPV IRR

Net B/C Ratio Pay Back Period BEP rata-rata Penilaian Rp. 75.478.206 45,34% 1,63 1,87 tahun Rupiah = Rp. 172.894.701 Persentase = 40,8% Layak dilaksanakan

(7)

(1) Kenaikan Biaya variabel 12%

Analisis Profitabilitas :

NPV Rp. 4.289.612

IRR 15,85%

Net B/C Ratio 1,04 Pay Back Period 2,91 tahun Penilaian Layak (2) Kenaikan Biaya variabel 13%

Analisis Profitabilitas :

NPV (-) Rp. 1.642.771

IRR 13,29%

Net B/C Ratio 0,99 Pay Back Period >3 tahun Penilaian Tidak Layak (3) Penurunan Pendapatan 7%

Analisis Profitabilitas :

NPV Rp. 6.676.177

IRR 16,88%

Net B/C Ratio 1,06 Pay Back Period 2,86 tahun Penilaian Layak

(8)

No UNSUR PEMBINAAN URAIAN (4) Penurunan Pendapatan 8% Analisis Profitabilitas : NPV (-) Rp. 3.152.685 IRR 12,63% Net B/C Ratio 0,97 Pay Back Period >3 tahun Penilaian Tidak Layak (5) Sensitivitas Kombinasi :

Biaya Variabel Naik 5% dan Pendapatan Turun 5%

Analisis Profitabilitas :

NPV Rp. 3.122.553

IRR 15,33%

Net B/C Ratio 1,03 Pay Back Period 2,93 tahun Penilaian Layak (6) Sensitivitas Kombinasi :

Biaya Variabel Naik 3% dan Pendapatan Turun 4%

Analisis Profitabilitas :

NPV (-) Rp. 12.638.691

IRR 8,56%

Net B/C Ratio 0,89 Pay Back Period >3 tahun Penilaian Tidak Layak

(9)
(10)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

RINGKASAN ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR FOTO ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN 2.1 Profil Usaha ... 3

2.2 Pola Pembiayaan ... 5

BAB III ASPEK PASAR DAN PEMASARAN 3.1 Aspek Pasar ... 7

3.1.1 Permintaan ... 7

3.1.2 Penawaran ... 9

3.1.3 Analisis Persaingan dan Peluang Pasar ... 10

3.2 Aspek Pemasaran ... 13

3.2.1 Harga ... 13

3.2.2 Jalur Pemasaran ... 13

3.2.3 Kendala Pemasaran ... 14

BAB IV ASPEK TEKNIS PRODUKSI 4.1 Lokasi Usaha ... 15

4.2 Fasilitas Produksi dan Peralatan ... 15

(11)

4.6 Proses Produksi ... 19

4.7 Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi ... 27

4.8 Produksi Optimum ... 28

4.9 Kendala Produksi ... 28

BAB V ASPEK KEUANGAN 5.1 Pemilihan Pola Usaha ... 31

5.2 Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan ... 32

5.3 Komponen dan Struktur Biaya ... 33

5.3.1 Biaya Investasi ... 34

5.3.2 Biaya Operasional ... 36

5.4 Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja ... 36

5.5 Produksi dan Pendapatan ... 37

5.6 Proyeksi Laba Rugi Usaha dan Break Even Point ... 38

5.7 Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Usaha ... 39

5.8 Analisis Sensitivitas ... 40

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN 6.1 Aspek Ekonomi dan Sosial ... 45

6.2 Aspek Dampak Lingkungan ... 45

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 47

7.2 Saran ... 49

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

3.1 Skema Jalur Pemasaran Kecap Ikan UP2KS Sari Laha ... 13

4.1 Diagram Proses Pembuatan Kecap Ikan Secara Fermentasi ... 21

4.2 Diagram Proses Pembuatan Kecap Ikan Secara Enzimatis ... 22

DAFTAR FOTO

Foto Hal 4.1 Persiapan Bumbu-Bumbu ... 24

4.2 Persiapan Bumbu yang Sudah Dipotong dan Ikan ... 24

4.3 Penyaringan Bumbu yang Sudah Dihancurkan ... 24

4.4 Persiapan Gula Aren ... 24

4.5 Pemasakan Ikan dan Bumbu ... 25

4.6 Pemasakan Ikan dan Bumbu Serta Pemasakan Gula Aren ... 25

4.7 Pemerasan dan Penyaringan Cairan Hancuran Daging Ikan dan Bumbu ... 25

4.8 Pemasukan Kaldu Ikan/Bumbu Ke Dalam Larutan Gula Aren ... 25

4.9 Persiapan Pemasakan Campuran Kaldu Ikan/ Bumbu Dalam Larutan Gula Aren ... 26

4.10 Pembotolan Kecap ... 26

4.11 Penutupan Botol ... 26

4.12 Pelabelan ... 26

4.13 Penempelan “seal” ... 27

(13)

Tabel Hal

3.1 Nama Kecap ikan di Beberapa Negara ... 7

3.2 Perkembangan Kapasitas, Tingkat Produksi dan Utilisasi Industri Kecap dan Saus Lainnya ... 9

5.1 Asumsi untuk Analisis Keuangan ... 32

5.2 Komposisi Biaya Investasi ... 35

5.3 Komposisi Biaya Operasional ... 36

5.4 Komponen dan Struktur Kebutuhan Biaya Proyek ... 37

5.5 Proyeksi Produksi dan Pendapatan ... 38

5.6 Proyeksi Pendapatan dan Laba Rugi Usaha ... 38

5.7 Kelayakan Usaha Pengolahan Kecap Ikan ... 39

5.8 Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha : Skenario Kenaikan Biaya Variabel Sebesar 12% ... 40

5.9 Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha : Skenario Kenaikan Biaya Variabel Sebesar 13% ... 41

5.10 Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha : Skenario Penurunan Pendapatan Sebesar 7% ... 41

5.11 Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha : Skenario Penurunan Pendapatan Sebesar 8% ... 42

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki potensi perikanan yang sangat besar, dengan beragam hasil laut yang dihasilkan. Pada tahun 2010, target produksi atau hasil tangkapan khusus untuk ikan mencapai 352 ribu ton. Dari beragam jenis hasil tangkapan ikan, ada yang bernilai ekonomi tinggi dan ada yang tidak bernilai ekonomi tinggi. Ikan yang bernilai ekonomi tinggi merupakan komoditi ekspor, baik dalam bentuk segar, beku maupun sudah diproses antara lain dalam bentuk fillet, seperti ikan cakalang, dan ikan kakap. Oleh karena berbagai faktor seperti faktor fluktuasi musim yang mempengaruhi volume hasil tangkapan dan jenis ikan hasil tangkapan, maka tidak semua hasil tangkapan ikan segar terserap oleh pasar.

Sebagai salah satu komoditi pangan, ikan termasuk bahan pangan yang mudah rusak dan menjadi busuk karena kadar airnya yang tinggi dan kandungan gizinya yang baik untuk pertumbuhan jasad renik pembusuk. Upaya untuk mengatasi sifat mudah busuk tersebut, antara lain dengan cara pengawetan yaitu dengan cara dibekukan, dikeringkan, dan diasinkan. Selain melalui proses pengawetan, komoditi ikan hasil tangkapan berpotensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya melalui proses pengolahan. Proses pengolahan juga dimaksudkan untuk memanfaatkan kelebihan pasokan (volume hasil tangkapan) yang tidak terserap oleh pasar baik untuk konsumsi ikan segar, industri pengolahan ikan, dan ekspor.

Secara tradisional pengolahan ikan yang dilakukan nelayan antara lain adalah pengasapan, pemindangan dan fermentasi. Salah satu bentuk upaya pengolahan ikan secara fermentasi adalah diolah menjadi kecap ikan.

Meskipun pada dasarnya kecap ikan dapat berperan sebagai sumber protein, akan tetapi kecap ikan sangat jarang atau bahkan tidak dikonsumsi secara langsung tetapi umumnya dijadikan bahan penyerta atau pemberi cita rasa pada

(15)

masakan tertentu. Kecap ikan, seperti halnya kecap dengan bahan baku kedele lebih berfungsi sebagai penyedap masakan.

Secara terminologi teknologi, kecap ikan merupakan hasil penguraian secara biologis melalui proses fermentasi terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), kecap ikan didefinisikan sebagai produk cair yang diperoleh dengan hidrolisis ikan dengan atau tanpa penambahan bahan makan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Proses hidrolisis dapat dilakukan melalui proses fermentasi atau proses kimia. Sebagai produk pangan, kecap termasuk bumbu makanan berbentuk cair, berwarna coklat kehitaman, serta memiliki rasa dan aroma ikan yang khas.

Pada buku pola pembiayaan ini, yang dijadikan kajian adalah kecap ikan yang diolah bukan melalui proses hidrolisis protein ikan, akan tetapi suatu produk cair yang kental yang diperoleh dengan cara perebusan ikan dengan bumbu tertentu, yang setelah disaring kemudian dimasak dalam larutan gula aren. Pada wilayah studi, kecap yang diproduksi adalah kecap manis dengan rasa/aroma ikan. Produk ini merupakan inovasi pemanfaatan ikan segar oleh pengrajin di Kota Ternate untuk meningkatkan nilai tambah hasil tangkapan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi yang sederhana yang diusahakan dalam skala industri rumah tangga.

(16)

BAB II

PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN

2.1. Profil Usaha

Penyusunan pola pembiayaan usaha pengolahan kecap ikan didasarkan pada informasi yang didapatkan dari hasil survey lapangan terhadap pengusaha pengolahan kecap di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari lapangan, jumlah usaha pengolahan kecap ikan di Kota Ternate tercatat sebanyak 3 pengusaha, 2 usaha merupakan usaha pribadi dan 1 usaha merupakan usaha kelompok. Pada saat penelitian ini dilakukan, hanya usaha kelompok yang masih berproduksi melalui Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UP2KS) “Sari Laha”.

Ketua kelompok UP2KS Sari Laha, yaitu Ibu Habiba Samiun, mulai merintis usaha pengolahan kecap dengan merk ‘Kecap Manis Spesial’ sejak tahun 1988, kemudian usaha ini berkembang menjadi UP2KS Sari Laha pada tahun 2000. Sebagai ketua kelompok UP2KS, Ibu Habiba telah mengikuti berbagai kegiatan pelatihan, yang diselenggarakan oleh Disperindagkop, Balai POM dan Pemerintah Daerah. Pelatihan yang diikuti antara lain mengenai manajemen usaha, pelatihan Good Manufacturing Practices (GMP), keamanan pangan, dan gugus kendali mutu.

Skala produksi kecap pada awal memulai usaha hanya sebanyak 36 botol dengan ukuran 650 ml per bulan. Seiring dengan semakin dikenalnya produk kecap yang dihasilkan, terjadi perkembangan volume produksi. Pada tahun 2009, jumlah produksi mencapai sekitar 300–370 botol per bulan, dan pada periode Januari – Mei 2010 jumlah produksi meningkat menjadi 400 – 500 botol per bulan. Walaupun demikian, kegiatan produksi kecap ikan ini masih belum kontinyu, dengan rata-rata frekuensi produksi setiap minggu dilakukan 1-2 kali produksi. Volume setiap kali produksi adalah sebanyak 70 – 80 botol dengan ukuran 650 ml.

(17)

Tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan produksi adalah anggota kelompok, yang terdiri dari ibu-ibu. Dalam setiap produksi, ibu-ibu anggota kelompok yang terlibat berjumlah sekitar 10 orang (termasuk ketua kelompok), dengan pembagian tugas sebagai berikut : 5 orang dibagian produksi, 2 orang dibagian pemasaran, 1 orang dibagian keuangan (bendahara) dan 1 orang dibagian pembukuan (sekretaris).

Sebagai usaha kelompok, maka anggota kelompok yang berpartisipasi dalam kegiatan produksi tidak menerima upah/gaji sebagaimana layaknya tenaga kerja dalam suatu usaha produksi. Anggota kelompok menerima bagi hasil keuntungan usaha secara proporsional yang diperhitungkan setiap bulan. Selain sisa hasil usaha yang dibayarkan langsung kepada anggota, sebagian dari keuntungan ditabung untuk keperluan bonus/insentif hari raya, dan lain-lain.

Keberlangsungan usaha pengolahan kecap ikan didukung oleh potensi sumberdaya kelautan dari Kota Ternate. Tempat pelelangan ikan di Kota Ternate, dan keberadaan pasar “ikan” yang ada di kota ini merupakan pusat pemasaran ikan hasil tangkapan dari wilayah kabupaten lain di Propinsi Maluku Utara. Dengan demikian ketersediaan bahan baku ikan, baik dari volume maupun kesinambungannya sangat mendukung pengembangan usaha kecap di wilayah ini. Pada tahun 2009, produksi ikan di Kota Ternate tercatat sebanyak 24.311,40 ton dengan nilai Rp. 244.521,405 juta. Pada dasarnya semua jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku kecap ikan, akan tetapi untuk menjaga mutu produksi, bahan baku ikan yang digunakan oleh UP2KS ini adalah jenis ikan tude. Bahan baku utama selain ikan, untuk kecap yang diproduksi oleh UP2KS Sari Laha ini adalah gula aren. Semua kebutuhan bahan baku ikan dan bahan lain diperoleh dari pasar setempat, dan UP2KS sudah mempunyai langganan yang menyediakan kebutuhan produksi. Pengadaan bahan baku dan bahan lain dilakukan setiap kali akan berproduksi, dengan sistem pembayaran secara kontan.

UP2KS Sari Laha mempunyai alasan untuk tetap meneruskan dan mengembangkan usaha pengolahan kecap ini, yakni karena usaha ini telah memberikan manfaat antara lain (1) memberikan tambahan penghasilan bagi

(18)

Industri Kecap Ikan anggota, (2) menyediakan lapangan kerja bagi ibu-ibu, (3) potensi dan peluang pasar yang dianggap masih terbuka, dan masih belum digarap, serta (4) ketersediaan bahan baku ikan dan gula aren.

2.2. Pola Pembiayaan

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha, modal usaha pada saat memulai usaha (tahun 1998) diperoleh dari bantuan Pemerintah melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) sebesar Rp. 250.000. Pada tahun 2000 sebagai tindak lanjut dari pelatihan peningkatan dan pendapatan usaha keluarga yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dibentuk kelompok usaha berupa UP2KS Sari Laha, dan untuk pengembangan usaha produksi kecap diberikan bantuan berupa pinjaman sebesar Rp. 5.000.000 dari BKKBN untuk kebutuhan peralatan produksi dan modal kerja usaha. Selain itu, UP2KS juga memperoleh pinjaman dari Koperasi pegawai di lingkungan Disperindagkop Kota Ternate sebesar Rp. 10.000.000 (2 paket @ Rp. 5.000.000). Jangka waktu pinjaman dana bergulir dari BKKBN adalah 10 bulan, sedang dari Koperasi jangka waktu pinjaman adalah 12 bulan, dengan tingkat suku bunga 12% per tahun. Kewajiban pengembalian pinjaman tersebut sudah dipenuhi oleh UP2KS Sari Laha.

Pada tahun 2005, UP2KS Sari Laha memperoleh bantuan hibah dari Pemerintah Pusat melalui Disperindagkop Kota Ternate berupa bangunan produksi/ tempat usaha, perlengkapan kantor dan peralatan produksi kecap asin dengan total nilai Rp. 71.530.000. Nilai bantuan hibah tersebut di luar tanah, karena tanah disediakan oleh pimpinan UP2KS dan lokasi bangunan usaha berada disamping ketua UP2KS Sari Laha. Sampai saat ini UP2KS Sari Laha dalam kegiatan produksi belum pernah mendapatkan kredit dari perbankan.

(19)
(20)

BAB III

ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

3.1. Aspek Pasar

3.1.1. Permintaan

Seperti halnya produk kecap yang dibuat dari bahan baku kedele, berupa kecap manis atau kecap asin, produk kecap ikan digunakan sebagai bahan penyedap atau bahan tambahan yang digunakan pada berbagai jenis atau menu masakan, atau sebagai bahan penyerta pada menu makanan tertentu. Di berbagai negara Asia dan Eropa kecap ikan dikenal dengan berbagai nama seperti dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Nama Kecap Ikan di Beberapa Negara.

No Negara Nama

1. Burma Ngapi

2. Indonesia Kecap ikan

3. India Colombo

4. Jepang Shottsuru, Ishiru

5. Kamboja Nuoc-cham

6. Korea Hongul, Jeotgal

7. Malaysia Budu

8. Philipina Patis

9. Perancis Pissala

10. Thailand Nampla

11. Yunani Baros

(21)

Penggunaan kecap ikan dalam berbagai menu masakan adalah untuk memperoleh aroma dan sebagai penyedap rasa. Konsumen produk ini adalah rumah tangga, restoran/hotel, dan industri catering. Belum ada data statistik mengenai kebutuhan atau permintaan terhadap produk kecap ikan, akan tetapi dapat dipastikan bahwa permintaan atau kebutuhan terhadap produk ini selalu ada. Mengingat penggunaan kecap ikan pada berbagai menu makanan, maka tingkat dan perkembangan permintaan terhadap kecap ikan adalah sebanding dengan perkembangan industri restoran/hotel dan industri catering serta konsumsi rumah tangga.

Walaupun secara spesifik tingkat konsumsi kecap ikan tidak ada data statistiknya, akan tetapi sebagai gambaran berdasarkan Survey Biaya Hidup (BPS) rata-rata konsumsi kecap untuk Kota Ternate adalah 1,13 botol per rumah tangga atau 0,22 botol per kapita. Secara nasional, agregat tingkat konsumsi kecap diperkirakan sebesar 0,3 botol per kapita .

Khusus untuk kasus di wilayah penelitian, salah satu kelompok dalam usaha pengolahan kecap di Kota Ternate yang bernama UP2KS Sari Laha setiap bulan dapat memproduksi 400 – 500 botol kecap ukuran 1 liter, dengan merk “Kecap Manis Spesial Sari Laha”. Setiap bulan jumlah kecap yang diproduksi tersebut selalu habis terjual. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha, jumlah produksi tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga di wilayah Selatan Kota Ternate, dan masih belum menjangkau konsumen rumah tangga di wilayah Utara Kota Ternate. Pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan puasa dan hari raya, permintaan kecap dapat meningkat sampai 1.000 botol per bulan. Keadaan ini disebabkan karena keterbatasan modal usaha untuk meningkatkan volume produksi dan keterbatasan tenaga pemasaran. Jumlah produksi tersebut berasal dari proses produksi sekitar 5 – 7 kali per bulan atau sekitar 1 – 2 kali per minggu.

(22)

Industri Kecap Ikan 3.1.2. Penawaran

Dari sisi penawaran, produksi kecap ikan masih terbatas pada wilayah-wilayah sentra produksi perikanan laut (ikan tangkap) tertentu. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat di sentra produksi perikanan laut memproduksi kecap ikan. Beberapa produsen kecap ikan antara lain terdapat di Pelabuhan Ratu (Kab. Sukabumi), Cirebon, Pekalongan dan Tegal.

Secara nasional, statistik dan peta industri khusus untuk kecap ikan belum tersedia. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, kapasitas terpasang produksi kecap dan saus lainnya dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Perkembangan Kapasitas, Tingkat Produksi dan Utilisasi Industri Kecap dan Saus Lainnya.

Diskripsi 2006 2007 2008 (Tw-II)*

Kapasitas terpasang (ton) 102.492 103.517 104.552

Produksi (ton) 59.625 59.615 41.821

Utilitas (%) 58,2 57,6 40,0

Sumber : Kementerian Perindustrian, 2009 (diolah).

Data pada Tabel 3.2 di atas merupakan agregasi dari produk kecap dan saus, termasuk di dalamnya adalah kecap manis, kecap asin berbahan baku kedele serta saus tomat, saus cabe dan sejenisnya. Kontribusi kecap ikan terhadap produksi kecap dan saus secara total masih rendah, dan berdasarkan data pada tahun 2001 hanya berjumlah 458 ton atau sekitar 0,77%. Data pada Tabel 3.2 menunjukkan bahwa selama periode 2006 – 2008 (Tw-II) terjadi peningkatan kapasitas terpasang industri, yang disebabkan adanya penambahan jumlah/kapasitas industri. Pada sisi lain, jumlah produksi aktual dan utilisasi industri menunjukkan penurunan. Keadaan

(23)

ini diduga antara lain karena daya saing industri yang lemah dibandingkan dengan produk kecap dan saus impor. Pada Tahun 2006, tercatat impor sebesar 665 ton kecap manis, 993 ton kecap asin, 2.372 ton kecap lainnya, dan sebesar 1.090 ton kecap ikan yang diimpor. Volume impor kecap meningkat, dan pada tahun 2009 tercatat impor kecap kedele (manis dan asin) sebesar 6.779 ton dan kecap ikan sebesar 1.213 ton. Pada kuartal pertama tahun 2010 tercatat impor kecap kedele sebesar 2.125 ton dan kecap ikan sebesar 282 ton.

Secara umum, penggunaan kecap berbahan baku kedele relatif lebih besar dibandingkan kecap ikan. Produk kecap berbahan baku kedele (kecap manis dan kecap asin) merupakan produk pesaing kecap ikan, walaupun secara spesifik untuk menú/resep makanan tertentu menggunakan kecap ikan. Kecap yang diproses dari bahan baku kedele, baik kecap manis maupun kecap asin berpotensi menjadi pesaing produk kecap ikan

Khusus untuk pesaing industri kecap di lokasi penelitian (Kota Ternate), dari sisi penawaran adalah kecap manis atau asin dari bahan kedele yang didatangkan (impor) dari luar daerah khususnya industri kecap yang berada di Jawa. Satu-satunya usaha pengolahan kecap yang masih beroperasi di Kota Ternate adalah usaha kelompok UP2KS Sari Laha. Seperti yang telah dikemukakan pada Bab sebelumnya, usaha ini masih berskala industri rumah tangga, dengan tingkat produksi per bulan sebanyak 400 – 500 botol ukuran 650 ml. Dalam sebulan, usaha ini hanya berproduksi sebanyak 5-7 kali atau sekitar 1-2 kali dalam seminggu. 3.1.3. Analisis Persaingan dan Peluang Pasar

Persaingan bisnis diantara para pengusaha kecap ikan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu persaingan dalam memperoleh bahan baku dan persaingan dalam hal pemasaran produk. Dalam hal memperoleh bahan baku, tidak ada persaingan antar pengusaha maupun untuk konsumsi segar. Hal ini karena produksi ikan tangkap relatif berlimpah, dan pada dasarnya semua jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku kecap ikan. Disamping itu, jenis ikan yang digunakan sebagai

(24)

Industri Kecap Ikan bahan baku adalah jenis ikan yang bernilai ekonomi relatif rendah, sehingga tidak bersaing dengan industri pembekuan ikan untuk ekspor, industri pengalengan ikan, dan untuk konsumsi segar.

Dalam hal pemasaran produk, secara nasional kecap ikan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan kecap berbahan baku kedele. Sesuai dengan fungsi dan penggunaan kecap secara umum, maka kecap ikan mempunyai karakteristik aroma dan rasa yang khas dan tidak dapat digantikan dengan kecap berbahan baku kedele. Untuk menu makanan tertentu kecap ikan tidak bisa disubstitusi dengan kecap kedele.

Produk kecap ikan domestik dihadapkan kepada persaingan yang ketat dengan produk kecap ikan impor. Produk kecap ikan domestik relatif kalah bersaing dengan produk kecap ikan impor, terutama dalam hal mutu dan kemasan. Dari segi rasa dan aroma, setiap produk kecap ikan mempunyai rasa dan aroma yang spesifik. Oleh karena fungsi dan kegunaan utama kecap ikan sebagai penambah rasa pada menu makanan, maka tingkat persaingan dari segi rasa (antar produk kecap ikan domestik dan ekspor) sangat ditentukan oleh selera konsumen dan penggunaannya.

Walaupun produk kecap ikan mempunyai kegunaan yang relatif terbatas, tetapi tetap mempunyai peluang pasar untuk berkembang. Peluang pasar tersebut selaras dengan pertumbuhan industri hotel dan restoran, serta pertumbuhan penduduk. Perkembangan produk kecap ikan impor yang terus meningkat menunjukkan masih terbukanya pasar domestik untuk produk kecap ikan, sepanjang produk kecap ikan domestik mampu bersaing dari segi mutu, kemasan dan harga. Pada tahun 2006 impor kecap ikan tercatat sebesar 1.090 ton dan pada tahun 2009 impor kecap ikan meningkat menjadi 1.213 ton. Selain untuk pasar domestik, terdapat peluang pasar ekspor untuk produk kecap ikan Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan data statistik ekspor yang menunjukkan bahwa pada tahun 2009 tercatat ekspor sebanyak 27,8 ton dan pada kuartal pertama 2010 tercatat ekspor sebanyak 6,4 ton.

(25)

Khusus untuk kasus “kecap ikan” di wilayah studi (Kota Ternate), produk kecap yang dihasilkan mempunyai karakteristik khusus yang berbeda dengan kecap ikan pada umumnya. “Kecap ikan” yang dihasilkan pada dasarnya adalah rebusan daging ikan dan bumbu-bumbuan, yang kemudian dimasak dalam larutan gula aren. Karakteristik kecap yang dihasilkan menyerupai kecap manis yang berbahan baku kedele, dengan ciri-ciri kental dan mempunyai rasa manis. Dengan demikian dari sisi produk, pesaing produk kecap ini adalah produk kecap manis berbahan baku kedele. Akan tetapi, karena dalam prosesnya menggunakan ikan dan ditambahkan bumbu-bumbu, maka rasa dan aroma khas produk kecap ini menjadi keunggulan tersendiri. Daya saing produk terhadap kecap manis kedele bersifat relatif yang sangat ditentukan oleh selera konsumen.

Pada pasar lokal, “kecap manis” produk UP2KS relatif belum mempunyai pesaing, karena UP2KS merupakan satu-satunya produsen yang berproduksi secara berkesinambungan. Peluang pasar untuk produk “kecap” ini masih terbuka. Berdasarkan Survey Biaya Hidup, konsumsi kecap per kapita di Kota Ternate adalah 0,22 botol. Dengan jumlah penduduk sekitar 182.898 jiwa, potensi permintaan kecap adalah sekitar 40.238 botol per tahun, atau 110 botol per hari. Menurut pelaku usaha, potensi konsumen yang ada di wilayah Kota Ternate belum sepenuhnya dapat dipenuhi. Walaupun demikian, karena jumlah populasi penduduk yang relatif kecil, peluang pasar yang masih terbuka tersebut masih terbatas. Peluang pasar yang lebih besar dari produk “kecap” ini adalah apabila produk ini mampu menembus pasar di luar provinsi, seperti ke provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi, Jawa dan Kalimantan. Saat ini pemasaran ke luar provinsi masih terbatas sebagai oleh-oleh atau pesanan dari konsumen dalam jumlah yang masih sedikit.

(26)

Industri Kecap Ikan 3.2. Aspek Pemasaran

3.2.1. Harga

Untuk kasus di wilayah studi, harga produk “kecap” yang diproduksi UP2KS bervariasi tergantung tempat dimana produk tersebut di jual. Untuk “kecap” dengan kemasan botol @ 650 ml, harga jual per botol apabila di jual ke pasar/ warung adalah Rp. 25.000, apabila di jual ke kantor/konsumen rumah tangga langsung adalah sebesar Rp. 22.500, dan jika dijual ke toko swalayan adalah sebesar Rp. 20.000.

3.2.2. Jalur Pemasaran

Jalur pemasaran produk untuk kasus di wilayah studi relatif masih sederhana. Penjualan produk “kecap” UP2KS Sari Laha dilakukan sendiri oleh para pelaku usaha.Penjualan produk dilakukan di tempat usaha, dan dipasarkan melalui pasar/warung, toko swalayan, atau perkantoran. Dalam jumlah yang relatif kecil melalui pesanan atau sebagai oleh-oleh produk “kecap” UP2KS Sari Laha ini juga telah terjual ke luar Provinsi Maluku Utara seperti ke Manado, Makassar, Jakarta, Surabaya dan Manokwari. Skema rantai jalur pemasaran kecap dapat dilihat pada Gambar 1. Pedagang/ Pasar Lokal Pengusaha Kecap ikan Pasar Swalayan Pasar Antar Pulau/Provinsi Konsumen Rumah Tangga/ Warung makan

(27)

3.2.3. Kendala Pemasaran

Menurut pelaku usaha, pengembangan pasar produk kecap ikan masih terbuka di lokal Kota Ternate, walaupun masih terdapat kendala berupa jumlah penduduk Kota Ternate yang sedikit dan kegiatan perekonomian yang masih dalam tahap perkembangan. Kendala lainnya untuk mengembangkan akses pasar yang lebih luas, berdasarkan informasi dan observasi di wilayah penelitian, adalah terbatasnya biaya (modal) dan prasarana angkutan. Hal ini karena Kota Ternate sebagai ibukota provinsi berada pada Pulau Ternate. Komunikasi antar wilayah kabupaten dan luar propinsi terbatas melalui angkutan laut dan atau udara. Kondisi geografi dan keterbatasan moda angkutan yang tersedia menyebabkan biaya transportasi, dalam hal ini biaya pengiriman/distribusi produk menjadi mahal.

Kendala lain adalah terbatasnya modal usaha dan teknologi proses yang masih manual. Walaupun “kecap” UP2KS Sari Laha ini mempunyai karakteristik produk (rasa dan aroma) yang spesifik, akan tetapi pemasaran produk ini masih dihadapkan dengan produk pesaing yaitu kecap manis berbahan baku kedele.

Meskipun ”kecap manis” produksi UP2KS Sari Laha mempunyai rasa dan aroma yang khas karena diproses dengan menggunakan bahan baku ikan, akan tetapi dari segi harga produk kalah bersaing dengan kecap manis buatan pabrik yang banyak tersedia di pasar/toko yang harganya lebih murah . Harga jual rata-rata ”kecap manis” UP2KS Sari Laha adalah Rp. 22.500 per botol sedangkan harga kecap manis berbahan baku kedele di pasar/toko berkisar antara Rp. 17.500– Rp. 19.000 per botol. Untuk meningkatkan daya saing produk, produsen kecap ini harus melakukan efisiensi produksi sehingga dapat menurunkan harga jualnya, serta meningkatkan kualitas dari segi kemasan. Di samping itu, daya saing dapat ditingkatkan dengan meningkatkan upaya pemasaran berupa ”door to door” dan promosi berupa ” dari mulut ke mulut”. Sebagaimana halnya dengan produk pangan yang lain, maka konsistensi mutu dari segi rasa dan aroma perlu dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan selera konsumen.

(28)

BAB IV

ASPEK TEKNIS PRODUKSI

4.1. Lokasi Usaha

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, usaha pengolahan kecap ikan berlokasi di sentra produksi perikanan laut (perikanan tangkap). Lokasi tempat produksi kecap ikan sebaiknya dilakukan pada lokasi sumber bahan baku, hal ini karena sifat dari bahan baku ikan yang mudah rusak. Pada kasus di wilayah penelitian, bahan baku ikan diperoleh di pasar tradisional yang berlokasi dekat dengan Tempat Pelelangan Ikan. Pasar tradisional tersebut merupakan tempat penjualan ikan langsung dari nelayan setempat atau dari luar wilayah Kota Ternate.

Selain berada di lokasi bahan baku, lokasi usaha atau tempat usaha untuk pengolahan kecap ikan seyogyanya berada di lokasi atau tempat yang mudah untuk memperoleh air bersih, karena dalam proses pengolahan kecap ikan terdapat tahap pencucian/pembersihan ikan. Di lokasi usaha juga harus terdapat tempat penampungan sampah/limbah proses produksi, untuk diolah agar tidak mengganggu lingkungan.

4.2. Fasilitas Produksi dan Peralatan

Fasilitas produksi dan peralatan yang dibutuhkan untuk usaha pengolahan kecap ikan ditentukan oleh teknologi proses yang digunakan serta skala usaha atau kapasitas produksi. Seperti telah dikemukakan, pembuatan kecap ikan pada dasarnya termasuk dalam kelompok proses fermentasi daging ikan. ”Kecap” yang diproduksi pada kasus di wilayah penelitian tidak melalui proses fermentasi, sehingga kebutuhan alat peralatan produksinya berbeda. Walaupun demikian terdapat mesin dan peralatan yang sama. Alat peralatan yang dibutuhkan untuk pengolahan kecap ikan adalah sebagai berikut:

(29)

• Pisau atau alat pencincang ikan;

• Baskom atau bak untuk pencucian dan penirisan ikan; • Wajan untuk pemasakan;

• Tungku atau kompor;

• Saringan atau alat penyaring; • Mesin penghancur atau blender;

• Alat atau mesin pengisi dan penutup botol; dan

• Bak atau tong untuk proses fermentasi* (diperlukan pada pembuatan kecap ikan dengan proses fermentasi)

Berdasarkan ketentuan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang kecap ikan, terkait dengan persyaratan peralatan pengolahan kecap ikan, maka semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam penanganan harus tidak mengelupas, tidak berkarat, tidak merupakan sumber cemaran jasad renik, tidak retak dan mudah dibersihkan. Semua peralatan dalam keadaan bersih, sebelum, selama dan sesudah digunakan. Selain itu persyaratan mutu kecap ikan antara lain adalah bebas dari cemaran logam berat serta bakteri dan kapang yang membahayakan kesehatan.

4.3. Bahan Baku

Bahan baku utama yang digunakan adalah ikan, gula aren dan bumbu. Pada dasarnya semua jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku, akan tetapi pada pengolahan kecap secara tradisional yang dilakukan oleh para nelayan, ikan yang digunakan adalah jenis yang mempunyai nilai ekonomi rendah, seperti ikan-ikan kecil dan bahkan ada yang memanfaatkan insang dan isi perut ikan. Walaupun demikian, pada skala industri, pengusaha pengolahan kecap ikan umumnya menggunakan jenis ikan tertentu, seperti ikan kembung. Salah satu syarat yang menentukan mutu ikan, selain jenis ikan adalah kesegaran bahan baku ikan yang digunakan. Kesegaran ikan dapat dinilai dari tampilan ikan antara lain

(30)

Industri Kecap Ikan daging kenyal, mata jernih menonjol, sisik kuat dan mengkilat, sirip kuat, warna keseluruhan termasuk kulit cemerlang, insang berwarna merah, dinding perut kuat, dan bau ikan segar.

Untuk kasus kecap ikan yang diproduksi UP2KS Sari Laha, jenis ikan yang digunakan adalah ikan tude. Menurut pelaku usaha, jenis ikan yang digunakan selalu sama. Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa apabila jenis ikan diganti maka akan mengubah rasa. Selain itu, ikan tude ini dianggap “netral” dalam pengertian tidak menimbulkan resiko alergi bagi konsumen.

4.4. Tenaga Kerja

Untuk kasus usaha kecap di lokasi penelitian, usaha pengolahan kecap yang dilakukan UP2KS Sari Laha menggunakan tenaga kerja sebanyak 10 orang, yang dalam hal ini adalah para ibu-ibu yang berstatus sebagai anggota kelompok UP2KS. Pembagian kerja meliputi bagian produksi 5 orang, pemasaran 2 orang, keuangan (bendahara) 1 orang dan pembukuan (sekretaris) 1 orang.

Mengingat tenaga kerja merupakan anggota kelompok, maka bersifat tetap. Adapun sistem penggajian/imbalan adalah bagi hasil (keuntungan) secara proporsional yang disesuaikan dengan beban tugas. Tidak diperlukan persyaratan keterampilan khusus dari tenaga kerja yang digunakan, karena proses produksi bersifat manual dan sederhana.

4.5. Teknologi

Pembuatan kecap ikan pada prinsipnya adalah menggunakan teknologi fermentasi dengan penambahan garam, sehingga terjadi reaksi enzimatis yang berlangsung secara perlahan, dan ekstraksi protein serta senyawa lain pada kondisi aerobik. Dalam proses pengolahan tersebut, garam mempunyai fungsi sebagai bahan pengekstrak air dan protein ikan, pemberi rasa, sebagai pengawet, serta penyeleksi mikroba yang tumbuh. Selama penggaraman, protein, lemak,

(31)

dan karbohidrat diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh enzim yang terdapat dalam ikan. Segera setelah terjadi penarikan air, protein dalam jaringan ikan akan terlepas dan larut ke dalam cairan garam. Cairan inilah yang disebut sebagai kecap ikan setelah dimasak atau diberi bumbu. Dalam proses fermentasi secara tradisional, untuk mendapatkan rasa dan aroma yang enak, dibutuhkan waktu sampai berbulan-bulan. Rasa enak dicapai apabila hampir semua senyawa nitrogen terlarut dalam bentuk asam amino bebas. Pembentukan asam amino bebas dalam cairan kecap sangat dipengaruhi waktu fermentasi.

Pembentukan aroma berhubungan erat dengan senyawa-senyawa asam amino bebas yang terdapat pada akhir fermentasi. Asam amino bebas akan mengalami oksidasi dan terbentuklah asam lemak bebas. Pada permulaan tahap fermentasi, kecap ikan berwarna kuning muda, kemudian berubah menjadi coklat. Perubahan warna ini disebabkan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis. Intensitas warna yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh suhu, oksigen, jenis asam amino dan gula reduksi yang terdapat dalam cairan ikan serta oleh sinar matahari.

Secara umum proses pengolahan kecap ikan adalah dengan menggarami ikan yang telah dihaluskan, kemudian disimpan dalam wadah yang tertutup rapat selama 3 sampai beberapa bulan. Selanjutnya cairan yang dihasilkan disaring untuk mendapatkan kecap ikan bebas ampas, lalu dikemas dalam botol steril dan dipasteurisasi.

Pembuatan kecap ikan secara tradisional dilakukan melalui proses fermentasi dengan penggaraman yang memerlukan waktu 3 – 6 bulan. Untuk mempersingkat waktu proses tersebut, dapat juga dilakukan dengan penambahan enzim proteolitik yang dalam hal ini adalah papain dan bromelin. Enzim papain dapat diperoleh dengan mengekstrak getah papaya dan bromelin diperoleh dari ekstraksi buah nenas. Peran enzim tersebut adalah menghidrolisis protein. Namun demikian, penggunaan enzim dalam proses pembuatan kecap tidak mendukung pembentukan rasa dan aroma, sehingga harus ditambahkan bumbu-bumbu pembentuk rasa dan aroma.

(32)

Industri Kecap Ikan Selama proses fermentasi terjadi hidrolisis jaringan ikan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Peran enzim-enzim ini adalah sebagai pemecah ikatan polipeptida-polipeptida menjadi ikatan yang lebih sederhana. Mikroorganisme yang berkembang selama fermentasi ikan tidak diketahui sepenuhnya. Walaupun demikian diperkirakan jenis-jenis bakteri asam laktat seperti Laucosotic mesenterides, Pediococccus cerevisiae dan Lactobacillus plantarum akan berkembang. Beberapa jenis khamir juga diperkirakan ikut berkembang dalam fermentasi.

Penelitian ini dilakukan di Kota Ternate, yang dalam hal ini proses pembuatan “kecap ikan” tidak melalui proses fermentasi ikan, akan tetapi melalui perebusan ikan sampai hancur.

4.6. Proses Produksi 4.6.1. Cara Fermentasi

Proses pembuatan kecap ikan dengan cara fermentasi terdiri dari tahapan sebagai berikut.

1) Proses Persiapan

a. Ikan yang berukuran sedang atau besar disiangi, dibuang jeroan dan insang, dicuci, kemudian dibelah dan dipotong-potong menjadi ukuran kecil (3-4 cm);

b. Apabila ikan yang digunakan berukuran kecil, ikan cukup dicuci dan ditiriskan.

2) Proses fermentasi

a. Pada wadah atau bak fermentasi dasarnya ditaburi garam yang telah ditumbuk halus setinggi 0,25 cm, kemudian ikan atau potongan ikan disusun berupa secara berlapis. Pada setiap lapisan ditaburi garam setingi 0,25 cm, demikian seterusnya sampai penuh. Jumlah garam yang digunakan sekitar 20-30% dari berat ikan yang diolah;

(33)

b. Wadah ditutup dan diberi pemberat, kemudian disimpan (difermentasi) selama 3-6 bulan;

c. Setelah 3-6 bulan akan terbentuk cairan, dan cairan ini ditampung kemudian disaring.

3) Pembumbuan dan Pemasakan Kecap

a. Cairan hasil penyaringan ditambahkan air. Setiap 1 liter cairan kecap ditambah 0,5 liter air;

b. Cairan direbus sampai mendidih, dan setelah mendidih api dikecilkan;

c. Apabila diperlukan maka ditambahkan bumbu. Bumbu yang telah disiapkan dimasukkan kedalam cairan mendidih dan kemudian diaduk terus menerus selama 15 menit;

d. Dalam keadaan masih panas, cairan kecap disaring, dan ditampung dalam wadah.

4) Pembotolan

Cairan kecap yang sudah disaring, dalam keadaan panas dimasukkan ke dalam botol, ditutup rapat dan diberi label.

Diagram proses pembuatan kecap ikan dengan cara fermentasi disajikan pada Gambar 4.1.

(34)

Industri Kecap Ikan

Penyiangan, pemotongan, dan pencucian

Penyusunan ikan dalam wadah, secara berlapis, dan antar lapisan ikan ditaburi

garam (20-30% bobot) Fermentasi (selama 3-6 bln) Penampungan dan penyaringan cairan hasil

fermentasi (hidrolisat) Pemasakan dan penambahan

bumbu (kondisi mendidih) diaduk selama 15 menit Penyaringan cairan kecap

Pembotolan

Penyiangan, pemotongan, dan pencucian

(35)

4.6.2. Secara Enzimatis

Pembuatan kecap ikan secara enzimatis dikembangkan dalam rangka mempercepat proses fermentasi. Enzim yang digunakan berasal dari ekstrak buah nenas. Diagram proses pembuatan secara enzimatis, disajikan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Diagram Proses Pembuatan Kecap Ikan Secara Enzimatis

Penyiangan, pemotongan, dan pencucian

Pencampuran dengan hancuran nenas/ papaya (Ikan: buah = 2:1)

Penampungan dan penyaringan cairan hasil fermentasi (hidrolisat)

Penyusunan ikan dalam wadah, secara berlapis, dan antar lapisan ikan ditaburi garam (20-30% bobot)

Pemasakan dan penambahan bumbu (kondisi mendidih) diaduk selama 15 menit Inkubasi selama 6 hari, pada suhu 50º C

Pembotolan Penyaringan cairan kecap

(36)

Industri Kecap Ikan 4.6.3. Proses Pemasakan Ikan

Proses pembuatan ”kecap ikan” dengan cara pemasakan ikan seperti yang dilakukan oleh pelaku usaha di wilayah penelitian. Tahapan proses produksi mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut.

1) Bahan baku ikan tude dibersihkan;

2) Pembersihan dan pemotongan bahan bumbu-bumbu, untuk 10 kg bahan ikan terdiri dari:

a. 5 kg Lengkuas; b. 3 kg Serei;

c. 30 butir Jeruk nipis; d. 1,5kg kunyit.

3) Bahan bumbu kemudian dihancurkan dan kemudian disaring;

4) Ikan tude dan bumbu yang sudah disaring dimasak bersama-sama, sambil diaduk sampai daging ikan hancur;

5) Perebusan gula aren dalam wajan (50 kg) sampai mencair;

6) Cairan ikan dan bumbu yang sudah hancur kemudian disaring dan diperas. Hasil saringan (kaldu ikan) kemudian dimasukkan dalam larutan gula aren;

7) Pencampuran cairan campuran kaldu ikan kedalam larutan gula aren; 8) Pemasakan campuran cairan kaldu ikan dan larutan gula aren, dididihkan

sambil terus di aduk sampai tingkat kekentalan yang dikehendaki; 9) Cairan kental “kecap ikan” kemudian didinginkan;

10) Setelah dingin, kemudian dimasukkan dalam kemasan botol, ditutup, disegel dan kemudian diberi label.

(37)

Foto 4.1.

Persiapan Bumbu-Bumbu

Foto 4.2.

Persiapan Bumbu yang Sudah Dipotong dan Ikan

Foto 4.3.

Penyaringan Bumbu yang Sudah Dihancurkan.

Foto 4.4.

(38)

Industri Kecap Ikan

Foto 4.5.

Pemasakan Ikan dan Bumbu

Foto 4.6.

Pemasakan Ikan dan Bumbu Serta Pemasakan Gula Aren

Foto 4.7.

Pemerasan dan Penyaringan Cairan Hancuran Daging Ikan dan Bumbu.

Foto 4.8.

Pemasukan Kaldu Ikan/Bumbu Ke Dalam Larutan Gula Aren.

(39)

Foto 4.9.

Persiapan Pemasakan

Campuran Kaldu Ikan/Bumbu Dalam Larutan Gula Aren.

Foto 4.10. Pembotolan Kecap Foto 4.11. Penutupan Botol. Foto 4.12. Pelabelan.

(40)

Industri Kecap Ikan

Foto 4.13.

Penempelan “seal”.

Foto 4.14.

Produk Kecap Siap Dipasarkan.

4.7. Jumlah, Jenis dan Mutu Produksi

Pada daerah kasus penelitian ini, jumlah “kecap” yang mampu diproduksi oleh UP2KS Sari Laha tergantung kepada jumlah pesanan atau permintaan, serta kemampuan modal pengusaha yang hanya memiliki kemampuan berproduksi rata-rata per bulan sebanyak 400 – 500 botol ukuran 630 ml. Berdasarkan informasi pelaku usaha, pada bulan puasa dan menjelang lebaran pernah mencapai produksi sebesar 1.000 botol per bulan.

(41)

UP2KS hanya memproduksi 1 jenis mutu, yang membedakan hanya kemasannya, yaitu kemasan botol @ 630 ml dan kemasan botol @ 340 ml. Mutu “kecap” yang dihasilkan lebih ditentukan secara organoleptik, yaitu rasa dan aroma. Walaupun belum mempunyai sertifikat mutu, produk “kecap” UP2KS Sari Laha sudah terdaftar pada Departemen Kesehatan RI dengan nomor registrasi 11182.710122.

4.8. Produksi Optimum

Tingkat produksi “kecap” UP2KS Sari Laha ditentukan oleh ketersediaan fasilitas produksi dan jumlah tenaga kerja. Proses pengolahan “kecap” UP2KS bersifat manual, dengan alat bantu produksi yang bersifat mekanis yang terbatas hanya pada proses penghancuran bumbu. Dari segi waktu yang dibutuhkan dalam rangkaian proses produksi, pembatas jumlah produksi yang dapat dihasilkan dengan peralatan yang tersedia adalah pada tahap penyaringan larutan kaldu ikan/bumbu yang sudah dimasak serta pemasakan larutan kaldu ikan/bumbu dan larutan gula aren. Proses pemasakan campuran bumbu dan ikan, penyaringan cairan kaldu ikan/bumbu, dan pemasakan larutan kaldu ikan/bumbu dan larutan gula aren, membutuhkan waktu sekitar 5 – 7 jam.

Peningkatan produksi “kecap” UP2KS Sari Laha sehingga mencapai produksi optimum dapat dilakukan dengan memperbesar kapasitas mesin penghancur bumbu, kapasitas sarana pemasakan (tungku dan wadah pemasakan), penggunaan peralatan mekanis untuk pemerasan serta penyaringan larutan campuran kaldu ikan dan bumbu.

4.9. Kendala Produksi

Faktor kritis dalam proses produksi “kecap” UP2KS Sari Laha adalah menjaga mutu, dalam hal ini adalah rasa dan aroma serta kekentalan larutan “kecap” yang dihasilkan. Tingkat mutu tersebut sangat ditentukan oleh bumbu yang

(42)

Industri Kecap Ikan digunakan, kualitas ikan, dan proses pemasakan (lama dan suhu). Karakteristik proses pembuatan “kecap” UP2KS Sari Laha didominasi proses pemasakan yang mengurangi resiko kontaminasi bakteri/jasad renik yang membahayakan kesehatan. Resiko dari aspek keamanan pangan adalah dalam proses pembotolan dan tingkat sterilisasi botol (kemasan) yang digunakan.

Untuk menjaga konsistensi mutu kecap, maka pengusaha seyogyanya mempunyai prosedur pengolahan baku yang tertulis, khususnya mengenai komposisi bahan yang digunakan, lama dan suhu pemasakan. Resiko kontaminasi mikroba dari kemasan botol yang digunakan dapat diatasi dengan sterilisasi botol yang akan digunakan. Secara sederhana sterilisasi dapat dilakukan dengan cara merebus botol.

Dari sisi produktivitas, tingkat produksi terkendala pada penggunaan peralatan sederhana dan manual. Pada tahap penyaringan dan pengepressan terjadi “loss” karena masih banyak kaldu/cairan bumbu dan ikan yang masih tersisa pada ampas saringan, serta membutuhkan waktu yang lama. Untuk mempersingkat waktu penyaringan dan mengurangi “loss” dapat diatasi dengan menggunakan alat pengepress (secara manual atau mekanis) yang dilengkapi dengan kasa/kain saringan dengan ukuran (mesh) yang tepat.

(43)
(44)

BAB V

ASPEK KEUANGAN

Analisis aspek keuangan diperlukan untuk mengetahui kelayakan usaha dari sisi keuangan, terutama kemampuan pengusaha untuk mengembalikan kredit yang diperoleh dari bank. Analisis keuangan ini juga dapat dimanfaatkan pengusaha dalam perencanaan dan pengelolaan usaha pengolahan kecap ikan. Yang dimaksud dengan kecap ikan disini adalah sesuai dengan kondisi yang terjadi di wilayah penelitian di Kota Ternate, yaitu proses pengolahan “kecap” melalui pemasakan ikan dan bumbu di dalam cairan gula aren

5.1. Pemilihan Pola Usaha

Pola usaha yang dipilih adalah usaha pengolahan kecap ikan dengan skala kecil, dengan teknologi “pemasakan ikan” dan bukan melalui proses fermentasi ikan. Teknologi peralatan yang digunakan adalah teknologi sederhana, dan bersifat manual (non-mekanis) kecuali pada alat penghancur bumbu dengan tenaga penggerak listrik (mesin penghancur/blender). Pasokan bahan baku diperoleh dengan cara membeli jenis ikan tude dari para pedagang ikan secara langsung dan tunai. Metode pembelian bahan baku secara langsung dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kualitas bahan baku ikan yang baik dan segar. Dengan mengutamakan daerah pemasaran secara lokal dan memperhatikan produk saingan yakni kecap manis berbahan baku kedele, maka kapasitas produksi usaha ini adalah sebesar 1.680 botol per bulan. Jumlah produksi ini adalah sekitar 49% dari jumlah konsumsi kecap penduduk Kota Ternate, yang berdasarkan data Survei Biaya Hidup (BPS) konsumsi kecap per kapita adalah 0,22 botol atau 3.350 botol per bulan. Mempertimbangkan kapasitas produksi dan lama proses pembuatan kecap, maka usaha ini hanya beroperasi selama 14 hari dalam sebulan atau berproduksi setiap 2 hari sekali.

(45)

5.2. Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan

Analisis kelayakan menggunakan asumsi mengenai parameter teknologi proses dan biaya, sebagaimana terangkum dalam Tabel 5.1. Asumsi ini diperoleh berdasarkan kajian terhadap usaha pengolahan kecap ikan di Kota Ternate Provinsi Maluku Utara serta informasi yang diperoleh dari pengusaha dan pustaka.

Tabel 5.1. Asumsi untuk Analisis Keuangan

No Asumsi Satuan Nilai/Jumlah

1 Periode proyek tahun 3

2 Bulan kerja tahun bulan 12

3 Hari kerja dalam sebulan hari 14

4 Output, Produksi dan Harga:

a. Rata-rata Produksi kecap per tahun Botol 20.160 b. Rata-rata Produksi kecap per bulan Botol 1.680

c. Rata-rata Produksi kecap per hari Botol 120

d. Rata-rata Harga penjualan kecap/botol Rp 21.000

e. Lama menunggu pendapatan bulan 2

f. Hasil kecap per kg ikan Botol 8

g. Kebutuhan ikan/botol kecap kg ikan 0,13

h. Rendemen hasil % 12,5

4 Rata-rata kebutuhan Tenaga kerja per bulan*) : orang 5 5 Penggunaan input dan harga*):

a. Rata-rata kebutuhan bahan baku ikan per

(46)

Industri Kecap Ikan

No Asumsi Satuan Nilai/Jumlah

b. Rata-rata harga pembelian bahan baku ikan

per tahun Rp/kg 10.000

6 Suku Bunga per Tahun % 14

7 Proporsi Modal :

a. Kredit % 40

b. Modal Sendiri % 60

8 Jangka waktu Kredit Investasi tahun 3

Jangka Waktu kredit Modal Kerja tahun 1

Usaha ini diasumsikan dilaksanakan oleh kelompok dengan jumlah produksi kecap ikan per hari sebanyak 120 botol ukuran 630 ml. Dengan asumsi rata-rata 14 hari kerja per bulan atau rata-rata berproduksi 2 (dua) hari sekali, kapasitas produksi dalam 1 (satu) tahun adalah 20.160 botol. Asumsi berproduksi 2 hari sekali di ambil karena proses pembuatan kecap sejak persiapan, pemasakan, pendinginan dan pembotolan adalah sekitar 5 - 7 jam. Kebutuhan bahan baku ikan per hari adalah 15 kg atau dalam satu tahun dibutuhkan sebesar 2.520 kg. Penentuan usia proyek selama 3 tahun didasarkan atas umur ekonomis peralatan yang digunakan maksimum 3 tahun.

5.3. Komponen dan Struktur Biaya

Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha pengolahan kecap ikan dibedakan menjadi dua yaitu biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana awal kegiatan produksi yang meliputi peralatan produksi. Biaya operasional adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi.

(47)

5.3.1. Biaya Investasi

Biaya investasi yang dibutuhkan pada tahap awal proses produksi kecap ikan digunakan untuk penyediaan peralatan produksi dan peralatan lainnya serta bangunan sebesar Rp 119.270.000. Komponen terbesar adalah lahan dan bangunan (90,13%) sedangkan peralatan produksi dan pengemasan hanya 9,87% yang terdiri dari mesin blender, tungku pemasakan, wadah perebusan, timbangan, ember dan alat kemasan serta peralatan lainnya (Tabel 5.2). Dengan kegiatan usaha skala kecil/rumah tangga, maka kebutuhan lahan tempat usaha seluas 70 m2 dengan areal bangunan tempat produksi seluas 100 m2. Selengkapnya

(48)

Industri Kecap Ikan No Komponen Biaya Satuan Jumlah Harga/ Satuan (Rp) Jumlah Biaya (Rp) Umur Ekonomis (tahun) Nilai Penyusutan (Rp/tahun) 1 Alat Pr

oduksi dan Pengemas

a.Tungku pemasakan unit 2 500.000 1.000.000 3 333.333 b. Wajan perebusan unit 8 250.000 2.000.000 1 2.000.000 c. Baskom/ember unit 10 100.000 1.000.000 1 1.000.000 d. Timbangan unit 1 150.000 150.000 3 50.000

e. Pengepress & penyaring

unit 1 1.500.000 1.500.000 3 500.000 f. Mesin Blender unit 1 2.000.000 2.000.000 2 1.000.000

g. Alat penutup botol

unit 1 750.000 750.000 2 375.000

h. Alat pencucian botol

unit 1 1.000.000 1.000.000 2 500.000 i. Pisau unit 10 25.000 250.000 2 125.000 j. Kompor unit 4 500.000 2.000.000 2 1.000.000 k. Pengaduk unit 8 15.000 120.000 1 120.000 2

Lahan dan Bangunan Bangunan Produksi

m2 70 1.250.000 87.500.000 10 8.750.000 Lahan m2 100 200.000 20.000.000 Jumlah 119.270.000 15.753.333

(49)

5.3.2. Biaya Operasional

Biaya operasional dalam usaha pengolahan kecap ikan meliputi biaya variabel dan biaya tetap. Total biaya operasional rata-rata per bulan adalah Rp. 25.043.867 atau dalam satu tahun sebesar Rp 300.526.404 dengan asumsi bahwa sejak bulan pertama usaha ini sudah dapat beroperasi secara penuh dengan kapasitas 100%. Biaya operasional per tahun terdiri dari biaya variabel Rp 255.526.404 dan biaya tetap Rp 45.000.000. Sebesar 87,11% dari biaya variabel adalah biaya bahan, dan yang terbesar adalah bahan gula aren (61,64%), bumbu (15,61% dan ikan (Selengkapnya rincian kebutuhan biaya tetap dan biaya variabel ditampilkan pada Lampiran 3 dan 4.

Tabel 5.3. Komposisi Biaya Operasional (Rp).

No Komponen Biaya Rata2 Perbulan Pertahun

1 Biaya Tetap 3.750.000 45.000.000

2 Biaya Variabel 21.293.867 255.526.404

3 Jumlah Biaya Operasional 25.043.867 300.526.404 5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja

Total kebutuhan biaya awal proyek untuk investasi adalah sebesar Rp. 119.270.000, dan sebesar Rp 47.708.000 diantaranya (40%) berasal dari kredit bank, dengan jangka waktu pinjaman selama 3 tahun dan suku bunga 14% pertahun. Kebutuhan modal kerja dihitung berdasarkan kebutuhan produksi selama 2 bulan dimana biaya operasional per bulan adalah Rp. 25.043.867 kerja atau sebesar Rp. 50.087.734. Penetapan jangka waktu tersebut didasarkan atas perhitungan waktu proses pengolahan kecap sampai dengan produk sudah terjual. Sebesar 40% atau Rp. 20.035.094 dari kebutuhan kebutuhan modal kerja

(50)

Industri Kecap Ikan tersebut direncanakan dari kredit, dengan masa pengembalian pinjaman selama setahun dan bunga 14%. Perincian kebutuhan proyek dan sumber pembiayaan dapat dilihat pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4. Komponen dan Struktur Kebutuhan Biaya Proyek

No Komponen Biaya Proyek Persentase Total Biaya (Rp)

1 Biaya Investasi 119.270.000

a. Kredit 40 % 47.708.000

b. Modal Sendiri 60 % 71.562.000

2 Biaya Modal Kerja 50.087.734

a. Kredit 40 % 20.035.094

b. Modal Sendiri 60 % 30.052.640

3 Total Biaya Proyek 169.357.734

a. Kredit 40 % 67.743.094

b. Modal Sendiri 60 % 101.614.640

Kewajiban pengusaha dalam melakukan angsuran pokok dan angsuran bunga dilakukan setiap bulan selama jangka waktu kredit. Perhitungan jumlah angsuran kredit selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 6 dan 7.

5.5. Produksi dan Pendapatan

Berdasarkan kapasitas yang ada, produksi dari usaha pengolahan kecap ikan per bulan rata-rata sebanyak 1.680 botol kecap per bulan. Usaha ini diproyeksikan untuk dapat berproduksi sepanjang tahun (12 bulan) dengan jumlah produksi sebanyak 20.160 botol per tahun. Dengan rata-rata harga jual kecap ikan per bulan sebesar Rp 21.000 per botol, maka untuk satu bulan produksi diproyeksikan untuk

(51)

memperoleh pendapatan sebesar Rp 35.280.000 atau sebesar Rp. 423.360.000 per tahun. Proyeksi produksi dan pendapatan usaha serta harga penjualan ditampilkan pada Tabel 5.5 dan Lampiran 5.

Tabel 5.5. Proyeksi Produksi dan Pendapatan

Produk Jumlah/tahun

Jumlah Produk (botol) 20.160

Harga/botol (Rp) 21.000

Jumlah (Rp) 423.360.000

5.6. Proyeksi Laba Rugi Usaha dan Break Even Point

Hasil proyeksi laba rugi usaha menunjukkan usaha pengolahan kecap ikan telah menghasilkan laba (setelah pajak) pada rata-rata per tahun sebesar Rp. 84.398.663 dengan nilai profit on sales rata-rata per bulan 19,94% (Tabel 5.6 dan Lampiran 8).

Tabel 5.6. Proyeksi Pendapatan dan Laba Rugi Usaha

No Uraian Rata-rata per tahun

1 Penerimaan (Rp) 423.360,000

2 Pengeluaran (Rp) 324.067.455

3 Laba/Rugi Sebelum Pajak (Rp) 99.292.545

4 Pajak (15%) (Rp) 14.893.882

5 Laba Setelah Pajak (Rp) 84.398.663

6 Profit on Sales (%) 19,94%

7 BEP: Rupiah 172.894.701

(52)

Industri Kecap Ikan Dengan membandingkan pengeluaran untuk biaya tetap terhadap biaya variabel dan total penerimaan, maka BEP usaha ini terjadi pada penjualan senilai rata-rata Rp. 172.894.701 atau 40,8% dari kemampuan produksi per bulan. Selengkapnya proyeksi rugi laba usaha ditampilkan pada Lampiran 8.

5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek

Aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk diperoleh dari penjualan kecap ikan selama satu tahun. Untuk arus keluar meliputi biaya investasi, biaya variabel, dan biaya tetap, termasuk angsuran pokok, angsuran bunga.dan pajak penghasilan.

Evaluasi profitabilitas rencana usaha kecap ikan skala kecil dilakukan dengan menilai kriteria kelayakan usaha yaitu NPV, dan Net B/C Ratio (Net Benefit-Cost Ratio). Usaha pengolahan kecap ikan dengan menggunakan asumsi yang ada menghasilkan NPV sebesar Rp. 75.478.206 dengan IRR 45,34% dan Net B/C Ratio 1,63 kali. Berdasarkan kriteria dan asumsi yang ada menunjukkan bahwa usaha pengolahan kecap ikan ini layak untuk dilaksanakan dengan Pay Back Period (PBP) selama 1,87 tahun atau modal yang ditanamkan pada usaha ini telah dapat dikembalikan sebelum umur proyek berakhir (3 tahun). Proyeksi arus kas untuk kelayakan usaha pengolahan kecap ikan selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 9.

Tabel 5.7. Kelayakan Usaha Pengolahan Kecap Ikan

No Kriteria Nilai Justifikasi Kelayakan

1 NVP (14%) Rp 75.478.206 > 0

2. IRR 45,34% >14 %

3 Net B/C Ratio 1,63 > 1,00

(53)

5.8. Analisis Sensitivitas

(a) Kenaikan Biaya Variabel

Hasil analisis sensitivitas akibat kenaikan biaya variabel menunjukkan bahwa batas kelayakan usaha ini adalah kenaikan biaya variabel maksimum sebesar 12%. Apabila kenaikan biaya variabel di atas 12% maka usaha ini sudah tidak layak lagi. Pada kondisi kenaikan biaya variabel sebesar 7%, NPV Rp. 4.289.612, dan Net B/C 1,04 kali, dengan masa pengembalian modal selama 2,91 tahun. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.8 dan Lampiran 10.

Tabel 5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha : Skenario Kenaikan Biaya Variabel Sebesar 12%

Kriteria Nilai Justifikasi Kelayakan

NPV (14%) Rp 4.289.612 > 0

IRR 15,85% > 14%

Net B/C 1,04 >1,00

PBP 2,91 tahun < 3 tahun

Hasil analisis sensitivitas akibat kenaikan biaya variabel sebesar 13% dengan pendapatan tetap menyebabkan usaha ini sudah tidak layak, dengan NPV (negatif) Rp. 1.642.771. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.9 dan Lampiran 11.

(54)

Industri Kecap Ikan

Tabel 5.9. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha : Skenario Kenaikan Biaya Variabel Sebesar 13%

Kriteria Nilai Justifikasi Kelayakan

NPV (14%) (-) Rp 1.642.771 < 0

IRR 13,29% < 14 %

Net B/C 0,99 >1,00

PBP > 3 tahun < 3 tahun

(b) Penurunan Pendapatan

Hasil analisis sensitivitas sebagai akibat penurunan pendapatan atau penurunan harga jual produk sebesar 7% dengan biaya variabel tetap mengakibatkan usaha ini masih layak, dengan NPV Rp. 6.676.177 dan Net B/C 1,06 kali. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.10 dan Lampiran 12.

Tabel 5.10. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha Skenario Penurunan Pendapatan Sebesar 7%

Kriteria Nilai Justifikasi Kelayakan

NPV (14%) Rp 6.676.177 > 0

IRR 16,88% >14%

Net B/C 1,06 > 1,00

PBP 2,86 tahun < 3 tahun

Hasil analisis sensitivitas sebagai akibat penurunan pendapatan atau penurunan harga jual produk sebesar 8% dengan biaya variabel tetap mengakibatkan usaha

(55)

ini menjadi tidak layak, dengan NPV (negatif) Rp. 3.152.685 dan IRR < 14%. Dengan kata lain jika terjadi penurunan harga jual produk atau penerimaan sebesar kurang dari 8%, usaha ini masih tetap layak. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.11 dan Lampiran 13.

Tabel 5.11. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha : Skenario Penurunan Pendapatan Sebesar 8%

Kriteria Nilai Justifikasi Kelayakan

NPV (14%) (-) Rp 3.152.685 < 0

IRR 12,63% < 14%

Net B/C 0,97 >1,00

PBP > 3 tahun < 3 tahun

Berdasarkan analisa sensitivitas tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha kecap ikan relatif sensitif terhadap penurunan harga jual produk dibandingkan dibandingkan dengan kenaikan biaya variabel, terutama kenaikan harga bahan baku ikan dan gula aren.

(c) Sensitivitas Kombinasi

Hasil analisis sensitivitas kombinasi berupa kenaikan biaya variabel dan diringi dengan penurunan pendapatan mengakibatkan usaha ini dianggap tidak layak apabila terjadi kenaikan biaya variabel lebih dan penurunan pendapatan masing-masing sebesar lebih dari 5%. Pada kondisi dimana biaya variabel naik 5% dan pendapatan turun 5%, maka usaha ini masih dinilai layak dengan NPV Rp. 3.122.553, Net B/C 1,03 kali dan PBP 2,93 tahun. Namun jika biaya variabel naik 6% dan pendapatan turun sebesar 6%, ternyata menyebabkan usaha menjadi tidak layak dengan NPV negatif dan PBP lebih dari 3 tahun. Hasil analisis sensitivitas

(56)

Industri Kecap Ikan kombinasi dapat dilihat pada Tabel 5.12 dan Lampiran 14 dan 15.

Tabel 5.12. Analisis Sensitivitas Kombinasi

No Kriteria Biaya Variabel Naik 5% dan Pendapatan Turun 5% Biaya Variabel Naik 6% dan Pendapatan Turun 6% 1. NPV (Rp) Rp 3.122.553 (-) Rp 12.638.691 2. IRR 15,33% 8,56% 3. Net B/C Ratio 1,03 0,89

(57)
(58)

BAB VI

ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN

DAMPAK LINGKUNGAN

6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial

Kota Ternate di Provinsi Maluku Utara, seperti halnya kabupaten lainnya di provinsi ini, merupakan daerah dengan potensi sumber daya perikanan laut yang besar, disamping komoditi rempah. Masyarakat di wilayah ini adalah pengkonsumsi ikan, akan tetapi potensi produksi melebihi tingkat konsumsi, sehingga usaha-usaha untuk memanfaatkan kelebihan potensi produksi perlu dikembangkan. Usaha pengolahan ikan secara tradisional masih terbatas pada pengasapan dan penggaraman ikan. Usaha meningkatkan nilai tambah melalui proses pengolahan, yaitu pembuatan kecap ikan selain dapat meningkatkan pendapatan juga berpotensi untuk memperluas lapangan kerja. Satu unit usaha pengolahan kecap ikan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 5 orang, dengan upah Rp. 50.000 per hari, atau sekitar Rp. 1.250.000 per orang per bulan.

Dampak lain dari keberadaan atau pengembangan usaha pengolahan kecap ikan adalah kemudahan dan perluasan pasar bagi nelayan yang umumnya adalah nelayan kecil. Kemudahan dan perluasan pasar hasil tangkapan memberikan dampak bagi peningkatan pendapatan nelayan kecil.

6.2. Aspek Dampak Lingkungan

Proses produksi dalam usaha pengolahan kecap ikan, akan menghasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat umumnya berupa ampas hasil penyaringan bumbu dan kaldu ikan hasil perebusan serta limbah cair hasil proses pencucian. Namun demikian kedua jenis limbah tersebut tidak memberikan dampak negatif.

(59)
(60)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

a. Usaha pengolahan kecap ikan mempunyai peranan penting dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber gizi, baik untuk kebutuhan protein maupun kalori. Usaha pengolahan kecap ikan juga berperan penting dalam rangka meningkatkan nilai tambah ikan, terutama jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomi rendah.

b. Faktor terpenting bagi keberhasilan usaha pengolahan kecap ikan adalah pemasaran produknya. Pesaing utama produk kecap ikan di wilayah Kota Ternate ini adalah produk kecap manis berbahan baku kedele, dengan harga yang relatif lebih murah. Keunggulan dari kecap ikan dari kajian ini adalah karena mempunyai rasa dan aroma yang spesifik. Keberhasilan usaha ini ditentukan sejauh mana memperluas pasar ke luar daerah, yang dalam hal ini terkendala oleh biaya transportasi yang tinggi. Permodalan dan keterbatasan akses informasi pasar merupakan kendala lain dalam pengembangan usaha ini.

c. Usaha ini mempunyai prospek pasar baik domestik maupun ekspor, karena merupakan kebutuhan rumah tangga sebagai salah satu bumbu masakan. Konsumen produk ini selain rumah tangga adalah restoran, dan usaha jasa boga (catering).

d. Faktor kritis dalam proses produksi kecap ikan ini adalah dalam hal mutu, yaitu menjaga konsistensi mutu (rasa, aroma dan kekentalan) yang ditentukan pada proses persiapan bumbu, dan pemasakan.

e. Total biaya proyek usaha kecap ikan adalah sebesar Rp. 169.357.734, yang terdiri dari biaya investasi dan modal kerja. Biaya investasi peralatan yang diperlukan dalam usaha kecap ikan sebesar Rp 119.270.000 dan sebesar

(61)

40% dipenuhi dari kredit investasi atau Rp. 47.708.000, dengan bunga 14% dan jangka waktu pinjaman 3 tahun. Sisanya modal sendiri, yaitu sebesar Rp. 71.562.000. Sedangkan untuk modal kerja yang dibutuhkan untuk produksi dan penjualan kecap ikan adalah sebesar Rp 50.087.734. Kebutuhan modal kerja tersebut untuk produksi selama 2 bulan produksi. Sebesar Rp 20.035.094 (40%) diantaranya diasumsikan diperoleh dari kredit bank dengan jangka waktu pinjaman selama 1 tahun dan suku bunga 14% pertahun.

f. Produksi dari usaha pengolahan kecap ikan rata-rata per bulan sebanyak 20.160 botol dengan rata-rata harga jual kecap ikan per bulan sebesar Rp 21.000 per botol @ 630 ml. Proses pemasaran produk menghasilkan pendapatan per tahun sebesar Rp 423.360.000.

g. Berdasarkan proyeksi laba rugi, usaha kecap ikan menghasilkan laba (setelah pajak) per tahun sebesar Rp 84.398.663 dengan nilai rata-rata profit on sales 19,94%.

h. Analisis keuangan dan kelayakan usaha pengolahan kecap ikan sesuai asumsi yang digunakan adalah layak untuk dilaksanakan dengan nilai Net B/C Ratio 1,63, NPV sebesar Rp. 75.478.206 dengan masa pengembalian modal selama 1,87 tahun.

i. Penurunan harga jual produk atau pendapatan usaha lebih sensitif terhadap kelayakan usaha dibandingkan kenaikan biaya produksi. Penurunan pendapatan sebesar 8% atau kenaikan biaya produksi, khususnya harga bahan baku sebesar 13% menyebabkan usaha ini menjadi tidak layak. j. Pengembangan usaha pengolahan kecap ikan memberikan manfaat yang

positif dari aspek sosial ekonomi wilayah dengan terbukanya peluang kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat, dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.

Gambar

Tabel 3.1. Nama Kecap Ikan di Beberapa Negara.
Gambar  3.1. Skema Jalur Pemasaran Kecap  UP2KS Sari Laha
Gambar 4.1.  Diagram Proses Pembuatan Kecap Ikan Secara Fermentasi.
Gambar 4.2.  Diagram Proses Pembuatan Kecap Ikan Secara Enzimatis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil juga menunjukkan bawahan di PT Futurefood Wahana Industri memiliki tingkat kesiapan yang berbeda-beda seperti, Informan 2 (Diah) bagian manajer administrasi yang

Secara simultan atau bersama-sama berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa power otot tungkai (X1), kekuatan otot lengan (X2) dan koordinasi mata tangan

Kandungan Kimia dan Uji Aktivitas Toksik Menggunakan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dari Ekstrak Daun Kersen ( Muntingia calabura ).. Jurnal Kimia dan

 Diskusi kelas dan diskusi kelompok  Pemberian materi tentang kehidupan sosial dalam komunitas muslim Topik diskusi: status sosial dalam komunitas muslim Kelengkapan

Pengertian dari media sosial adalah sesuatu di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya serta dapat berinteraksi, bekerja sama,

Target Kinerj a Satuan Kebutuhan Dana 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 6 Koordinasi Perencanaan Sub Bidang Sumber Daya Alam Koordinasi Perencanaan Pembangunan

Menurut Kasipilai dan Jabbar (2003), dengan melihat dari berbagai disiplin ilmu seperti akuntansi, ekonomi, ilmu politik, administrasi publik, dan psikologi,

Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error ) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu siswa agar mempergunakan ide, konsep dan