• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Konstruksi merupakan suatu kegiatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Konstruksi merupakan suatu kegiatan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Sektor konstruksi merupakan sektor ekonomi yang memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Konstruksi merupakan suatu kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatu dengan lahan tempat kedudukannya. Hasil kegiatan konstruksi diantaranya gedung, jalan, jembatan, rel, terowongan, bangunan air, bangunan sanitasi, bandara, dan lain sebagainya. Beberapa tahun terakhir, sektor konstruksi terus menjadi salah satu primadona perekonomian Indonesia. Nilai bisnis konstruksi terus menjulang, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya pertumbuhan yang signifikan yakni pada tahun 2012 menembus Rp 439,9 triliun dibanding tahun 2011 yang sebesar Rp 376,1 triliun. Data BPS tahun 2013 menunjukkan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor konstruksi meningkat hingga 17% per tahun. Sedangkan pada tahun 2014 jumlah perusahaan konstruksi di Indonesia mencapai 108.583 (Budimanta, 2015). Jumlah tersebut diprediksi akan terus meningkat seiring dengan perkembangan bisnis konstruksi di Indonesia.

Pembangunan infrastruktur fisik yang berkelanjutan menjadikan persaingan bisnis dalam bidang konstruksi semakin ketat di kota-kota besar seperti di Yogyakarta. Guna mengelola proyek-proyek pembangunan, organisasi perlu memiliki sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berkompeten. Setiap perusahaan selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan individu yang berkompeten guna mencapai keunggulan kompetitif. Tantangan perusahaan konstruksi dalam hal SDM adalah upaya untuk mempertahankan karyawan. Hay Group pada tahun 2012 melakukan survei terhadap sejumlah perusahaan retail termasuk di dalamnya bidang konstruksi. Hasil survei menunjukkan bahwa tingkat turnover karyawan bidang konstruksi

(2)

sebesar 10% tiap tahunnya. Pada tahun 2013 Hay Group merilis data terbaru mengenai tingkat turnover di Asia, berdasarkan hasil survei Indonesia berada di urutan ketiga (25,8%) setelah India (26,9%) dan Rusia (26,8%) (Chan, 2013).

Kinerja sebuah organisasi tidak pernah lepas dari peran serta individu-individu di dalamnya. Tingkat turnover yang tinggi menjadikan produktivitas kerja organisasi menurun. Tingkat turnover yang tinggi akan menciptakan dampak negatif bagi organisasi, menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian terhadap kondisi tenaga kerja (Sulistyawati & Indrayani, 2012). Tingginya tingkat turnover mengakibatkan jumlah SDM profesional yang berkompeten di bidangnya menjadi terbatas. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Stovel dan Bontis (2002) bahwa intensitas turnover mengidentifikasikan pengurangan inovasi, layanan menjadi tertunda, miskin pelaksanaan program baru, dan penurunan produktivitas. Oleh karena itu organisasi harus proaktif dalam mengelola kecenderungan turnover untuk mencegah karyawan yang cerdas dan berbakat meninggalkan organisasi.

Lebih lanjut Stovel dan Bontis (2002) menjelaskan bahwa permasalahan yang utama dalam menganalisis turnover bukan terletak pada seberapa banyak karyawan meninggalkan organisasi, namun lebih kepada bagaimana kinerja karyawan pengganti dan kinerja individu-individu yang masih bertahan. Ketika organisasi kehilangan karyawan yang kompeten, maka organisasi akan mengalami penurunan kinerja. Rendahnya produktivitas kerja organisasi akan mengurangi tingkat kepercayaan dan kepuasan pengguna layanan konstruksi, dengan demikian organisasi tersebut akan semakin kesulitan untuk berkompetisi.

(3)

Faktor yang mempengaruhi tingginya turnover ini diduga diawali oleh rendahnya rasa cinta dan kepemilikan terhadap organisasi atau biasa disebut dengan komitmen organisasi (Samad & Yusuf, 2012). Komitmen organisasi sangat penting bagi kemajuan organisasi dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dapat dipercaya dan diandalkan guna mencapai keunggulan kompetitif.

Hasil penelitian Jones, Jones, dan Prenzler (2005) menunjukkan bahwa rendahnya komitmen organisasi berkorelasi terhadap meningkatnya intensitas turnover karyawan. Tingginya tingkat turnover menjadikan organisasi tidak stabil, biaya rekrutmen dan pelatihan karyawan baru meningkat, tingginya biaya proses penyesuaian karyawan baru, dan turunnya integrasi antar karyawan sehingga berpengaruh pada efektifitas dan produktivitas organisasi. Tidak hanya berpengaruh pada intensitas turnover saja, melalui penelitian yang dilakukan oleh Hausknecht, Hiller, dan Vance (2008) juga ditemukan fakta bahwa komitmen berhubungan negatif dengan tingkat absenteeism.

Beberapa penelitian mengkaji dampak positif komitmen, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Boselie (2012) menunjukkan bahwa dengan adanya komitmen organisasi yang kuat akan mendorong individu untuk bekerja secara optimal. Siders, George, dan Dharwadkar (2009) dalam temuannya menunjukkan bahwa semakin tinggi komitmen karyawan dapat meningkatkan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Temuan tersebut sejalan dengan beberapa penelitian yang dilakukan Chai-Amonphaisal dan Ussahawanitchakit (2008), Chen, Hwang, dan Liu (2009), serta Francesco dan Cheng (2004) bahwa dengan adanya perasaan memiliki organisasi karyawan menjadi lebih termotivasi untuk bekerja melebihi apa yang

(4)

menjadi tanggung jawabnya.

Kim (2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa keseimbangan kehidupan kerja tidak berhubungan langsung dengan kinerja karyawan. Peran keseimbangan kehidupan kerja akan menjadi signifikan terhadap kinerja ketika dimoderatori oleh komitmen organisasi. Karyawan yang memiliki loyalitas yang tinggi cenderung memiliki motivasi kerja yang tinggi pula sehingga individu tersebut selalu berupaya untuk menunjukkan optimalisasi kerja. Penelitian Kumari dan Afroz (2013) juga menunjukkan hubungan yang positif antara komitmen organisasi dengan kepuasan hidup karyawan. Perasaan memiliki organisasi inilah yang menjadikan karyawan lebih percaya diri untuk menunjukkan kinerja terbaiknya. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang individu telah memiliki komitmen organisasi yang tinggi, individu tersebut akan mengerahkan usaha terbaik dalam pekerjaannya, sehingga mutu serta keunggulan dari tempat kerjanya menjadi lebih terjaga.

Komitmen organisasi adalah suatu kondisi dimana seorang karyawan mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan memiliki keinginan untuk tetap mempertahankan partisipasi aktifnya dalam suatu organisasi. Komitmen organisasi menunjukkan kepercayaan pada misi dan tujuan organisasi, kesediaan untuk melakukan tugas serta kemauan untuk melanjutkan keberadaannya dalam organisasi (Newstrom, 2007). Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu kondisi dimana individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi

(5)

merupakan sebuah kondisi keterikatan individu terhadap organisasinya meliputi tingkat sejauh mana individu tersebut berpartisipasi, mempertahankan diri, dan proses identifikasi terhadap organisasi.

Robbins dan Judge (2007) mengelompokkan komitmen organisasi menjadi tiga jenis, yakni komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif. Porter, Steers, Mowday, dan Boultian (1974) menyatakan komitmen organisasi sebagai kekuatan seberapa besar individu mengidentifikasikan diri dan melibatkan diri pada organisasi, hal ini meliputi aspek commitment value dan commitment to stay. Keterlibatan karyawan dengan aktivitas di organisasi mampu menciptakan komitmen karyawan terhadap organisasi. Komitmen organisasi tidak dapat muncul dengan sendirinya, komitmen organisasi muncul karena diciptakan secara bersama-sama oleh karyawan dan organisasi. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa komitmen organisasi tidak hanya sebagai prediktor karyawan saja (Porter, dkk, 1974), tetapi juga menjadi prediktor dari usaha dan kinerja karyawan (Mowday, Porter & Dubin, 1973; Mowday, Steers & Porter, 1979).

Pembentukan komitmen organisasi tidak dapat dilepaskan dari peran praktik SDM. Atteya (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa praktik SDM melalui penilaian kinerja, sistem kompensasi, pelatihan, dan pengembangan karir berperan sebagai prediktor komitmen organisasi. Beberapa tahun sebelumnya penelitian berfokus pada pengembangan kinerja individu saja, kini penelitian menitikberatkan pada praktik pengelolaan SDM (Cunha & Cunha, 2009). Dewasa ini, para akademisi dan praktisi fokus terhadap isu SDM sebagai aset organisasi dalam mencapai keunggulan kompetitif melalui ketrampilan karyawannya. Mengelola SDM merupakan

(6)

hal yang menantang dibandingkan dengan mengelola teknologi atau modal lainnya, dengan demikian organisasi membutuhkan sistem pengelolaan SDM yang efektif. Pengelolaan SDM didefinisikan sebagai kebijakan dan praktik dalam mengelola SDM kaitanya dengan perencanaan SDM, analisis pekerjaan, rekrutmen, seleksi, orientasi, kompensasi, penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan (Dessler, 2007).

Vanhala, von Bonsdorff, dan Janhonen (2010) menyebutkan sistem pengelolaan SDM sebagai high performance work system (HPWS). HPWS merupakan sebuah sistem kerja yang memfasilitasi atau memberi kesempatan bagi keterlibatan dan partisipasi karyawan, pemberian pelatihan dan pengembangan yang intensif, serta pemberian insentif. Lebih lanjut Combs, Liu, Hall, dan Ketchen (2006) menyebutkan bahwa HPWS merupakan seperangkat praktik SDM yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan retensi serta mempercepat perkembangan bisnis organisasi. Praktik SDM dengan pendekatan HPWS ini difokuskan pada keterlibatan dan pemberdayaan karyawan, peningkatan kompetensi dan kinerja, motivasi serta memberikan karyawan kesempatan untuk menunjukkan kinerja yang optimal, sehingga berdampak pada produktivitas dan komitmen organisasi yang lebih tinggi (Datta, Guthrie, & Wright, 2005).

Zaitouni, Sawalha, dan Sharif (2011) dalam penelitiannya kepada karyawan bank di Kuwait menyebutkan bahwa komitmen organisasi terbentuk karena adanya praktik pengembangan kompetensi, penyampaian informasi, dan sistem reward. Praktik pengembangan kompetensi ini termasuk di dalamnya segala aktivitas yang berhubungan dengan aspek SDM seperti pelatihan hingga persiapan promosi. Sistem reward dan penyampaian informasi yang efektif juga mampu meningkatkan komitmen

(7)

organisasi, pemberian reward yang adil dan informasi yang sesuai akan meningkatkan persepsi positif karyawan. Karyawan akan merasa diperhatikan sehingga dapat meningkatkan kelekatan emosi terhadap organisasi.

Scheible dan Bastos (2012) dalam penelitiannya mengenai komitmen organisasi menggunakan dimensi dan tipe praktik SDM. Dimensi SDM dibangun dari persepsi langsung terhadap praktik SDM dan persepsi perbandingan terhadap praktik SDM. Sedangkan praktik SDM dibangun dari aspek pelatihan dan pengembangan, kompensasi dan bonus, serta stabilitasi kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pelatihan dan pengembangan memiliki peran yang paling besar dalam meningkatkan komitmen organisasi. Jeet dan Sayeeduzzaafar (2014) menggunakan aspek training, penilaian kinerja, kerja sama, partisipasi karyawan, dan kompensasi dalam penelitiannya. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa training dan penilaian kinerja mampu memprediksi komitmen organisasi secara signifikan.

Imran dan Ahmed (2012) melakukan penelitian mengenai peran praktik SDM terhadap komitmen organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek-aspek yang membangun praktik SDM yakni kompensasi, dukungan organisasi, aturan kerja, pelatihan dan pengembangan, promosi/kesempatan berkarier, pemberdayaan, iklim organisasi, serta komunikasi berperan dalam membentuk komitmen organisasi. Zanelli dan Baston (Scheible & Bastos, 2012) menampilkan sebuah model praktik SDM sebagai berikut:

Tabel 1. Model Praktik SDM

Dimensi Praktik

Hubungan kerja Menejemen konflik, hubungan industrial, model menejemen, kinerja organisasi

(8)

Pengelolaan SDM Analisis hubungan industrial, rekrutmen dan seleksi, perencanaan karier, perpindahan posisi, kompensasi

Kualifikasi dan pengembangan Pelatihan, penilaian kinerja, pengembangan karier, menejemen tim

Perilaku organisasi Produktivitas kinerja, kepemimpinan, motivasi, kepuasan, komitmen, budaya organisasi

Kondisi kerja Keselamatan kerja, ergonomis, kesehatan fisik dan psikologis, menejemen stres

Perubahan organisasi Pengembangan organisasi dan kualitas kehidupan kerja

Praktik SDM dalam penelitian ini diasumsikan mempengaruhi komitmen organisasi melalui persepsi karyawan terhadap sistem pengelolaan SDM dalam beberapa hal diantaranya (1) pelatihan dan pengembangan (Aswathappa, 2008); (2) pengembangan karir/promosi (Zaitouni, Sawalha, & Sharif, 2011); (3) sistem reward (Imran & Ahmed, 2012); (4) penilaian kinerja (Jeet & Sayeeduzzaafar, 2014); (5) seleksi dan orientasi (Anderson, 1994; Williams, 2003); (6) hubungan industrial (Abbott, 2007). Keenam praktik SDM ini telah terbukti melalui penelitian-penelitian sebelumnya mampu memprediksi komitmen organisasi, dengan demikian peneliti menggunakan keenam praktik pengelolaan SDM sebagai aspek yang membangun praktik SDM.

Penelitian yang dilakukan oleh Bowen dan Ostroff (2004) menunjukkan bahwa praktik SDM dan sistem SDM memiliki peranan yang penting dalam menentukan persepsi terhadap iklim organisasi. Meskipun karyawan berada dalam suatu praktik dan kebijakan SDM yang sama, karyawan dapat mengembangkan pemahaman yang berbeda terkait dengan karakteristik organisasi. Pemahaman ini mengarah pada terbentuknya iklim organisasi. Bowen dan Ostroff (2004) menggunakan teori psikologi kognitif sosial dan pengaruh sosial dalam menjelaskan keterkaitan karakteristik yang

(9)

muncul melalui praktik SDM terhadap iklim organisasi. Karakteristik yang dimaksud mengacu pada proses bagaimana informasi mengenai praktik SDM tersampaikan kepada karyawan.

Iklim organisasi adalah tingkat seberapa kuat persepsi yang terbentuk dari praktik SDM pada sebuah organisasi (Li, Frenkel, & Sanders, 2011). Patterson, West, Shacleton, Dawson, Lawthom, Maitlis, Robinson, dan Wallace (2005) mendefinisikan iklim organisasi sebagai persepsi karyawan terhadap organisasi. Definisi iklim organisasi tersebut sama seperti yang diungkapkan oleh Bowen dan Ostroff (2004), bahwa iklim organisasi merupakan persepsi yang muncul terhadap praktik, kebijakan, prosedur, rutinitas, dan penghargaan dari organisasi. Praktik SDM mampu membangun persepsi iklim pada tingkat individu.

Praktik SDM di sini dipandang sebagai media komunikasi antara manajemen dengan karyawan. Teori atribusi mampu untuk menjelaskan bagaimana praktik SDM diinterpretasikan seragam oleh karyawan. Dalam konteks praktik SDM, karyawan diminta untuk menyimpulkan sebab akibat atribusi yang muncul dari komunikasi tersebut untuk menentukan perilaku apa yang penting, diharapkan, dan dihargai oleh organisasi. Teori atribusi tidak hanya digunakan untuk menjelaskan apakah atribusi individu berasal dari faktor internal ataupun eksternal, namun teori ini juga digunakan untuk menjelaskan faktor situasional. Berdasarkan model kovarian Kelley (1967), karyawan akan menunjukkan atribusi berdasarkan situasi tertentu, diantaranya yaitu distinctiveness (praktik yang jelas/nyata), consistency (konsisten sesuai dengan prosedur praktik SDM), dan consensus (persetujuan diantara karyawan). Praktik SDM di sini sangat berperan penting dalam membentuk persepsi iklim pada karyawan.

(10)

Atribusi yang mungkin ditunjukkan karyawan terbagi atas tiga yaitu, atribusi eksternal ketika distinctiveness, consistency, dan consensus tinggi. Atribusi internal terjadi ketika distinctiveness rendah, consistency tinggi, dan consensus rendah. Atribusi internal-eksternal ketika distinctiveness tinggi, consistency tinggi, dan consensus rendah.

Selanjutnya, karakteristik praktik SDM yang kuat akan mampu memunculkan persepsi kolektif di antara karyawan sehingga menimbulkan munculnya iklim organisasi yang kuat terkait dengan praktik SDM (Bowen & Ostroff, 2004). Praktik SDM yang kuat mampu mendorong karyawan untuk melihat organisasi dari sudut pandang yang sama, termasuk memunculkan ekspektasi yang sama, memberikan harapan yang jelas terkait dengan reward dan insentif, memberikan kesempatan karyawan untuk beraktualisasi dan mengeluarkan ide, serta menumbuhkan kepatuhan karyawan.

Praktik SDM yang lemah akan menimbulkan ambiguitas dan kebingungan pada karyawan. Iklim yang positif terbentuk ketika aspek distinctiveness, consistency, dan consensus tinggi. Sedangkan ketika distinctiveness tinggi, consistency dan consensus rendah, iklim organisasi yang terbentuk akan lemah. Praktik SDM yang unik dan menonjol akan menjadi perhatian karyawan, namun pelaksanaannya tidak konsisten atau bertentangan. Praktik yang demikian akan memunculkan kekecewaan atau reaksi negatif dari karyawan sehingga terbentuk iklim organisasi yang negatif.

Ketika dihadapkan pada situasi yang ambigu atau sama-samar (tidak konsisten), karyawan akan mencoba untuk mengurangi ketidakpastian melalui proses interaksi dan konsultasi dengan sesama karyawan atau atasannya. Melalui interaksi tersebut

(11)

karyawan akan mengembangkan interpretasi bersama terkait dengan praktik SDM yang dilaksanakan. Interpretasi kolektif yang terbentuk sangat mungkin tidak sesuai dengan yang dimaksudkan organisasi, sehingga mungkin bertentangan dengan tujuan dan strategi organisasi. Hal ini akan menyebabkan konflik, produktifitas, dan komitmen yang rendah.

Bowen dan Ostroff (2004) menyatakan bahwa iklim organisasi yang kuat akan menampilkan hubungan yang signifikan dengan sikap dan perilaku karyawan. Penelitian Sanders, Dorenbosch, dan de Reuver (2008) menunjukkan bahwa persepsi iklim yang dibentuk dari konsistensi praktik SDM berhubungan positif dengan komitmen organisasi. Ketika praktik SDM dilakukan sesuai dengan aturan dan batasan yang jelas, maka karyawan akan cenderung membentuk iklim yang positif. Terbentuknya iklim organisasi yang positif menjadikan karyawan lebih nyaman dan bebas dalam mengaktualisasikan dirinya sehingga terbentuklah komitmen organisasi. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti akan mengkaji peran iklim organisasi sebagai mediator hubungan antara praktik SDM terhadap komitmen organisasi. Melalui persepsi positif yang terbentuk oleh praktik SDM nantinya akan memperkuat hubungan terhadap komitmen organisasi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara empirik peran praktik SDM terhadap komitmen organisasi melalui peran mediasi iklim organisasi.

(12)

Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah semakin tinggi persepsi karyawan terhadap praktik SDM yang berlaku dalam organisasi, maka semakin positif persepsi karyawan terhadap iklim organisasi, dengan demikian semakin tinggi pula komitmen karyawan terhadap organisasi.

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa uraian permasalahan yang teridentifikasi, fokus penelitian pada tahap kedua ini adalah menekankan pentingnya pencatatan akuntansi pada setiap transaksi

Dari desain sistem di atas terlihat bahwa user melalui web browser meminta semua informasi, dan web server akan melayani permintaan tersebut dan akan mengirimkan

Menyikapi hal tersebut dan perkembangan kemajuan TIK pada abad ke-21 yang terus berkembang pesat, maka Balai Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (BTIKP) pada

moushiwakearimasen, hontou ni sumimasendeshita, omataseshimashita, suimasen, gomennasai, taihen moushiwakegozaimasen, sumimasen, gomen, ojamashimashita. Dari beberapa data

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) hubungan status sosial ekonomi orang tua dengan minat siswa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (2) hubungan

Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariorm yang ada di tanah. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8

Bagian pertama tentang pendekatan dalam kajian etika komunikasi yaitu pendekatan kultural guna menganalisis perilaku pelaku profesi komunikasi dan pendekatan strukrural