• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON MORFOFISIOLOGI TANAMAN KAKAO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON MORFOFISIOLOGI TANAMAN KAKAO"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

LORELINDU SULAWESI TENGAH INDONESIA

ERMA PRIHASTANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi dimana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2009

Erma Prihastanti

(3)

ABSTRACT

ERMA PRIHASTANTI. Morphophysiological Response of Cocoa (Theobroma cacao L.) to Dessication Stress in The Agroforestry at Margin Lore Lindu National Park Central Sulawesi Indonesia. Under direction of SOEKISMAN TJITROSEMITO DIDY SOPANDIE and IBNUL QAYIM .

The objective of the research is to analyze morphophysiological response of cocoa trees in the cocoa agroforestry before and during water deficit stress experiment. Observations were done to learn about changes in soil water content, root water potential, root hydraulic conductivity, percentage of root embolism, anatomy of xylem root from root system of cocoa and Gliricidia sepium. Besides, the study also analyzed changes in nonstructural carbohydrate content, biomass and vitality of cocoa fineroot, N and P leaf content, resorption percentage of N and P leaf, and trichomata type and density of cocoa leaf.

The reseach was conducted in O’o Village, South Kulawi District, Donggala Regency, which was around Lore Lindu National Park area, Central Sulawesi province, at 585 metres above sea level, and with a coordinate of 1.5524o North latitude and 120.0206o East longitude. The research was conducted from June 2006 to May 2008.

The result showed that TDE system used was effective to reduce water infiltration down to 79%. The decrease in throughfall was followed by the decrease in soil water content at the depth 20 cm around cocoa and G. sepium trees. At this soil the decrease of water content around cacao tree was faster than around G.sepium tree. The root of cacao tree also grew more than that of G.sepium.

Stress of water deficit for 13 months reduced water potential of cocoa and G. sepium root. At daytime, cocoa root water potential was lower than that G.sepium, but at predawn water potential of both cocoa and G.sepium root to -0,5 Bar. This indicated that process of nocturnal hydraulic lift took place in deeper level of soil at night. This condition is useful for cocoa which is short off water during the day. The difference of root water potential between cocoa and G.sepium against water stress is assumed to due to the difference in osmotic adjustment.

The effect of stress water deficit for 13 months on root proline content of cocoa root and G. sepium was not significant, but it was significant with time. The proline content on cocoa and G. sepium fineroot showed a difference in changes where in cocoa root proline content increased 11,59 times, while in G sepium fineroot did only 5,44 times.

Based on root hydraulic conductivity, cocoa root had low capacity in distributing water than that of G. sepium. This characteristic was shown in hydraulic conductance value, embolism percentage, structure of smaller xylem diameter and xylem pit membrane than that of G. sepium root.

Nonstructural carbohydrate concentration of cocoa fineroot decreased along with the increase of research time.The decrease in nonstructural carbohydrate concentration was higher in cocoa with lower soil water content, but the carbohydrate content can still support the growth of cocoa fineroot.That was obvious with the increasing growth of live fineroot and the deacreasing dead fineroot.

The changes in leaf of N and P content, N and P leaf resorption, SLA, and in leaf trichomata number that occurred for 13 months in water deficit stress with TDE were not significant, but the tendency was declining along with the increasing research time.

(4)
(5)

RINGKASAN

ERMA PRIHASTANTI. Respon Morfofisiologi Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Cekaman Kekeringan Di Kawasan Agroforestri Sekitar Taman Nasional Lorelindu Sulawesi Tengah Indonesia. Dibimbingan oleh SOEKISMAN TJITROSEMITO, DIDY SOPANDIE dan IBNUL QAYIM.

Tanaman kakao merupakan salah satu tanaman tahunan paling penting di dunia. Sebanyak 3,5 ton biji kakao dunia dihasilkan pada tahun 2006. (ICCO 2007). Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi kakao adalah curah hujan (Zuidema et al. 2005). Tanaman kakao menghendaki sebaran hujan yang relatif merata sepanjang tahun tanpa bulan kering. Daerah produsen kakao umumnya memiliki curah hujan antara 1250-3000 mm tiap tahun. Adanya pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim seperti terjadinya musim kering yang panjang yang berasosiasi dengan ENSO (El Nino Southern Oscillation). Para ahli klimatologi memperkirakan peristiwa tersebut akan lebih sering terjadi di masa yang akan datang (Nepstad et al. 2007). Penelitian sosio-ekonomi tentang akibat kekeringan yang berasosiasi dengan ENSO terhadap produksi kakao di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa peristiwa tersebut dapat menurunkan produksi kakao sebesar 62 % (Keil et al. 2008).

Penelitian pengaruh kekeringan karena ENSO secara langsung agak sulit dilakukan, karena hal itu tidak dapat diprediksikan dengan tepat kapan dan dimana terjadinya. Salah satu alternatif untuk melakukan simulasi ENSO adalah dengan menggunakan sistem atap (roofing) atau disebut throughfall displacment experiment (TDE) selama periode waktu tertentu. Penelitian cekaman kekeringan terhadap tanaman kakao dengan sistem TDE merupakan bagian dari penelitian ‘The Sulawesi Throughfall Displacement Experiment- Ecosystem and Economic responses to ENSO droughts in rainforest and agroforest” dari program penelitian “Stability of Rainforest Margins in Indonesia’ (STORMA) yang dibiayai oleh German Research Foundation (DFG-SFB 552).

Penelitian tentang respons cekaman kekeringan tanaman kakao sudah banyak dilakukan terutama pada tanaman muda/semai. Namun demikian informasi tentang respons tanaman kakao dewasa (pohon) terhadap cekaman kekeringan tersebut masih sangat sedikit. Pada umumnya tanaman kakao ditanam pada sistem agroforestri dengan beberapa pohon pelindung seperti Gliricidia sepium. Selama ini belum banyak informasi tentang fungsi pohon pelindung khususnya dalam penyediaan air bagi tanaman kakao saat kondisi lingkungan mengalami cekaman kekeringan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa respons morfofisiologi tanaman kakao pada sistem agroforestri sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE yaitu dengan mengkaji perubahan status air tanah dan akar serta kandungan proline fineroot, perubahan hydraulic conductivity dan persentase embolisme akar serta menganalisa anatomi akar dari akar kakao dan G. Sepium. Selain itu juga dikaji perubahan kandungan karbohidrat (glukosa, sukrosa dan pati), pertumbuhan dan vitalitas akar fineroot kakao, kandungan dan nilai resorpsi N dan P, specific leaf area, jumlah dan tipe trikomata daun kakao.

Penelitian dilakukan di Desa O’o, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Donggala yang merupakan daerah di sekitar kawasan Taman Nasional Lore

(6)

sistem TDE (throughfall displacement experiment), pembangunan stasiun mikroklimat serta pengukuran variabel. Adapun pengukuran variabel dimulai sebelum periode roofing yaitu bulan Desember 2006-Februari 2007. Pengamatan selama periode roofing dilakukan setelah 5-7 bulan dan 13 bulan roofing. Periode 5-7 bulan roofing diduga tanaman telah mengalami cekaman ringan, sedangkan periode setelah 13 bulan diduga tanaman telah mengalami cekaman kekeringan yang berat.

Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap. Masing-masing tahap percobaan diuraikan sebagai berikut: Penentuan dan pembuatan plot penelitian, pembuatan konstruksi dan pemasangan roofing, pengukuran throughfall dan cuaca. Adapun pengamatan variabel meliputi pengukuran kandungan air tanah di bawah pohon dilakukan dengan menggunakan tensiometer, pengukuran potensial air akar pohon kakao dan G. sepium diukur dengan menggunakan Scholander Pressure Bomb, pengukuran hydraulic conductivity dilakukan dengan menggunakan metode Sperry et al. (1988), pengukuran proline total akar berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Bates et al. (1973), pengukuran glukosa dilakukan dengan metode fenol dan untuk sukrosa dilakukan dengan menggunakan metode Lane-Eynon. Penetapan pati digunakan metode hidrolisis asam. Pengukuran kadar N dilakukan dengan metode Kjedhal, pengukuran P dilakukan dengan metode Morgan Wolf. Pengamatan pertumbuhan akar kakao dan G. sepium digunakan metode ingrowth dan soil core. Perubahan pertumbuhan daun kakao diamati dengan pengukuran spesific leaf area (SLA) serta pengamatan trikomata daun. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SAS (Shapiro-Wilk Statistic).

Hasil penelitian menunjukkan sistem TDE yang dipergunakan efektif mengurangi infiltrasi air sebesar 79%. Penurunan troughfall diikuti dengan penurunan kandungan air tanah pada lapisan tanah kedalaman 20 cm disekitar pohon kakao dan G. sepium. Penurunan kandungan air tanah lebih cepat terjadi pada tanah disekitar pohon kakao dan tanah disekitar pohon G.sepium.

Cekaman kekeringan selama 13 bulan menurunkan potensial air akar kakao dan akar G. sepium. Pada waktu siang hari, potensial air akar menurun dimana potensial air akar kakao lebih rendah daripada akar G.sepium, namun demikian pada saat pagi hari potensial air akar keduanya naik kembali mencapai -0,5 Bar. Hal tersebut menunjukan telah terjadi proses nocturnal hydraulic lift dimana air diambil oleh perakaran G.sepium dari lapisan tanah yang lebih dalam saat malam hari dan dibawa keatas dan dimanfaatkan oleh akar kakao. Kondisi ini sangat bermanfaat bagi tanaman kakao yang mengalami kekurangan air pada waktu siang hari.

Cekaman kekeringan selama 13 bulan pada tanaman kakao umur 7 tahun tidak meningkatkan kandungan proline fineroot kakao dan G.sepium. Tetapi menunjukkan perbedaan peningkatan dimana pada akar kakao meningkat 11,59 kali, sedangkan pada fineroot G. sepium hanya 5,44 kali.

Berdasarkan sifat konduktivitas perakaran, akar tanaman kakao mempunyai kapasitas yang rendah dalam mengalirkan air dibanding G. sepium. Sifat-sifat itu ditunjukkan pada nilai hydraulic conductance, persentase embolisme, struktur diameter xilem dan lubang membran antar xilem yang lebih kecil dari akar G. sepium. Keadaan ini diduga sebagai adaptasi dari tanaman

(7)

kakao yang mempunyai perakaran dangkal dalam menghadapi perubahan air tanah yang cenderung lebih cepat berkurang.

Pada lapisan tanah 20 cm, fineroot hidup kakao meningkat secara signifikan seiring bertambahnya waktu diikuti penurunan kandungan pati, glukosa dan sukrosa pada finerootnya.

Perubahan kandungan N dan P, resorpsi N dan P, nilai SLA serta jumlah trikomata daun yang yang terjadi selama 13 bulan pada cekaman kekeringan dengan TDE tidak signifikan, namun demikian cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu.

Keyword : cacao agroforestry, TDE systems, root water potential, root proline total, hydraulic conductivity, root embolism, leaf N and P resorption, specific leaf area, soluble carbohydrates, biomass and vitality of fineroot, leaves trichomes.

(8)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(9)

RESPON MORFOFISIOLOGI TANAMAN KAKAO

(Theobroma cacao L.) TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

DI KAWASAN AGROFORESTRI SEKITAR TAMAN NASIONAL

LORELINDU SULAWESI TENGAH INDONESIA

ERMA PRIHASTANTI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir.Hamim,MSi

Dr. Ir.Nurul Khumaida,MSi Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Diah Ratnadewi

(11)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Respon Morfofisiologi Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Terhadap Cekaman Kekeringan Di Kawasan Agroforestri Sekitar Taman Nasional Lorelindu Sulawesi Tengah Indonesia

Nama : Erma Prihastanti NIM : G361050031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Soekisman Tjitrosemito Ketua

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. Dr. Ir. Ibnul Qayim

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(12)

Agroforestri Sekitar Taman Nasional Lorelindu Sulawesi Tengah Indonesia, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor UNDIP, Dekan FMIPA UNDIP, Ketua Jurusan Biologi FMIPA UNDIP yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Dr. Soekisman Tjitrosemito, Prof. Dr.Ir. Didy Sopandie, M.Agr., Dr. Ibnul Qayim sebagai Komisi Pembimbing, yang sejak awal penulis menjalani tugas belajar di Program Studi Biologi selalu memberikan semangat, motivasi belajar serta arahan. Prof. Dr. Christoph Leuschner yang telah memberikan ide dalam proposal penelitian. Pemberi beasiswa seperti BPPS, STORMA, BMZ, yang telah memberikan dana selama penelitian. Dr. Gerald Moser, Michael Köhler, Bernhard Schulzt, Daniela Luitner, Dr. Luitgard Schwendenmann yang telah membantu dalam diskusi dan pengumpulan data. Staf STORMA di Palu dan Bogor,para asisten lapangan yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data di lapangan. Dina Mayasari SPi MSi, Anolita Dewi SP MSi, Herna Hamidu, Adnan SP MSi, Moch. Abdul Mukid Ssi.MSi, Riska Hastari dalam pengumpulan dan analisis data. Staf Lab. Analisis Kimia STORMA Palu, Student Office STORMA Palu, Staf Lab Biokimia PAU IPB, Staf Lab. Biokimia Tanah IPB, Staf Bag. Mikroteknik Tumbuhan BIOTROP, Lab.Anatomi dan Fisiologi BDP Faperta IPB, Lab Hama Terpadu Universitas Tadulako yang telah membantu dalam analisis.

Bogor, Agustus 2009 Erma Prihastanti

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 19 Februari 1968 sebagai anak sulung dari pasangan Kotjosuchedi dan Soliyah. Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1996, penulis diterima di Jurusan Biologi Program pascasarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Biologi diperoleh pada tahun 2005 pada IPB dengan beasiswa BPPS dari DIKTI, dan BMZ dari pemerintah Jerman.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Bilogi FMIPA UNDIP Semarang mulai tahun 1991 sampai sekarang, dan ditempatkan pada laboratorium struktur dan fungsi tumbuhan dan sebagai Tim pengelola Institut Obat dari Bahan Alam Lembaga penelitian UNDIP sampai tahun 2011.

Selama S3 di IPB penulis menjadi salah satu mahasiswa yang melakukan penelitian di bawah organisasi “Stability of Rainforest Margins in Indonesia” (STORMA) yang merupakan kolaborasi penelitian antara Institut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako Sulawesi Tengah dan Gottingen University serta Kassel University di Jerman. Di samping itu dalam penelitian saya juga mendapat beasiswa dari BBPS Dikti dan BMZ dari pemerintah Jerman.

Makalah yang berjudul “Perubahan Struktur dan Kepadatan Trikomata Non Glanduler serta Luas Daun Kakao (Theobroma Cacao L.) Pada Perlakuan Stres Kekurangan Air telah diterbitkan pada Jurnal Sains dan Matematika (Journal of Sciences & Mathematics) Vol 17,No 1, Januari 2009. Masih pada jurnal yang sama ada satu makalah yang sudah siap terbit dengan judul “Measurement Hydraulic Conductivity And Xylem Embolism on Cacao (Theobroma Cacao L. ) Root” pada Oktober 2009. Dua makalah lain yaitu “Remarkable Drought Tolerance Of Cacao Trees (Theobroma Cacao) During A 13-Months Desiccation Experiment In Central Sulawesi, Indonesia” dan “Seasonality of growth, productivity and aboveground/belowground biomass partitioning in a shaded cacao agroforest system in a perhumid climate (Sulawesi, Indonesia)” masih dalam bentuk manuscript sebagai co- author.

Kegiatan ilmiah yang pernah diikuti selama S3 di antaranya adalah workshop tentang Suistainable Resource Management Under Global Change-What Can Researchers Tell Decision Makers? yang diselenggarakan oleh Indonesian Institute of sciences (LIPI) dan Stability of Rainforest Margins in Indonesia (STORMA) di Jakarta Februari 2007 dan Simposium Internasional tentang Tropical Rainforest and Agroforests under Global Change sebagai penyaji poster Oktober 2008 di Bali Indonesia.

Bogor, Agustus 2009 Erma Prihastanti

(14)

DAFTAR GAMBAR ... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Hipotesis ... 4 Manfaat Penelitian ... 4 Novelity Penelitian... 5

BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian ... 6

Waktu Penelitian ... 8

Metode Penelitian ... 8

PERUBAHAN STATUS AIR TANAH DAN AKAR SERTA KANDUNGAN PROLINE AKAR KAKAO DAN Gliricidia sepium PADA CEKAMAN KEKERINGAN... 14

PERUBAHAN NILAI HYDRAULIC CONDUCTANCE DAN PERSENTASE EMBOLISME AKAR KAKAO DAN Gliricidia Sepium PADA CEKAMAN KEKERINGAN ... 35

KANDUNGAN PATI DAN KARBOHIDRAT TERLARUT SERTA PERTUMBUHAN FINEROOT KAKAO PADA CEKAMAN KEKERINGAN... 46

PERUBAHAN KANDUNGAN DAN RESORPSI N DAN P, SPECIFIC LEAF AREA (SLA) SERTA TRIKOMATA DAUN KAKAO PADA CEKAMAN KEKERINGAN... 56

PEMBAHASAN UMUM ... 66

SIMPULAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Persentase penurunan throughfall pada plot penelitian... 19 2. Lokasi, karakteristik tanah dan klimatologi pada agroforestri

kakao di Marena, Sulawesi Tengah ... 20 3. Tekstur tanah dan bulk density pada plot penelitian... 21 4. Kandungan C, N dan C/N ratio tanah pada plot penelitian ... 22 5. Potensial air akar kakao dan G. sepium yang diukur pada pukul

04.00-05.00 WITA pada bulan September 2007 ... 29 6. Kandungan Proline Total akar fineroot kakao dan G. sepium... 30 7. Kandungan Proline Total semai kakao (μg/berat kering)... 31 8. Nilai hydraulic conductance akar kakao sebelum dan selama

periode roofing (Kg.m.MPa-1.S-1) ... 40 9. Nilai hydraulic conductance akar G. sepium sebelum dan selama

periode roofing (Kg.m.MPa-1.S-1) ... 41 10. Persentase Embolisme pada Akar Kakao dan G. sepium ... 41 11. Kandungan karbohidrat terlarut akar semai kakao umur 12 bulan 53 12. Fineroot kakao hidup dan mati (g/m3) sebelum dan selama

selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE ... 53 13. Kandungan C, N dan P serta C/N ratio tanah pada kedalaman 20

cm ... 58 14. Kandungan N dan P pada daun kakao selama perlakuan

cekaman kekeringan dengan sistem TDE ... 59 15. Presentase Resorpsi N dan P pada daun kakao ... 60 16. Rerata SLA Daun Kakao……… ... 61 17. Jumlah trikomata daun sun leaves kakao sebelum dan selama

perlakuan cekaman kekeringan ………... 64 18. Jumlah trikomata daun shade leaves kakao sebelum dan selama

perlakuan cekaman kekeringan ………... 64

(16)

Selatan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah ... 6

2. Gambar peta lokasi penelitian yang diambil dari satelit Quickbird pada bulan Mei 2007 ... 7

3. Skema plot penelitian... 9

4. Pembuatan kontruksi dan pemasangan roofing ... 11

5. Pengukuran throughfall dan cuaca ... 13

6. a.Tabung baja, pemukul karet, pipa plastik b. Pengambilan sampel akar c-d. Pemisahan akar dari tanah e. pemasukan tanah ke dalam lubang f. Penandaan lubang tanah dengan pipa plastik... 17

7. Data curah hujan bulanan mulai Februari 2007 (F 07) sampai dengan Mei 2008 di plot penelitian Marena, Sulawesi Tengah ... 21

8. Kandungan air tanah (%) pohon kakao ... 22

9. Kandungan air tanah (%) pohon G. sepium ... 23

10. Biomassa fineroot kakao... 24

11. Biomassa fineroot G. Sepium ... 25

12. Sistem perakaran pada pohon G. Sepium ... 25

13. Potensial air akar kakao (Bar)... 26

14. Potensial air akar G. sepium (Bar)... 27

15. Sistem Sperry untuk mengukur hydraulic conductivity akar... 37

16. Nilai hydraulic conductance akar kakao... 39

17. Nilai hydraulic conductance akar G. sepium ... 40

18. Korelasi antara diameter akar kakao dengan nilai hydraulic conductivity (a) dan korelasi diameter akar dengan persentase embolisme akar kakao (b)... 43

19. Jaringan xilem pada stele akar kakao dan G. sepium ... 44

20. Lubang pembuluh membran pada xilem akar kakao dan G. sepium... 44

(17)

21. a Tabung baja dan pemukul dari karet, b. Pengambilan sampel tanah. c-f Pencucian, g-l Pemisahan,pengeringan dan

penimbangan sampel fineroot kakao dan G. sepium... 49

22. Kandungan pati fineroot kakao ... 50

23. Kandungan glukosa fineroot kakao... 51

24. Kandungan sukrosa fineroot kakao ... 51

25. Letak trikomata pada daun kakao (a) dan trikomata tipe stellate daun kakao ... 63

(18)

yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin (DEPTAN 2006). Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Di Indonesia, tanaman kakao lebih banyak ditanam oleh petani kecil (87%), dengan melibatkan sekitar 1.098.488 kepala keluarga petani, sisanya oleh pihak swasta (5%) dan oleh BUMN (8%) (Damarjati 2005).

Kakao banyak ditanam di Pulau Sulawesi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu tanaman ini juga dibudidayakan oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Keberhasilan perluasan areal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia, apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao yaitu lebih dari 6,2 juta Ha terutama di Papua, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Sulawesi Tenggara. Di samping itu kebun yang telah dibangun masih berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas rata-rata saat ini kurang dari 50% potensinya (Goenadi et al. 2005).

Mulai tahun 2009 pemerintah akan melaksanakan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional di 9 provinsi dan di 40 kabupaten. Gerakan yang dilaksanakan sampai tahun 2011 ini bertujuan untuk mempercepat peningkatan produktivitas dan mutu kakao nasional dengan memberdayakan/melibatkan secara optimal seluruh potensi pemangku kepentingan (stakeholder) perkakoan nasional. Indonesia adalah negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading, dengan luas areal 1.563.423 ha dan produksi 795.581 ton. Sungguhpun Indonesia dikenal sebagai negara produsen kakao terbesar di dunia, tapi produktivitas dan

(19)

mutunya masih sangat rendah. Rata-rata produktivitasnya hanya 660 kg/ha, sedangkan Pantai Gading produktivitasnya sudah mencapai 1,5 ton/ha. Tingkat produktivitas saat ini 660 kg/ha atau turun sekitar 40% dari produktivitas yang pernah dicapai yaitu sebesar 1.100 kg/ha/th. Hal ini berarti ada kehilangan hasil sebesar 198.000 ton/th atau setara dengan Rp 3,96 triliyun. Penyebab utama rendahnya produktivitas dan mutu adalah karena serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) (http://www.indonesia.go.id/id).

Di samping itu faktor penting lain yang berpengaruh terhadap produksi kakao adalah curah hujan (Zuidema et al. 2005). Tanaman kakao menghendaki sebaran hujan yang relatif merata sepanjang tahun tanpa bulan kering. Daerah produsen kakao umumnya memiliki curah hujan antara 1250-3000 mm tiap tahun. Adanya pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim seperti terjadinya musim kering yang panjang yang berasosiasi dengan ENSO (El Nino Southern Oscillation). Para ahli klimatologi memperkirakan peristiwa tersebut akan lebih sering terjadi di masa yang akan datang (Nepstad et al. 2007). Penelitian sosio-ekonomi tentang akibat kekeringan yang berasosiasi dengan ENSO terhadap produksi kakao di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa peristiwa tersebut dapat menurunkan produksi kakao sebesar 62 % (Keil et al. 2008).

Penelitian pengaruh kekeringan karena ENSO secara langsung agak sulit dilakukan, karena hal itu tidak dapat diprediksikan dengan tepat kapan dan dimana terjadinya. Salah satu alternatif untuk melakukan simulasi ENSO adalah dengan menggunakan sistem atap (roofing) atau disebut throughfall displacement experiment (TDE) selama periode waktu tertentu. Metode ini sudah banyak dilakukan di negara-negara sub tropika dan tropika, namun di Indonesia sendiri belum pernah dilakukan. Sistem TDE dilakukan dengan cara membuat atap yang dapat dibuka/ditutup dan ditempatkan di bawah kanopi pohon untuk dapat mengurangi infiltrasi air ke dalam tanah sehingga dapat mencerminkan kondisi kekeringan karena lama dan intensitasnya dapat diatur. Selama dekade tahun terakhir ini beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan metode ini seperti pada hutan tropis di wilayah Tengah dan Bagian Timur Amazonia (Stokstad 2005).

Penelitian tentang respon cekaman kekeringan pada tanaman kakao sudah banyak dilakukan terutama pada tanaman muda/semai. Namun demikian

(20)

Hanson 2006). Pada kenyataannya akar juga memegang peran penting dalam merespon stres kekeringan (Becker and Castillo 1990). Penelitian ini akan lebih banyak difokuskan pada respon sistem perakaran dari tanaman kakao terutama yang disebabkan karena cekaman kekeringan seperti sifat hydraulic conductivity akar. Steudle (2000) menyatakan hydraulic conductivity akar mempunyai respon yang berbeda baik terhadap faktor eksternal seperti kekeringan dan salinitas maupun faktor internal tanaman seperti status nutrien dan status air tanaman; atau kebutuhan air pucuk tanaman. Namun demikian mekanisme peristiwa tersebut masih sangat sedikit yang telah diketahui. Demikian juga perubahan fineroot menyumbang bagian yang penting pada siklus nutrien dalam sistem agroforestri dimana pada sistem tersebut terjadi kompetisi kebutuhan air dan nutrien (Bolte & Villanueva 2006).

Pada umumnya tanaman kakao ditanam pada sistem agroforestri dengan beberapa pohon pelindung seperti Gliricidia sepium, kelapa (Cocos sp), kaliandra, dan lain-lain. Pohon pelindung umumnya digunakan untuk mengurangi intensitas cahaya matahari serta penyediaan hara untuk tanaman kakao. Seiring dengan bertambahnya umur tanaman kakao, petani biasanya melakukan pengurangan jumlah pohon pelindung yang ditujukan untuk meningkatkan produksi. Di beberapa daerah banyak pula ditemukan kebun kakao tanpa pohon pelindung.

Selama ini belum banyak informasi tentang fungsi pohon pelindung khususnya dalam penyediaan air bagi tanaman kakao saat kondisi lingkungan mengalami cekaman kekeringan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji juga beberapa sifat biologi dari pohon G.sepium yang merupakan tanaman pelindung paling dominan di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Penelitian cekaman kekeringan terhadap tanaman kakao dengan sistem TDE ini merupakan bagian dari penelitian ‘The Sulawesi Throughfall Displacement Experiment - Ecosystem and Economic responses to ENSO droughts in rainforest and agroforest” dari program penelitian “Stability of Rainforest Margins in Indonesia” (STORMA) yang dibiayai oleh German Research Foundation (DFG-SFB 552).

(21)

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa respons morfofisiologi tanaman kakao pada sistem agroforestri sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE dengan :

1. Mengkaji perubahan status air tanah dan akar serta kandungan proline akar kakao dan G. sepium

2. Mengkaji perubahan nilai hydraulic conductance dan persentase embolisme akar serta menganalisa anatomi akar dari tanaman kakao dan G. sepium 3. Mengkaji perubahan kandungan karbohidrat (glukosa, sukrosa dan pati), pertumbuhan fineroot

4. Mengkaji perubahan kandungan dan nilai resorpsi N dan P, specific leaf area, tipe dan kerapatan trikomata daun kakao.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa sistem TDE dapat menurunkan infiltrasi air ke dalam tanah sehingga dapat menyebabkan kandungan air tanah turun. Penurunan kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao akan mempengaruhi proses-proses fisiologi sehingga dapat menurunkan pertumbuhannya.

Manfaat Penelitian

Setelah mengetahui sifat biologi antara pohon kakao dan G. sepium pada perlakuan cekaman kekurangan air dan fluktuasi musimannya, informasi ini dapat digunakan dalam pengaturan sistem agroforestri kakao khususnya pada saat musim kemarau panjang.

Novelity Penelitian

Penelitian tentang pengaruh simulasi ENSO terhadap tanaman perkebunan agroforestri kakao dengan menggunakan sistem TDE belum pernah dilakukan, hal ini dibuktikan dengan belum didapatkannya suatu publikasi tentang hal ini. Penutupan dengan panel plastik ini meliputi kebun kakao seluas 1 Ha, dan hal ini merupakan penutupan terluas yang pernah dilakukan di dunia.

Penelitian tentang cekaman kekeringan pada tanaman kakao sudah banyak dilakukan dan dipublikasikan, tetapi umumnya pada tanaman yang berupa semai. Sementara penelitian ini dilakukan pada pohon kakao yang

(22)
(23)

Penelitian dilakukan di perkebunan kakao Marena Desa O’o, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Donggala, yang merupakan daerah di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Propinsi Sulawesi Tengah (Gambar 1). Tempat ini berada pada ketinggian 585 m di atas permukaan laut, dengan koordinat 1.5524o Lintang Utara dan 120.0206o Bujur Timur. Sementara penelitian untuk pengamatan semai kakao dilakukan di daerah Banyumas, Jawa Tengah.

.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian (tanda panah) Dusun Marena, Desa O’o Kecamatan Kulawi selatan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah

Pemilihan area agroforestri kakao didasarkan pada keseragaman tanaman kakao, lokasi penelitian dekat dengan sumber air (area ini berada 30 m di atas sungai) serta dekat dengan jalan raya (Gambar 2).

(24)

Gambar 2 Gambar peta lokasi penelitian yang diambil dari satelit Quickbird pada bulan Mei 2007 (tanda panah putih).

Menurut pemilik kebun, pembuatan agroforestri kakao dimulai pada bulan Desember 2000. Sebelumnya area ini digunakan untuk lahan penanaman padi dan jagung. Tanaman kakao yang digunakan berasal bibit kakao yang berasal dari Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pohon pelindung yang ditanam adalah G. sepium dan kelapa dimana keduanya ditanam satu tahun lebih dahulu sebelum penanaman kakao. Adapun pengurangan jumlah pohon pelindung G. sepium dilakukan mulai tahun ke-6.

Pada tahun 2006 jumlah pohon kakao dalam plot penelitian adalah 1030 ± 61 pohon/ha, pohon G.sepium 325 ± 59 pohon/Ha serta kelapa 23 ± 25 pohon/Ha, dengan tinggi pohon kakao 4,5 ±1,1 m, pohon G. sepium 9,5 ± 2,2 m dan kelapa 11,2 ± 2,5 m. Selama penelitian pemangkasan pohon kakao dilakukan pada bulan Juli 2007 dan November 2007. Penggunaan pupuk dan insektisida dihentikan mulai bulan September 2007, namun pengendalian gulma tetap dilakukan.

(25)

Waktu Penelitian

Penelitian dimulai pada bulan Juni 2006 sampai dengan Mei 2008. Tahapan penelitian meliputi survey lokasi, pembuatan plot penelitian, pembuatan konstruksi dan panel atap untuk sistem TDE, pembangunan stasiun mikroklimat, pemasangan atap, serta pengukuran variabel.

Pengukuran variabel dimulai sebelum periode roofing yaitu pada bulan Desember 2006-Februari 2007. Adapun pengamatan selama periode roofing dilakukan setelah 5-7 bulan dan 13 bulan roofing. Periode 5-7 bulan roofing diduga tanaman telah mengalami cekaman kekeringan ringan, sedangkan periode setelah 13 bulan diduga tanaman telah mengalami cekaman kekeringan yang lebih berat.

Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap. Masing-masing tahap percobaan diuraikan sebagai berikut:

Penentuan dan pembuatan plot penelitian

Kurang lebih satu hektare area kebun kakao dengan kemiringan tanah 8-12o, dibagi menjadi enam plot, sehingga masing-masing plot berukuran 35 m x 40 m. Selanjutnya secara acak ditentukan tiga plot sebagai kontrol (plot non roofing), dan tiga plot ditetapkan sebagai plot roofing. Di dalam setiap plot dibuat tiga buah transek yang dipergunakan sebagai area pengambilan dan pengukuran sampel serta penempatan alat-alat untuk mengukur beberapa variabel (Gambar 3).

(26)

Gambar 3 Skema plot penelitian

Pembuatan Konstruksi dan Pemasangan roofing

1. Pembuatan rangka dari bambu dan kayu

Pembuatan talang kayu dan rangka bambu dimulai pada bulan September 2006 sampai Februari 2007. Tinggi talang kayu dan rangka atap 1,2 m atau disesuaikan dengan bagian bawah kanopi pohon kakao maupun kemiringan tanah pada plot penelitian. Fungsi dari talang kayu di samping

(27)

sebagai saluran air juga merupakan penyangga bagi rangka bambu. Jarak antar talang kayu adalah 4,5 m. (Gambar 4a, 4b). Agar air tidak merembes ke tanah, talang kayu dilapisi dengan plastik Polyethylene. Aliran air dari talang-talang di dalam plot roofing ditampung pada sebuah talang kayu yang besar yang pada akhirnya di keluarkan ke dalam saluran air ke luar plot penelitian (Gambar 4d, 4f, 4h).

2. Pembuatan saluran air

Untuk menghindari aliran air masuk dari plot kontrol ke dalam plot roofing, maka di bagian pinggir dari plot roofing dibuat suatu saluran tanah yang dilapisi dengan plastik. Saluran ini mempunyai kedalaman 40 cm yang ditujukan juga untuk mencegah pengambilan air oleh fineroot yang terdapat pada lapisan permukaan atas tanah (Gambar 4e). Saluran air ini juga berakhir pada saluran besar yang menuju ke sungai.

3. Pembuatan dan pemasangan panel atap

Panel atap terbuat dari panel-panel bambu yang dilapisi dengan plastik Polyethylene (PE) low density. Ukuran panel atap standar adalah 5 m x 0.5 m, disamping itu juga dibuat panel - panel atap yang lebih kecil dengan ukuran 30 cm x 60 cm (atau disesuaikan dengan kebutuhan) (Gambar 4c ).

Pemasangan panel atap dimulai pada tanggal 1 Maret 2008. Panel atap dipasang mengikuti arah kemiringan tanah seperti yang terlihat pada Gambar 4. Satu persatu panel standar dipasang di atas rangka bambu (Gambar 4g, 4i). Setelah panel standar terpasang semua baru di pasang panel-panel kecil untuk menutup bagian di sekitar batang pohon.

4. Pemeliharaan rangka serta atap

Pemeliharaan rangka dan panel atap mutlak dilakukan selama penelitian. Disamping itu dilakukan pembersihan atap dari serasah daun yang jatuh keatasnya. Kegiatan ini dilakukan rutin satu minggu sekali dalam keadaan tidak hujan (Gambar 4j).

(28)

Gambar 4. Pembuatan kontruksi dan pemasangan roofing

4a-b rangka bambu dan kayu, c panel-panel bambu yang dilapisi dengan plastik PE , 4d, 4f, 4h talang kayu yang dilapisi plastik yang berfungsi sebagai penopang atap dan saluran air, 4e saluran air dengan kedalaman 40 cm yang dilapisi plastik, 4g-4i proses pemasangan atap dan keadaan plot saat atap sudah terpasang sempurna, 4j pemeliharaan konstruksi dan atap.

a b

c d

e f

g h

(29)

Pengukuran throughfall dan cuaca

1. Pengukuran throughfall

Pengukuran throughfall pada plot roofing dilakukan dengan menggunakan corong plastik berdiameter 25 cm. Corong ini diletakan di atas dan di bawah atap. Untuk yang di atas , corong diletakan pada ketinggian 150 cm, sedangkan di bawah atap, corong diletakkan pada ketinggian 50 cm atau disesuaikan dengan tinggi atap. Semua corong dihubungkan dengan slang plastik ke dalam jirigen plastik berukuran 20 liter (Gambar 5a). Letak antar jirigen adalah 5 m, sehingga tiap plot terdapat 42 buah jerigen.

Pengukuran throughfall di plot kontrol menggunakan talang plastik berdiameter 25 cm dan panjang 4 m yang diletakkan di bawah kanopi pohon pada ketinggian 50 cm dan 120 cm. Air yang mengalir dari talang tersebut ditampung pada jirigen yang diberi corong plastik. Pada setiap plot kontrol mempunyai 6 buah talang dengan jarak antaranya adalah 15 m (Gambar 5b tanda panah merah).

Pengukuran volume air pada jirigen diukur setiap satu minggu sekali atau bila jirigen sudah hampir penuh, dan hal ini sangat tergantung pada tingginya curah hujan. Oleh karena itu pengecekan jirigen dilakukan setiap hari.

2. Pengukuran cuaca

Temperatur dan kelembaban di bawah kanopi pohon kakao diukur dengan menggunakan Hobo yang diletakkan pada tiang kayu pada ketinggian 80 cm dan 200 cm (Gambar 5c).

Untuk mengukur temperatur dan kelembaban udara serta curah hujan harian di lokasi penelitian dibangun sebuah stasiun cuaca yang terletak 20 m di samping kanan plot penelitian dengan tinggi 5 m (Gambar 5d).

Temperatur dan kelembaban udara relatif diukur menggunakan CS 215, Campbell Scientific Inc., Logan, UT USA, sementara curah hujan diukur dengan menggunakan ARG 100, Campbell. Data terekam pada interval waktu lima detik disimpan dalam data logger CR800 (Campbell) setiap 30 menit sekali

(30)

Gambar 5 Pengukuran throughfall dan cuaca. 5a Pengukuran throughfall di atas atap pada plot roofing. 5b Jirigen dan talang plastik untuk mengukur trhroughfall di di plot kontrol (tanda panah merah), 5c Hobo untuk mengukur suhu dan kelembaban di bawah kanopi (tanda panah merah) dan 5d Stasiun cuaca pada plot penelitian (tanda panah merah)

a b

(31)

Pendahuluan

Air merupakan salah satu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Air dibutuhkan untuk bermacam-macam fungsi tanaman, yaitu : (1) pelarut dan medium untuk reaksi kimia, (2) medium untuk transpor zat terlarut organik dan anorganik, (3) zat yang memberikan turgor pada sel tanaman, (4) hidrasi dan netralisasi muatan pada molekul-molekul koloid, (5) bahan baku untuk fotosintesis, proses hidrolisis dan reaksi-reaksi kimia lainnya dalam tumbuhan, (6) transpirasi untuk mendinginkan tanaman (Gardner et al.1991).

Cekaman kekeringan didefinisikan sebagai kondisi menurunnya potensial air tanah sehingga fungsi tanaman di bawah optimum. Cekaman kekeringan merupakan faktor yang paling umum menjadi pembatas untuk pertumbuhan vegetasi tanaman (Kozlowski et al. 1991). Cekaman kekeringan atau “drought stress” dapat terjadi karena beberapa hal yaitu : (1) tingginya kecepatan evapotranspirasi yang melebihi persediaan air tanah ke akar yang akan mengakibatkan penurunan potensial air, (2) adanya senyawa yang bersifat osmotik, seperti pada tanah salin, yang menurunkan pengambilan air sehingga terjadi penurunan potensial osmosis dan menyebabkan akar tidak cukup menyerap air tanah (Borges 2003).

Pada keadaan normal tanaman membutuhkan keseimbangan potensial air antara tanah-akar-daun-atmosfir. Keseimbangan ini berarti menunjukkan adanya gradien potensial air antara bagian-bagian tersebut yang memungkinkan tanaman untuk melakukan transpor air dan hara dari akar ke daun. Air akan mengalir dari potensial air tinggi ke potensial air rendah, sehingga potensial air di tanah haruslah lebih tinggi dibandingkan dengan potensial air di akar, daun dan atmosfer yang dipengaruhi oleh proses transpirasi (Taiz & Zeiger 1991). Sedikit saja terjadi ketidakseimbangan air di dalam tubuh tanaman akan mengakibatkan defisit air sehingga menyebabkan terganggunya sejumlah proses selular. Oleh karena itu tanaman harus memelihara perimbangan antara pengambilan dan penguapan air, hal ini menjadi tantangan yang serius bagi tanaman darat (Nobel 1983).

Potensial air merupakan ukuran bagi energi bebas air per satuan volume (J.m-3). Satuan ini setara dengan satuan tekanan Pascal, yang merupakan

(32)

tanaman (Kramer & Boyer 1995). Ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan kehilangan air akibat transipirasi dari daun membuat tanaman menjadi layu.

Beberapa tanaman dapat mempertahankan tekanan turgor yang tinggi pada potensial air yang agak rendah dengan cara meningkatkan potensial osmotik melalui akumulasi zat terlarut yang meningkat di dalam sel. Proses ini disebut penyesuaian osmotik (osmotic adjustment) atau regulasi osmotik. Adanya penyesuaian osmotik, berarti menjaga turgor sel sehingga berarti pula menjaga integritas dan proses fisiologi sitoplasma. Penyesuaian osmotik berpotensi menjaga proses fotosintesis dan pertumbuhan tanaman (Riduan 2007).

Potensial air daun total dapat dipelihara selama cekaman kekeringan sedang, melalui penyesuaian osmotik dengan melibatkan senyawa osmotik kompatibel. Senyawa organik terlarut yang terlibat pada penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula-gula, asam organik, asam amino, dan senyawa terlarut kompatibel (Sanchez et al. 1998).

Bahan Dan Metode

Tanaman kakao berumur kurang lebih 6 tahun (tanaman sudah menghasilkan = TM) serta tanaman G.sepium yang berumur 7 tahun. Semai kakao berumur 12 bulan. Tanaman kakao yang digunakan dalam penelitian ini adalah klon hibrida.

Pengukuran kandungan air tanah

Pengukuran kandungan air tanah di sekitar pohon dilakukan dengan menggunakan tensiometer (Tensio 100 UGT WIKAI). Pengukuran kandungan air tanah dilakukan antara jam 12.00-14.00. Cara pengukurannya adalah dengan cara memasukkan dengan hati-hati ujung logam tensiometer ke dalam tanah pada kedalaman 10-15 cm pada jarak 1 m dari batang pohon. Pengukuran dilakukan selama kurang lebih 30-60 detik atau sampai jarum penunjuk sudah tidak bergerak lagi. Skala angka yang dipergunakan adalah dalam satuan

(33)

kikopascal (KPa). Angka yang didapat dimasukkan dalam rumus : (-0,0663-0,0063*(1/G2*1000)+0,0007*(1/G2*1000) ^2*100, dimana G2 merupakan angka yang terukur pada tensiometer. Rumus ini merupakan hasil kalibrasi yang dilakukan oleh M.Kohler di Universitas Gottingen, Jerman. Setiap plot dipilih 6 pohon kakao dan 3 pohon G. Sepium, dan masing-masing pohon dilakukan pengukuran sebanyak empat kali yaitu di sebelah utara, selatan, barat dan timur dari pohon tersebut.

Pengukuran pertumbuhan akar

Untuk menentukan pertumbuhan biomassa akar kakao dan G. sepium digunakan metode ingrowth. Metode ingrowth digunakan untuk mengetahui pertumbuhan biomasa akar. Alat yang digunakan berupa tabung silinder baja dengan diameter 7 cm (Gambar 6a). Alat tersebut untuk membuat lubang sedalam 20 cm pada tanah (Gambar 6b). Selanjutnya tanah yang ada di dalam tabung dikeluarkan dan diletakkan di atas lembaran plastik. Dengan menggunakan pinset dilakukan pemisahan akar dari tanah. Akar dimasukkan dalam kantong plastik dan disimpan dalam cooler box bersuhu 20 oC. Sementara itu, tanah yang sudah tidak mengandung akar, dimasukkan lagi ke dalam lubang semula hingga rapat (Gambar 6e). Untuk memudahkan pengamatan pada sekeliling lubang diberi tanda dengan pipa plastik berwarna-warni (Gambar 6f).

(34)

Gambar 6 a.Tabung baja, pemukul karet, pipa plastik b. Pengambilan sampel akar c-d. Pemisahan akar dari tanah e. Pemasukan tanah ke dalam lubang f. Penandaan lubang tanah dengan pipa plastik.

Pengamatan biomassa akar dilakukan dua kali yaitu setelah 6 bulan (Agustus 2007) dan 13 bulan perlakuan roofing (Maret 2008), dengan cara memasukkan tabung baja ke dalam lubang yangsama, bertanda pipa plastik warna warni, lalu akar dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan pada cooler box dan di bawa ke laboratorium untuk pengamatan.

Di laboratorium akar dicuci, setelah itu dilakukan pemisahan antara akar tanaman kakao TM dengan G. sepium maupun akar lain. Akar yang diperoleh dikeringkan pada 60 OC (sampai bobot konstan), kemudian ditimbang.

Pengukuran potensial air akar

Potensial air akar pohon kakao dan G. sepium diukur dengan menggunakan Scholander Pressure Bomb (PMS intrument Co, Corvallis Oregon USA) yang dihubungkan dengan tabung udara bertekanan 200 Bar. Pengukuran potensial air akar dilakukan pada pukul 12.00-14.00, saat cuaca cerah. Adapun pengukuran pada saat sebelum matahari terbit (pukul 04.00-05.00 WITA) hanya dilakukan satu kali yaitu pada bulan September 2007.

f d

e c

(35)

Sampel akar yang diukur potensial air adalah perakaran yang pangkal akarnyanya mempunyai diameter 3-5 mm. Akar yang telah diperoleh dimasukkan dalam plastik rapat dan segera dilakukan pengukuran dengan cara dimasukkan kedalam tutup tabung Scholander. Agar tidak terjadi kebocoran udara diberi perekat yang terbuat dari campuran wax dan karet. Apabila akar sudah terpasang dengan kuat pada tutup tabung, selanjutnya dialirkan udara bertekanan tinggi kedalam tabung tersebut. Setelah tampak titik-titik air pada permukaan potongan akar, aliran udara dihentikan. Nilai tekanan pada saat cairan mulai tampak keluar disebut nilai potensial air akar yang dinyatakan dalam Bar.

Penanaman semai kakao

Untuk mendapatkan tanaman kakao umur 12 bulan dilakukan penyemaian biji kakao terlebih dahulu. Biji kakao yang merupakan klon hibrida berasal dari buah kakao dari Desa O,o Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Sebanyak 36 tanaman kakao berumur 12 bulan ditumbuhkan pada media tanah dalam polibag berukuran 30 cmx 30 cm x 45 cm. Media terdiri dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3 :1. Setiap polibag mempunyai berat media 12 kg. Ada tiga perlakuan kandungan air tanah dalam penelitian ini yaitu 75%, 50% dan 25%. Variabel yang diukur dari percobaan semai adalah kandungan proline total fineroot setelah dua bulan diberi perlakuan cekaman air.

Pengukuran proline total akar

Pada penelitian ini, kajian perubahan proline total fineroot kakao dilakukan juga pada semai kakao umur 12 bulan. Hal ini dilakukan karena pada saat pengukuran proline total fineroot tanaman kakao menghasilkan (TM) pada periode lima bulan roofing tidak memperlihatkan perbedaan signifikan antara proline total kakao yang tumbuh di plot kontrol maupun plot roofing.

Sampel fineeroot diambil dengan menggunakan soil core pada kedalaman tanah 20 cm. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 12.00 - 14.00. Kandungan proline bebas dianalisis berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Bates et al. (1973), dengan menggunakan spektrofotometer Beckman DB-G. Untuk menentukan kadar proline dalam sampel digunakan prolin murni sebagai standar. Asam-ninhydrin disiapkan sebagai pereaksi dengan

(36)

dengan 2 lembar kertas saring whatman. Sebanyak 2 ml filtrat direaksikan dengan 2 ml asam ninhydrin dan 2 ml asam asetat glacial pada tabung reaksi selama 1 jam pada suhu 100oC, kemudian proses reaksi diakhiri dalam “ice – bath”. Campuran ini selanjutnya diekstraksi dengan 4 ml toluene, dikocok dengan kuat menggunakan ”test tube stirrer” selama 15-20 detik. Kromofor yang mengandung toluene diuapkan, dihangatkan pada suhu kamar. Kemudian diukur absorbansinya pada 520 nm dengan spektrofotometer. Untuk blanko digunakan toluene. Konsentrasi proline ditentukan dari kurva dan dihitung berdasarkan bobot kering.

Hasil Dan Pembahasan

Analisa throughfall pada Sistem TDE dan Cuaca di Tempat Penelitian Hasil pengukuran throughfall pada sistem TDE yang dipergunakan untuk simulasi cekaman kekeringan pada agroforestri kakao selama 13 bulan (Maret 2007- Maret 2008) menunjukkan sistem TDE cukup efektif untuk mengurangi infiltrasi air hujan yang jatuh pada agroforestri kakao. Hal itu ditunjukkan dengan persentase penurunan bulan ke 4-13 sebesar 79% (Tabel 1).

Tabel 1. Persentase penurunan throughfall pada plot penelitian

Bulan ke- Persentase penurunan throughfall

2 (April 2007) 52%

3 (Mei 2007) 41%

4-13 (Juni 2007-Maret 2008) 79% Data G.Moser, Oktober 2008, komunikasi pribadi.

Secara geografis lokasi penelitian berada pada ketinggian 585 m di atas permukaan laut, jumlah curah hujan 2844 mm per tahun, kelembaban udara rata-rata berkisar 79-84%, suhu udara di atas kanopi pohon rata-rata 24,4oC sedangkan dibawah kanopi pohon suhu udara lebih rendah yaitu 23,4oC (Tabel 2).

(37)

Tabel 2 Lokasi, karakteristik tanah dan klimatologi pada agroforestri kakao di Marena, Sulawesi Tengah

Karakteristik klimatologi dan tanah

Altitudea 585 m d.p.l.

Sudut kemiringan tanaha 8-12°

Tipe tanahb Cambisol

Suhu udara rata-rata c 24,4° C

Suhu udara rata-rata di sekitar pohona 23,4° C

Suhu udara di Kecamatan Gimpue 25,5° C

Kelembaban relatif rata-rata c 79,0-84,0 %

Curah hujan per tahun c 2844 mm

Curah hujan per tahun di Kecamatan Gimpue 2295 mm

Keterangan :

a Data G. Moser : suhu yang diukur dengan sensor Hobo per plot dengan tinggi 1 m dari tanah. Data air hujan diukur dari Maret 2007 sampai Februari 2008 (2008, belum dipublikasikan, komunikasi pribadi)

b Data tipe tanah (Klasifikasi FAO) dari D. Leitner & M. Bealtzik (2008, belum dipublikasikan, komunikasi pribadi)

d Data klimat agroforestri Marena periode Februari 2007 sampai Mei 2008 oleh M. Köhler 2008, belum dipublikasikan, komunikasi pribadi.

e Data iklim periode 2002-2006 di daerah Gimpu (± 5 km dari Marena; 417 m d.p.l.) diukur oleh H. Kreilein, A. Oltchev & G. Gravenhorst (2008, belum dipublikasikan, komunikasi pribadi)

Curah hujan yang terjadi dari bulan Februari 2007 sampai Mei 2008 menunjukkan penyebaran curah hujan yang hampir merata sepanjang tahun. Curah hujan yang paling rendah terjadi pada bulan Januari 2008 yaitu 44,18 mm. (Gambar 7). Kondisi curah hujan dapat mendukung pertumbuhan tanaman kakao meskipun curah hujan pada tahun 2007 dapat digolongkan tinggi. Hal ini mendukung pendapat Witjaksana (1989) yang menyatakan bahwa tanaman kakao dapat tumbuh baik pada ketinggian sampai 600 m dpl, curah hujan berkisar 1500-2500 mm per tahun, kelembaban udara 50-60%, serta suhu udara ± 25oC.

(38)

0 50 100 150 200 250 300 F 2007 M A M J J A S O N D J 2008 F M A M Bulan Cu ra h H u ja n ( m

Gambar 7 Data curah hujan bulanan mulai Februari 2007 (F 07) sampai dengan Mei 2008 di plot penelitian Marena, Sulawesi Tengah (Data M.Köhler 2008). Keterangan tanda lingkaran biru menunjukkan pengukuran variabel sebelum dilakukan perlakuan TDE, tanda merah menunjukkan pengukuran variabel setelah perlakuan 5, 6 dan 7 bulan roofing, tanda hijau pada saat pengukuran 13 bulan perlakuan, dan tanda hitam menunjukkan satu bulan setelah pembukaan roofing (khusus untuk pengukuran kandungan air tanah).

Analisa tanah menunjukkan jenis tanah pada lokasi penelitian adalah tipe Cambisol. Analisis pada kedalaman tanah 5 - 250 cm menunjukkan semakin dalam kedalaman tanah, semakin berkurang kandungan liatnya (Tabel 3).

Tabel 3 Tekstur tanah dan bulk density pada plot penelitian sebelum perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Tekstur Tanah (%) Bulk density

Kedalaman Tanah (cm)

Pasir Debu Liat (g cm-3)

5 60,2±3,4 27,0±2,5 12,8±2,2 1,25±0,04$ 10 55,0±2,1 29,7±3,6 15,3±2,4 1,28±0,04$ 20 55,7±0,9 28,2±3,0 16,1±3,5 1,31±0,02$ 40 53,9±4,8 26,5±3,3 18,6±2,9 1,32±0,05$ 75 57,9±2,3 22,8±3,4 19,3±3,3 1,37±0,09$ 150 68,7±5,3 19,4±3,0 11,9±4,4 1,52±0,10$ 250 70,3±7,1* 22,8±6,4* 6,9±2,3* 1,60±0,06

(Data D. Leitner & B. Michalzik, (unpubl.). * n=5; $ n=12, Bulk density data O. van

(39)

Demikian juga kandungan C, N dan C/N ratio tanah semakin menurun dengan semakin bertambahnya kedalaman tanah (Tabel 4).

Tabel 4 Kandungan C, N dan C/N ratio tanah pada plot penelitian sebelum perlakuan stres kekeringan

Kedalaman Tanah (cm) N (%) C (%) C/N pH (H2O) 5 0,15±0,02 1,65±0,31 10,9±0,9 5,88±0,35 10 0,11±0,03 1,26±0,40 11,2±0,8 6,00±0,44 20 0,06±0,01 0,70±0,14 10,9±0,6 6,12±0,42 40 0,04±0,003 0,44±0,05 10,2±0,7 5,87±0,20 75 0,03±0,004 0,33±0,04 8,9±0,6 5,86±0,31 150 0,02±0,003 0,19±0,05 6,7±1,1 5,93±0,20 250 0,02±0,002# 0,08±0,01# 3,9±0,5# 6,08±0,73#

(Data D. Leitner & B. Michalzik, (unpubl.komunikasi pribadi). # n=3.

Analisis Kandungan air tanah di sekitar pohon kakao dan G. Sepium

Perubahan kandungan air tanah di sekitar pohon kakao dan G.sepium selama cekaman kekeringan dan satu bulan setelah pembukaan atap disajikan pada Gambar 8 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Juli 07 Maret 08 Mei 08

K a ndunga n A ir Ta na h ( % ) Kontrol Roofing

(5 bulan roofing ) (13 bulan roofing ) (1 bulan setelah pem bukaan atap)

Gambar 8 Kandungan air tanah (%) pohon kakao selama dan sesudah perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Dari hasil analisis statistik terhadap kandungan air tanah (kedalaman tanah 20 cm) di sekitar pohon kakao menunjukkan bahwa perlakuan TDE dan bulan berpengaruh terhadap kandungan air tanah (p =0,0022). Pengukuran kandungan air tanah di sekitar pohon kakao 5 bulan setelah roofing menunjukkan plot roofing (20,38±3,67%) lebih rendah daripada plot kontrol

(40)

(34,08±2,88%) kandungan air tanah plot roofing 57% lebih rendah dari plot kontrol).

Setelah dilakukan pembukaan atap pada plot roofing selama ± satu bulan ( Mei 2008), kandungan air tanah di sekitar pohon kakao pada plot roofing (32,60±1,77%) dan plot kontrol (36,23±1,74%) sama. Keadaan tersebut disebabkan karena selama bulan April 2008 curah hujan relatif tinggi yaitu 353,22 mm, sehingga kandungan air tanah di plot roofing naik dan mencapai keadaan yang hampir sama dengan plot kontrol. Perbedaan kandungan air tanah antara kedua plot hanya 11%.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Juli 07 Maret 08 April 08

K a ndunga n A ir Ta na h (% ) Kontrol Roofing

(5 bulan roofing ) (13 bulan roofing ) (1 bulan setelah pembukaan atap)

Gambar 9 Kandungan air tanah (%) pohon G. sepium selama dan sesudah perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Analisis statistik terhadap kandungan air tanah (kedalaman tanah 20 cm) di sekitar pohon G. sepium juga menunjukkan perlakuan TDE dan waktu berpengaruh terhadap kandungan air tanah (p =0,0001). Berbeda dengan kandungan air tanah di sekitar pohon kakao, pada bulan ke 5 sesudah roofing kandungan air tanah di sekitar pohon G.sepium masih menunjukkan keadaan yang sama antara plot roofing (22,79±2,67%) dan plot kontrol (25,11±1,32%). Perbedaan kandungan air tanah di kedua plot 10%. Tetapi 13 bulan setelah

(41)

roofing (Maret 2008), kandungan air tanah pada plot roofing lebih rendah (23,14±3,23 %) dibanding plot kontrol (34,08±2,88 %) (P=0,0001) (perbedaan kandungan air tanah antara kedua plot 47,27%). Sama halnya pada pohon kakao, satu bulan setelah pembukaan atap, kandungan air tanah di sekitar pohon G.sepium juga menunjukkan nilai yang sama antara plot roofing (33,39±1,74%) dan plot kontrol (36,32±1,78%), dimana perbedaan kandungan air tanah kedua plot tersebut adalah 8,7%.

Biomassa akar kakao dan G.sepium

Hasil analisis statistik terhadap biomassa akar kakao menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara plot roofing dan kontrol (p= 0,9737), demikian juga biomassa bulan ke 6 dan 13 bulan setelah roofing adalah sama (p=0,4545). Pengamatan setelah 6 bulan roofing (Agustus 2007) pada plot kontrol 31,85±10 g/m3. dan plot roofing biomasa akar kakao 22,74±4,9 g/m3, dan pada bulan ke 13 (Maret 2008) menunjukkan pertumbuhan biomassa akar kakao plot kontrol 24,83±4,6 g/m3 dan pada plot roofing 27,24±2,5 g/m3 dan (Gambar 10).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Ags 07 Maret 08 Bi o m as a Fin e root (g /m 3 ) Kontrol Roofing

(6 bulan roofing) (13 bulan roofing)

Gambar 10 Biomassa fineroot kakao selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Hasil analisis statistik terhadap biomassa akar G. sepium menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara plot roofing dan kontrol (p= 0,9737), namun demikian biomassa akar dipengaruhi oleh waktu (p=0,0017) (Gambar 11). Pertumbuhan akar G. sepium pada lapisan tanah 20 cm mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu penelitian, dimana biomasa akar G. sepium setelah 6 bulan (Agustus 2007) pada plot roofing adalah 24,50±4,9 g/m3

(42)

permukaan atas lebih didominasi coarse root (Gambar 12). 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Ags 07 Maret 08 Bi o m as a Fine root (g /m 3 ) Kontrol Roofing (13 bulan roofing) (6 bulan roofing)

Gambar 11 Biomassa fineroot G. sepium selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Gambar 12 Sistem perakaran pohon G Sepium yang telah dibersihkan dari tanah. Tanda panah merah menunjukkan coarse root yang terdapat pada lapisan permukaan.

Analisis potensial air akar kakao dan G.sepium

Hasil analisis statistik terhadap potensial air akar kakao menunjukkan perlakuan TDE dan waktu berpengaruh (p = 0,0001). Pengukuran potensial air akar pada kedalaman 20 cm, jam 12.00-14.00 ditunjukkan pada Gambar 13.

(43)

-12

-10

-8

-6

-4

-2

0

Po te n s ia l A ir ( B a r) Kontrol Roofing

Feb 07

Juli 07

Ags 07

Sep 07

Mar 08

(sebelum roofing )

(5 bulan ) (6 bulan ) (7 bulan ) (13 bulan )

periode roofing

Gambar 13 Potensial air akar kakao (Bar) sebelum dan selama cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Dari gambar di atas menunjukkan potensial air akar kakao sebelum pemasangan atap (Februari 2007) menunjukkan nilai yang sama antara plot kontrol (1,28 ± -0,1 Bar) dan plot roofing (-1,25 ± -0,09 Bar). Pada bulan ke 5 (Juli 2007) nampak bahwa potensial air akar kakao pada plot roofing mulai mengalami penurunan dimana pada plot roofing -3,88 ± -0,28 Bar, sedangkan plot kontrol -1,38 ± -0,1 Bar. Pengukuran bulan ke 6, potensial air akar kakao semakin menurun pada plot roofing (-5,88 ± -0,27) sedangkan potensial air akar tanaman kakao pada plot kontrol -1,51 ± -0,14 Bar. Saat bulan ke 7 (September 2007) terjadi penurunan potensial air akar kakao yang cukup tajam pada pada plot roofing yang mencapai -9,31 ± -0,47 Bar sedangkan pada plot kontrol (- 4,00 ± -0,26 Bar).

Sementara itu potensial air akar saat pengukuran bulan ke 13, mengalami kenaikan yaitu -5,60 ± -0,71 Bar pada plot roofing dan -3,21 ± -0,47 Bar pada plot kontrol. Keadaan ini karena ada pengaruh lingkungan dimana curah hujan yang terjadi pada bulan Juli 2007 (116 mm), Agustus 2007 (238 mm) dan September 2007 (210 mm) relatif lebih rendah sehingga air yang ada di dalam tanah juga berkurang. Apabila dalam jangka waktu tertentu tidak ada penambahan air oleh hujan atau irigasi maka tanah akan mengering dan tanaman akan segera memperlihatkan pengaruhnya terhadap kekeringan tersebut. Pada bulan Maret 2008 curah hujan 345,68 mm lebih tinggi daripada

(44)

G. sepium menunjukkan tidak dipengaruhi oleh perlakuan TDE (p = 0,1465) hanya dipengaruhi oleh musim (p = 0,0001). Selama penelitian potensial air akar G.sepium antara plot roofing dan kontrol sama. Potensial air akar G. sepium sebelum pemasangan atap (Februari 2007) adalah -1,72 ± -0,12 Bar pada plot kontrol dan -1,39 ± -0,14 Bar pada plot roofing. Sampai bulan ke 5 setelah ternyata nilai potensial air akar G.sepium belum mengalami penurunan dimana pada plot kontrol -1,32 ± -0,2 Bar dan pada plot roofing -1,10 ± -0,1 Bar. Penurunan potensial air akar yang signifikan terjadi pada bulan ke 6 yaitu -2,22 ± -0,32 Bar ( plot kontrol) dan -2,11 ± -1,05 Bar (plot roofing). Potensial air akar G.sepium semakin turun pada bulan ke 7 4,81 ± 0,86 Bar (plot kontrol) dan 4,89 ± 1,60 Bar (plot roofing). Sedangkan pada bulan ke 13 potensial air akar -3,36 ± -2,31 Bar (plot kontrol), dan -5,07 ± -1,24 Bar (plot roofing).

-12 -10 -8 -6 -4 -2 0 P o te n s ia l A ir ( B a r) Kontrol Roofing Feb 07 Juli 07 Ags 07 Sep 07 Mar 08

(5 bulan ) (6 bulan ) (7 bulan ) (13 bulan ) periode roofing

(sebelum roofing )

Gambar 14 Potensial air akar G. sepium (Bar) sebelum dan selama cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Apabila ditinjau waktu penurunan potensial air akar, akar tanaman kakao mengalami penurunan lebih dahulu dibandingkan akar G.sepium (pada bulan ke 5 roofing kandungan air tanah di sekitar pohon G.sepium sama antara plot kontrol dan roofing). Demikian juga penurunan potensial air akar pada tanaman

(45)

kakao juga lebih tajam dibanding G. sepium karena pada saat potensial air akar kakao mencapai 9,31 ± 1,98 Bar potensial air akar G.sepium hanya 4,85 ± -1,25 Bar. Penurunan potensial air akar kakao pada siang hari yang cukup signifikan itu menunjukkan tanaman tersebut telah mengalami cekaman. Cekaman kekeringan dapat dibagi dalam tiga kelompok, (1) cekaman ringan : jika potensial air daun menurun -0,1 MPa (-10 Bar), (2) cekaman sedang : jika potensial air daun menurun 1,2 – 1,5 MPa dan (3) cekaman berat : jika potensial air daun menurun > 1,5 MPa. Potensial air daun kakao yang terukur berkisar -10 sampai -16 Bar (Data Michael Kohler, komunikasi pribadi), dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa tanaman kakao pada bulan September 2007 mengalami cekaman kekeringan sedang. Menurut Harjadi & Yahya (1988) bahwa cekaman air yang sedikit saja (-1 sampai -3 Bar) cukup menyebabkan pelambatan atau berhentinya pembelahan dan pembesaran sel. Cekaman kekeringan dengan TDE selama 13 bulan juga tidak berpengaruh nyata terhadap produksi buah kakao 10 %. Pada plot roofing produksi buah 10% lebih rendah dibanding plot kontrol. Namun demikian pengamatan produksi buah kakao selama periode rewetting (Mei 2008) menunjukkan perbedaan nyata dimana produksi buah kakao pada plot roofing 53% lebih rendah dari plot kontrol (Data Gerald Moser 2008, belum dipublikasikan).

Akar kakao pada lapisan tanah 20 cm lebih sensitif terhadap perubahan kandungan air tanah dibanding G.sepium. Pada lapisan tanah 20 cm, air tanah di sekitar perakaran kakao lebih cepat turun, hal itu disebabkan pada lapisan ini merupakan zona perakaran aktif terbanyak bagi tanaman kakao. Menurut Zuidema et al. (2005) dan Susanto (1994) akar lateral kakao sebagian besar (sekitar 56%) tumbuh pada lapisan tanah atas sedalam 0-10 cm. Sedangkan 26% pada bagian lapisan yang lebih dalam (11-20 cm), dan sekitar 14% pada bagian yang lebih dalam lagi (21-30 cm), dan hanya sekitar 4,5% tumbuh pada kedalaman lebih dari 30 cm. Dengan demikian berkurangnya kandungan air tanah di sekitar perakaran kakao akan menurunkan kelembaban tanahnya oleh karena itu akar kakao harus mempunyai potensial air akar lebih rendah agar air dari tanah dapat masuk ke dalam akar.

Pada saat air tanah di sekitar tanaman kakao berkurang/habis dan air hanya terdapat di lapisan yang lebih dalam lagi, maka akar-akar G.sepium yang masih dapat menyerapnya. Zona penyerapan air pada tanaman G.sepium oleh akar lebih luas dan dalam daripada akar kakao, oleh karenanya kelembaban

(46)

Meskipun penurunan potensial air pada tanaman kakao cukup signifikan namun potensial air akar kakao pada jam 04.00-05.00 menunjukkan kenaikan (Tabel 5). Pada waktu pagi hari nilai potensial air akar kakao naik hingga < –0,5 Bar, sementara pada jam 12.00-14.00 potensial akar kakao dapat mencapai -10 Bar. Demikian juga yang terjadi pada akar G.sepium, potensial air akarnya juga mengalami kenaikan, hanya saja potensial air akar pada siang hari penurunannya tidak setajam pada akar kakao. Naiknya potensial air akar pada pagi hari pada tanaman kakao dimungkinkan karena adanya peristiwa nocturnal hydraulic lift dari pohon G.sepium. Tanaman melakukan transpirasi pada waktu siang hari, sementara pada malam harinya ketika transpirasi menurun masih terjadi sisa tarikan transpirasi sehingga terjadi proses nocturnal hydraulic lift. Peristiwa nocturnal hydraulic lift merupakan suatu mekanisme gerakan pasif air pada xilem akar karena adanya perbedaan potensial air tanah. Karena potensial air tanah pada lapisan permukaan atas tanah lebih rendah dari lapisan tanah yang lebih dalam, maka terjadi aliran air dari dalam ke atas.

Tabel 5 Potensial air akar kakao dan G. sepium yang diukur pada pukul 04.00 - 05.00 WITA pada bulan September 2007

Tanaman Plot Kontrol Plot Roofing Kakao < -0,5 Bar (n=5) < -0,5 – -0,5 Bar (n=5) G sepium << -0,5 – -0,5 Bar (n=4) < -0,5 – -0,5 Bar (n=2)

Menurut Richards and Caldwell (1987); Dawson (1993); Yoder & Nowak (1999) hydraulic redistribution oleh akar tanaman biasanya terjadi pada malam hari ketika transpirasi berkurang, oleh karenanya disebut juga nocturnal hydraulic lift. Ditambahkan oleh Richards & Caldwel (1987) akar pohon yang berada di dalam tanah dapat mengangkut air secara hidrolik dari daerah yang letaknya beberapa meter di bawah permukaan tanah ke daerah yang lebih kering di atasnya dengan cara melepaskan air tersebut. Penelitian dari Burgess et al. 1998,; Schulze et al. 1998; Sakuratani et al. 1999; Smith et al. 1999, menunjukkan aliran getah akar tunggang dan akar lateral pohon dapat

(47)

meredistribusikan air ke arah bawah atau lateral dari lapisan tanah yang lembab ke tanah yang lebih kering. Menurut Amenu & Kumar ( 2007) peristiwa hydraulic redistribution ini dapat juga terjadi dari akar yang berada di lapisan dangkal ke lapisan dalam atau sebaliknya.

Analisis kandungan proline total fineroot kakao TM dan G.sepium

Analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan proline total akar kakao dan akar G. sepium tidak dipengaruhi oleh perlakuan TDE (p akar kakao = 0,1751 dan p akar G. sepium = 0,1093), namun dipengaruhi oleh waktu (p = 0,0002 untuk akar kakao dan G. sepium) (Tabel 6).

Tabel 6 Kandungan proline total akar fineroot kakao dan G. sepium (μg/bobot kering) selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Juli 07 (5 bulan roofing)

Maret 08 (13 bulan roofing) Pohon

Roofing Kontrol Roofing Kontrol

Kakao 0,47±0,15a 0,44±0,24a 3,76±2,56b 6,90±6,77b

G sepium 1,75±1,25A

1,70±1,32A

11,70±6,73B

7,00±4,79B

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris menunjukkan berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05).

Kandungan proline total fineroot kakao maupun G.sepium pada plot roofing maupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, meskipun pada plot roofing kandungan air tanahnya lebih rendah dari plot kontrol. Hasil pengukuran kandungan proline total pada bulan ke 5 dari fineroot kakao adalah 0,47±0,15 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 0,44±0,25 μg/berat kering (pada plot kontrol) sedangkan fineroot G.sepium relatif lebih tinggi yaitu 1,75±1,25 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 1,70±1,32 μg/berat kering (pada plot kontrol).

Pengukuran kandungan proline total fineroot kakao dan G.sepium pada bulan ke 13, menunjukkan peningkatan yang signifikan dibanding bulan ke 5. Kandungan proline total fineroot kakao meningkat menjadi 3,76±2,55 μg/bobot kering pada plot roofing dan plot kontrol 6,90±6,77 μg/bobot kering, sementara itu pada fineroot G.sepium naik menjadi 11,70±6,73 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 7,00±4,79 (pada plot kontrol).

Apabila dilihat dari peningkatan kandungan proline fineroot nampak bahwa fineroot kakao mengalami peningkatan lebih tinggi dibanding fineroot G.sepium. Peningkatan proline total pada fineroot kakao mencapai 11,59 kali,

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian (tanda panah) Dusun Marena, Desa O’o  Kecamatan Kulawi selatan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah
Gambar 2 Gambar peta lokasi penelitian yang diambil dari satelit Quickbird pada  bulan  Mei 2007 (tanda panah putih)
Gambar 3 Skema plot penelitian
Gambar  4. Pembuatan kontruksi dan pemasangan roofing
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh rata-rata persen removal adsorben logam Cu (II) dan Fe (II) berdasarkan pengaruh konsentrasi mula-mula dengan dosis 20 – 200 mL

Pada keluarga Bapak Saim, yang mana dalam orientasi bertaninya telah mengalami pergeseran dikarenakan bahwa tidak ingin mengganggu pendidikan anaknya, bapak Saim

Pihak pemerintah dalam hal ini menempati posisi dan peran sebagai pengayom, bagi seluruh pihak dalam masyarakat dan pihak yang bersangkutan dalam proses produksi. Pihak

Paket teknologi budi daya kedelai yang diuji adalah (1) tanah diolah sesuai kebiasaan petani, dibajak dua kali dan diratakan menggunakan ternak, tanpa saluran drainase, (2)

Scale- infested cycad leaves from Bogor Botanic Garden were taken to the Department of Crop Protection, Bogor Agricultural University, trimmed, placed in vials of 75% alcohol,

Tanaman kedelai yang mengalami kekeringan pada fase vegetatif mengalami penurunan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat besar (Aboyami, 2008), seperti dengan

Bahwa Pasal 90 UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan Alinea IV Pembukaan, Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945 karena: (a) menghambat pemenuhan hak

Implementasi kebijakan pengelolaan BCF di perairan Banggai Kepulauan berdasarkan kajian hasil penelitian adalah bahwa kuota jumlah BCF yang boleh ditangkap agar ketersediaannya