• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Percaya Diri

2.1.1 Pengertian Percaya diri

Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berfungsi penting dalam kehidupan manusia, karena dengan percaya diri seseorang mampu untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Percaya diri didefinisikan oleh Mastuti (2008) sebagai sikap positif individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Pendapat lain dikemukakan oleh Hambly (1995) sebagaimana dikutip oleh Syaifullah (2010) yang menyatakan, bahwa percaya diri merupakan keyakinan yang kuat dalam diri yang berupa perasaan dan anggapan bahwa dirinya dalam keadaan baik sehingga memungkinkan individu tampil dan berperilaku dengan penuh keyakinan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa percaya diri adalah suatu perasaan yakin pada kemampuan diri sendiri untuk berperilaku atau melakukan pekerjaan dengan baik, sesuai dengan apa yang diharapkan, serta tidak membandingkan dirinya dengan orang lain karena telah merasa cukup aman dan mengerti apa yang dibutuhkannya, sehingga tidak membutuhkan orang lain sebagai standar dalam mengambil suatu keputusan sebab individu tersebut mampu untuk menentukan sendiri.

Apabila dinamika kelompok dikembangkan dan dimanfaatkan secara efektif dalam layanan ini diharapkan tujuan yang ingin dicapai akan tercapai. Salah satu tujuan dari konseling kelompok adalah agar para konseli belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok secara terbuka, dengan saling menghargai dan saling menaruh perhatian. Konseling kelompok merupakan wahana untuk menambah penerimaan diri dan orang lain, menemukan alternatif cara penyelesaian masalah dan mengambil keputusan yang tepat dari konflik yang dialamimya dan untuk meningkatkan tujuan diri, otonomi dan rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian konseling kelompok memberikan kontribusi yang penting dalam meningkatkan percaya diri. Dengan adanya konseling kelompok ini diharapkan secara optimal

(2)

2 siswa mengalami perubahan dan mencapai peningkatan yang positif setelah mengikuti kegiatan konseling kelompok.

Menurut Roger (dalam Winkel dan Hastuti, 2004) konseling Client Centered adalah konseling yang berpusat pada konseli sebagai konsep dan alat baru dalam terapi yang dapat diterapkan pada orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Pendekatan konseling Client Centered menekankan pada kecakapan konseli untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Konsep inti konseling berpusat pada konseli yaitu tentang diri pribadi dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.

2.1.2 Ciri- ciri Percaya Diri

Seseorang yang memiliki percaya diri akan terlihat dalam setiap tindakan dan sikap yang ia lakukan. Fatimah (2008) menyebutkan beberapa karakteristik individu yang percaya diri sebagai berikut:

(1) Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, sehingga tidak membutuhkan pujian ataupun pengakuan dari orang lain.

(2) Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok lain.

(3) Berani menerima dan menghadapi penolakan dari orang lain, berani menjadi diri sendiri.

(4) Punya pengendalian diri yang baik.

(5) Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, bergantung pada usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak bergantung/mengharapkan bantuan orang lain, mempunyai cara pandang positif terhadap diri sendiri dan orang lain dan situasi di luar dirinya)

(6) Memiliki harapan yang realistis terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi. Lauster menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki percaya diri yang tinggi adalah tidak mementingkan diri sendiri, cukup toleran. Ambisius, tidak memerlukan dukungan orang lain, tidak berlebihan, selalu optimis dan gembira, serta dipengaruhi untuk bersikap bebas merdeka.

(3)

3 Oleh seba itu, orang yang memliki percaya diri yakin akan kemandiriannya, karena ia cukup yakin pada dirinya, ia tidak akan secara berlebihan mementingkan dirinya sendiri yang akan mengarah ke congkak, sehingga individu itu bisa dikatakan cukup toleran dan selalu optimis. Tidak perlu bagi dirinya untuk melakukan kompensasi dari keterbatasannya.

Menurut Lauster (dalam Shofiah, 2002) menguraikan ada lima ciri percaya diri yaitu: a. Optimis, adalah sifat senantiasa memiliki harapan dan berpandangan baik dalam menghadapi

segala hal.

b. Mandiri dalam mengerjakan tugas, ialah keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain dalam mengerjakan kewajibanya sebagai mahasiswa.

c. Memiliki ambisi untuk maju, yaitu memiliki dorongan dan berusaha ingin mencapai sesuatu dengan tetap memiliki pertimbangan-pertimbangan yang bijaksana dan sesuai dengan akal sehat.

d. Tidak berlebihan adalah perasaan pasti tentang kemampuan yang dimiliki, sehingga dalam menanggapi sesuatu tidak dengan cara yang berlebihan.

e. Toleransi adalah pengertian yang dimiliki mengenai kekurangan yang ada dalam diri individu untuk menerima pendapat orang lain dan memberi kesempatan kepada orang lain.

Watermen (1991) menyatakan bahwa orang memiliki percaya diri mampu bekerja secara efektif, mampu melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan secara relatife bertanggung jawab serta merencanakana masa depan dengan baik. Lauster (2001) mengatakan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki percaya diri meliputi :

a. Sikap positif terhadap kemampuan, penampilan dan ketrampilan diri sendiri. Orang yang percaya diri akan selalu menilai dirinya mampu dan terampil tanpa harus tergantung pada orang lain karena individu tersebut percaya pada kemampuannya sendiri.

b. Toleran terhadap orang lain

Individu dapat memahami dan menyadari akan adanya orang lain disekitarnya atau tidak mementingkan diri sendiri serta mau menerima pendapat, kelakuan dan gaya hidup orang lain yang berbeda dengan dirinya.

c. Optimis

Memiliki keyakinan dalam menghadapi persoalan hidup dan selalu beranggapan bahwa dirinya akan berhasil.

(4)

4 Mampu mengambil keputusan sendiri sesuai dengan kehendaknya atau pada pendiriannya. e. Tidak membandingkan dirinya dengan orang lain

Merasa aman dengan apa yang ada pada dirinya atau yang dimilikinya dan upaya ukuran kegagalan atau keberhasilan.

f. Tidak pemalu, berani dan tidak mudah gugup

Berani dan tidak gugup bila tampil di depan umum, tidak malu atau tidak takut bila dirinya ditertawakan oleh orang lain dan harus tampil di depan umum.

g. Kreatif dan efektif menyelesaikan masalah

Selalu berusaha mencari jalan keluar untuk menghadapi masalah-masalah yang sedang dihadapinya.

h. Dapat membangun hubungan interpersonal dengan baik

Memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan dengan orang laian dan tercipta kegiatan interpersonal.

i. Bertanggung jawab pada keputusan

Individu berani untuk menanggung resiko atau konsekuensi dengan apa yang telah menjadi pendiriannya dan akibat perilakunya.

Dari pendapat Lauster dan Watermen, dapat dipahami bahwa orang yang memiliki percaya diri merasa akurat terhadap apa yang dilakukannya, percaya pada diri sendiri, memiliki sikap tenang, optimis, mandiri, bertanggung jawab terhadap perbuatannya keputusannya, serta berani mengoreksi kesalahan diri sendiri, yakin pada kemampuan, penampilan, ketrampilan dan sikap toleransi terhadap orang lain.

2.1.3 Aspek-aspek Percaya Diri

Liendenfield (1997) membagi aspek percaya diri menjadi aspek batiniah dan aspek lahiriyah. Aspek batiniah terdiri dari cinta diri, pemahaman diri, dan memiliki tujuan yang jelas. Sedangkan sapek lahiriyah terdiri dari berpikir positif.

a. Cinta diri.

Individu yang percaya diri mencintai dirinya dan peduli tentang dirinya. Individu yang percaya diri akan mencintai dirinya dengan menggali potensi dan kompetensi yang dia miliki dan menggunakannya untuk mengembangkan dirinya.

(5)

5 Individu yang percaya diri sangat sadar akan dirinya. Pemahaman diri merupakan upaya untuk mengenal diri sendiri. Pemahaman diri berfungsi untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang menjadi penghambat keberhasilan dan mengetahui potensi sebagai upaya mengembangkan diri. Individu yang memiliki pamahaman diri akan menyusun sebuah pikiran positif yang kuat yang akan menuntut seseorang bertindak positif.

c. Tujuan yang jelas

Individu yang percaya diri memiliki tujuan yang jelas di setiap tindakan yang dilakukan. Dengan tujuan tersebut, individu yang percaya diri akan bertindak terarah, dan setiap tindakannya diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan individu yang percaya diri mempunyai tujuan yang jelas mengapa individu melakukan tindakan tertentu. Dengan memiliki sikap seperti ini individu yang percaya diri dapat dengan mudah membuat keputusan.

d. Optimis

Individu yang percaya diri selalu tampil dan berperilaku dengan optmis dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya dan menunjukkannya kepada orang lain bahwa ia mampu melakukan hal tersebut.

Dalam penelitian ini, aspek percaya diri menurut Liendenfield (1997) yang akan digunakan untuk mengukur variabel percaya diri.

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Percaya Diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi percaya diri menurut Hakim (2002) muncul pada dirinya sebagai berikut:

1. Lingkungan keluarga

Keadaan keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama dan utama dalam kehidupan setiap manusia, lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan awal rasa percaya diri pada seseorang. Rasa percaya merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari.

2. Pendidikan formal

Sekolah bisa dikatan sebagai lingkungan kedua bagi anak, dimana sekolah merupakan lingkungan yang paling berperan bagi anak setelah lingkungan keluarga di rumah. Sekolah

(6)

6 memberikan ruang pada anak untuk mengekpresikan rasapercaya dirinya terhadap teman-teman sebayanya.

3. Pendidikan non formal

Salah satu modal utama untuk bisa menjadi seseorang dengan kepribadian yang penuh rasapercayadiri adalah memiliki kelebihan tertentu yang berarti bagi diri sendiri dan orang lain. Rasa percaya diri akan menjadi lebih mantap jika seseorang memiliki suatu kelebihan yang membuat orang lain merasa kagum. Kemampuan atau keterampilan dalam bidang tertentu bisa didapatkan melalui pendidikan non formal misalnya: mengikuti kursus bahasa asing, jurnalistik, bermain alat musik, seni vokal, keterampilan memasuki dunia kerja (BLK), pendidikan keagamaan dan lain sebagainya. Sebagai penunjang timbulanya rasa percayadiri pada diri individu yang bersangkutan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri yang lain menurut Angelis (2003) adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan pribadi: Rasa percaya diri hanya timbul pada saat seseorang mengerjakan sesuatu yang memang mampu dilakukan.

b. Keberhasilan seseorang: Keberhasilan seseorang ketika mendapatkan apa yang selama ini diharapkan dan cita-citakan akan menperkuat timbulnya rasa percaya diri.

c. Keinginan: Ketika seseorang menghendaki sesuatu maka orang tersebut akan belajar dari kesalahan yang telah diperbuat untuk mendapatkannya.

d. Tekat yang kuat: Rasa percaya diri yang datang ketika seseorang memiliki tekat yang kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri bukanlah suatu sifat bawaan akan tetapi terbentuk dari interksi individu dengan lingkungan, faktor-faktor pembentuk tersebut bersumber dari dalam individu yang meliputi kemampuan pribadi, keberhasilan seseorang, keinginan, dan tekat yang kuat sedangkankan faktor-faktor dari luar individu meliputi: lingkungan keluarga, pendidikan formal dan pendidikan non formal.

(7)

7 2.2 Konseling Kelompok

2.2.1 Pengertian Konseling Kelompok

Layanan konseling kelompok pada hakekatnya adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil mengungkapkan diri kepada sesama anggota dan konselor, dimana komunikasi antar pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku tertentu ke arah yang lebih baik dari sebelumnya (Winkel dan Sri Hastuti, 2004).

Menurut Lewis, (dalam Shertzer & Stone 1974) konseling adalah proses mengenai seseorang individu yang sedang mengalami masalah (konseli) dibantu untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan melalui interaksi dengan seseorang yang bermasalah yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang konseli untuk mengembangkan tingkah laku yang memungkinkan konselinya berperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri danlingkungannya.

Layanan konseling kelompok merupakan upaya bantuan untuk dapat memecahkan masalah siswa dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Apabila dinamika kelompok dapat terwujud dengan baik maka anggota kelompok akan saling menolong, menerima dan berempati dengan tulus. Konseling kelompok merupakan wahana untuk menambah penerimaan diri dan orang lain, menemukan alternatif cara penyelesaian masalah dan mengambil keputusan yang tepat dari konflik yang dialamimya dan untuk meningkatkan tujuan diri, otonomi dan rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain.

Kesimpulan dari uraian diatas bahwa konseling kelompok merupakan suatu proses layanan yang dibina dalam suatu kelompok kecil yang mengungkapkan diri kepada sesama anggota dan konselor yang memiliki manfaat untuk meningkatkan pemahaman dan pemerimaan diri pada suatu individu.

2.2.2 Tujuan Konseling Kelompok

Konseling kelompok berfokus pada usaha membantu konseli dalam melangkah melakukan perubahan dengan menaruh perhatian pada perkembangan dan penyesuaian sehari-hari, misalnya modifikasi tingkah laku, pengembangan keterampilan hubungan personal, nilai, sikap atau membuat keputusan karier (Gibson dan Mitchell, 1981).

(8)

8 Ohlsen, Dinkmeyer, Corey, dan Muro, (dalam Winkel dan Hastuti, 2004) mengemukakan sejumlah tujuan umum dari pelayanan bimbingan dalam bentuk konseling kelompok sebagai berikut:

1. Masing-masing konseli memahami dirinya dengan lebih baik dan menemukan dirinya sendiri. Berdasarkan pemahaman diri itu konseli lebih rela menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif dalam kepribadiannya.

2. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lainnya, sehingga konseli dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas untuk fase perkembangan.

3. Para konseli memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontak antarpribadi dari dalam kelompok dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkungan kelompoknya.

4. Para konseli menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih mampu menghayati perasaan orang lain. Kepekaan dan penghayatan ini akan membuat konseli lebih sensitif juga terhadap kebutuhan psikologis dan alam perasaan sendiri. 5. Masing-masing konseli menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang

diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.

6. Para konseli lebih menyadari dan menghayati makna dari kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama, yang mengandung tuntutan menerima orang lain dan harapan akan diterima oleh orang lain.

7. Masing-masing konseli semakin menyadari bahwa hal-hak yang memprihatinkan bagi dirinya kerap juga menimbulkan rasa prihatin dalam hati orang lain dengan demikian, dia tidak akan merasa terisolir lagi, seolah-olah hanya dialah yang mengalami.

8. Para konseli belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok secara terbuka, dengan saling menghargai dan saling menaruh perhatian, penglaman bahwa komunikasi dengan demikian dimungkinkan, akan membawa dampak positif dalam kehidupan dengan orang lain dekat dengan konseli.

Untuk dapat mencapai tujuan-tujuan di atas dibutuhkan adanya suatu program konseling kelompok yang terencana dengan baik. Layanan konseling kelompok sangat dipengaruhi oleh peran pemimpin kelompok. Menurut Loekmono (2003) tanggung jawab terpenting pemimpin kelompok adalah :

(9)

9 1. Menggunakan hal-hal penting yang harus dipelajari tersebut sebagai dasar dalam membuat perencanaan kegiatan bersama-sama dalam kelompok dan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

2. Membantu kelompok untuk menghadapi minat-minat dan kebutuhan yang bermacam-macam.

3. Membantu kelompok untuk dapat mengenali kebutuhan-kebutuhan yang lain dan dapat memenuhinya.

2.2.3 Komponen Konseling Kelompok

Komponen dalam kegiatan layanan konseling kelompok adalah : 1. Konselor

Sebagai pemimpin kelompok dalam konseling kelompok, seorang konselor harus mempunyai kemampuan/ketrampilan, kemampuan seorang konselor dalam memimpin konseling kelompok antara lain :

a. Menciptakan suasana kelompok sehingga terciptanya dinamika kelompok. b. Berwawasan luas ( ilmiah dan moral )

c. Mampu membina hubungan antarpersonal yang hangat, damai, berbagi empatik, jauh dari kesukaran untuk membuat kelompok.

Seorang konselor yang mempunyai kemampuan dan ketrampilan seorang konselor juga mempunyai peranan sebagai pemimpin kelompok antara lain :

a. Membentuk kelompok

Seorang konselor mempunyai tugas untuk membentuk kelompok dan memilih para anggotanya untuk melakukan konseling kelompok.

b. Melakukan penstrukturan

Sebelum melaksanakan proses konseling kelompok, konselor melakukan penstukturan dalam kelompok dan menjelaskan bagaimana langkah-langkah dalam melaksanakan konseling kelompok ini.

(10)

10 c. Mengembangkan dinamika kelompok

Konselor juga berkewajiban untuk mengembangkan dinamika kelompok agar dapat berjalan dengan lancer dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

d. Mengevaluasi proses dari hasil belajar

Setelah kegiatan konseling kelompok berlangsung konselor harus mengevaluasi dan menilai hasil dari kegiatan konseling kelompok yang sudah dilaksanakan.

2. Anggota kelompok

Jumlah anggota kelompok dalam konseling kelompok sebanyak 8-10 orang dengan memperhatikan homogenitas dan heterogenitas kemampuan anggota kelompok. Peran anggota kelompok dalam layanan bimbingan konseling kelompok antara lain adalah:

a. Aktif, mandiri melalui aktivitas langsung melalui sikap 3 M (mendengar dengan aktif, memahami dengan positif dan merespon dengan tepat sikap seperti seorang konselor). b. Berbagi pendapat, ide dan pengalaman

Konseli diharapkan dapat menceritakan penglaman pribadinya untuk dapat bertukar pendapat dengan anggota kelompok yang lainnya.

c. Empati

Konseli dapat merasakan mengidentifikasikan dirinya dalam keadaan perasaan/ pikiran yang sama dengan anggota kelompok yang lainnya.

d. Aktif membina keakraban, membina keikatan emosional

Konseli hendaknya membina keakraban dan ikatan emosional diantara anggota kelompk yang lain sehingga dapat terjalin hubungan yang baik dengan anggota kelompok yang lain.

e. Mematuhi etika kelompok

Anggota kelompok harus mematuhi etika dalam peraturan yang telah diberikan konselor dan disepakati oleh semua anggota kelompok supaya dalam proses konseling kelompok dapat berjalan dengan lancar.

f. Menjaga kerahasiaan, perasaan dan membantu anggota kelompok yang lain. Dalam kegiatan kelompok diharapkan untuk menjaga kerahasiaan dan perasaan anggota kelompok yang lainnya.

(11)

11 2.2.4 Tahapan Konseling Kelompok

Menurut Corey & Corey (dalam Loekmono 2003) konseling kelompok dilaksanakan secara bertahap. Terdapat 6 tahap yaitu tahap pembentukan kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja tahap akhir, serta tahap evaluasi dan tidak lanjut. Berikut tahap-tahap konseling kelompok dijelaskan secara singkat.

a. Tahap pembentukan kelompok

Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Pada tahap ini terutama pembentukan kelompok, yang dilakukan dengan seleksi anggota dan menawarkan program kepada calon peserta konseling sekaligus membangun harapan kepada calon peserta.Dalam konseling kelompok yang dipandang penting adalah adanya seleksi anggota. Ketentuan yang mendasari konseling kelompok ini adalah minat bersama, sukarela atau atas inisiatifnya sendiri, adanya kemauan untuk berpartisipasi dalam proses konseling kelompok mau untuk berpartisipasi dalam proses kelompok.

b. Tahap permulaan (orientasi dan ekplorasi)

Pada tahap ini mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai menegaskan tujuan kelompok. Setiap anggota kelompok mulai mengenalkan dirinya dan menjelaskan tujuan atau harapannya. Pada tahap ini deskripsi tentang dirinya masih bersifat superficial (permukaan saja), sedangkan persoalan yang lebih tersembunyi belum diungkapkan pada fase ini.

Kelompok mulai membangun norma untuk mengontrol aturan-aturan kelompok dan menyadari makna kelompok untuk mencapai tujuan. Peran konselor pada tahap ini membantu menegaskan tujuan untuk kelompok dan makna kelompok untuk mencapai tujuan.

c. Tahap transisi

Pada tahap transisi ini para anggota masih merasa takut dan cemas perasaan ini masih cukup tinggi. Pada wal tahap kedua anggota kelompok mempunyai keinginan untuk terbuka tetapi disisi lain takut untuk terbuka di dalam kelompknya. Selain itu pada fase kedua ini kadang-kadang pertentangan masih Nampak dan muncul dalam fase kedua ini. Namun disisi lain ada usaha untuk mengarah pada saling terbuka, keinginan bekerjasama, saling menolong, dan saling menghargai.

(12)

12 Pada tahap ini anggota kelompok sudah mulai mengungkapkan permasalahan pribadinya secara terbuka dan apa adanya. Dalam tahap ini anggota kelompok juga sudah mulai berinteraksi dan beradaptasi dalam kelompok dan telah meninggalkan fase bagaimana belajar dan berinteraksi dengan kelompok.

e. Tahap penutup

Tahap ini adalah tahap dimana kelompok sudah memasuki tahap dimana lamanya waktu sesi kelompok yang sudah disepakati bersama. Apabila dalam tahap akhir ini ada tugas yang belum terselesaikan maka ini dapat dibahs dalam kelompok. Latihan untuk merubah perilaku bukan hanya terjadi dalam konseling kelompok saja, tetapi diharapkan masih dilanjutkan dalam kehidupan sehari-hari. Anggota masih diharapkan untuk belajar menerima dan member umpan balik dalam situasi kehidupan yang nyata.

f. Tahap evaluasi dan tindak lanjut

Dalam hal ini yang perlu diungkap dan dibahs dalam tahap akhir dari konseling kelompok adalah merangkum pengalaman kelompok yang diperoleh dari masing-masing anggota kelompok dan oleh kelompok. Dari rangkuman pengalaman kelompok ini diharapkan anggota kelompok mampu memanfaatkannya untuk mengambil makna dari apa yang telah dipelajarinya dan kemudian mengevaluasi pengaruh kelompok dalam dirinya. Setelah mengevaluasi anggota konseling kelompok diharapkan dapat menindak lanjuti apa yang harus mereka lakukan setelah konseling kelompok berakhir.

2.3 Client Centered

2.3.1 Pengertian Client Centered

Istilah Client Centered dapat dideskripsikan dengan mengatakan bahwa konseling yang menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling. Pada awalnya konseling ini disebut konseling nondirektif untuk membedakannya dari konseling yang mengandung banyak pengarahan dan kontrol terhadap proses konseling di pihak konselor. Kemudian mulai digunakan nama Client Centered Counseling, dengan maksud menggaris bawahi individualitas konseli yang setaraf dengan individualitas konselor, sehingga dapat dihindari kesan bahwa konseli menggantungkan diri pada konselor. Pelopor dan promotor utama adalah Carl Roger ( Winkel, W.S dan Sri Hastuti, 2004). Menurut Roger (dalam Winkel dan Hastuti, 2004) konseling Client Centered adalah konseling yang berpusat pada konseli sebagai konsep dan alat baru dalam terapi yang dapat diterapkan pada orang dewasa, remaja dan anak-anak. Pendekatan

(13)

13 konseling Client Centered menekankan pada kecakapan konseli untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirimya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan. Konsep inti konseling berpusat pada konseli adalah konsep tentang diri pribadi dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.

2.3.2 Proses Konseling Client Centered

Konseling dengan Client Centered lebih menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling. Apapum keputusan yang diambil konseli, sepenuhnya hak dari konseli dimana konselor hanya sebagai alternatif solusi, selebihnya konseli sebagai pengambil keputusan. Berikut ini adalah proses konseling kelompok Client Centered

a. Konseling memusatkan pada pengalaman individual.

b. Konseling berupaya meminimalisir rasa diri terancam dan memaksimalkan serta menopang eksplorasi diri. Perubahan perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk emnilai pengalamannya, membuat untuk memperjelas dan mendapat tilikan perasaan yang mengarah pada pertumbuhan.

c. Melalui penerimaan terhadap konseli, konselor membantu untuk menyatakan, mengkaji dan memadukan pengalaman-pengalaman sebelumnya ke dalam konsep diri.

d. Melalui redefinisi pengalaman, individu mencapai penerimaan diri dan menerima orang lain dan menjadi orang yang berkembang penuh.

e. Wawancara merupakan alat utama dalam konseling untuk menumbuhkan hubungan timbal balik.

2.3.3 Karakteristik Konseling berpusat pada Konseli

Eko (dalam, Fuad 2009) mengemukakan ada beberapa karakteristik konseling Client Centered antara lain:

a. Fokus utama adalah kemampuan individu menyelesaikan maslah bukan terselesaikannya masalah.

b. Lebih mengutamakan sasaran perasaan daripada intelek dalam konseling Client Centered lebih mengutamakan perasaan konselinya.

(14)

14 c. Masa kini lebih banyak diperhatikan dari masa lalu. Keadaan masa kini konseli lebih diperhatikan dalam konseling Client Centered ini dibandingkan dengan masa lalu konseli.

d. Pertumbuhan emosional konseli terjadi dalam hubungan konseling saat konseling Client Centered berlangsung.

e. Proses terapi merupakan penyelesaian antara gambaran diri konseli dengan keadaan dan pengalaman diri yang sesungguhnya.

f. Hubungan konselor dan konseli merupakan situasi pengalaman terapeutik yang berkembang menuju kepada kepribadian konseli yang intgarl dan mandiri.

g. Konseli memegang peran aktif dalam konseling sedangkan konselor bersifat reflektif.

2.3.4 Teknik-Teknik yang Digunakan dalam Konseling Kelompok Client Centered

Menurut Sudirman (dalam Fuad, 2009) mengemukakan bahwa terdapat beberapa teknik konseling Client Centered yang digunakan antara lain :

a. Rapport, yaitu teknik yang bertujuan untuk membuat pendekatan dan hubungan yang baik dengan konseli agar selama proses terapi dapat berlangsung dengan lancar. b. Teknik klarifikasi, yaitu suatu cara konselor untuk menjernihkan dan meminta konseli

untuk menjelaskan hal-hal yang dikemukakan oelh konselor.

c. Teknik refleksi ( isi dan perasaan ), yaitu usaha konselor untuk memantulkan kembali hal-hal yang telah dikemukakan konseli (isi pembicaraan) dan memantulkan kembali perasaan-perasaan yang ditampakkan oleh konselor dengan konseli dan menggali atau memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengeksplorasi diri dan masalahnya. d. Teknik ”free expression”, yaitu memberikan kebebasan kepada konseli untuk

berekspresi, terutama emosinya.

e. Teknik ”silence”, yaitu kesempatan yang berharga diberikan oleh terapis kepada konseli untuk mempertimbangkan dan meninjau kembali pengalaman-penglaman dan ekspresinya yang lampau. Kesempatan ini dapat diberikan diantara waktu konseling dan dapat berlangsung cukup lama. Jika terlalu lama maka konselor perlu mengambil inisiatif untuk memulai lagi komunikasi dengan konseli.

f. Teknik ”transference”, yaitu ketergantungan konseli kepada konselor. Hal ini dapat terjadi pada awal terapi, tapi bukan merupakan dasar untuk kemajuan terapi.

(15)

15 Kemungkinan transference terjadi karena sikap konselor yang memberikan kebebasan tanpa menilai atau mengevaluasi konseli.

2.4. Penelitian yang Relevan

Lenterani (2013) melakukan penelitian untuk menguji penerapan konseling kelompok Gestalt dengan teknik reversal untuk meningkatkan percaya diri pada siswa VII-D SMP Negeri 1 Mojosari, dengan menggunakan desain pra eksperimental yaitu pre test dan post test one group design. Lenterani (2013) menganalisis data menggunakan analisis statistik non-parametik dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon yang menghasilkan nilai Jhitung= 0 < Jtabel= 2. Oleh karena itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan konseling kelompok Gestalt dengan teknik inversi dapat meningkatkan percaya diri siswa Kelas VII-D SMP Negeri 1 Mojosari.

Hasil penelitian Damayanti, Sedanayasa & Antari (2014) menunjukkan terjadi peningkatan rasa percaya diri siswa, yang menyebabkan meningkatnya persentase kemandirian belajar siswa. Pada pelaksanaan siklus I terjadi peningkatan pada 3 orang siswa yang mencapai kriteria diatas 65% dengan rata-rata persentase peningkatan pada siklus I adalah 21,83%, sedangkan 2 orang siswa masih berada dibawah kriteria 65%. Pada pelaksanaan siklus II, 2 orang siswa yang belum mencapai kriteria 65% pada siklus I mengalami peningkatan menjadi diatas 65% dengan rata-rata persentase peningkatan 24.,23%. Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan konseling Client Centered dengan teknik self understanding dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa.

Hasil penelitian Marjanti (2015) menunjukkan adanya peningkatan aktivitas pelaksanaan layanan konseling kelompok dari taraf baik (82%) pada siklus I menjadi sangat baik (97%) pada siklus II. Konseling kelompok dapat meningkatkan percaya diri siswa yang terlihat dari data pada siklus I dengan kategori cukup, dan meningkat pada siklus II menjadi kategori sangat baik. Sementara situasi konseling kelompok pada kategori cukup (77%) pada siklus I menjadi baik (83%) pada siklus II. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan rasa percaya diri dari siswa kelas XIIS2 SMA 2 Bae Kudus.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Madina, Munir dan Munifah (2016) yang mengkaji Pengaruh Konseling Kelompok Terhadap Peningkatan Percaya Diri Dalam Mengemukakan Pendapat Siswa KELAS VIII SMP Negeri 17 Palu, menunjukkan bahwa sebelum mengikuti

(16)

16 layanan konseling kelompok, terdapat 66,67% memiliki percaya diri yang sedang dalam mengemukakan pendapat, dan 33,33% siswa memiliki percaya diri yang rendah dalam mengemukakan pendapat. Sesudah mengikuti layanan konseling kelompok, terjadi peningkatan percaya diri dalam mengemukakan pendapat yaitu terdapat 50% siswa memiliki percaya diri yang tinggi dalam mengemukakan pendapat, 33,33% siswa memiliki perilaku percaya diri yang sedang dalam mengemukakan pendapat, dan 16,67% siswa memiliki perilaku percaya diri yang rendah dalam mengemukakan pendapat. Hasil analisis inferensial menunjukkan bahwa tingkat percaya diri dalam mengemukakan pendapat siswa di SMP Negeri 17 Palu sesudah mengikuti layanan konseling kelompok lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum mengikuti layanan konseling kelompok.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dahlani (2006) mengenai keberhasilan konseling kelompok dalam membantu seseorang yang minder. Diperoleh hasil yang menunjukkan hasil f=25,670, dengan p=0,000 yang berarti bahwa ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (mean) antar kelompok diketahui bahwa rerata kelompok kontrol sebesar 2,2425 sedangkan kelompok perlakuan sebesar 2,5888, kelompok perlakuan memiliki selisih lebih besar 0,3463. Berdasarkan hasil analisis tersebut berarti perlakuan layanan diberikan dengan konseling kelompok dengan pendekatan Client Centered memiliki keberhasilan. Sedangkan Tutik Lestari (2009) mengatakan ada penurunan rasa rendah diri yang signifikan pada individu yang diberikan layanan konseling kelompok dengan pendekatan dengan teknik Client Centerd. Dengan hasil mean pre test 143,0000 dengan standar deviasi 1,41421. Sedangkan mean pada post test 100,0000 dengan standar deviasi 1,41421 dengan nilai t hitung 21,500 dan p=0,030 (p<0,50). Jadi dengan dilaksanakan konseling kelompok dengan teknik Client Centered, hal ini dapat membantu para siswa mengatasi rasa rendah diri.

2.5 Hipotesis

Percaya diri merupakan sikap positif yang dimiliki individu agar dapat memberikan penilaian positif terhadap diri sendiri, lingkungan dan situasi yang dialaminya. Kurangnya rasa percaya diri pada siswa akan menghambat aktualisasi kehidupan siswa baik di lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat. Kurangnya kepecayaan diri siswa bisa tampak dalam berbagai hal, misalnya siswa kurang berani untuk mengemukakan pendapatnya, tidak berani

(17)

17 untuk tampil dan berbicara di depan orang banyak dan kurang percaya diri dalam bersosialisasi atau behubungan dengan orang lain.

Layanan konseling kelompok pendekatan Client Centered merupakan cara yang efektif untuk mengatasi rendahnya percaya diri, karena pendekatan konseling Client Centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi diri klien sendiri dan alternatif pemecahan masalah yang dialami oleh klien. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: Ho : konseling kelompok pendekatan Client Centered tidak mampu

meningkatkan percaya diri pada siswa kelas VIIIF SMP Negeri 7 Salatiga.

Ha : konseling kelompok pendekatan Client Centered mampu meningkatkan percaya diri pada siswa kelas VIIIF SMP Negeri 7 Salatiga.

Referensi

Dokumen terkait

Keluhan subyektif adalah keluhan yang dirasakan pada saat bekerja di Pengolahan Debu Kapas UD Tuyaman Desa Sidomukti Kabupaten Kendal.. Keluhan yang dirasakan pada

Poppy Indriani dan Harjahdi (2013) Pengambilan Keputusan Transaksi Berdasarkan Analisis Teknikal Dan Fundamental Pengambilan Keputusan dalam transaksi emas di perdagangan

Bagian ketiga dari tubu adala pleon yang terdiri atas 6 segmen dan tiap segmen dari segmen 1 samapai dengan 5 mempunyai kaki renang yang beramus (pleopod).. Segmen ke 6

Gagasan ini secara lebih nyata dituangkan menjadi sebuah program dengan tujuan umum untuk “memperkuat kapasitas dalam mengelola konflik dan risiko bencana alam dengan me-

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dijelaskan bahwa program BRI Peduli Pasar Rakyat (BRI Pesat) merupakan bentuk kegiatan Corporate Social Responsibility yang

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Variabel Makro dan Mikro Ekonomi terhadap Likuiditas Bank Syariah di Indonesia” ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan terdapat hubungan antara status gizi dengan siklus menstruasi pada Remaja di Bandar Lampung

ABSTRAK PENGEMBANGAN PROTOTIPE SOAL TES ASESMEN HASIL PENDIDIKAN KARAKTER BERSAHABAT DAN KARAKTER CINTA DAMAI BERBASIS FILM KARAKTER DI SMP Uji Coba Terbatas pada Siswa Kelas VII A