• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik sastra feminis dalam novel Imra'ah 'inda nuqthah al-shifr karya nawal al-saadawi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik sastra feminis dalam novel Imra'ah 'inda nuqthah al-shifr karya nawal al-saadawi"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

KRITIK SASTRA FEMINIS

DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR

KARYA NAWAL AL-SAADAWI

Tesis ini diajukan untuk memenuhi syarat penyelesaian Program Magister di Sekolah Pascasarjana

Disusun Oleh:

Minyatul Ummah 04.2.00.1.06.01.0065

Pembimbing:

Dr. Thoyib IM

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB

PROGRAM MAGISTER

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan identitas sebagai berikut:

Nama : MINYATUL UMMAH

NIM : 04.2.00.1.06.01.0065 Program Studi : S2 Pengkajian Islam Konsentrasi : Bahasa dan Sastra Arab

Dengan ini menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul “KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR

KARYA NAWAL AL-SAADAWI” adalah benar hasil karya saya pribadi dan

bukan merupakan jiplakan, kecuali pada kutipan-kutipan langsung yang saya tuliskan sumbernya.

Apabila ternyata di kemudian hari pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar magister saya.

Demikian Lembar Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, agar yang berkepentingan menjadi maklum adanya.

Bekasi, 29 Desember 2009 Mahasiswa Ybs.,

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

Tesis mahasiswa berikut ini:

Nama : MINYATUL UMMAH

NIM : 04.2.00.1.06.01.0065

Judul Tesis : KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR

KARYA NAWAL AL-SAADAWI

Telah disetujui dan dinilai laik oleh pembimbing untuk dimajukan dalam ujian tesis.

Jakarta, 28 Desember 2009 Pembimbing,

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis mahasiswa berikut ini:

Nama : MINYATUL UMMAH

NIM : 04.2.00.1.06.01.0065

Judul Tesis : KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR

KARYA NAWAL AL-SAADAWI

Telah diujikan dalam sidang munaqasyah magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, tanggal 22 Juni tahun 2009 dan telah diperbaiki sesuai syarat serta rekomendasi dari tim penguji tesis.

TIM PENGUJI

1. Prof. Dr. Suwito, MA ( )

Ketua/Merangkap Penguji

2. Dr. Thoyib, IM ( )

Pembimbing/Merangkap Penguji

3. Prof. Dr. Chotibul Umam ( )

Penguji

4. Dr. Ahmad Dardiri, MA ( )

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah swt. semata, yang karena taufiq dan inayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini meski harus melalui berbagai hambatan dan rintangan, hingga berujung pada penyelesaian masa studi yang cukup lama.

Shalawat teriring salam semoga senantiasa Allah sampaikan kepada manusia agung, Muhammad al-Musthafa, yang warisan-warisannya senantiasa menjadi bahan kontemplasi dan rujukan di tengah arogansi manusia dalam dunia yang telah renta.

Dalam penyelesaian tesis ini, tak terhitung berapa banyak lantunan doa, motivasi, dukungan dan uluran tangan yang diterima oleh penulis. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada berbagai pihak sebagai berikut:

Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA., selaku ketua Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta seluruh pengajar yang telah memberikan bimbingan, pemahaman dan pemikiran baru kepada penulis selama menyelesaikan masa studi di Pascasarjana UIN ini. Juga kepada seluruh staf administrasi terutama Mbak Shelly, Pak Singgih, Pak Penny, serta staf-staf administrasi lainnya yang telah banyak membantu penulis dalam urusan-urusan perkuliahan.

Dr. Thoyib IM, selaku pembimbing yang di tengah-tengah kesibukannya, tanpa pernah bosan telah banyak memberikan kontribusi yang teramat berharga kepada penulis serta berbagai bimbingan, saran maupun kritik yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

(6)

Maulirosa Bustam, yang tesisnya telah memperkuat tekad penulis untuk melanjutkan penulisan tesis dengan tema tersebut.

Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya staf perpustakaan pascasarjana: Mas Sukron yang telah banyak membantu penulis dan mengerti keadaan penulis ketika terlambat mengembalikan buku pinjaman. Juga seluruh staf perpustakaan Freedom Institute dan perpustakaan FIB Universitas Indonesia yang memberi kesempatan bagi penulis untuk meminjam buku-bukunya dan menelaah tesis-tesisnya, terutama yang bertema Feminisme dan Jender.

Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya juga penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta, Almarhum Almaghfurlah KH. Drs. Moh. Dawam Anwar, yang taushiyah-taushiyahnya senantiasa penulis kenang, semangat belajarnya yang tak pernah padam hingga akhir hayat beliau menjadi motivasi terdalam bagi penulis untuk bisa menyelesaikan tesis ini demi mewujudkan cita-cita dan harapan yang sempat beliau sampaikan sebelum kepergiannya, serta untuk melanjutkan perjuangan beliau. Semoga Allah senantiasa menaunginya dalam rahmat dan cinta-Nya. Juga untuk Ibunda tersayang, Hj. Nur Haidah Abdillah, terima kasih atas curahan kasih sayang, ketulusan, kesabaran dan perhatian yang diberikan sejak ananda kecil hingga saat ini. Semoga Allah selalu menjaganya dengan kasih dan sayang-Nya. Untuk keduanya, tesis ini penulis persembahkan.

Untuk Suamiku tercinta, Kanda Saifulloh, M. Si., yang selalu tulus menjadi teman berbagi dalam setiap detik yang terlewati dan selalu mendorong penulis untuk tetap semangat menulis tesis ini. Terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, ketulusan, kesabaran, pengertian, pengorbanan dan kesetiaan. Juga untuk bintang kecilku, Muhammad Syihab Nawwaf, yang menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk bisa secepatnya menyelesaikan tesis ini. Bunda berharap kelak Syihab bisa menjadi anak yang shaleh dan berguna bagi ummat. Amien.

(7)

dalam kebersamaan. Terima kasih atas kehangatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

(8)

PEDOMAN TRANSLITERASI

1) Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا

alif Tidak dilambangkan

Tidak dilambamgkan

ب

ba b be

ت

ta t te

ث

tsa ts te dan es

ج

jim j je

ح

ha h ha (garis di bawah)

خ

kha kh ka dan ha

د

dal d de

ذ

dzal dz de dan zet

ر

ra r er

ز

zai z zet

س

sin s es

ش

syin sy es dan ye

ص

shad sh es dan ha

ض

dlad dl de dan el

ط

tha th te dan ha

ظ

zh

a zh zet dan ha

ع

‘Ain Koma terbalik diatas

غ

gain g ge
(9)

ق

q

af q ki

ك

kaf k ka

ل

lam l el

م

mim m em

ن

n

un n en

و

w

au w we

ه

h

a h ha

ء

h

amzah ` apostrof

ي

y

a y ye

2) Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ

fathah a a

ِ

kasrah i i

ُ

dlammah u u

3) Vokal Rangkap

Tanda dan Nama Huruf Gabungan Huruf Nama

ي

----

fathah dan ya ai a dan i

و

----

fathah dan wau au a dan u

4) Maddah

Harakat dan Nama Huruf dan Tanda Nama

Huruf

... ا ...

ى fathah dan alif atau ya â a dan lengkung di atas

...

ى kasrah dan ya î i dan lengkung di atas

...

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ………..i

LEMBAR PERSETUJUAN ……….ii

LEMBAR PENGESAHAN ……….iii

KATA PENGANTAR ………...………..iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ………..………...………...vii

DAFTAR ISI ………...ix

ABSTRAK………..………xii

ABSTRAK ARAB ……….………xii

ABSTRAK INGGRIS ………... xv

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ……….1

2. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ………..…..10

3. Tujuan Penelitian ………..11

 Tujuan Umum ……….11

 Tujuan Khusus ………12

4. Manfaat Penelitian ………12

 Manfaat Teoritis ………..12

 Manfaat Praktis ………...12

5. Kajian Pustaka ………..13

6. Metode Penelitian ……….14

a) Jenis Penelitian ………...16

b) Sumber Penelitian ………...16

c) Metode Pengumpulan Data ……….17

d) Teknik Analisis Data ………...17

(11)

BAB II

NAWAL AL-SAADAWI

1. Biografi Nawal al-Saadawi ………..….21

2. Latar Belakang Pemikiran Nawal al-Saadawi………...25

a) Kondisi budaya dan tradisi masyarakat Mesir…………..………...25

b) Kondisi politik masyarakat Mesir………29

BAB III FEMINISME DAN KRITIK SASTRA FEMINIS...34

1. Feminisme ... ……….38

1.1. Definisi dan Ruang Sosio-Historis bagi Kelahirannya……….…38

1.2. Gerakan Feminisme………..48

1.2.1. Feminisme Liberal……….48

1.2.2. Feminisme Radikal………50

1.2.3. Feminisme Makxis……….53

1.2.4. Feminisme Sosialis………55

1.2.5. Ekofeminisme………56

1.2.6. Feminisme Dalam Pemikiran Islam……….. 58

2. Kritik Sastra Feminis……….61

2.1. Pengertian dan Metodologi Kritik Sastra………..61

2.2. Pengertian Kritik Sastra Feminis………..64

2.3. Kritik Sastra Arab Feminis………...68

BAB IV ANALISIS KRITIK SASTRA FEMINIS DAN POKOK-POKOK PIKIRAN FEMINISME DALAM NOVEL IMRA`AH 'INDA NUQTHAH AL-SHIFR 1. Analisis Kritik Sastra Feminis ………..…74

(12)

a. Topik………75

1) Kekerasan terhadap anak……….77

2) Kekerasan dalam rumah tangga……….………..82

3) Perdagangan perempuan (trafficking)……….86

4) Pelecehan seksual ……….………..88

5) Kasus penipuan dan eksploitasi tenaga kerja………..93

6) Emansipasi perempuan………94

b. Tema………94

1.2. Tokoh Pejuang Emansipasi Perempuan, Tokoh-tokoh yang Menentang Emansipasi Perempuan dan Penokohan yang Berprasangka Jender…...………..…108

1.2.1. Tokoh Pejuang Emansipasi………..109

1.2.2. Tokoh-tokoh yang Menentang Emansipasi……….112

1.2.3. Penokohan yang Berprasangka Jender……….116

1.3. Latar dan Prasangka Jender………... 121

1.4. Hubungan Antara Gaya Bahasa dan Jender ……….126

2. Pokok-pokok Pikiran Feminisme dalam Novel IINS………130

2.1.Firdaus dalam Stereotipe Perempuan …..………..132

2.2.Peran Agama dan Adat dalam Subordinasi Perempuan ………...135

2.3.Kekerasan Terhadap Firdaus Sebagai Perempuan: di Rumah dan di Luar Rumah………....141

2.4.Posisi Firdaus Sebagai Perempuan dan Aspirasinya untuk Melakukan Pemberontakan………..….145

BAB V KESIMPULAN...148

(13)

ABSTRAK

KRITIK SASTRA FEMINIS

DALAM NOVEL IMRA`AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR Karya Nawal Al-Saadawi

Pengalaman masa lalu kaum perempuan yang teramat suram memunculkan satu gerakan yang dikenal dengan feminisme. Gerakan ini berupaya agar kaum perempuan memiliki hak yang sama dan setara dengan kaum laki-laki dalam berbagai aspek. Diskriminasi bagi kaum perempuan terjadi di berbagai sektor, tidak hanya dalam dunia empiris, tetapi juga dalam dunia literer. Karya sastra sebagai dunia imajinatif dapat menjadi media tumbuhnya subordinasi perempuan. Keadaan ini dapat terlihat jelas dari tema-tema dan kisah-kisah yang diangkat dalam sebuah karya sastra, yang secara tidak langsung menunjukkan adanya anggapan yang negatif tentang perempuan. Dan hal tersebut berhubungan dengan prasangka jender. Prasangka jender yang berkembang dalam masyarakat itu kemudian memunculkan ketidakadilan jender (gender inequalities), dalam bentuk marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan (violence) dan beban ganda (double burden).

Novel Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr (IINS) adalah salah satu karya sastra Arab yang mendukung emansipasi perempuan. Penelitian terhadap novel ini sebelumnya pernah dilakukan oleh George Tharabishi dalam bukunya yang bertajuk “Untsâ Dliddl al Un ûtsah”. Menurutnya kritik terhadap karya-karya sastra yang mengandung sebuah ideologi seperti novel IINS tidak akan bisa menemukan nilai seni dan sastra yang tinggi di dalamnya. Dalam bukunya “A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writer and Activist”, Diana Royer mengatakan bahwa novel tersebut menjelaskan perdebatan ilmiah yang terjadi saat ini dalam hal status perempuan kuno. Miriam Cooke dalam tulisannya “Dirâsât Nisâiyyah al-Aurubiyyah wa al-Amrìkiyyah wa al-Tsaqâfât al-Islâmiyyah” mengatakan bahwa para pengkritik sastra menganggap novel tersebut sebagai penyebaran politik radikal yang disampaikan oleh pengarang, sehingga karya tersebut tidak seperti karya-karya sastra pada umumnya yang memiliki nilai estetika sastra yang tinggi. Bahkan novel tersebut tidak dapat dianggap sebagai sebuah karya sastra.

Penelitian ini pada dasarnya adalah untuk memperkuat pendapat sebelumnya tentang minusnya nilai estetika sastra dalam karya Nawal al-Saadawi. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa penulis juga ingin menelaah beberapa unsur novel guna menilai konsistensi pengarang dalam menyampaikan ide-ide feminismenya.

(14)
(15)
(16)

ABSTRACT

FEMINIST LITERATURE CRITIQUE

IN THE NOVELETTE “WOMAN AT POINT ZERO” By Nawal El-Saadawi

The bad experiences of women in the past had appeared the movement which is called as “feminism”. This movement strove to reach the equal rights for women as men in any aspect. The discrimination for women is still happens in many sectors. It is not only in the empiric world, but also in the literary world. A literature as an imaginative world can be a mediator to grow subordination for women. We can see that obviously from the themes and the stories in a literature, which mostly show that there is a negative opinion about women that is connected with gender bias. The gender bias that grew in the society then appeared the gender inequalities, in the forms: marginalization, subordination, stereotype, violence and double-burden.

“Woman at Point Zero,” is one of Arabic literature works, which fights the women emancipation. The study of this novelette has been done before by George Tharabishi, in his book “Untsa Dliddl al-Unutsah”. He said that a critique of ideological literature works such as this novelette, will not find a high score of arts and literature there. In the book “A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writer and Activist”, Diana Royer said that this novelette introduces the current scholarly debate on ancient women’s status. And Miriam Cooke in her script “Dirâsât Nisâiyyah Aurubiyyah wa Amrìkiyyah wa Tsaqâfât al-Islâmiyyah” said that the literature reviewers judge this novelette as a mediator to spread narrator’s radicalism. Because of that, this novelette is different from another literature works commonly, which have a high score of literature. Even we cannot say that this novelette is one of literature works.

Actually, this study is to strengthen old studies about the less of aesthetic score in Nawal el-Saadawi’s works. And the difference between this study and old studies is that the writer also wants to study some novelette elements to make a judgment about narrator’s consistency in delivering her feminism ideas.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

8. Latar Belakang Masalah

Perempuan, di berbagai belahan dunia mana pun, ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan adalah sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu pihak, perempuan adalah keindahan. Pesonanya dapat membuat laki-laki tergila-gila. Di sisi yang lain, ia dianggap lemah. Anehnya, kelemahan itu dijadikan alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksplorasi keindahannya. Bahkan, ada juga yang beranggapan bahwa perempuan itu hina, manusia kelas dua yang, walaupun cantik tidak diakui eksistensinya sebagai manusia sewajarnya. Tragisnya, di antara para filosof pun ada yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan oleh Tuhan hanya untuk menyertai laki-laki. Aristoteles1 menyatakan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap kualitas-kualitas tertentu. St. Thomas Aquinas2 juga mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna.3

Diskursus mengenai ketimpangan jender di kalangan masyarakat –sejak kebangkitannya pada sekitar tahun 1920-an- masih merupakan isu hangat yang tak pernah reda hingga saat ini. Apabila kita melihat kembali masa lalu kaum perempuan yang teramat kelam, kita akan memperoleh gambaran bahwa eksistensi perempuan sebagai manusia di berbagai belahan dunia manapun -baik di Timur maupun di Barat- seolah menjadi penghambat kelancaran aktivitas dunia, sehingga seringkali perempuan mengalami penindasan, kekerasan, penyiksaan bahkan pemusnahan speciesnya secara terang-terangan. Dan ironisnya, hal tersebut seringkali menjadi sesuatu yang sangat membanggakan bagi kaum laki-laki.

1 Raman Selden,

Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, terj. Rachmat Djoko Pradopo,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 1991, hal. 135.

2 Raman Selden,

Panduan Pembaca …, hal. 135.

3 Lihat: Sugihastuti dan Suharto,

Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, (Yogyakarta:

(18)

Penindasan-penindasan tersebut berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang, jauh sebelum kedatangan Islam. Saat itu, kaum perempuan pada berbagai peradaban dunia tidak lebih dianggap sebagai komoditas, alat pemuas nafsu yang diperjual belikan sebagaimana hewan ternak. Di Roma, hanya kaum laki-laki saja yang memiliki hak-hak di depan hukum pada masa awal Negara Republik. Kaum lelaki saja yang berhak membeli, memiliki, atau menjual sesuatu, atau membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin istrinya –pada masa-masa tersebut- menjadi miliknya pribadi. Apabila istrinya dituduh melakukan suatu tindak kejahatan, ia sendiri yang berhak menghakiminya. Ia berhak menjatuhkan hukuman bagi istrinya mulai dari mengutuk sampai menghukum mati bagi tindak perselingkuhan atau tindak pencurian yang dilakukan istrinya. Terhadap anak-anaknya, kaum lelaki memiliki kekuasaan mutlak untuk menghidupinya, atau membunuhnya, atau menjualnya sebagai budak. Proses kelahiran menjadi sesuatu yang sangat mendebarkan di Roma. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat atau berjenis kelamin perempuan, sang ayah diperbolehkan oleh adat untuk membunuhnya.4

Orang-orang Yunani memposisikan kaum perempuan pada kasta ketiga (kasta yang paling bawah dari masyarakat). Apabila seorang perempuan melahirkan anak yang cacat, biasanya ia akan dihukum mati. Masyarakat Sparta, yang dikenal sebagai kelompok masyarakat elit, memberlakukan hukuman mati bagi seorang perempuan yang tidak lagi mampu mengasuh anak. Mereka juga biasa mengambil kaum perempuan dari suaminya untuk dihamili oleh laki-laki yang “pemberani dan perkasa” dari masyarakat lain. Orang Yunani pada umumnya menganggap kaum perempuan sebagai makhluk yang tidak berarti, yang tidak dikasihi oleh para dewa.5

Hal ini terlihat dari ungkapan kaisar Hippolytus terhadap kaum perempuan pada tragedi Euripides6 yang terjadi pada tahun 428 SM.7

4 Ismail Adam Patel,

Perempuan, Feminisme dan Islam. Judul Asli: Islam The Choice of Thinking Woman, penerjemah: Abu Faiz, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah), 2005, Cet. I, hal. 2.

5 http://historylink102.com/greece3/women.htm 6Lihat: Ismail Adam Patel,

Perempuan,Feminisme ……, hal. 2-3.

(19)

Kaum Yahudi menempatkan perempuan dalam kedudukan sebagai pelayan. Bahkan ayahnya berhak menjualnya tanpa perempuan itu mempunyai pilihan. Dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa perempuan tidak akan mewarisi selama masih ada pria dalam keluarga. Jika suaminya meninggal, maka ia akan diwariskan kepada wali suami yang terdekat. Kaum Yahudi dan Nasrani menganggap perempuan sebagai pangkal kejahatan dan sumber kesalahan dan dosa. Perempuan (Hawa)lah yang menyebabkan laknat abadi ditimpakan kepada Adam dan seluruh keturunannya. Perempuan (Hawa) dipandang lebih rendah dari pada laki-laki (Adam) dalam hal fisik, moral, intelektual dan spiritual.8 Sikap merendahkan kemampuan intelektual perempuan ini diperjelas lagi dengan dibangunnya ruang-ruang khusus untuk perempuan di Baitul Maqdis Ke-2 yang dibangun oleh raja Herodes, yang terpisah dari ruang untuk para lelaki.9 Karena kesalahan dan kelemahannya itulah perempuan kemudian dihukum dengan kesakitan pada waktu melahirkan dan dikuasai laki-laki. Selama masa menstruasi, perempuan dianggap makhluk najis. Dalam ajaran dan peraturan untuk ibadah tampak bahwa perempuan tidak diberi hak bicara dalam pertemuan jemaat. Hierarki dikuasai oleh laki-laki, perempuan dilibatkan dalam pelayanan, tetapi hampir tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan.10 Selain itu, keunggulan anak laki-laki lebih jauh ditunjukkan dalam berbagai tradisi. Pada saat kelahirannya, orang tua menyelenggarakan sebuah acara yang disebut Kiddush, sebuah acara makan bersama setelah upacara Sabbath, yang tidak diadakan pada saat kelahiran anak perempuan. Dalam bidang pendidikan, anak perempuan tidak diberi kesempatan karena dianggap tidak layak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dari pada pengetahuan seputar kewajiban-kewajiban yang ditetapkan baginya dalam kitab suci. Saat seorang anak laki-laki menghadapi masa puber, orang tua mengadakan sebuah ritual bertajuk her mitzvah (anak laki-laki wahyu Tuhan) untuk merayakan datangnya masa dewasa, suatu hal yang tidak

8 Siti Muslikhati,

Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam,

(Jakarta: Gema Insani Press), 2004, Cet. I, hal. 24.

9 http://www.angelfire.com/id2/yakos/Artikel/Perempuan/yudaisme.htm 10 Siti Muslikhati,

(20)

dilakukan terhadap anak perempuan. Demikian juga, setelah dewasanya, seorang laki-laki diperhitungkan dalam suatu kuorum (minyan), suatu hal yang juga tidak diberikan kepada seorang perempuan dewasa. Pada tahun 197311 the

Committee on Jewish Law and Standards (CJLS) -Komite Hukum dan Standar Yahudi- memberi izin kepada kaum perempuan agar di perhitungkan dalam minyan. Hal tersebut ditentang oleh gerakan konservatif. Dan baru pada tahun 2002 CJLS menanggapi perlawanan dari gerakan konservatif ini dengan memberikan alasan yang logis tentang keputusan mereka. Dalam hal perceraian, perempuan tidak diberi hak sama sekali untuk menuntut,12 sekalipun suaminya menghilang tanpa jejak. Tetapi laki-laki bebas menceraikan istrinya kapan saja sekehendak hatinya.13

Demikian juga dalam tradisi agama, kepercayaan dan peradaban lainnya. Dalam agama Hindu di Hindustan, perempuan harus menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada suaminya. Suaminya bagaikan dewa, yang segala perintah dan keinginannya harus diikuti, sekalipun itu bertentangan dengan ajaran agama. Seorang istri akan lebih terpuji jika ia terlebih dahulu meninggal dari pada suaminya. Jika tidak demikian, maka pada saat suaminya meninggal, ia harus juga mengikuti jejaknya dengan membakar dirinya hidup-hidup. Dalam tradisi agama Nasrani juga demikian, selain kewajiban menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami, keberadaan kaum perempuan yang dianggap tidak berharga itu sudah tertanam sejak mereka dilahirkan. Perempuan digambarkan sebagai penggoda nafsu laki-laki dan oleh sebab itu selalu dikaitkan dengan seksualitas, dan dipandang sebagai makhluk yang lemah, rusak, keturunan Hawa yang jahat yang harus dijauhi dan dihindari. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah perempuan; apakah perempuan itu sekadar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir, mereka menyatakan wanita itu tidak memiliki

11 http://en.wikipedia.org/wiki/Minyan 12 http://www.angelfire.com/ca3/ancientchix/ 13 Lihat: Ismail Adam Patel,

(21)

ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa Alaihissalam.14

Dalam peradaban masyarakat Arab sebelum Islam, kebiasaan mengubur hidup-hidup bayi perempuan bukanlah suatu hal yang mengherankan.15 Seorang

laki-laki berhak mengawini perempuan sebanyak-banyaknya yang kemudian dijadikan sebagai budaknya yang bisa diwariskan jika suaminya telah meninggal. Para istri tidak memiliki hak sedikit pun untuk mengeluarkan pendapat, mereka harus tunduk sepenuhnya kepada suami, dan jika tidak dapat memiliki keturunan, seringkali hukuman mati adalah sebagai akhir hidupnya. Diskriminasi species laki-laki dan perempuan ini –seperti telah disampaikan sebelumnya- terjadi hampir di seluruh belahan dunia, termasuk juga pada bangsa Eropa.16

Maka dari pengalaman-pengalaman pelecehan dan penindasan hak asasi inilah, kaum perempuan pada masa selanjutnya melakukan pemberontakan dengan membentuk gerakan-gerakan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia, serta menuntut kesetaraan jender. Gerakan ini mengajak kaum perempuan untuk bangkit dari keterpurukannya dan meyakinkan mereka bahwa sebagai manusia, mereka juga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki. Gerakan inilah yang pada akhirnya dikenal sebagai Gerakan Feminisme.

Dengan munculnya Gerakan Feminisme dan Kaum Feminis, bukan berarti dunia kelam yang dialami kaum perempuan telah berakhir. Akan tetapi penindasan dan pelecehan hak asasi mereka itu masih terus berlanjut hingga saat ini, meski dengan wujud yang berbeda dari masa lalu. Jika pada masa itu bayi perempuan dikubur hidup-hidup, maka sebenarnya pada saat ini hal tersebut masih terus terjadi melalui praktek aborsi yang semakin marak dilakukan di masyarakat. Data statistik menunjukkan bahwa semakin hari praktek aborsi semakin banyak dilakukan. Selama 28 tahun terakhir ini, jumlah tindakan aborsi tersebut bahkan telah mencapai angka

14 http://www.wahdah.or.id/wis/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1878 15 http://www.wahdah.or.id/wis/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1878 16 Lihat: Ismail Adam Patel,

(22)

lebih dari 1 milyar!.17 Jika dulu kaum laki-laki pergi ke pasar untuk membeli perempuan-perempuan yang bisa memenuhi syahwatnya, maka saat ini, tak bedanya mereka juga berpetualang ke berbagai tempat prostitusi, atau bahkan melakukan tindak pemerkosaan dan pelecehan seksual. Jika dulu para suami berhak membunuh istrinya kapan saja jika mereka melakukan kesalahan ataupun tidak dapat memuaskan nafsunya, maka pada saat ini seringkali perempuan didorong untuk mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan minuman beralkohol hingga akal mereka rusak bahkan mengakibatkan kematian. Ataupun berbagai tindak kekerasan dalam rumah tangga, keterbatasan gerak dalam ruang publik, kebebasan berbicara dan berpendapat yang masih terabaikan, dan seterusnya.

Selain di dunia empiris, diskriminasi perempuan juga dapat terjadi di dunia literer. Dalam hal ini, karya sastra sebagai dunia imajinatif merupakan media tumbuhnya subordinasi perempuan. Dunia sastra dikuasai oleh laki-laki. Artinya, karya sastra seolah-olah hanya ditujukan untuk pembaca laki-laki. Kalau pun ada pembaca perempuan, ia dipaksa untuk membaca sebagai seorang laki-laki.18 Bentuknya dapat berupa pornografi dan kekerasan terhadap perempuan. Jadi, kawin paksa, pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan dalam novel-novel merupakan petunjuk adanya anggapan yang negatif tentang perempuan, atau paling tidak karena pendefinisian perempuan dengan menggunakan standar laki-laki atau kualitas-kualitas yang dimiliki laki-laki. Hal ini berhubungan dengan konsep gender bias (bias/prasangka jender), yaitu anggapan yang salah kaprah tentang jender dan jenis kelamin. Jender adalah penyifatan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosio-kultural. Namun, karena adanya anggapan yang salah kaprah, jender sering dianggap sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat dirubah.19

Keadaan inilah yang kemudian membuat perempuan-perempuan “pemberani” masih terus berjuang mempertahankan hak-haknya. Di antara mereka adalah para

17 Lihat: Ismail Adam Patel,

Perempuan,Feminisme ……, hal. 19-22.

18 Sugihastuti dan Suharto,

Kritik Sastra Feminis ……., mengutip pendapat Selden (1991:

140), hal. 32.

19 Lihat: Sugihastuti dan Suharto,

(23)

sastrawan dan penulis, yang memperjuangkan pemikiran-pemikirannya melalui karya sastra dan tulisan. Betapa tidak, karya sastra merupakan refleksi dari keadaan masyarakat, kehidupan sosial, dan budaya manusia setempat. Eksistensinya sebagai sebuah karya imajinasi penulis tak jarang lebih berhasil dalam menghadirkan dan menghidupkan tokoh-tokoh serta melukiskan keadaan masyarakat itu sesungguhnya. Dan tak jarang pula, ide-ide serta gagasan-gagasan feminisme lebih banyak berhasil mencapai tujuannya dengan sebuah karya sastra.

Keterlibatan penulis-penulis perempuan feminis berawal pada awal abad ke-19, di mana ada tanda-tanda terang untuk pendekatan baru dan berbeda dalam hubungan penulis perempuan dengan karya sastra, yang menyebabkan lahirnya Kritik Feminis.20 Kritik Feminis ini merupakan satu perkembangan dan gerakan dalam kritik teori dan pengkajian yang melaju pada akhir tahun 1960-an, di mana suatu survey di Amerika mengungkapkan bahwa kanon sastra di negri itu, dengan hanya beberapa perkecualian, merupakan tulisan kaum laki-laki. Elaine Showalter, pengkritik sastra feminis terkemuka, menyatakan bahwa sejumlah besar bentuk sastra dalam sejarah sastra Amerika selama berkurun-kurun waktu dan berabad-abad lamanya tidak menyinggung satu pun penulis perempuan. Oleh sebab itu kegiatan awal para pengkritik sastra feminis adalah menggali, mengkaji dan menilai karya penulis perempuan dari masa-masa silam.21 Kritik Feminis adalah suatu kritik (sastra) yang berusaha mendeskripsikan dan menafsirkan (serta menafsirkan kembali) pengalaman perempuan dalam berbagai karya sastra, terutama dalam novel, dan agak jarang dalam drama atau puisi.22 Para pengkritik sastra feminis menginginkan suatu

kedudukan dan pengakuan bagi penulis perempuan, karena biasanya penulis laki-laki saja yang mendapatkan kedudukan dan pengakuan dari pengkritik sastra.23 Kritik

Feminis mempermasalahkan ‘ideologi’ yang berkepanjangan yang didominasi dan

20 Partini Sardjono Pradotokusumo,

Pengkajian Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama), 2005, Cet. I, hal. 83.

21 Soenarjati Djajanegara,

Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar¸ (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama), 2000, hal. 18.

22 Partini Sardjono Pradotokusumo,

Pengkajian…, hal. 83.

23 Soenarjati Djajanegara,

(24)

berpusat pada (jenis kelamin) laki-laki, ditambah dengan persekongkolan laki-laki dengan sikap patriarkalnya serta penafsiran laki-laki dalam sastra dan kritik sastra. Kritik Feminis menyerang catatan-catatan kaum laki-laki tentang nilai dalam sastra dengan cara menawarkan kritik terhadap pengarang laki-laki dan peran laki-laki dalam karya sastra, selain itu mengutamakan pengarang perempuan. Di samping itu, Kritik Feminis menantang dan menentang gagasan dan pandangan tradisional dan mapan kaum laki-laki terhadap sifat dasar kaum perempuan dan bagaimana kaum perempuan merasa, berpikir dan bertindak serta bagaimana kaum perempuan pada umumnya menanggapi kehidupan dan hidup ini. Dengan demikian, Kritik Feminis ini mempermasalahkan prasangka dan praduga terhadap kaum perempuan yang dibentuk oleh kaum laki-laki, dan sedikit pun tidak membiarkan kecenderungan kaum laki-laki menjerumuskan kaum perempuan untuk berperan menjadi tokoh yang diremehkan.24

Salah satu tokoh perempuan yang “berani” mengungkapkan pemikiran-pemikirannya melalui tulisan dalam rangka memperjuangkan hak-hak kaum perempuan adalah Nawal al-Saadawi, seorang novelis Mesir yang juga seorang dokter. Kondisi sosio-kultural dan sosio-politik Mesir yang masih mendiskriminasi perempuan membawa Nawal untuk melakukan protes yang disampaikan dalam berbagai karyanya. Sebagai konsekuensinya, tak sedikit karya-karya Nawal yang dicekal oleh pemerintah karena para ulama menganggapnya sesat dan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Banyak dari karyanya yang dilarang untuk diterbitkan dan diedarkan kembali di Mesir, bahkan juga di beberapa negara Arab lainnya. Keberanian Nawal ini pun telah membuatnya diberhentikan oleh Menteri Kesehatan dari jabatannya sebagai Direktur Pendidikan Kesehatan dan Pemimpin Redaksi Majalah Health. Bahkan pada tahun 1981 Nawal pun pernah dipenjara dengan tuduhan “perbuatan kriminal terhadap negara”.25

24 Partini Sardjono Pradotokusumo,

Pengkajian…, hal. 83.

25 Lihat: http://www.annida-online.com;

Books and Writers; Nawal el Saadawi,

(25)

Novel “Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr” atau “Perempuan di Titik Nol” adalah salah satu karya Nawal al-Saadawi yang dibuatnya berdasarkan kisah nyata seorang perempuan Mesir bernama Firdaus, yang dijumpainya di penjara Qanatir pada tahun 1974 ketika Nawal sedang melakukan penelitian terhadap gejala-gejala neurosis di kalangan narapidana wanita Mesir. Novel ini menceritakan berbagai kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami Firdaus sejak masa kecilnya. Dan secara keseluruhan, novel ini menceritakan pengalaman hidup seorang perempuan di tengah budaya patriarki dengan penderitaan sepanjang hidupnya hingga harus berakhir secara tragis di tiang gantungan.26

Sebagai karya sastra seorang feminis, maka novel ini merupakan sebuah kritikan sosial yang keras dan pedas, hingga tak mengherankan jika banyak kalangan yang angkat bicara mengomentari novel ini.27

Sebagai sebuah karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, maka novel ini juga tidak terlepas dari unsur-unsur yang terstruktur (dalam hal ini unsur-unsur intrinsik), sehingga membentuk sebuah totalitas dan kemenyeluruhan yang bersifat estetik. Salah satu unsur intrinsik yang paling menonjol untuk menciptakan estetika dalam sebuah novel adalah gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang.

Akan tetapi, mengingat eksistensi pengarang sebagai pejuang kebebasan dan hak-hak perempuan, serta pesan-pesan utama yang disampaikannya dalam novel IINS ini adalah tentang nilai-nilai feminisme, maka penulis berkeinginan meneliti lebih jauh kebenaran hal itu. Bagaimana sang pengarang mengatur penggunaan gaya bahasa dalam novel ini, serta sejauh mana gaya bahasa yang digunakannya tersebut

26 Baca: Nawal al-Saadawi,

Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr, (Beirut: Dâr al-Adab), 1989, Cet.

Ke-5; Perempuan di Titik Nol, diterjemahkan oleh Amir Sutaarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia),

2004, Cet. Ke-8; dan Women at Point Zero, trans. By Sherif Hetata, (London: Zed Books Ltd.), 1983

dan dicetak ulang pada tahun 2007.

27 Lihat pernyataan yang disampaikan Mochtar Lubis dalam kata pengantar

Perempuan di Titik Nol (2004); lihat pula: http://www.wmich.edu/dialogues/texts/womanatpointzero.html ;

(26)

dapat membuat novel ini memiliki nilai estetika yang tinggi (al-fann al-kâmil), terutama dari kaca mata para penggemar kesusasteraan Arab? Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

9. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tadi, maka masalah yang akan dikaji dalam tesis ini adalah Novel berjudul “Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr” (IINS), sebagai sebuah karya sastra yang diciptakan oleh pengarang berdasarkan kisah nyata yang dialaminya pada tahun 1974, dan sebagai reaksi pengarang akan ketimpangan sosial dan jender yang masih terjadi di Mesir. Penulis akan membatasi objek kajian pada pembahasan mengenai biografi pengarang, pemikiran-pemikiran dan ide-ide feminisnya yang selalu menjadi kontroversi di kalangan ulama Islam, khususnya di Mesir dan di beberapa negara Arab lainnya, termasuk di dalamnya beberapa karya sastra yang telah ditulis oleh pengarang dan berhasil dicetak dalam berbagai bahasa di dunia.

Analisis karya sastra seorang feminis sudah barang tentu harus pula memberikan penjelasan mengenai feminisme. Untuk itu dalam hal ini, penulis akan membatasi kajian pada pengertian feminisme, gerakannya yang berkembang di masyarakat, juga mengenai masuknya paham tersebut ke dalam wacana masyarakat Islam, tak ketinggalan juga tokoh-tokohnya.

Mengenai kritik sastra sendiri, penulis akan membatasi pembahasan pada definisi, korelasinya dengan feminisme serta eksistensinya dalam khazanah sastra Arab.

(27)

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Siapakah Nawal al-Saadawi? Bagaimana karakteristik dan pola pemikirannya yang dituangkan dalam karya-karyanya? Dan bagaimana respon masyarakat terhadap pemikiran–pemikiran Nawal tersebut?

2. Apakah Feminisme? Bagaimana Feminisme muncul? Apa saja gerakan Feminisme yang berkembang di masyarakat? Apa arti kritik sastra feminis dan bagaimana korelasinya dengan feminisme? Bagaimana eksistensi kritik sastra feminis dalam khazanah sastra Arab?

3. Bagaimanakah struktur novel IINS? Bagaimanakah masalah prasangka jender, cita-cita emansipasi perempuan dan ide yang dikemas dalam struktur karya sastra? Unsur-unsur apa sajakah yang dominan digunakan untuk menonjolkan ide emansipasi perempuan dan feminisme? Mampukah novel tersebut mengungkap secara estetis gagasan emansipasi perempuan dan feminisme?

4. Seperti apakah feminisme yang terdapat di dalam novel IINS? Masalah apa sajakah yang disoroti oleh tokoh Firdaus sehubungan dengan adanya prasangka jender yang hidup di dalam masyarakatnya? Bagaimanakah jika hal itu dianalisis dengan kritik sastra feminis?

10.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan-rumusan masalah yang telah disampaikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

Tujuan Umum:

(28)

Tujuan Khusus:

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan latar belakang kehidupan pengarang dan ide-ide feminisnya yang tertuang dalam karya-karya sastranya, serta kontroversi masyarakat dalam menanggapi pemikiran-pemikiran pengarang.

2. Menjelaskan arti feminisme dan aliran-alirannya yang berkembang di masyarakat, menjelaskan konsep kritik sastra feminis dan korelasinya dengan feminisme, serta mengurai eksistensinya dalam khazanah sastra Arab.

3. Menganalisis novel dalam kajian kritik sastra feminis. Analisis ini diharapkan dapat menggambarkan kekuatan hubungan antara beberapa unsur novel dengan masalah prasangka jender dan emansipasi perempuan.

4. Mengemukakan pokok-pokok pikiran feminisme yang terdapat di dalam novel.

11.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

Manfaat Teoritis:

Memberikan kontribusi sebagai pengembangan diskursus jender dan feminisme yang berkaitan dengan kritik sastra feminis.

Manfaat Praktis:

1. Memberikan informasi seputar pengarang dan feminisme serta kritik feminis dalam dunia sastra, khususnya sastra Arab.

2. Memberikan informasi tentang gagasan-gagasan feminisme yang terdapat dalam novel “IINS” serta hasil analisisnya dari tinjauan kritik sastra feminis.

(29)

12.Kajian Pustaka

Sejauh penelusuran penulis terhadap berbagai penelitian karya sastra Nawal al-Saadawi, maka penelitian dan pengkajian novel betajuk “Imra`ah ‘Inda Nuqthah al-Shifr” (IINS) dari aspek kritik sastra hanya sedikit yang penulis temukan. Hal ini karena karya-karya Nawal baik fiksi maupun non fiksi pada intinya membahas tentang social change, berupa pemikiran baru tentang kesetaraan jender dan kebangkitan kaum perempuan dalam menentang budaya patriarki. Sehingga analisis dan studi tentang karya-karyanya lebih banyak dari tema-tema tersebut. Adapun pengkajian terhadap novel IINS dari perspektif kritik sastra diantaranya dilakukan oleh beberapa tokoh berikut:

1. George Tharabishi meneliti karya tersebut dari aspek analisis psikologi, sebagai titik tolak untuk penelitian dari kacamata kritik sastra dan ideologi. Dalam bukunya, “Untsâ Dliddl al Un ûtsah” ia berpendapat bahwa sang pengarang (Nawal al-Saadawi) dalam setiap karyanya tiada lain berbicara tentang jiwa yang teraniaya, sebagai upaya mensosialisasikan ideologi feminisme. Novel IINS menurutnya penuh dengan pujian terhadap seorang perempuan yang selalu menganggap dirinya benar, sampai ketika ia menjadi seorang pelacur dan pembunuh. Dalam analisisnya, Tharabishi berpendapat bahwa dalam novel IINS terdapat penampakan sebuah pandangan ideologi di mana simbol suatu masyarakat dapat mencapai sebuah kesempurnaaan dengan meniadakan nilai-nilai yang dianggap tinggi dan terhormat selama ini, yaitu budaya patriarki. Adapun kritik terhadap karya-karya sastra yang mengandung sebuah ideologi tidak akan bisa menemukan nilai seni dan sastra yang tinggi di dalamnya. Akan tetapi Nawal al-Saadawi menurutnya tetaplah seorang maestro dalam karya-karya sastra perempuan Arab.28

2. Dalam bukunya “A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writers and Activist”, Diana Royer dari universitas Michigan mengatakan bahwa

28 Abdullah Abu Haif,

Ittijâhât al-Naqd al-Rawâ`iy fï Sûriyah,

(30)

novel tersebut secara kontekstual menggambarkan tentang kompleksitas masyarakat Mesir saat ini, khususnya tentang paham Islam Fundamentalis dan status perempuan. Novel tersebut juga menjelaskan perdebatan ilmiah yang terjadi saat ini dalam hal status perempuan kuno. Setiap bab dalam novel memperlihatkan teknik tradisi sastra lisan, cerita perempuan, sebuah citra, serta topik-topik tentang penyunatan perempuan, peran gender, pelacuran dan kehormatan membunuh.29

3. Miriam Cooke dalam tulisannya “Dirâsât Nisâiyyah Aurubiyyah wa al-Amrìkiyyah wa al-Tsaqâfât al-Islâmiyyah” mengatakan bahwa novel IINS berisi tentang perjuangan perempuan-perempuan Mesir dalam mencari eksistensi diri dan ekonomi. Oleh sebab itu, para pengkritik sastra menurutnya menganggap novel tersebut sebagai penyebaran politik radikal yang disampaikan oleh pengarang, sehingga karya tersebut tidak seperti karya-karya sastra pada umumnya yang memiliki nilai estetika sastra yang tinggi. Bahkan novel tersebut tidak dapat dianggap sebagai sebuah karya sastra.30

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis pada dasarnya adalah untuk mengkaji kembali dan memperkuat pendapat-pendapat yang telah ada. Di samping, penulis juga ingin menelaah beberapa unsur novel yang mungkin saja di dalamnya masih terdapat prasangka jender. Hal tersebut dilakukan untuk menilai konsistensi pengarang dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya tentang kesetaran jender.

13.Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berperspektif kritik sastra feminis, yaitu penelitian yang menjawab berbagai kondisi perempuan, pengalaman

29 Diana Royer,

A Critical Study of The Works of Nawal El Saadawi, Egyptian Writers and Activist, (Michigan: Edwin Mellen Press), 2001, hal. 115.

30 Miriam Cooke,

(31)

perempuan dan persepsi perempuan mengenai pengalamannya dalam kajian kritik sastra.

Penelitian kualitatif ini merupakan studi terhadap karya sastra feminis, yaitu novel Imra`ah 'Inda Nuqthah al-Shifr (IINS) karya Nawal al Saadawi. Data atau informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian yang diajukan di atas, diperoleh melalui studi kepustakaan (library research).

Adapun alasan penulis memilih novel IINS sebagai objek penelitian adalah karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Novel IINS merupakan salah satu karya sastra berbahasa Arab.

2. Novel IINS merupakan karya sastra yang mengungkap ide-ide feminisme di dalamnya.

3. Pengarang novel adalah seorang maestro yang sangat terkenal dengan gagasan-gagasan feminismenya. Seorang tokoh kontroversial yang meskipun karya-karyanya sering dicekal, namun semangatnya untuk memperjuangkan ide-ide feminisme tak pernah pudar. Bahkan hingga di usianya yang sudah senja saat ini, pengarang masih tetap aktif menulis dan mengkampanyekan ide-ide feminisme. Di samping itu, karya-karya yang telah dihasilkan oleh pengarang sangat banyak dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

4. Penelitian terhadap novel IINS karya Nawal al-Saadawi ini telah beberapa kali dilakukan oleh para peneliti, namun hanya sedikit yang mengkajinya dalam perspektif kritik sastra. Dan berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis belum pernah ada penelitian yang mengkaji beberapa unsur novel yang mungkin saja di dalamnya masih terdapat bias jender, guna menilai konsistensi Nawal dalam menyajikan ide-ide feminismenya.

(32)

Untuk memberikan rincian kegiatan penelitian ini, penulis akan menguraikan beberapa hal penting seputar penelitian, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian dengan perspektif sastra feminis ini bersifat kualitatif. Dengan demikian, jenis data yang diambil pun data yang bersifat kualitatif. Misalnya data-data yang berkaitan dengan gaya bahasa Arab yang biasa digunakan oleh para sastrawan, dalam rangka mencari nilai sastra yang terkandung dalam novel yang disajikan pengarang ini. Gaya bahasa yang digunakan pengarang tersebut kemudian dihubungkan dengan data-data yang mendeskripsikan status dan peran perempuan dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan pekerjaan. Di dalam data ini terkandung rincian data yang lebih detail. Pengkajian variabelnya dilakukan dengan studi deskriptif kualitatif dalam bentuk studi kasus. Novel yang merupakan objek studi kasus diteliti dan hasilnya diharapkan dapat menceritakan keberhasilan atau kegagalan tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Eksistensi, cita-cita dan peranan tokoh perempuan dalam hubungannya dengan tokoh lain dan lingkungan sekitarnya menjadi poin penting. Pemahaman kaitan itu terarah pada kaitan antarunsur yang berdasarkan pada pola dan tatanan nilai budaya tertentu. Dengan demikian, latar belakang yang bervariasi perlu dipertimbangkan.

2. Sumber Penelitian

(33)

3. Metode Pengumpulan Data

Dari sekian banyak metode yang dapat digunakan untuk pengumpulan data, maka metode yang digunakan penulis di sini adalah metode dokumenter, yaitu metode pengumpulan data melalui catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah lalu. Dalam hal ini, penulis menggunakan collecting text documents, yaitu menelusuri dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. Buku-buku dan literatur yang digunakan penulis adalah yang berkaitan dengan permasalahan jender, feminisme, kritik sastra feminis dan yang berkaitan dengan teori-teori sastra lainnya, khususnya sastra Arab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

4. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis sebuah novel, maka analisis struktur perlu dilakukan. Dengan demikian, walaupun penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis, namun analisis struktur novel tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Meski tidak dilakukan secara mendalam dalam bab khusus, analisis struktur novel dapat membantu mempermudah analisis feminis. Unsur-unsur seperti topik, tema, tokoh, latar dan gaya bahasa dapat dikaji untuk menemukan hubungan yang kuat dengan ide feminisme yang akan disampaikan oleh pengarang. Dalam hal ini, penulis menghubungkan isi cerita dan cara penceritaan dengan teori-teori yang ada dalam kritik sastra feminis.

Adapun kritik sastra feminis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Culler,31 yaitu membaca sebagai perempuan. Maksudnya

adalah kesadaran pembaca mengenai adanya perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna karya sastra. Kritik ini meletakan dasar bahwa ada jender dalam kategori analisis sastra dan ini dianggap sebagai kategori yang fundamental. Membaca sebagai perempuan berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi

(34)

kekuasaan laki-laki yang androsentris dan patriarkhat. Dalam hal ini, ketika faktor pembaca dipentingkan, maka pembaca dengan sendirinya mempengaruhi konkretesasi karya sastra karena makna teks, di antaranya ditentukan oleh pembaca. Sebagaimana Iser berpendapat bahwa sebuah teks baru bermakna setelah teks itu dibaca. Konsekuensinya, latar belakang sosial-budaya dan sikap pembacanya sangat menentukan keberhasilan analisis semacam ini. Perlu dicatat bahwa membaca sebagai perempuan tidak menganggap otoritas kultural sebagai kenyataan objektif, melainkan hanya sebagai batas budaya politis.32

Yang tidak dapat disingkirkan adalah jiwa analisisnya, yaitu analisis jender. Analisis harus melibatkan kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, dalam mengungkapkan kehidupan tokoh perempuan. Di sinilah studi komparatif berperan. Posisi, peran, status, latar belakang, dan pandangan hidup tokoh laki-laki dan perempuan dibandingkan untuk mengungkapkan hubungan serta kemajuan dan keterbelakangan mereka.33

Adapun langkah-langkah analisis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek, yaitu novel Imra`ah 'Inda Nuqthah al-Shifr (IINS);

2. Mengarahkan fokus analisis, yang mencakup struktur teks, eksistensi dan peran tokoh perempuan sebagai individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat, serta pandangan dan perlakuan dunia di sekitar tokoh perempuan mengenai tokoh perempuan dalam teks IINS;

3. Mengumpulkan data-data dari sumber kepustakaan yang ada kaitannya dengan objek analisis. Data tersebut dapat berupa karya fiksi maupun nonfiksi;

4. Menganalisis novel yang menjadi objek dengan analisis struktural dan kritik sastra feminis. Caranya adalah sebagai berikut:

32 Lihat: Sugihastuti dan Suharto,

Kritik Sastra Feminis ……., hal. 72-73.

33 Lihat: Sugihastuti dan Suharto,

(35)

a. Mula-mula dikaji terlebih dahulu struktur novel yang mengungkapkan topik, tema, latar, penokohan dan gaya bahasa.

b. Setelah itu, struktur novel dianalisis dengan kritik sastra feminis (membaca sebagai perempuan) untuk mengungkapkan eksistensi dan peran tokoh perempuan secara pribadi, anggota keluarga, dan anggota masyarakat; tanggapan dan perlakuan dunia di sekitar tokoh perempuan terhadap tokoh perempuan; serta korelasinya dengan ide-ide yang dikemukakan oleh feminisme.

c. Langkah terakhir adalah menarik kesimpulan yang menunjukkan bobot feminisme dalam novel IINS, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

14.Sistematika Penulisan

Adapun rencana sistematika penulisan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Pembahasan mengenai biografi pengarang, yang berupa profil pengarang, pemikiran, serta karya-karyanya yang kontroversial. Bab III : Pembahasan tentang feminisme yang mencakup definisi,

gerakan dan perkembangannya; serta tentang kritik sastra feminis yang mengkaji pengertian dan korelasinya dengan feminisme, serta eksistensinya dalam khazanah sastra Arab. Bab IV : Berupa analisis kritik sastra feminis yang mencakup

(36)

tentang latar dan prasangka jender; serta hubungan antara gaya bahasa dan jender. Pembahasan selanjutnya mengenai pokok- pokok pikiran feminisme yang terkandung di dalam novel. Hal tersebut mencakup: Tokoh utama (Firdaus) dalam stereotipe perempuan; peran agama dan adat dalam subordinasi perempuan; kekerasan terhadap tokoh utama (Firdaus) sebagai perempuan: di rumah dan di luar rumah; posisi Tokoh utama (Firdaus) sebagai perempuan dan aspirasinya untuk melawan budaya patriarki dengan melakukan pemberontakan; serta eksekusi

yang menimpanya. Bab V : Penutup dengan menyajikan dan memaparkan kesimpulan dan

saran atas keseluruhan pembahasan dan analisis yang telah dilakukan dalam bab-bab sebelumnya.

(37)

BAB II

NAWAL AL-SAADAWI

1. Biografi Nawal al-Saadawi

Nawal al-Saadawi adalah seorang dokter, novelis dan pengarang feminis Mesir terkemuka. Ia dilahirkan di sebuah desa kecil di tepi Sungai Nil, Kafr Tahla, 77 tahun yang lalu.34 Meski telah renta, namun sampai saat ini semangatnya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan masih terus membara.35 Nawal berasal dari keluarga yang berpendidikan. Ayahnya adalah seorang pejabat yang bekerja di kementrian pendidikan, sementara ibunya berasal dari keluarga kelas atas. Meski bagi masyarakat setempatnya hanya anak laki-laki yang boleh bersekolah, namun orang tua Nawal menyekolahkan semua anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, yang seluruhnya berjumlah sembilan orang.

Kecerdasan yang dimiliki Nawal mengantarkannya menjadi seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran di Universitas Cairo pada tahun 1949. Pada tahun 1955, ia memperoleh gelar Dokternya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan S2-nya di Universitas Columbia, New York, dan berhasil mencapai gelar Majister Kesehatan Umum pada tahun 1966.

Berbeda dengan kesuksesannya dalam bidang pendidikan, pernikahan Nawal dua kali kandas dan berakhir dengan perceraian. Hingga akhirnya ia bertemu dan menikah pada tahun 1964 dengan Sherif Hetata, seorang dokter yang juga novelis, yang kemudian banyak menerjemahkan novel-novel dan karya tulis Nawal ke dalam bahasa Inggris. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kemudian juga menjadi para penulis yang kreatif.36

34 Lihat:

Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm)

35 Hal ini dapat dilihat dari eksistensinya yang masih terlihat hingga saat ini. Bahkan beberapa

bukunya diterbitkan kembali pada dua tahun terakhir ini. Lihat: BookList, (http://www.nawalsaadawi.

net/books.htm)

36 Lihat:

(38)

Nawal al-Saadawi memulai karirnya sebagai dokter universitas pada tahun 1955. Dan selama dua tahun, ia juga menjadi dokter di Pusat Kesehatan Desa di Kafr Tahla. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Departemen Kesehatan dari tahun 1958 sampai 1972 dan juga menjabat sebagai editor majalah Health dan sebagai asisten Sekjen untuk Asosiasi Dokter Mesir. Namun karena karya ilmiahnya yang bertajuk al-Mar`ah wa-al-Jins, pada tahun 1972, Nawal dipecat dari jabatannya di kementrian. Hal ini karena buku tersebut berisi berbagai hal yang dianggap tabu di Mesir dan tidak layak untuk dipublikasikan, yaitu seputar masalah seks, kaitannya dengan agama, serta trauma seorang perempuan yang dikhitan. Dan karena buku yang ditulisnya itu juga, majalah Health kemudian dicekal, dan semua buku Nawal pun disensor. Walhasil, gerak Nawal menjadi terbatas. 37

Karir Nawal lainnya adalah pernah bekerja sebagai penulis di sebuah Perguruan Tinggi Sastra dan Sains pada tahun 1973-1978; sebagai peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Ain Shams, Kairo; sebagai Direktur Pelatihan Bangsa Afrika dan Pusat Penelitian Perempuan-Perempuan di Ethiopia untuk PBB pada tahun 1978-1980; dan sebagai penasehat Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika Barat di Libanon.38 Pada tahun 1981, Nawal mengkritik sistem Partai Tunggal Presiden Anwar Sadat. Hal tersebut menjadikannya terdakwa melakukan perbuatan kriminal terhadap negara.39 Ia kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Penjara Perempuan Qanatir, tempat di mana ia pernah melakukan penelitian pada tahun 1970-an dan menemukan inspirasi untuk novelnya yang bertajuk Perempuan di Titik Nol. Selama di penjara, meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Nawal diam-diam tetap menulis. Tulisan itu menghasilkan sebuah esai berjudul Catatan dari Penjara Perempuan. Dalam buku itu, ia mengisahkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi dan jender merupakan

37 Lihat:

Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm).

38 Lihat:

Cairo-Based Human Rights Organization, Female Genital Multilation

(http://www.crescentlife.com/psychissues/fgm.htm).

39 Lihat:

Central Intelligent America, The World Factbook, (http://www.cin.gov/cia/

(39)

penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara tersebut. Setelah Presiden Sadat meninggal dunia, Nawal dibebaskan.40

Pada tahun 1982, Nawal al-Saadawi mendirikan sebuah Asosiasi Solidaritas Perempuan. Namun pada tahun 1991, asosiasi ini dibubarkan. Nama Nawal kemudian dicantumkan di dalam daftar kematian kalangan fundamentalis. Jiwa Nawal terancam dan selama beberapa tahun rumahnya di Giza dijaga oleh satpam bersenjata.

Hal inilah yang membuat Nawal dan suaminya pergi meninggalkan Mesir. Mereka pindah ke Amerika, dan Nawal bekerja sebagai dosen tamu di Universitas Duke dan Universitas Negeri Washington di Seattle. Nawal mengatakan bahwa ancaman kematian telah membuat hidupnya menjadi lebih penting, dan menurutnya, tidak ada sesuatu apapun yang dapat mengalahkan kematian seperti menulis. Pada tahun 1996, ia kembali ke Mesir.41

Adapun penghargaan-penghargaan yang pernah diperolehnya antara lain: Penghargaan dari Dewan Tinggi Sastra pada tahun 1974; Penghargaan Persahabatan Sastra Perancis Arab (1982); Penghargaan Sastra Gubran (1988); dan Dekorasi Tingkat Pertama Republik Libya (1989).42

Karya-karya Nawal telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Tak kurang dari 30 bahasa. Karya fiksi Nawal pertama kali dipublikasikan di berbagai surat kabar dan majalah. Buku-buku pertamanya muncul sekitar tahun 1950-an. Pada tahun 1958, ia membuat debutnya sebagai seorang novelis melalui karyanya, Catatan Seorang Dokter Perempuan. Karya tersebut kemudian dianggap sebagai pionir dalam karya fiksi feminis di Arab. Sementara kritikan-kritikannya mengenai sistem patriarki dan tulisan-tulisannya mengenai berbagai permasalahan yang dianggap tabu baru dimulainya pada tahun 1970-an. Di antaranya, melalui karya non-fiksinya yang berjudul al-Mar`ah wa al-Sirâ’ al-Nafsi, yang terbit pada tahun 1976.

40

Egyptian State Information Services, (http://www.sis.gov.eg/women/html/).

41 Lihat:

Central Intelligent America, The World Factbook, (http://www.cin.gov/cia/

publications/factbook/geus/eg.html) dan Egyptian State Information Services,

(http://www.sis.gov.eg/women/html/).

42 Lihat: Lihat:

Books and Writers; Nawal el Saadawi,

(40)

Buku tersebut membahas tentang perempuan dan konflik psikogisnya, dan The Hidden Face of Eve, yang diterbitkan pada tahun 1977 di Beirut, Libanon. Adapun buku-buku terjemahannya dalam bahasa Inggris dimulai dengan pengalaman pengarang yang disunat pada usia 6 tahun. Buku Catatan dari Penjara Perempuan dipublikasikan di London oleh Penerbit Woman Press. Dan setelah novelnya yang bertajuk Jatuhnya Sang Imam (1987) dipublikasikan di Kairo, Nawal mulai menerima banyak kecaman dari kalangan Islam Fundamentalis. Para ulama banyak mengomentari novel ini, terutama Syekh Azhar, sebagai penghinaan dan pelecehan terhadap Imam. Menurut mereka, term Imam yang digunakan Nawal dalam novel tersebut adalah makna Imam yang sebenarnya dalam agama Islam. Dengan demikian, buku tersebut dianggap telah mencoreng kesucian Imam, dan mempermalukan agama Islam. Padahal menurut Nawal, kata Imam yang digunakannya itu semata-mata ditujukan kepada Anwar Sadat, bukan mengacu kepada Imam dalam konteks yang sebenarnya. Namun demikian, tetap saja, Nawal dan buku-bukunya menjadi sesuatu yang kontroversial. Karya-karya Nawal dilarang beredar di Mesir dan di beberapa negara Arab lainnya. Akan tetapi hingga saat ini, ia tetap menulis dan berkampanye demi kebebasan dan keadilan perempuan dan laki-laki. Karya-karya Nawal lainnya di antaranya adalah: Rihlati hawla al-'alam, My Travels Around the World (1986), Dirasat 'an al-mar'ah wa-al-rajul fi al-mujtama' al-'Arabi (1986), She Has No Place in Paradise (1987) (trans. by Shirley Eber), Searching (1991) (trans. by Shirley Eber), Daughter of Isis: The Autobiography of Nawal El Saadawi (1999) (trans. by Sherif Hetata), Qadaya al-mar'ah wa-al-fikr wa-al-siyasah (2001), Walking Through Fire: A Life of Nawal El Saadawi (2002) (trans. by Sherif Hetata).43

43 Lihat:

(41)

2. Latar Belakang Pemikiran Nawal al-Saadawi.

Pencekalan terhadap karya-karya Nawal al-Saadawi dan berbagai ancaman yang diterimanya tak lain adalah karena pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemerintah dan nilai-nilai agama. Pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh Saadawi baik secara langsung melalui berbagai seminar maupun melalui tulisan-tulisan ilmiah dan fiksinya seringkali memicu kontroversi di kalangan masyarakat. Nawal al-Saadawi seolah menyampaikan keinginannya untuk membangkitkan kaum perempuan dari keterpurukan lewat tokoh-tokoh yang ia ciptakan dalam setiap karyanya. Bahasa yang digunakan oleh para tokoh juga terkesan memprovokasi dan membangkitkan emosi para pembaca.

Pemikiran-pemikiran Nawal al-Saadawi yang ia sampaikan melalui karya-karyanya tersebut tak lain adalah karena pengaruh jiwanya yang merasa teraniaya dengan kondisi masyarakat di mana ia hidup. Oleh sebab itu, secara umum pemikiran-pemikiran dan karya-karya Nawal al-Saadawi pada dasarnya dilatarbelakangi oleh dua aspek, yaitu:

a) Kondisi budaya dan tradisi masyarakat Mesir

Nawal al-Saadawi melihat problem diskriminasi perempuan sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam buku terkenalnya al-Mar’ah wa al-Jins (Perempuan dan Masalah Sex), Nawal memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex.44 Dalam bukunya yang lain Woman at Point Zero (Perempuan di Titik Nol), dengan bahasa novel yang menarik, ia memberikan pandangannya tentang nasib perempuan Arab yang mengalami tekanan-tekanan. Dengan tanpa ragu-ragu, ia menyamakan status para istri di dunia Arab dengan para pelacur, 45 bahkan lebih buruk: “Tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua

44 Lihat:

Books and Writers; Nawal el Saadawi, (http://www.kirjasto.sci.fi/sadawi.htm)

45 Lihat: Nawal el-Saadawi,

(42)

perempuan adalah pelacur dalam satu dan lain bentuk. Karena saya seoranng pelacur yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi pelacur yang bebas dari pada menjadi seorang istri yang diperbudak .”

Menurut Nawal al-Saadawi masalah diskriminasi perempuan tidak bisa diselesaikan lewat persamaan seks atau apa lagi lewat agama. Persoalan perempuan sangat kompleks, erat kaitannya dengan masalah global ekonomi dan politik sebuah negara.46 Luthfi As-Syaukanie membandingkan pemikiran yang berbeda antara Nawal dengan Fatima Mernissi. Dua orang feminis ini meski pada intinya memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, namun keduanya berbeda cara pandang. Menurut Luthfi, Nawal al-Saadawi lebih menekankan permasalahan perempuan pada peran dan faktor ekonomi-politik, sementara Mernissi lebih melihat permasalahan pada level ideologi sosial. Menurutnya, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu “discourse tentang wanita” yang telah diciptakan oleh sosio-budaya Arab. Menurut Mernissi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif—dari perspektif apa saja. Mernissi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib perempuan, yang termasuk di dalamnya juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat. Menurut Mernissi diskusi-diskusi di sekitar turats tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas wanita.47

Akan tetapi sebenarnya Nawal juga masih sependapat dengan Fatima Mernisi. Menurut Nawal perempuan menjadi tertindas juga karena struktur patriarkal sosial Arab yang terwarisi turun-temurun. Tradisi Arab cenderung merendahkan

46Lihat: http://www.gatra.com 47 Lihat: Luthfi As-Syaukanie,

Arab Feminist Movement, Jurnal Paramadina, Vol. I. No. 1,

(43)

perempuan. Dalam tradisi agama, perempuan dihargai setengah,48 dan yang setengah itupun selalu dihalang-halangi untuk berperan dalam masyarakat secara bebas.49

Satu contoh, di Mesir, sensus pertama mengenai partisipasi perempuan dalam dunia kerja dilakukan pada tahun 1914. Ketika itu hanya 20.000 orang atau 5% dari jumlah seluruh tenaga kerja. Pada saat itu para gadis dan perempuan dari keluarga miskin mencari pekerjaan di sejumlah pabrik dan penggilingan gandum. Jam kerja mereka adalah 14 jam perhari. Dan dibayar lebih kurang tiga piastre sehari, namun kadang-kadang turun sampai 18 millims. Namun tiga piastre ini lebih baik dari pada keluarga kelaparan. Tidak ada undang-undang tenaga kerja untuk menjamin standar kesehatan atau keselamatan yang melindungi perempuan, terlebih lagi bagian tempat mereka bekerja lebih buruk dari pada bagian laki-laki. Nilai perempuan secara sosial dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Apalagi mereka tidak memprotes atau berjuang untuk memperbaiki kondisi mereka, seolah mereka terbiasa menerima penghinaan dan pelecehan. Sebagai akibat dari kondisi kerja yang tidak manusiawi itu, jam kerja panjang, kelelahan dan gizi yang tidak memadai, perempuan tidak lagi bekerja di pabrik lebih dari empat atau lima tahun, setelah itu ia tidak lagi sehat untuk mengerjakan apapun. Pemilik perusahaan akan mengeluarkannya sehingga ia terlepas sebagai buruh yang sudah kadaluwarsa, dan segera digantikan oleh perempuan yang lebih muda. Selain itu, ketika itu belum ada izin cuti bagi ibu hamil dan melahirkan. Bagi ibu yang baru saja melahirkan, maka esok harinya sudah harus kembali bekerja. Banyak perempuan pekerja yang bahkan merahasiakan statusnya bahwa ia telah menikah, karena hal ini sering dijadikan alasan oleh para majikan untuk mengeluarkannya. Jika ia hamil, maka sebisa mungkin kehamilannya itu disembunyikan, seperti halnya sedang mengandung anak haram. Bahkan dalam banyak kasus, ia akan melakukan cara-cara desa yang primitif untuk menggugurkan kandungannya dengan menggunakan semacam tumbuhan yang disebut mouloukhia ke dalam rahim atau leher rahim. Dan tak jarang cara ini berakhir dengan kematian

48 Lihat: Q.S. 4: 11.

(44)

karena kekurangan darah atau infeksi.50 Keadaan inilah yang kemudian membangkitkan semangat dan kesadaran kaum buruh perempuan Mesir pada abad ke-20 untuk menentang dan melawan peraturan-peraturan pabrik, dengan

Referensi

Dokumen terkait

sastra Feminis terhadap novel “Istana Kedua” karya Asma Nadia tentang nilai -nilai feminis gambaran tokoh perempuan yang kuat, mandiri, keras, tegas, cerdas, dan

Tokoh utama dalam novel Sepenggal Bulan Untukmu karya Zhaenal Fanani ini adalah Tumirah. Tumirah merupakan gadis lembut dengan pesona senyum, tawa, dan bicaranya

penggambaran karakter tokoh yang kuat pada tokoh utamanya Ida Ayu Telaga Pidada. Tokoh dalam novel tersebut digambarkan sebagai seorang perempuan yang pemberani dalam menentang

Dalam penyajian data, penulis memaparkan hasil identifikasi citra tokoh perempuan bernama Indayati, kemudian mencari kedudukan Indayati di dalam keluarga dan

Penelitian ini dinilai rekonstruktif, karena novel ini muncul justru ditengah maraknya karya- karya sastra Arab yang coraknya misoginis. berbagai penelitian menunjukkan 5

Melalui pidato seorang gadis yang bernama Ami dalam cerpen tersebut para tokoh perempuan yang diceritakan sebagai orang yang menghadiri acara peringatan hari

dialami tokoh Firdaus dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi, (3) menginventarisasikan data yang ditemukan sesuai dengan unsur-unsur kekerasan

Perlawanan Simbolis Melalui Perjuangan Tokoh Perempuan dengan Masuknya Ke Arena Publik Adapun data berupa kutipan yang diperoleh sebagai perlawanan simbolis melalui perjuangan tokoh