• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Kritik Sastra Feminis

2.1. Pengertian dan Metodologi Kritik Sastra

2.2. Kritik Sastra Feminis

Kritik sastra feminis, sebuah kombinasi antara kritik sastra dengan pendekatan feminis merupakan implikasi dari gerakan-gerakan feminisme yang berkembang di masyarakat. Kebanyakan para feminis menuangkan dan mengkampanyekan ide-ide mereka melalui sebuah karya, dan yang paling banyak adalah melalui karya fiksi dalam bentuk prosa. Oleh sebab itu, pekerjaan kritik sastra feminis tidak terlepas dari pekerjaan kritik sastra yang umum dilakukan. Hanya saja, ada metodologi tambahan yang dimuat di dalamnya, yaitu metodologi feminis. Untuk itu, sebelum term kritik sastra feminis ini kita kaji, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan pengertian kritik sastra.

2.2.1. Pengertian dan Metodologi Kritik Sastra

Dari akar katanya, sejarah kata Kritik dalam sastra telah mengalami perjalanan yang cukup panjang. Mulai dari istilah krites (hakim) atau krinein, kritikos dan grammatikos yang berasal dari Yunani Kuno, atau criticus (penafsiran naskah dan penafsiran kata-kata) dalam sastra Latin Klasik, atau juga pergeseran maknanya pada masa Renaissance, di mana kata criticus dan grammaticus digunakan untuk menunjuk orang-orang yang menekuni pustaka sastra lama.156

155 Lihat: Siti Muslikhati,

Feminisme dan………., hal. 47-48.

156 Lihat: Partini Sardjono Pradotokusumo,

Pengkajian Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 2005, Cet. Ke-1, hal. 55-56.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ahli bahasa, budayawan dan sastrawan tentang makna kritik sastra. Rene Wellek dan Austin Warren (1954) mengatakan bahwa kritik sastra berarti pembicaraan tentang karya sastra tertentu.157

Menurut Abrams (1958), kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan dan penilaian karya sastra.158

Lain halnya dengan Rahmat Djoko Pradopo (1988) dan Jassin (1965). Menurut Pradopo, kritik sastra ialah pertimbangan baik buruknya karya sastra, di mana suatu penelitian yang dikenakan pada karya sastra tergolong kritik sastra, yang pada pokoknya mempunyai tiga tugas, yaitu: 1) untuk keilmuan sastra; 2) untuk pertimbangan kesusastraan; 3) untuk kepentingan masyarakat yang menginginkan penerangan tentang karya sastra.159

Adapun Jassin berpendapat bahwa kritik sastra adalah baik buruknya suatu hasil kesusastraan dengan memberi alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya, dengan kata lain, analisis, merupakan hal yang terpenting di sini.160

Sementara Culler (1977) mengatakan bahwa kritik sastra pada dasarnya merupakan upaya untuk menangkap atau memberi makna karya sastra.161 Dan Teeuw (1983) memaknai kritik sastra sebagai usaha untuk merebut makna karya sastra.162

Dari pendapat-pendapat mengenai makna kritik sastra di atas, maka jelaslah bahwa secara keseluruhan definisi yang ada menunjuk pada makna pengkajian dan

157 Partini Sardjono Pradotokusumo,

Pengkajian…, hal. 56, mengutip pendapat keduanya dalam Rene Wellek & Austin Warren, Theory of Literature, (New York: Hatcourt, Brace & World Inc.), 1954.

158 Lihat: Partini Sardjono Pradotokusumo,

Pengkajian…, hal. 56-57, mengutip dari M.H. Abrams, The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition, (New York: Norton), 1958.

159 Lihat: Partini Sardjono Pradotokusumo,

Pengkajian…, hal. 57, mengutip dari Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: Lukman), 1988.

160 Lihat: Partini Sardjono Pradotokusumo,

Pengkajian…, hal. 57, mengutip dari Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya,1965.

161 Sugihastuti dan Suharto,

Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2002, Cet. Ke-1, hal. 43, mengutip dari Jonathan Culler, Structuralist Poetics, (London: Rouledge & Kegan Paul), 1977, hal. viii.

162 Lihat: Sugihastuti dan Suharto,

Kritik Sastra Feminis……, hal. 43, mengutip dari A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: Gramedia), 1983, hal. 4.

penilaian terhadap suatu karya sastra. Hal tersebut bisa dilakukan tentunya dengan proses analisis terhadap karya sastra bersangkutan, yang meliputi penelaahan, penafsiran, penilaian dan penghakiman.

Pengkajian dan analisis sebuah karya sastra berarti pengkajian dan analisis terhadap unsur-unsur intrinsik yang membentuk karya sastra tersebut, sehingga sebuah karya sastra (dalam hal ini khususnya bentuk prosa: novel) tersaji ke hadapan pembaca dalam sebuah totalitas. Oleh karena itu, dalam pengkajian sebuah prosa (novel) tidak terlepas dari pengkajian unsur-unsurnya. Atau dengan kata lain, metode strukturalisme dalam hal ini tidak mungkin dapat ditinggalkan.

Strukturalisme menurut Abrams (1981) adalah salah satu pendekatan kesastraan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai “makhluk” yang berdiri sendiri. Pendekatan strukturalisme ini menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang bersangkutan.163

Adapun Hawkes mengatakan bahwa strukturalisme pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia (baca: dunia kesastraan) yang lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda.164

Menurut kaum Strukturalisme, sebuah karya sastra, fiksi atau puisi adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.165 Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik,

163 Lihat: Burhan Nurgiyantoro

, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 2002, Cet. Ke-4, hal. 36-37, mengutip pendapat Abrams dalam M.H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston), 1981, hal. 189 dan lihat pula: Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis……, hal. 43.

164 Lihat: Burhan Nurgiyantoro

, Teori Pengkajian…, hal. 37, mengutip dari Rahmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 1987, hal. 119-120.

165 Lihat: Burhan Nurgiyantoro

, Teori Pengkajian…, hal. 36, mengutip pendapat Abrams dalam M.H. Abrams, A Glossary……, hal. 68.

saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.166

Unsur-unsur tersebut –sebagaimana dikatakan oleh Stanton- adalah fakta, tema dan sarana sastra. Fakta (facts) dalam sebuah cerita rekaan meliputi alur, latar, tokoh, dan penokohan. Fakta cerita merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya dan eksistensinya dalam sebuah novel. Oleh karena itu, fakta cerita sering juga disebut struktur faktual (factual structure) atau derajat faktual (factual level). Sarana sastra (literary devices) adalah teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita menjadi pola yang bermakna.167

Dalam tesis ini, analisis yang dilakukan bersifat objektif, sehingga sarana sastra yang dianalisis adalah sarana sastra yang besar peranannya dalam menjelaskan tema dan fakta, seperti sudut pandang penceritaan atau pusat pengisahan dan gaya bahasa. Tiga unsur pokok yang harus dimiliki oleh setiap novel dan juga merupakan unsur terpenting adalah tokoh utama, konflik utama dan tema utama. Ketiga unsur ini saling berkaitan erat dan membentuk satu kesatuan yang padu, yaitu kesatuan organisme sebuah cerita.