• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh Pejuang Emansipasi Perempuan, Tokoh-tokoh yang Menentang

2. Kritik Sastra Feminis

1.2. Tokoh Pejuang Emansipasi Perempuan, Tokoh-tokoh yang Menentang

Novel IINS, meskipun dibuat oleh seorang aktivis feminisme, namun di dalam novel sendiri istilah feminisme tidak diuraikan secara tersurat. Novel IINS menyajikan ide-ide feminisme secara tersirat dalam alur ceritanya. Beberapa unsur novel yang ada kaitannya dengan ide-ide feminisme adalah tokoh, latar dan gaya bahasa. Oleh sebab itu dalam sub bab ini, penulis merasa perlu mengklasifikasikan mana tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan (dalam istilah lain dapat dikatakan tokoh profeminis), dan tokoh yang menentang emansipasi perempuan (atau dapat dikatakan tokoh kontrafeminis). Adapun tokoh-tokoh yang peranannya tidak memberi pengaruh terhadap ide-ide emansipasi tidak penulis klasifikasikan ke dalam kategori mana pun. Yang terpenting dalam pembahasan ini hanyalah tokoh-tokoh yang ada kaitannya dengan masalah feminisme dan kesetaraan jender.

Tokoh-tokoh yang termasuk profeminis dalam novel ini adalah Firdaus sendiri sebagai tokoh utama, dan Sharifa Shalah el-Dine. Narator (Nawal) yang penulis anggap sebagai salah satu tokoh dalam novel karena keterlibatannya di awal dan di akhir novel, tidak penulis masukkan ke dalam kategori ini. Karena, meskipun narator adalah seorang pejuang emansipasi perempuan, tetapi keterlibatannya dalam novel tidak secara langsung, melainkan hanya sebagai fasilitator.

Tokoh-tokoh kontrafeminis direpresentasikan oleh Ayah Firdaus, Paman, Istri Paman, Syekh Mahmoud, Bayoumi, Teman-teman Bayoumi, Petugas Polisi, Seorang Lelaki dengan Mobil Mewah, Tiga Orang laki-laki yang merayu Firdaus di jalan, Di’aa, Seorang Karyawan Berpangkat tinggi, Ibrahim, Seorang Kepala Negara,

Marzouk dan Pangeran. Berikut penjelasan tokoh-tokoh ini beserta ide-ide emansipasinya.

1.3.1. Tokoh Pejuang Emansipasi

Firdaus, sebagai satu-satunya tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan adalah tokoh sentral dan tokoh yang paling penting dalam menuangkan ide-ide feminisme pengarang. Ide-ide emansipasi yang ada dalam pemikiran Firdaus disampaikan oleh pengarang dalam bahasa yang jelas dan lugas, dan bahkan merupakan kritikan yang amat pedas bagi sistem budaya patriarki. Keseluruhan cerita Firdaus menggambarkan keterpurukan seorang perempuan dalam dunia yang didominasi oleh kekuasaan laki-laki, yang pada akhirnya, ketika keterpurukan itu sudah mencapai klimaksnya, sang tokoh berhasil bangkit dan melakukan perlawanan. Ide emansipasi Firdaus muncul sebagai bentuk protesnya terhadap ketimpangan jender yang telah mengakar dalam budaya masyarakat dan telah mendiskriminasi perempuan dalam berbagai aspek. Firdaus menyoroti masalah pembagian kerja dan kekuasaan yang timpang dalam hubungan suami istri melalui kisah ayah dan ibunya, juga kisahnya sendiri dengan Syekh Mahmoud. Bagaimana seorang suami memiliki sifat egois yang tinggi dan selalu ingin dilayani, sementara istri memiliki beban dan tanggung jawab yang sangat besar: terhadap pekerjaan, terhadap suami dan anak-anaknya. Firdaus menceritakan kebiasaan ibu yang selalu melayani ayah dan mengutamakan kepentingan ayah dari pada anak-anaknya. Meski ayah sering memukul dan menghardiknya, namun posisi ayah ibarat raja, ibu tak pernah melawannya. Begitu pula dengan Firdaus, ketika menikah dengan Syekh Mahmoud, maka ia harus bertanggung jawab dengan seluruh tugas dan pekerjaan rumah. Apa yang menjadi kehendak Syekh mahmoud harus dipenuhi dan diikuti. Jika Firdaus melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perintah Syekh Mahmoud, maka Firdaus akan dianiaya dan diperlakukan dengan kasar. Posisi suami yang superior dan istri yang inferior ini adalah salah satu bentuk ketidakadilan jender (gender inequalities), yang pada akhirnya dapat mengakibatkan hubungan yang tidak

harmonis dalam sebuah keluarga. Padahal, tujuan menikah dalam Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hasrat seksual, juga untuk membangun kedamaian dalam sebuah bahtera yang dipenuhi dengan cinta, ketenangan, kepercayaan dan pengertian.

Bila kita kaitkan masalah ini dengan teori feminisme, maka pemikiran Firdaus tentang hubungan sebuah keluarga ini sejalan dengan teori feminisme Marxis, yang mengibaratkan suami sebagai cerminan kaum borjuis, karena menguasai basis material keluarga (nafkah), sehingga ia mempunyai kekuasaan dan posisi lebih kuat (sebagai kepala keluarga). Sementara posisi istri dan anak-anak adalah kaum proletar yang tertindas.305

Masalah lain yang disoroti Firdaus adalah masalah kekerasan, yang juga berawal dari dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Kekerasan yang dilakukan oleh kedua orang tua Firdaus terhadapnya ketika ia masih kecil, juga kekerasan yang ia alami selama pernikahannya dengan Syekh Mahmoud melambangkan sebuah pengalaman hidup yang sarat dengan penganiayaan, penindasan dan ketimpangan sosial yang begitu tinggi. Adanya kekuasaan satu pihak terhadap pihak lain, seperti ayah terhadap anaknya, atau suami terhadap istrinya, semestinya tidak dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan pribadi atau golongan dan menindas golongan atau pihak lain (dalam hal ini terutama perempuan).

Persoalan yang paling substansial dalam mengangkat kekerasan terhadap perempuan adalah adanya pemahaman keagamaan (teologis) yang menganggap bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan keputusan Tuhan yang tidak dapat diubah. Atau, dalam bahasa lain, hierarki kekuasaan laki-laki yang dianggap atau diyakini bersifat kodrat, fitrah dan bukan karena alasan sosiologis ataupun kultural yang tentu saja kontekstual dan bisa berubah. Keyakinan seperti itu dengan sendirinya merupakan pelanggengan sistem diskriminasi terhadap jenis kelamin perempuan.306

305 Lihat: Siti Muslikhati,

Feminisme dan………, hal. 32-33.

306 Hussein Muhammad,

Sistem sosial dan keluarga yang menoleransi kekerasan, pada gilirannya pasti akan menciptakan rasa tidak aman dan mungkin saja Faudlâ (chaos). Apalagi jika kepemimpinan atau kekuasaan dalam sistem sosial maupun keluarga digunakan untuk kepentingan duniawi (yang rendah, kini dan sesaat), maka ini berarti merupakan prakondisi untuk sebuah malapetaka, sebuah kehancuran.307

Masalah lain yang disoroti oleh Firdaus adalah masalah hubungan orang tua dan anak, atau paman (sebagai pengganti posisi ayah) dan keponakan. Dalam masalah perkawinan, semestinya orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak, apalagi mengambil keuntungan dari pernikahan anaknya tersebut. Anak harus diberi kebebasan dalam menentukan jodohnya sendiri. Jika orang tua ingin memilihkan jodoh untuk anaknya, seharusnya sang anak dimintakan persetujuannya dulu, bukan malah mengutamakan kepentingannya sendiri untuk meraup keuntungan dari mas kawin yang besar.

Deskripsi Firdaus tentang ide ayahnya untuk “menukar anak gadis dengan imbalan mas kawin” yang kemudian diaktualisasikan oleh pamannya saat menikahkan Firdaus dengan Syekh Mahmoud, menggambarkan sebuah konsep kawin paksa. Perlawanan yang Firdaus lakukan dengan meninggalkan rumah paman sebelum pernikahan itu dilaksanakan, atau meninggalkan suaminya saat ia mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, merupakan simbol dari ketidaksetujuannya dengan konsep pernikahan itu. Sebuah tradisi yang memang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Mesir ini seharusnya dirombak dengan suatu perlawanan yang nyata. Karena, bahagia atau tidaknya pernikahan seorang anak perempuan bukan tergantung dalam besarnya jumlah mas kawin (meski dalam budaya masyarakat menengah Mesir hal ini dijadikan sebagai jaminan jika sewaktu-waktu terjadi perceraian atau sang suami ingin menikah lagi) yang menguntungkan orang tua atau walinya, tetapi dari ketenangan dan kenyamanan yang ia peroleh dari pasangannya (suami). Dan yang merasakan kebahagiaan itu bukanlah orang tua atau pun wali,

307 Hussein Muhammad,

tetapi sang anak sendiri. Oleh sebab itu, dalam Islam seorang ayah hendaknya meminta persetujuan anak sebelum menikahkannya dengan seorang laki-laki. Walaupun ada istilah “wali mujbir”, namun mestinya otoritas ini tidak digunakan sewenang-wenang, tetapi sang ayah (wali) hendaknya memilihkan jodoh yang terbaik untuk anaknya, dan bukan berdasarkan besar kecilnya jumlah mas kawin yang akan diperoleh.

Ide emansipasi Firdaus sebagai tokoh profeminis juga terlihat dari cita-citanya menjadi seorang yang berguna bagi bangsa: menjadi hakim, pengacara, insinyur, pemimpin, bahkan kepala negara. Politik yang selalu dikuasai oleh laki-laki dengan segala kerakusan dan kebusukannya, membangkitkan semangat emansipasi dalam jiwa Firdaus, bahwa perempuan juga mampu menjadi pemimpin seperti laki-laki. Semangat ini juga nampak dari partisipasinya dalam sebuah demonstrasi untuk reformasi. Firdaus menunjukkan keberaniannya dengan melontarkan teriakan: “Turunkan pemerintah!”308

Beberapa kali mengalami pelecehan seksual, penindasan, kekerasan, pengkhianatan cinta dan penganiayaan yang dilakukan oleh para lelaki terhadapnya, pada akhirnya memberi inspirasi bagi Firdaus untuk melakukan “poliandri” dengan melacur, sebagai bentuk perlawanan dan balas dendamnya terhadap kebusukan laki-laki, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Perlawanan ini menjadi lebih kuat, saat akhirnya ia memutuskan untuk melakukan pembunuhan dan tidak menolak kematiannya dengan mengajukan permohonan grasi kepada presiden.

1.3.2. Tokoh-tokoh yang Menentang Emansipasi

Adapun tokoh-tokoh yang tidak memihak kepada emansipasi perempuan direpresentasikan oleh Ayah Firdaus, Paman, Istri Paman, Syekh Mahmoud, Bayoumi, Teman-teman Bayoumi, Petugas Polisi, Seorang Lelaki dengan Mobil Mewah, Tiga Orang laki-laki yang merayu Firdaus di jalan, Di’aa, Seorang Karyawan

308 Nawal el-Saadawi,

Berpangkat tinggi, Ibrahim, Seorang Kepala Negara, Marzouk dan Pangeran adalah tokoh-tokoh yang menentang ide feminisme. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh tokoh tersebut bertentangan dengan nilai-nilai emansipasi perempuan. Ayah Firdaus dan Syekh Mahmoud adalah dua tokoh yang pernah melakukan kekerasan terhadap Firdaus. Firdaus bagi keduanya ibarat hak milik. Kepemilikan karena status anak bagi ayahnya, dan kepemilikan karena status istri bagi Syekh Mahmoud. Makna kepemilikan ini kemudian melegitimasi berbagai tindakan kekerasan dan perbuatan semena-mena yang bisa mereka lakukan, sesuai dengan teori Feminisme Marxis.

Tokoh istri paman pernah selain pernah melakukan kekerasan dengan mengeksploitasi tenaga Firdaus untuk bekerja di rumahnya, hal terpenting yang ia lakukan dan bertentangan dengan emansipasi adalah usulan kawin paksa Firdaus dengan pamannya, Syekh Mahmoud. Karena usulan yang disampaikan kepada suaminya inilah, penderitaan hidup Firdaus berawal, sampai akhirnya menjadi korban pelecehan para lelaki, menjadi pelacur dan pembunuh.

Tokoh-tokoh lainnya adalah Paman, Bayoumi, Teman-teman Bayoumi, Petugas Polisi, Tiga Orang laki-laki yang merayu Firdaus di jalan, Di’aa, Seorang Karyawan Berpangkat Tinggi, Ibrahim, Seorang Kepala Negara, Marzouk dan Pangeran. Tokoh-tokoh tersebut penulis kategorikan ke dalam tokoh kontrafeminis karena pelecehan seksual yang merekalakukan terhadap Firdaus.

Paman Firdaus, meski menjadi tokoh berperan ganda dalam novel ini, yaitu, orang yang menyekolahkan, melindungi dan membiayai hidup Firdaus sepeninggal orang tuanya, namun ialah yang pertama kali memperawani Firdaus. Tokoh paman ibarat “serigala berbulu domba.” Di satu sisi ia adalah seorang terpelajar yang faham agama dan mengajari Firdaus banyak hal. Namun di sisi lain, ia adalah seorang lelaki hidung belang, yang hanya bisa berlindung di bawah topeng agama untuk menyembunyikan kebusukannya.

Bayoumi, Teman-teman Bayoumi, Petugas Polisi, Tiga Orang laki-laki yang merayu Firdaus di jalan, Di’aa, Seorang Karyawan Berpangkat Tinggi, Ibrahim,

Seorang Kepala Negara, Marzouk dan Pangeran adalah tokoh-tokoh yang juga melakukan pelecehan seksual terhadap Firdaus. Bayoumi yang awalnya baik, berubah menjadi tokoh sadis dan kejam. Bahkan ketika Firdaus minta dicarikan pekerjaan dengan ijazah sekolah menengahnya, Bayoumi yang awalnya pernah menjanjikan malah berkata bahwa ijazah itu tidak ada artinya. Karena banyak sarjana yang ijazahnya lebih tinggi dari itu masih menganggur dan belum memperoleh pekerjaan.309 Perlakuan Bayoumi terhadap Firdaus menjadi semakin kasar, Bayoumi sering memukulinya, bahkan membiarkan teman-temannya memperkosa Firdaus dan mereka kemudian mengejek Firdaus dan orang tuanya dengan kata-kata kasar, sampai mengurung Firdaus di rumahnya, agar Firdaus tidak dapat melarikan diri. Semua tindakan yang dilakukan Bayoumi dan teman-temannya ini benar-benar merendahkan harga diri Firdaus sebagai perempuan. Bahkan pemerkosaan bersama yang dilakukan oleh teman-temannya, memberi gambaran pandangan mereka terhadap Firdaus yang tak bedanya dengan binatang.

Begitu pula petugas polisi, yang mengancam akan membawa Firdaus ke kantor polisi jika ia menolak melayaninya; Tiga orang lelaki yang merayunya di jalan sambil menawarkan harga yang cocok untuk Firdaus. Mereka saling menawar dengan harga tertinggi, seolah-olah Firdaus adalah barang dagangan. Di’aa, seorang wartawan dan penulis tempat Firdaus banyak berdiskusi dengannya juga demikian.

Di’aa mengumpamakan profesi Firdaus sebagai pelacur tak bedanya dengan seorang dokter, karena keduanya memasang tarif untuk pasiennya. Namun bedanya, profesi dokter itu terhormat, sementara pelacur itu tidak terhormat. Mendengar pernyataan itu Firdaus merasa sangat terpukul. Namun Di’aa masih tetap minta dilayani, Firdaus sudah muak, dan akhirnya menyuruh Di’aa pergi.

Seorang karyawan berpangkat tinggi pernah merendahkan Firdaus. Saat ia melihat Firdaus di jalan ketika sedang mengejar bis, ia menawarkan Firdaus untuk ikut bersamanya. Namun penawaran ini seolah-olah hanyalah sebuah penghinaan,

309 Lihat perkataan Bayoumi pada Nawal el-Saadawi,

yang dapat dimengerti oleh Firdaus melalui sorotan mata lelaki tersebut.310 Penolakan Firdaus membuat lelaki ini terheran-heran, dan kemudian ia pergi meninggalkan Firdaus.

Ibrahim, seorang laki-laki revolusioner yang pernah membuat Firdaus terpikat dan jatuh cinta. Ibrahim pernah menyatakan perasaannya kepada Firdaus, sampai akhirnya hubungan mereka intens dan Firdaus sempat menyerahkan tubuhnya kepada Ibrahim. Namun yang didapatkan Firdaus di kemudian hari bukanlah kebahagiaan dari rasa cintanya itu. Ibrahim ternyata telah bertunangan dengan anak seorang presiden direktur. Peristiwa ini membuat Firdaus sangat putus asa dan terpuruk. Peristiwa ini pula yang membuat Firdaus semakin membenci laki-laki, hingga memutuskan untuk melakukan praktek “poligami” dengan prostitusinya.

Seorang Kepala Negara (tokoh penting) memang tidak langsung hadir dalam kehidupan Firdaus, tetapi keinginannya untuk dilayani oleh Firdaus, meski telah ditolak beberapa kali namun tak pernah menyerah mengirim utusan seorang polisi, menggambarkan sikap yang merendahkan Firdaus (perempuan). Baginya tubuh seorang perempuan dapat dibayar dengan harga berapapun yang ia minta. Firdaus memang pelacur dan sudah selayaknya diperlakukan demikian, namun ia tidak mau seperti pelacur lainnya. Firdaus ingin menjadi pelacur yang sukses dan profesional, yang berhak menentukan dengan siapa saja ia ingin melakukan hubungan seksual. Tubuhnya adalah miliknya sendiri, yang tak bisa dipaksakan untuk dimiliki oleh orang lain, tanpa sekehendak hatinya.

Tokoh Marzouk meskipun ditempatkan di akhir cerita, namun perannya sangat penting. Marzouk adalah seorang germo yang licik. Sikapnya merendahkan perempuan dengan menjadikan mereka sebagai pelacur asuhannya yang mau memberinya bagian dari upah yang mereka peroleh. Tidak saja meminta bagian uang,

310 Lihat: Nawal el-Saadawi,

tetapi Marzouk juga seringkali minta dilayani. Jika anak buahnya (Firdaus) menolak, maka ia akan memukulnya.311

Tokoh Pangeran juga penulis masukkan ke dalam kategori tokoh kontrafeminis. Pangeran yang bertemu Firdaus di jalan sesaat setelah Firdaus melakukan pembunuhan, juga telah meremehkan harga diri Firdaus. Pangeran menawar Firdaus mulai dari harga yang rendah, sampai akhirnya ia berhasil membujuk Firdaus dengan harga yang tinggi. Penawarannya untuk sebuah hubungan seksual menurut penulis merupakan salah satu tindakan yang bertentangan dengan emansipasi perempuan.

1.3.3. Penokohan yang Berprasangka Jender

Dalam novel IINS terdapat beberapa penokohan yang mengandung prasangka jender. Pada saat Firdaus menceritakan sekilas tentang rasa dendam dan rasa bangga yang memenuhi jiwanya. Ia bercerita tentang kebiasaannya bersolek dengan menggunakan riasan wajah wanita-wanita kelas atas.312

Setelah Firdaus bertemu dengan Sharifa, ia menyadari tentang dirinya, bahwa ia sebenarnya memiliki kecantikan dan daya tarik yang tidak dimiliki oleh kebanyakan perempuan.313 Dan ketika Firdaus bertemu dengan Sharifa untuk pertama kali, diceritakan bahwa Sharifa menggunakan riasan eye-shadow berwarna hijau dengan sebuah selendang berwarna hijau yang melingkar di pundaknya. Sharifa datang menghampiri Firdaus saat ia sedang beristirahat di tepi sungai Nil, setelah seharian menyusuri jalan dari kepergiannya meninggalkan rumah Bayoumi. Firdaus hampir terlelap, tapi tiba-tiba suara Sharifa yang lembut membangunkannya.314

Penjelasan-penjelasan tersebut menggambarkan karakter seorang perempuan yang senang akan keindahan dan keserasian. Firdaus selalu mempercantik

311 Pernyataan-pernyataan Marzouk yang merendahkan perempuan dapat dilihat pada Nawal

el-Saadawi, Imra'ah 'Inda ..., hal. 103 dan 105.

312 Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 16.

313 Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 62.

314 Lihat: Nawal el-Saadawi,

penampilannya dengan riasan wajah yang tepat dan selalu merawat rambutnya dengan baik. Dan dalam ungkapan lainnya bahkan dengan sangat jelas menggambarkan bahwa perempuan adalah ciptaan Tuhan yang cantik dan indah. Begitu pula Sharifa yang menggunakan riasan mata berwarna hijau untuk menyesuaikan dengan warna selendang yang dipakainya. Keindahan dan keserasian yang dimiliki Firdaus dan Sharifa menggambarkan stereotipe perempuan sebagai ciptaan Tuhan yang cantik, yang senang akan keindahan dan pemelihara. Ungkapan tentang perempuan tersebut jika kita bandingkan dengan ungkapan tentang kondisi Syekh Mahmoud akan semakin memperkuat makna prasangka jender yang terdapat di dalamnya.315

Sosok Syekh Mahmoud adalah sosok yang sangat menjijikan. Seorang lelaki tua yang tak pandai merawat diri. Kesimpulan dari pernyataan ini adalah bahwa keindahan dan kecantikan itu dimiliki perempuan. Sebab deskripsi tentang Syekh Mahmoud di atas melukiskan sebuah karakter yang sangat berbeda dengan karakter yang dimiliki oleh Firdaus dan Sharifa, yang pandai merawat diri dan senang akan keindahan dan keserasian. Selain deskripsi tentang Syekh Mahmoud, ungkapan lain yang menggambarkan sifat dan karakter laki-laki ini juga dapat dilihat dari penggambaran tokoh Direktur Perusahaan yang dibandingkan dengan tokoh Sharifa.316

Ketika narator menggambarkan tokoh Direktur lewat penuturan Firdaus, diceritakan bahwa tokoh ini adalah seorang laki-laki yang penampilannya kurang baik. Ia gemuk, botak dan suka merokok. Di samping itu, karena usianya yang sudah kepala lima, gigi-giginya banyak yang sudah rontok dan tidak diganti dengan gigi yang baru. Gigi-giginya yang masih ada tidak tertata rapi, berwarna kuning kehitam-hitaman.317 Berbeda dengan sosok Sharifa yang meskipun giginya ada yang sudah

rontok, tetapi ia masih tetap merawatnya. Gigi-giginya yang masih ada berwarna

315 Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 50 dan 60..

316 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 60 dan 82.

317 Lihat: Nawal el-Saadawi,

putih dengan bentuknya yang tertata rapi, ini melambangkan bahwa ia memelihara kebersihan dan keindahan giginya, terlebih lagi pada gigi yang sudah rontok, ia menggantinya dengan gigi palsu berwarna emas, untuk mempercantik penampilan mulutnya.318 Kedua ungkapan tadi mengandung prasangka jender karena

menggambarkan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan menyukai keindahan, sementara lelaki, kurang memperhatikan keindahan dan tidak memiliki sifat memelihara.

Hal ini serupa dengan konsepsi Jawa tentang keutamaan perempuan. Menurut konsepsi Jawa, perempuan itu merak-ati (membangun kemanisan, memperlihatkan keindahan, mampu mengombinasikan warna-warna yang beraneka ragam untuk memperindah dirinya, cantik wajahnya dan ramah-tamah pekertinya, serta lemah lembut gaya bicaranya dan luwes tingkah lakunya), gemati (memelihara, melayani kebutuhan keluarga, mendidik putra-putri dengan tekun dan penuh kasih sayang, serta teliti dan berhati-hati dalam segala tindakan), dan luluh (hati dan perasaannya berpadu menjadi satu dengan suami dan keluarganya, menerima apa adanya, serta mudah menanggapi perasaan dan kemauan orang lain).

Ketiga sifat perempuan itu menjadi “lawan” dari ketiga sifat laki-laki. Sifat laki-laki adalah teguh (mengusahakan kesentosaan badan dan bathin serta bersifat melindungi), tanggon (kokoh hati, besar kemauan, dan kuat imannya), dan tangguh (bersikap bijaksana dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan keluarga). Ketiga pasang atribut itu sebenarnya bersifat komplementer atau saling mengimbangi satu sama lain.319 Akan tetapi, jika dicermati, ternyata hal ini

merupakan penyifatan yang stereotipe dan mengandung prasangka jender. Sifat ini

318 Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 60.

319 Sugihastuti dan Suharto,

Kritik Sastra Feminis……, hal. 259-260, mengutip dari Kartini-Kartono, Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, (Bandung: Mandar Maju), 1992, Jilid I, hal. 286-288.

bukanlah biologis, melainkan hanya merupakan konstruksi budaya yang dapat bertukar-tukar menurut tempat dan waktu.320

Implementasi dari konsepsi Jawa tersebut dapat pula kita lihat dari kisah hidup tokoh Firdaus yang selalu mengalami pelecehan seksual dan gangguan dari para lelaki selama hidupnya. Firdaus kecil memang belum pandai bersolek dan tubuhnya pun belum terbentuk, namun sesuai konsepsi Jawa tadi, ada kemanisan yang terpancar dari jiwa Firdaus sehingga merangsang birahi pamannya untuk melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Yang lebih menyakitkan, Firdaus dianggapnya seperti barang dagangan yang dijual oleh paman dan istrinya kepada Syekh Mahmoud dengan harga seratus pon sebagai mas kawin. Hal ini menunjukkan bahwa Firdaus tidak hanya dijadikan sebagai objek seksual, tetapi juga posisinya direndahkan secara sosial.321 Ketika Firdaus menikah dengan Syekh Mahmoud, Firdaus juga tidak merasakan kebahagiaan. Karena selain pernikahan yang dijalaninya atas dasar keterpaksaan, kepribadian Syekh Mahmoud juga tidak baik. Syekh Mahmoud tidak hanya menyetubuhinya, tetapi juga sering melakukan