• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Kritik Sastra Feminis

1.1. Prasangka Jender dan Emansipasi Perempuan

Tema sentral dari keseluruhan isi novel pada hakikatnya adalah mengenai prasangka jender yang kemudian memunculkan keinginan sang tokoh utama untuk mewujudkan emansipasi perempuan.205 Berdasarkan analisis yang telah dilakukan,

penulis dapat mengkalisifikasikan topik-topik dan tema-tema yang dapat dijumpai dalam novel IINS sebagai berikut:

a. Topik

Anggapan dan pemahaman masyarakat yang salah kaprah tentang makna jender dan seks memunculkan prasangka jender.206 Jender yang sebenarnya merupakan sifat-sifat pada laki-laki dan perempuan yang muncul karena terkonstruk secara sosial oleh pengaruh budaya, agama dan politik, seringkali diartikan dalam makna seks, yaitu sifat yang melekat karena kodrat Tuhan. Oleh sebab itu, terjadilah pemilahan dan pemisahan jenis-jenis pekerjaan dan tugas-tugas bagi laki-laki dan perempuan karena pengaruh kesalahpahaman ini. Dan akibat yang muncul adalah adanya ketidakadilan jender (gender inequalities).

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa menurut para feminis diskriminasi jender adalah akibat dari sistem patriarki; yaitu sistem yang didominasi oleh laki-laki, dan perempuan ditempatkan pada posisi subordinat. Ideologi patriarki ini merupakan salah satu variasi dari ideologi hegemoni, yaitu sebuah ideologi yang membenarkan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Sistem ini mengakui adanya sistem kelas dan strata sosial dalam masyarakat. Pola hubungan dalam sistem ini adalah paternalistik; posisi di atas memegang kekuasaan dominan pada posisi bawah. Dan aktualisasinya dalam sebuah keluarga adalah dengan menempatkan suami sebagai bapak atau kepala keluarga.207

205 Lihat: http://etd.eprints.ums.ac.id/644/ dan

http://timoerjaoeh.net/2008/01/05/perempuan-di-titik-nol-nawal-el-saadawi/

206 Lihat kembali: Siti Muslikhati,

Feminisme dan………., hal. 19-20, Faiqoh, Nyai ………, hal. 58-61 dan Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik ... hal. 4-5 dan 15-19.

207 Lihat: Faiqoh,

Masyarakat Mesir pedesaan, tempat di mana tokoh utama dalam novel ini dibesarkan, sangat memegang kultur patriarki ini.208 Meskipun seperti telah

dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa feminisme dan gerakan-gerakan perjuangan emansipasi perempuan sudah berkembang di Mesir sejak awal abad ke-20. Namun ternyata gerakan-gerakan feminis tersebut tidak terlalu banyak membawa perubahan bagi kehidupan sosial. Kalaupun terjadi perubahan, hanyalah bersifat ekslusif dan relatif kecil. Hembusan angin emansipasi hanya dinikmati oleh kelompok perempuan elit di lingkungan perkotaan, dan tidak banyak membuahkan hasil di tingkat masyarakat bawah. Itu pun tidak sepenuhnya menjamin bahwa perempuan telah terbebas dari kungkungan laki-laki. Banyak masyarakat perkotaan (urban) yang telah berpartisipasi dalam dunia publik, tetapi dalam lingkup keluarga ternyata ketidaksetaraan jender dan patriarkat masih terus terjadi. Terutama di wilayah perkampungan, kekerasan perempuan di sektor domestik secara luas masih terus berlangsung. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis dari kalangan pemerhati feminisme di Mesir, sebagaimana Endriani mengutip pendapat Aunur Rofiq, bahwa boleh jadi feminis Mesir berhasil dalam dunia publik, namun tidak demikian jika berkaitan dengan sektor domestik. Relasi laki-laki dan perempuan masih didominasi ideologi dan sistem patriarki.209 Sebagaimana dalam pemahaman mereka: prinsip-prinsip kemerdekaan, kebebasan dan kesetaraan “hanya bisa diterapkan bagi laki-laki.”210

Dalam budaya patriarki di Mesir, selain menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan pada posisi subordinat, ada pembagian tugas berdasarkan istilah yang mereka sebut dengan “jender” ini. Pekerjaan-pekerjaan rumah lebih pantas dilakukan oleh perempuan, meskipun perempuan juga bekerja di ladang.

208 Lihat: Walter Armbrust

, Long Live Patriarki: Love in the Time of 'Abd al-Wahhab, (University of Oxford),2008 dan Walter Armbrust, The Formation of National Culture in Egypt in The Interwar Period; Cultural Trajectories, (University of Oxford),2008. Lihat pula: http://www.blackwell-compass.com/subject/history/article_view?article_id=hico_articles_bpl575, dan lihat definisi patriarki lebih lanjut pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Patriarchy

209 Lihat: Endriani Dwi Siswanti,

Perempuan di Titik Nol; Perlawanan Perempuan Melawan Tatanan Konservatif, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan), 2003, hal. 22.

210 Lihat: Nelly Van Doorn Harder,

Perempuan di Mesir…, hal. 29, mengutip dari Mervant Hatem, Toward the Development, hal. 39.

Adapun laki-laki, tidak saja mengambil posisi sebagai kepala keluarga, tetapi juga menempati posisi “raja”. Karena, segala kebutuhannya harus selalu dilayani oleh perempuan, dan apa yang menjadi kehendaknya tidak dapat ditentang dan dilawan.211

Novel Imra`ah 'Inda Nuqthah al-Shifr (IINS) mengemukakan topik212 tentang

masalah kehidupan yang cukup kompleks yang dialami oleh seorang perempuan bernama "Firdaus". Banyaknya masalah yang dialami Firdaus itu sebenarnya berakar pada satu hal, sebagai topik utama dalam cerita ini, yaitu sistem budaya patriarki yang telah menjadikan perempuan mengalami ketertindasan dalam berbagai aspek. Ketertindasan yang dialami Firdaus sebagai akibat dari ketidakadilan jender (gender inequalities)213 ini berawal sejak ia masih kecil hingga dewasa, terbentuk sebagai seorang pelacur, hingga mengakhiri hidupnya di tiang gantungan.

Seluruh topik yang ada dalam novel ini pada hakikatnya adalah tentang isu-isu ketidakadilan jender. Topik-topik tersebut adalah:

1) Kekerasan terhadap anak

Hal tersebut dilukiskan dalam penuturan Firdaus tentang masa kecilnya. Ketika ia mendeskripsikan ayahnya, ibunya, pamannya dan bibinya. Budaya patriarki yang masih mengakar dalam komunitas masyarakat Mesir (di mana kisah ini diangkat) menjadikan kehidupan dalam rumah tangga sangat bergantung kepada "aturan bapak". Bapak atau kepala keluarga di sini digambarkan sebagai sosok yang memiliki kekuasaan dan otoritas penuh. Segala kehendaknya adalah perintah yang harus ditaati, segala kebutuhannya adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Bahkan, seolah terkesan bahwa ia tidak pernah salah, meskipun sebenarnya ia salah.

Kekerasan yang pertama kali digambarkan dalam novel ini adalah ketika Firdaus kecil hidup bersama orang tuanya. Ayahnya hanyalah seorang petani miskin yang tidak berpendidikan, yang berniat menukar anak gadisnya dengan mas kawin

211 Lihat: Nelly Van Doorn Harder,

Perempuan di Mesir…, hal. 29, 33-34.

212 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Topic

213 Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Gender_inequality dan http://www.peerpapers.com/

jika telah tiba saatnya ia menikah dan sering memukuli istrinya serta memperbudaknya tiap malam.214

Kemiskinan menyebabkan Firdaus dan keluarganya hidup serba kekurangan. Gubuk mereka kecil, tidak ada kamar tidur yang nyaman, kecuali lantai beralaskan tikar jerami, atau dekat ruangan tungku jika di musim dingin. Namun kenyamanan ayahnya adalah yang paling utama. Jika Firdaus dan saudara-saudaranya telah terlelap terlebih dahulu sebelum ayahnya di musim dingin, maka ayahnya akan menarik tikar jerami itu beserta bantalnya, lalu mencari kehangatan di bilik kecil dan di sudut ruangan tungku. Sementara Firdaus dan saudara-saudaranya dibiarkan menggigil kedinginan, atau menderita penyakit mencret di musim panas. Mereka dibiarkan merana, hingga akhirnya mati satu persatu seperti anak ayam.215

Kondisi ekonomi yang tidak berkecukupan membuat Firdaus dan keluarganya sering menahan rasa lapar dan dahaga. Tidak demikian dengan ayahnya. Ayahnya tidak akan pernah tidur tanpa makan malam terlebih dahulu, sementara anggota keluarganya harus tidur dengan perut kosong, atau menunggunya selesai makan dan memakan sisa-sisa makanannya bersama-sama. Sang ayah tidak pernah peduli apakah anak-anaknya kenyang atau tidak, yang ada dalam fikirannya hanyalah isi perutnya. Hal ini digambarkan dengan bagaimana ketika Firdaus memberanikan diri mengulurkan tangannya di saat ayahnya makan, namun yang ada hanyalah pukulan keras yang ia peroleh dari ayahnya.216 Ayahnya juga tidak pernah memberinya uang sepeser pun. Jika Firdaus memintanya, maka ayahnya akan marah dengan memukul tangan dan pundaknya sambil menghardik atau menyuruhnya untuk membersihkan kotoran ternak dan menggiring keledai ke ladang terlebih dahulu.217

Perlakuan ayah dan sikapnya yang demikian membuat sebuah pertanyaan menggelitik dalam benak Firdaus yang ia sampaikan kepada ibunya, tentang siapa sebenarnya ayahnya, dan mengapa ibunya melahirkan dia tanpa seorang ayah. Ibunya

214 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 16.

215 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 22-23.

216 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 23.

217 Lihat: Nawal el-Saadawi,

kemudian memukulnya, dan membawa seorang wanita untuk memotong secuil daging di antara kedua paha Firdaus dengan sebilah pisau kecil. Peristiwa itu membuat Firdaus menangis semalam suntuk.218

Pemotongan “secuil daging di antara kedua belah paha” ini dapat kita fahami sebagai proses khitan, penyunatan atau juga disebut sebagai perusakan kelamin dengan sengaja, yang lazim dilakukan di Mesir. Menurut hasil penyelidikan kesehatan masyarakat, Demographic Health Survey tahun 2005, sekitar 95% perempuan berusia 15 tahun ke atas disunat. Sunat perempuan yang dilakukan baik oleh muslim ataupun penduduk Kristen di Mesir dengan menggores atau memotong sebagian klitoris. Hal ini menurut mereka perlu dilakukan untuk mengendalikan nafsu birahi perempuan, agar kelak tidak menjadi liar dan menjadi penggoda kaum laki-laki, sehingga stabilitas masyarakat terancam.219

Penyunatan yang dilakukan terhadap anak perempuan itu pada realitasnya tidak seluruhnya berhasil, dalam beberapa kasus hal ini justru membahayakan anak-anak perempuan karena dapat menimbulkan kematian. Seperti kasus Karima, 13 tahun, meninggal di klinik akibat dosis obat bius yang berlebihan. Hal yang sama juga terjadi atas anak perempuan lainnya yang berusia 11 dan 12 tahun. Selain Mesir, Sudan, Etiopia, Eritrea dan Somalia juga memiliki tradisi yang sama. UNICEF pada tahun 2005 melaporkan bahwa 97 persen dari wanita Mesir usia antara 15-49 tahun telah dikhitan. Meski di Mesir sendiri sebetulnya telah ada pelarangan melakukan khitan dari pemerintah, namun tetap saja masyarakat Mesir memegang kuat tradisi ini. Namun setelah kasus kematian beberapa anak yang dikhitan tersebut, pada tahun 2007 Mufti Mesir mengumumkan bahwa melakukan khitan hukumnya haram.220

Kekerasan yang diperoleh Firdaus dari ibunya bukanlah hal yang jarang. Setiap pagi, sebelum matahari muncul, ibunya membangunkan dia dengan cara menyentuh bahu Firdaus dengan kepalan tangannya hingga Firdaus terbangun untuk

218 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 17.

219 Lihat: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20070814201117

220 Lihat:

kemudian segera melaksanakan rutinitas sehari-hari: mengangkat kendi tembikar dan pergi untuk mengisinya dengan air; menyapu kandang ternak; dan membuat jajaran gumpalan kotoran hewan untuk dijemur. Atau pada saatnya membakar roti, Firdaus akan membuat adonan tepung untuk membuat roti.221

Ketika Firdaus masih kecil, ibunya selalu membasuh kaki ayahnya dengan air yang ada di dalam mangkuk yang diletakkan di tangannya. Saat Firdaus beranjak remaja, hal tersebut menjadi tugasnya. Namun yang ia rasakan adalah perubahan telah terjadi pada ibunya, sehingga dalam fikirannya ibunya sudah tak ada lagi. Apalagi ketika ibunya kembali melakukan kekerasan terhadapnya dengan memukul tangannya dan mengambil mangkuk yang sedang dipegang Firdaus saat membasuh kaki ayahnya.222

Apa yang dialami oleh Firdaus menggambarkan realitas yang sering terjadi di masyarakat. Di Indonesia sendiri, kekerasan terhadap anak masih terus berlangsung sampai saat ini. Bahkan menurut data Komnas Peradilan Anak, tahun 2008 kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan ibu kandung mencapai 9,27 persen atau sebanyak 19 kasus dari 205 kasus yang ada. Sedangkan kekerasan yang dilakukan ayah kandung 5,85 persen atau sebanyak 12 kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98 persen), ayah tiri (2 kasus atau 0,98 persen).223 Ini artinya, bahwa sebagian besar kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Hal ini mungkin karena orang tua yang bersangkutan masih mempercayai paradigma lama, bahwa mendidik anak dengan cara keras adalah wajar dan sah-sah saja. 224

Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau

221 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 18.

222 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 22.

223 Lihat: http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=70:

kekerasan-terhadap-anak .

224 Seperti ungkapan ketua Komnas PA, Seto Mulyadi dalam http://www.menegpp.go.id/

mental.225 Karena yang dianggap anak dalam hal ini adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, maka kekerasan terhadap anak berarti kekerasan yang dilakukan terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang mengakibatkan gangguan fisik atau mental. Seorang psikiater internasional, Terry E. Lawson (dalam harian-pikiran.rakyat.com, 2006), ketika merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak ia menyebutkan ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse. 226

Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebon, dan seterusnya.227

Ketika ayah dan ibunya meninggal, Firdaus tinggal bersama pamannya. Pamannya adalah sosok yang dia senangi, karena menurutnya, pamannya itu berbeda sekali dengan ayah dan ibunya yang sering menghukumnya. Sebaliknya, pamannya sangat menyayanginya, mau mengajarinya berbagai hal karena ia adalah seorang mahasiswa al-Azhar, Cairo, dan juga sering memberinya uang tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya. Namun ketika pamannya telah berumah tangga dan Firdaus hidup bersama mereka, Firdaus harus melakukan pekerjaan menyapu, mengepel lantai, mencuci pakaian dan mencuci piring setiap hari sepulang sekolah. Keadaan ini menggambarkan kekerasan terhadap Firdaus yang masih remaja, karena istri

225 Indra Sugiarno,

Aspek Klinis Kekerasan pada Anak dan Upaya Pencegahannya, Lihat: http://www.lcki.org/images/seminar_anak/Tatalaksana.pdf

226 Lihat:

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/27/bentuk-bentuk-kekerasan-anak-child-abuse/

227 Lihat: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

pamannya tidak melakukan tugas apa pun kecuali memasak dan meletakkan piranti kotor untuk dicuci dan dibersihkan oleh Firdaus. Suatu ketika, pamannya mendatangkan seorang pembantu baru yang ditempatkan di kamar tidur Firdaus. Tempat tidur di kamar itu kecil dan hanya cukup untuk satu orang. Maka pembantu itu tidur di lantai. Pada suatu malam yang dingin, Firdaus mengajaknya tidur bersamanya di atas tempat tidur, namun ketika istri pamannya melihat mereka berdua, dengan seketika ia memukuli pembantu itu, dan juga memukuli Firdaus.228

2) Kekerasan dalam rumah tangga

Masalah kedua adalah kekerasan dalam rumah tangga. Masyarakat Mesir mayoritas beragama Islam. Tafsir-tafsir al-Qur`an dan Hadits sebagai sumber hukum diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena Mesir bukanlah negara sekuler. Namun seringkali sumber hukum ini disalahgunakan oleh kalangan konservatif untuk melegitimasi kepentingan mereka, terutama karena pengaruh budaya patriarki yang menomorsatukan laki-laki dan memposisikannya di atas perempuan. Dalam ajaran Islam misalnya, ada ayat tentang kepemimpinan laki-laki/suami, atau hadits Rasulullah yang menjelaskan hukuman bagi seorang istri yang menolak berhubungan seksual dengan suaminya,229 atau juga hadits yang mewajibkan ketaatan istri kepada suaminya dengan menganalogikan situasi jika saja manusia boleh sujud kepada selain Allah, maka suamilah yang paling tepat untuk menempati posisi itu.230 Itulah sebabnya dalam adat-istiadat masyarakat Jawa misalnya, ketika terjadi pernikahan, maka ketaatan istri kepada suami disimbolkan dengan mencuci telapak kaki suaminya yang telah kotor akibat menginjak telur.231

228 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 29.

229 Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan disepakati oleh Bukhari dan

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.232

Kasus kekerasan dalam rumah tangga memang sudah menjadi cerita yang tak berujung di seluruh dunia hingga saat ini. Jika kita bandingkan dengan kasus KDRT yang terjadi di Indonesia sendiri misalnya, di tahun 2008 (hingga 22 Desember) menurut informasi dari Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre, jumlah perempuan yang telah diberikan bantuan dan layanan pendampingan serta pengaduan hotline sebanyak 275 perempuan dan anak yang mengalami 279 kasus kekerasan. Jumlah ini belum termasuk mereka yang melanjutkan kasusnya dari tahun sebelumnya. Mereka mengakses layanan Mitra Perempuan di 3 wilayah yakni 63,64% di Jakarta, 14,18% di Bogor dan 22,18% di Tangerang. Statistik mencatat bahwa 82,02% dari 279 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dari beragam usia tersebut merupakan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang pelakunya meliputi suami (76,98%), orangtua, saudara dan anak. Juga tercatat bahwa 6,12% dilakukan oleh mantan suami.233

Pada tanggal 7 Maret 2009, Depkominfo memberi pernyataan bahwa Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan yang ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun sejak 2001. Tahun 2008 naik lebih dari dua kali lipat (213 persen) menjadi 54.425 kasus dibandingkan 2007 (25.522 kasus KTP). Kenaikan jumlah kasus tersebut diperkirakan terjadi karena meningkatnya kemudahan akses ke data

html) ; Rangkaian Upacara Pengantin Adat Jawa (http://nuragni29.multiply.com/photos/album/47 /PANGGIH_-_rangkaian_upacara_pengantin_adat_Jawa) dan Penghormatan Alam Semesta dalam Puncak Ritual Pengantin Baru (http://www.oneearthmedia.net/ind/?p=306)

232

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab I, Pasal I, ayat I.

233 Lihat:

Pengadilan Agama sebagai implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan Pengadilan.234

Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang diangkat dalam novel ini adalah kekerasan yang terjadi pada ibu Firdaus dan dirinya sendiri. Ibu Firdaus digambarkan sebagai seorang istri yang sangat taat pada suami. Apapun akan ia lakukan demi kesenangan suami meski hal itu menyengsarakan diri dan anak-anaknya. Suaminya seringkali memukuli atau melakukan suatu tindak kekerasan terhadap dirinya jika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Hal itu kemudian menumbuhkan sebuah image dalam pikiran Firdaus, bahwa seorang suami pasti akan melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya. Satu contoh, ketika saudara-saudara Firdaus meninggal satu persatu, jika yang meninggal anak perempuan maka ayah Firdaus akan memukuli istrinya.235 Kisah ini sekaligus menggambarkan bahwa keberadaan anak perempuan masih kurang diperhitungkan dalam kultur mereka, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Arab -khususnya- dan masyarakat dunia pra-Islam.236

Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga Firdaus lebih kompleks lagi. Firdaus yang dipaksa menikah oleh pamannya ketika ia masih berusia 19 tahun dengan Syekh Mahmoud yang sudah berusia 61 tahun merasa sangat tersiksa, meskipun Syekh Mahmoud adalah seorang yang kaya. Awalnya Syekh Mahmoud tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Firdaus, kecuali hanya membatasi kebebasan Firdaus dalam menggunakan fasilitas rumah tangga. Firdaus menggambarkan sifat "pelit" suaminya ini dengan kebiasaannya melarang Firdaus menyisakan makanan di piring, menumpahkan beberapa butir bubuk sabun di lantai meski tanpa unsur kesengajaan, menggunakan bahan makanan untuk dimasak secara

234 Lihat:

http://www.depkominfo.go.id/2009/03/07/jumlah-kekerasan-terhadap-perempuan-setiap-tahun-meningkat/

235 Lihat: Nawal el-Saadawi,

Imra'ah 'Inda ..., hal. 23.

236 Baca kembali masalah tradisi mengubur hidup-hidup bayi perempuan pada masa jahiliyah

di antaranya: Aftab Ahmad Khan, Alqur`an Tentang Hak-hak Perempuan?, artikel yang ditulis untuk

Kantor Berita Common Ground (CGNews), 10 April 2009. Artikel ini dapat dilihat di:

berlebihan, bahkan kebiasaannya memeriksa tempat sampah sebelum diangkut oleh tukangnya. Suatu ketika ia menemukan sisa makanan, ia pun berteriak-teriak dengan begitu kerasnya sehingga para tetangga dapat mendengar. Sejak saat itu, ia mempunyai kebiasaan untuk memukuli Firdaus, baik secara beralasan ataupun tidak.237

Kebiasaan Syekh Mahmoud memukuli Firdaus semakin menjadi-jadi. Suatu ketika, ia memukuli seluruh badan Firdaus dengan sepatu, hingga muka dan badannya menjadi bengkak dan memar. Kejadian itu membuat Firdaus melarikan diri ke rumah pamannya. Namun apa yang ia peroleh bukanlah sebuah perlindungan, tetapi sebuah nasihat dengan menggunakan legitimasi hukum agama bahwa setiap suami pasti memukuli istrinya sebagaimana hal itu juga ia lakukan terhadap istrinya.238

Peristiwa pemukulan yang dialami Firdaus dan ibunya dengan menggunakan legitimasi agama seharusnya tidak pernah terjadi. Karena hal ini jelas sangat merugikan bagi agama Islam sendiri, yang sejatinya datang untuk memberikan pencerahan dalam kehidupan manusia. Dan keadaan ini jelas akan memberikan pandangan buruk tentang Islam di mata orang-orang non-muslim. Pada dataran inilah