• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Skripsi Penggunaan Bahasa Slang Dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon (Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Skripsi Skripsi Penggunaan Bahasa Slang Dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon (Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik)"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

Tahun : 2009

Judul : Penggunaan bahasa slang dapikan Di Kecamatan Pasar Kliwon (sebuah tinjauan sosiolinguistik)

Imprint : Surakarta - FSSR - 2009

Sumber : UNS-FSSR Jur. Sastra Daerah-C.0101026-2009

Subyek : BAHASA

Jenis Dokumen : Skripsi

Abstrak :

ABSTRAK

(2)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam interaksi kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan sarana untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan dengan manusia yang lain. Sarana yang diperlukan adalah bahasa. Kridalaksana menyatakan bahwa “bahasa adalah

sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh masyarakat untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri” (1993:

21). Dengan demikian, bahasa merupakan suatu alat yang sangat penting dalam komunikasi antarmanusia dalam kehidupan sosial.

Berbicara mengenai bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan oleh anggota masyarakat penuturnya untuk menjalin hubungan dengan anggota masyarakat lain yang mempunyai kesamaan bahasa. Hubungan atau komunikasi itu dapat dilakukan secara perseorangan atau kelompok. Lebih lanjut, komunikasi itu juga memungkinkan seseorang bekerja sama dengan orang lain, membentuk kelompok, atau bahkan membentuk suatu masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama.

Dalam komunikasi antarindividu, kekomunikatifan seseorang bisa kita lihat, sehingga seorang individu perlu mempunyai kemampuan komunikatif (communicative competence). Halliday berpendapat bahwa “kemampuan

komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa

(3)

dengan konteks penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya” (dalam Chaer, 1995: 45).

Dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan remaja dan anak muda, terkadang kita mendengar suatu percakapan yang tidak kita ketahui maksud serta arti dari pertuturan yang mereka gunakan, akan tetapi diucapkan dengan begitu kentalnya dalam suatu percakapan, bahkan seolah-olah bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa yang sudah biasa digunakan. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang lazim disebut bahasa slang atau kebanyakan orang menyebut sebagai bahasa prokem. Bahasa slang adalah suatu bahasa rahasia yang dimiliki oleh golongan masyarakat tertentu yang tidak dipunyai oleh kelompok lain. Berkaitan dengan bahasa tersebut, Chaer berpendapat bahwa “slang adalah

variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu” (1995: 87-88).

(4)

dengan struktur bahasa yang telah ada. Dengan ragam bahasa semacam itu pembicaraan terasa lebih lancar, lebih akrab dan tidak berjarak sesuai dengan situasinya yang informal. Bahasa slang tersebut diungkapkan secara spontan dan tidak banyak terikat oleh norma-norma gramatikal. Ragam bahasa demikian tidak begitu sistematis, banyak diselingi dengan bahasa daerah dan dialek setempat.

Dalam kehidupan sehari-hari seperti saat ini, keberadaan bahasa slang ternyata tidak hanya menjadi milik kaum muda saja, akan tetapi mulai meluas ke kalangan lain. Bahasa ini merupakan bahasa yang merupakan identifikasi dari suatu kelompok. Keberadaan bahasa ini ternyata sangat menarik untuk diteliti, sehingga kita dapat mengetahui dari kelompok mana orang yang menggunakan bahasa slang yang berada di dekat kita.

Penggunaan bahasa slang saat ini sudah merambah ke beberapa daerah di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah penggunaan bahasa slang yang dilakukan komunitas masyarakat di Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Pada era 80-an bahasa slang dapikan ini sering digunakan oleh para preman-preman atau para gali (dalam bahasa Jawa) di wilayah Solo, khususnya Sangkrah, Semanggi, Gandekan, dan sebagian wilayah Kecamatan Pasar Kliwon. Pada perkembangannya bahasa slang dapikan bukan lagi menjadi milik preman saja, namun banyak digunakan oleh kalangan muda-mudi di Kecamatan Pasar Kliwon.

(5)

ha berganti suara dengan pa sedangkan bahasa slang di Kecamatan pasar Kliwon

ha berganti suara dengan nga. Perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa slang ini adalah perbedaan karakteristik penggunaan bahasa slang. Perbedaan karakteristik tersebut dapat dilihat dalam rumusan berikut.

Rumusan bahasa slang model Yogyakarta:

HA NA CA RA KA

DA TA SA WA LA

PA DHA JA YA NYA

MA GA BA THA NGA

Ha Pa Na Dha Ca Ja Ra Ya Ka Nya Da Ma Ta Ga Sa Ba Wa Tha La Nga

Rumusan bahasa slang model Kecamatan Pasar Kliwon:

HA NA CA RA KA

(6)

PA DHA JA YA NYA

MA GA BA THA NGA

Ha Nga Na Tha Ca Ba Ra Ga Ka Ma Da Nya Ta Ya Sa Ja Wa Dha La Pa

Perbedaan yang lainnya adalah huruf konsonan yang paling belakang pada bahasa slang model Yogyakarta mengalami perubahan bunyi seperti suku kata di depannya, berbeda dengan bahasa slang model Kecamatan Pasar kliwon pada huruf konsonan yang paling belakang tidak mengalami perubahan bunyi. Salah satu dari sekian banyak percakapan yang menggunakan bahasa slang

dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon dapat dicontohkan sebagai berikut: “Wik, calakmu théng wi?” yang dalam bahasa Jawa berarti “Dhik, bapakmu neng ndhi?

(7)

keberadaan bahasa tersebut akan merusak kaidah tata bahasa, terutama bahasa Jawa, dan di pihak lain kehadiran serta keberadaan bahasa slang merupakan perbendaharaan bahasa lisan dalam masyarakat.

Keunikan penggunaan bahasa slang dapikan yang digunakan oleh sebuah komunitas di Kecamatan Pasar Kliwon ini menarik untuk dikaji, terutama dari segi karakteristik, fungsi dan peristiwa kebahasaan yang menyertai dalam pertuturan terutama yang menyangkut campur kode. Oleh karena itulah penelitian ini diberi judul Penggunaan Bahasa Slang Dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon (Sebuah Tinjauan Sosiolinguistik).

B. Pembatasan Masalah

Agar analisis yang peneliti buat lebih terarah dan mendalam, maka peneliti memerlukan pembatasan masalah. Pembatasan masalah akan memberi bimbingan dan arahan kepada peneliti untuk menentukan data mana yang perlu dikumpulkan dan data mana yang tidak relevan (Moleong, 1997: 63).

Dalam penelitian ini, fokus kajian adalah pada karakteristik, fungsi dan peristiwa kebahasaan yang menyertai dalam pertuturan terutama yang meliputi tindak tutur, campur kode, dan jenis kalimat yang menyertai penggunaan bahasa slang dapikan oleh warga di Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta.

C. Rumusan Masalah

(8)

masalah, hal yang hendak dikaji dapat diidentifikasi lebih terinci dan dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan yang mengarah sekaligus mempertegas ruang lingkup yang diteliti (pembatasan masalah). Dengan demikian, penelitian lebih adikhususkan dan ditentukan ruang lingkupnya (1992: 88).

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah karakteristik penggunaan bahasa slang dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon?

2. Bagaimanakah fungsi sosial penggunaan bahasa slang dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon?

3. Bagaimanakah peristiwa kebahasaan yang menyertai dalam pertuturan terutama yang meliputi tindak tutur, campur kode, dan jenis kalimat dalam bahasa slang dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon?

D. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan karakteristik bahasa slang dapikan di Kecamatan pasar Kliwon.

2. Mendeskripsikan fungsi sosial penggunaan bahasa slang dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon.

(9)

E. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis maupun teoritis sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

a. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai variasi bahasa dan fungsi sosial bahasa slang.

b. Penelitian ini bisa memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan disiplin ilmu linguistik, terutama sosiolinguistik. c. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor sosiolinguistik yang

ada dalam penggunaan bahasa slang dapikan. 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan praktis penggunaan bahasa slang dapikan di Kecamata Pasar Kliwon dalam aplikasinya di masyarakat, terutama bentuk variasi dan fungsi kepada pemakai bahasa dan pemerhati masalah kebahasan yang berkaitan dengan kepentingannya masing-masing.

F. Sistematika Penulisan

(10)

Bab pertama yaitu pendahuluan yang mencakup: latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab kedua yaitu landasan teori, yang berisi tentang beberapa teori yang digunakan untuk mendukung penelitian.

Bab ketiga yaitu metode penelitian yang mencakup metode-metode yang digunakan dalam penelitian yaitu: metode penelitian, populasi dan sampel, sumber data, metode pengumpulan data, teknik analisis data, dan metode pemaparan hasil penelitian.

Bab keempat adalah analisis. Bagian ini merupakan penyajian hasil penelitian atau merupakan jawaban dari masalah sebelumnya yang telah melalui proses analisis.

(11)

A. Bahasa Slang

Dalam penggunaan bahasa secara informal, sering kali terjadi penggunaan slang. Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu (Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 87-88). Pey dan Gaynor menyatakan bahwa slang adalah suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi yang popular dan pengluasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan menyusun kata-kata baru tanpa memperlihatkan standar-standar skolastik dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan kata; pada umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok usia tertentu (dalam Alwasilah, 1993: 48).

Wilis (dalam Alwasilah) menyebutkan bahwa slang adalah hasil daya temu kebahasaan, terutama kawula muda dan orang-orang ceria yang menginginkan istilah-istilah segar, asli, tajam, atau apik dengan mana mereka bisa menyebut kembali gagasan-gagasan, tindakan-tindakan, dan objek-objek yang sangat mereka gandrungi. Dengan demikian, slang adalah hasil kombinasi kekurangwajaran berbahasa dengan reaksi terhadap kosa kata (diksi) yang serius, kaku, muluk, megah, atau tak menarik (1993: 48). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), disebutkan bahwa “slang adalah ragam bahasa tidak resmi dan

tidak baku yang sifatnya musiman dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial

(12)

tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengetahui” (1991: 953).

Lebih lanjut, Keraf menyebutkan bahwa “slang adalah kata-kata

nonstandard atau informal yang disusun secara khas, atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer, atau kata-kata kiasan yang khas, bertenaga, dan jenaka, yang dipakai dalam percakapan. Munculnya bahasa slang bertolak dari keinginan agar bahasa itu menjadi lebih hidup” (1990: 108). Slang dipakai sebagai bahasa

pergaulan oleh beberapa kelompok masyarakat yang berlainan. Kaum preman, para pelajar, dan mahasiswa serta anak-anak jalanan, mempergunakan sejumlah istilah yang sama selain kata-kata yang hanya berlaku di kalangan masing-masing. Bukan saja kosa katanya berlainan, tetapi jenis pengalaman yang dituangkan dalam bentuk slang juga berbeda-beda.

(13)

yang dimiliki anak muda atau remaja pada umumnya, bahkan tidak jarang orang tua yang mempunyai jiwa muda pun menggunakan bahasa tersebut.

Faktor pendukung munculnya ragam bahasa slang selalu dipengaruhi oleh faktor sosial dan situasional. Adapun masalah pemakaian bahasa (language use) itu merupakan bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkret (Suwito, 1983:2). Dengan demikian, interaksi sosial akan berwujud bagaimana tuturan itu digunakan sebagai alat untuk mengadakan kegiatan di dalam masyarakat oleh penuturnya, sedangkan situasi merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk tuturan yang digunakan.

Di bawah ini akan didekripsikan bentuk ragam bahasa slang dapikan

sebagai berikut. Contoh Data:

Sita : “Mbak, bukku neng ngendi?” Wiwik : “Mbuh, neng ngendi?”

Pada saat bersamaan datang Rini menyela pembicaraan. Rini : Bah bipike ngimi ropeki jala?

Wiwik : Ropeki cuke

Sita : “Mbak wiwik, bue neng ngendi?” (bertanya dengan nada meninggi) Wiwik : “Cuke ngimi theng wi, ta?”

Rini : “Cuke theng mleder”

(14)

Terjemahan data:

a. Terjemahan dalam bahasa Jawa Sita : “Mbak, ibuku neng ngendi?” Wiwik : “Mbuh, neng ngendi?”

………

Rini : “Cah cilike iki nggoleki sapa?” Wiwik : “Nggoleki ibuke”

Sita : “Mbak Wiwik, ibu neng ngendi?” Wiwik : “Ibuke iki neng ngendi, ta?”

Rini : “Ibuke neng Klewer” Sita : “Neng ngendi ta, mbak?”

Wiwik : “Neng Klewer!”

b. Terjemahan dalam bahasa Indonesia Sita : Mbak, ibu saya dimana?

Wiwik : Tidak tahu dimana?

………

Rini : Anak kecil ini mencari siapa? Wiwik : Mencari ibunya

Sita : Mbak Wiwik, ibu saya dimana? Wiwik : Ibunya dimana ta?

(15)

Tafsiran Data:

Pembicaraan tersebut terjadi karena Sita mencari ibunya. Kemudian Sita bertanya kepada kakaknya yang dianggap tahu keberadaan ibunya. Ternyata Kakaknya tidak tahu ke mana ibunya pergi. Lalu datanglah tetangganya yang bernama Rini, yang tahu keberadaan ibu Sita. Rini mengira kalau kepergiannya ibu Sita itu dirahasiakan, Rini bertanya kepada Wiwik dengan menggunakan bahasa Slang dapikan. Bahasa slang dapikan ini digunakan agar Sita yang masih kecil tidak mengerti maksud pembicaraan kedua orang tersebut yang sedang membicarakan keberadaan ibunya. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa slang

dapikan ini digunakan untuk merahasiakan pembicaraan.

B. Wacana

Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain membentuk satu kesatuan (1988: 334). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wacana adalah keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan atau satuan bahasa terlengkap (1989:1005).

(16)

menggambarkan muatan makna (semantik) yang didukung wacana (Djajasudarma, 1994:2).

Edmonson dalam Djajasudarma (1994:2-3) menyatakan bahwa wacana adalah satu peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku lingusitik (bahasa) atau lainnya. Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yaitu mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan dan tertulis (Tarigan dalam Djajasudarma, 1994:5).

Dalam Kamus Linguistik dijelaskan bahwa wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membuat amanat yang lengkap (Kridalaksana, 1984:231). Pendapat tersebut menegaskan bahwa wacana sebagai satuan gramatikal membawa amanat yang lengkap. Dari sudut pandang wacana sebagai satuan (unit) pelaku, maka ia adalah “sehimpunan ujaran yang merupakan peristiwa wicara yang dapat dikenali (tanpa

menunjuk pada penstruktural kebahasaannya), seperti misalnya percakapan, lelucon, khotbah, wawancara”. Sudut pandang psikologi memandang wacana

sebagai “suatu proses dinamis pengungkapan dan pemahaman yang mengatur

penampilan orang dalam interaksi kebahasaan” (dalam PELLBA 6, 1993:4).

Analisis wacana dalam arti paling luas dan komprehensif, sebagaimana didefinisikan oleh Stubbs adalah: “Analisis wacana merujuk pada upaya mengkaji

(17)

satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas, seperti pertukaran percakapan atau teks tulis. Konsekwensinya, analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, dan khususnya interaksi atau dialog antarpenutur” (PELLBA 6, 1993:5).

Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan atau bahasa tulis. Apapun bentuknya, wacana mengasumsikan adanya penyapa (addresser) dan pesapa (address). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis penyapa dalah penulis, dan pesapa adalah pembaca. Wacana mempelajari bahasa dalam pemakaian jadi bersifat pragmatik (Samsuri dalam Djajasudarma, 1994:4).

(18)

bentuknya (morfem, klausa, kalimat) tetapi kesatuan artinya (dalam Djajasudarma, 1994:20-21).

Komponen tutur yang dianggap sebagai konteks sosial yang banyak dipengaruhi wujud wacana yang dituturkan oleh seseorang dalam suatu adegan tuturan oleh Dell Hymes disebut “speech component” (dalam Poedjosoedarmo,

1986:4). Hymes juga berpendapat bahwa ada enam belas komponen yang harus dikenali. Komponen itu banyak yang digabungkan menjadi satu karena mengandung radundance dan tumpang tindih. Untuk mempermudah cara mengingatnya, Hymes mengusulkan formasi SPEAKING dalam bahasa Inggris yang diambil huruf-huruf awalnya, yaitu sebagai berikut.

S : Setting dan scene, yaitu tempat bicara dan suasana bicara (misalnya ruang diskusi dan suasana diskusi).

P : Participant, yaitu pembicara, lawan bicara dan pendengar. Dalam diskusi adalah seluruh peserta diskusi.

E : End (purpose and goal), yaitu tujuan akhir diskusi.

A : Act, yaitu suatu peristiwa di mana seorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicaranya.

(19)

I : Instrumentalities, yaitu alat untuk menyampaikan pendapat misalnya secara lisan, secara tertulis, lewat telepon, dan sebagainya.

N : Norms (Of interaction and interpretation), yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta diskusi.

G : Genres, yaitu jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari jenis kegiatan yang lain (dalam Suwito, 1997:39).

Poedjosoedarmo (1986:80) berpendapat bahwa komponen tutur meliputi: 1) pribadi si penutur atau orang pertama (O1), 2) anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang yang diajak bicara (O2), 3) kehadiran orang ketiga (O3), 4) maksud atau kehendak si penutur, 5) warna emosi si penutur, 6) nada suasana bicara, 7) pokok pembicaraan, 8) urutan bicara, 9) bentuk wacana, 10) sarana tutur, 11) adegan tutur, 12) lingkungan tutur, 13) norma kebahasaan lainnya.

Apabila kita ingin mengerti dan memahami betul tentang arti wacana, maka konteks tersebut di atas perlu diperhitungkan. Dengan kata lain, kita dapat memahami suatu bentuk wacana karena adanya pengaruh berbagai konteks seperti tersebut di atas. Komponen tutur yang digunakan dalam penelitian ini adalah komponen tutur yang dikemukakan oleh Poejosoedarmo. Penggunaan bahasa slang ada umumnya diterapkan dalam suasana yang tidak formal dan di tempat-tempat yag tidak resmi.

(20)

Sosiolinguistik merupakan pengkajian bahasa dengan menggunakan dimensi kemasyarakatan. Nababan berpendapat bahwa “sosiolingusitik adalah studi atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat” (1993:2). “Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang

dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan” (Paina, 2002: 1). Chaer menjelaskan bahwa “sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa

dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat” (Chaer,

1995:8). Jadi, bisa dikatakan bahwa sosiolinguistik merupakan interdisipliner. Dalam kamus Linguistik dikatakan bahwa “sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dengan perilaku sosial” (Kridalaksana, 1993: 181). Sosiolinguistik dapat

memberikan informasi tentang hubungan pemakaian bahasa sebagai sistem komunikasi dengan peristiwa-peristiwa sosial dan gambaran dari masyarakat dan kebudayaan dari pemakaian bahasa (Appel dalam Suwito, 1997:5). Sosiolinguistik juga dapat memberi gambaran pemakaian bahasa sebagai sistem interaksi sosial antara penutur dengan masyarakat dan hubungannnya dengan faktor-faktor non-linguistik (Fishman dalam Suwito, 1997:6).

(21)

ketepatan pemilihan variasi bahasa sesuai dengan konteks sosial, di samping kebenaran secara struktural gramatikal.

D. Manfaat Sosiolinguistik

Suatu ilmu pasti mempunyai kegunaan atau manfaat, begitu pun sosiolinguistik sebagai salah satu disiplin ilmu tentulah juga mempunyai manfaat. Manfaat-manfaat dari ilmu sosiolinguistik adalah sebagai berikut:

1. Sosiolinguistik bisa kita manfaatkan dalam berkomunikasi atau interaksi (Chaer, 1995: 9)

2. Sosiolinguistik dapat memberikan informasi tentang hubungan pemakaian bahasa sebagai sistem komunikasi dengan peristiwa-peristiwa sosial dan gambaran dari masyarakat dan kebudayaan dari pemakai bahasa (Appel dalam Suwito, 1997: 5).

3. Sosiolinguistik dapat memberi gambaran pemakaian bahasa sebagai sistem interaksi sosial antara penutur dengan masyarakat dan hubungannya dengan faktor-faktor non-linguistik (Fishman dalam Suwito, 1997: 6).

E. Komunikasi

Manusia dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan terlepas dari kegiatan berkomunikasi. Hal ini disebabkan pengaruh dari peranan manusia sebagai makhluk sosial. Pengertian komunikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(22)

sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami” (Moeliono, 1997:517), sedangkan

secara etimologis pengertian komunikasi berasal dari “communication”. Istilah itu

bersumber dari perkataan “communis” yang artinya sama. Yang dimaksud sama

adalah sama dalam makna maupun sama dalam arti (Effendi, 1995:9). Jadi, komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan dapat diterima oleh komunikan.

Ada dua jenis komunikasi, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Mengenai komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal, Suwito mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.

“ Komunikasi verbal hanya mungkin dilakukan secara auditif, yaitu komunikasi yang menggunakan bunyi artikulasi antara komunikator dan komunikannya. Sedangkan komunikasi nonverbal dapat dilakukan secara uditif maupun visual. Gerak-gerik anggota badan, perubahan mimik, tepuk tangan dan sejenisnya dapat dipakai sebagai sarana komunikasi nonverbal. Demikian pula alat-alat seperti sirine, peluit, kentongan, dan sebagainya (yang bersifat auditif), sinar lampu, cermin, bendera, dan sebagainya (yang bersifat visual) dapat dipergunakan sebagai sarana komunikasi nonverbal” (1997:18-19).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi dalam bahasa slang termasuk dalam komunikasi verbal, yaitu komunikasi dengan menggunakan sarana bahasa lisan. Komunikasi yang terjadi adalah komunikasi secara langsung antara penutur (O1) dengan lawan tutur (O2) di dalam upaya menginformasikan suatu maksud untuk mencapai tujuan tertentu.

(23)

membuat tafsiran (interpretasi) terhadap pesan itu. Hasil interpretasi terhadap decode itu merupakan tanggapan komunikan terhadap pesan komunikator. Sesuatu rangsangan (komunikator) dan yang menanggapi rangsangan (komunikan) mempunyai tafsiran yang sama terhadap lambang yang dipergunakan. Apabila dengan proses seperti itu pesan yang dikirim telah sesuai dengan penerima, maka terjadilah komunikasi. Menurut Suwito (1997:16), hubungan antara pengiriman pesan dan penerimaan pesan merupakan hubungan timbal balik. Artinya dalam komunikasi seorang komunikator pada suatu saat akan berlaku pula sebagai komunikan, dan seorang komunikan pada saat yang lain akan berlaku sebagai komunikator bahkan dalam komunikasi langsung. Proses terjadinya komunikasi antara komunikator dan komunikan itu menurut Suwito dengan bagan sebagai berikut.

Umpan Balik

F. Ragam Bahasa

1. Pengertian Ragam Bahasa

Telah banyak ahli yang membuat batasan atau definisi mengenai ragam bahasa atau variasi bahasa. Menurut suwito, “ragam bahasa sebagai suatu istilah

yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa” (1988: 11). Variasi timbul karena kebutuhan penutur

akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan situasi dalam konteks sosialnya. Intensi  Kode

KOMUNIKATOR

(24)

Kridalaksana (1993:165) dalam Kamus Lunguistik mengartikan “ragam

bahasa sebagai variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda, menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicaraan, kawan bicara, dan munurut media pembicaraan”. Senada dengan yang dikemukakan Kridalaksana,

Nababan (1991:45) mendefinisikan “ragam bahasa sebagai variasi bahasa, baik variasi bentuk maupun maknanya”. Sedangkan Suwito (1997:48) mengemukakan

bahwa “ragam bahasa adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk

salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa”.

Menurut Mustakim (1994:18) “ragam bahasa adalah variasi pemakaian

bahasa yang timbul sebagai akibat adanya sarana, situasi, dan bidang pemakaian bahasa yang berbeda-beda”. Jika dilihat dari sarana pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis. Pada ragam lisan unsur-unsur bahasa yang digunakan cenderung lebih lengkap dibanding unsur bahasa pada ragam tulis karena informasi yang disampaikan secara lisan dapat diperjelas dengan penggunaan intonasi, gerakan anggota tubuh tertentu, dan situasi tempat pembicaraan itu berlangsung. Pada ragam tulis hal semacam itu tidak ada. Oleh karena itu, informasi yang disampaikan secara tertulis dapat menimbulkan pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi dan situasinya. Secara lebih jelas dan terperinci, Subroto menyatakan bahwa, “variasi sosial bahasa Indonesia

terwujud dalam bentuk ragam bahasa” (1992:19).

(25)

memiliki perbendaharaan unsur-unsur yang cukup besar dan penyatuan-penyatuan atau proses-proses dengan cakupan semantik yang cukup jembar untuk berfungsi dalam segala konteks komunikasi yang normal (1993: 55).

2. Klasifikasi Ragam Bahasa

Moeliono membuat klasifikasi ragam bahasa dengan dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang penutur yang dibagi menjadi ragam daerah, ragam taraf pendidikan, dan ragam sikap penutur. Sedangkan yang kedua dari sudut jenis pemakaian yang dibagi menjadi ragam pokok persoalan, ragam menurut sarananya, dan ragam yang mengalami gangguan pencampuran.

a. Dari sudut pandang penutur 1) Ragam daerah/logat/dialek

Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat yang masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang daerahnya berdampingan.

2) Ragam taraf pendidikan

Ragam ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang bersekolah dengan yang tidak, atau antara kaum yang berpendidikan formal dengan yang tidak.

3) Ragam sikap penutur/langgam/gaya

(26)

Dalam ragam ini, penutur berhadapan dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap yang baku, yang resmi, yang adab, yang dingin, yang hambar, yang akrab, atau yang santai.

Josh (dalam Nababan, 1993:22) membagi gaya bahasa (style) menjadi lima tingkat.

a) Ragam baku (frozen), ialah ragam bahasa yang paling resmi, dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi.

b) Ragam resmi (formal), ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.

c) Ragam usaha (consultative), ialah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, di perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang berorientasi kepada hasil atau produksi.

d) Ragam santai (casual), ialah ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang, rekresai, berolah raga, dan sebagainya.

(27)

b. Dari Sudut Pemakaian

1) Ragam pokok persoalan

Ragam ini terjadi karena pada dasarnya setiap penutur bahasa hidup dan berkembang dalam lingkungan masyarakat yang adapt istiadatnya atau tata cara perslangannya dapat berbeda, termasuk perbedaan dalam pemakaian bahasa. Orang yang ingin ikut serta dalam bidang tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan lingkungan itu harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan yang cocok dengan bidang atau pokok itu.

2) Ragam menurut sarana penyampaiannya

Menurut sarana penyampaiannya, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam lisan dan tulis. Di dalam KBBI, dijelaskan bahwa ragam bahasa lisan adalah ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan yang terikat oleh ruang dan waktu, sehingga pengungkapan dapat membantu pemahaman (1998:719). Sedangkan untuk tagam bahasa tulis, Subroto menjelaskan bahwa pada dasarnya adalah usaha untuk mengabadikan bahasa lisan secara tidak sempurna (1992:19).

(28)

Ragam bahasa yang mengalami gangguan pencampuran atau interferensi terjadi karena adanya pengaruh timbal balik di antara bahasa yang digunakan secara berdampingan.

Jika ditinjau dari tingkat keformalannya, ragam bahasa dibedakan menjadi:

a. Ragam Formal

Ragam bahasa formal sering disebut juga ragam resmi, ragam lengkap, ragam baku, atau ragam tinggi. Ragam bahasa (tutur) formal yaitu penggunaan bahasa yang menuntut adanya situasi resmi atau formal, lugas, eksplisit, dan bersifat denotatif, dituntut adanya pola kalimat yang baik dan benar. Baik artinya sesuai dengan situasi dalam konteks sosialnya, sedangkan benar artinya setia dan patuh pada kaidah-kaidah bahasa yang sedang dipakainya (Suwito, 1996:105). Ragam bahasa ini biasanya digunakan dalam situasi-situasi yang resmi.

b. Ragam Informal

Ragam bahasa informal disebut juga ragam tak resmi, ragam tak baku, atau ragam rendah. Ragam informal yaitu ragam bahasa yang penggunaannya mencerminkan adanya situasi tak resmi (informal), santai dan bersifat kekeluargaan.

(29)

1) Banyak memperoleh manfaat penggunaan intonasi kalimat, kata seru, partikel penanda kehendak, istilah panggilan.

2) Banyak menunjuk hal-hal yang sifatnya ekstralinguistik, seperti pada benda-benda yang ada di sekitar tempat bicara dan kepada pengertian yang dimengerti bersama oleh peserta tutur.

3) Kata-kata yang dipakai biasanya kata-kata yang tergolong sangat umum dan berfrekuensi tinggi, istilah teknik, dan idiomnya rumit dan eksplisit.

4) Pola atau struktur kalimatnya tidak baku dan susunannya inversi.

5) Tidak dituntut adanya pola kalimat yang baku.

6) Sering mengalami penanggalan-penanggalan, seperti penanggalan kalimat dalam wacana, penanggalan dalam frase dan klausa dalam kalimat, penanggalan suku kata atau fonem dalam kata.

7) Biasanya digunakan dalam ragam lisan.

8) Sering dijumpai kata-kata dari bahasa asing, bahasa daerah, atau dialek daerah.

Berdasarkan landasan teori ragam bahasa terseut di atas, bahasa slang masuk di dalam ragam santai karena bahasa slang sebagai genre „bentuk‟ folklore

(30)

G. Kedwibahasaan dan Diglosia

1. Kedwibahasaan

Apabila masyarakat atau daerah yang memiliki atau memakai dua bahasa, maka masyarakat atau daerah itu disebut masyarakat atau daerah yang berdwibahasa atau bilingual. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan atau orang yang bilingual (berdwibahasa) (Nababan, 1993:27). Adapun bilingualisme adalah kebiasaan seseorang menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Jika kita berpikir tentang kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita sebut ini bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality). Jadi, orang yang “berdwibahasa”

mencakup pengertian kebiasaan memakai dua bahasa, atau kemampuan memaknai dua bahasa. Nababan (1993:27) membedakan “kedwibahasaan” (untukkemampuan) denan menggunakan istilah “bilingualisme” dan

“bilingualitas”.

(31)

Apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak. Pengertian kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara beberapa bahasa yang berakibat adanya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur dalam konteks sosialnya. Peristiwa atau gejala semacam itu antara lain tampak dalam wujud kedwibahasaan dan diglosia.

Salah satu ciri kedwibahasaan adalah dipergunakannya dua bahasa (atau lebih) oleh seorang atau sekelompok orang, tetapi kedua bahasa itu tidak mempunyai peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakai bahasa. Kepada siapa pun mereka berbicara, di mana pun pembicaraan itu berlangsung, tentang masalah apa pun yang dibicarakan, dan dalam situasi yang bagaimana pun terjadi pembicaraan itu, kedua bahasa itu dapat dipergunakan. Pemilihan bahasa manakah yang akan dipergunakan semata-mata tergantung kepada kemampuan pembicara dan pendengarnya (Whorf dalam Suwito, 1997:51-52).

2. Diglosia

Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama suatu bahasa, terdapat juga ragam yang lain (Fergusson dalam Chaer, 1995: 122). Dalam pandangan Fishman, diglosia tidak hanya semata-mata merupakan gejala yang terdapat dalam masyarakat

(32)

dalam Rahardi, 2000: 15). Diglosia merupakan istilah untuk melukiskan keadaan masyarakat yang terdiri dari satu bangsa tetapi menggunakan dua bahasa atau logat yang berlainan (Wolf dalam Suwito, 1997: 54).

Menurut Robins, istilah diglosia mengacu kepada keadaan yang relatif stabil di mana mengemukakan bahwa sebuah bahasa atau salah satu ragam bahasa yang bergengsi tinggi tumbuh berdampingan dengan bahasa lain, masing-masing dengan fungsi yang khusus dalam komunikasinya (Suwito, 1997:49). Di dalam masyarakat diglosik terdapat kecenderungan adanya penilaian terhadap bahasa yang “tinggi” dan bahasa yang “rendah” (Suwito, 1997:61).pertama yang

digunakan dalam situasi formal dan berkesan martabat, sedang yang kedua dipergunakan dalam situasi yang lebih informal dan kurang bermartabat. Makin jelas pemilihan pemakaian antara keduanya, makin stabil situasi diglosik dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dari uraian di atas terlihat bahwa diglosia tidak lagi terbatas pada pemakaian dua variasi dari satu bahasa si dalam suatu masyarakat seperti yang dikemukakan Fergusson, tetapi termasuk juga pemakaian dua dialek atau dua logat dalam masyarakat yang sama. Jadi diglosia merupakan gejala sosial. Suatu masyarakat disebut diglosik apabila di dalam masyarakat itu dipergunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi yang bahasa itu masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.

(33)

tidak sedikit penduduk keturunan Arab dan Cina yang menjadi penduduk tetap Kecamatan Pasar Kliwon. Kondisi itulah yang mempengaruhi munculnya variasi bahasa yang dipergunakan leh penduduk di Kecamatan Pasar Kliwon. Secara tidak langsung keberadaan beberapa etnis yang tinggal dalam satu wilayah mempengaruhi pemakaian bahasa masyarakat sekitarnya.

H. Verbal Repertoire

Verbal repertoire adalah seluruh kesiapan, kemampuan, dan keterlibatan seseorang untuk berkomunikasi lewat bahasa dengan berbagai pihak dalam berbagai topik pembicaraan (Alwasilah, 1993: 39). Chaer dalam buku

Sosiolinguistik Perkenalan Awal menjelaskan bahwa verbal repertoire adalah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur (1995: 46). Selanjutnya, suwito menjelaskan bahwa “verbal repertoire

adalah kemampuan yang sejajar dengan kemampuan komunikatif” (1991: 23).

Verbal repertoire merupakan kemampuan bahasa yang dimiliki penutur beserta ketrampilan mengungkapkan sesuai dengan fungsi, situasi, dan konteksnya.

I. Masyarakat Tutur

(34)

Fishman (dalam Chaer) juga menyebutkan bahwa “masyarakat tutur adalah suatu

masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya” (1995: 47).

Selain itu, ada juga berbagai pendapat mengenai speech community atau masyarakat tutur tersebut. Coder (dalam Alwasilah) menyebutkan bahwa “speech community adalah sekelompok orang yang satu sama lain bisa saling mengerti sewaktu mereka berbicara” (1993: 37). Suwito menyimpulkan bahwa masyarakat

tutur bukan sekedar kelompok orang-orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang sama, tetapi kelompok orang-orang yang mempunyai norma-norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa (1991: 27).

J. Campur Kode

1. Pengertian Campur Kode

(35)

Thelander mengatakan bahwa “campur kode terjadi bila dalam suatu

peristiwa tutur, klausa-klausa atau frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran (hybrid clause, hybrid phrase), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri atau dengan kata lain mendukung satu fungsi” (dalam Chaer dan Leonie Agustina, 1995: 152). Menurut Suwito, “campur kode (codemixing) adalah aspek saling ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual” (1997: 88). Dalam

Kamus Linguistik dijelaskan bahwa “campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa” (1993: 33). Jadi, campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih

dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.

2. Ciri-ciri Campur Kode

Suwito (1997: 88) menjelaskan bahwa campur kode mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antarperanan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya.

(36)

fungsi. Unsur-unsur tersebut dibedakan menjadi dua golongan, yaitu yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya (inner code-mixing) atau campur kode ke dalam dan yang bersumber dari bahasa asing (outer code-mixing) atau campur kode keluar.

c. Wujud dari komponen tutur tidak pernah sampai berwujud kalimat, melainkan hanya berwujud kata, frasa, idiom, baster, perulangan kata, dan klausa.

d. Pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kadang bermaksud untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.

3. Macam-Macam Wujud Campur Kode

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlihat di dalamnya, Suwito (1997: 92) berpendapat bahwa campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain:

a. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, b. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, c. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster,

d. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, e. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, f. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.

Jika ditinjau dari segi sifatnya, peristiwa campur kode dapat dibagi menjadi dua:

(37)

Campur kode ini terjadi apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya.

b. Campur kode ekstern atau ke luar

Campur kode yang terjadi apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa asing ke dalam bahasa nasional (Suwito, 1997: 91).

Peristiwa campur kode yang diahas dalam penelitian ini lebih cenderung pada campur kode keluar. Peristiwa campur kode yang dibahasa dalam peneitian bahasa slang dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon ini adalah campur kode ekstern. Pembahasan campur kode ini lebih menitikberatkan pada penyisipan unsur-unsur-unsur-unsur asing ke dalam bahasa slang dapikan ini. Jadi pebahasannya lebih terfokus pada campur kode ekstern.

K. Tindak Tutur

(38)

sebagai peristiwa tutur yaitu, 10 tempat dan suasana tutur, 2) partisipan, 3) tujuan tuturan, 4) cara bertutur, 5) nada tutur, 6) alat tuturan, 7) norma tuturan, dan 8) jenis tuturan.

Jika peristiwa tutur (soeech event) merupakan gejala sosial, terdapat interaksi antarpenutur dalam situasi tertentu dan tempat tertentu, maka tindak tutur (speech acts) lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dan jika dalam peristiwa tutur orang menitikberatkan kepada tujuan peristiwa (event) nya, maka dalam tindak tutur orang lebih memperhatikan kepada makna atau arti tindak (act) dalam tuturan itu. Namun di antara keduanya memang saling terkait. Dalam setiap peristiwa tutur terdapat berbagai tindak tutur, sehingga dapat dikatakan bahwa peristiwa tutur itu pada hakikatnya adalah serangkaian tindak tutur yang terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan.

Tindak tutur merupakan bagian yang dari peristiwa tutur dan sebagai tataran terendah dalam tuturan. Tindak tutur lebih cenderung kepada makna tutur daripada bentuk tutur. Pada hakikatnya tindak tutur merupakan keterampilan memilih bentuk tutur untuk mengungkapkan satu makna.

Menurut Austin (1962), ujaran/kalimat, yang bentuk formalnya adalah pernyataan, biasanya memberi informasi, tetapi ada juga yang berfungsi lain, yakni yang “melakukan suatu tindakan bahasa” (dalam Nababan, 1992:29). Jika

(39)

tindak-tindak bahasa sebagai pembicara melakukan tiga tindak-tindak bahasa sekaligus (secara simultan); yakni:

1. Tindak bahasa lokusi (locutionary act); yakni mengatakan sesuatu dalam arti: berkata”. Searle (1996) menamakan tindak bahasa ini tindak bahasa proposisi

(propositional act).

2. Tindak bahasa ilokusi (illocutionary act); yakni tindak bahasa yang diidentifikasikan dengan kalimat pelaku yang eksplisit.

3. Tindak bahasa perlokusi (perlocutionary act); yakni tindak bahasa yang dilakukan sebagai akibat atau efek dari suatu ucapan orang lain (dalam Nababa, 1992:31).

Kemampuan dan ketrampilan kebahasaan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh faktor kebahasaan, tetapi juga oleh ketepatan pemilihan variasi bahasa yang sesuai dengan fungsi dan situasinya (segi sosiokultural dan situasional).

(40)

A. Metode Penelitian

Metode dalam suatu penelitian diperlukan karena faktor metode berfungsi untuk menentukan seorang peneliti menuju pembenaran atau penolakan hipotesisnya atau menuntun tujuan penelitian (Sudaryanto, 1995: 25). Subroto menjelaskan bahwa “metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai

strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu” (1992: 22).

Dalam penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Moleong menjelaskan bahwa “metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat-sifat individu, keadaan, gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati” (1996: 6). Selanjutnya Edi Subroto dalam bukunya Metode Penelitian Lingustik Struktural, menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar atau foto, catatan harian, memorandum, video, tape. Data tersebut dilakukan analisis data untuk membuat generalisasi atau kesimpulan umum dari orang-orang yang dijadikan subjek penelitian (1992: 7).

(41)

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Sebagai objek penelitian, populasi merupakan keseluruhan individu dari segi tertentu suatu bahasa (Subroto, 1992: 32). Dalam penelitian ini, populasi adalah semua tuturan yang mengandung bahasa slang dapikan yang diucapkan oleh sebuah komunitas di Kecamatan Pasar Kliwon.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian langsung. Sampel hendaknya mewakili populasi secara keseluruhan (Subroto, 1992: 32). Untuk mendapatkan sampel sesuai yang diharapkan dan agar sesuai dengan populasi yang telah disebutkan, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling yaitu pemilihan sekelompok subjek yang didasarkan atas ciri-ciri populasi yang diketahui sebelumnya. Sampel dalam penelitian ini adalah beberapa bentuk percakapan yang menggunakan bahasa slang dapikan dari hasil wawancara secara acak dengan informan yang berada di Kecamatan Pasar Kliwon khususnya di kelurahan Sangkrah dan Kedunglumbu.

C. Sumber Data dan Data

(42)

Sumber data penelitian ini berasal dari informan yang menggunakan bahasa slang yang digunakan di Kecamatan Pasar Kliwon yang terpilih sesuai dengan kriteria yang ditentukan sedangkan datanya berupa data lisan yaitu tuturan bahasa slang di wilyah Kecamatan Pasar Kliwon. Adapun kriteria informan adalah penutur bahasa slang dapikan, menguasai bahasa jawa baku dan bahasa slang

dapikan, penduduk asli Pasar Kliwon, Umur 20-60 tahun, belum pikun, dan memiliki alat ucap yang lengkap.

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Pasar Kliwon khususnya di wilayah Sangkrah dan Semanggi. Sumber data dari penelitian ini adalah warga yang menggunakan bahasa slang dapikan yang berdomisili di wilayah Kecamatan Pasar Kliwon dan sekitarnya.

Penelitian ini lebih ditekankan pada pengguna bahasa slang dapikan di wilayah Sangkrah dan Semanggi karena masih banyak warga yang menggunakan atau paham mengenai bahasa slang dapikan ini.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh data-data yang berkualitas (Sudaryanto, 1995: 11). Jadi, untuk memperoleh data yang benar-benar berkualitas, dibutuhkan teknik-teknik tertentu yang mampu mendukungnya.

(43)

berkaitan dengan penggunaan bahasa slang yang bersifat spontan dan mengadakan pencatatan terhadap data yang relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian (Subroto, 1992: 41). Dalam teknik simak catat, peneliti akan menyimak beberapa pembicaraan dari sekelompok orang. Selain itu, peneliti juga mengadakan wawancara dengan beberapa orang untuk mendapatkan data yang peneliti butuhkan.

E. Teknik Analisis Data

Data-data yang sudah diklasifikasikan selanjutnya memerlukan metode tertentu dalam menganalisisnya. Moleong menjelaskan bahwa “analisis data adalah proses mengorganisasi dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data” (1996: 103).

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan beberapa tahap. Adapun tahap-tahapnya adalah sebagi berikut:

1. Tahap pengumpulan data

Yaitu berisi tentang teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini. Teknik yang peneliti maksudkan adalah teknik simak dan teknik catat dari wawancara.

2. Tahap analisis data

(44)

menggunakan metode deskriptif dan juga pemahaman dengan pendekatan sosiolinguistik.

3. Tahap penafsiran data

Yaitu memberikan penafsiran dan pamaknaan secara khusus data-data yang telah dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian tanpa mengurangi nilai-nilai keobjektifannya.

4. Tahap penarikan kesimpulan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik penarikan kesimpulan dengan teknik induktif. Teknik induktif adalah teknik penarikan kesimpulan yang bertolak dari pandangan atau asumsi khusus untuk menghasilkan kesimpulan yang umum.

Analisis data sangat penting kedudukannya dilihat dari segi tujuan penelitian. Mengingat hal tersebut, analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metode pemahaman (verstehen). Adapun adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data yaitu sebagai berikut.

Langkah pertama, mengumpulkan data dengan menggunakan teknik simak catat. Dalam langkah ini dilakukan pencatatan terhadap kosa kata kalimat yang digunakan dalam bahasa slang dapikan. Semua tuturan yang digunakan oleh komunitas pemakai bahasa slang dapikan yang terdapat di wilayah Kecamatan Pasar Kliwon dicatat dan kemudian diklasifikasikan.

(45)

yang terlibat, dilakukan analisis secara sosiolinguistik berdasarkan karakteristik, fungsi, dan peristiwa kebahasaan yang menyertai dalam penggunaan bahasa slang

dapikan seperti peristiwa tindak tutur, campur kode, jenis kalimat, dan pemakaian morfem partikel dialek Jawa pada tiap-tiap medan yang ditentukan. Cara ini digunakan karena dalam pembuktian atau pemerian data yang dikumpulkan itu dicari kesesuaian bentuk tutur yang digunakan oleh para penutur bahasa slang

dapikan dengan hal-hal di luar bahasa (kepada siapa ia berbicara, kapan, di mana, tentang masalah apa). Dari analisis ini dapat diketahui karakteristik, fungsi, dan peristiwa kebahasaan yang menyertai dalam penggunaan bahasa slang dapikan yang meliputi jenis-jenis tindak tutur, campur kode, dan jenis kalimat berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat.

Langkah ketiga, dilakukan analisis terhadap karakteristik, fungsi, dan peristiwa kebahasaan yang menyertai dalam pemakaian bahasa slang dapikan ini. Dalam peristiwa kebahasaan dilakukan analisis terhadap gejala tindak tutur, campur kode, dan jenis kalimat itu dengan melihat pengaruhnya pada pemakaian bahasa slang dapikan.

Langkah keempat, dilakukan penarikan kesimpulan terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yang meliputi karakteristik, fungsi, dan peristiwa kebahasaan yang meliputi dalam penggunaan bahasa slang dapikan di wilayah Kecamatan Pasar Kliwon.

(46)
(47)

Bahasa slang merupakan salah satu wujud wacana lisan yang berhubungan dengan kegiatan komunikasi di antara orang-orang yang menginginkan adanya kemudahan dalam berinteraksi dengan sesama orang yang paham atau tahu betul tentang bahasa ini. Dengan kata lain bahasa ini hanya khusus digunakan oleh orang-orang yang dapat berbicara dengan menggunakan bahasa slang ini. Bahasa slang ini muncul dan berkembang di sekitar kecamatan Pasar Kliwon Surakarta. Bahasa slang ini digunakan oleh masyarakat dari berbgaia profesi dan berbagai jenis karakter manusia. Oleh karena itulah mereka perlu untuk saling berinteraksi terutama dengan kelompok mereka. Bahasa slang ini pada mulanya digunakan oleh para preman-preman bus kota yang berasal dari daerah sekitar kecamatan Pasar Kliwon. Mereka membentuk istilah bahasa slang dapikan ini dengan tujuan agar bahasa mereka tidak mudah dimengerti oleh orang lain. Namun bahasa ini akhirnya justru diketahui dan dipergunakan oleh orang atau kalangan umum.

Analisis data ini meliputi: 1) karakteristik penggunaan bahasa slang

dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon, 2) fungsi sosial yang melatarbelakangi timbulnya bahasa slang dapikan secara umum, dan 3) peristiwa kebahasaan yang menyertai pertuturan bahasa slang dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon.

Dari keseluruhan wacana yang penulis temukan, penulis akan menganalisis data secara keseluruhan dari berbagai segi baik dari deskripsi kebahasaan ataupun dari tindak tutur yang melingkupinya. Klasifikasi data juga

(48)

akan dianalisis berdasarkan campur kodenya. Klasifikasi ini akan dibagi menjadi tiga bagian yang nantinya akan dibagi lagi menjadi beberapa sub bagian. Pembagian yang pertama adalah klasifikasi berdasarkan kalimat yang digunakan, yakni dibagi menjadi kalimat tanya, kalimat perintah, dan kalimat berita. Klasifikasi yang kedua adalah klasifikasi berdasarkan tindak tutur yang digunakan, kemudian dibagi lagi menjadi tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Klasifikasi yang ketiga adalah adanya peristiwa campur kode yang ada pada data. Klasifikasi keempat adalah pemakaian morfem partikel dialek Jawa yang ada pada data.

Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan pada jenis variasi bahasanya. Setelah itu setiap variasi bahasa dibagi lagi atas wujud-wujudnya. Klasifikasi data yang penulis pergunakan adalah sebagai berikut. 1 Klasifikasi berdasarkan jenis kalimat yang digunakan.

a. Kalimat berita

(1) Dhonge puha, theng Mledher!

Wonge lunga, neng Klewer!” „Orangnya pergi, ke Klewer!‟

(2) Bah bipike mudhi theju!

Cah cilike kuwi nesu” „Anak kecil itu marah‟

(49)

(4) Bah bipike ngimi thahis yegus.

“Cah cilike iki nangis terus”

‟Anak kecil ini menangis terus‟

(5) Hamcune ngidake ngethak yethan!

“Ambune iwake enak tenan!”

‟Bau ikannya enak betul!‟

(6) Ngamu gak ngija kepu, jemupurku yema seka weja.

“Aku ra isa melu, sedulurku teka seka nDesa”

‟Aku tidak bisa ikut, saudaraku dari desa datang‟

(7) Ngatha’e lakwene ngimi ngatu.

“Anake pakdhene iki ayu”

‟Anak pakdhe ini cantik‟

(8) Jejuk kanbing neng wadhuk!

Sesuk mancing neng wadhuk!”

„Besok mancing di wadhuk!‟

(9) Ngamu ngagep yumu jelayu thengFamous jik ya!

Aku arep tuku sepatu neng Famous sik ya!”

„Aku mau beli sepatu di Famous dahulu ya!‟

(10) Tase theng Mleder murah-murah. “Tase neng Klewer murah-murah” „Tas di Klewer murah-murah‟

(11) Cosone puha thengSamarya.

(50)

„Isterinya pergi ke Jakarta‟

(12) Cokwethe ngimi nguyange ngameh.

mBokdhene iki utange akeh

„Ibu ini hutangnya banyak‟

(13) Ngamu jejuk gak jiwa kepu, kas!

“Aku sesuk ra sida melu, mas!”

‟Aku besok tidak jadi ikut, kak!‟

(14) Wowolane cokwene ngimi pagang.

“Dodolane mBokdhene iki larang”

‟Dagangan ibu ini mahal‟

(15) Cah-cah dha homce theng ngebrak kana!

“Cah-cah dha ngombe neng ngebrak kana!” „Anak-anak minum di barak itu!‟

(16) Tak jak gotal theng Jipir.

“Tak jak royalneng Silir”

„Kamu kuajak kencan di Silir‟

(17) Wutku ngenyek ki, pak! Lagi wae disapuk cosoku

“Dhuwitku entek ki, pak! Lagi wae dijaluk bojoku”

„Uangku habis itu, pak! Baru aja diminta istriku‟

(18) Ngamu gung kahan

“Aku rung mangan”

.‟Saya belum makan‟

(51)

“Iki, titipane pakdhe Pur”

„Ini, titipan pakdhe Pur

(20) Pathangane ngameh.

“Lanangane akeh”

„Laki-lakinya banyak‟

(22) Cosoku theju!

“Bojoku nesu!”

„Istriku marah!‟

(24) Ngamu dhis homce kat mau, modhe malah lagi yemo!

“Aku wis ngombe kat mau, kowe malah lagi teka!”

„Saya sudah minum dari tadi, kamu malah baru datang!‟

(25) Wah, bose yema! “Wah, bose teka!”

Wah, bosnya datang!‟

(26) Ngidhake meyoke ngethak.

“Iwake ketoke enak.”

„Ikannya kelihatannya enak

(28) Dhonge ngimi kuweng!

“Wonge iki mudheng!”

„Orang ini paham!‟

(29) Gak dicatar gak ngala-ngala.

“Ra dibayar ra apa-apa”

(52)

(36) Ngamu gak wude wut ki, Jhon!

“Aku ra duwe dhuwit ki, Jhon!”

„Aku tidak punya uangtuh, Jhon!‟

(38) Wah...dis gak wude wut neh! “Wah...wis ra duwe dhuwit neh!” „Wah...sudah tidak punya uang lagi!‟

b. Kalimat tanya

1) Larmi theng wi ta? Larmi neng ndi ta? Larmi di mana?

(2) Bah bipike mudi kok ketheng wae ta? Cak cilike kuwi kok meneng wae ta? Anak kecil itu mengapa diam saja? (3) Cah-cah dha theng wi, kas?

Cah-cah dha neng ndi, mas? Di mana Anak-anak, kak? (4) Ngicu’e theng wita?

Ibu‟e neng ndi ta?

Ibunya ke mana? (6) Jiwakepu ra?

(53)

(8) Mago jalawae? Karo sapa wae? Bersama siapa saja?

(9) Mode ngagep mangkat mago jala?

Kowe arep mangkat karo sapa? Kamu mau berangkat dengan siapa? (10) Nggojing ngenyuk gak?

Nggojing etuk ra?

Lima ribu boleh tidak? (11) Mago jala?

Karo sapa? Dengan siapa?

(13) Wong rencanane wis mateng kokgak jiwa kepu?

Wong rencanane wis mateng kok ra sida melu?

Karena rencananya sudah matang mngapa tidak jadi ikut? (14) Jisi liga?

Siji pira? Satu berapa?

(16) Jejuk modhe puha gak?

Sesuk kowe lunga ra? Besok kamu pergi tidak?

(19) Modhe nggawa ngala sich?

(54)

Kamu bawa apa ya?

(20) Eh,Goja dhis nyudhe coso gung?

Eh, Rosa wis duwe bojo rung? Eh, Rosa sudah punya suami belum? (22) Gara-gara homce wingi?

Gara-gara ngombe wingi? Gara-gara minum kemarin?

(30) Modhe dhenyi ta, Mar?

Kowe wedi ta, Mar? Kamu takut kan, Mar? (38) Nguyangmu jane liga ta?

Utangmu jane pira ta?

Hutangmu sebenarnya berapa? (39) Duwe gomok ra?

Duwe rokok ra? Punya rokok tidak?

c. Kalimat perintah

(21) Yumu-yumu gonyok motho, lo! Tuku-tuku rokok kono, lo! Beli-beli rokok sana!

(55)

Makan di sini saja, Jon! (27) Modhe klecu wae!

Kowe mlebu wae! Kamu masuk saja!

(31) Ngamu sapukthe wut Renwon!

Aku jalukne dhuwit Gendon! Aku mintakan uang Gendon! (32) Kahan-kahan jik motho, wik!

Mangan-mangan sik kono, dhik! Makan-makan dahulu sana, dhik!

(34) Mode liwat motho jik!

Kowe liwat kono sik! Kamu lewat sana dulu! (35) Ngamu catari ya!

Aku bayari ya! Aku dibayari ya! (37) Jerane ndang ditokne!

Segane ndang ditokne! Nasinya segera dikeluarkan! (40) Bah bipike ngimi jaken puha jik!

(56)

2. Dari keseluruhan wacana yang penulis temukan, penulis akan menganalisis data secara keseluruhan klasifikasi berdasarkan tindak tutur yang digunakan. a. Tindak tutur lokusi

(1) Donge puha theng Mleder.

Wonge lunga neng Klewer. Orangnya pergi ke Klewer. (2) Kae lo, dha homce theng rel.

Kae lo, dha ngombe neng rel. Itu lo, pada minum dir el. (8) Jejuk mancing theng wadhuk.

Sesuk mancing neng wadhuk. Besok mancing di wadhuk.

(9) Ngamu ngagep yumu jelayu theng Famous jik yo! Aku arep tuku sepatu neng Famous sik yo! Saya mau beli sepatu di Famous dulu ya! (10) Tase theng Mleder murah-murah.

Tase neng Klewer murah-murah. Tas di Klewer murah-murah.

(15) Cah-cah dha homce theng ngebrak kana lo! Cah-cah padha ngombe neng ngebrak kana lo! Anak-anak pada minum di barak itu lo!

(57)

Saya ajak royal neng Silir. (23) Kahan theng methe wae, Jon!

Mangan neng kene wae, Jon! Makan di sini saja, Jon!

b. Tindak tutur ilokusi

(5) Hamcune ngidake ngethak yethan!

Ambune iwake enak tenan! Bau ikannya enak betul!

(10) Tase theng Mleder murah-murah. Tase neng Klewer murah-murah. Tas di Klewer murah-murah. (14) Wowolane cokwene ngimi pagang.

Dodolane mbokdene iki larang. Dagangan ibu ini mahal.

(18) Ngamu pudhe ki! Aku luwe ki! Saya lapar nih!

(25) Udan-udan ngene ki golek sing anget-anget ngethak ngimi! Udan-udan ngene ki golek sing anget-anget enak iki! Hujan-hujan begini cari yang hangat-hangat enak ini! (33) Jaketmu ngalik, Jon!

(58)

Jaketmu bagus, Jon!

(36) Ngamu gak wude wut ki, Jhon! Aku ra duwe dhuwit ki, Jhon! Saya tidak punya uang tuh, Jhon! (38) Wah…dis gak wude wut neh!

Wah…wis ra duwe dhuwit neh! Wah…sudah tidak punya uang lagi!

c. Tindak tutur perlokusi

(6) Ngamu gak ngija kepu, jewupurku yema seka weja.

Aku ra isa melu, sedulurku teka seka nDesa. Aku tidak bisa ikut, saudaraku datang dari desa. (18) Ngamu pudhe, ki!

Aku luwe, ki! Aku lapar, nih!

(22) Cosoku theju! Gara-gara “homce” wingi. Bojoku nesu! Gara-gara “ngombe” wingi. Istriku marah! Gara-gara “minum” kemarin. (27) Modhe klecu wae!

Kowe mlebu wae! Kamu masuk saja!

(34) Mode liwat motho jik! Bah bipike ngimi ngagep kepu.

(59)

Kamu lewat sana dulu! Anak kecil ini mau ikut. (35) Modhe ngatu, lo! Ngamu catari ya!

Kowe ayu, lo! Aku bayari ya! Kamu cantik, lo! Aku dibayari ya! (36) Ngamu gak wude wutki, Jhon!

Aku ra duwe dhuwit ki, Jhon! Aku tidak punya uang tuh, Jhon! (40) Bah bipike ngimi jaken puha jik!

Cah cilike iki jaken lunga sik! Anak kecil ini kamu ajak pergi dulu!

3. Klasifikasi berdasarkan campur kode kata

(6) Wah, sorry! Ngamu gak ngija kepu, jewupurku yema seka weja.

Wah, sorry! Aku ra isa melu, sedulurku teka seka nDesa. Wah, sorry! Aku tidak bisa ikut, saudaraku datang dari desa.

(60)

A. Karakteristik Bahasa Slang Dapikan di Kecamatan Pasar

Kliwon

Sebelum mengklasifikasikan data dalam penelitian ini perlu diketahui karakteristik dari bahasa slang dapikan ini. Proses pembentukan ragam bahasa slang dapikan di Kecamatan Pasar Kliwon adalah dengan menggunakan patokan dari aksara Jawa yang dibalik. Seperti diketahui bersama bahwa jumlah aksara Jawa adalah 20 huruf. Kedua puluh huruf tersebut dibagi dalam 4 baris yang masing-masing memiliki 5 huruf. Berikut akan dideskripsikan tentang rumus pembentukan kata dari slang dapikan.

Aksara Jawa terdiri aksara-aksara sebagai berikut.

ha na ca ra ka (baris 1) da ta sa wa la (baris 2)

ma ga ba tha nga (baris 4) pa dha ja ya nya (baris 3)

Atau

ha na ca ra ka da ta sa wa la

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga

(61)

ha na ca ra ka da ta sa wa la

nga tha ba ga ma nya ya ja dha pa

ha nga (misal: puha = lunga, homce = ngombe, kahan = mangan, dst)

na tha (misal: thahis = nangis, theng = neng, theju = nesu, dst)

ca ba (misal: bah = cah, catar = bayar, cosone = bojone, dst)

ra ga (misal: gung = rung, gotal = royal, ropeki = goleki, dst)

ka ma (misal: kahan = mangan, kepu = melu, yema = teka, dst)

da nya (misal: nyudhe = duwe, dhenyi = wedi, dst)

ta ya (misal: yumu= tuku, meyoke = ketoke, dst)

sa ja (misal: jejuk = sesuk, jisi = siji, sapuk = nJaluk, dst)

wa dha (misal: wudhe = duwe, wowol = dhodhol, dhonge = wonge, dst)

la pa (misal: jelayu = sepatu, kepu = melu, lakwe = pakdhe, dst)

Dari penjabaran di atas dapat dilihat perumusan katanya, yakni dengan cara mengubah kata asli yang akan digunakan dengan melihat kata yang akan diambil itu berasal dari baris ke berapa dari urutan aksara Jawa. Dinamakan

(62)

Bahasa slang dapikan ini hampir sama dengan bahasa slang model Yogyakarta, hanya saja pasangan balikannya berbeda. Dalam bahasa slang model Yogyakarta ha berganti suara dengan pa sedangkan bahasa slang di Kecamatan pasar Kliwon ha berganti suara dengan nga. Perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa slang ini adalah perbedaan karakteristik penggunaan bahasa slang. Perbedaan karakteristik tersebut dapat dilihat dalam rumusan berikut.

Rumusan bahasa slang model Yogyakarta:

HA NA CA RA KA

DA TA SA WA LA

PA DHA JA YA NYA

MA GA BA THA NGA

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh demokratis terhadap kedisiplinan anak TK di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon,

Selanjutnya teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP) dan teknik Hubung Banding Menyamakan (HBS). Fungsi penggunaan bahasa slang dianalisis

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari jawaban dari permasalahan mengenai kondisi struktur sosial masyarakat Kecamatan Pasar Kliwon pada tahun 1973-1998, pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan di kecamatan Pasar Kliwon dengan judul: “Analisis Lingkungan Fisik Permukiman Melalui Citra Ikonos Tahun 2001 di Kecamatan Pasar Kliwon Kota

Urutan indeks keanekaragaman dari ketiga kecamatan tersebut meliputi Kecamatan Pasar Kliwon (H’=1,76), Kecamatan Laweyan (H’=1,72), dan Kecamatan Serengan (H’=1,68)..

Berdasarkan Tabel 28 pola mobilitas yang dilakukan responden penelitian yaitu pemulung Kecamatan Pasar Kliwon semuanya langsung pulang ke rumah / tidak menginap,

(2) Dari analisis fungsi bahasa terdapat beberapa hal yaitu fungsi bahasa yang digunakan dalam peristiwa jual beli di Pasar legi Legi Jatinom Klaten yang meliputi

EVALUASI SALURAN DRAINASE KELURAHAN SANGKRAH KECAMATAN PASAR KLIWON KOTA SURAKARTA TUGAS AKHIR DisusunSebagai Salah SatuSyaratMemperolehGelar Ahli Madya A.Md.. Pada Program