PENGGUNAAN
AL-
RA’Y OLEH AL-ZAMAKHSHARY
DALAM TAFSIR
AL-KASHSHA<F
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Oleh: NUR AZIZAH NIM. E03212070
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
PENGGUNAAN
AL-
RA’Y OLEH AL-ZAMAKHSHARY
DALAM TAFSIR
AL-KASHSHA<F
Skripsi
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1)
Oleh:
NUR AZIZAH
NIM. E03212070
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Nur Azizah, 2016. Penggunaan al-Ra’y Oleh al-Zamakhshary dalam Tafsir al-Kashsha>f.
Masalah yang diteliti dalam skripsi ini yakni mengenai. 1. Bagaimana penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam tafsir
al-Kashsha>f? 2. Bagaimana konsep al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam tafsir
al-Kashsha>f?.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan al-ra’y
oleh al-Zamakhshary dalam tafsir al-Kashsha>f, yang mana tafsir
al-Kashsha>f sebagai hasil karya seorang Mu’tazilah yang banyak ditentang oleh ulama yang menolak paham tersebut. Akan tetapi dibalik semua itu banyak yang menguji akan kepandaian beliau tentang ilmu bala>ghah dan sastra Arab. Bertolak dari permasalahan ini, maka yang menjadi dasar ilmu dalam skripsi ini adalah menggunakan teori ʽUlu>m al-Qur’a>n.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan berdasarkan kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Sesuai dengan tujuan tersebut, data primer yang digunakan berasal dari penjelasan penafsiran oleh al-Zamakhshary dalam kitab tafsirnya, serta data sekunder yang berasal dari buku-buku ʽUlu>m al-Qur>an yang relevan dengan penelitian ini. Sementara analisis dilakukan dengan mengunakan metode content analisis.
Penelitian ini dilakukan karena ada yang memahami bahwa al-Zamakhshary tampaknya ”kesulitan” melepaskan prokonsepsi pemikiran teologis Mu’tazilah, sebelum dia masuk dalam proses penafsiran. Terbukti, seluruh penafsirannya menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah teologi, dapat dipastikan selalu diarahkan menuju alur pemikiran Mu’tazilah yang rasional itu, dan pada dataran inilah sesungguhnya tafsir al-Kashsha>f menemukan jati dirinya sebagai kitab tafsir kaum Mu’tazilah yang paling lengkap.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Meskipun pemikiran Mu’tazilah dalam tafsirnya banyak tapi itu hanya menyangkut ayat tentang teologi saja, dan ayat-ayat yang tidak berhubungan dengan itu masih banyak. Jadi dapat dijadikan h}ujjah karena tafsir al-Kashsha>f adalah sangat baik, hanya saja pembelaannya terhadap Mu’tazilah sangat berlebihan.
xii
DAFTAR ISI
COVER ... i
COVER DALAM ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI. ... xii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian... 8
F. Kajian Pustaka ... 9
G. Metode Penelitian... 11
H. Sistematika Pembahasan ... 13
BAB II TAFSIR BI AL-RA’Y ... 15
A. Pengertian Tafsir bi al-Ra’y ... 15
B. Syarat-syarat Mufasir bi al-Ra’y ... 17
C. Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’y ... 20
D. Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bi al-Ra’y ... 24
BAB III AL-ZAMAKHSHARY DAN TAFSI<RAL-KASHSHA<F ... 39
A. Biografi al-Zamakhshary ... 39
a. Al-Zamakhshary ... 39
b. Intelektualitas dan Karyanya ... 41
c. Madzhab dan Akidahnya... 42
B. Tafsir al-Kashsha>f ... 42
a. Sejarah Penulisan al-Kashsha>f ... 42
b. Berbagai Tanggapan Atas Tafsi>r al-Kashsha>f ... 45
c. Ciri Khas Tafsi>r al-Kashsha>f ... 48
d. Arah dan Metode Tafsi>r al-Kashsha>f ... 53
e. Contoh Penafsiran al-Zamakhshary ... 56
f. Pola Pemikiran al-Zamakhshary dalam Tafsi>r al-Kashsha>f ... 60
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsi>r al-Kashsha>f ... 75
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGGUNAAN AL-RA’Y OLEH AL-ZAMAKHSHARY DALAM TAFSI<R AL-KASHSHA<F ... 78
Analisis ... 78
BAB V PENUTUP ... 84
A. Kesimpulan ... 84
B. Saran ... 86
xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi adalah mengalihaksarakan tulisan ke aksara lain; misalnya dari Arab ke aksara latin. Tampilan transliterasi huruf dan madd (tanda bunyi panjang) yang diterapkan pada nama surat dan istilah dalam penelitian ini, yakni:
1. Transliterasi Huruf1
NO. ARAB LATIN NO. ARAB LATIN
1. ا a 16. ط t}
2. B 17. ظ z}
3. ت T 18. ع ‘
4. ث Th 19. غ gh
5. ج J 20. ف f
6. ح h} 21. ق q
7. خ kh 22. k
8. د d 23. ل l
9. ذ Dh 24. m
10. ر R 25. n
11. ز Z 26. و w
12. س S 27. نه h
13. ش Sh 28. ء ’
14. ص s} 29. y
15. ض d} 30.
1
2. Vokal panjang (madd) ditransliterasikan dengan menuliskan huruf vokal disertai coretan horizontal (macron) diatasnya (a>-i>-u>), contoh: h}a>l,d}aʽi>f, mawd}u>ʽ dan sebagainya.
3. Vokal tunggal (monoftong) yang dilambangkan dengan harakat, ditranslitersikan sebagai berikut:
a. Tanda fath}ah ( __ ) dilambangkan dengan huruf- a. b. Tanda kasrah ( ___ ) dilambangkan dengan huruf- i. c. Tanda D}ammah ( ____ ) dilambangkan dengan huruf- u.
4. Vokal rangkap (diftong) yang dilambangkan secara gabungan antara harakat dengan huruf, di-transliterasik-an sebagai berikut :
a. Vokal rangkap (
وا
) dilambangkan dengan huruf au, seperti: Mausu>'ah b. Vokal rangkap(
ا
) dilambangkan dengan huruf ai, seperti :Quraibi.
5. Shaddah ditransliterasikan dengan menuliskan huruf yang bertanda shaddah dua kali (dobel) seperti, dhimmi>, jalla dan sebagainya.
6. Alif-Lam (Lam ta’rif) ditransliterasikan sebagaimana aslinya meskipun bergabung dengan huruf shamsiyyah, antara Alif-Lam dan kata benda, dihubungkan dengan tanda penghubung, misalnya, Maududi, Al-Nasa'i, dan sebagainya.
7. Penggunaan pedoman transliterasi ini hanya digunakan untuk istilah, nama pengarang dan judul buku yang berbahasa Arab.
8. Pengejaan nama pengarang dan tokoh yang dikutip dari sumber yang tidak berbahasa Arab disesuaikan dengan nama yang tercantum pada karya yang ditulis dan diterjemahkan.
9. Dalam tulisan ini, istilah Al-Quran mempunyai dua pengertian yang tidak sama. Agar terhindar dari kesalapahaman, maka perlu kami jelaskan menyangkut model penulisan beserta pengertiannya.
a. Al-Qur’a>n (dengan tanda petik setelah huruf r) = kitab suci umat Islam yang sesuai dengan tulisan dalam mus}h}af, dimulai dari surat al-fa>tih}ah dan diakhiri dengan surat al-na>s, dengan ditulis miring. b. Al-Quran (dengan tanpa tanda petik setelah huruf r) = yang di
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW sebagai
petunjuk, peringatan, dan sumber hukum yang bersifat pokok
keterangan sehingga diperlukan usaha pemahaman lebih terperinci
dan mendalam untuk memberikan kemudahan dalam
mengimplementasikan ajarannya di setiap sudut kehidupan.
Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat al-Qur’an
harus dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan
tetap mengacu pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang
mufasir dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Kedudukan tafsir dalam Islam sangat dijunjung tinggi karena
melihat objek yang ditafsirnya, yaitu Kitab Allah, al-Qur’a>n al
-Kari>m. Merupakan sebuah keagungan bagi mereka yang mampu
menyingkap tabir makna al-Qur’an.
Para ulama sepakat, kaitannya dengan pengklasifikasian
tafsir al-Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, membagi dalam
tiga kategori; yaitu, tafsir bi al-ma’thu>r atau tafsir bi al-riwa>yah,
tafsir bi al-ra’y atau tafsir bi al-dira>yah, dan tafsir bi al-iqtira>ny atau
campuran antara nas dan akal pikiran manusia. Dari ketiga macam
tafsir yang menjadi bahan perdebatan antar para ulama tafsir adalah
2
mereka dalam pembolehan menafsirkan al-Qur’an dengan
menggunakan akal pikiran karena dihawatirkan, menurut mereka
yang anti tafsir bi al-ra’y, hanya ditafsirkan secara subjektif untuk
mendukung kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Secara historis, penafsiran bi al-ra’y (ijtihad) sudah dimulai
sejak zaman Rasulullah. Namun, pada saat itu penafsiran model ini
masih berupa riak-riak kecil sebab sahabat masih berselisih pendapat
mengenai hal ini.1 Asumsi bermula dari adanya kontroversi di
kalangan ulama mengenai seberapa besar porsi ayat al-Qur’an yang
ditafsirkan oleh Nabi Muhammad. Sebagian Ulama di antaranya
Ibnu Taymiyyah, menyatakan bahwa Nabi telah menjelaskan seluruh
makna al-Qur’an. Namun, sebagian yang lainnya yaitu Khuwaybi>
dan al-Suyu>t}i>, berpendapat bahwa beliau hanya menjelaskan sedikit
dari makna al-Qur’an. Pendapat ini diperkuat oleh fakta yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis.2
Para sahabat menggunakan al-ra’y (pikiran) dan ijtihad
terhadap ayat al-Qur’an dengan bantuan dari pengetahuan, ras
bahasa, adat istiadat bangsa Arab, pengkajian terhadap sebab
turunnya suatu ayat, serta sarana pengkajian lainnya.3 Walaupun
tidak begitu terkenal, namun penafsiran bi al-ra’y tetap eksis dari
satu generasi ke generasi berikutnya dengan masih menggunakan
1
Hasby al-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 198.
2Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi>,
Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an, Ter. Hamim Ilyas (Jakarta: Rajawali, 1986), 4.
3Muh}ammad H{usayn Al-Dhahabi>,
3
atau memperlihatkan aturan-aturan yang benar. Kegiatan-kegiatan
rasionalitas semacam ini terus berkembang sejalan dengan semakin
berkembangnya berbagai macam ilmu pengetahuan, pendapat dan
isme. Memasuki abad ke-4 H, di mana kaum muslimin memasuki
era kejayaan dalam hal peradaban, kebudayaan, ilmu agama, dan lain
sebagainya, tafsir bi al-ra’y mulai terasa. Hal ini diawali dengan
meredupnya penafsiran bi al-ma’thu>r yang ditandai oleh
penghapusan isna>d-isna>d periwayatan.4
Pengutipan tanpa menyebutkan sanad-sanad ini, membuka
celah kejahatan atau alienasi dalam tafsir karena sangat
dimungkinkan terjadinya manipulasi terhadap tafsir. Apalagi pada
masa khalifah Abba>siyah, fanatisme terhadap suatu mazhab
sangatlah kuat sehingga setiap kelompok muslim sangat gencar
menyebarluaskan ajaran yang dipakai mazhabnya dalam upaya
mencari pengikut. Secara umum, kondisi ini mengakibatkan
tercampur aduknya berbagai macam ilmu pengetahuan yang
berimbas pada pembahasan masing-masing ilmu dengan tafsir.
Bahkan eksistensi keorisinilan tafsir semakin terdesak. Pada
akhirnya, tafsir mencapai titik di mana aspek aqli> mengalahkan
aspek naqli>-nya.
Terdapat fenomena yang menarik dalam masalah ini, di mana
kemunculan tafsir bi al-ra’y telah memunculkan polemik di
kalangan ulama. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya mufasir yang
4Al-Dhahabi>,
4
terkontaminasi hawa nafsu dan bidah dalam penafsirannya. Atas
dasar inilah maka terdapat ulama yang memperbolehkannya.
Namun, tidak sedikit pula yang melarangnya.
Didasarkan oleh kenyataan tersebut, tafsir sebagai salah satu
pedoman umat Islam dalam menjalankan ajarannya, perlulah kiranya
untuk memberikan kejelasan dan batasan-batasan yang jelas
mengenai penafsiran al-Qur’an dengan ra’y, terutama pendapat yang
dikemukakan oleh para ulama.
Ulama yang menolak tafsir bi al-ra’y berdasar pada hadis
Nabi tentang Larangan Menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Ra’y, yang
sudah banyak dibahas pada skripsi-skripsi sebelumnya dan sudah
tidak ada perdebatan karena dapat disimpulkan bahwa kualitas
keseluruhan hadis tersebut tidak sampai derajat s}ah}i>h}, melainkan
h}asan saja,5
dan juga banyak ulama yang membolehkan dengan
berdasarkan pada hadis tentang dibolehkannya ijtihad maka ulama
yang membolehkan tafsir bi al-ra’y tetap membagi mana yang
tergolong tafsir yang tidak masuk pada kategori yang dilarang Nabi,
atau yang benar-benar menggunakan nalar atau hawa nafsu semata,
yaitu dengan teori ‘Ulu>m al-Qur’a>n tentang tafsir bi al-ra’y yang
dibagi menjadi dua bagian yaitu mah}mu>d6 dan madhmu>m7 .
5
Fitroh Fuadi, HADIS-HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
DENGAN RA’Y; Studi Pemahaman Hadis Nabi ( Jakarta, 2010), 84. 6
Tafsir bi al-ra’y mah}mu>d adalah suatu penafsiran yang berdasar dari al-Qur’an dan dari sunnah Rasul; sedang pelaku (mufassir)-nya adalah seorang pakar dalam bahasa arab, baik gaya bahasanya, maupun kaidah-kaidah hukum dan ushul-nya. Lihat Fahd bin ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ru>mi>, Dara>sa>t Fi> Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, Cet 14 (al-Riya>d}: t.p., 2005), 175.
7
5
Bertolak dari permasalahan di atas, pada skripsi ini akan
dibahas tentang teori ‘Ulu>m al-Qur’a>n, yang menjadi dasar ilmu
dalam penulisan skripsi ini, yaitu menggunakan teori ‘Ulu>m
al-Qur’a>n tafsir bi al-ra’y.
Perbedaan dengan skripsi-skripsi yang memuat tema sama
tentang tafsir bi al-ra’y, banyak yang membahas hadis yang
melarang tafsir bi al-ra’y dan pendapat ulama tentang tafsir bi
al-ra’y, tanpa meneliti secara seksama kitab-kitab tasfir yang ada.
Berangkat dari permasalahan inilah mengapa penulis ingin mengulas
tema ini, yaitu tentang Penggunaan Al-Ra’y Dalam Penafsiran
Al-Qur’an.
Untuk membahas skripsi mengenai Penggunaan Al-Ra’y
Dalam Penafsiran Al-Qur’an maka penulis perlu memilih mufasir
yang menggunakan bentuk tafsir bi al-ra’y dalam menafsirkan
al-Qur’an. Tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bi al-ra’y dan sangat
terkenal adalah kitab Tafsi>r al-Kashsha>f oleh al-Zamakhshary.
Kitab Tafsi>r al-Kashsha>f karya al-Zamakhshary ini diakui
oleh para ulama sebagai kitab tafsir yang bernilai tinggi. Ia memiliki
beberapa keistemewaan dibandingkan dengan kitan-kitab tafsir
lainnya. Keistemewaan tersebut terletak pada pembahasan atau
penafsirannya yang mengungkap rahasia-rahasia bala>ghah yang
terdapat dalam al-Qur’an.8 Ibn Khaldu>n ketika berbicara tentang
tafsir yang menggunakan pendekatan kaidah bahasa i'rab, dan
6
bala>ghah mengatakan bahwa di antara sekian banyak tafsir yang
memuat berbagai macam keilmuan semacam ini al-Kashsha>f-lah
yang paling terbaik.9
Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman
analisa bahasa dan kesastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir
al-Kashsha>f.10
Namun disayangkan sekali ketika penafsiran-penafsiran
yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran paham
Mu’tazilah, karena sering menggunakan al-tamthi>l (perumpamaan)
dan al-takhyīl (pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang
atau ada ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya,
mencela wali Allah, selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an ke jalur mazhab mereka.11
Ulama dari kalangan non-Mu’tazilah banyak mengecam
tafsir al-Kashsha>f ini. Kecaman itu banyak diarahkan pada akidah
Mu’tazilah yang banyak mewarnai tafsir tersebut, karena ia telah
“menjamah” lafal dan ditariknya kepada makna yang sesuai dengan
akidahnya, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh lbn
Taymiyyah. Selanjutnya ia (lbn Taymiyyah) mengatakan,
al-Zamakhshary dengan kepandaiannya dalam ilmu bala>ghah telah
menyebarkan bidah, sehingga banyak orang mengira tafsirnya itu
tidak batil.12
9Al-Dhahabi>,
Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 310.
10S{ubh}i> Al-S{a>lih}, Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Cet. 10 (Bayru>t: Da>r al- Ilm Li al-Mala>yi>n, 1977), 294.
11Mani>
ʽ ʽ Abd al-H{ali>m Mah}mu>d, Mana>hij al-Mufassiri>n, (Kairo: Da>r al-Kita>b al-Mis}riy, 2000), 106.
12Al-Dhahabi>,
7
Berangkat dari pemikiran tersebut, skripsi ini ingin
mengangkat tema tentang “PENGGUNAAN AL-RA’Y OLEH
AL-ZAMAKHSHARY DALAM TAFSIR AL-KASHSHA<F”. Dengan
tujuan meneliti penafsiran al-ra’y dari al-Zamakhshary, dalam
menjelaskan ayat. Apakah termasuk dalam kategori standar tafsir
al-ra’y yang diperbolehkan atau tidak (melampaui batas).
B. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas, dapat diidentifikasi
beberapa masalah yang timbul terkait dengan penggunaan al-ra’y
dalam penafsiran al-Qur’an dan pengaplikasiannya dalam tafsir
al-Kashsha>f meliputi:
1. Apa itu al-ra’y
2. Standar tafsir bi al-ra’y
3. Relasi al-ra’y dengan hadis sebagai penjelas ayat
4. Pro dan kontra penafsiran al-Zamakhshary dalam tafsir
al-Kashsha>f
5. Pendapat ulama tentang teologi Mu’tazilah dalam tafsir
al-Kashsha>f
6. Penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam kitab tafsirnya
8
C. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam
tafsir al-Kashsha>f?
2. Bagaimana konsep al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam tafsir
al-Kashsha>f?
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk Mengetahui penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary
dalamtafsir al-Kashsha>f!
2. Untuk Mengetahui konsep al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam
tafsir al-Kashsha>f!.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
keilmuan dalam bidang tafsir. Agar hasil penelitian ini jelas dan
berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka perlu
dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.
Adapun kegunaan hasil penelitian ini ada dua yaitu:
1. Kegunaan secara teoretik
Hasil penelitian ini dapat berguna bagi pengembangan
9
khazanah pengetahuan ilmu keagamaan khususnya mengenai
al-ra’y dalam penafsiran al-Qur’an.
2. Kegunaan secara praktis
Dapat digunakan sebagai kajian lebih lanjut dalam ilmu
tafsir serta menjadi bahan informasi yang bernilai akademis
tentang permasalahan yang menyangkut penggunaan al-ra’y
dalam penafsiran al-Qur’an.
F. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada
skripsi ini dengan skripsi yang lainnya, terlebih dahulu penulis
menelusuri kajian-kajian yang sudah ada atau memiliki kesamaan.
Hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak
mengangkat pembahasan ataupun pendekatan yang sama, dengan
harapan semoga kajian yang penulis lakukan tidak terkesan plagiat
dari kajian yang telah ada.
Berdasarkan pengamatan dan pencarian yang penulis
lakukan, ditemukan hanya satu skripsi yang membahas tentang
“Rasionalitas Penafsiran Al-Qur’an (Studi Atas Penggunaan Ra’y
Oleh Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib)” yang
ditulis oleh mahasiswa jurusan tafsir hadis Dewi Ariyani pada tahun
2006, yang mana skripsi tersebut menjelaskan tentang penggunaan
10
Buku literatur ‘Ulu>m al-Qur’a>n seperti Itqa>n Fi> Ulu>m
al-Qur’a>n karya al-Suyu>t}i>, al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya
al-Zarkashi>, Mana>hil al- Irfa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n karya Zarqa>ni>,
al-Tibya>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n karya Muh}ammad Ali> al-S{a>bu>ni>,
Dara>sa>t Fi> Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m karya Sulayma>n al-Ru>mi>,
Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n karya S{ubh}i> S{a>lih} dan Manna>
al-Qat}t}a>n dan lain sebagainya, juga banyak menyinggung tentang teori
al-ra’y.
Dalam literatur-literatur yang penulis sebutkan tadi, penulis
melihat belum ada pemetaan yang jelas sistematik tentang
penempatan kitab tafsir mana yang tergolong mah}mu>d dan
madhmu>m. Paling-paling di sana hanya diungkap tentang pembagian
tafsir bi al-ra’y, kitab-kitab tafsir terkenal yang tergolong
menggunakan ra’y, dan lain sebagainya.
Apa yang hendak penulis lakukan dalam penelitian ini
pertama melakukan kajian penafsiran dari mufasir dengan ayat yang
sudah ditentukan, kemudian menentukan apakah penafsirannya itu
tergolong al-ra’y yang mah}mu>d atau yang madhmu>m.
Berdasarkan telaah pustaka tersebut, penulis menganggap
bahwa penelitian ini memiliki nilai kebaruan dan kontribusi
pengetahuan (contribution to knowledge) yang cukup signifikan
dalam studi-studi al-Qur’an, dan karenanya secara akademik layak
11
G. Metode Penelitian
Untuk mempermudah pembahasan ini, penulis menempuh
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis penelitian adalah library research
(penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang memanfaatkan
sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.13
Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian
mengelolanya memakai keilmuan tafsir.
2. Sumber Data
Untuk mendukung tercapainya data penelitian di atas,
pilihan akan akurasi literatur sangat mendukung untuk
memperoleh validitas dan kualitas data, karenanya sumber data
yang menjadi obyek penelitian ini adalah:
a) Sumber data primer
1. Tafsi>r al-Kashsha>f oleh Abi> al-Qa>sim Ja>r Allah Mah}mu>d
bin Umar al-Zamakhshary al-Khawa>rizmy
b) Sumber data sekunder, yaitu:
1. Al-Itqa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh al-Suyu>t}i>
2. Al-Burha>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n oleh al-Zarkashi>
3. Mana>hil al- Irfa>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh al-Zarqa>ni>
13
12
4. Al-Tibya>n Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh Muh}ammad Ali>
al-S{a>bu>ni>
5. Dara>sa>t Fi> Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m oleh Sulayma>n
al-Ru>mi>
6. Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh S{ubh}i> al-S{a>lih}
7. Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n oleh Manna> al-Qat}t}a>n.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik atau cara yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu:
mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan fokus
pembahasan, kemudian mengklarifikasi sesuai dengan sub
bahasan dan penyusunan data yang akan digunakan dalam
penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang
telah dipersiapkan sebelumnya.
4. Teknik Analisis Data
Adapun metode analisis data yang penulis gunakan adalah
deskriptif-kualitatif. Sedangkan pengertian dari deskriptif adalah
penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan
menginterpretasikan apa yang ada (bisa mengenai kondisi atau
hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang
berlangsung, akibat atau efek yang terjadi atau kecenderungan
yang tengah berkembang).14 Sedangkan metode kualitatif adalah
suatu metode yang berusaha memahami dan menafsirkan makna
14
13
suatu peristiwa interaksi tingkah laku makhluk/manusia dalam
situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.15 Jadi
penelitian deskriptif-kualitatif adalah suatu penelitian yang
berusaha mendeskripsikan tentang tingkah laku makhluk hidup.
H. Sistematika Pembahasan
Uraian yang terdapat dalam skripsi ini akan disusun dalam
lima bab, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kemudian
mengarah pada hal-hal yang bersifat khusus. Uraian tersebut
dijelaskan dalam sistematika berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari
beberapa sub bab, yaitu latar belakang masalah, identifikasi masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat tentang landasan teori. Bab ini akan
menjelaskan tentang tafsir bi al-ra’y yang mencakup tentang
pengertian tafsir bi al-ra’y, syarat-syarat mufasir bi al-ra’y, sebab
timbulnya tafsir bi al-ra’y, perbedaan pendapat ulama tafsir tentang
tafsir bi al-ra’y, dan pembagian tafsir bi al-ra’y.
Bab ketiga menguraikan tentang data penelitian, yakni
menjelaskan tentang al-Zamakhshary dan tafsir al-Kashsha>f. Bab ini
diawali dengan memberikan penjelasan tentang biografi
al-Zamakhshary (al-al-Zamakhshary, intelektualitas dan karyanya, dan
15
14
madzhab dan akidahnya), kitab tafsir al-Kashsha>f (Sejarah Penulisan
al-Kashsha>f, Berbagai Tanggapan atas Tafsir al-Kashsha>f, Ciri khas
Tafsir al-Kashsha>f, Arah dan Metode Tafsir al-Kashsha>f, dan
Contoh Penafsiran al-Zamakhshary), dan pendapat ulama tentang
tafsir al-Kashsha>f.
Bab keempat menjelaskan tentang analisis data. Merupakan
analisis terhadap penggunaan al-ra’y oleh al-Zamakhshary dalam
Tafsir al-Kashsha>f.
Bab kelima sebagai penutup, berupa kesimpulan dan saran
15
BAB II
TAFSIR
BI AL-
RA’Y
A. Pengertian Tafsir bi al-Ra’y
Al-ra’y memiliki akar kata dari ra’a>-yara>-ru’yatan. Memiliki kata
jamak a>ra>’un atau ar’a>’un yang bisa berarti pendapat, opini berfikir tentang
dasar sesuatu (al-fikr), keyakinan (al-i‛tiqa>d), analogi (al-qiya>s), atau
ijtihad. Kaitannya dalam bentuk penafsiran al-Qur’an, tafsi>r bi al-ra’y
sering disebut juga dengan istilah tafsi>r bi al-dira>yah, tafsi>r bi al-ma’qu>l,
tafsi>r al-‘aqliy, atau tafsi>r al-ijtihādi>.1
Secara istilah bisa didefinisikan bahwa tafsi>r bi al-ra’y adalah tafsir
yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufasir
setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil
hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asba>b al-nuzu>l,
al-na>sikh wa al-mansu>kh, dan sebagainya.2
Tafsir bi al-ra’y adalah pendekatan tafsir yang didasarkan atas
pemahaman yang mendalam yang didasarkan pada makna lafal al-Qur’an
setelah memahami al-madzlu>l dan al-dala>lah pernyataan yang terangkai
dalam lafal tersebut.3
Al-Farma>wiy juga agak sama pendapatnya dengan Al-Dzahabi>,
bahwa tafsir bi al-ra’y adalah cara menafsirkan al-Qur’an dengan jalan
1
Rosihan Anwar, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 220. 2Al-Dhahabi>,
Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 183. 3Kha>lid Abd al-Rah}man
16
ijtihad setelah terlebih dahulu mufasir mengetahui metode kosa kata bahasa
Arab beserta muatannya.4
Yang dimaksud ijtihad di sini bukanlah seperti ungkapan para ulama
us}u>l al-fiqih, akan tetapi upaya mufasir yang bersungguh-sungguh dalam
memahami makna nas al-Qur’an dalam rangka menyingkap lafal dan
madzlu>l-nya. Ijtihad di sini mencakup nas-nas dalam batasan bahasa dan
syara’.5
Menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’y (rasio) semata tanpa ada
dasarnya hukumnya haram, tidak boleh dilakukan, berdasarkan firman Allah
SWT dalam Surat al-Isra>’ ayat 36:6
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.7
Rasulullah SAW juga bersabda: 6Manna>‘ Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
Cet. 7 (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.), 342.
7
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Bandung: Mutiara Qalbun Salim, 2010), 285.
8
17
Telah menceritakan kepada kami Sufya>n bin Waki>‛, telah menceritakan
kepada kami Suwyd bin ʽ Amr wa al-Kalby, telah menceritakan kepada
kami Abu> ʽ Awa>nah ʽ an ʽ Abd al-Aʽ la> ʽ an Saʽ i>d bin Jubyr ʽ an ibn ʽ Abba>s Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Takutlah (berhati-hatilah) mengenai hadis/perkataan ku (tidak lain) hendaknya (engkau sampaikan) dari apa yang engkau ketahui (mempunyai ilmu), maka, siapa yang berkata atas namaku (memalsu hadis) maka silahkan mengambil tempatnya di neraka, dan siapa yang berkata mengenai isi al-Qur'an dengan pendapatnya sendiri, maka silahkan mengambil tempatnya di neraka" Ini Hadis H{asan.
Sebab itulah golongan salaf keberatan untuk menafsirkan al-Qur’an
dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.9
Dari beberapa pendapat di atas penulis bisa merumuskan bahwa
tafsir bi al-ra’y adalah metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal
pikiran si mufasir yang sudah memenuhi syarat dan memiliki legitimasi dari
para ulama untuk menjadi seorang mufasir, namun penafsirannya harus
tetap selaras dengan hukum syariah, tanpa ada pertentangan sama sekali.
Pada prinsipnya tafsir bi al-ra’y merupakan produk ijtihad di mana produk
yang dihasilkan oleh proses ijtihad tersebut bisa saja tepat atau kurang tepat.
B. Syarat-Syarat Mufasir bi al-Ra’y
Ada beberapa ketentuan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh
mufasir berkaitan dengan diterima tidaknya dalam melakukan tafsir bi
al-ra’y, yaitu, sebagai berikut;
a. Mempunyai keyakinan (al-iʽ tiqa>d) yang lurus dan memegang teguh
ketentuan-ketentuan agama (tidak keluar dari pendapat-pendapat salaf;
sahabat dan para imam)
18
b. Tidak menyimpang dari penafsiran golongan khalaf; tabiin dan ulama
umat.10
c. Bersandar pada naql Nabi SAW serta menjauhi hadis al-d}aʽ i>f dan
al-maud}u>ʽ dan berdasar pada ucapan sahabat.11
d. Menguasai 15 bidang ilmu yang diperlukan oleh seorang mufasir, antara
lain; ʽ ilm al-lughah, ʽ ilm al-nah}wu, ʽ ilm al-s}araf, al-ishtiqa>q, ‘ilm al
-maʽ a>niy, ʽ ilm al-baya>n, ʽ ilm al-badi>ʽ , ‘ilm al-qira>’at, us}u>l al-di>n,
us}u>l al-fiqh, asba>b al-nuzu>l, ʽ ilm al-qas}as}, ‘ilm al-na>sikh wa
al-mansu>kh, hadis-hadis yang menjelaskan tafsir mujma>l dan
al-mubha>m, serta ‘ilm al-mauhibah.12
Menurut al-Dzahabi>, ada lima perkara yang harus dijauhi oleh
seorang mufasir agar tidak jatuh dalam kesalahan dan tidak termasuk
pentafsir bi al-ra’y yang fasid. Lima perkara tersebut adalah;13
a. Menjelaskan maksud Allah SWT dalam al-Qur’an dengan tanpa
memenuhi terlebih dahulu syarat-syarat sebagai seorang mufasir
b. Mencampuri hal-hal yang merupakan monopoli Allah untuk
mengetahuinya, seperti ayat-ayat al-mutasha>biha>t yang tidak dapat
diketahui kecuali oleh Allah sendiri
c. Melakukan penafsiran seiring dengan dorongan hawa nafsu dan
kepentingan pribadi
10Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…, 344. 11Al-S{a>lih}, Maba>h}ith Fi> Ulu>m al-Qur’a>n…,
292. 12Al-Dhahabi>,
Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 190-191. 13Ibid.
19
d. Menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung madzhab yang fasid, sehingga
faham aliran menjadi pokok dan tafsir dipaksakan selaras untuk
mengikuti keinginan madzhabnya
e. Menafsirkan dengan memastikan, “demikianlah kehendak Allah”
terhadap tafsirannya sendiri padahal tanpa ada dalil yang
mendukungnya.
Syarat-syarat yang harus dijauhi oleh seorang mufasir merupakan
acuan untuk mengukur diterima tidaknya sebuah produk (kitab) tafsir
al-Qur’an bi al-ra’y. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut secara tidak
langsung merupakan syarat mendapatkan legitimasi jumhur ulama untuk
diakui dan ditetapkan sebagai seorang mufasir, dengan adanya
ketentuan-ketentuan di atas hal tersebut menunjukkan sikap kehati-hatian para ulama
tafsir agar tidak semua orang dengan mudah menafsirkan al-Qur’an.
Syarat-syarat di atas hanya berlaku untuk orang per seorangan bukan
untuk kumpulan orang yang memiliki kemampuan keilmuan yang memadai
dalam satu bidang kemudian berkumpul dengan orang yang memiliki
kemampuan keilmuan yang berbeda yang dibutuhkan untuk memenuhi
syarat menjadi penafsir dan secara kolektif menafsirkan al-Qur’an. Itu tidak
boleh dan tetap tidak bisa diterima produk tafsirnya karena yang dimaksud
dengan syarat-syarat di atas hanya ditujukan untuk satu orang saja. Dalam
artian, jika seseorang memiliki kemampuan keilmuan seperti yang
disebutkan dalam syarat menjadi seorang mufasir maka tafsirnya bisa diakui
20
dengan berbekal kemampuan keilmuan masing-masing untuk memenuhi
syarat sebagai penafsir maka itu tidak boleh dan tertolak semua tafsirnya.
C. Sebab Timbulnya Tafsir bi al-Ra’y
Mula-mula tafsir al-Qur’an disampaikan secara shafa>hiy (wicara,
dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab
kumpulan hadis, maka tafsir al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan
hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab
hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari
permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul
pembahasan.14
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan
Bani ʽ Abba>siyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu
pengetahuan, tafsir al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup
mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat
penafsiran, secara tertib menurut urutan mushaf.15
Penafsiran al-Qur’an pada masa-masa pertama memakai cara naqli,
yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj al-tafsi>r bi al-ma’thu>r. Setelah
itu para ahli ilmu menafsirkan al-Qur’an menurut keahlian mereka masing
-masing. Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte (golongan) aqidah didukung
dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan
dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah
penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasha>biha>t, untuk menopang paham
14
Rosihan Anwar, ‘Ulum al-Qur’an…, 220. 15
21
mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit ta’wil al-Qur’an
sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Aliy bin Abi> T{a>lib, ‘Abdulla>h
bin Mas‛u>d, dan ‘Abdulla>h bin ‘Abba>s ra..16
Kemudian melalui Mu’tazilah,
terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’y, sehingga terjadi pertentangan antara
nas al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab Tafsi>r Kashsha>f oleh
al-Zamakhshary.
Sebagaimana telah dikemukakan pada pendahuluan, tafsir bi al-ra’y
mulai berkembang sekitar abad ke-4 H. Corak penafsiran sesuai dengan
sudut pandang mereka masing-masing; Kaum fuqaha>’ (ahli fikih)
menafsirkannya dari sudut hukum fikih, seperti yang dilakukan oleh
al-Jashsha>sh, al-Qurt}ubi>, dan lain-lain; kaum teolog menafsirkannya dari sudut
pemahaman teologis seperti al-Kashshaf karangan al-Zamakhshary; dan
kaum sufi juga menafsirkan al-Qur’an menurut pemahaman dan pengalaman
batin mereka seperti Futuh}a>t al-Makiyyah oleh Ibn ‛Arabi>, dan lain-lain.
Pendek kata, corak tafsir bi al-ra’y ini muncul di kalangan
ulama-ulama mutaakhiri>n; sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut
tinjauan sosiologis dan sastra Arab seperti Tafsi>r Al-Manar; dan dalam
bidang sains muncul pula karya Jawa>hir T{ant}a>wy dengan judul Tafsi>r
al-Jawa>hir. Melihat perkembangan tafsir bi al-ra’y yang demikian pesat, maka
tepatlah apa yang dikatakan Manna>‛ al-Qat}t}a>n bahwa tafsir bi al-ra’y
mengalahkan perkembangan al-ma’thu>r.17
16
22
Meskipun tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat, namun dalam
menerimanya para ulama terbagi 2, ada yang membolehkan dan ada yang
melarangnya, tetapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang
bertentangan itu hanya bersifat lafz}y (redaksional). Maksudnya kedua belah
pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan al-ra’y (pemikiran)
semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku.18
Penafsiran yang serupa inilah yang diharamkan Ibn Taymiyyah, bahkan
Ima>m Ah}mad bin H{anbal menyatakannya sebagai tidak berdasar.
Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an dengan
sunah Rasul serta dengan kaidah-kaidah yang mu‛tabarah (diakui sah)
secara bersama.
Adapun hadis-hadis yang menyatakan bahwa para ulama salaf lebih
suka diam ketimbang menafsirkan al-Qur’an, sebagaimana dapat dipahami
dari ucapan Abu> Bakar bahwa tidak dapat dijadikan dalil untuk melarang
tafsir bi al-ra’y sebab sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyyah: “Mereka
senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam
pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang
(lanjutnya) ia harus diam kalau tida tahu, dan sebaliknya harus menjawab
jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya”.19
Pendapat Ibnu Taymiyyah ini ada benarnya karena didukung oleh
al-Qur’an antara lain Surat A<li> ‛Imra>n ayat 187:
18Al-Dhahabi>,
Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 188 19
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.20
Dan dipertegas lagi oleh hadis sahih dari Ibn ‛Umar r.a:
21
Barangsiapa ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu ia diam, maka mulutnya akan dikunci pada hari kiamat dengan kekang dari api neraka.
Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan karena
tidak mau menafsirkannya dan bukan pula karena dilarang menafsirkannya,
melainkan karena kesangat hati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam
apa yang disebut dengan takhmin (perkiraan, spekulasi) dalam menafsirkan
al-Qur’an.
Jadi jelaslah, secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu
sampai sekarang adalah melalui 2 jalur, yaitu al-Ma’thu>r ( melalui riwayat)
dan al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 75.
24
D. Perbedaan Pendapat Ulama Tafsir Tentang Tafsir bi al-Ra’y
Pemahaman ulama tafsir terhadap tafsir bi al-ra’y membagi mereka
dalam dua golongan, yaitu ulama tafsir yang melarang dan membolehkan
tafsir bi al-ra’y. Umumnya yang melarang melakukan penafsiran al-Qur’an
dengan al-ra’y adalah golongan ulama salaf.
Menurut mereka yang tidak membolehkan pada tafsir bi al-ra’y,
seorang mufasir menerangkan makna-makna yang terkandung di balik teks
al-Qur’an hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya
(istinba>t}) didasarkan pada akal semata. Dan landasan pemahamannya juga
jauh dari ruh syariat dan nas-nasnya.22
Al-ra’y semata tidak disertai dengan bukti-bukti akan membawa
penyimpangan terhadap kitabullah. Kebanyakan orang yang melakukan
penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut
madzhab batil. Mereka menafsirkan al-Qur’an menurut pendapat pribadi
yang tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama
salaf, sahabat dan tabiʽ i>n.
Mereka mengambil dasar firman Allah Surat al-Isra>’ ayat 36:
Dan firman Allah Surat al-Aʽ ra>f ayat 28:
22Abi> al-Fad}l Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Abi> Bakr Al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n Fi> Ulu>m
al-Qur’a>n (Madinah: al- Ama>nah al- A<mmah, 1426 H), 222. 23
Apakah kamu berani menyatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.24
Mereka juga menunjukkan sebuah hadis Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Ima>m al-Tirmi>dhiy dari Ibn ‘Abba>s,
،
،
25
Telah menceritakan kepada kami Mah}mu>d bin Ghyla>n, telah menceritakan kepada kami Bishr bin al-Sarry, telah menceritakan kepada kami Sufya>n dari ʽ Abd al-Aʽ la> dari Saʽ i>d bin Jubayr dari Ibn
‘Abba>s dia berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Barang siapa
menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa ilmu, maka bersiaplah tempatnya
di neraka” Ini hadis H{asan S{ah}i>h}.
Abu> Bakr S{iddi>q pernah berkata:
Bumi manakah yang akan menahanku dan langit mana yang akan meneduhiku jika aku menyatakan tentang al-Qur’an dengan akal pikiranku.26
Namun sebagian besar ulama membolehkan menafsirkan dengan
menggunakan metode tafsir bi al-ra’y. Dengan tingkat kehati-hatian
(ikhtiya>t}) yang tinggi, mereka menempuh jalur al-jam‛u wa al-tafri>q
24
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 153. 25
Al-Tirmidzi>, Sunan al-Tirmidzi>…, 738. 26
26
(mengkompromikan dan memilah-milah) sehingga mereka memunculkan
beberapa syarat bagi mufasir sebagai ketentuan baku yang telah disepakati.27
Mereka, para ulama tafsir yang membolehkan, berpijak pada
al-Qur’an sendiri yang mendorong supaya berijtihad dan memikirkan
ayatnya, guna mengetahui hukum-hukum yang ada di balik rangkaian
ayat-ayat di dalamnya. Mereka bersandar pada firman Allah Surat S{a>d ayat-ayat 29;
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya, dan supaya mendapat peringatan orang-orang yang berakal.28
Tentunya jika tafsir bi al-ra’y tidak boleh, maka ijtihad pun tidak
boleh sehingga hukum banyak yang terkantung-kantung.
Di antara mereka ada yang menafsirkan al-Qur’an dengan ungkapan
-ungkapan yang indah dan menyusupkan ajaran mazhabnya ke dalam untaian
kalimat yang dapat memperdaya banyak orang. Hal ini antara lain dilakukan
oleh al-Zamakhshary dalam Tafsir al-Kashsha>f. Al-Zamakhshary dalam
kitabnya menyisipkan paham Mu’tazilah, mazhab yang dianutnya.
Hal serupa juga dilakukan oleh para ahli kalam yang menafsirkan
ayat-ayat sifat dengan selera pemahamannya. Golongan ini lebih dekat
dengan mazhab Ahl al-Sunnah daripada ke mazhab Mu’tazilah. Namun
tatkala mereka membawakan penafsiran yang bertentangan dengan pendapat
27Al-Dhahabi>,
Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 264. 28
27
sahabat dan tabiin, maka mereka tidak ada bedanya dengan Mu’tazilah dan
ahli bidah lainnya.
Terlepas dari problema di atas, al-Dhahabi> dan ‘Alla>mah al-Ra>ghib
al-Ashfaha>niy berpendapat bahwa tafsir bi al-ra’y dibolehkan selama sesuai
dengan al-Qur’an dan sunnah serta menjaga syarat-syarat tafsir,29 Begitu
pula halnya dengan pendapat Ibn Taimiyah dan al-Zarqa>niy.
Dan terkait dengan kebolehan tafsir bi al-ra’y, kemudian
al-Zarqa>niy mengemukakan langkah kerja yang harus ditempuh oleh mereka
yang menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir bi al-ra’y ini yaitu:
1. Mengistinbatkan maknanya dari al-Qur’an, hadis, atau perkataan
sahabat maupun tabiin.
2. Jika tidak ditemukan, maka mesti berijtihad dengan langkah:
a. Dimulai dari pembahasan terkait lafaz mufrad, yang meliputi s}arf
dan isytiqa>q,
b. Mencari makna kalam sesuai susunannya yang terkait dengan i‛ra>b
dan bala>ghah,
c. Mendahulukan makna h}aqi>qy dari pada maja>zy,
d. Memperhatikan asba>b al-nuzu>l,
e. Menjaga maksud dari siyah} al-kalam,
f. Memperhatikan sa>biq dan la>h}iq, baik dalam satu ayat, maupun antar
ayat,
g. Menyesuaikan antara tafsir dengan yang ditafsirkan,
29Al-Dhahabi>,
28
h. Menyesuaikannya dengan ilmu-ilmu lain yang terkenal, termasuk
dengan sejarah bangsa arab waktu ayat itu turun,
i. Menyesuaikannya dengan sejarah Nabi dan yang terakhir mampu
menjelaskan makna dan meng-istinbat-kan hukum darinya.30
E. Pembagian Tafsir bi al-ra’y
1. Tafsir al-Mah}mu>dah
Tafsir al-mah}mu>dah adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan
kehendak syariat (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syariat),
jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa
arab, serta berpegang pada uslu>b-uslu>bnya dalam memahami nas-nas
al-Qur’an.31
Hukum tafsir bi al-ra’y al-mah}mu>d menafsirkan al-Qur’an
dengan ijtihad dengan tetap memenuhi syarat-syaratnya (menguasai
ilmu-ilmu yang mendukung penafsiran al-Qur’an), serta berpegang
kepadanya dalam memberikan makna-makna terhadap ayat-ayat
al-Qur’an, maka penafsiran itu telah patut disebut tafsir al-mah}mu>d atau
tafsir al-mashru>‛.32
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-mah}mu>d yang
banyak dikenal, antara lain:33
a. Mafa>ti>h} al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy
b. Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l, oleh Al-Baid}a>wy
30Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-ʽ Irfa>n…, 67-68. 31
Muh}ammad ‘Ali> Al-S}a>bu>ni>, Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Pakistan: Maktabah al-Bukhra>, 2011), 101-102.
32
Ibid., 102. 33
29
c. Mada>rik al-Tanzi>l wa H{aqa>’iq al-Ta’wi>l, oleh: Al-Nasafy
d. Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ny al-Tanzi>l, oleh: Al-Kha>zin
e. Al-Bah}r al-Muh}i>t}, oleh: Abu> Hayya>n
f. Al-Tafsi>r al Jala>layn, oleh: Jala>l al-Di>n Al-Mah}alliy dan Jala>l al-Di>n
Al-Suyu>t}y
g. Ghara>’ib al-Qur’a>n wa Ragha>’ib al-Furqa>n, oleh: Al-Naysa>bu>riy
h. Al-Sira>j al-Muni>r, oleh: Al Kha>tib Al-Sharbi>niy
i. Irsha>d al-‘Aql as-Sali>m, oleh: Abu> al-Sa’u>d
j. Ru>h} al-Ma’a>niy, oleh Al-Alu>siy.
Selayang pandang beberapa kitab Tafsir bi al-ra’y
al-mah}mu>d;
a) Mafa>ti>h} al-Ghayb
Tafsir ini adalah karya Muh}ammad bin ‘Umar bin al-H{asan
al-Tami>miy al-T{abarista>niy al-Ra>ziy (Fakhr al-Di>n al-Ra>ziy),
terkenal dengan Ibn al-Kha>t}ib al-Sya>fi‛i> al-Faqi>h.34
Dilahirkan di
Ray pada tahun 544 H, dan wafat di Harah pada 606 H.35
Dalam penafsirannya beliau menempuh jalan para hukama
al-Ilahiya>t, yang tercermin pada dalil-dalil beliau dalam
pembahasan-pembahasan tentang Tuhan. Disitu beliau menentang aliran
Mu’tazilah dan aliran-aliran tersesat lainnya dengan alasan-alasan
yang kuat dan bukti-bukti yang nyata. Beliau juga menolak
tuduhan-tuduhan dari orang-orang yang ingkar dan menentang agama dengan
34Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n… , 374. 35Al-Ru>mi>, Dara>sa>t Fi> ‘Ulu>m…
30
uraian-uraian yang amat jelas. Sungguh tafsir beliau ini merupakan
yang terluas dalam membahas ilmu kalam.36
Al-Ra>zy juga seorang ahli dalam ilmu kedokteran dan ilmu
alam. Beliau juga berbicara soal astronomi, juga tentang langit dan
bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan tentang manusia. Tujuan
utama beliau dalam tafsirnya adalah untuk menolong kebenaran serta
mengetengahkan bukti-bukti adanya Allah swt, disamping menentang
ulah orang-orang yang tersesat.37
b) Mada>rik al-Tanzi>l wa H{aqa>’iq al-Ta’wi>l
Tafsir ini ditulis oleh ‘Abd Alla>h bin Ah}mad al-Nasafiy.
Wafat tahun 701 H. Tafsir ini dikenal juga dengan tafsir Al-Nasafiy
(dinisbahkan pada penulisnya), tafsir ini sebuah tafsir besar, terkenal,
mudah dan mendalam. Bila dibandingkan dengan tafsir-tafsir al-ra’y
yang lain lebih ringkas dan sempurna.38
Pengarang kitab Kashf al-Dhanūn mengatakan, “Tafsir ini
adalah kitab sederhana tentang ta’wi>l, namun mencakup seluruh segi
i‛ra>b dan qira>’a>t, mencakup segala keindahan ilmu al-badi>‛ dan
isya>rat, memuat beberapa pendapat ahl sunnah wa al-jama>‛ah dan
jauh dari kebatilan kelompok-kelompok bidah dan menyesatkan.
Kitab ini tidak panjang lebar, namun juga tidak pendek”.39
36Al-Dhahabi>,
Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 209. 37Al-Ru>mi>, Dara>sa>t Fi> ‘Ulu>m…
, 179. 38Al-Dhahabi>,
Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 216.
31
c) Al-Bah}r al-Muh}i>t}
Pengarang tafsir ini adalah Shaykh Muh}ammad bin Yusu>f
bin H{ayya>n al-Andalusy. Wafat tahun 745 H.40
Tafsir ini terdiri dari
delapan jilid, yang mana beliau melengkapi beberapa bidang ilmu,
meliputi nah}w, s}arraf, bala>ghah, hukum-hukm fiqhiyyah dan
lain-lainnya, sehingga dianggap sebagai referensi tafsir. Bahasanya
memang mudah. Dinamakan Al-Bah}r al-Muh}i>t}, karena didalamnya
memuat banyak ilmu yang bersangkutan dengan materi tafsir.41
Contoh tafsir al-mah}mu>d
Menafsirkan kata al-qalam (م لا) misalnya dalam surat al-ʽ Alaq
ayat 4 dan surat al-Qalam ayat 2. Kata al-qalam oleh para mufasir klasik
(salaf), bahkan mufasir kontemporer (khalaf) sekalipun umum diartikan
dengan pena. Penafsiran demikian tentu saja tidak salah mengingat alat
tulis yang paling tua usianya yang dikenal manusia adalah pena. Tapi
untuk penafsiran kata qalamun/al-qalam dengan alat-alat tulis yang lain
seperti pensil, pulpen, spidol, mesin ketik, mesin stensil, dan komputer
pada zaman sekarang, agaknya juga tidak bisa disalahkan mengingat arti
asal dari kata qalamun seperti dapat dilihat dalam berbagai kamus adalah
alat yang digunakan untuk menulis. Dan kita tahu bahwa alat-alat tulis itu
sendiri banyak jenisnya mulai dari pena, gerip, pensil, pulpen, dan
lain-lain; hingga kepada mesin ketik, mesin stensil dan komputer. Jadi lebih
tepat memang jika menafsirkan kata al-qalam dengan alat-alat tulis yang
40Al-Dzahabi>,
Al-Tafsi>r wa Al-Mufassiru>n…, 225-226. 41Al-Qat}}t}}a>n, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…,
32
menggambarkan kemajuan dan keluasan wawasan al-Quran tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi daripada sekedar mengartikannya dengan
pena yang bisa jadi hanya menyimbolkan kesederhanaan dunia
tulis-menulis di saat-saat alquran mengalami proses penurunannya. Jika
pengertian pena untuk kata qalamun/al-qalam ini masih tetap
dipertahankan hingga sekarang, maka seolah-olah hanya menggambarkan
keterbatasan dan kejumudan dunia tulis menulis yang pada akhirnya
menunjukkan kebekuan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.42
2. Tafsir al-madhmu>m
Tafsir al-madhmu>m adalah penafsiran al-Qur’an tanpa
berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri,
tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syariah, atau dia
menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bidahnya
yang tersesat,43 seperti kitab tafsir al-Kashsha>f karya al-Zamakhshary.
Sekilas memang banyak ulama tafsir yang memuji ketajaman
analisa bahasa dan kesastraan bahasa al-Qur’an dalam tafsir
al-Kashsha>f.44
Namun disayangkan sekali ketika penafsiran-penafsiran
yang dilakukan dirasuki pula dengan dukungan ajaran paham
Mu’tazilah, karena sering menggunakan al-tamthi>l (perumpamaan) dan
al-takhyīl (pengandaian) sehingga banyak yang menyimpang atau ada
ketidakcocokan dengan makna lahir ayat yang sebenarnya, mencela wali
42
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 74. 43Al-S}a>bu>ni>, Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m…
, 102 44Al-S{a>lih}, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…,
33
Allah, selalu mengarahkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke jalur
madzhab mereka.45
Sehingga kalau memang sudah sedemikian parah, sebagaimana
pendapat S{ubh}y al-S{a>lih}, tafsir al-Kashsha>f dapat digolongkan sebagai
tafsir bi al-ra’y yang madhmu>mah.46
Hukum tafsir bi al-ra’y al-madhmu>m adalah haram47 karena
menafsirkan al-Qur’an dengan al-ra’ydan ijtihad semata tanpa ada dasar
yang s}ah}i>h}. Allah berfirman dalam Surat al-Aʽ ra>f ayat 33:
Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.48
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-i‛tiza>ly yang
banyak dikenal, antara lain:49
1. Tanzi>h al-Qur’a>n an al-Mat}a>‛in, oleh: Al-Qa>d}y Abd al-Jabba>r bin
Ah}mad al-H{amda>ny
2. Ama>ly al-Murtad}a>, oleh: Al-Shari>f al-Murtad}a> ʽ Ali> bin al-Husayn
al-Mu>sawa> al-ʽ Ulwa>
45Mah}mu>d, Mana>hij al-Mufassiri>n…,
106. 46
Al-S{a>lih}, Maba>h}ith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n…, 294. 47Al-Ru>mi>, Dara>sa>t Fi> ‘Ulu>m…,
176. 48
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 154. 49Al-Dhahabi>,
34
3. Al-Kashsha>f an H{aqa>iq al-Tanzi>l wa ‛Uyu>n Aqa>wi>l fi> Wuju>h
al-Ta’wi>l, oleh Al-Zamakhshary.
Contoh Tafsir al-Madhmu>m (Surat al-Isra>’ ayat 72)
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).50
Pada ayat ini, sebagian orang bodoh dan tersesat menafsirkan
bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia, maka di
akhiratpun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di
akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka. Padahal
yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati (ب لا ع)
dengan dalil firman Allah SWT dalam Surat al-H{ajj ayat 46,51
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.52
Ada juga dari golongan Mu’tazilah yang sangat keterlaluan
dalam menafsirkan al-Qur’an untuk memenangkan pendapat dan
pemikiran mereka sendiri, seperti terhadap firman Allah SWT dalam
Surat al-Nisa>’ ayat 164,
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 289. 51Al-S}a>bu>ni>, Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m…,
103. 52
35
Dan Allah telah berbicara dengan Musa secara langsung.53
Menurut pandangan mereka kata kallama (telah berbicara) dalam
ayat tersebut bukan berasal dari akar kata kalam (berbicara), melainkan
dari akar kata al-jarh (luka). Dengan demikian ayat tersebut bermakna,
“Allah melukai Musa dengan kuku ujian dan cobaan”. Penafsiran yang
keterlaluan itu hanya untuk memperkuat aliran mereka.
Adapun secara umum, masing-masing sahabat Nabi dan kebanyakan
para Mufassirin pada zaman berikutnya, mereka berpendapat bahwa dalam
al-Qur’an terdapat beberapa ketentuan yang tidak diketahui ta’wilnya
melainkan Allah SWT. Menurut pendapat Ibnu Abbas: al-Qur’an itu
mengandung empat segi yang terkandung di dalamnya:
a) Segi halal dan haram. Dalam hal ini tidaklah layak seseorang yang tidak
mengetahui tentang halal dan haram
b) Mengenai pengetahuan orang Arab tentang al-Qur’an
c) Mengenai ta’wil yang dapat diketahui oleh orang alim
d) Yang tidak diketahui ta’wilnya oleh manusia selain dari Allah SWT saja
dan seseorang yang berusaha mengetahui tentang ta’wil itu berarti ia
telah mendustakan Allah.54
Pihak yang mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat hal-hal
yang tidak mungkin dita’wilkan manusia, bahwa yang dikehendaki di sini
adalah hakikatnya hanya Allah saja yang mengetahuinya, hal ini
53
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan…, 104. 54Ah}mad Al-Shurba>s}y, Qis}s}ah al-Tafsi>r,
36
dikarenakan masalah ta’wil itu hanya berada di sisi Allah. Namun tidak lagi
terhalang manusia untuk memahami tekstual al-Qur’an menurut
kemampuan, namun Allah yang Maha Mengetahui tentang sesuatu. Atau
barangkali pendapat mereka itu yaitu tidak mungkin manusia mampu
mengetahui hal-hal yang menjadi rahasia dari Allah SWT, seperti kapan
terjadinya kiamat, pengetahuan tentang rahasia ghaib, jenis kelamin janin
dalam kandungan dan lain sebagainya.
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang hakikat (makna)-nya
tidak diberitahu oleh Allah SWT kepada siapa pun juga untuk memilikinya
baik kepada Malaikat yang dekat dengan Allah maupun kepada nabinya
yang diutus oleh Allah kepada umat manusia. Namun mereka percaya
dengan landasan Iman terhadap ayat-ayat tersebut yang datang dari Allah
SWT dan tidak dapat diketahui ta’wilnya selain Allah. Adapun yang selain
yang tersebut di atas dari nas-nas al-Qur’an seperti ayat-ayat yang
berkenaan dengan akidah muamalah, perundang-undangan, kemasyarakatan
dan akhlak, semua itu harus dapat dipahami oleh semua orang dan perlu
kepada tafsir dan ta’wil baik melalui jalan yang telah dijelaskan oleh Nabi
SAW atau jalan melalui jalan yang telah dijelaskan oleh Nabi SAW dan
ijtihad para Ulama Salaf atau melalui jalan tadabbur (pemikiran) atau
istinbat (kesimpulan yang dilakukan oleh para Mujtahid). Rasulullah SAW
tidaklah meninggalkan umatnya sehingga umatnya paham tentang kitab
Allah yang mereka membutuhkan kepada pemahamannya dan
penjelasannya, seperti masalah: prinsip-prinsip pokok ajaran Islam,
37
berkata: tentang ta’wil yang harus diketahui semua orang, maka dalam
persoalan demikian telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW kepada para
Sahabatnya tentang semua wahyu yang ia terima dari Allah SWT, melalui
Malaikat Jibril. Itulah pengertian perintah Allah SWT, melalui Malaikat
Jibril. Itulah pengertian perintah Allah yang dijelaskan oleh Rasulullah yang
berstatus sebagai utusan Allah SWT kepada umat manusia, sebagaimana
firman Allah dalam Surat al-Nah}l ayat 44:
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.55
Kita telah mengetahui sebagaimana uraian terdahulu bahwa
menafsirkan al-Qur’an itu merupakan hal yang penting dan tugas yang
mulia yang perlu dikerjakan dengan kehati-hatian. Hal ini dikarenakan
berkaitan dengan kalam Allah Tuhan yang mengatur semesta Alam.
Dikarenakan di dalam al-Qur’an itu terdapat berita-berita dari Allah yang
Maha Kuasa, lagi Maha Mulia. Sekalipun ada berita-berita itu dari Allah
yang mengatur urusan manusia namun para Ulama salaf mereka merasa
takut untuk menafsirkan al-Qur’an.
Seorang penafsir al-Qur’an menghadapi tugas yang berat dan sangat
penting yang bersifat ilmiah, hal ini dikarenakan ia menafsirkan al-Qur’an
adalah Kitab Allah. Dalam melaksanakan tugas ini dia bukanlah melakukan
penafsiran kalam, kata-kata, ucapan makhluk manusia, bukan pula
55
38
mengemukakan hukum-hukum seperti yang dibuat oleh manusia, akan
tetapi ia menafsirkan Kalam Allah SWT.
Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut
ialah kitab al-Kashsha>f karya al-Zamakhshary. Hanya saja pengarangnya
termasuk pengikut fanatik Mu’tazilah, karena itulah ia senantiasa
mendatangkan argumentasi-argumentasi untuk membela mazhabnya setiap
ia menerangkan ayat-ayat al-Qur’an dari segi bala>ghah. Cara demikian bagi
para penyelidik dari kaum Ahl al-Sunnah dipandang sebagai penyimpangan
dan bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan
al-Qur’an. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya
dalam hal berkaitan dengan bahasa dan bala>ghah. Tetapi jika orang
membacanya tetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai
hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena
itu, kitab tersebut perlu dibaca mengingat keindahan dan keunikan seni
bahasanya.
Dalam hal ini, penulis ingin mengulas tentang tafsir al-Kashsha>f
karya al-Zamakhshary. Apakah dalam kitabnya al-Zamakhshary banyak
memasukkan pemahamannya tentang Mu’tazilah atau dalam masalah