• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPER C. Maya Indah S. Refleksi Pemikiran O Notohamidjojo Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PAPER C. Maya Indah S. Refleksi Pemikiran O Notohamidjojo Full text"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2

REFLEKSI PEMIKIRAN O.NOTOHAMIDJOJO

UNTUK MEWUJUDKAN CARA BERHUKUM HUMANIS.1

Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum.

abstrak

Mencermati kehidupan hukum di Indonesia selama ini, paling tidak dapat ditandai oleh adanya dua krisis. Pertama cara berhukum yang krisis karena mengandalkan hukum sebagai mesin yang tak berjiwa dengan berbasis pada rasio objektif, dan kedua krisis yang diwarnai oleh adanya degradasi moral dalam ber hukum. Krisis moral yang berarti adanya dekadensi moral, kerakusan materialisme yang menumbuhkan kolusi, korupsi, dan nepotisme, hedonisme, nir-etika politik, otoritarianisme, pemiskinan kehidupan spiritual, krisis kepercayaan, krisis legitimasi otoritas, sehingga terjadilah krisis kepercayaan kepada hukum.

Namun, untuk menjawab krisis tersebut, juga muncul usaha-usaha untuk mengatasinya dengan menawarkan suatu paradigm pemikiran filosofis. Salah satu dari pemikiran filosofis yang muncul adalah membangkitkan kembali nilai-nilai berhukum yang telah dicanangkan oleh guru pendahulu kita, yakni O.Notohamidjojo. Melalui refleksi pemikiran O.Notohamidjojo diharapkan dapat ditempatkannya kembali posisi manusia khususnya manusia yang ada dan terlibat dalam penggembalaan hukum untuk menjadi subjek penafsir hukum yang kreatif dan bertanggung jawab dalam membentuk dunia kehidupan berhukum yang lebih baik.

Tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama Realitas Hukum dan Kemanusiaan memaparkan mengenai Legisme dan krisis kemanusiaan dalam hukum, Bagian kedua mengenai Gagasan ’ The Truth about law” melalui O.Notohamidjojo guna menceritakan mengenai Cara Berhukum ”humanis” yang terilhami dari pemikiran

1

(2)

3

O. Notohamidjojo, Bagian ketiga mengenai kesimpulan sebagai buah dari refleksi pemikiran O.Notohamidjojo tentang cara berhukum humanis dan relevansinya dalam kehidupan atau perkembangan hukum di Indonesia saat ini dan terakhir adalah penutup sebagai suatu saran.

Pengantar : Realitas Hukum dan Kemanusiaan

Paradigma hukum penting dikaji sebagai suatu mind set yang mendasari corak berhukum. Mengkaji perkembangan hukum pada milenium ketiga ini, perlu dipaparkan secara historis paradigma hukum di milenium sebelumnya. Pada milenium pertama, pertama, perhatian manusia diarahkan pada Tuhan, dan dikemudian pada milenium kedua paradigma yang ada diproyeksikan pada harmonisasi antara iman dan akal. Pada masa modern yakni dari sekitar 1500an hingga abad ke-20 terdapat tokoh- tokoh besar seperti Rene Descartes dengan rasionalismenya, Francis Bacon ( 1561-1626), yang memberi jalan bagi radikalisasi rasio dan legisme hingga sampai pada Auguste Comte (1798-1857) dengan positivisme juridis. Pemikir positivisme lainnya seperti John Austin terkenal dengan teorinya “Analitical Positivism” yang intinya mengatakan bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan, sehingga menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup. Jadi hukum secara tegas dipisahkan dari kaidah (justice) dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk, melainkan didasarkan pada kekuasaan dari penguasa. Empirisme maupun rasionalisme berusaha memisahkan segi inderawi dari segi akal budi, bahkan mengisolasikan satu dengan yang lain.

(3)

4

mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.2 Ajaran ini kemudian diintroduksikan ke negara-negara jajahan Eropa termasuk Indonesia.

Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi warisan berpikir abad XIX yang positivistis/legisme. Paradigma positivisme dalam ilmu hukum menekankan pada metode yang lebih melihat pada rumusan teks pasal-pasal peraturan yang dipandang netral, objektif, dan imparsial, bebas konteks dan menekankan pada realitas empirik dan dipandang bebas nilai.

Paradigma Positivisme/ Legisme memandang hukum sebagai gejala tersendiri yang dipandang sebagai closed logical system. Hukum dialienasikan dari masyarakat, norma sosial, politik dan moral. Era modernisme positivistik yang menjadi anutan dalam positivisme menihilkan sikap dialogis, empatik, dan toleran yang berarti menutup mata terhadap pluralitas dan relativitas suatu kebenaran. Penekanan legisme pada pendekatan prosedur formal dibanding substansial akan membuat orang melihat hukum sebagai sesuatu yang ”terberikan” (given), statis, dan mengabaikan substansi hukum atau hakekat hukum yakni keadilan substansial.

Positivisme menurut Scholten memilki kesalahan. Positivisme sebagai material hanya melihat undang-undang, peraturan-peraturan, vonis-vonis. Ia melupakan bahwa di belakang bahan-bahan positif ini terdapat sesuatu yang lain, yang juga demikian pentingnya, bahwa hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan.3

Positivisme /legisme mencirikan hukum yang dipercaya netral dan objektif dalam rule of law as it is in books, formal, structured rationality, dan tidak peduli pada

substansi. Hukum mengalami distorsi dalam bentukan lege, sehingga hukum bisa

2 Soetandyo Wignjosoebroto , Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika masalahnya,

Elsam-Huma, Jakarta, 2002, Hal. 91-95-96. Dikatakan bahwa ajaran positivisme yang bertolak dari paradigma liberalis tidak bersemangat pro populus, melainkan mendegradasikan dirinya menjadi alat atau sarana yang berperilakuteknis prosedural formal semata.

3 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa

(4)

5

mengalami alienasi dari kebutuhan masyarakat . Inilah juga yang menurut penulis bentuk arogansi dari hukum yang berparadigma legisme. Dalam perspektif Legisme, maka muncul reduksi ontologis, sehingga realitas hukum dianggap bersifat mekanistik dan deterministik.

Dalam fenomena sosial, jelas ada diskrepansi /tension antara konsep hukum dan peraturan. Hukum tidak semata-mata untuk menegakkan peraturan dalam arti status quo perundang-undangan, tetapi juga memiliki visi untuk menciptakan tatanan hubungan harmonis dalam suatu relasi sosial berkeadilan. Ini berbeda dengan konsep peraturan yang lebih menitikberatkan pada suatu penegakan aturan, dan tanpa melihat dampak dari pengenaan aturan tersebut, apakah berkeadilan atau justru tidak sama sekali. Ini berarti konsep peraturan lebih ditujukan pada supremacy of law yang bertumpu pada central behavior control by law yang bebas nilai/ value free.

Dalam konstelasi positivsime hukum, maka hukum melayani dirinya sendiri dengan semata menekankan pada aspek formal dan bukan pada hakekat hukum yakni keadilan dan kemanusiaan. Kekakuan, dogmatisme dan keterpisahan hukum dari moral, bisa mengakibatkan hukum terdegradasi dari perannya menjadi mesin yang tidak bernurani. Hukum kehilangan esensinya sebagai penjaga dan pembela kemanusiaan. Sebut saja antara lain kasus yang dialami Mpok Minah pencuri 3 biji kakao dan kasus Lanjar, sebagai contoh penerapan cara logika linier dalam hukum karena hukum tidak mengenal perkecualian. Kasus besar yang menggurita seperti kasus Gayus Tambunan yang melibatkan penegak hukum, membuka mata kita bahwa pendekatan formal terhadap hukum tidak mencukupi karena bisa menjadi alat legitimasi kepentingan penguasa belaka, dan meruntuhkan argumentasi bahwa hukum itu dengan sendirinya baik. Hukum yang artificial buatan manusia atau penguasa ini dalam pemikiran positivisme dianggap sebagai harus ditaati karena sebatas aspek pemenuhan keberlakuan juridis. Kritik terhadap positivisme ini sendiri semakin bergulir manakala muncul suara bahwa muncul praktek jual beli pasal di DPR.

(5)

6

hukum yang lebih adil. Untuk itu, menjawab persoalan hukum di Indonesia, maka perlu dielaborasi pemikiran sang guru kita yakni O.Notohamidjojo yang dirasa mampu membangun gagasan guna ” Searching for the truth about law”.

Gagasan The Truth About Law Melalui O.Notohamidjojo

Sebelumnya, perlu dikemukakan apa itu hukum menurut O.Notohamidjojo. Hukum ialah komplex peraturan yg tertulis dan tidak tertulis yg bersifat memaksa bagi kelakukan manusia dalam masyarakat, yg berlaku dalam berjenis lingkungan hidup dan masyarakat-negara (antar negara) yang mengarah kepada keadilan , demi tata serta damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat.4 Hukum kecuali sebagai gagasan tata dan gagasan pengaturan, juga memiliki unsur yang lebih esensiil yakni Keadilan. Hukum itu bersandar dan berjiwa keadilan. Adagiumnya adalah “bukan hukum untuk hukum, tetapi hukum melayani keadilan, tata,dan damai. 5 Keadilan sendiri adalah suatu konsep yang dinamis, senantiasa berubah.

Tujuan hukum untuk mendatangkan tata dan damai dalam masyarakat merupakan segi regular sebagai tujuan hukum yang lahiriah. Tujuan hukum lebih mantap apabila tidak hanya tercantum segi regular ini, namun juga segi keadilan, justitia. Dari segi regular ke segi justitia makin didalami esensia tujuan hukum . Tegas dinyatakan oleh O.Notohamidjojo bahwa tujuan hukum yang paling dalam dan paling esensiil ialah menjaga supaya manusia diperlakukan sebagai manusia…Memanusiakan manusia dalam segala hakekat dan relasinya merupakan tujuan yang terakhir dan yang paling mulia bagi hukum 6

4 O.Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hal.

68. Keadilan menurut O.Notohamidjojo adalah suatu kebajikan untuk “suum cuique tri buere (memberikan kepada masing-masing bagiannya).

5 Ibid, hal. 72.

6 Ibid, hal.89-90. Manusia menurut O.Notohamidjojo pada satu pihak mewujudkan objek,dan

(6)

7

Pemikiran O.Notohamidjojo sejalan dengan pemikiran Gadamer pada era tahun 60-an yang mengatakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan

bermasyarakat. 7 Dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan. Terbentuknya teks yuridis terjadi dalam kerangka cakrawala pandang pembentuk hukum berkenaan dengan kenyataan hukum yang dianut/ hidup dalam masyarakat.

Ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaft ) menurut Gadamer dengan sangat jelas memahami dirinya dari analoginya dengan ilmu pengetahuan alam yang gema idealistiknya terletak dalam ide tentang ‘Geist’ jiwa.. Ilmu kemanusiaan ini memiliki pengaruh bagi filsafat.8 Ilmu-ilmu kemanusiaan mesti dipahami sebagai advokat atau pembela kemanusiaan yang sejati. 9Ilmu hukum sebagaimana dikemukakan di atas merupakan ilmu humaniora, dan dengan sendirinya mengemban tugas sebagaimana ilmu-ilmu kemanusiaan .

Titik berat O.Notohamidjojo pada manusia karena O.Notohamidjojo beranggapan bahwa apapun kajian seperti tujuan pendidikan, hukum, politik, dan sebagainya

C.A.Van Peursen tentang hubungan aku-engkau , Van Peursen , C.A. Orientasi Di Alam Filsafat, terj. dari Filosofische Orientatie, Gramedia, Jakarta, 1988, hal. 220-225.

7 .Lihat dalam B.Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu

Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008, hal. 122.

8 Hans –Georg Gadamer, Truth and Method , terj.Kebenaran dan Metode :Pengantar Filsafat

Hermeneutika oleh Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, Hal. 3.O.Notohamidjojo alam Demi keadilan dan kemanusiaan, Op.cit, hal. 46 Realwissenscaften dibagi dalam ilmu alam (naturur wetenschappens) dan ilmu rohaniah (Geesteswetenschappen). Ilmu hukum bersama dengan theologia, logica, termasuk dalam lingkaran Geesteswetenschappen atau ilmu rohaniah .Ilmu tentang hukum positif tergolong dalam praktische wetenschappen.Practische wetenschappen masih dapat dibagi dalam cultuurwetenschappen yang objeknya adalah perbuatan manusia.

9 Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik, Dari Plato sampai Gadamer, terj, ArRuzz, Jogjakarta,

(7)

8

ditentukan oleh pandangan seseorang tentang manusia. Pandangan seseorang tentang manusia mendasari segala sikap dan tingkah lakunya. Pandangan manusia /antropologi itu motif dasar yang menentukan ideologi dan perbuatan politik, cita-cita dan tindakan sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dan menentukan pula semua kerja kita di perguruan tinggi di bidang ilmu, pendidikan, pembinaan dan pelayanan.10 Jadi, kearifan manusia dalam memperlakukan hukum merupakan entry point penting.

O.Notohamidjojo ingin mengutuhkan kembali hukum dengan mendekatkan pada hukum alam, menyatukan kembali hukum dengan lingkungan, alam, dan orde kehidupan yang lebih besar. Menghilangkan pemisahan antara hukum dan kehidupan manusia berarti mengembalikan hukum ke dalam habitusnya. Dalam penggembalaan hukum, ini bisa dilakukan apabila putusan hukum senantiasa melihat keutuhan dengan kehidupan manusia.

Hukum yang dicanangkan O.Notohamidjojo berpikir holistik, intuitif, alternatif, dan empatis. Pergumulan yang ada berkiblat pada The searching for the truth”, yaitu “the truth about law”. Pencerdasan hukum sebagaimana refleksi O.Notohamidjojo merupakan suatu pendobrakan terhadap perspektif hukum selama ini yang hanya terkungkung dalam pembelajaran statis yang hanya bermisi untuk kelanggengan hukum sendiri tanpa melihat dampak dan tujuan hukum yang lebih mulia, yakni hati nurani hukum untuk membawa manusia pada rancangan damai sejahtera.

. Peran penggembala hukum menjadi penting untuk mewujudkan tujuan hukum. Empat norma -norma penting dalam menggembalakan hukum dikemukakan oleh O.Notohadmidjojo, ada 4 yakni :11

1.Kemanusiaan : menuntut manusia diperlakukan sebagai manusia.

10 O.Notohamidjojo, Pidato Dies Natalis ke-9 UKSW, 1965, Quid est homo? Dalam kreatifitas

yang bertanggung jawab : kumpulan pidato dan Karangan, Lembaga Penelitian Ilmu-Ilmu social , Universitas –IKIP Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1973. Pemikiran ini sangat lekat dengan empat konsep humanistic Gadamer, yakni : Bildung, sensus comunis, pertimbangan, dan selera. Lihat Gadamer, Op.cit, hal.10-48

11 O.Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat, 1975,

(8)

9

2.Keadilan : Keadilan adalah kehendak ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yg menjadi haknya (ulpianus).

3.Kepatutan /Equity adalah hal wajib dipelihara dalam pemberlakuan UU dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya, guna pergaulan hidup manusia.

4.kejujuran :Yurist memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan curang dalam mengurus perkara.

Kedekatan konsep hukum dari O.Notohamidjojo dengan hukum kodrat terletak kepeduliannya pada “meta-juridical.” Konsep ini mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar pada hakekat hukum terdalam yakni demi keadilan dan kemanusiaan.

O.Notohamidjojo menempatkan kehadiran hukum dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat.. Habitus hukum yang berpusat pada manusia menjadikan konsep hukum yang dibangun beliau menjalin keselarasan antara rules dan values in social life. Pandangan ini bukanlah berarti mengikis rule of law yang berkepastian

hukum, namun lebih berorientasikan pada menempatkan rule of law pada tujuannya yaitu yang lebih berkeadilan dan memuaskan kebutuhan sosial yang sesungguhnya.

Kedudukan manusia dalam hukum termasuk norma-norma bagi penggembala hukum merupakan suatu ranah Juristische ethik. Cara pandang o.Notohamidjojo terhadap penggembalaan hukum adalah bagaimana supaya penggembala hukum melakukan suatu dialektika keseluruhan. Makna pemikiran O.Notohamidjojo dikaitkan dengan aplikasi etika, maka ini relevan untuk mengarahkan cara berhukum pada pencarian, pencerahan dan pembentukan tingkah laku ke aras pencarian makna pembaruan. Artinya, institusi hukum tidak menjadi sesuatu yang dogmatis dan tertutup kepada pencerahan demi harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri. Singkatnya, cara berhukum akan lebih memiliki karakter yang “openmindednes” yang memungkinkan karakter manusia menjalankan dialog dengan dunia, sesama dan Tuhan dalam penjiwaan hukum itu.

Mengenai Hati nurani ini bahkan dinyatakan oleh O.Notohamidjojo sebagai salah satu ukuran untuk taat atau melawan hukum positif. 12 Tegas disampaikan oleh

(9)

10

O.Notohamidjojo yang terilhami oleh Paul Scholten bahwa Keadilan harus dicari dalam hukum. Hukum itu tergantung pada sebuah keputusan budi nurani. Inilah karakter humanis yang berpedoman bahwa pemberlakukan hukum memerlukan suatu kesadaran diri dan hati nurani manusia.

Bagaimanakah lalu aplikasi dari sebuah keputusan hati nurani untuk memanusiakan manusia dalam hukum? lalu Para penggembala hukum menurut O.Notohamidjojo dituntut untuk menunaikan tanggung jawabnya sebagai jurist dalam lima asas yakni :13

1.Melakukan justitialisasi (mengadilkan) hukum.Keputusan jurist yang dalam prakteknya memperhitungkan kemanfaatan (doelmatigheid) perlu diadilkan, dan dijustitiakan. 2.Penjiwaan hukum atau merohanikan hukum. Pejabat hukum harus taat dan kasih

akan Allah sebagai sumber segala nomos.Berhukum tidak boleh morosot menjadi suatu adat yang hampa tiada berjiwa.

3.Pengintegrasian hukum . Keputusan hukum tidak hanya perlu diadilkan, dan dijiwakan melainkan juga perlu diintegrasikan dalam system hukum yang sedang berkembang oleh perundang-undangan, peradilan dan kebiasaan.

4.Totalisasi Hukum . Menempatkan hukum dalam keseluruhan kenyataan. Jurist melihat ke bawah segi hukum, kenyataan ekonomi dan social, di atasnya ia melihat segi moral dan religi yang menuntut nilai kebaikan dan kesucian.

5.Personalisasi hukum. Mengkhususkan keputusan pada persona (kepribadian) daripada pihak-pihak yang mencari keadilan dalam proses. Tanggung jawab jurist memuncak sebagai pelindung dari manusia pencari keadilan yang memiliki “dignity of man”.

Dengan demikian, dalam perspektif sekarang ini, merefleksi pemikiran O.Notohamidjojo akan memberikan sumbangan bagi reformasi akan arogansi hukum selama ini, yang jauh dari keadilan substansiil masyarakat. O. Notohamidjojo berpendapat bahwa keadilan itu merupakan suatu kebajikan yaitu kebajikan untuk suum cuique tribuere (memberikan kepada masing-masing haknya). Adagium yang ada adalah : bukan hukum untuk hukum, tetapi hukum melayani keadilan, tata dan damai. Hukum itu harus terbuka dan dibimbing oleh ethika , yang berkomunikasi dengan religi.

13 Ibid,hal. 64-66.Lihat pula O.Notohamidjojo dalam Makna Negara Hukum, BPK Gunung Mulia,

(10)

11

Paul Scholten mengemukakan bahwa ilmu tentang hukum adalah juga ilmu tentang peristiwa sejarah (perundang-undangan) dan tentang hubungan kemasyarakatan.... ”Kemurnian” ilmu hukum selalu mengandung sesuatu yang tidak murni dari bahannya. Jika hal ini tidak dilakukan, maka ia akan menjadi “makhluk tanpa darah” (bloodless phantom).14

Berangkat dari seorang sufi hukum O.Notohamidjojo, secara jelas tergambar bahwa beliau bukanlah seorang penganut positivisis/legisme yang menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis dari hukum. Hukum dikonsepsi sebagai asas moral metayuridis tentang hakikat keadilan. Keadilan tidaklah begitu saja ditemukan dalam perundang-undangan, melainkan harus diperjuangkan Pembuat hukum tidaklah menemukan hukum , melainkan membuat tersurat nilai dan ideal yang hidup di alam bawah sadar masyarakat.

Kesimpulan : Cara Berhukum Humanis Bagi Perkembangan Hukum

Refleksi pemikiran O.Notohamidjojo dalam konteks kekinian mengajarkan keprihatinan bahwa Hukum Modern dalam pandangan legisme memaparkan hukum yang ekslusive bahkan terlepas dari masyarakat yang ingin dilindungnya. Hukum bergerak hanya untuk kepentingan hukum sendiri, bukan hanya untuk manusia. Padahal, tujuan essensiil hukum adalah memanusiakan manusia.

Dengan demikian merefleksi pemikiran O.Notohamidjojo pemaknaan atau interpretasi hukum adalah menjadi suatu konsep penting dalam penggembalaan hukum. Penggalian nilai-nilai humanism adalah abstrak. Nilai-nilai tersebut hanya bisa dipahami dalam pemaknaan yang dimiliki oleh penggembala hukum sebagai interpretator yang subyektif sifatnya dan sebagai hasil pengolahan akal dan budi dari manusia penggembala hukum sebagai interpretator itu sendiri. Pemaknaan cara

(11)

12

berhukum humanis dengan demikian membutuhkan merupakan hasil oleh akal dan budi atau hasil aktivitas mental dari penggembala hukum.15

Manusia penggembala hukum perlu memiliki pemikiran yang melampaui pemikiran diskursif. Pemikiran diskursif yang jejaknya ditemukan pada Descartes dan Comte memiliki kelemahan, karena implementasi pemikiran ini menimbulkan krisis kemanusiaan.

Pembelajaran hukum oleh O.Notohamidjojo mengajarkan bahwa hukum timbul dari rasa wajib yang tertanam dalam jiwa manusia, yakni dalam akal budi dan budi nurani manusia, sehingga penghormatan martabat dan kodrat manusia memperolah perhatian utama. Inipun berarti juga menuntut kehidupan harmonis antar manusia dalam masyarakat dengan menghormati nilai nilai luhur yang hidup masyarakat.

Apabila dikontekstualisasikan pemikiran O.Notohamidjojo dalam kehiupan hukum sekarang ini dapat dikemukakan dalam beberapa hal :

Pertama, jelas bahwa O.Notohamidjojo mengajarkan bahwa pembelajaran hukum janganlah membelenggu pada suatu pemikiran yang stagnan dan kering, karena hukum akan selalu bekerja dalam konteksnya, yaitu masyarakat, manusia. Hukum senantiasa tidak pernah berhenti mengalami proses pemaknaan. Penggembala hukum dapat berusaha mencapai realisasi diri yang mengarah pada kepenuhan kesempurnaan sebagai refleksi atas keterkaitan hukum dan moral, sebagaimana ”Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Pemikiran O.Notohamidjojo terbuka akan dimensi religius dengan menjadikan paradigma hati nurani sebagai pedoman dalam cara berhukum humanis. Melalui pemikiran O.Notohamidjojo dalam kekinian, maka akan memberikan kontribusi bagi pembangunan kultur hukum bagi penggembalaan hukum yang berpatokan pada ciri hidup religius manusia seperti kesatuan dengan Tuhan dan sesama. Demikianlah pula seorang juris haruslah memiliki kecerdasan spiritual untuk memanusiakan manusia.

15

(12)

13

Kedua, pembelajaran hukum dari O.Notohamidjojo memproyeksikan dengan tepat bahwa hukum tidaklah hanya dikaji dari aspek formanya atau proseduralnya, melainkan pada sisi substansiil hukum atau material dari hukum yakni bahwa hukum itu harus adil. Hukum pada hakekatnya harus memiliki watak untuk mengetahui , dan menemukan ideal dalam realitas. Pemikiran ini menjadikan hukum tidak hanya memiliki pemenuhan aspek formal procedural atau legitimasi juridis,tetapi juga harus memiliki Substansi keadilan (legitimasi moral), dan penerimaan publik (legitimasi sosiologis).

Ketiga, Ilmu hukum harus dituntut untuk mencapai kematangan dan menjadi sebenar-benar ilmu untuk lebih melihat realitas hukum dalam “The totally of life” melalui suatu pendekatan’ humanis ’ terhadap hukum . Oleh karena itu,wajah hukum memiliki wajah ‘manusia’ /human face. Menilik kearifan ini, maka hukum akan tetap diarahkan pada aspek human virtue. Sebagaimana dikatakan Scholten bahwa orang tidak hanya berbicara mengenai penerapan hukum (rechtstoepassing) yang mekanistis melainkan penemuan hukum (rechtsvinding) yang lebih kreatif. Hukum itu terus menerus digarap dan ditetapkan oleh keseluruhan konteks sosial.

Keempat, perlunya rekonstruksi atas tafsir monopolisitik negara melalui perundang-undangan ataupun melalui tangan otoritas penegak hukum. Oleh karena hal ini merupakan suatu proses sentralisme hukum, yang kurang terjalin dengan relasi sosial dan tidak mampu menjawab kebutuhan akan keadilan yang sesungguhnya dalam masyarakat. Cara berhukum humanis ala O.Notohamidjojo mencanangkan perlunya karakter emansipatif dalam penggembalaan hukum. Keterlibatan masyarakat atau para pihak memiliki daya pengikat kuat dibanding penerapan hukum negara. Untuk itu perlu suatu rekonstruksi terhadap rule centered paradigm yang berbasis pada paradigma legisme positivistis, menuju suatu konsep transformatif yang berbasis humanis dan mendorong proses pemajuan hak-hak masyarakat yang lebih substansial.

(13)

14

sosial untuk keadilan dan kemanusiaan. Pemikiran ini membuka tabir ideologi tertutup dan menjernihkan pertimbangan hukum para penggembala hukum dalam pemaknaan cara berhukumnya. Paradigma ini melahirkan pandangan yang melahirkan konsepsi dialogis emansipatoris dalam cara berpikir yang humanisme dan melakukan ‘pemahaman atau verstehen ‘terhadap manusia dalam berhukum humanis itu sendiri.

Dalam situasi kekinian mengenai cara berhukum, maka refleksi atas pemikiran O.Notohamidjojo mengukuhkan ide untuk membangun dan membentuk norma hukum dengan mengakomodasi etika social dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang ada. O.Notohamidjojo dengan tepat menggambarkan bahwa hukum pada hakekatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Hukum mewujudkan diri sebagai proses–proses sosial pengaturan atau pengkaidahan cara berperilaku. Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan, kedamaian serta keadilan yang dapat dirumuskan sebagai pengabdian untuk pengayoman manusia. Ini berarti hukum menyatakan diri untuk memperadabkan masyarakat.

Penutup

Refleksi akan pemikiran O.Notohamidjojo memberikan kontribusi positif sebagai modal bagi karakter pembangunan hukum yang berorientasikan pada pendekatan yang berorientasi nilai (value oriented approach) yakni penggalian nilai keadilan dan kemanusiaan.

(14)

15

Reformasi hukum dengan berbasis pada pendekatan nilai, akan menjadi jiwa pada kultur hukum yang mendasari reformasi hukum pada komponen struktur maupun substansi hukum. Peran ilmu dalam membangun dunia hukum menjadi penting, karena mencetak para penggembala hukum .

DAFTAR PUSTAKA

Gadamer, Hans–Georg,Truth and Method, terj.Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika oleh Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004 Grondin, Jean, Sejarah Hermeneutik, Dari Plato sampai Gadamer, terj, ArRuzz,

Yogjakarta, 2007

Leyh, Gregory, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktik, terj. Legal Hermeneutics, terj.M.Khosim, Nusa Media, Bandung, 2008.

Notohamidjojo, O.,Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975 Notohamidjojo, O., Makna Negara Hukum, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1970.

Notohamidjojo, O., Pidato Dies Natalis ke-9 UKSW, 1965, Quid est homo? Dalam kreatifitas yang bertanggung jawab : kumpulan pidato dan Karangan, Lembaga Penelitian Ilmu-Ilmu social , Universitas –IKIP Kristen Satya Wacana , Salatiga, 1973.

Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2005

Sidharta, B.Arief , Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008.

Referensi

Dokumen terkait

lapangan digunakan untuk menggali data tentang proses pembelajaran Matematika, respon peserta didik, keadaan peserta didik dan peneliti. Analisis data yang digunakan

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang

1) Cepat dan langsung, yaitu sarana tercepat lebih cepat dari koran ataupun TV, dalam penyampaian informasi kepada publik tanpa melalui proses yang rumit dan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi peningkatan mutu pendidikan agama Islam yang dapat diimplementasikan di Sekolah Dasar Alam Ar Rohmah

Untuk memberikan wawasan terutama kepada pasangan suami istri serta lembaga-lembaga yang berkaitan dengan perkawinan tentang kepuasan perkawinan serta faktor-faktor

Seorang manajer senior atau direktur bertanggung jawab untuk menjalankan rumah sakit dan mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pendidikan dan pengalaman senior

Berdasarkan Surat Penetapan Pelaksana Pengadaan Langsung Nomor Nomor : 050/10 PnL-45/10/A.E.P027/409.108/2016, tanggal 24 November 2016, untuk Pekerjaan Pembangunan

This experimental research by using design of random pre test post test group design. Sampling