• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) T2 092010005 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gerakan Sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat) T2 092010005 BAB I"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

GERAKAN SOSIAL PERKUMPULAN PAPUA PUSAKA BANGSA

(Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Papua (UNIPA) (dalam Blog Anak Kampung Kluang-Lembata), ia menulis dalam Blognya bahwa, lingkaran kekerasan di Tanah Papua mencerminkan kompleksitas persoalan yang serius di daerah Timur Indonesia ini. Tragedi kekerasan hadir silih berganti ditambah dengan resistensi perjuangan status sejarah politik Papua, macetnya jargon “pemberdayaan masyarakat Papua dari pemerintah, dan saling tipu akibat “gula-gula” otonomi khusus dan semakin terpinggirkannya masyarakat Papua ditengah interkoneksi kuasa kapital global yang mencengkram bumi Cenderawasih.

Dalam rezim pembangunan sentralistik Orde Baru hingga saat ini, gerakan sosial diseluruh Indonesia dan di Tanah Papua dianggap komunis atau separatis, gerakan sosial yang berarti rakyat yang sadar dan bergerak menyuarakan aspirasinya menjadi ancaman serius bagi negara. Dengan cerdas negara merendahkan makna rakyat yang bergerak dengan kesadaran perlawanan menjadi masa yang berarti bisa dikendalikan oleh kekuasaan negara1.

1

Sumber: fb Ngurah Suryawan (10 April 2012) Antroplogi Gerakan Sosial Bangsa Papua: sebuah pemikiran oleh I Ngurah Suryawan dosen Fakultas sastra Universitas Negeri Papua

(2)

2

Dominasi negara atas masyarakat adalah ciri utama Orde Baru, pengawasan negara atas masyarakat berjalan secara ekstensif. Campur tangan pemerintah ada diseluruh wilayah kehidupan sehari-hari. Birokrasi pemerintah daerah maupun birokrasi militer era Orde Baru mengontrol masyarakat dengan berbagai cara dominasi sulit berkembang. Secara Jelas dapat kita perhatikan bahwa ruang publik bagi masyarakat Papua Barat untuk mengembangkan diskursus-diskursus, gerakan-gerakan sosial lainnya yang diperlukan dalam masyarakat demokratis nyaris tidak tersedia karena yang selalu ada adalah kontrol dan tekanan atau dominasi negara terhadap masyarakat terlalu kuat. Gerakan atau aksi sosial masyarakat Papua Barat oleh negara dianggap sebagai gerakan separatis dan harus diwaspadai dengan penanganan yang cepat. Awalnya masyarakat Papua Barat tidak mengenal kata separatis. Gerakan pengacau keamanan (GPK), ungkapan stigma yang diberikan negara terhadap masyarakat Papua Barat.

(3)

3

bahwa “tiga K” merupakan akar dari gejolak sosial atau gerakan-gerakan sosial yang muncul di Tanah Papua Barat.2

Akibat dari “tiga K” yang diulangi terus menerus adalah muncullah rasa superior dalam diri orang luar. Akhirnya mereka memandang rendah terhadap orang asli Papua Barat. Mereka menganggap bahwa yang bisa hanya, yang mampu, kaya, pintar hanya mereka, maju, dan modern. Masyarakat Papua Barat sendiri melihat dirinya dengan memakai kacamata orang luar, tidak melihat sesuatu hal dalam dirinya yang positif agar bisa keluar dari dominasi tersebut. Dengan demikian muncullah sebuah gerakan-gerakan masyarakat ditunggangi kelompok-kelompok kritis dan intelektual Papua Barat untuk menuntut keadilan kepada pemerintah pusat. Mengapa harus intelektual? mungkin karena politik dan wakil rakyat Papua yang seharusnya menjerit penderitaan itu ternyata bungkam, maka kaum intelektual menjerit anti diskriminasi terhadap pembangunan disegala bidang.

Seperti kata Vaclav Havel3 intelektual adalah mereka yang membaktikan diri hidup untuk berpikir demi kepentingan umum dan melihat persoalan masyarakat dan konteksnya yang lebih luas. Intelektual itu tidak hanya kaum yang menggunakan pikiran secara luas, tetapi juga berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan yang

2

Dumma Scrates Sofyan (2010) kita meminum air dari sumur kita sendiri( Kata pengantar, Neles Tebai)

3

(4)

4

universal. Tipe intelektual seperti ini kita lihat dengan jelas pada Piere Bourdieu.4

Bagi Bourdieu intelektual menanggung kepentingan universal, yakni mempertahankan kebenaran dan keperpihakan pada yang tertindas karena:

1. Intelektual merupakan fraksi subordinat, terdominasi dari kelas dominan (dominate fraction of dominant class) dengan demikian intelektual mempunyai solidaritas dengan kelas lain yang terdominasi terutama dominasi yang dilakukan dalam kerangka kepentingan ekonomi

2. Intelektual secara tradisional mempunyai tanggungjawab moral. 3. Intelektual mempunyai otoritas untuk melakukan refleksi atas

realitas yang dihadapi.

yang paling utama bagi intelektual, menurut Bourdieu adalah mempertahankan otonomi sebagai intelektual yakni mereka sebagai intelektual dalam berkarya dan menyuarakan kepentingan kelompok yang terpinggirkan oleh kuasa ekonomi dan politik, Mutahir, (2011: 9). Setelah bergulirnya era reformasi di Indonesia membuka pintu bagi timbulnya para intelektual dengan berbagai pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa Indonesia. Gelombang euforia politik menuntut terbukanya ruang publik, yang muncul kemudian terbukannya ruang publik yang memang diperuntukkan bagi masyarakat (civil society).

4

(5)

5

Dalam kontek Indonesia demokrasi ruang publik tercipta hanya untuk ruang publik elit yang bisa mengontrol ruang-ruang publik masyarakat, dengan kata lain liberisasi muncul untuk digunakan sekedar mewadahi nafsu atau keinginan elit. Orde Baru memang sudah usai, dominasi atas masyarakat sudah runtuh, tetapi kebebasan yang ada hanya menjadi ruang pertarungan antar elit politik daerah, elit politik pusat, dan elit politik internasional, untuk meraih dominasi politik ekonomi dan lagi-lagi masyarakatlah yang menjadi korban penindasan.

Dalam konteks Papua setelah reformasi, pemerintah RI perlu memberikan otonomi khusus. Apabila semua pihak mendukung pelaksanaan otonomi khusus ini yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bangsa Papua Barat untuk menentukan isi otonomi khusus. Namun perlu diketahui juga bahwa kehadiran otonomi khusus bukan hanya diberikan begitu saja. Upaya pergerakan para intelek Papua Barat dan tokoh-tokoh masyarakat Papua Barat yang membawa aspirasi masyarakat Papua untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada presiden RI waktu itu B.J. Habibie, setelah Suharto lengser dari kekuasaan.

(6)

6

ada yang sesuai dengan teori, ada juga yang tidak. perbedaan itu disebabkan latarbelakang dan kepentingan antara penguasa dan bangsa/wilayah yang diberi otonomi dan realitas sosial, politik, budaya, ekonomi masyarakat. Politik otonomisasi di Papua Barat punya kaitan langsung dengan retorika dan kebijakan politik global. (Karoba, dkk, 2001).

Dalam era demokrasi di Indonesia menurut penulis ada dua gerakan sosial, yakni gerakan kelas dan gerakan kelompok etnik misalnya gerakan buruh untuk kenaikan upah seperti yang terjadi di PT Freeport Indonesia, dan di wilayah Indonesia lainnya, dan kelas miskin lawan kelas yang kaya, dan yang mendukung gerakan ini hanya mereka yang mendapatkan keuntungan ekonomi, dan muncullah gerakan-gerakan sosial lainnya untuk menuntut keadilan terhadap negara.

(7)

7

Jurgen Habermas memilah ruang publik menjadi dua, ruang publik bagi kalangan borjuis (kalangan berduit) dan ruang publik kalangan bersahaja (tak berduit) jadi kaum tak berduit adalah satu bentuk fenomena sosial masyarakat yang menunjukan bahwa dominasi kaum berduit atau kelas menengah jauh lebih kuat menjadi dasar pertimbangan pengambilan kebijakan ketimbang kaum kelas bawah. Hardiman, (2010)5 Melihat perkembangan pembangunan dan masyarakat orang asli Papua Barat kian tersudutkan dari kesejahteraan, kepemenuhan kebutuhan dasar. Papua dieksploitasi kekayaan alamnya dan telah menghasilkan keuntungan tak terhitung bagi perusahaan-perusahaan nasional dan internasional. Kontribusi bagi pembangunan negara diberikan, tetapi tidak sedikit rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian hidup di Tanah sendiri. Penderitaan kian semakin berat, sehingga muncullah gerakan sosial ditunggangi kelompok-kelompok kritis dan berintelektual. Hal seperti inilah yang dipraktekkan Pierre Bourdieu. Bourdieu bukanlah seorang intelektual yang hanya berbicara dan mengajar saja tetapi seorang intelektual yang terlibat pada perjuangan kelompok termarjinalisasikan. ( Basis, 2003).6

Bourdieu memberi contoh pada kita bagaimana seorang intelektual harus bersikap, ia tidak semata-mata memihak yang lemah, tetapi juga memihak demi alasan yang lebih luas, yakni kesejahteraan

5Hardiman Budi, 2010. Jurgen Habermas, tentang Etika Politik, makalah w klap

2010, BU, UKSW. 6

(8)

8

bangsa, nasional bahkan internasional. Demikian juga yang terjadi kaum intelektual kita, jika kita anti diskriminasi pembangunan, anti korupsi, anti ketidakadilan maka sikap kita mengambil bukan karena romantisme perjuangan dan pemihakan yang kadang-kadang sloganisasi atau aksionisme (action)) belaka, tetapi dengan sikap intelektual kita secara objektif bisa menunjukkan, bangsa kita membutuhkan orang-orang cerdas untuk menjadi tombak untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di Tanah Papua.

Dibalik diskriminasi pembangunan, sistem pemerintahan yang carutmarut, pengiriman transmigrasi terus menerus terjadi, menggadaikan Tanah Papua melalui Program Merauke Integrated Food and Energi Estate, PT Freepot Indonesia di Timika, bangkitnya individualisme karena adanya otonomisasi, masyarakat kita di Papua Barat bisa ambruk justru karena kita memusuhi yang lemah dan kita memihak kepada yang kuat. Sesungguhnya ini menyimpan kejadian, bahwa masyarakat kita berada dalam sistem sosial yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Artinya bahwa neoliberalisme sungguh-sungguh telah menjadi kenyataan di Tanah Papua bila hal itu terjadi, bakal tamatlah riwayat bangsa Papua Barat yang hendak membangun diri atas dasar peri kemanusiaan dan keadilan sosial ini (Kompas 28 Mei 2011)7.

Dilihat dari sudut pandang ‘wacana politik ruang’ seperti yang digambarkan oleh Habermas, bahwa dipilah ruang publik menjadi dua

(9)

9

yaitu ruang publik bagi kalangan borjuis (kalangan berduit) dan ruang publik untuk kalangan bersahaja (tak berduit). Gagalnya berbagai aksi atau gerakan sosial di Tanah Papua Barat menuntut pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai kaum bersahaja adalah satu bentuk fenomena sosial daerah yang menunjukan bahwa dominasi kaum berduit atau kelas menengah jauh lebih kuat menjadi dasar pertimbangan pengambilan kebijakan ketimbang kaum bersahaja atau umumnya warga Papua Barat.

Foucault (1984:252) mengatakan bahwa, ruang adalah hal yang paling mendasar dari praktek kekuasaan, atau ruang adalah produk sosial. Sementara itu menurut Levebvre mengatakan bahwa hubungan sosial hadir di dalam dan melalui ruang hubungan sosial ini tidak memiliki realitas di luar ruang dimana mereka dihidupkan, dialami, dan dipraktekkan. Jadi gerakan-gerakan mahasiswa dan masyarakat tentunya sangat ditentukkan oleh situasi masa kini. Bila ia adalah satu produk sosial, maka proses produksinya sedang dimulai sekarang dan apa yang eksis sekarang tak lepas dari proses produksi sosial. (Levebvre (1991:24).

(10)

10

yang kritis dan keprihatinan terhadap perkembangan pembangunan masyarakat di Tanah Papua Barat. Melalui diskusi lepas, dan membangun komunikasi dari jejaring sosial seperti fecebook, twitter, frendster, websaid P3B dan jejaring sosial lainnya untuk membicarakan fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan.

Sedikit sejarah P3B bahwa, P3B dirintis sejak tahun 1999, dan diresmikan pada 1 September tahun 2008, akta notaris Chandra Lim.S.H.LL.M. No 1. Awal terbentuknya Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa berawal dari keprihatinan bapak Harry Widjaja. Pak Harry yang juga adalah salah satu pendiri Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (P3B), dan sekaligus ketua P3B.

Pada tahun 1999 ia berangkat ke Papua Barat pertama kalinya dan ke Nabire melalui Biak, Papua, untuk melihat sekolah berasrama di Nabire, Tahun 2006 dimulailah pendekatan yang lebih terarah untuk mendalami permasalahan yang terjadi di Papua Barat, setelah mengunjungi lebih dari 20 kabupaten di provinsi Papua dan provinsi Papua Barat pada tahun 2008. Kemudian membentuk suatu organisasi dan didirikannya, Lembaga Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa. Fokusnya pada pengintegrasian masyarakat pada pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua Barat.

(11)

11

mengenai peluang-peluang bisnis baik untuk kemanfaatan personil maupun dan keperluan investasi pemerintah daerah Provinsi Papua dan Papua Barat serta pemerintah daerah kabupaten. Sebagai media produktif dalam rangka menambah dan mengembangkan pengetahuan bisnis melalui cara-cara diskusi lepas. Membangun jaringan dan mitra-mitra bisnis Nasional maupun Internasional sekaligus mempelajari bagaimana cara merawat jaringan dengan baik dan produktif.

(12)

12

Barat (provinsi Papua dan provinsi Papua Barat). Penelitian akan berfokus di Jakarta, alasan penelitian lokasi tersebut dikarenakan kantor pusat dan aktivitas P3B di Jakarta, dan aktivitas diskusi. Sedangkan penelitian secara khusus yang dilakukan terhadap kelompok mahasiswa yang berdomisili di beberapa kota studi di Jawa, yang tergabung dalam komunitas gerakan sosial Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa.

1.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan persoalan penelitian sebagai berikut:

Bagaimana Perkumpulan Papua Pusaka Bangsa (P3B) melakukan gerakan sosial dalam rangka mentransformasikan masyarakat asli

Papua Barat” (studi terhadap perkumpulan Papua Pusaka Bangsa di Jakarta). Konsekuensi dari rumusan masalah tersebut telah memunculkan pertanyaan penelitian seperti terurai di bawah ini:

1. Bagaimana latarbelakang dan proses terbentuknya gerakan sosial P3B?

2. Bagaimana strategi gerakan yang dilakukan P3B dalam upayanya membangun pendidikan dan memberdayakan ekonomi masyarakat Papua Barat?

(13)

13 1.2. Tujuan penelitian

1. Menggambarkan dan menganalisis latarbelakang dan proses terbentuknya gerakan sosial P3B

2. Menggambarkan strategi gerakan yang dilakukan P3B dalam upaya membangun pendidikan dan memberdayaan ekonomi masyarakat Papua Barat.

3. Menganalisis pencapaian upaya P3B beserta kondisi-kondisi yang mempengaruhi dalam membangun pendidikan dan memberdayakan ekonomi masyarakat Papua Barat.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Akademisi yaitu dapat memberi, tambahan pengetahuan kepada mereka yang bermaksud mendalami masalah-masalah gerakan-gerakan sosial yang berhubungan dengan pembangunan pendidikan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua

Referensi

Dokumen terkait

dengan hal-hal yang terkait dengan kekhususan dari pemerintahan daerah provinsi papua. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan

Negara Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua agar dapat memberikan kesejahtraan bagi orang asli Papua dan dapat menunjang iklim

Hasil dari penelitian diharapkan dapat membantu memberikan masukan pada Badan pengurus harian Himpunan mahasiswa dan pelajar Papua Barat di Salatiga mengenai Pola konsumsi

Perbedaan motif antara migran perantau dan transmigran bagi orang Papua adalah: migran perantau kurang memberikan peluang terjadi transfer keterampilan atau

Tesis ini akan membahas mengenai kekonsistenan program transmigrasi yang di dibuat oleh pemerintah, serta kebijakan- kebijakan pemerintah daerah terlebih khusus di

Hal yang membedakan syarat pencalonan gubernur dan wakil gubernut di Provinsi Papua dan Papua Barat dengan daerah lain di indonesia adalah adanya syarat harus orang asli

Jadi modal utama untuk za (saya) usaha adalah kemauan, niat yang baik, bekerja keras, dan paling utama adalah ilmu yang za (saya) dapat dari (HW) ketua perkumpulan

dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanki akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang