• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Migran dalam Bingkai Orang Papua T2 092011007 BAB VI"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Enam

M igran dalam Perspektif Orang Papua

Pengantar

Papua merupakan suatu daerah atau tempat dengan tingkat kemajemukan masyarakat yang cukup tinggi. M ereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Tujuan dan kedatangan mereka ke Papua pun dengan motif dan latar belakang yang berbeda-beda, seperti perbedaan suku, agama, tradisi, mata pencaharian maupun pengalaman yang dimiliki. Perbedaan-perbedaan ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Papua, terutama antar orang Papua dan migran. M otif dan tujuan dari berbagai migran ke Papua antara lain untuk perbaikan ekonomi. Dengan tujuan utama tersebut mendorong mereka para migran melakukan sesuatu untuk mendapatkan peluang atau kesem-patan dalam memperlancar tujuan utamanya.

(2)

argumen mengenai relasi orang Papua dengan Bugis M akassar, Jawa dan NTT. Relasi orang Papua dan NTT lebih memberikan peluang orang Papua berkembang dalam jangka panjang. Perbedaan relasi tersebut dibicarakan pada bagian berikut ini.

Relasi Orang Papua dengan M igran Bugis M akassar

Kehidupan sosial antar migran di lingkungan transmigrasi dilalui dengan sebuah relasi yang berbeda antara orang Papua dan migran luar. Orang Papua membangun relasi dengan M igran Bugis M akassar mempunyai intensitas yang berbeda, dan kurang terbuka. Ketidak terbukaan di antara orang Papua dan migran Bugis M akassar dalam kehidupan bermasyarakat bisa dilihat dari orang Papua sebagai pribumi dengan segala tradisinya, dan migran Bugis M akassar dengan berbagai latar belakangnya. Berrelasi dengan migran Bugis M akassar, orang Papua merasa tidak begitu bebas dan penuh pertimbangan. Adanya perasaan ini karena dalam kehidupan bermasyarakat di antara orang Papua dan migran Bugis M akassar masing-masing mempunyai per-bedaan-perbedaan, baik secara fisik, tradisi, suku, maupun kepercaya-an.

Dari berbagai perbedaan ini tentu berpengaruh terhadap relasi yang dijalani. Relasi antar orang Papua dan migran Bugis M akassar merupakan konsekuensi dari migrasi, dan pertemuan itu menyebabkan interaksi sosial. Sya’roni (2008) mengemukakan interaksi sosial tidak secara otomatis berlangsung dengan baik, terutama dalam hal interaksi dengan etnik lain. Pandangan Sya’roni mengingatkan bahwa pada umumnya relasi antar etnik selamanya tidak berjalan dalam situasi yang baik, tetapi akan dilalui dalam prasangka-prasangka, yang meng-hambatnya sebuah relasi. Sebagaimana Horton dan Hunt (1984) mengatakan bahwa, dalam konteks relasi antar etnik ada prasangka yang disebabkan oleh sikap etnosentrisme yang cenderung meng-anggap baik orang-orang dalam kelompok sendiri dan mengmeng-anggap buruk orang-orang di luar kelompoknya.

(3)

etnis pendatang dengan etnis Papua secara komunal tidak kondusif. Sementara Sujito menjelaskan ada dinamika konflik yang semakin berkembang antara penduduk asli Papua dengan pendatang yang dikatakan sebagai konflik budaya yang berbeda. Situasi relasi ini pun terjadi antara orang Papua dan migran Bugis M akassar dalam konteks Papua secara umum maupun di Distrik Nabire Barat secara khusus. Hal itu dibuktikan dengan relasi yang dibangun antara orang Papua dan migran Bugis M akassar di Distrik Nabire hanya dalam jumlah yang sangat minim, atau satu dari sekian orang Papua, dan atau satu dari sekian migran Bugis M akassar yang membuka diri bersama orang Papua dalam kehidupan bersama. Sehingga kasus relasi antar orang Papua dan migran Bugis M akassar ini hampir sama dengan pandangan Varshney (2001) yang membagi hubungan etnisitas dalam civil society menjadi dua bentuk yaitu intraethnic dan interethnic.

Pada aspek intraethnic hubungan dengan komunitas (etnik) lain sangat lemah, bahkan tidak ada sehingga sangat rentan (vulnerable) terhadap adanya konflik antara etnik, komunitas lebih bersifat eksklusif dalam kasus ini. Sementara pada aspek interethnic maka hubungan dan kaitan (engagement) dengan komunitas lain akan terjadi. Lebih lanjut Varshey mengatakan relasi antara etnik dalam jaringan masyarakat (civic networks) ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu yang lebih formal dinamakan kaitan dalam bentuk asosiasi (associational forms of engagement) dan kaitan dalam bentuk kese-harian (everyday forms of engagement). Kedua bentuk perkaitan di atas potensial untuk menciptakan perdamaian, sementara ketiada-annya akan membuka ruang terjadinya kekerasan etnik. Situasi relasi yang terjadi antar orang Papua dan migran Bugis M akassar pada kategori semacam itu kurang memberi manfaat positif bagi orang Papua baik secara individu, maupun kelompok dalam hal menum-buhkan pemahaman, dan minat dagang, usaha, ataupun keterampilan dan pengetahuan lainnya.

(4)

mengedepankan ideologi dalam kehidupannya karena ketaatannya dalam beragama. Ketaatan berhubungan dengan kematangan seseorang dalam beragama, sebagaimana dijelaskan Nashori (1997), bahwa orang yang matang dalam beragama akan selalu mencoba patuh terhadap ajaran agamanya. Namun pada sisi yang lain (Agama) juga menjadi pengikat dan memperkuat relasi di antara mereka, sekaligus mem-permudah akses di antara mereka dalam memperoleh sumber infor-masi, modal dan peluang-peluang ekonomi yang lain. Dengan alasan itulah mereka cenderung lebih memilih membangun relasi di antara migran Bugis M akassar daripada orang Papua, dan sekaligus merupakan modal sosial yang dibangun di antara mereka. F. Tonkiss (2000) mengatakan modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat mem-bantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Kemungkinan dengan modal sosial inilah sebagian besar migran Bugis M akassar terlihat sukses dan menguasai kantong-kantong kegiatan ekonomi di masyarakat, dibandingkan migran lain di Papua. M ereka tetap eksis dalam berusaha atau kegiatan ekonominya dan mempunyai akses terhadap peluang-peluang sumber daya lainnya, karena mereka lebih membangun relasi dengan elit-elit birokrasi atau toko adat dan atau kepala suku. Karena kedua elit ini mempunyai pengaruh terhadap peluang dan sumber daya yang ada, maka relasi yang terjadi bersifat vertikal yang hanya terbuka di atas saja, di sini saya namakan relasi model penutup drum. Relasi penutup drum ini apabila dikatagorikan dalam tataran modal sosial, relasi ini lebih pada relasi modal sosial linking social capital, yaitu ikatan dengan orang-orang yang memiliki otoritas atau status sosial yang lebih tinggi, misalnya ikatan dengan anggota parlemen, polisi, kepala daerah,dsb (Grootaert et al. 2003, Aldridge 2002)

(5)

diharamkan oleh ideologinya. Pandangan ini membatasi migran Bugis M akassar dalam bersosialisasi dengan orang Papua, demnikian pula sebaliknya, orang Papua merasa sungkan dan tidak akrab bersosialisasi dengan migran Bugis M akassar dalam kehidupan bermasyarakat. Situasi ini merupakan bagian dari masyarakat majemuk, serta keter-batasan manusia dalam membangun jaringan sosial. M enurut Boissevain dan M itchnell (1972), jaringan sosial terbentuk dalam masyarakat karena manusia pada dasarnya mempunyai keterbatasan dalam berhubungan dengan manusia lainnya. M ereka cenderung lebih memilih berhubungan dengan orang-orang yang mempunyai persa-maan kepentingan, agama, suku, bangsa, daerah asal, pendidikan, pekerjaan, dan jenis kelamin.

Rabushka dan Shepsle (1972) mengemukakan masyarakat maje-muk didefinisikan melalui tiga buah parameter: (1) keragaman kultur, (2) aliansi etnik, dan (3) terorganisasi secara politik. Kuatnya cara pandang ini membuat migran Bugis M akassar lebih memilih mem-bentuk kehidupan berkelompok dengan sesama etnisnya, dari pada dengan orang Papua atau migran lainnya. M ereka cenderung bereks-pansi lebih luas dalam memonopoli sumber-sumber daya yang ada di sekitarnya. Ekspansi merupakan sebuah kesempatan bagi migran Bugis M akassar untuk melakukan dan mendapatkan sesuatu sekaligus memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya dengan mengerahkan segala kemampuannya. Pola kehidupan ini pun secara tidak sadar akan berpengaruh terhadap relasi antar orang Papua dan migran Bugis M akassar sebagaimana Abdullah (2001) melihat tiga kondisi dasar yang menentukan hubungan antar etnis kurang harmonis.

(6)

privillese dari berbagai agen sosial khususnya pemerintah, dan ketika kesadaran akan batas-batas sosial (social boundaries) mulai muncul. Etnis setempat mulai sadar bahwa wilayah itu merupakan tanah air mereka yang mulai dijajah oleh orang luar. Kedua, pemaksaan politik uniformitas dalam masyarakat plural. Ketiga, melemahnya ikatan-ikatan tradisional dan kredibilitas tokoh akibat campur tangan pemerintah yang terlalu besar. Kohesi sosial kelompok dalam masya-rakat Indonesia telah terganggu akibat berbagai kebijakan yang sentralistis. Tiga alasan ini menjadi penyebab utama ketidak- harmonisan antar orang Papua dan migran Bugis M akassar, ataupun migran lainnya dalam perspektif orang Papua. Namun tiga alasan utama ini pun menjadi gejala umum dalam kehidupan antar orang asli (pribumi) dengan pendatang (migran) di Indonesia.

Kemampuan migran Bugis M akassar unggul hampir di semua aspek kehidupan, namun yang lebih menonjol dan identik dengan migran Bugis M akassar adalah Swasta atau bisnis. Dengan kemampuan bisnis tersebut menempatkan mereka pada posisi-posisi pusat potensi kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus dikendalikan oleh mereka, (Pasar dan tempat jualan sembako misalnya). Di samping itu dalam mempertahankan identitas keyakinannya, migran Bugis M akassar di mana pun mereka berada, dan dalam jumlah yang banyak mereka akan mendirikan tempat ibadah atau masjid dengan konstruksi yang bagus dan berukuran besar, dibandingkan migran muslim lain. Kondisi ini menjadi bagian dari perkembangan keyakinan bagi setiap penganutnya, sebagaimana Subandi (1995) mengungkapkan, bahwa perkembangan kerberagamaan seseorang merupakan proses yang tidak akan pernah selesai.

(7)

diten-tukan oleh tiga corak ruang yang menenditen-tukan karakter dari hubungan antar etnis itu sendiri. Pertama, berbagai etnis Indonesia tersebar dalam wilayahnya sendiri-sendiri dengan batas-batas fisik (physical boundary) yang jelas menyebabkan pendefinisian diri lebih terikat pada daerah asal dan memiliki klaim terhadap asal usulnya sebagai pewaris tradisi dan wilayah. Kedua, berbagai etnis di Indonesia tersebar di berbagai tempat dengan batas-batas fisik yang semakin tidak jelas dan memiliki sejarah masa lalu yang berbeda dengan etnis-etnis yang terlibat dalam interaksi sosial sehari-hari. Ketiga, munculnya wilayah baru (seperti sub urban) yang dibuka di berbagai tempat yang menye-babkan pertemuan antar etnis dalam suatu wilayah yang telah mengalami redefinisi atas status tanah dan wilayah yang bebas dari pemilikan suatu etnis. Dalam situasi semacam ini setiap etnis di-tempatkan dalam posisi yang relatif egaliter.

Saat ini orang Papua dengan kesadaran toleransi dan perasaan kasihnya, membiarkan realitas itu ada, dan menjadi bagian dari kehidupan bersama. Tetapi kondisi ini masih dilihat sebagai sebuah relasi yang mampu dipertahankan atau bertahan di antara perkem-bangan masyarakat yang begitu cepat berubah dan sifat masyarakat yang multicultur. Pada posisi ini dituntut sebuah kesadaran pemaham-an ypemaham-ang baik untuk melihat berbagai perbedapemaham-an itu dalam porsi positif untuk menghindari terjadinya benturan. M enurut Brian Pay (2002) perlu ada pemahaman bagaimana kita menanggapi situasi-situasi di mana nilai-nilai kita tidak cocok dengan nilai-nilai kebudayaan lain sehingga tidak terjadi benturan budaya.

(8)

Semen-tara itu Koetjaraningrat (1986) mengemukakan bahwa faktor politik ideologi dapat menjadi sumber konflik antar penguasa dengan rakyat. Konflik bersumber pada pertentangan ideologi atau agama dan dapat berlangsung keras dengan implikasi yang luas karena mereka yang terlibat masing-masing merasa sebagai pembela kebenaran untuk kepentingan orang banyak.

Orang Papua Pantai mempunyai peluang dan lebih cepat membangun relasi dengan migran Bugis M akassar daripada Papua Gunung. Adanya peluang tersebut karena sebagian besar migran Bugis M akassar hidup dan tinggal di daerah pantai, bertetangga dan sekaligus saling membutuhkan antara Papua pantai dengan migran Bugis M akassar. Selain itu migran Bugis M akassar lebih banyak menggan-tungkan hidupnya di laut, dan menjadikan laut sebagai salah satu sumber kehidupannya. Pola mata pencaharian ini pun sama dengan mayoritas orang Papua yang mendiami wilayah pantai. Dua faktor inilah yang menjadi peluang dan sekaligus juga menjadi ancaman dalam relasi di antara dua komunitas masyarakat ini. Relasi yang dibangun pun didasari atas kepentingan-kepentingan tertentu, untuk dapat melakukan kegiatan dalam mempertahankan dan memperbaiki hidup. Namun demikian kegiatannya berjalan dalam kelompok dan posisi masing-masing sehingga ada pandangan klasik yang dikemuka-kan oleh Furnival (1948) bahwa ada bagian-bagian yang berlainan dalam komunitas hidup yang sebelah menyebelah, tetapi berada di dalam unit politik yang sama. Tiap-tiap kumpulan berpegang kepada agamanya, kebudayaan, dan bahasanya sendiri, bahkan dalam bidang ekonomi pun terdapat pembagian kerja mengikuti garis ras.

(9)

corak ruang yang menentukan karakter dari hubungan antar etnis itu sendiri. Pertama, berbagai etnis Indonesia tersebar dalam wilayahnya sendiri-sendiri dengan batas-batas fisik (physical boundary) yang jelas sehingga menyebabkan pendefinisian diri lebih terikat pada daerah asal dan memiliki klaim terhadap asal usulnya sebagai pewaris tradisi dan wilayah. Kedua, berbagai etnis di Indonesia tersebar di berbagai tempat dengan batas-batas fisik yang semakin tidak jelas dan memiliki sejarah masa lalu yang berbeda dengan etnis-etnis yang terlibat dalam interaksi sosial sehari-hari. Ketiga, munculnya wilayah baru (seperti sub urban) yang dibuka di berbagai tempat yang menyebabkan pertemuan antar etnis dalam suatu wilayah yang telah mengalami redefinisi atas status tanah dan wilayah yang bebas dari pemilikan suatu etnis. Dalam situasi semacam ini setiap etnis ditempatkan dalam posisi yang relatif egalite.

Sementara relasi antar Papua Gunung dan migran Bugis M akassar hampir tidak terjadi, karena terjadinya relasi yang dekat biasanya didukung oleh beberapa pertimbangan, terutama tempat tinggal yang saling berdekatan. Pada bagian utama ini hampir tidak terlihat, karena mayoritas Papua Gunung tentu memilih mendiami tempat yang jauh dari pantai. Hal ini dilakukan karena pada umumnya bermata penca-harian bercocok tanam dan menjadikan lahan dan hutan menjadi sumber utama kehidupannya. Pola pemukiman dan matapencaharian ini tentu tidak cocok dan kurang diminati sebagian besar migran Bugis M akassar sebagai peluang yang mendukung kehidupan ke depan. Kalaupun ada, hanya lebih terfokus pada posisi-posisi tertentu yang sebagian besar di pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat yang lebih pada relasi etnis tertutup, dengan berorientasi pada kekuatan ekonomi dan memanfaatkan peluang serta jaringan sumber daya yang ada di sekitarnya.

(10)

tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sedangkan sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang teroganisasi, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi,suku, dan agama.

Dua perbedaan orientasi inilah yang sangat memperlemah relasi antar orang Papua dan migran Bugis M akassar sekaligus menjadi ruang yang kompleks dalam suasana sosial yang sangat kaku dan sensitif. Ini juga menjadi bagian dari interaksi sosial masyarakat multietnik dan multikultur yang tentunya karena sebuah relasi dibangun atas dasar kepentingan atau kebutuhan. Taneko (1984) mengemukakan bahwa interaksi sosial dipengaruhi oleh kebutuhan, harapan, kesempatan, transportasi, kondisi geografis, status sosial, bahasa, etnis, agama, tingkat pendidikan, jarak fisik dan jarak sosial. Dengan berbagai perbedaan itulah kemudian pandangan klasik Furnival (dalam Usman Pelly 2005) mengatakan bahwa masyarakat dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri pada lokasi-lokasi pemukiman tertentu dengan sistem sosialnya masing-masing. Pola aktivitas ekonomi dengan orientasi dan cara pandang yang berbeda antara orang Papua dan migran Bugis M akassar memposisikan mereka pada wilayah yang men-dukung kegiatan ekonominya masing-masing. Padangan kapitalisme akan lebih memilih di kota dengan kegiatan ekonomi bervariasi, yang lebih pada target keuntungan, sedangkan pandangan prakapitalisme lebih banyak di desa, dan tergantung pada alam dan lingkungan serta kegiatan ekonomi yang monoton pada pemenuhan kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.

(11)

mereka yang bertetangga dengan migran Bugis Makassar merasakan suasana yang berbeda dan individualisme yang mengarah pada persaingan hidup. Suasana ini tentu membuat orang Papua tidak nyaman karena tidak mampu menyesuaikan dengan suasana tersebut, sehingga relasi yang dijalaninya pun tidak seperti yang diharapkan. Pada akhirnya orang Papua menjual tanahnya dan pindah ke tempat lain yang belum pasti berpeluang mendukung perbaikan hidupnya.

(12)

pingiran-pingiran sudut kota yang jauh dari pusat ekonomi.. Selain itu kebijakan konversi lahan potensi alam oleh pemegang kebijakan untuk kepen-tingan pembangunan daerah dan swasta, juga turut mempercepat jalan ke arah itu.

Jayadinata (1999), melihat lahan dari tiga kategori. Pertama dari nilai keuntungan yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi yang dapat dicapai dengan jual beli tanah di pasaran bebas; kedua, dari nilai keuntungan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan yang lebih pada pemukiman terhadap akses; dan ketiga nilai sosial, yang merupakan hal dasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan dan aspek lainnya.

Dari beberapa kemungkinan alasan ini menjadi penyebab utama orang Papua menjadi terasing di negerinya sendiri. Saat ini ataupun akan datang sebagian besar orang Papua menjadi kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan sekaligus memposisikan mereka sebagai masyarakat paling rentan terhadap perubahan dan kemajuan. Jejak-jejak itu kini telah dimulai dan terus berjalan dalam kehidupan orang Papua, namun sebagian besar orang Papua belum sadar akan kondisi ini dan ancaman yang akan ditimbulkan. Lambatnya kesadaran terhadap kondisi itu kemungkinan disebabkan oleh kondisi kehidupan saat ini yang masih memberikan peluang pada mereka, atau kuatnya tradisi dan kebiasaan hidup yang tidak sejalan dengan tuntutan karakter hidup saat ini.

(13)

dikemuka-kan oleh Tirtosoedarmo (1994), mengenai fenomena daerah perkotaan di Irian Jaya (Papua) bahkan Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada umumnya. Kedua, migran perantau tidak terikat oleh lokasi atau tempat tinggal sehingga mereka bebas untuk berakses terhadap sumber-sumber ekonomi lainnya. Ketiga, migran perantau tidak fokus pada satu kegiatan ekonomi, tetapi lebih bervariasi, karena disesuaikan dengan perkembangan, dan peluang pasar yang kreatif. Keempat, migran perantau lebih memilih membangun jaringan di antara mereka, baik sesama etnis atau seprofesi, karena lebih mudah memperoleh sumber infromasi dan modal usaha, sehingga sebagian besar dari migran perantau sukses dalam kegiatan ekonominya.

(14)

Perbedaan motif antara migran perantau dan transmigran bagi orang Papua adalah: migran perantau kurang memberikan peluang terjadi transfer keterampilan atau pengetahuan bagi orang Papua, karena lebih mengedepankan ekonomi, dan aspek-aspek yang lain dalam kehidupan etnisnya, serta memilih berrelasi tertutup yang saling menguntungkan, sehingga orang-orang yang tidak memiliki kriteria itu bukan bagian dari relasi utama mereka. Transmigran sangat berpeluang terjadi transfer keterampilan, maupun pengetahuan bagi orang Papua, karena memilih hidup bersama, dan cenderung berrelasi terbuka, serta berpola aktivitas pertanian yang sama dengan orang Papua.

Relasi Orang Papua dengan M igran Jawa

Relasi antara orang Papua dan migran Jawa dalam kehidupan bermasyarakat berpeluang adanya saling terbuka dan menerima dengan membangun relasi yang saling memahami. Keterbukaan antara migran Jawa dan orang Papua dalam kehidupan bersama, disebabkan migran Jawa tidak bergitu ketat dalam melihat perbedaan di antara orang Papua dan dirinya, terutama yang berhubungan dengan keyakinan. Hal ini menjadi peluang adanya hidup bersama, dan melakukan kerja sama, bahkan adanya kawin campur antar orang Papua dengan migran Jawa. Sebagaimana dikemukakan Damami (2002) bahwa bagi masyarakat Jawa, agama dipahami sebagai ”ageming aji” yaitu bahwa agama merupakan pedoman hidup yang pokok, artinya bahwa agama apa saja mengajarkan atau mengandung ajaran yang serba baik untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup masyarakat di dunia ini. Agama apa pun yang dipeluk sama saja karena semua agama mengajarkan keselamatan. Di samping itu masyarakat Jawa jarang memperbincangkan dan mempertanyakannya agama kecuali untuk memperoleh atau membuat KTP, SIM dan sebaginya (W oodward,1988; 1989; Hefner, 1987). Ini dikarenakan dianggap kurang sopan.

(15)

Pemaknaan yang kedua adalah dari kata ”aji” yaitu dengan pengertian ”ratu” bahwa agama yang dipeluk oleh Raja atau Ratu itulah yang dipeluk masyarakatnya. Dengan demikian suasana relasi yang dibangun migran Jawa lebih memberikan kenyamanan pada orang Papua dalam kehidupan sehari-hari. M ereka tidak merasa terancam kehidupannya apabila bertetangga dengan migran Jawa, karena migran Jawa masih mengedepankan kebersamaan dan toleransi dalam hidup bersama dengan orang lain, sekalipun bukan etnisnya. Roibin (2008) menge-mukakan bahwa praktik toleransi dalam masalah kepercayaan pada masyarakat Jawa merupakan salah satu hal yang menjadi kebanggaan kultural masyarakat Jawa.

Perkawinan antara migran Jawa dan orang Papua bisa dilihat sebagai sebuah strategi dalam kehidupan bersama atau adanya peluang perbaikan kehidupan pribadi dan keluarga. Perkawinan sebagai sebuah strategi karena migran Jawa yang kawin dengan orang Papua, biasanya adalah orang-orang Papua yang mempunyai status yang cukup di- segani di masyarakat, dan mempunyai pengaruh, baik di pemerintahan ataupun masyarakat sekitar, yang biasa disebut elit lokal atau sering di- pangil kepala suku. Kepala suku dalam tataran orang Papua identik dengan pemegang kebijakan tertinggi terhadap pengelolaan sumber daya alam (hak ulayat) lingkungan dan masyarakatnya. Dari beberapa hak yang melekat pada kepala suku menjadi sebuah peluang kerja sama, kenyamanan bersama dan saling melindungi dalam kehidupan bersama di lingkungan bermasyarakat. Dharmawan (2007) menegaskan bahwa strategi bertahan hidup di pedesaan adalah strategi penghidupan dan nafkah yang dibangun dan menunjuk pada peran sektor pertanian. Pada sisi lain, relasi tersebut menjadi sebuah modal sosial sebagaimana dikatakan oleh Putnam (1996), bahwa modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial, jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipasi bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.

(16)

sehingga mempermudah akses terhadap sumber-sumber daya yang ada. Sekalipun ada peluang akses terhadap sumber-sumber daya tersebut tidak membuat mereka (migran Jawa) lebih berpotensi terhadap penguasaan sumber daya yang ada di sekelilingnya, karena sebagian besar dari migran Jawa terpusat di daerah transmigrasi dan bertani sederhana. Kemungkinan inilah yang menjadi alasan sementara, kenapa migran Jawa tidak terlalu berpotensi ancaman bagi orang Papua. Namun perkembangan migran Jawa dari generasi ke generasi terus terjadi, yang tentu berpeluang menciptakan suasana baru dengan pola pikir yang terus maju menuju perbaikan hidup dengan meman-faatkan sumber daya yang ada di sekitarnya. Pada akhirnya hal ini akan menimbulkan persoalan baru bagi kehidupan orang Papua.

M igran Jawa pada kantung-kantung transmigrasi lebih berpe-luang terjadi relasi dengan orang Papua. Terjadinya peberpe-luang tersebut antara lain adanya pola pemukiman berbaur antara orang Papua dengan migran Jawa, baik Papua Pantai maupun Papua Gunung. M ereka sama-sama hidup dalam satu lingkungan, dan lebih banyak bertani padi daripada kegiatan ekonomi lainnya. Sekalipun orang Papua sebagian besar masih mempertahankan cara bertaninya (bertani lokal) namun rutinitas tersebut mendukung terciptanya relasi yang saling menghargai di antara sesama. Relasi yang tercipta saat ini terus terjaga, karena didasari oleh kehidupan bersama yang sudah tercipta dalam jangka waktu lama, dan dilalui secara bersama-sama dalam rutinitas keseharian masing-masing sehingga terjadi interaksi di antara mereka. Interaksi terjadi bersaman dengan rutinitas yang dijalani bersama migran Jawa, namun dalam rutinitas tersebut migran Jawa lebih banyak terlibat bersama orang Papua Gunung dibandingkan Papua Pantai, karena Papua Gunung lebih banyak berada di daerah transmigrasi.

(17)

karena didukung dengan relasi model gorong-gorong (atas bawah atau vertikal-elit dan horizontal-masyarakat), Relasi antar orang Papua dengan migran Jawa lebih pada modal sosial brigjing social capital yaitu ikatan dengan orang-orang yang tidak memiliki karakter yang sama, misalnya kenalan, teman kerja dari etnis lain, teman dari teman. Ikatan ini sering disebut sebagai ‘pelumas sosial (Grootaert et al. 2003, Aldridge 2002).

Keterlibatan Papua Gunung bersama migran Jawa dalam berba-gai kegiatan ekonomi yang dilakukan secara bersama, terutama pada kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan pengelolaan tanah, dan hutan, karena dua bidang kegiatan ini sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua. Bagi sebagian besar migran Jawa menjadikan tanah dan hutan sebagai sumber utama kehidupannya, sementara sebagian besar sumber daya tersebut dikuasai oleh Papua Gunung, sehingga relasi ketergantungan ini pun tetap terjaga. Lewat kegiatan pertanian tersebut terjadilah jaringan sosial yang memberikan manfaat bagi orang Papua sebagaimana dikemukakan oleh La Pona (1999) bahwa trans lokal yang memiliki jaringan sosial aspek pertanian dengan transmigran asal ternyata mengadopsi banyak inovasi budidaya pertanian, demikian sebaliknya.

(18)

“menjawakan” dan meng-islam-kan daerah. Kekhawatiran itu menim-bulkan pandangan yang berbeda dalam masyarakat Papua. Ada kelom-pok yang melihat transmigrasi dari sisi negatif, ada yang berpandangan moderat, juga yang positif (mendukung). Dari beberapa pandangan ini mempunyai alasan masing-masing, sehingga jalan tengah pun diambil oleh elit-elit otonomi daerah dengan mengeluarkan sebuah keputusan yang disebut Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang menjelaskan bahwa kebijakan transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan setelah orang asli Papua mencapai jumlah 20 juta jiwa. Selanjutnya kebijakan sebagaimana dimaksud akan dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dan persetujuan M ajelis Rakyat Papua (M RP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Pernyataan Perdasi ini mengandung konsekuensi yang berbeda terhadap kepastian keberlan-jutan program transmigrasi di Papua.

Untuk mencapai 20 juta jiwa, orang asli Papua (OAP) tentu membutuhkan waktu yang cukup lama. Dengan merujuk pada perhitungan BPS Papua saat ini, maka untuk mendapatkan target sesuai perdasi, paling tidak membutuhkan waktu sekitar setengah atau satu abad lagi, itu pun belum bisa dipastikan karena masih ada faktor-faktor lain yang turut memperlambat pertumbuhan orang asli Papua, seperti pelanggaran HAM yang sering terjadi, gizi buruk, dan pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Banyak orang Papua yang masih jauh dari kehidupan yang layak, ditambah dengan M IRAS dan HIV/AIDS, juga turut melengkapi faktor tersebut. Beberapa faktor ini terjadi dalam kehidupan orang asli Papua dan sangat berpotensi menghambat proses pertumbuhan penduduk asli Papua. Dari beberapa faktor ini kalau dikategorikan faktor mana yang sangat menghambat, maka di antara-nya adalah masalah HAM , M IRAS dan HIV/AIDS. Ketiga faktor ini terjadi secara terus-menerus dan dalam waktu yang lama di kehidupan orang Papua.

(19)

setiap saat melewati dermaga-dermaga, dan bandara-bandara di seluruh tanah Papua dalam jumlah yang tidak diketahui besarnya. Pada bagian ini pun apa yang menjadi harapan dan tuntutan dari sebuah keputusan tidak berjalan secara maksimal, sehingga pada akhirnya menambah persoalan bagi orang Papua terutama kepentingan pusat dan daerah yang berdampak pada masyarakat Papua itu sendiri.

Relasi Orang Papua dan NTT

Orang Papua lebih mudah dan cepat membangun relasi dan bersosialisasi dengan migran NTT. Begitu pula migran NTT lebih mudah dan cepat berrelasi dengan orang Papua daripada dengan migran lain. Kemudahan itu ada dan terjadi karena antara orang Papua, dan migran NTT mempunyai beberapa kesamaan yang sangat memberi peluang terjadinya proses saling menerima dengan cepat. Beberapa aspek yang menjadi faktor pendukung proses tersebut bisa berjalan dengan mudah dan cepat dalam kehidupan bersama antara orang Papua dengan migran NTT, antara lain persamaan ideologi, karakter, tradisi, dan pola mata pencaharian. Dari beberapa persamaan dan kemiripan inilah yang mempermudah hidup bersama antara orang Papua dengan migran NTT. Persamaan Ideologi menjadi faktor utama dan sangat berpengaruh dalam relasi antara orang Papua dengan migran NTT, sehingga melahirkan rasa kebersamaan yang semakin kuat dalam hidup bersama di masyarakat. Kesadaran kebersamaan ini pun selalu terjaga karena dilalui secara bersama-sama yang didukung dengan saling menghargai, memahami dan penuh pengertian antara orang Papua dan migran NTT.

(20)

merugikan diri sendiri dan orang lain. Kehadiran migran NTT dalam kehidupan orang Papua bukan hanya sekedar membangun relasi tetapi mempunyai peranan lebih dalam melakukan pendekatan-pendekatan bersama orang Papua yang mengarah kepada perubahan yang positif, terutama perilaku kesadaran pendidikan.

M enurut Coleman (1994), kedekatan menjadi hubungan yang memberikan manfaat timbal balik antar aktor dan institusi berbeda sebagai sesuatu yang esensial dalam memberikan tidak hanya dipenuhinya kewajiban, namun juga bagi dijalankannya sangsi. Selain itu aktivitas mata pencaharian yang sama antara orang Papua dan NTT juga memberikan ruang relasi yang sangat kuat adanya kerja sama saling melengkapi kekurangan dalam kehidupan bersama. Relasi antara orang Papua dan migran NTT merupakan relasi yang sangat dekat dan kuat yang peneliti namakan sebagai relasi sepiring bersama, artinya sama-sama mati sama-sama hidup, dari sama-sama hidup dan mati ini terbangun dalam modal sosial yang lebih pada bonding social capital yaitu ikatan dengan orang-orang yang memiliki karakter demografis yang sama (tingkat sosial-ekonomi, etnis), seperti anggota keluarga, tetangga, teman dekat, dll. Ikatan ini sering disebut sebagai ‘perekat sosial (Grootaert et al. 2003, Aldridge, 2000).

(21)

kerja sama dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada, baik antara Papua Gunung maupun Papua Pantai atau sebaliknya. Pada posisi ini pun migran NTT terbagi dalam dua kelompok keyakinan, ada yang Kristen Katolik, ada juga yang Kristen Protestan.

Perbedaan dan persamaan idiologi antara orang Papua dan migran NTT menjadi peluang dan mempermudah migran NTT mem-punyai akses terhadap sumber-sumber daya di pantai dan di gunung. Secara keyakinan, migran NTT yang Kristen Protestan lebih dekat relasinya dengan orang Papua Pantai daripada Papua Gunung, sedangkan migran NTT yang Kristen Katolik lebih dekat relasinya dengan Papua Gunung daripada Papua Pantai. Namun sesungguhnya relasi di kalangan migran NTT tidak dibatasi oleh perbedaan keyakinannya, karena diikat oleh rasa kebersamaan di rantauan yang semakin kuat, sekaligus mempermudah akses terhadap informasi dan peluang-peluang di antara migran NTT dan orang Papua. Dari beberapa faktor persamaan antara orang Papua dan migran NTT juga disinggung oleh Yosep Yapi Taum T. (1996) bahwa masyarakat Kemak di Timor Timur mempunyai adat istiadat yang mirip dengan orang Papua, yaitu: membangun rumah adat, upacara adat (belis), menggarap ladang (berkebun), dan melakukan upacara kematian, juga agama.

(22)

(2) Berpeluang terjadinya interaksi di antara kelompok etnik yang ada. Dengan demikian, hakikat integrasi terdiri dari hubungan yang mempertemukan mereka dalam usaha bersama sebagaimana aktivitas beragama, pencaharian nafkah, perkawinan, toleransi hidup berke-luarga, pendidikan, serta membangun hubungan hidup bermasyarakat.

Interaksi dalam kehidupan bersama antara dua etnis ini ber-tambah kuat karena didukung oleh lingkungan desa yang cenderung terisolasi. Lingkungan desa yang masyarakatnya lebih mudah bertemu memberikan peluang terjadinya interaksi yang begitu intensif, namun kurang berinteraksi dengan masyarakat luar, bahkan sangat terbatas. Intensitas interaksi antara kelompok masyarakat ini cenderung terjaga dalam kehidupan bersama yang penuh kesederhanaan. Boelaar (1984) mengatakan bahwa masyarakat desa yang relatif terisolasi, intensitas interaksi dengan masyarakat lain cenderung kurang, bahkan sangat terbatas. Yang termasuk dalam tipe ini adalah masyarakat pemburu, peramu, dan masyarakat pedesaan. M ereka juga disebut sebagai masya-rakat sederhana dan tradisional, kehidupannya cenderung homogen. Ini merupakan keadaan kehidupan masyarakat pedesaan atau tradisi-onal yang menggunakan alam sebagai dasar penghidupannya, sehingga mereka sangat tergantung pada alam sekitar tempat hidupnya.

(23)

royong tersebut menciptakan interaksi yang semakin baik dan harmonis di antara warga desa, dan pola itu pun tetap terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat serta terlaksana dalam setiap kegiatan yang bersifat umum dan khusus yang berhubungan dengan kegiatan adat dan kepentingan bersama.

Dua kepentingan tersebut tertanam kuat dalam suasana kehi-dupan masyarakat pedesaan. Dengan dua kepentingan itulah membuat mereka tetap hidup dan bertahan dalan jangka panjang, kemudian dua kepentingan tersebut juga mempunyai kekuatan dan pengaruh masing- masing terhadap aktivitas yang dilakukan oleh warga pedesaan. Secara khusus kekuatan tradisi menjadi bagian terpenting dan sangat dijun-jung tinggi oleh masyarakat pedesaan. Tradisi yang lahir dan dibentuk oleh mereka sebagai acuan untuk menata dan mengontrol setiap orang sebagai warga desa dalam kehidupan bermasyarakat, selalu bersikap atau berperilaku sesuai dengan aturan yang sudah ada agar kepenting-an-kepentingan yang menjadi modal utama mereka selalu terjaga dan terpelihara dari generasi ke generasi. Dengan komitmen itulah pada sebagian besar masyarakat pedesaan kurang berpeluang menerima kondisi baru yang dianggap bertentangan dengan pola kehidupan mereka. Namun pada sisi lain perilaku positif yang terjadi dan dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan generasi mereka ke depan secara mudah dan cepat tersosialisai dalam kehidupan berma-syarakat, dan merupakan tanggungjawab bersama sebagai sebuah kewajiban yang harus ditaati dan diperhatikan secara bersama pula.

Orang Papua ke depan

(24)

hari ke hari sedikit demi sedikit mulai bergeser dan berpindah ke tangan migran. Proses itu kini telah terjadi secara cepat dalam kehidupan orang Papua. Pergeseran itu hampir terjadi di semua aspek kehidupan orang Papua, baik secara ekonomi, maupun ruang publik yang merupakan sebuah kesempatan dan kewenangan lebih untuk menata serta memberdayakan orang Papua agar etnis yang sebagian besar masih berada pada pusaran keterbelakangan dan kemiskinan bisa mampu dan berpeluang untuk memperbaiki diri secara pribadi baik mental maupun fisik, dalam tataran kehidupan secara manusia yang bermanfaat untuk menolong dirinya sendiri untuk mencapai kehi-dupan yang lebih baik dan sejahtera. Jalan ke arah itu pun ada, namun cenderung agak lambat dan sulit, karena perubahan orang Papua menuju perbaikan kebanyakan diperhadapkan pada dua kekuatan lingkungan yang berbeda.

Lingkungan yang pertama adalah lingkung-an dimana pertemuan secara terbuka antara migran dan orang Papua dalam posisi bersaing menguasai, mempertahankan dan beradaptasi terhadap sumber daya dan ruang-ruang kegiatan ekonomi yang menjadi sumber kehidupan. Lingkungan pertama ini berjalan secara natural, dan terencana secara tidak sadar mengantarkan kebanyakan orang Papua pada sebuah garis batas yang memungkinkan orang Papua tidak mampu survive dalam jangka panjang.

(25)

kurang peka terhadap kekurangan dan persoalan yang terjadi dalam kehidupan orang Papua kebanyakan, saat ini dan akan datang.

Kondisi ini secara sengaja ataupun tidak telah turut menambah garis panjang bagi orang Papua jauh dari sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik dan mandiri, yang pada gilirannya memposisikan orang Papua berjalan mundur dalam proses pembangunan menuju perkem-bangan dan perubahan untuk menjadi masyarakat yang bermartabat. Akhirnya tahap ini pun membuat sebagian besar orang Papua tetap pada kondisi yang tidak menguntungkan dan diperparah lagi sebagian besar aktornya adalah orang Papua, yang terjadi Papua tipu Papua. Dengan orientasi politik itulah para elit Papua banyak menghabiskan energi pada tataran memperkuat posisi strukturalnya, sehingga berba-gai fenomena yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang berkaitan dengan orang Papua tidak terpikirkan secara baik dan berpihak.

Tabel 7 dan 8 menegaskan dan mengingatkan bahwa komposisi etnis Papua semakin minoritas di atas tanah dan identitasnya bila dibandingkan dengan migran. Kondisi itu pun secara jelas terlihat pada posisi jumlah tempat ibadah M asjid, Surau, Gereja, Pura dan Vihara. Jumlah M asjid dan Surau, serta Pura dan Vihara mayoritas meng-gambarkan migran, karena jumlah orang Papua yang beragama Islam mungkin sedikit dan sangat kurang apalagi Hindu dan Budha, sementara Gereja menjadi tempat ibadah mayoritas orang Papua. Dengan jumlah Gereja bukan menandakan orang Papua semakin bertambah, tetapi bersamaan dengan bertambahnya Gereja menggam-barkan jumlah migran juga ikut bertambah dan lebih banyak. Bagi migran tertentu menggunakan pendekatan Gereja sebagai pintu masuk untuk menguasai sumber-sumber daya orang Papua terutama pada ruang-ruang birokrasi.

(26)

orang. M ereka biasa memanfaatkan waktu untuk bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun pada sebagian besar orang Papua masih kuat dengan sistem keluarga besar, yang juga turut membebankan tanggungjawab secara ekonomi. Sementara kegiatan yang dilakukan hanya terfokus pada satu kegiatan yang menjadi sumber pendapatan, sehingga tidak seimbang dengan penge-luaran untuk kebutuhan sehari-hari, apalagi sebagian besar keluarga Papua masih tergantung pada kegiatan pertanian lokal yang kurang berpeluang secara harga di pasar. Kondisi ini secara tidak langsung menjadi bagian yang memperlambat pertumbuhan ekonomi keluarga orang Papua. Namun pada sebagian keluarga orang Papua mulai sadar terhadap kondisi itu dan mencoba beradaptasi secara bertahap dengan merubah pola pikir dan berperilaku dalam mengatasi kondisi tersebut dengan jalan bekerja keras dan mampu memilah di antara kebutuhan prioritas dan bukan prioritas, sehingga nampak dalan kehidupan bermasyarakat pada sebagian keluarga Papua tersebut secara fisik berbeda dan sedikit maju secara ekonomi.

Pada keluarga migran secara umum peningkatan dan perubahan dari sisi ekonomi lebih cepat. Kondisi ini ditunjang dengan jumlah jiwa yang hanya berkisar antara 3 sampai 4 orang dalam satu keluarga, dan sebagian besar keluarga migran lebih kuat dengan sistem keluarga inti. Di samping itu sebagian besarnya aktif secara positif dalam bekerja, tidak terkonsentrasi pada satu kegiatan ekonomi, dan kreatif dalam memilih dan beradaptasi terhadap peluang-peluang kegiatan ekonomi yang terus berubah dalam kehidupan masyarakat saat ini. Dengan demikian kegiatan ekonomi yang menjadi sumber pendapatan lebih seimbang dan kuat dalam penggunaan kebutuhan sehari-hari keluarga. Keseimbangan pada pendapatan keluarga migran lebih teratur dan terarah terhadap pemanfaatannya.

Kesimpulan

(27)

pendekatan yang berbeda dalam membangun relasi bersama orang Papua. Perbedaan pendekatan yang digunakan sesuai dengan latar belakang migran baik pola matapencaharian, tradisi, suku, keperca-yaan, maupun keterampilan yang dimiliki. Dalam perbedaan tersebut ada kemiripan, persamaan, sehingga tidak mempertajam perbedaan itu dalam kehidupan bersama orang Papua. Persamaan dan kemiripan menjadi peluang adanya relasi yang kuat, dan saling menguntungkan antara orang Papua dan migran, sedangkan perbedaan akan mem-perlemah relasi bersama orang Papua. M asing-masing migran dengan pendekatan yang berbeda tersebut, tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang berbeda pula. M igran Bugis M akassar lebih menge-depankan pendekatan eksklusif dalam membangun relasi bersama orang Papua, karena pertimbangan pola mata pencaharian yang berbeda. M igran Bugis M akassar lebih banyak bergerak di sektor kegiatan ekonomi atau bisnis (swasta), sedangkan orang Papua mayoritas pada pertanian dan nelayan sederhana. Di samping itu ketaatan migran Bugis M akassar pada keyakinannya yang sangat kuat dan ikatan etnis menjadi modal sosial di antara mereka dan sebaliknya, sehingga kurang adanya ruang relasi antara orang Papua dan migran Bugis M akassar. Dengan demikian, relasi dengan pendekatan ini akan membuka ruang-ruang gesekan yang berpotensi konflik. Namun sesungguhnya perbedaan ini bukan menjadi penghalang dalam membangun relasi yang baik dan terbuka, tetapi dijadikan sebagai modal untuk menjembatani perbedaan tersebut dalam membangun relasi yang saling menguntungkan dalam tataran saling memahami,

menghargai, dan menghormati untuk mencapai kehidupan bersama.

(28)

yang menguntungkan antara kedua belah pihak yang dilandasi dengan saling toleransi, memahami, menghargai, dan menghormati untuk mempertahankan hidup bersama yang lebih mengarah pada pember-dayaan bersama untuk mencapai perubahan bersama, menuju kese-imbangan dalam hidup bermasyarakat secara bersama-sama. Pada akhirnya keharmonisan dan kedamaian yang menjadi bagian dari kehidupan sosial yang didambakan pun akan tercapai.

M igran NTT lebih mengedepankan pendekatan inklusif dalam membangun relasi dengan orang Papua. Hal ini karena adanya persamaan keyakinan, pola mata pencaharian, tinggal berbaur dengan orang Papua atau sebaliknya. Dengan adanya kawin campur di antara keduanya, maka posisi migran NTT dalam kehidupan orang Papua adalah saudara dan ipar. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadikan relasi yang sangat kuat dan akrab antara orang Papua dan migran NTT dalam hidup bersama. Hal ini terlihat dalam kerja sama yang penuh kekeluargaan dan saling mengingatkan dalam pember-dayaan untuk mencapai perubahan dan perbaikan taraf kehidupan. Kerbersamaan dilalui dengan saling memahami, mengerti, menghargai, dan menghormati untuk mencapai kekompakan dalam kerja sama yang semakin baik dan kuat, yang dibaringi dengan rasa kasih mengasihi yang merupakan bagian dari sisi kemanusian dalam kehidupan ber-sama. Pada akhirnya kebersamaan menjadi sebuah kesadaran bersama dalam kebebasan kehidupan antara orang Papua dan migran NTT maupun di lingkungan masyarakat secara umum.

I mplikasi Relasi bersama M igran

M igran Bugis M akassar umumnya lebih pada menumbuhkan minat usaha atau dagang maupun keterampilan lainnya pada orang Papua. Namun kenyataannya hanya beberapa dari sekian orang Papua yang merasakan manfaat dari relasi tersebut.

(29)

bagi orang Papua. Sisi positifnya adalah dengan pertanian padi telah membantu orang Papua mengetahui cara bertani padi yang baik. Hal ini berimplikasi pada perubahan dan peningkatan ekonomi keluarga sekaligus menyiapkan orang Papua mampu beradaptasi dalam menyi-kapi tuntutan dan perkembangan masyarakat yang semakin cepat berubah dan kompleks, sehingga pada akhirnya mampu bersaing dan bertahan hidup di lingkungan migran yang semakin hari semakin maju. Sisi negatifnya adalah terjadi pergeseran pola pertanian dan konsumsi dari pangan lokal ke beras yang pada gilirannya akan membuat orang Papua meninggalkan pertanian dan pangan lokalnya, sementara tidak semua orang Papua bisa bertani padi serta sebagian besar lahan di Papua tidak berpotensi untuk menanam padi. Pada sisi lain beras sudah menjadi makanan pokok orang Papua, bersamaan dengan itu harga beras terus naik membuat sebagian orang Papua tidak mampu untuk membelinya, sehingga pada akhirnya kelompok ini diperhadapkan pada berbagai persoalan yang mengancam hak hidup mereka sebagai manusia dan masyarakat. Persoalan yang mereka hadapi pun bermacam-macam seperti: kurang gizi, mudah terserang berbagai penyakit yang mengancam keselamatan mereka, terutama pada kelompok orang miskin.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kesempatan ini pun, penulis sampaikan terimah kasih buat semua dosen Program Pascasarjana khususnya pada M agister Studi Pembangunan UKSW yang telah

Dalam ruang kajian yang sedikit berbeda, M illes dan Pike (2014) mengemukakan bahwa yang dikatakan sebagai pola migrasi berantai adalah pola perpindahan penduduk

“saya merantau dari Makassar, karena memang di Makassar, saya tidak punya pekerjaan, dan saya mau ke Jayapura karena Yusman cerita kalau di Jayapura banyak orang M

Dengan demikian akan nampak pada saat memulai usaha, mereka memulai dengan jenis usaha seperti apa, dimana tempat usahanya, serta dari mana modal (uang) yang

sumber daya lokal khususnya yang tersimpan di bumi Papua Barat. untuk kebaikan dan kesejagteraan masyarakat Papua Barat

Pusat ini tidak disepakati oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua.. dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi

KONSEP DIRI & PERSEPSI DIRI ORANG PAPUA GUNUNG & ORANG PAPUA PANTAI DALAM MEMBENTUK POLA

Berikutnya menampilkan batik motif Papua yang kenakan oleh model dalam memperlihatkan beragam motif dan warna batik Papua, dimana pada bagian ini akan menunjukan