• Tidak ada hasil yang ditemukan

FLUKTUASI OKSIGEN TERLARUT HARIAN PADA TAMBAK POLIKULTUR UDANG WINDU (Penaeus monodon), RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.), DAN IKAN BANDENG (Chanos chanos)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FLUKTUASI OKSIGEN TERLARUT HARIAN PADA TAMBAK POLIKULTUR UDANG WINDU (Penaeus monodon), RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.), DAN IKAN BANDENG (Chanos chanos)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

FLUKTUASI OKSIGEN TERLARUT HARIAN PADA TAMBAK POLIKULTUR UDANG WINDU

(Penaeus monodon), RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.), DAN IKAN BANDENG (Chanos chanos)

Erfan Andi Hendrajat, Suharyanto, dan Markus Mangampa Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: litkanta_05@yahoo.co.id

ABSTRAK

Oksigen terlarut (DO), merupakan salah satu parameter penting yang biasa digunakan untuk mengukur kualitas suatu perairan karena diperlukan oleh semua organisme untuk pernapasan. Oksigen terlarut yang rendah dapat menyebabkan kematian organisme yang dibudidayakan, oleh karena itu oksigen terlarut dalam petak tambak harus selalu dipantau agar dapat dilakukan pengelolaan air bila kondisi kualitas air tidak layak. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros menggunakan 8 petak tambak masing-masing ukuran 2.500 m2.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat fluktuasi oksigen terlarut harian di tambak polikultur udang windu (Penaeus monodon), rumput laut (Gracillaria sp.) dan ikan bandeng (Chanos chanos). Pengamatan oksigen terlarut dilakukan pada petak tambak yang ditebari A: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha), B: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), C: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha) dan D: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), masing-masing dengan dua kali ulangan. Padat penebaran udang windu di tambak pembesaran adalah 2.500 ekor/petak (1 ekor/m2). Pengukuran oksigen terlarut dan suhu harian menggunakan

DO meter digital dilakukan setiap 2 minggu mulai dari minggu ke-IV sampai minggu ke-XII secara insitu pada jam 08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00, 23.00, 02.00 dan jam 05.00. Data hasil pengamatan oksigen terlarut dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oksigen terlarut pada perlakuan A berkisar 1,9-12 mg/L, perlakuan B berkisar 1,1-11,8 mg/L, perlakuan C berkisar 2,4-10 mg/L dan perlakuan D berkisar 2-10,6 mg/L. Kisaran tersebut masih dapat ditolerir oleh udang windu dan ikan bandeng. Oksigen terlarut yang rendah (1,1 mg/L) hanya terjadi pada minggu ke-X yaitu pada pukul 05.00 dan berlangsung tidak lama sehingga belum membahayakan udang dan ikan yang dipelihara. Oksigen terlarut cenderung mengalami penurunan pada semua perlakuan seiring dengan bertambahnya masa pemeliharaan.

KATA KUNCI: oksigen terlarut, polikultur, udang windu, rumput laut, ikan bandeng

PENDAHULUAN

Udang windu, rumput laut dan ikan bandeng merupakan komoditas unggulan perikanan budidaya karena harganya cukup tinggi dan memiliki permintaan lokal maupun eksport yang cukup tinggi sehingga produksinya diharapkan terus mengalami peningkatan. Ketiga produk perikanan tersebut dapat dibudidayakan secara polikultur. Polikultur merupakan metode budidaya yang digunakan untuk memelihara lebih dari satu produk seperti udang, bandeng dan rumput laut dalam satu lahan. Dengan sistim ini, diperoleh manfaat yaitu tingkat produktivitas lahan yang tinggi karena dapat memanen beberapa produk dalam satu musim sehingga dapat menambah penghasilan (Syahid et al., 2006).

Udang windu, ikan bandeng dan rumput laut secara biologis memiliki sifat-sifat yang dapat bersinergi sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan karena merupakan bentuk budidaya yang ramah terhadap lingkungan. Rumput laut Gracillaria yang diintegrasikan dalam budidaya polikultur berdampak positif terhadap peningkatan kualitas air tambak. Rumput laut dengan sifat biologisnya sebagai penghasil dan penyuplai oksigen terlarut melalui proses fotosintesis, dan rumput laut memiliki kemampuan untuk menyerap kelebihan nutrisi senyawa toksis NH3, H2S, NO2, PO-3

4 dan logam berat di perairan tambak sehingga kondisi kualitas perairan dapat meningkat. Ikan bandeng sebagai pemakan plankton baik plankton yang berguna maupun yang tidak berguna merupakan pengendali terhadap kelebihan plankton di perairan. Ikan bandeng dengan bentuk

(2)

melalui proses dekomposisi menghasilkan unsur hara untuk pertumbuhan rumput laut dan fitoplankton sehingga dapat meningkatkan kesuburan perairan (Murachman et al., 2010). Gracillaria juga merupakan tempat yang nyaman bagi udang untuk bersembunyi. Percabangannya yang lebat memungkinkan tanaman ini menjadi tempat peristirahatan udang pada siang hari dan menyembunyikan diri dari pemangsa ketika mengalami pergantian kulit. Selain itu, Gracillaria merupakan tempat berkumpulnya plankton yang menjadi pakan udang. Kehadiran bandeng di tambak selain sebagai pembersih alga yang menempel pada rumput laut juga mengeluarkan kotoran yang dapat menyuburkan tambak (Syahid et al., 2006). Kondisi tambak dengan sifat demikian mencerminkan kondisi ekosistem yang seimbang.

Oksigen terlarut (DO) adalah banyaknya oksigen dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistim perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air (Barus, 2001) dan berbagai proses kimia biologi perairan (Dahuri et al., 2004). Satuan pengukuran oksigen terlarut adalah mg/L yang berarti jumlah mg/L gas oksigen yang terlarut dalam air yang dalam satuan internasional dinyatakan dalam ppm atau part per million (Pido, 2012). Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang paling kritis pada budidaya tambak. Konsentrasi oksigen terlarut dalam tambak selalu mengalami perubahan yang dinamik, oleh karena itu pemantauan oksigen terlarut selama budidaya harus selalu dilakukan sehingga apabila terjadi kritis oksigen maka dapat diambil suatu tindakan untuk mengantisipasi hal yang dapat berpengaruh buruk terhadap organisme yang dibudidayakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur antara udang windu (Penaeus monodon), rumput laut (Gracillaria sp.) dan ikan bandeng (Chanos chanos).

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros menggunakan 8 petak tambak masing-masing ukuran 2.500 m2. Persiapan petak tambak dimulai dengan keduk teplok dan pengolahan tanah dasar tambak, pengeringan dan pemberantasan hama, pencucian serta pengapuran. Sebelum pengisian air dilakukan pengukuran redox potensial pada tanah pelataran tambak, apabila nilainya telah positif, maka dilanjutkan dengan pengisian air, pemupukan menggunakan pupuk anorganik dengan dosis 150 kg Urea/ha dan 75 kg Ponska/ha serta pupuk organik (pupuk kandang) dengan dosis 1.500 kg/ha. Pengisian air dilakukan hingga kedalaman air mencapai 80 cm. Benih udang windu yang ditebar pada masing-masing petak tambak adalah tokolan PL 32 (benur PL 12 yang sudah mendapatkan rekomendasi SPF yang telah ditokolkan selama 20 hari) dengan bobot rata-rata 0,01 ± 0,01 g/ekor. Padat penebaran udang windu di tambak pembesaran adalah 2.500 ekor/petak (1 ekor/m2). Ikan bandeng yang ditebar adalah benih ikan bandeng yang telah digelondongkan selama 1,5 bulan dengan bobot rata-rata 4,2 ± 2.2 g/ekor.

Pengukuran oksigen terlarut dan suhu harian dilakukan pada tambak berukuran 2.500 m2 yang ditebari A: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha), B: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), C: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha) dan D: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), masing-masing dengan dua kali ulangan. Pengukuran oksigen terlarut dan suhu harian menggunakan DO meter digital dilakukan setiap 2 minggu mulai dari minggu ke-IV sampai minggu ke-XII secara insitu pada jam 08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00, 23.00, 02.00 dan jam 05.00. Data hasil pengamatan oksigen terlarut dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik.

HASIL DAN BAHASAN Kondisi Oksigen Terlarut

Hasil pengukuran oksigen terlarut pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng disajikan pada Gambar 1. Oksigen terlarut pada perlakuan A, B, C dan D pada minggu ke-IV sampai minggu ke-XII polanya relatif sama pada waktu pengukuran yang sama. Tampak juga bahwa

(3)

kisaran oksigen terlarut selama 24 jam menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi antara siang dan malam. Oksigen terlarut pada pagi hingga sore hari lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen terlarut pada sore hingga pagi hari. Oksigen terlarut tertinggi dicapai pada pukul 17.00 yaitu sebesar 12 mg/ L pada perlakuan A (minggu ke-VI), sedangkan oksigen terendah dicapai pada pukul 05.00 yaitu sebesar 1,1 mg/L pada perlakuan B (minggu ke-X).

Oksigen terlarut pada semua perlakuan selama pengamatan mengalami peningkatan mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, Sebaliknya mengalami penurunan setelah pukul 17.00 hingga pagi hari. Diduga penyebabnya adalah aktifitas fotosintesis fitoplankton dan rumput laut, Gracillaria yang berkaitan dengan cahaya matahari. Oksigen dalam perairan bersumber dari difusi ataupun hasil proses fotosintesis organisme produsen (Goldman & Horne, 1983). Hal ini juga sejalan dengan pendapat Boyd (1990) bahwa pada siang hari, ketika terjadi fotosintesis, jumlah oksigen terlarut cukup banyak. Sebaliknya pada malam hari, ketika tidak terjadi fotosintesis, oksigen yang terbentuk selama siang hari akan dipergunakan oleh ikan dan tumbuhan air sehingga sering terjadi penurunan konsentrasi oksigen secara drastis. Fotosintesis terjadi selama jam-jam siang hari tetapi pernapasan oleh tanaman terjadi selama daur ulang harian. Jadi jika terdapat tanaman air akan menyebabkan masuknya oksigen melalui fotosintesis selama jam-jam siang hari, tetapi penggunaan terus menerus dari oksigen adalah oleh pernapasan. Menurut Boyd (1991), sebagian besar oksigen (76,9%) dalam ekosistem perairan berasal dari fotosintesis oleh fitoplankton. Pada perairan dangkal, suplai oksigen didominasi oleh tanaman tepi, makrofita dan alga bentik, selain itu sumber oksigen terlarut yang penting di dalam perairan adalah oksigen di atmosfir yang terlarut dalam massa air pada permukaan air yang dihasilkan melalui proses difusi (Cole, 1983).

0 2 4 6 8 10 12 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu O ks ig e n te rla ru t (m g/ L) Minggu IV Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D 0 2 4 6 8 10 12 14 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu O ks ig e n t e rla ru t (m g/ L) Minggu VI Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu O k sig e n te rla ru t (m g/ L) Minggu VIII Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D 0 2 4 6 8 10 12 14 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu O ks ig e n te rla ru t (m g/ L) Minggu XII Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D 0 2 4 6 8 10 12 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu O ks ig e n te rla ru t (m g/ L) Minggu X Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D

Gambar 1. Fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng

(4)

kadar minimum oksigen terlarut pada minggu ke-IV, ke-VI, ke-VIII dan ke-X masing-masing adalah 4,9 mg/L, 3,6 mg/L, 2,8 mg/L dan 1,9 mg/L, perlakuan B adalah 4.8 mg/L, 3.6 mg/L, 2.6 mg/L dan 1,1 mg/L, perlakuan C adalah 5,2 mg/L, 3,5 mg/L, 3,2 mg/L dan 2,4 mg/L serta pada perlakuan D adalah 4,3 mg/L, 3,5 mg/L, 3 mg/L dan 2 mg/L. Penurunan oksigen terlarut ini diduga terjadi karena biomassa ikan bandeng dan udang dalam tambak semakin meningkat sehingga laju konsumsi oksigen juga semakin tinggi. Selain itu, pada lapisan dasar perairan terjadi akumulasi bahan organik dari sisa pakan dan feses ikan dan udang yang membutuhkan oksigen dalam proses penguraiannya. Pada pengamatan minggu ke-XII kadar minimum oksigen terlarut pada perlakuan A, B, C dan D meningkat kembali masing-masing menjadi 2,8 mg/L, 2,7 mg/L, 2,7 mg/L dan 2,8 mg/L akibat biomassa di dalam tambak sudah mulai menurun karena sebagian ikan dan udang sudah dipanen.

Oksigen terlarut selama penelitian pada perlakuan A berkisar 1,9-12 mg/L, perlakuan B berkisar 1,1-11,8 mg/L, perlakuan C berkisar 2,4-10 mg/L dan perlakuan D berkisar 2-10,6 mg/L. Kisaran tersebut masih dapat ditolerir oleh udang windu dan ikan bandeng. Oksigen terlarut pada malam hari, secara umum masih layak bagi kehidupan organisme perairan walaupun proses fotosintesis sudah tidak berlangsung. Selama pengamatan, oksigen terlarut yang rendah (1,1 mg/L) hanya terjadi pada minggu ke-X yaitu pada pukul 05.00 dan berlangsung tidak lama sehingga belum membahayakan udang dan ikan yang dipelihara. Menurut Boyd (1979), kadar minimum oksigen terlarut terjadi pada waktu menjelang pagi hari dan menjadi titik kritis bagi biota yang ada di perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut 2 mg/L dalam perairan sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik, asalkan perairan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang bersifat racun. Wardoyo (1975) menyarankan agar kandungan oksigen terlarut 2,0 mg/L harus tidak terjadi selama lebih dari 8 jam dalam priode 24 jam. Perairan dengan oksigen terlarut lebih besar dari 7 mg/ L adalah tergolong produktif (Banarjea, 1967 dalam Suherman et al., 2002). Haliman & Adijaya (2005) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut yang baik berkisar 4-6 ppm.

Kondisi Suhu Air

Suhu air merupakan faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi hidup dan kehidupan organisme perairan. Fluktuasi suhu air pada perlakuan A, B, C dan D disajikan pada Gambar 3. Pola suhu air pada semua perlakuan relatif sama mulai minggu ke-IV sampai minggu ke-XII. Hal ini diduga karena kondisi dan kedalaman air petak tambak relatif sama yaitu ± 80 cm akibatnya cahaya yang diserap oleh satuan kolom air dan dasar tambak relatif sama. Suhu air terendah (27,6oC) terjadi pada subuh hari, sedangkan suhu air tertinggi (34,3oC) terjadi pada sore hari. Hal ini sangat

0 1 2 3 4 5 6 IV VI VIII X XII O k si g e n t e rl ar u t (m g/ L) Minggu Ke-Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D

Gambar 2. Kadar minimum oksigen terlarut pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng

(5)

dipengaruhi oleh cahaya matahari yang jatuh ke permukaan, seperti yang dinyatakan oleh Nontji (1981) bahwa perbedaan suhu terjadi karena adanya perbedaan energi matahari yang diterima oleh perairan. Suhu akan naik dengan meningkatnya energi matahari yang masuk ke dalam perairan. Selanjutnya Sitorus & Hendriyanto (2011) menyatakan bahwa penyebaran temperatur dalam perairan dapat terjadi karena adanya penyerapan, angin dan aliran tegak, sedangkan faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya temperatur adalah : Latitude (letak tempat terhadap garis edaran matahari), alti-tude (letak ketinggian dari permukaan laut), musim, cuaca, naungan, waktu pengukuran dan kedalaman air.

Secara umum perbedaan temperatur yang terjadi masih di bawah 10 oC karena kondisi cuaca selama penelitian cukup stabil dimana tidak terjadi hujan yang dapat mempengaruhi temperatur harian sehingga kemungkinan kecil dapat terjadi perubahan metabolisme yang cepat terhadap ikan dan udang. Hal ini seperti yang dikemukakan Ghufran (2007) bahwa peningkatan temperatur air sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2–3 kali lipat.

Suhu air selama penelitian berkisar 27,6-34,3 oC. Kisaran ini masih dapat ditolerir oleh udang windu, ikan bandeng dan rumput laut. Menurut Nana & Putra (2008), ikan dan udang hidup normal pada kisaran suhu 28-32oC dengan fluktuasi suhu harian4oC. Udang windu tidak dapat hidup pada suhu kurang dari 15oC atau lebih dari 40oC (Sumeru & Anna, 1992). Bandeng yang masih muda mempunyai toleransi tinggi terhadap suhu air, yaitu sampai 42oC (Pannikar et al., 1952 dalam Suwardi Gambar 3. Fluktuasi suhu air harian pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan

bandeng 27 28 29 30 31 32 33 34 35 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu Su h u a ir ( C ) Minggu IV Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu Su h u a ir ( C ) Minggu VI Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D 26 27 28 29 30 31 32 33 34 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu Su h u a ir ( C ) Minggu VIII Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D 0 5 10 15 20 25 30 35 40 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu Su h u a ir ( C ) Minggu X Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu Su h u a ir ( C ) Minggu XII Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D

(6)

34,5oC dan untuk alga biru hijau 37oC (Hutagalung, 1988).

KESIMPULAN

Oksigen terlarut selama penelitian pada perlakuan A berkisar 1,9-12 mg/L, perlakuan B berkisar 1,1-11,8 mg/L, perlakuan C berkisar 2,4-10 mg/L dan perlakuan D berkisar 2-10,6 mg/L. Kisaran tersebut masih dapat ditolerir oleh udang windu dan ikan bandeng. Oksigen terlarut yang rendah (1,1 mg/L) hanya terjadi pada minggu ke-X yaitu pada pukul 05.00 dan berlangsung tidak lama sehingga belum membahayakan udang dan ikan yang dipelihara.

Kisaran oksigen terlarut selama 24 jam menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi antara siang dengan malam. Konsentrasi oksigen pada pagi hingga sore hari lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi oksigen pada sore hingga pagi hari.

Oksigen terlarut pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng mengalami penurunan pada semua perlakuan seiring dengan bertambahnya masa pemeliharaan.

DAFTAR ACUAN

Aslan, L.M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta. 92 hlm.

Barus, T.A. 2001. Pengantar Limnologi. Studi tentang ekosistim danau dan sungai. Departemen Biologi FMIPA USU. Medan.

Boyd, C.E. 1979. Water quality in warmwater fish ponds. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA.

Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Departement of Fisheries and Allied Aquacultures. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University. Alabama. 482 pp. Boyd, C.E. 1991. Water quality and aeration in shrimp farming. Aurbun University, Alabama,

Birming-ham Publishing Co. BirmingBirming-ham, Alabama.

Cole, G.A. 1983. Text Book of Limnology. Third Edition, Weveland Press Inc. Illinois.

Dahuri, R., Rais, S.P. Ginting & M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu Edisi revisi. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Ghufran, M.H. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan, Bhnineka Cipta. Goldman, C.R. & A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw Hill. New York. 464 pp.

Haliman, R.W. & D. Adijaya S. 2005. Udang Vaname, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hlm.

Hutagalung, H.P. 1988. Pengaruh suhu terhadap kehidupan organisme laut. Pewarta Oseana. LON-LIPI Jakarta. 13: 153-163.

Murachman, N. Hanani, Soemarno & S. Muhammad. 2010. Model polikultur udang windu (Penaeus monodon Fab) Ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) dan rumput laut (Gracillaria sp) secara tradisional. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari 1(1): 1-10.

Nana, S.S. & U, Putra. 2008. Manajemen kualitas tanah dan air dalam kegiatan perikanan budidaya. Balai Budidaya Air Payau, Takalar. Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. 27 hlm.

Nontji A. 1981. Fotosintesis dan fitoplankton laut. Tinjauan fisiologis dan ekologis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 386 hlm.

Pescod, M.B. 1973. Investigation of rational effluen and stream standard for tropical countries. A.I.T. Bangkok. 59 pp.

Pido, D.N. 2012. Parameter fisik, biologi, kimiawi air. http://novitadewipido.blogspot.com/2012/07/ parameter-fisik-biologi-kimiawi-air.html. Diakses tanggal 24 Januari 2014.

Sitorus, H. & D.A. Hendriyanto. 2011. Hubungan temperatur, oksigen terlarut dan salinitas dengan prevalensi parasit pada ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina). file:///C:/Users/AIE3SECOND/Down-loads/hubungan-temperatur-oksigen-terlarut.html. diakses tanggal 9 Maret 2013.

(7)

Suherman, H., Iskandar & S. Astuti. 2002. Studi kualitas air pada petakan pendederan benih udang windu (Penaeus monodon fab.) di Kabupaten Indramayu. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian Uni-versitas Padjadjaran. 18 hlm

Sumeru, S.U. & S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu. Kanisius. Yogyakarta. 94 hlm.

Suwardi, T. & M.J.R. Yakob. 1994. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan bandeng (Chanos chanos) umpan di tambak. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Maros. 10(2): 47–56.

Syahid, M., A. Subhan & R. Armando. 2006. Budidaya Udang Organik Secara Polikultur. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hlm.

Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan kualitas air. Bagian Akuakultur. Fakultas Perikanan IPB Bogor. 38 hlm.

(8)

Nama Penanya:

Nyoman Radiarta

Pertanyaan:

(1) Metode perlakuan RL yang berbeda. (2) Bagaimana model/desain polikulturnya? (3) Minggu ke-12 justru menurun, kenapa?

Tanggapan:

(1 dan 2) Model polikulturnya adalah yang terbaik di perlakuan B (UW+RL 2 ton+bandeng 500). (3) Biomassa meningkat dan akhir penelitian (X-NI) sudah mulai panen udang dan bandeng.

Gambar

Gambar  1. Fluktuasi oksigen terlarut  harian pada tambak polikultur udang  windu, rumput laut dan  ikan  bandeng
Gambar  2. Kadar minimum oksigen terlarut pada tambak polikultur udang  windu,  rumput  laut  dan  ikan  bandeng

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji t diatas maka dapat disimpulkan bahwa variabel produk, harga, promosi, dan tempat memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat

[r]

Berdasarkan pemaparan prestasi belajar di atas dapat diberikan penjelasan bahwa telah terjadi peningkatan prestasi belajar siswa dari siklus I mencapai rata-rata 63,33 naik menjadi

Beliau menolak ‘Malaysian Malaysia’ kerana konsep itu mencadangkan bahawa Malaysia yang diperintah oleh rejim tunku adalah buruk dan bahawa semua keistemewaan dan

persicae , dimana setiap genotypenya berbeda, diduga disebabkan oleh beberapa hal diantara yaitu sifat morfologi tanaman yang menghasilkan rangsangan fisik untuk kegiatan

Taggart yang terdiri dari perencanaan (plan), pelaksanaan dan observasi (action and observation), dan refleksi (reflection) yang diterapkan. Model tersebut diterapkan

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan program yang telah dilaksanakan Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru untuk

Sehingga akan didapatkan gambaran umum mengenai hubungan durasi bermain game online dengan tingkat stres pada siswa SMPN yang berada di kecamatan Sungai Raya