KAJIAN EKOLOGI HUTAN PANTAI DI SUAKA MARGASATWA
PULAU RAMBUT, TELUK JAKARTA
(Ecological Studies on Littoral Forest in Pulau Rambut
Wildlife Reserve, Jakarta Bay)
Onrizal *) Cecep Kusmana **)*) Staf Pengajar Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, USU **) Guru Besar Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB
Abstract
Ecological studies on littoral forest in Pulau Rambut Wildlife Reserve have been carried out with transect method from October to November 2002. This study would be covered on species composition, forest structure, and bird habitat. The result from three plots recorded the totally species number as 22 tree species. The dominant species in each growth stage were Dysoxylum amooroides in tree stage and Morinda citrifolia in sapling and seedling stage. Tree density is exponentially decreased from trees with small diameter to trees with big diameter. Some trees in littoral forest were in nesting and resting place by some bird.
Keywords: species composition, forest structure, littoral forest, Pulau Rambut Wildlife Reserve – Jakarta bay
A. Pendahuluan
Kershaw (1973) menjelaskan bahwa struktur vegetasi dinyatakan dalam tiga komponen, yaitu (1) susunan vertikal jenis, (2) susunan horizontal jenis, dan (3) kepadatan masing-masing jenis. Struktur tegakan merupakan hal penting dalam analisis ekosistem hutan. Sebagai contoh, Whittaker (1956) mencatat bahwa struktur dan komposisi vegetasi berubah mengikuti perubahan curah hujan, MacArthur & MacArthur (1961) menjelaskan pentingnya struktur hutan dalam memahami relung (niche) yang dibutuhkan jenis burung, dan Horn (1971) mengungkap hubungan antara perkembangan struktur dengan suksesi. Oleh karena struktur vegetasi merupakan dasar utama kajian ekologi (Kershaw, 1973), maka struktur hutan haruslah menjadi hal yang pertama kali diketahui guna mencapai pengelolaan hutan yang lestari.
Pulau Rambut merupakan salah satu pulau dari 108 pulau yang menyusun Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta yang secara geografis berada di antara 106,5o 41’ 30”
BT dan 5,5o 57’ LS. Pada tahun 1937,
Pulau Rambut ditetapkan sebagai cagar alam dengan tujuan untuk melindungi
berbagai jenis burung air yang banyak terdapat di pulau tersebut. Hasil evaluasi lingkungan yang dilakukan PPKHT IPB (1997) menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi habitat di Pulau Rambut. Oleh karena pada cagar alam tidak dibenarkan campur tangan manusia dalam kegiatan pembinaan habitat, maka diusulkan agar status kawasan diubah menjadi suaka margasatwa yang memungkinkan campur tangan manusia dalam pemulihan kondisi habitat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 275/Kpts-II/1999 tertanggal 7 Mei 1999, Pulau Rambut ditetapkan sebagai suaka margasatwa dengan luas 90 ha yang terdiri atas sekitar 45 ha daratan dan 45 ha perairan. Departemen Kehutanan (1994) melaporkan bahwa terdapat dua tipe vegetasi penting di Pulau Rambut, yakni hutan mangrove, dan hutan pantai yang merupakan habitat bagi berbagai burung di Teluk Jakarta.
Hutan pantai merupakan salah satu tipe hutan penting di Indonesia yang tumbuh pada lahan kering di kawasan pesisir. Selain mangrove, hutan pantai penting dalam menjaga stabilitas ekosistem pesisir, misalnya melindungi pantai dari abrasi, mencegah intrusi air laut, dan sebagai
habitat berbagai satwa. Namun demikian, masih sangat sedikit penelitian yang mengungkap fungsi dan keberadaan ekosistem hutan pantai. Cakupan penelitian ini antara lain adalah komposisi jenis, struktur hutan dan habitat burung di hutan pantai yang termasuk kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (SMPR).
B. Metode Penelitian
Analisis vegetasi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan pantai dilakukan pada petak ukur (PU) berupa klaster yang lebarnya 40 m, sedangkan panjangnya tergantung lebar kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (SMPR) yang ditumbuhi hutan pantai. Jarak antar- PU adalah 50 m, di mana di setiap PU dibagi menjadi 2 jalur dengan lebar masing-masing 20 m. Pada setiap jalur secara
nested sampling dibuat sub-sub PU untuk
permudaan, yakni (a) 2 x 2 m2 untuk semai,
yaitu permudaan pohon mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m, (b) 5 x 5 m2 untuk
pancang, yaitu permudaan pohon yang tingginya > 1,5 m dan berdiamater < 10 cm, dan (c) 20 x 20 m2 untuk pohon, yaitu
tumbuhan berkayu yang diamaternya ≥ 10 m.
Pada setiap sub-PU semai dan pancang dilakukan identifikasi jenis dan dicatat jumlah setiap jenisnya, sedangkan pada setiap sub-PU pohon dilakukan identifikasi jenis dan diukur diamater dan tinggi setiap individu pohon. Bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi, dilakukan pengamatan burung. Kegiatan pengamatan burung mencakup identifikasi jenis burung, dan mencatat aktivitasnya pada setiap jenis pohon dalam PU.
Untuk mengetahui jenis pohon dominan di setiap tingkat permudaan digunakan indeks nilai penting (INP) (Curtis & McIntosh, 1951; Cox, 1985; Kusmana, 1997), di mana INP terdiri atas kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif yang dihitung berdasarkan persamaan berikut:
a. Kerapatan suatu jenis (K)
contoh petak Luas jenis suatu individu K=
∑
b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) % 100 x jenis seluruh K jenis suatu K KR=
c. Frekuensi suatu jenis (F)
∑
∑
− − = contoh petak sub Seluruh jenis suatu ditemukan petak Sub Fd. Frekuensi relatif suatu jenis (FR) % 100 x jenis seluruh F jenis suatu F FR =
e. Dominansi suatu jenis (D)
contoh
petak
Luas
jenis
suatu
dasar
bidang
Luas
D
=
f. Dominansi relatif suatu jenis (DR) % 100 x jenis seluruh D jenis suatu D DR =
g. Indeks Nilai Penting (INP)
DR FR KR
INP= + +
Selanjutnya, untuk melihat struktur vertikal dan horizontal tegakan, setiap individu pohon dikelompokkan menurut klas tinggi, dan klas diameter. Lebar klas tinggi yang digunakan adalah 3 m, kecuali klas tinggi < 4 m. Pada sisi lain, klas diameter yang digunakan memiliki selang 10 cm, mulai dari diameter 10 cm.
C. Hasil dan Pembahasan Komposisi Jenis
Berdasarkan inventarisasi vegetasi, hutan pantai di Pulau Rambut terdiri atas 22 jenis pohon, di mana pada tingkat pohon dijumpai 22 jenis, pada tingkat pancang terdiri dari 5 jenis, dan pada tingkat semai terdapat 3 jenis (Tabel 1).
Jenis Dysoxylum amooroides merupakan jenis yang dominan pada tingkat pohon (INP = 108,77%) dan kerapatan jenisnya sebesar 94 ind/ha. Kerapatan total seluruh jenis tingkat pohon adalah sebesar 223 ind/ha, di mana selain jenis
D. amooroides, kerapatan masing-masing
jenis hanya berkisar antara 1 – 48 ind/ha. Sedangkan Morinda citrifolia merupakan jenis yang dominan pada tingkat pancang dan semai dengan INP secara berturut-turut
adalah 106,10% dan 120,26% di kedua tingkat pertumbuhan tersebut (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1 tersebut terlihat bahwa pada tingkat pohon hanya jenis D.
amooroides dan Gardenia sp. yang tersebar
Tabel 1. INP setiap jenis tingkat pohon di hutan pantai, SMPR
No. Nama Jenis K KR F FR D DR INP
A. Tingkat Pohon 1. Adenanthera microsperma 0,8 0,36 6,7 1,26 0,015 0,12 1,73 2. Alstonia scholaris 1,3 0,58 13,3 2,49 0,023 0,18 3,26 3. Casuarina equsetifolia 0,8 0,36 3,3 0,62 0,013 0,10 1,08 4. Diospyros maritima 9,6 4,30 50,0 9,38 0,268 2,13 15,81 5. Dysoxylum amooroides 93,5 41,91 83,3 15,62 6,434 51,24 108,77 6. Evodia sp. 0,2 0,09 3,3 0,62 0,004 0,03 0,74 7. Tamarindus sp. 2,3 1,03 6,7 1,26 0,039 0,31 2,60 8. Ficus benjamina 1,3 0,58 20,0 3,75 0,201 1,60 5,93 9. Ficus sp. 7,9 3,54 53,3 10,00 1,784 14,21 27,74 10. Gardenia sp. 37,1 16,63 80,0 15,00 0,954 7,60 39,23 11. Hibiscus tiliaceus 3,3 1,48 6,7 1,26 0,141 1,12 3,86 12. Ixora javanica 0,4 0,18 6,7 1,26 0,011 0,09 1,52 13. Ixora sp. 1,3 0,58 13,3 2,49 0,012 0,10 3,17 14. Morinda citrifolia 47,7 21,38 63,3 11,87 0,774 6,16 39,42 15. Planchonella obovata 0,4 0,18 3,3 0,62 0,009 0,07 0,87 16. Pometia sp. 0,8 0,36 6,7 1,26 0,012 0,10 1,71 17. Pometia pinnata 0,2 0,09 03,3 0,62 0,002 0,02 0,72 18. Schleichera oleosa 1,3 0,58 13,3 2,49 0,136 1,08 4,16 19. Sterculia foetida 7,1 3,18 53,3 10,00 1,488 11,85 25,03 20. Terminalia cattapa 0,4 0,18 6,7 1,26 0,051 0,41 1,84 21. Thespesia populnea 2,5 1,12 16,7 3,13 0,133 1,06 5,31 22. Vitex sp. 2,9 1,30 20,0 3,75 0,053 0,42 5,47
Total tingkat pohon 223,1 100,00 533,3 100,00 12,556 100,00 300,00
B. Tingkat pancang 1. Gardenia sp. 27 11,95 6,7 11,84 - 23,78 2. Morinda citrifiolia 120 53,10 30,0 53,00 - 106,10 3. Schleichera oleosa 13 5,75 3,3 5,83 - 11,58 4. Thespesia populnea 13 5,75 3,3 5,83 - 11,58 5. Vitex sp. 53 23,45 13,3 23,50 - 46,95
Total tingkat pancang 226 100,00 56,6 100,00 - 200,00
Ket.: K = Kerapatan (ind/ha), KR = Kerapatan Relatif (%) F = Frekuensi (%), FR = Frekuensi Relatif (%), D =
secara merata (F ≥ 75%), sedangkan jenis-jenis lainnya tersebar dalam secara tidak merata (F > 75%). Keseluruhan jenis yang dijumpai pada tingkat pancang dan semai di hutan pantai SMPR tersebar secara tidak merata dengan kerapatan yang rendah.
Whittaker (1974) menyatakan bahwa asumsi dasar dalam analisis struktur tegakan adalah untuk memperkirakan kecenderungan komposisi hutan di mana suatu jenis pancang dan semai yang kerapatannya rendah (atau dapat diabaikan) pada akhirnya akan hilang dari tegakan. Mengikuti asumsi tersebut, banyak jenis yang saat ini dijumpai di hutan pantai SMPR diperkirakan akan hilang dari tegakan di masa mendatang. Sebagai contoh, berdasarkan Tabel 1 terlihat hanya ada 3 jenis yang dijumpai pada tingkat semai, sehingga 19 jenis lainnya yang dijumpai saat ini pada tingkat pohon kemungkinan besar akan hilang dari tegakan di masa mendatang.
Struktur Vertikal
Pohon-pohon di hutan pantai SMPR tersebar mulai dari klas tinggi < 4,0 m - klas tinggi 22,0 – 24,9 m, di mana sebagian besar pohon tersebut tersebar pada klas tinggi 4,0 – 6,9 m dan 7,0 – 9,9 m dengan kerapatan pohon pada masing-masing kelas tinggi tersebut adalah sebesar 62 ind/ha. Pola sebaran pohon berdasarkan klas tinggi di hutan pantai SMPR disajikan pada Gambar 1.
Struktur Horizontal
Pohon-pohon di hutan pantai SMPR tersebar mulai dari klas dimeter 10 – 19 cm sampai dengan klas diamater 90 cm ke atas, di mana kerapatan pohon menurun secara eksponensial mulai dari klas diamater terkecil ke diamater terbesar, seperti kurva “L” (Gambar 2). Sebagian besar (62,1% atau 139 ind/ha) termasuk klas berdiameter antara 10 – 19 cm, kemudian terus menurun sampai klas diamater terbesar.
0 10 20 30 40 50 60 70 2 5 8 11 14 17 20 22
Nilai Tengah Klas Tinggi (m)
Ju
mlah pohon per ha
Gambar 1. Distribusi pohon berdasarkan klas tinggi di hutan pantai SMPR
K = 651,79 * exp (-0.103 * D); R2 = 99,67% Ju m lah po ho n p er ha Klas Diamater (cm) 0 20 40 60 80 100 120 140 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Gambar 2. Sebaran pohon berdasarkan klas diameter di hutan pantai SMPR Meyer (1952) menyatakan bahwa tegakan
hutan dengan distribusi diameter pohon seperti kurva “L” disebut sebagai hutan dalam kondisi seimbang (balanced forest), sehingga menjamin regenerasi tegakan di masa mendatang karena ketersediaan permudaan tingkat semai dan pancang yang cukup. Namun demikian, dengan mengacu pada Tabel 1, hanya ada 3 jenis yang dijumpai pada tingkat semai, yakni
D. amooroides, M. Citrifolia, dan Vitex sp.,
sehingga tegakan di masa mendatang akan dikuasai oleh 3 jenis tersebut, sementara 19 jenis lainnya akan kalah bersaing karena ketiadaan permudaan tingkat semai pada saat ini.
Habitat Burung
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 10 jenis pohon di hutan pantai merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, baik sebagai tempat bersarang maupun tempat beristirahat (Tabel 2).
Mardiastuti (1992) dan Departemen Kehutanan (1994) menyebutkan bahwa habitat burung di Pulau Rambut terdiri dari hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan dataran kering campuran (hutan pantai). Lebih lanjut Departemen Kehutanan (1994) manyatakan bahwa berbagai tipe hutan tersebut digunakan sebagai tempat bersarang dan tempat berlindung. Di habitat hutan pantai, jumlah individu burung ditemukan paling banyak. Hal ini disebabkan di hutan pantai terdapat banyak pohon yang digunakan
sebagai tempat bersarang dan tempat berlindung.
Mahmud (1991) melaporkan bahwa hutan pantai (Sterculia-Dysoxylum) di SMPR dihuni antara lain oleh cangak abu, pecuk ular, bluwok dan kowak maling. Imanuddin (1999) menginformasikan bahwa burung
Myctenia cinerea bersarang pada Sterculia foetida, Manilkara kauki dan Xylocarpus
Tabel 2. Penggunaan hutan pantai sebagai habitat oleh burung di SMPR
No. Jenis vegetasi Fungsi habitat* Jenis burung**
1) 2)
1. 1 Dysoxylum amooroides √ √ P, Nn,Am,Ei,Eg,Ea,Ac
2. Sterculia foetida √ √ P, Nn,Am,Ei,Eg,Ac
3. Schleichera oleosa √ - P,Nn
4. Ficus macrophylla √ √ P,Am,Ei
5. Gardenia sp √ √ Nn
6. Tamarandus indica √ - Nn,Am
7. Melia azedarach √ - Nn
8. Morinda citrifolia - √ Nn
9. Carica papaya - √ Nn
10. Diospyros maritima √ - Nn
Ket.: * 1) tempat bersarang, 2) tempat beristirahat; ** P = Pharacrocorax spp., Am = Anhingia melanogaster, Eg = Egretta garzetta, Ei = Egretta intermedia, Ea = Egretta alba, Ac = Ardea cinerea, Ap = Ardea purpurea, Nn = Nycticorax nycticorx
granatum dengan tinggi pohon > 6 meter
dan penutupan tajuk > 25,9 meter persegi. Selanjutnya, Ayat (2002) menyatakan bahwa pohon yang dijadikan sebagai tempat bersarang adalah Sterculia foetida,
Ficus timorensis pada hutan pantai, Rhizophora mucronata, dan Excoecaria agallocha pada hutan mangrove.
Karakteristik jenis pohon sebagai inang berupa pohon masih hidup dan jenis
emergent, kecuali pada tipe hutan mangrove yang memiliki tajuk yang tidak
berhubungan dengan tajuk pohon di sekitarnya dan berukuran lebar, tinggi pohon > 11 meter dan diameter sekitar 66,6 cm.
D. Kesimpulan
Hutan pantai di SMPR disusun oleh 22 jenis pohon yang didominasi oleh Dysoxylum
amooroides pada tingkat pohon, dan Morinda citrifolia pada tingkat pancang dan
semai. Pohon-pohon tersebut memiliki tinggi sampai 25 m, di mana sebagian besar tersebar pada klas tinggi 4,0 – 6,9 m dan 7,0 – 9,9 m. Kerapatan pohon secara horizontal menurun secara eksponensial dari pohon berdiameter kecil ke pohon berdiamater besar membentuk kurva “L”, sehingga menjamin regenerasi tegakan di masa mendatang. Sekitar 10 pohon di hutan pantai SMPR merupakan habitat bagi
berbagai jenis burung, baik sebagai tempat bersarang maupun tempat beristirahat. E. Daftar Pustaka
Ayat, A. 2002. Perilaku berbiak burung
bluwok (Mycteria cinerea Raffles) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Cox, G.W. 1985. Laboratory manual of
general ecology. 5th ed. Brown,
Dubuque.
Curtis, J.T. & R.P. McIntosh. 1951. “An
upland forest continuum in the praire-forest border region of Wisconsin”.
Ecol. 32 (3): 476-496
Departemen Kehutanan. 1994. Laporan
inventarisasi fauna di Cagar Alam Pulau Rambut dan Pulau Bokor serta pemeriksaan dan pemasangan tagging tahun 1993/1994. Jakarta.
Horn, H.S. 1971. The adapative geometry
of trees. Princeton Univ. Press, New
York.
Imanuddin. 1999. Beberapa aspek
persarangan dan perkembangan burung wilwo (Mycteria cinerea Raffles) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kershaw. K.A. 1973. Quantitative and
dynamic plant ecology. 2nd ed.
American elseiver Publ. Co. New York.
Kusmana, C. 1997. Metode survey
vegetasi. IPB Press. Bogor.
MacArthur, R.H. & J.W. MacArthur. 1961.
“On bird species diversity”. Ecology
42: 594-598
Mahmud, A. 1991. Kelimpahan dan pola
penyebaran burung-burung merandai di Cagar Alam Pulau Rambut.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mardiastuti, A. 1992. “Habitat and nest-site
characteristics of waterbirds Indonesia Pulau Rambut Nature Reserve, Jakarta Bay, Indonesia”.
Ph.D. Dissertation, Michigan State University.
Meyer, H.A. 1952. “Structure, growth, and
drain in balanced uneven-aged forests”. J. For. 50 (2): 85-92
PPKHT IPB Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika IPB. 1997. Perencanaan konservasi sumberdaya alam di kawasan pantai utara DKI Jakarta. Kerjasama Dinas
Kehutanan DKI Jakarta dengan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika IPB.
Whittaker, R.H. 1956. “Vegetation of Great
Smoky Mountains”. Ecol. Monogr.
26: 1-80
Whittaker, R.H. 1974. “Climax concepts and
recognition. In R. Knapp (Ed.), Vegetation Dynamics”. Handbook of
vegetation science vol. 8: 139-154. W. Junk Publishers, The Hague.