• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR REDAKSI. Om Swastyastu. Redaksi. Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANTAR REDAKSI. Om Swastyastu. Redaksi. Jurnal SANTI, Vol. 2 No. 1 Oktober 2018"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENGANTAR REDAKSI Om Swastyastu.

Pujastuti dipanjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa karena atas berkat rahmat-Nyalah Santi: Journal of Balinese Literature Volume 02 No 1 tahun 2018, Program Studi Sastra Bali Universitas Udayana bisa diterbitkan. Edisi atau terbitan kali ini menyajikan tulisan lebih variatif (bidang sastra, linguistik, dan juga hasil pengabdian kepada masyarakat) dengan berbagai topik yang menarik yang didasarkan atas hasil penelitian memalui fakta atau data yang telah diuji. Ada delapan tulisan yang patut dibaca dengan sajian sangat menarik. Pertama, Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum. dengan tulisannya berjudul “Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali “. Tulisan ini menjadi penting untuk memberikan pemahaman sastra Bali modern yang masih berhubungan dengan nilai budaya Bali tradisional. Kedua, Drs. I Ketut Ngurah Sulibra dan Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si. menyajikan hasil penelitiannya yang berjudul “Struktur Tematik Satua-Satua I Belog: Analisis Fungsi dan Nilai”. Dalam tulisan ini disajikan perspektif baru kajian folklor dari sudut sastra antropologis. Ketiga, Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. dan Drs. I Wayan Sukersa, M.Hum. menulis tentang Peranan Widyasabha dalam Membina Pasantian: Antara Harapan dan Realita. Disimpulkan dalam tulisan ini bahwa peran lembaga ini belum optimal dalamrangka pembinaan pasantian di Bali. Keempat, Ida Ayu Nita Piayanti, dan kawan-kawan menyajikan tulisan yang berjudul “Geguritan Bageóðāli: Kajian Filologis”. Tulisan ini sarat dengan indikasi adanya akulturasi Hindu-Islam dalam teks lontar Bali, dalam konteks filologis untuk mengurangi distorsi teks. Kelima, Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si. menyajikan tulisan dengan judul “Keutamaan dan Kemuliaan Asu” dalam Perspektif Mitologi Hindu”. Dalam tulisan ini ditekankan bahwa seekor anjing tidak serta merta dianggap sebagai binatang rendah (camah/kotor), tetapi dimuliakan sebagaimana tercermin dalam cerita Suargarohana Parwa dan cerita Sarameya (Adiparwa). Keenam, Drs. I Nyoman Darsana, M. Hum. dan Drs. I Wayan Suteja, M. Hum. dengan judul “Pemakaian Bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali SMTP di Bali: Kajian Sosolinguistik” merupakan hasil penelitian bidang linguistik bahwa masih banyak buku teks pelajaran bahasa Bali yang tidak sesuai dengan tingkat kegramatikalan bahasa Bali.

Ketujuh, Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum dengan judul Perkembangan Makna Budaya Sumbu Utama Arah sebagai Orientasi Ekologi Bali. Tulisan ini melacak perkembangan makna budaya leksikon tentang arah mata angin sebagai orientasi ekologi Bali yang mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat Bali. Kedelapan, Ida Wayan Eka Werdi Putra, dan kawan-kawan dengan judul “Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga”. Sajian kamus bahasa Bali-Indonesia khususnya bidang wariga bisa mempermudah masyarakat dalam memahami baik buruk hari dalam berkehidupan budaya dan agama yang frekuensinya relatif sering dilaksanakan. Terakhir yang kesembilan, adalah hasil pengabdian masyarakat yang berjudul “Pembinaan dan Pelatihan Penulisan Papan Nama Dwiaksara sesuai Pasang Aksara di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung”. Pengabdian ini dilakukan secara kolektif oleh tim dosen Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Unud.

Atas sumbangsih pemikiran Bapak/Ibu/Saudara/Saudari kami ucapkan banyak terima kasih. Redaksi

(3)

PENGANTAR REDAKSI Om Swastyastu.

Pujastuti dipanjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa karena atas berkat rahmat-Nyalah Santi: Journal of Balinese Literature Volume 02 No 1 tahun 2018, Program Studi Sastra Bali Universitas Udayana bisa diterbitkan. Edisi atau terbitan kali ini menyajikan tulisan lebih variatif (bidang sastra, linguistik, dan juga hasil pengabdian kepada masyarakat) dengan berbagai topik yang menarik yang didasarkan atas hasil penelitian memalui fakta atau data yang telah diuji. Ada delapan tulisan yang patut dibaca dengan sajian sangat menarik. Pertama, Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum. dengan tulisannya berjudul “Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali “. Tulisan ini menjadi penting untuk memberikan pemahaman sastra Bali modern yang masih berhubungan dengan nilai budaya Bali tradisional. Kedua, Drs. I Ketut Ngurah Sulibra dan Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si. menyajikan hasil penelitiannya yang berjudul “Struktur Tematik Satua-Satua I Belog: Analisis Fungsi dan Nilai”. Dalam tulisan ini disajikan perspektif baru kajian folklor dari sudut sastra antropologis. Ketiga, Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. dan Drs. I Wayan Sukersa, M.Hum. menulis tentang Peranan Widyasabha dalam Membina Pasantian: Antara Harapan dan Realita. Disimpulkan dalam tulisan ini bahwa peran lembaga ini belum optimal dalamrangka pembinaan pasantian di Bali. Keempat, Ida Ayu Nita Piayanti, dan kawan-kawan menyajikan tulisan yang berjudul “Geguritan Bageóðāli: Kajian Filologis”. Tulisan ini sarat dengan indikasi adanya akulturasi Hindu-Islam dalam teks lontar Bali, dalam konteks filologis untuk mengurangi distorsi teks. Kelima, Drs. I Nyoman Duana Sutika, M. Si. menyajikan tulisan dengan judul “Keutamaan dan Kemuliaan Asu” dalam Perspektif Mitologi Hindu”. Dalam tulisan ini ditekankan bahwa seekor anjing tidak serta merta dianggap sebagai binatang rendah (camah/kotor), tetapi dimuliakan sebagaimana tercermin dalam cerita Suargarohana Parwa dan cerita Sarameya (Adiparwa). Keenam, Drs. I Nyoman Darsana, M. Hum. dan Drs. I Wayan Suteja, M. Hum. dengan judul “Pemakaian Bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali SMTP di Bali: Kajian Sosolinguistik” merupakan hasil penelitian bidang linguistik bahwa masih banyak buku teks pelajaran bahasa Bali yang tidak sesuai dengan tingkat kegramatikalan bahasa Bali.

Ketujuh, Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum dengan judul Perkembangan Makna Budaya Sumbu Utama Arah sebagai Orientasi Ekologi Bali. Tulisan ini melacak perkembangan makna budaya leksikon tentang arah mata angin sebagai orientasi ekologi Bali yang mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan masyarakat Bali. Kedelapan, Ida Wayan Eka Werdi Putra, dan kawan-kawan dengan judul “Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga”. Sajian kamus bahasa Bali-Indonesia khususnya bidang wariga bisa mempermudah masyarakat dalam memahami baik buruk hari dalam berkehidupan budaya dan agama yang frekuensinya relatif sering dilaksanakan. Terakhir yang kesembilan, adalah hasil pengabdian masyarakat yang berjudul “Pembinaan dan Pelatihan Penulisan Papan Nama Dwiaksara sesuai Pasang Aksara di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung”. Pengabdian ini dilakukan secara kolektif oleh tim dosen Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Unud.

Atas sumbangsih pemikiran Bapak/Ibu/Saudara/Saudari kami ucapkan banyak terima kasih. Redaksi

(4)

DAFTAR ISI

Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali (1) I Wayan Suardiana

Struktur Tematik Satua-Satua I Belog: Analisis Fungsi dan Nilai (11) I Ketut Ngurah Sulibra dan I Nyoman Duana Sutika

Peranan Widyasabha dalam Membina Pasantian: Antara Harapan dan Realita (21) I Ketut Jirnaya dan I Wayan Sukersa

Geguritan Bageóðāli: Kajian Filologis (26)

Ida Ayu Putu Nita Piayanti, I Wayan Suardiana, I Ketut Ngurah Sulibra

Keutamaan dan Kemuliaan “Asu” dalam Perspektif Mitologi Hindu (43) I Nyoman Duana Sutika

Pemakaian Bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali SMTP di Bali: (48) Kajian Sosolinguistik

I Nyoman Darsana dan I Wayan Suteja

Perkembangan Makna Budaya Sumbu Utama Arah sebagai Orientasi Ekologi Bali (58) Putu Eka Guna Yasa

Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga (69)

Ida Wayan Eka Werdi Putra, I Nyoman Duana Sutika, I Gde Nala Antara

Pembinaan dan Pelatihan Penulisan Papan Nama Dwiaksara (81) sesuai Pasang Aksara di Kecamatan Banjarangkan

Kabupaten Klungkung

I Ketut Ngurah Sulibra, Ni Made Suryati, Ni Ketut Ratna Erawati, Luh Putu Puspawati, I Gde Nala Antara, M.Hum.

PERANAN KESUSASTRAAN BALI MODERN

DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER MASYARAKAT BALI

Oleh

I Wayan Suardiana Email: i.suardiana@yahoo.co.id I. Pendahuluan

Keberadaan kesusastraan Bali sampai pada apa yang kita warisi pada saat ini merupakan lintasan sejarah yang cukup panjang. Bila kita cermati dan ikuti pembagian dari beberapa pemerhati kesusastraan Bali –sebagaimana pula halnya kesusastraan lainnya di Nusantara (tradisional pun modern)- ada beberapa sudut pandang yang digunakan untuk melihat pembagian kesusastraan Bali. I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978: 4) misalnya, membagi kesusastraan Bali itu menjadi dua, yaitu: (1) Kesusastraan Bali Purwa dan (2) Kesusastraan Bali Anyar. Selanjutnya Kesusastraan Bali Purwa dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni: (a) Kasusastran Gantian (satua, folklor atau cerita rakyat) dan (b) Kasusastran Sesuratan (tulis). Pada bidang kesusastraan Bali purwa yang tergolong ke dalam Kasusastran Gantian ini dimasukkan unsur saa (ucapan-ucapan magis); mantra-mantra;

gegendingan (nyanyian anak-anak), wewangsalan (tamsil), cecimpedan (teka-teki) serta cerita rakyat

(satua).

Pembagian di atas tanpa memberi penjelasan lebih lanjut tentang pembagian kesusastraan dalam bentuk sesuratan (tulisnya) di satu sisi dan kesusastraan Bali anyar (modern) di sisi yang lain. Di pihak lain, Agastia –yang pada dasarnya mempertegas- pembagian yang disampaikan Bagus di atas, memberikan pembagian kepada kesusastraan Bali lisan klasik menjadi dua bentuk, yaitu (1) bentuk bebas, dan (2) bentuk terikat. Bagian pertama populer dengan nama satua (cerita rakyat), sedangkan yang kedua merupakan bentuk terikat (1980: 13). Bentuk kedua ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Bagus di atas.

Pembagian kesusastraan Bali juga disampaikan oleh Agastia dalam dua cara, pertama, tinjauan dari sudut fungsional dan kedua dari sudut struktural (Ibid: 8). Pembagian dari sudut pandang fungsional, dimaksudkan semua hasil kesusastraan yang tersurat dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna juga dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa hasil kesusastraan Jawa Kuna yang memakai bahasa yang sama (Jawa Kuna/Kawi) masih difungsikan oleh masyarakat Bali, terutama dalam upacara keagamaan, seperti kakawin, kidung, dan parwa. Sedangkan, apabila ditinjau dari sudut struktural maka hanya hasil kesusastraan yang menggunakan bahasa Bali saja dimasukkan sebagai hasil karya sastra Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa secara struktur bahasa, hanya karya-karya yang menggunakan bahasa Bali saja yang dapat dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali.

Selanjutnya, dalam tataran modern, kesusastraan Bali dapat dikelompokkan ke dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam pembahasan lebih lanjut, fokus tulisan ini hanya memaparkan keberadaan Kesusantraan Bali Modern dalam segala aspeknya khususnya berkaitan dengan "Peran Kesusastraan Bali dalam Membangun Karakter Bangsa".

II. Apa itu Kesusastraan?

Memberikan definisi tentang kesusastraan sama sulitnya sebagaimana dengan memberikan definisi terhadap sastra. Meskipun demikian, secara sederhana dapat dirumuskan pengertian kesusastraan itu dari merunut istilah sastra itu sendiri.

Sastra (literature I, littérature P) didefinikan sebagai karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya

(5)

DAFTAR ISI

Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali (1) I Wayan Suardiana

Struktur Tematik Satua-Satua I Belog: Analisis Fungsi dan Nilai (11) I Ketut Ngurah Sulibra dan I Nyoman Duana Sutika

Peranan Widyasabha dalam Membina Pasantian: Antara Harapan dan Realita (21) I Ketut Jirnaya dan I Wayan Sukersa

Geguritan Bageóðāli: Kajian Filologis (26)

Ida Ayu Putu Nita Piayanti, I Wayan Suardiana, I Ketut Ngurah Sulibra

Keutamaan dan Kemuliaan “Asu” dalam Perspektif Mitologi Hindu (43) I Nyoman Duana Sutika

Pemakaian Bahasa Bali pada Buku Ajar Bahasa Bali SMTP di Bali: (48) Kajian Sosolinguistik

I Nyoman Darsana dan I Wayan Suteja

Perkembangan Makna Budaya Sumbu Utama Arah sebagai Orientasi Ekologi Bali (58) Putu Eka Guna Yasa

Kamus Bali-Indonesia Bidang Istilah Wariga (69)

Ida Wayan Eka Werdi Putra, I Nyoman Duana Sutika, I Gde Nala Antara

Pembinaan dan Pelatihan Penulisan Papan Nama Dwiaksara (81) sesuai Pasang Aksara di Kecamatan Banjarangkan

Kabupaten Klungkung

I Ketut Ngurah Sulibra, Ni Made Suryati, Ni Ketut Ratna Erawati, Luh Putu Puspawati, I Gde Nala Antara, M.Hum.

PERANAN KESUSASTRAAN BALI MODERN

DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER MASYARAKAT BALI

Oleh

I Wayan Suardiana Email: i.suardiana@yahoo.co.id I. Pendahuluan

Keberadaan kesusastraan Bali sampai pada apa yang kita warisi pada saat ini merupakan lintasan sejarah yang cukup panjang. Bila kita cermati dan ikuti pembagian dari beberapa pemerhati kesusastraan Bali –sebagaimana pula halnya kesusastraan lainnya di Nusantara (tradisional pun modern)- ada beberapa sudut pandang yang digunakan untuk melihat pembagian kesusastraan Bali. I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978: 4) misalnya, membagi kesusastraan Bali itu menjadi dua, yaitu: (1) Kesusastraan Bali Purwa dan (2) Kesusastraan Bali Anyar. Selanjutnya Kesusastraan Bali Purwa dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni: (a) Kasusastran Gantian (satua, folklor atau cerita rakyat) dan (b) Kasusastran Sesuratan (tulis). Pada bidang kesusastraan Bali purwa yang tergolong ke dalam Kasusastran Gantian ini dimasukkan unsur saa (ucapan-ucapan magis); mantra-mantra;

gegendingan (nyanyian anak-anak), wewangsalan (tamsil), cecimpedan (teka-teki) serta cerita rakyat

(satua).

Pembagian di atas tanpa memberi penjelasan lebih lanjut tentang pembagian kesusastraan dalam bentuk sesuratan (tulisnya) di satu sisi dan kesusastraan Bali anyar (modern) di sisi yang lain. Di pihak lain, Agastia –yang pada dasarnya mempertegas- pembagian yang disampaikan Bagus di atas, memberikan pembagian kepada kesusastraan Bali lisan klasik menjadi dua bentuk, yaitu (1) bentuk bebas, dan (2) bentuk terikat. Bagian pertama populer dengan nama satua (cerita rakyat), sedangkan yang kedua merupakan bentuk terikat (1980: 13). Bentuk kedua ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Bagus di atas.

Pembagian kesusastraan Bali juga disampaikan oleh Agastia dalam dua cara, pertama, tinjauan dari sudut fungsional dan kedua dari sudut struktural (Ibid: 8). Pembagian dari sudut pandang fungsional, dimaksudkan semua hasil kesusastraan yang tersurat dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna juga dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa hasil kesusastraan Jawa Kuna yang memakai bahasa yang sama (Jawa Kuna/Kawi) masih difungsikan oleh masyarakat Bali, terutama dalam upacara keagamaan, seperti kakawin, kidung, dan parwa. Sedangkan, apabila ditinjau dari sudut struktural maka hanya hasil kesusastraan yang menggunakan bahasa Bali saja dimasukkan sebagai hasil karya sastra Bali. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa secara struktur bahasa, hanya karya-karya yang menggunakan bahasa Bali saja yang dapat dimasukkan ke dalam kesusastraan Bali.

Selanjutnya, dalam tataran modern, kesusastraan Bali dapat dikelompokkan ke dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam pembahasan lebih lanjut, fokus tulisan ini hanya memaparkan keberadaan Kesusantraan Bali Modern dalam segala aspeknya khususnya berkaitan dengan "Peran Kesusastraan Bali dalam Membangun Karakter Bangsa".

II. Apa itu Kesusastraan?

Memberikan definisi tentang kesusastraan sama sulitnya sebagaimana dengan memberikan definisi terhadap sastra. Meskipun demikian, secara sederhana dapat dirumuskan pengertian kesusastraan itu dari merunut istilah sastra itu sendiri.

Sastra (literature I, littérature P) didefinikan sebagai karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya

(6)

(Sudjiman, ed., 1986: 68). Sementara itu, Zaidan, dkk. (2000: 181) mendefinisikan sastra sebagai tulisan dalam arti yang luas. Umumnya sastra berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa. Luxemburg, dkk. (1989: 21 --22) memberikan batasan tentang sastra ke dalam enam bagian, yaitu:

(1) Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, seperti dengan paralelisme, kiasan, penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, dan khusus dalam teks kisahan ada bentuk dan sudut pandang yang bermacam-macam;

(2) Teks sastra ditandai oleh fiksionalitas atau rekaan.

(3) Dalam sastra ada wawasan yang lebih umum tentang masalah manusiawi, sosial, ataupun intelektual;

(4) Teks sastra dapat diinterpretasikan secara terbuka oleh pembaca dalam berbagai tataran pula; (5) Dalam sastra selalu ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi;

(6) Teks sastra kebanyakan tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis. Sastra didefinisikan pula sebagai bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Pengertian sastra disamakan dengan Kesusastraan, yaitu karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa (seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah) (Poerwadarminta, 1987: 875).

III Perkembangan Kesusastraan Bali Anyar (Modern) 3.1 Tonggak Sejarah Kesusastraan Bali Anyar (Modern)

Tonggak keberadaan kesusastraan Bali Anyar oleh para sujana Bali awalnya diakui sejak terbitnya novel/roman Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah tahun 1931. Pendapat-pendapat bahwa sastra Bali modern (Kasusastran Bali Anyar) bermula tahun 1931 terus didaur-ulang sejak 1969 sampai tahun 2000. Dalam situasi tidak tersedia bukti-bukti lain, tentu saja mudah menerima pendapat yang mengatakan bahwa sejarah sastra Bali modern bermula tahun 1931 karena tahun itulah untuk pertama kalinya terbit karya sastra berbahasa Bali dalam bentuk roman. Lebih-lebih, karya ini juga memiliki keistimewaan karena diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit penting pada zaman kolonial (bahkan sampai sekarang).

Pendapat di atas gugur setelah terbitnya buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern karya I Nyoman Darma Putra tahun 2000 silam. Menurut Putra (2000: 7) tahun 1913, I Madé Pasek menerbitkan buku berjudul Tjatoer Perenidanâ, Tjakepan kaping doeâ pâpeladjahan sang mâmanah

maoeroek mâmaos aksarâ Belanda yang diterbitkan di Semarang oleh percetakan Brukkerij en

Boekhandel H.A. Benjamnis. Dalam buku ini termuat 46 judul tulisan, ada teks eksposisi, deskripsi, dan narasi. Salah satu teks yang berbentuk narasi (cerita) berjudul Balian, yang mengisahkan keadaan manusia biasa sehari-hari, bukan kisah dewa atau binatang seperti pada sastra lisan, menunjukkan bahwa telah ada bentuk baru dalam sastra Bali saat itu. Karya I Madé Pasek lainnya berjudul Pemadat. Selanjutnya Mas Nitisastro, seorang guru di Singaraja, menerbitkan buku Warna Sari, Batjaan Bali

Hoeroef Belanda (1925). Dalam buku ini termuat cerpen berjudul Loba dan Anak Ririh.

Berdasarkan kedua penulis di atas, tonggak keberadaan sastra Bali modern bergeser dari tahun 1931 ke tahun 1913. Lama vakum, baru tahun 1959 lahir puisi Bali modern dengan judul “Basa Bali” karya Suntari Pr. dalam majalah Medan Bahasa Basa Bali No.1 Th. I, Maret 1959, hlm 30. Sesungguhnya, antara tahun 1931 sampai tahun 1959 hanya ada tiga karya sastra Bali Modern; Nemoe

Karma (roman), Basa Bali (puisi), dan satunya lagi belum diterbitkan berupa novel/roman, karya I

Gde Srawana berjudul Mlantjaran ka Sasak (dimuat dalam majalah Djatajoe antara tahun 1935 s.d.1939).

3.2 Perkembangan Puisi Bali Anyar (Modern)

Perkembangan kesusastraan Bali modern, khususnya dalam bentuk puisi, setelah puisi Basa

Bali selanjutnya baru tahun 1968 ada puisi berjudul “Angin” yang merupakan terjemahan dari puisi

karya Boris Pasternak “Wind”. Puisi ini diterjemahkan oleh I Ketut Suwidja dan dimuat pada harian

Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara tanggal 16 Juni 1968 (Sumarta, 1988: 43). Pada tahun

yang sama (1968), Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja –kini Balai Penelitian Bahasa- mengadakan sayembara penulisan karya sastra Bali Modern yang meliputi puisi, cerita pendek, dan drama. Sayembara ini merupakan sayembara pertama untuk penulisan puisi Bali modern. Terpilih empat puisi sebagai pemenang pertama sampai harapan, yaitu : “Bali” karya Ngurah Yupa (I Gusti Ngurah Yudha Panik); “Gaguritan Pianak Bendéga” karya Arthanegara (I Gusti Bagus Arthanegara); “Pura Agung Jagatnatha” karya I Wayan Rugeg Nataran; dan “Galang Bulan” karya Ketut Putra. Selanjutnya tahun 1969, untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja mengadakan sayembara yang sama. Selain itu, sayembara yang kedua ini juga menyertakan sayembara penerjemahan puisi. Pemenangnya adalah: “Mati Nguda” karya Putu Sedana; “Pinunas” karya Ngurah Agung; “Suara saking Kawahé” karya I Wayan Rugeg Nataran. Puisi terjemahan yang mendapat juara kedua –pemenang pertama dan ketiga tidak ada- yakni puisi “Di Sisin Cariké” terjemahan oleh I Wayan Rugeg Nataran dari puisi “Di Tepi Sawah” karya Toto Sudarto Bachtiar.

Tahun 1972 Listibya Provinsi Bali menerbitkan buku Himpunan Naskah Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional. Untuk puisi Bali Modern pemenangnya, berturut-turut: “Suara saking Sétra” karya Madé Sanggra; “Taman Tirta Gangga” karya I Gusti Ayu Ngurah Murtini; “Pura Besakih” karya Anak Agung Gede Jelantik; “Wit Cemara” karya Nyoman Tusthi Eddy; dan “Pabesen I Tua” karya I Gusti Ketut Waca Warsana.

Tahun 1973, Yayasan Dharma Budhaya, Gianyar menerbitkan buku yang memuat 34 puisi karya Madé Sanggra dan Nyoman Manda dengan judul Ganda Sari. Yayasan ini juga menerbitkan buku kumpulan puisi Joged Bumbung karya I Nyoman Manda sebanyak 20 buah pada tahun 1975.

Yayasan Sabha Sastra Bali pada tahun 1976 menerbitkan kumpulan puisi yang memuat 25 puisi dari tujuh orang penyair, berjudul Galang Kangin. Ketujuh penyair itu, yaitu: Agastia; Aryottama; Raka Téja; Utara Wungsu; Madé Taro; Wayan Jéndra; dan Madé Sanggra. Selanjutnya, tahun 1978 terbit sebuah bunga rampai yang disunting oleh I Gusti Ngurah Bagus bersama I Ketut Ginarsa. Bunga rampai ini berjudul Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa, Singaraja. Buku ini terdiri atas dua jilid. Jilid pertama memuat puisi-puisi Bali modern sejumlah 150 judul karya 41 orang penulis puisi Bali modern. Pada intinya puisi-puisi ini pernah diterbitkan pada harian Suluh Marhaén, Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara antara tahun 1968 s.d. 1975 (Ibid: 53).

Selanjutnya tahun 1980 terbit kumpulan puisi berjudul Klangen ring Batur. Kumpulan puisi karya Nyoman Manda ini memuat 14 judul puisi Bali modern. Tahun 1981, Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan pula sebuah buku kumpulan puisi yang berjudul Puyung. Kumpulan ini berisi 13 puisi karya tujuh orang penulis, yakni Ki Nirdon (nama samaran Ida Bagus Gede Agastia), I Ketut Suwidja, I Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, Wayan Suteja, Aturu, dan Deratha.

Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra kembali menerbitkan sebuah kumpulan puisi dengan judul

Ngayah. Kumpulan ini berisi 17 puisi karya enam penulis, yakni Ki Nirdon, Made Suarsa, Made

Sanggra, Putu Suarthama, I Dewa Gde Windhu Sancaya, dan Nyoman Tusthi Eddy. Masih dalam tahun yang sama (1982) terbit pula kumpulan puisi berjudul Rah. Kumpulan ini berisi 10 puisi karya I Gusti Putu Antara yang diterbitkan sendiri oleh penulisnya.

Tahun 1983 terbit dua buku kumpulan puisi, yaitu (1) Ai dan (2) Bunga Gadung Ulung Akatih. Yang pertama diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali dan berisi 31 puisi, di antaranya 19 puisi terjemahan yang dikerjakan oleh Nyoman Tusthi Éddy (18 puisi) serta I Dewa Gde Windhu Sancaya (1 puisi). Puisi-puisi Bali modern yang asli dalam kumpulan puisi Ai ini ditulis oleh Ki Nirdon, I

(7)

(Sudjiman, ed., 1986: 68). Sementara itu, Zaidan, dkk. (2000: 181) mendefinisikan sastra sebagai tulisan dalam arti yang luas. Umumnya sastra berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa. Luxemburg, dkk. (1989: 21 --22) memberikan batasan tentang sastra ke dalam enam bagian, yaitu:

(1) Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, seperti dengan paralelisme, kiasan, penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, dan khusus dalam teks kisahan ada bentuk dan sudut pandang yang bermacam-macam;

(2) Teks sastra ditandai oleh fiksionalitas atau rekaan.

(3) Dalam sastra ada wawasan yang lebih umum tentang masalah manusiawi, sosial, ataupun intelektual;

(4) Teks sastra dapat diinterpretasikan secara terbuka oleh pembaca dalam berbagai tataran pula; (5) Dalam sastra selalu ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi;

(6) Teks sastra kebanyakan tidak disusun khusus untuk tujuan komunikasi langsung atau praktis. Sastra didefinisikan pula sebagai bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Pengertian sastra disamakan dengan Kesusastraan, yaitu karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa (seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah) (Poerwadarminta, 1987: 875).

III Perkembangan Kesusastraan Bali Anyar (Modern) 3.1 Tonggak Sejarah Kesusastraan Bali Anyar (Modern)

Tonggak keberadaan kesusastraan Bali Anyar oleh para sujana Bali awalnya diakui sejak terbitnya novel/roman Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah tahun 1931. Pendapat-pendapat bahwa sastra Bali modern (Kasusastran Bali Anyar) bermula tahun 1931 terus didaur-ulang sejak 1969 sampai tahun 2000. Dalam situasi tidak tersedia bukti-bukti lain, tentu saja mudah menerima pendapat yang mengatakan bahwa sejarah sastra Bali modern bermula tahun 1931 karena tahun itulah untuk pertama kalinya terbit karya sastra berbahasa Bali dalam bentuk roman. Lebih-lebih, karya ini juga memiliki keistimewaan karena diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit penting pada zaman kolonial (bahkan sampai sekarang).

Pendapat di atas gugur setelah terbitnya buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern karya I Nyoman Darma Putra tahun 2000 silam. Menurut Putra (2000: 7) tahun 1913, I Madé Pasek menerbitkan buku berjudul Tjatoer Perenidanâ, Tjakepan kaping doeâ pâpeladjahan sang mâmanah

maoeroek mâmaos aksarâ Belanda yang diterbitkan di Semarang oleh percetakan Brukkerij en

Boekhandel H.A. Benjamnis. Dalam buku ini termuat 46 judul tulisan, ada teks eksposisi, deskripsi, dan narasi. Salah satu teks yang berbentuk narasi (cerita) berjudul Balian, yang mengisahkan keadaan manusia biasa sehari-hari, bukan kisah dewa atau binatang seperti pada sastra lisan, menunjukkan bahwa telah ada bentuk baru dalam sastra Bali saat itu. Karya I Madé Pasek lainnya berjudul Pemadat. Selanjutnya Mas Nitisastro, seorang guru di Singaraja, menerbitkan buku Warna Sari, Batjaan Bali

Hoeroef Belanda (1925). Dalam buku ini termuat cerpen berjudul Loba dan Anak Ririh.

Berdasarkan kedua penulis di atas, tonggak keberadaan sastra Bali modern bergeser dari tahun 1931 ke tahun 1913. Lama vakum, baru tahun 1959 lahir puisi Bali modern dengan judul “Basa Bali” karya Suntari Pr. dalam majalah Medan Bahasa Basa Bali No.1 Th. I, Maret 1959, hlm 30. Sesungguhnya, antara tahun 1931 sampai tahun 1959 hanya ada tiga karya sastra Bali Modern; Nemoe

Karma (roman), Basa Bali (puisi), dan satunya lagi belum diterbitkan berupa novel/roman, karya I

Gde Srawana berjudul Mlantjaran ka Sasak (dimuat dalam majalah Djatajoe antara tahun 1935 s.d.1939).

3.2 Perkembangan Puisi Bali Anyar (Modern)

Perkembangan kesusastraan Bali modern, khususnya dalam bentuk puisi, setelah puisi Basa

Bali selanjutnya baru tahun 1968 ada puisi berjudul “Angin” yang merupakan terjemahan dari puisi

karya Boris Pasternak “Wind”. Puisi ini diterjemahkan oleh I Ketut Suwidja dan dimuat pada harian

Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara tanggal 16 Juni 1968 (Sumarta, 1988: 43). Pada tahun

yang sama (1968), Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja –kini Balai Penelitian Bahasa- mengadakan sayembara penulisan karya sastra Bali Modern yang meliputi puisi, cerita pendek, dan drama. Sayembara ini merupakan sayembara pertama untuk penulisan puisi Bali modern. Terpilih empat puisi sebagai pemenang pertama sampai harapan, yaitu : “Bali” karya Ngurah Yupa (I Gusti Ngurah Yudha Panik); “Gaguritan Pianak Bendéga” karya Arthanegara (I Gusti Bagus Arthanegara); “Pura Agung Jagatnatha” karya I Wayan Rugeg Nataran; dan “Galang Bulan” karya Ketut Putra. Selanjutnya tahun 1969, untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja mengadakan sayembara yang sama. Selain itu, sayembara yang kedua ini juga menyertakan sayembara penerjemahan puisi. Pemenangnya adalah: “Mati Nguda” karya Putu Sedana; “Pinunas” karya Ngurah Agung; “Suara saking Kawahé” karya I Wayan Rugeg Nataran. Puisi terjemahan yang mendapat juara kedua –pemenang pertama dan ketiga tidak ada- yakni puisi “Di Sisin Cariké” terjemahan oleh I Wayan Rugeg Nataran dari puisi “Di Tepi Sawah” karya Toto Sudarto Bachtiar.

Tahun 1972 Listibya Provinsi Bali menerbitkan buku Himpunan Naskah Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional. Untuk puisi Bali Modern pemenangnya, berturut-turut: “Suara saking Sétra” karya Madé Sanggra; “Taman Tirta Gangga” karya I Gusti Ayu Ngurah Murtini; “Pura Besakih” karya Anak Agung Gede Jelantik; “Wit Cemara” karya Nyoman Tusthi Eddy; dan “Pabesen I Tua” karya I Gusti Ketut Waca Warsana.

Tahun 1973, Yayasan Dharma Budhaya, Gianyar menerbitkan buku yang memuat 34 puisi karya Madé Sanggra dan Nyoman Manda dengan judul Ganda Sari. Yayasan ini juga menerbitkan buku kumpulan puisi Joged Bumbung karya I Nyoman Manda sebanyak 20 buah pada tahun 1975.

Yayasan Sabha Sastra Bali pada tahun 1976 menerbitkan kumpulan puisi yang memuat 25 puisi dari tujuh orang penyair, berjudul Galang Kangin. Ketujuh penyair itu, yaitu: Agastia; Aryottama; Raka Téja; Utara Wungsu; Madé Taro; Wayan Jéndra; dan Madé Sanggra. Selanjutnya, tahun 1978 terbit sebuah bunga rampai yang disunting oleh I Gusti Ngurah Bagus bersama I Ketut Ginarsa. Bunga rampai ini berjudul Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa, Singaraja. Buku ini terdiri atas dua jilid. Jilid pertama memuat puisi-puisi Bali modern sejumlah 150 judul karya 41 orang penulis puisi Bali modern. Pada intinya puisi-puisi ini pernah diterbitkan pada harian Suluh Marhaén, Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara antara tahun 1968 s.d. 1975 (Ibid: 53).

Selanjutnya tahun 1980 terbit kumpulan puisi berjudul Klangen ring Batur. Kumpulan puisi karya Nyoman Manda ini memuat 14 judul puisi Bali modern. Tahun 1981, Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan pula sebuah buku kumpulan puisi yang berjudul Puyung. Kumpulan ini berisi 13 puisi karya tujuh orang penulis, yakni Ki Nirdon (nama samaran Ida Bagus Gede Agastia), I Ketut Suwidja, I Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, Wayan Suteja, Aturu, dan Deratha.

Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra kembali menerbitkan sebuah kumpulan puisi dengan judul

Ngayah. Kumpulan ini berisi 17 puisi karya enam penulis, yakni Ki Nirdon, Made Suarsa, Made

Sanggra, Putu Suarthama, I Dewa Gde Windhu Sancaya, dan Nyoman Tusthi Eddy. Masih dalam tahun yang sama (1982) terbit pula kumpulan puisi berjudul Rah. Kumpulan ini berisi 10 puisi karya I Gusti Putu Antara yang diterbitkan sendiri oleh penulisnya.

Tahun 1983 terbit dua buku kumpulan puisi, yaitu (1) Ai dan (2) Bunga Gadung Ulung Akatih. Yang pertama diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali dan berisi 31 puisi, di antaranya 19 puisi terjemahan yang dikerjakan oleh Nyoman Tusthi Éddy (18 puisi) serta I Dewa Gde Windhu Sancaya (1 puisi). Puisi-puisi Bali modern yang asli dalam kumpulan puisi Ai ini ditulis oleh Ki Nirdon, I

(8)

Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, dan Wayan Selat Wirata. Adapun kumpulan puisi Bunga

Gadung Ulung Akatih berisi 12 puisi karya Nyoman Manda sendiri dan diterbitkannya sendiri dengan

lebel Pondok Tebawatu, Gianyar. Terbitan terakhir, puisi Bali modern pada periode 1980-an ini berjudul Gending Pangapti yang diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali. Kumpulan ini terbit tahun 1984 dan berisi 29 puisi karya Made Sanggra, I Ketut Sumarta, Ida Bagus Rai Putra, dan I Dewa Gde Windhu Sancaya. Tahun 1988 Yayasan Kawi Sastra Mandala menerbitkan kumpulan puisi Bali modern dengan judul Satria Kuladewa karya IGP. Antara (Putra, Op. Cit: 65). Selanjutnya, keberadaan puisi Bali modern dipasilitasi oleh harian lokal seperti Bali Post, Karya Bakti, dan Nusa

Tenggara. Selain itu, juga ada majalah yang diterbitkan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Unud, secara

berkala memuat puisi Bali modern. Majalah itu bernama Kanaka.

Setelah periode di atas, selanjutnya penulisan dan penerbitan puisi Bali modern mengalami pasang surut. Lama menghilang, akhirnya tahun 1995 Yayasan Dharma Sastra, Denpasar menerbitkan kumpulan 67 judul puisi Bali modern dengan judul Lawat-lawat Suwung karya Tatukung (nama samaran IB. Madé Dharma Palguna). Tahun 1997 Made Sanggra menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Kidung Republik. Bulan Juni 1999, di Gianyar terbit majalah bernama

Canang Sari yang dinahkodai oleh Nyoman Manda dan Made Sanggra. Sementara itu di Karangasem,

juga muncul majalah berbahasa Bali Buratwangi yang dinahkodai oleh IDK. Raka Kusuma, dkk. Kedua majalah di atas memuat puisi-puisi Bali modern secara berkelanjutan sampai sekarang. Koran

Bali Orti yang merupakan suplemen pada harian Bali Post Minggu mulai Agustus 2006 sampai

sekarang juga memuat puisi Bali modern dalam rubrik Saking Langit Bali (hal.11).

Kumpulan puisi Bali modern yang terbit diawal abad ke-21 di antaranya dapat dilacak karya-karya: (1) Ki Dusun (nama samaran dari I Putu Gedé Suata). Dalam buku ini Suata menulis 19 judul puisi dan juga memuat cerpen berjudul Penyiunan Kunang-kunangé di Manhattan (terjemahan dari cerpen karya Umar Kayam Seribu Kunang-kunang di Manhattan). Kumpulan puisi ini diberinya judul

Majugjag dan diterbitkan oleh Sabha Sastra Bali (2001); (2) Nyoman Manda menerbitkan kumpulan

puisi Bali modern dengan judul Béh (2001) diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Gianyar. Buku ini berisi 59 judul yang berisi puisi pendek-pendek. (3) I Madé Molog menulis 31 judul puisi dengan judul “Togog Yéh” yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi tahun 2002; (4) I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menulis buku kumpulan puisi Sagung Wah yang terdiri dari 31 judul dan diterbitkan oleh Majalah Canang Sari, Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar tahun 2002; (5) Nyoman Manda kembali menulis 46 judul puisi Bali modern dengan judul Suung Luung yang juga diterbitkan oleh penerbit yang sama tahun 2003; (6) I Dewa Gde Windhu Sancaya menulis kumpulan puisi dan cerpen dengan judul Coffee Shop tahun 2003 yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Purana Hita; dan (7) I Made Suarsa menerbitkan tiga buah kumpulan puisi berturut-turut tahun 2004, 2005, dan 2007. Adapun judul puisi Bali modern yang diterbitkan Suarsa merupakan karyanya sendiri dengan judul

Ang Ah lan Ah Ang (2004); Gunung Menyan Segara Madu (2005); dan Kunang-Kunang Anarung Sasi (2007).

3.3 Perkembangan Cerpen Bali Anyar (Modern)

Perkembangan cerita pendek (Cerpen) berbahasa Bali sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya merupakan cikal bakal keberadaan sastra Bali modern itu sendiri yang dimulai tahun 1913. Lewat tulisan I Made Pasek itulah muncul tema-tema tulisan yang lain dari tradisi sebelumnya (dalam hal ini tradisi lisan), dengan tema-tema yang aktual dengan lingkungan masyarakat sekitar pada saat itu. Selanjutnya, setelah periode 1910-an itu, keberadaan cerpen berbahasa Bali mengalami stagnasi yang cukup panjang dan baru muncul ke hadapan publik tahun 1960-an.

Cerpen berbahasa Bali pada periode ini (1960-an), diawali dengan kelahiran kisah yang berjudul “Mémé Kualon” karya I Gusti Putu Rai. Cerpen ini merupakan pemenang pertama hasil sayembara yang diselenggarakan oleh Kantor Dinas Kebudayaan Propinsi Bali pada tahun 1967

(Naryana, 1978: 80 dalam Bagus (ed.), 1978). Tahun 1968, Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja (kini Balai Penelitian Bahasa, Denpasar) mengadakan lomba penulisan karya sastra Bali modern yang meliputi puisi, cerpen, dan drama. Dalam bidang cerpen terpilih pemenang harapan dengan judul cerpen “Ni Luh Sari” karya Ida Bagus Mayun. Pemenang pertama, kedua, dan ketiga ditiadakan, karena cerpen-cerpen yang ikut lomba tidak memenuhi syarat untuk itu.

Selanjutnya, tahun 1969 untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja menyelenggarakan lomba yang sama. Sebagai pemenang sayembara penulisan cerpen tahun itu dipilih tiga cerpen. Juara pertama sampai ketiga secara berurutan adalah: Mirah karya Putu Sedana;

Iwang Titiang Néwék karya Anak Agung Gde Jelantik; dan Kapatutan Ngulati Kamajuan, karangan

I Gusti Putu Rai. Karya-karya ini selanjutnya diterbitkan oleh lembaga yang sama tahun 1974. Tahun 1970 terbit buku “Pakéling Petang Dasa Warsa Sastra Bali Anyar” oleh Yayasan Sabha Sastra Bali bekerjasama dengan Listibya Propinsi Bali. Dari buku ini diketahui pemenang cerpen Bali modern karya Rugeg Nataran dengan judul “Talin Sampi”. Cerpen ini meraih pemenang kedua saat itu. Berikutnya, tahun 1972 Listibya Propinsi Bali kembali mengadakan lomba cerpen. Terpilih sebagai pemenang 1 s.d 4 berturut-turut: cerpen Katemu ring Tampak Siring karya I Madé Sanggra; Luh Puri ciptaan Ida Bagus Mayun; Ulam Emas karya I Wayan Rugeg Nataran; Dagang

Canang ciptaan Anak Agung Gde Jelantik; dan pemenang harapan adalah cerpen Radén Jagat Jaya

karangan Ida Bagus Putu Kadra. Hasil sayembara ini dibukukan dengan judul Himpunan Naskah

Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional 1972 (tanpa tahun) oleh Listibya Propinsi Bali.

Berikutnya, tahun 1974 Yayasan Dharma Budhaya, Banjar Teges Gianyar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Togog. Buku ini memuat empat kumpulan cerpen karya Nyoman Manda sendiri, berjudul: Mangku Nodé, Buung, Togog, dan Madé Néri. Tahun 1975 Yayasan ini kembali menerbitkan kumpulan cerpen Bali modern dengan judul Katemu ring Tampaksiring. Kumpulan cerpen ini merupakan karangan I Madé Sanggra dan berisi 5 judul cerpen, yaitu: Tukang Gambar;

Kucit (terjemahan); Sekar Emas; dan Katemu ring Tampak Siring.

Selebihnya, tahun 1977 Balai Penelitian Bahasa Singaraja (dulunya bernama Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja) menerbitkan kumpulan cerpen hasil sayembara penulisan cerpen Bali modern tahun 1975. Juara-juara dalam sayembara itu berturut-turut: Mategul tan Patali karya I Gusti Ketut Waca Warsana; Togog, karangan Nyoman Manda; dan Matemu ring Rumah Sakit buah karya I Nyoman Tri Satya Paramartha.

Harian Bali Post antara tahun 1976 – 1980-an menerbitkan beberapa judul cerpen Bali modern dan yang terpenting di antaranya adalah karangan I Gusti Gde Jelantik Santha dengan judul Kulkul

Bulus Tengahing Wengi. Cerpen ini dimuat hari Minggu, 27 Maret 1977. Selanjutnya pada edisi

Sabtu, 9 September 1978 Bali Post kembali menerbitkan cerpen berjudul Kadapetan karya Brénténg Kakah (nama samaran dari I Gusti Ngurah Pindha); edisi Minggu 10 Maret 1979 terbit cerpen Tresna

Asih karangan Krida (Ketut Rida); 15 Juli tahun yang sama terbit cerpen berjudul Matemu ring Kutampi karya penulis yang sama; tanggal 23 September 1979 dimuat cerpen Bungkung Pendok

karya Paśa Wiguna; dan tanggal 14 Oktober tahun yang sama terbit cerpen Tusing Nyidaang Nekepin

Andus karya Brénténg Kakah. Sepanjang tahun 1980 ada empat cerpen yang dipublikasikan harian Bali Post. (1) Titah karya Ketut Rida terbit tanggal 2 Maret 1980; (2) Kampih di Kakisik karangan

Jelantik Santha terbit 23 Maret 1980; Magulungan Ombaké di Pasisi Mascéti ciptaan Wyat S. Ardhi terbit 8 Juni 1980; dan terakhir Eda Maselselan karya Ketut Rida diterbitkan tanggal 5 Oktober 1980. (Gélgél, 1989: 81). Selanjutnya, pada edisi Minggu, 15 Maret 1981 terbit cerpen berjudul Putih-putih

Taluh karya I Gde Pitak Pitana.

Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan buku kumpulan puisi dan satua bawak (cerpen) Bali modern dengan judul Ngayah. Cerpen yang dimuat dalam buku tersebut, yaitu:

Nyantosang Ulung I Bungan Waru karya Made Sanggra; Pura karya Windhu Sancaya; dan Ngabén I karya penulis yang sama. Selanjutnya, setelah lama vakum (kurang lebih 5 tahun), tahun 1988 Bali

(9)

Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, dan Wayan Selat Wirata. Adapun kumpulan puisi Bunga

Gadung Ulung Akatih berisi 12 puisi karya Nyoman Manda sendiri dan diterbitkannya sendiri dengan

lebel Pondok Tebawatu, Gianyar. Terbitan terakhir, puisi Bali modern pada periode 1980-an ini berjudul Gending Pangapti yang diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali. Kumpulan ini terbit tahun 1984 dan berisi 29 puisi karya Made Sanggra, I Ketut Sumarta, Ida Bagus Rai Putra, dan I Dewa Gde Windhu Sancaya. Tahun 1988 Yayasan Kawi Sastra Mandala menerbitkan kumpulan puisi Bali modern dengan judul Satria Kuladewa karya IGP. Antara (Putra, Op. Cit: 65). Selanjutnya, keberadaan puisi Bali modern dipasilitasi oleh harian lokal seperti Bali Post, Karya Bakti, dan Nusa

Tenggara. Selain itu, juga ada majalah yang diterbitkan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Unud, secara

berkala memuat puisi Bali modern. Majalah itu bernama Kanaka.

Setelah periode di atas, selanjutnya penulisan dan penerbitan puisi Bali modern mengalami pasang surut. Lama menghilang, akhirnya tahun 1995 Yayasan Dharma Sastra, Denpasar menerbitkan kumpulan 67 judul puisi Bali modern dengan judul Lawat-lawat Suwung karya Tatukung (nama samaran IB. Madé Dharma Palguna). Tahun 1997 Made Sanggra menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Kidung Republik. Bulan Juni 1999, di Gianyar terbit majalah bernama

Canang Sari yang dinahkodai oleh Nyoman Manda dan Made Sanggra. Sementara itu di Karangasem,

juga muncul majalah berbahasa Bali Buratwangi yang dinahkodai oleh IDK. Raka Kusuma, dkk. Kedua majalah di atas memuat puisi-puisi Bali modern secara berkelanjutan sampai sekarang. Koran

Bali Orti yang merupakan suplemen pada harian Bali Post Minggu mulai Agustus 2006 sampai

sekarang juga memuat puisi Bali modern dalam rubrik Saking Langit Bali (hal.11).

Kumpulan puisi Bali modern yang terbit diawal abad ke-21 di antaranya dapat dilacak karya-karya: (1) Ki Dusun (nama samaran dari I Putu Gedé Suata). Dalam buku ini Suata menulis 19 judul puisi dan juga memuat cerpen berjudul Penyiunan Kunang-kunangé di Manhattan (terjemahan dari cerpen karya Umar Kayam Seribu Kunang-kunang di Manhattan). Kumpulan puisi ini diberinya judul

Majugjag dan diterbitkan oleh Sabha Sastra Bali (2001); (2) Nyoman Manda menerbitkan kumpulan

puisi Bali modern dengan judul Béh (2001) diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Gianyar. Buku ini berisi 59 judul yang berisi puisi pendek-pendek. (3) I Madé Molog menulis 31 judul puisi dengan judul “Togog Yéh” yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi tahun 2002; (4) I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menulis buku kumpulan puisi Sagung Wah yang terdiri dari 31 judul dan diterbitkan oleh Majalah Canang Sari, Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar tahun 2002; (5) Nyoman Manda kembali menulis 46 judul puisi Bali modern dengan judul Suung Luung yang juga diterbitkan oleh penerbit yang sama tahun 2003; (6) I Dewa Gde Windhu Sancaya menulis kumpulan puisi dan cerpen dengan judul Coffee Shop tahun 2003 yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Purana Hita; dan (7) I Made Suarsa menerbitkan tiga buah kumpulan puisi berturut-turut tahun 2004, 2005, dan 2007. Adapun judul puisi Bali modern yang diterbitkan Suarsa merupakan karyanya sendiri dengan judul

Ang Ah lan Ah Ang (2004); Gunung Menyan Segara Madu (2005); dan Kunang-Kunang Anarung Sasi (2007).

3.3 Perkembangan Cerpen Bali Anyar (Modern)

Perkembangan cerita pendek (Cerpen) berbahasa Bali sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya merupakan cikal bakal keberadaan sastra Bali modern itu sendiri yang dimulai tahun 1913. Lewat tulisan I Made Pasek itulah muncul tema-tema tulisan yang lain dari tradisi sebelumnya (dalam hal ini tradisi lisan), dengan tema-tema yang aktual dengan lingkungan masyarakat sekitar pada saat itu. Selanjutnya, setelah periode 1910-an itu, keberadaan cerpen berbahasa Bali mengalami stagnasi yang cukup panjang dan baru muncul ke hadapan publik tahun 1960-an.

Cerpen berbahasa Bali pada periode ini (1960-an), diawali dengan kelahiran kisah yang berjudul “Mémé Kualon” karya I Gusti Putu Rai. Cerpen ini merupakan pemenang pertama hasil sayembara yang diselenggarakan oleh Kantor Dinas Kebudayaan Propinsi Bali pada tahun 1967

(Naryana, 1978: 80 dalam Bagus (ed.), 1978). Tahun 1968, Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja (kini Balai Penelitian Bahasa, Denpasar) mengadakan lomba penulisan karya sastra Bali modern yang meliputi puisi, cerpen, dan drama. Dalam bidang cerpen terpilih pemenang harapan dengan judul cerpen “Ni Luh Sari” karya Ida Bagus Mayun. Pemenang pertama, kedua, dan ketiga ditiadakan, karena cerpen-cerpen yang ikut lomba tidak memenuhi syarat untuk itu.

Selanjutnya, tahun 1969 untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja menyelenggarakan lomba yang sama. Sebagai pemenang sayembara penulisan cerpen tahun itu dipilih tiga cerpen. Juara pertama sampai ketiga secara berurutan adalah: Mirah karya Putu Sedana;

Iwang Titiang Néwék karya Anak Agung Gde Jelantik; dan Kapatutan Ngulati Kamajuan, karangan

I Gusti Putu Rai. Karya-karya ini selanjutnya diterbitkan oleh lembaga yang sama tahun 1974. Tahun 1970 terbit buku “Pakéling Petang Dasa Warsa Sastra Bali Anyar” oleh Yayasan Sabha Sastra Bali bekerjasama dengan Listibya Propinsi Bali. Dari buku ini diketahui pemenang cerpen Bali modern karya Rugeg Nataran dengan judul “Talin Sampi”. Cerpen ini meraih pemenang kedua saat itu. Berikutnya, tahun 1972 Listibya Propinsi Bali kembali mengadakan lomba cerpen. Terpilih sebagai pemenang 1 s.d 4 berturut-turut: cerpen Katemu ring Tampak Siring karya I Madé Sanggra; Luh Puri ciptaan Ida Bagus Mayun; Ulam Emas karya I Wayan Rugeg Nataran; Dagang

Canang ciptaan Anak Agung Gde Jelantik; dan pemenang harapan adalah cerpen Radén Jagat Jaya

karangan Ida Bagus Putu Kadra. Hasil sayembara ini dibukukan dengan judul Himpunan Naskah

Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional 1972 (tanpa tahun) oleh Listibya Propinsi Bali.

Berikutnya, tahun 1974 Yayasan Dharma Budhaya, Banjar Teges Gianyar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Togog. Buku ini memuat empat kumpulan cerpen karya Nyoman Manda sendiri, berjudul: Mangku Nodé, Buung, Togog, dan Madé Néri. Tahun 1975 Yayasan ini kembali menerbitkan kumpulan cerpen Bali modern dengan judul Katemu ring Tampaksiring. Kumpulan cerpen ini merupakan karangan I Madé Sanggra dan berisi 5 judul cerpen, yaitu: Tukang Gambar;

Kucit (terjemahan); Sekar Emas; dan Katemu ring Tampak Siring.

Selebihnya, tahun 1977 Balai Penelitian Bahasa Singaraja (dulunya bernama Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja) menerbitkan kumpulan cerpen hasil sayembara penulisan cerpen Bali modern tahun 1975. Juara-juara dalam sayembara itu berturut-turut: Mategul tan Patali karya I Gusti Ketut Waca Warsana; Togog, karangan Nyoman Manda; dan Matemu ring Rumah Sakit buah karya I Nyoman Tri Satya Paramartha.

Harian Bali Post antara tahun 1976 – 1980-an menerbitkan beberapa judul cerpen Bali modern dan yang terpenting di antaranya adalah karangan I Gusti Gde Jelantik Santha dengan judul Kulkul

Bulus Tengahing Wengi. Cerpen ini dimuat hari Minggu, 27 Maret 1977. Selanjutnya pada edisi

Sabtu, 9 September 1978 Bali Post kembali menerbitkan cerpen berjudul Kadapetan karya Brénténg Kakah (nama samaran dari I Gusti Ngurah Pindha); edisi Minggu 10 Maret 1979 terbit cerpen Tresna

Asih karangan Krida (Ketut Rida); 15 Juli tahun yang sama terbit cerpen berjudul Matemu ring Kutampi karya penulis yang sama; tanggal 23 September 1979 dimuat cerpen Bungkung Pendok

karya Paśa Wiguna; dan tanggal 14 Oktober tahun yang sama terbit cerpen Tusing Nyidaang Nekepin

Andus karya Brénténg Kakah. Sepanjang tahun 1980 ada empat cerpen yang dipublikasikan harian Bali Post. (1) Titah karya Ketut Rida terbit tanggal 2 Maret 1980; (2) Kampih di Kakisik karangan

Jelantik Santha terbit 23 Maret 1980; Magulungan Ombaké di Pasisi Mascéti ciptaan Wyat S. Ardhi terbit 8 Juni 1980; dan terakhir Eda Maselselan karya Ketut Rida diterbitkan tanggal 5 Oktober 1980. (Gélgél, 1989: 81). Selanjutnya, pada edisi Minggu, 15 Maret 1981 terbit cerpen berjudul Putih-putih

Taluh karya I Gde Pitak Pitana.

Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan buku kumpulan puisi dan satua bawak (cerpen) Bali modern dengan judul Ngayah. Cerpen yang dimuat dalam buku tersebut, yaitu:

Nyantosang Ulung I Bungan Waru karya Made Sanggra; Pura karya Windhu Sancaya; dan Ngabén I karya penulis yang sama. Selanjutnya, setelah lama vakum (kurang lebih 5 tahun), tahun 1988 Bali

(10)

Post menerbitkan karya cerpen terjemahan dari I Made Sanggra dengan judul Bramacorah. Cerpen

ini merupakan karya Mochtar Lubis dalam bahasa Indonesia.

Tahun 1989, Yayasan Sabha Sastra Bali kembali menerbitkan sebuah kumpulan cerpen (satua bawak) dan puisi Bali modern dengan judul Kampih (Papupulan Satua Bawak miwah Puisi

Bali Anyar). Cerpen-cerpen yang tercantum dalam buku tersebut ada tiga buah, yaitu: Tan Katutugan

karya Madé Merta; Gending Bebotoh karya Ida Bagus Rai Putra; dan Jelantik Santha menulis cerpen berjudul Kampih di Kakisik. Pada tahun yang sama, Bali Post menerbitkan cerpen dengan judul

Pilih-pilih Bekul, termuat dalam edisi Pedesaan di bulan Oktober.

Tahun 1997, muncul jurnal berbahasa Bali dengan judul Kulkul yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Anyar. Sebagaimana namanya Kulkul (kentongan), majalah ini hanya terbit dua kali (Februari dan September), persis seperti suaranya : “tung, tung” lantas menghilang. Pada kedua terbitannya, majalah ini memuat tentang puisi dan cerpen Bali modern selain artikel lainnya.

Selanjutnya, terbitan yang dapat kita warisi dari para penulis cerpen Bali modern pada akhir abad kedua puluh dan akhir abad ke-21 ini dapat dicatat di antaranya (1) I Gdé Dharna menulis buku dengan judul Tusing Ada Apa Dé (Pupulan satua Bawak Basa Bali) tahun 2003 dan dihimpun oleh Listibiya Kabupaten Buleleng. (2) Windhu Sancaya menulis buku berjudul Coffee Shop (Pupulan

Sastra Bali Anyar) tahun 2003 dan memuat 6 judul cerpen, masing-masing: Ngabén I; Ngabén II; Chi Kwang Bok; Luh Métri; Warung; dan Segara Madu. (3) I Made Suarsa menulis buku dengan judul Gedé Ombak Gedé Angin (Pupulan Sawelas Carita Cutet Basa Bali) tahun 2006. Selanjutnya ada

puluhan cerpen Bali modern yang dimuat dalam koran Bali Orti dari sejak terbit (Agustus 2006) lalu sampai saat ini pada rubrik Sastra halaman 11. Begitu pula halnya dalam majalah Buratwangi dan Canang Sari dapat kita baca cerpen-cerpen yang bermutu untuk mengasah kepekaan kita terhadap lingkungan Bali.

3.4 Perkembangan Novel Bali Anyar (Modern)

Selanjutnya, perkembangan Kesusastraan Bali Modern dalam bentuk novel akan diuraikan beberapa novel yang pernah terbit dan populer di kalangan pembacanya. Sebagaimana telah terurai di atas, bahwa salah kaprah tentang tonggak awal perkembangan Kesusastraan Bali Modern yang pada dasarnya menggunakan roman/novel Nemoe Karma (1931) karya Wayan Gobiah sebagai titik awal tidaklah keliru benar. Sebab, dalam khasanah tulis sastra Bali modern, novel inilah yang paling mudah untuk didapatkan pada zamannya, sehingga oleh sujana Bali dianggap sebagai tonggak awal keberadaan novel Bali modern.

Setelah novel Nemoe Karma selanjutnya terbit novel dengan judul Mlancaran ka Sasak karya Gdé Srawana yang dimuat dalam majalah Djatayoe antara tahun 1935 s.d. 1939 (Tim, 1977/1978: 102). Selanjutnya naskah roman ini diterbitkan kembali oleh Yayasan Sabha Sastra Bali tahun 1978. Lama menghilang, akhirnya baru tahun 1980 Balai Penelitian Bahasa Singaraja menggelar sayembara novel. Berdasarkan seleksi dewan juri diputuskan ada enam novel terbaik (tiga juara pertama dan tiga juara harapan) berturut-turut: (1) “Sunari” karya I Ketut Rida; (2) “Lan Jani” karya Nyoman Manda; “Buah Sumagané Kuning-kuning” karya Tri Jayéndra (I Wayan Jéndra); (4) “Ni Kembang Wangi” karya I Dewa Ketut Tjakra; (5) “Gulung-gulungan Ombak” karya I Dewa Ayu Cintiawati; dan (6) “Nemu Karma” karya Anak Agung Jelantik (Putra, Op. Cit: 84).

Novel Sunari di atas pada tahun 1999 diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia. Selanjutnya terbit novel karya Jelantik Santha tahun 1981 diberi judul Tresnané Lebur Ajur Satondén

Kembang. Novel Jelantik Santha yang lain berjudul Sembalun Rinjani (terbit tahun 2006) Tahun

1999, Nyoman Manda menerbitkan novel dengan judul Sayong. Selanjutnya Manda juga menerbitkan novel dengan judul Bunga Gadung Ulung Abancang (September 2001). A. Wiyat S. Ardhi menulis novel dengan judul Bukit Buung Bukit Mentik pada tahun 2004 dan diterbitkan oleh Sanggar Bhadrika Ashrama Keramas, Gianyar.

3.5 Perkembangan Drama Bali Anyar (Modern)

Sedangkan perkembangan drama Bali modern khususnya dalam bentuk naskah sangat sedikit ditemui karya-karya yang sampai ke tangan kita. Beberapa kumpulan drama itu dapat dicatat sebagai berikut.

Tahun 1978 Listibiya Bali mengadakan lomba menulis naskah drama Bali modern. Dari hasil lomba itu terpilih enam naskah drama Bali modern, yaitu: (1) Semun Langité Kantun Sendu karya Nengah Segatri; (2) Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga dan (4) Kuuk karya Nyoman Manda; (5)

Puspitawati karya Wayan Pamit; dan (6) Sari karya I Nyoman Nada Sariadha. Berdasarkan hasil

keputusan dewan juri terpilih drama dengan judul Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga karya Nyoman Manda sebagai naskah pemenang pertama.

Tahun 1999, Gdé Dharna menulis buku dengan judul Kobarang Apiné (Pupulan Drama lan

Puisi) yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi, Amlapura. Dalam buku ini memuat enam naskah

drama diantaranya dua naskah baru, empat yang lainnya dibuat tahun 1970-an. Keempatnya sudah pernah dimuat dalam buku Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar suntingan I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978). Masing-masing naskah drama itu berturut-turut: “Kobarang Apiné”; “Ki Bayan Suling”; “Aduh Déwa Ratu”; “Perjuangan”; “Pengadilan” (1989); dan “Kibaru Semang” (1992).

Tahun yang sama (1999) A. Wiyat S. Ardhi menulis naskah Drama Gong dengan judul Gusti

Ayu Klatir. Naskah ini ditetapkan sebagai penulisan naskah terbaik oleh dewan juri. Naskah ini

diterbitkan dalam buku Gending Girang Sisi Pakerisan (1999) terbitan Pemda Gianyar.

Tahun 2005, Nyoman Manda menulis naskah drama dengan judul Kirana (drama anak-anak) dan diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar.

Pada zaman milenium ini perkembangan Sastra Bali Modern juga telah memasuki dunia maya. Hal ini dapat dilihat di Blog yang bertajuk, "SUARA SAKING BALI", yang dipelopori oleh generasi muda kreatif seperti IDK Raka Kusuma (Penanggungjawab), IB Widiasa Keniten sebagai Ketua dan dilengkapi Redaksi dari Tabanan (I Madé Sugianto dan Putra Ariawan), Karangasem (I Wayan Paing, Agus Sudipta, dan Sandi Yasa), Klungkung (Madé Suar-Timuhun dan Aryawan Kenceng), Gianyar (Tudékamatra), Bangli (Alit Juliartha), Denpasar (Gita Purnama), Buléléng (Wahya Santosa), dan I Ketut Supartika sebagai pembantu umum. Blog mabasa Bali ini lahir Januari 2016 silam dan sampai saat ini masih eksis. Konten yang disajikan dalam blog ini berupa satua cutet (cerita pendek), satua masambung (cerita bersambung), puisi Bali, prosa liris, esai, dan naskah drama dalam bahasa Bali tentunya (https://suara-sakingbali.blogspot.co.id/p/ngenenin-indik-blog-suara-saking-bali.html).

Sebelumnya, tanggal 13 Maret 2015, di Bangli telah dibentuk perkumpulan penulis-penulis muda di bidang sastra Bali diberi nama Bangli Sastra Komala (BASKOM). Aktivitasnya diisi dengan menulis karya sastra berbahasa Bali. Aktivitas ini juga telah ditayangkan di dunia maya.

IV Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali Bila dicermati perkembangan Sastra Bali Modern khususnya dalam jumlah dan jenis karya dan tahun berkembangnya maka dapat diasumsikan masyarakat Bali baru tumbuh jiwanya dalam mempertahankan sastra khususnya sastra Bali Modern dengan media bahasa Bali sekitar tahun 1990-an. Sebagai sebuah karya seni, karya sastra sebagaimana definisi di atas (II), yakni sebagai ekspresi jiwa, tentu mampu ditangkap oleh pembaca dengan menggunakan ekspresi jiwa pula. Dalam konteks ini, ekspresi jiwa penulis karya tersebut mewakili jiwa-jiwa sekalian pembaca.

Dalam pengungkapan ekspresi jiwa dimaksud, karya sastra menyajikan beragam tema, sebagaimana beragamnya karaktek pembaca, beragamnya fenomena yang tumbuh kembang di masyarakat. Sebagai sebuah ekspresi, tentu tidak dapat dijadikan sebagai potret nyata dari situasi

(11)

Post menerbitkan karya cerpen terjemahan dari I Made Sanggra dengan judul Bramacorah. Cerpen

ini merupakan karya Mochtar Lubis dalam bahasa Indonesia.

Tahun 1989, Yayasan Sabha Sastra Bali kembali menerbitkan sebuah kumpulan cerpen (satua bawak) dan puisi Bali modern dengan judul Kampih (Papupulan Satua Bawak miwah Puisi

Bali Anyar). Cerpen-cerpen yang tercantum dalam buku tersebut ada tiga buah, yaitu: Tan Katutugan

karya Madé Merta; Gending Bebotoh karya Ida Bagus Rai Putra; dan Jelantik Santha menulis cerpen berjudul Kampih di Kakisik. Pada tahun yang sama, Bali Post menerbitkan cerpen dengan judul

Pilih-pilih Bekul, termuat dalam edisi Pedesaan di bulan Oktober.

Tahun 1997, muncul jurnal berbahasa Bali dengan judul Kulkul yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Anyar. Sebagaimana namanya Kulkul (kentongan), majalah ini hanya terbit dua kali (Februari dan September), persis seperti suaranya : “tung, tung” lantas menghilang. Pada kedua terbitannya, majalah ini memuat tentang puisi dan cerpen Bali modern selain artikel lainnya.

Selanjutnya, terbitan yang dapat kita warisi dari para penulis cerpen Bali modern pada akhir abad kedua puluh dan akhir abad ke-21 ini dapat dicatat di antaranya (1) I Gdé Dharna menulis buku dengan judul Tusing Ada Apa Dé (Pupulan satua Bawak Basa Bali) tahun 2003 dan dihimpun oleh Listibiya Kabupaten Buleleng. (2) Windhu Sancaya menulis buku berjudul Coffee Shop (Pupulan

Sastra Bali Anyar) tahun 2003 dan memuat 6 judul cerpen, masing-masing: Ngabén I; Ngabén II; Chi Kwang Bok; Luh Métri; Warung; dan Segara Madu. (3) I Made Suarsa menulis buku dengan judul Gedé Ombak Gedé Angin (Pupulan Sawelas Carita Cutet Basa Bali) tahun 2006. Selanjutnya ada

puluhan cerpen Bali modern yang dimuat dalam koran Bali Orti dari sejak terbit (Agustus 2006) lalu sampai saat ini pada rubrik Sastra halaman 11. Begitu pula halnya dalam majalah Buratwangi dan Canang Sari dapat kita baca cerpen-cerpen yang bermutu untuk mengasah kepekaan kita terhadap lingkungan Bali.

3.4 Perkembangan Novel Bali Anyar (Modern)

Selanjutnya, perkembangan Kesusastraan Bali Modern dalam bentuk novel akan diuraikan beberapa novel yang pernah terbit dan populer di kalangan pembacanya. Sebagaimana telah terurai di atas, bahwa salah kaprah tentang tonggak awal perkembangan Kesusastraan Bali Modern yang pada dasarnya menggunakan roman/novel Nemoe Karma (1931) karya Wayan Gobiah sebagai titik awal tidaklah keliru benar. Sebab, dalam khasanah tulis sastra Bali modern, novel inilah yang paling mudah untuk didapatkan pada zamannya, sehingga oleh sujana Bali dianggap sebagai tonggak awal keberadaan novel Bali modern.

Setelah novel Nemoe Karma selanjutnya terbit novel dengan judul Mlancaran ka Sasak karya Gdé Srawana yang dimuat dalam majalah Djatayoe antara tahun 1935 s.d. 1939 (Tim, 1977/1978: 102). Selanjutnya naskah roman ini diterbitkan kembali oleh Yayasan Sabha Sastra Bali tahun 1978. Lama menghilang, akhirnya baru tahun 1980 Balai Penelitian Bahasa Singaraja menggelar sayembara novel. Berdasarkan seleksi dewan juri diputuskan ada enam novel terbaik (tiga juara pertama dan tiga juara harapan) berturut-turut: (1) “Sunari” karya I Ketut Rida; (2) “Lan Jani” karya Nyoman Manda; “Buah Sumagané Kuning-kuning” karya Tri Jayéndra (I Wayan Jéndra); (4) “Ni Kembang Wangi” karya I Dewa Ketut Tjakra; (5) “Gulung-gulungan Ombak” karya I Dewa Ayu Cintiawati; dan (6) “Nemu Karma” karya Anak Agung Jelantik (Putra, Op. Cit: 84).

Novel Sunari di atas pada tahun 1999 diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia. Selanjutnya terbit novel karya Jelantik Santha tahun 1981 diberi judul Tresnané Lebur Ajur Satondén

Kembang. Novel Jelantik Santha yang lain berjudul Sembalun Rinjani (terbit tahun 2006) Tahun

1999, Nyoman Manda menerbitkan novel dengan judul Sayong. Selanjutnya Manda juga menerbitkan novel dengan judul Bunga Gadung Ulung Abancang (September 2001). A. Wiyat S. Ardhi menulis novel dengan judul Bukit Buung Bukit Mentik pada tahun 2004 dan diterbitkan oleh Sanggar Bhadrika Ashrama Keramas, Gianyar.

3.5 Perkembangan Drama Bali Anyar (Modern)

Sedangkan perkembangan drama Bali modern khususnya dalam bentuk naskah sangat sedikit ditemui karya-karya yang sampai ke tangan kita. Beberapa kumpulan drama itu dapat dicatat sebagai berikut.

Tahun 1978 Listibiya Bali mengadakan lomba menulis naskah drama Bali modern. Dari hasil lomba itu terpilih enam naskah drama Bali modern, yaitu: (1) Semun Langité Kantun Sendu karya Nengah Segatri; (2) Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga dan (4) Kuuk karya Nyoman Manda; (5)

Puspitawati karya Wayan Pamit; dan (6) Sari karya I Nyoman Nada Sariadha. Berdasarkan hasil

keputusan dewan juri terpilih drama dengan judul Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga karya Nyoman Manda sebagai naskah pemenang pertama.

Tahun 1999, Gdé Dharna menulis buku dengan judul Kobarang Apiné (Pupulan Drama lan

Puisi) yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi, Amlapura. Dalam buku ini memuat enam naskah

drama diantaranya dua naskah baru, empat yang lainnya dibuat tahun 1970-an. Keempatnya sudah pernah dimuat dalam buku Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar suntingan I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978). Masing-masing naskah drama itu berturut-turut: “Kobarang Apiné”; “Ki Bayan Suling”; “Aduh Déwa Ratu”; “Perjuangan”; “Pengadilan” (1989); dan “Kibaru Semang” (1992).

Tahun yang sama (1999) A. Wiyat S. Ardhi menulis naskah Drama Gong dengan judul Gusti

Ayu Klatir. Naskah ini ditetapkan sebagai penulisan naskah terbaik oleh dewan juri. Naskah ini

diterbitkan dalam buku Gending Girang Sisi Pakerisan (1999) terbitan Pemda Gianyar.

Tahun 2005, Nyoman Manda menulis naskah drama dengan judul Kirana (drama anak-anak) dan diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar.

Pada zaman milenium ini perkembangan Sastra Bali Modern juga telah memasuki dunia maya. Hal ini dapat dilihat di Blog yang bertajuk, "SUARA SAKING BALI", yang dipelopori oleh generasi muda kreatif seperti IDK Raka Kusuma (Penanggungjawab), IB Widiasa Keniten sebagai Ketua dan dilengkapi Redaksi dari Tabanan (I Madé Sugianto dan Putra Ariawan), Karangasem (I Wayan Paing, Agus Sudipta, dan Sandi Yasa), Klungkung (Madé Suar-Timuhun dan Aryawan Kenceng), Gianyar (Tudékamatra), Bangli (Alit Juliartha), Denpasar (Gita Purnama), Buléléng (Wahya Santosa), dan I Ketut Supartika sebagai pembantu umum. Blog mabasa Bali ini lahir Januari 2016 silam dan sampai saat ini masih eksis. Konten yang disajikan dalam blog ini berupa satua cutet (cerita pendek), satua masambung (cerita bersambung), puisi Bali, prosa liris, esai, dan naskah drama dalam bahasa Bali tentunya (https://suara-sakingbali.blogspot.co.id/p/ngenenin-indik-blog-suara-saking-bali.html).

Sebelumnya, tanggal 13 Maret 2015, di Bangli telah dibentuk perkumpulan penulis-penulis muda di bidang sastra Bali diberi nama Bangli Sastra Komala (BASKOM). Aktivitasnya diisi dengan menulis karya sastra berbahasa Bali. Aktivitas ini juga telah ditayangkan di dunia maya.

IV Peranan Kesusastraan Bali Modern dalam Pembangunan Karakter Masyarakat Bali Bila dicermati perkembangan Sastra Bali Modern khususnya dalam jumlah dan jenis karya dan tahun berkembangnya maka dapat diasumsikan masyarakat Bali baru tumbuh jiwanya dalam mempertahankan sastra khususnya sastra Bali Modern dengan media bahasa Bali sekitar tahun 1990-an. Sebagai sebuah karya seni, karya sastra sebagaimana definisi di atas (II), yakni sebagai ekspresi jiwa, tentu mampu ditangkap oleh pembaca dengan menggunakan ekspresi jiwa pula. Dalam konteks ini, ekspresi jiwa penulis karya tersebut mewakili jiwa-jiwa sekalian pembaca.

Dalam pengungkapan ekspresi jiwa dimaksud, karya sastra menyajikan beragam tema, sebagaimana beragamnya karaktek pembaca, beragamnya fenomena yang tumbuh kembang di masyarakat. Sebagai sebuah ekspresi, tentu tidak dapat dijadikan sebagai potret nyata dari situasi

(12)

kehidupan itu sendiri, mengingat sifat karya sastra itu adalah rekaan belles letter, bercampur-aduk antara fakta dan fiksi.

Cakupan karakter bangsa dalam dunia pendidikan di Indonesia dipilah-pilah ke dalam delapan belas bagian, yakni: (1) yakni religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggungjawab.

Bila dicermati dari kemunculan teks-teks yang mengawali munculnya istilah modern dalam kesusastraan Bali dapat diamati karya-karya pendek I Made Pasek dan Mas Niti Sastro (1913) tampak tema-tema yang diungkap mencerminkan nilai-nilai karakter. Tampak seperti dalam cerpen I Kliud dan I Tragia (karya I Made Pasek) jelas menampilkan nilai kejujuran dari tokoh I Kliud atas perbuatannya mau menilep uang tujuh ringgit yang dititipkan kepadanya oleh I Tragia. Uang itu, atas suruhan I Tragia agar diserahkan oleh I Kliud kepada manteri polisi. Ternyata, saat menyerahkan surat, I Kliud tidak serta merta menyerahkan uang sebagaimana yang ditulis oleh I Tragia di dalam suratnya kepada mantri polisi. Oleh karena itu, I Kliud disarankan agar jujur oleh mantri polisi mengakui bahwa dirinya mau menilep uang itu. I Kliud mengakui perbuatannya dan akhirnya ia dibui tiga bulan.

Bila dicermati seluruh teks-teks sastra Bali modern dari awal kemunculannya sampai saat ini, keseluruhan bagian-bagian dari karakter bangsa itu tercermin di dalamnya. Tentu, hal-hal yang dominan dalam penyampaian tema-tema tersebut berkaitan dengan situasi zamannya, seperti zaman reformasi banyak muncul tema-tema karya tentang demokrasi, dan belakangan muncul karya-karya tentang semangat kebangsaan dan lain-lain.

V Simpulan

Perkembangan Kesusastraan Bali Anyar (Modern) mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan masyarakat Bali itu sendiri. Secara modern –bila dilihat dari tema-tema yang diungkapkan- tonggak kesusastraan Bali modern telah dimulai sejak tahun 1913 dalam bentuk cerpen. Selanjutnya dalam wujud novel/roman, baru muncul tahun 1931 sejak terbitnya Roman “Nemoe Karma” karya Wayan Gobiah.

Tonggak Puisi Bali Modern diawali dengan munculnya puisi Basa Bali karya Suntari Pr. di tahun 1958. Pertumbuhan kesusastraan Bali modern lebih banyak dirangsang oleh adanya sayembara (terutama kurun 1970-an). Lebih lanjut dalam kurun 1980-an perkembangan kesusastraan Bali anyar mengalami penurunan penciptaan. Namun, setelah dekade 1990-an minat menulis sastra dalam bahasa Bali mulai bertumbuh. Lebih-lebih adanya rangsangan berupa hadiah sastra Rancage. Pertumbuhan penulisan sastra Bali modern di awal abad millenium ini boleh dikatakan sangat menggairahkan, lebih-lebih adanya media untuk menyalurkan bakat menulis para seniman. Buratwangi, Canang Sari, Bali Orti, adalah media yang sangat membantu tumbuh suburnya karya-karya sastra Bali modern.

Pertumbuhan Drama Bali Modern memang kurang menggairahkan, mengingat penulisan naskah drama di Bali tidak lazim dilakukan oleh seniman-seniman tradisional, selain memang media untuk berkreatifitas untuk itu di Bali masih kurang. Peran publik pun sangat menentukan kehadiran drama-drama yang modern ini, mengingat masih kuatnya ‘taksu’ kesenian tradisional di Bali.

Pada umumnya, sebagaimana definisi sastra bahwa Kesusastraan Bali Anyar (Puisi; Prosa: cerpen, novel, novelet; dan drama) sarat dengan muatan pembangunan karakter yang jumlahnya delapan belas, yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggungjawab.

Daftar Pustaka

Ardhi, S. A. Wiyat. 2004. Bukit Buung Bukit Mentik (Novellat mabhasa Bali). Gianyar: Sanggar Bhadrika Ashrama.

Agastia, IBG. 1980. “Geguritan: Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali”. Denpasar: Paper untuk Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali ke-2, 9 Juli 1980.

___________. 1985. “Jenis-jenis Naskah Bali” dalam Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra,

Etika, Tatakrama, dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali, dan Sunda. Yogyakarta: Proyek

Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

___________. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 1994. Ida Pedanda Madé Sidemen Pengarang Besar Bali Abad ke-20. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 2006. Cokorda Mantuk ring Rana Pemimpin yang Nyastra. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.

___________. 2006. Dokter Ida Bagus Rai dan Karya Sastranya. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa, 1978. Kembang Rampé Kasusastran Bali Purwa. Buku I. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

___________. 1978. Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar. Wewidangan 1 & 2 Buku II. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

___________. dan Ida Bagus Agastia. 1977. Sekilas tentang Kesusastraan Bali. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Terjehaman S. Gunawan. Jakarta: Bharata.

Dharna, I Gdé. 2003. Tusing Ada Apa Dé (Pupulan Satua Bawak Basa Bali): Singaraja: Listibiya Kabupaten Buleleng.

Galang Kangin. 1976. Denpasar: Saba Sastra Bali

Gélgél, I Déwa Gede. 1989. “Struktur Cerpen Bali Modern 1967 – 1989 Sebuah Analisis”. Denpasar: Skripsi Sarjana Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana.

https://suara-sakingbali.blogspot.co.id/p/ngenenin-indik-blog-suara-saking-bali.html. diunduh tgl. 21 Mei 2018.

Luxemburg, jan van, dkk. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

Manda, Nyoman. 2001. Béh (Pupulan Puisi Bali Anyar). Gianyar: Pondok Tebawutu. Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java, Vol. I. Leiden: The Hague.

Purwadarminta, W.J.S. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Putra, Darma, I Nyoman. 2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Rakhmawati, Dewi. 2007. “Kakawin Candrabhanu: Sebuah Kajian Struktur dan Semiotik”. Denpasar: Skripsi Sarjana pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Unud.

Rida, I Ketut. 1999. Sunari (Novél Basa Bali). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sancaya, Windhu, IDG. 1997. “Mencari Jejak Kesusastraan Bali Zaman Bali Kuna” Dimuat dalam

Widya Pustaka (Journal Ilmu-ilmu Budaya Tahun XIV Nomor 1&2 Agustus 1997.

Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

____________. 2003. Coffee Shop (Pupulan Sastra Bali Anyar). Denpasar: Yayasan Bali Purana Hita.

Referensi

Dokumen terkait

4.7 Menjelaskan kosa kata Bahasa Indonesia dan ejaan yang tepat terkait peristiwa siang dan malam dalam teks tulis dan

Penyebab lain disamping karena ikatan perjanjian, konflik juga terjadi karena Susuhunan Pakubuwana VI tidak ingin Surakarta pada khususnya dan tanah Jawa pada umumnya

Intisari — Sebenarnya dalam memasuki penjualan sepeda motor kompetisi dan layanan purna jual, perusahaan mencoba untuk menggunakan Teknologi Informasi sebagai alat

Hasil yang dicapai dalam pembuatan Rekayasa Perangkat Lunak Aplikasi dictionary by dekstop ini adalah untuk memudahkan masyarakat/user dalam mencari kosa kata dari

Grafik hubungan antara massa dengan koefisien pada gambar 1 membentuk garis lurus akan tetapi terjadi penyimpangan pada garis tersebut yaitu terlihat pada massa 710 g, 740 g, 750

Selain itu, yang lebih utama untuk diperhatikan oleh guru adalah unsur kreatif dalam mengajarkan materi bahasa Arab, yaitu dalam penggunaan media yang diterapkan

Penggunaan jenis realisasi modalitas yang paling dominan digunakan pada kelima teks debat tersebut adalah realisasi modalitas kategori *harus, *wajib, *perlu, *mesti

Dependent Variable: Pendidikan Berdasarkan Tabel 8 diatas, maka dapat diuraikan persamaan regresi linear berganda sebagai berikut: Y = 35.394 + b1 X1 + b2 X2 Y = 35.394 + -.021 X1 +