• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN MAKNA BUDAYA SUMBU UTAMA ARAH SEBAGAI ORIENTASI EKOLOGI BALI

Oleh:

Putu Eka Guna Yasa Program Studi Sastra Bali

guna_sasda@yahoo.co.id PENDAHULUAN

Penataan ekologi Bali sangat dipengaruhi oleharah mata angin. Hal itu dapat dilihat secara holistik mulai dari tingkat pekarangan keluarga, banjar, desa pakraman, sampai pada pura-pura yang tersebar di seluruh Bali.Astiti (2005: 29) mengatakan bahwa seluruh tata lingkungan tersebut berbasiskan orientasi terbit dan tenggelamnya matahari (kangin-kauh) dan gunung serta laut

(kaja-kelod). Arah gunung dan terbitnya matahari dipandang sebagai luanan dan arah laut serta

tenggelamnya matahari sebagai arah tebenan. Pola orientasi ruang tersebut, pada akhirnya memengaruhi laku hidup masyarakat Bali dalam menata lingkungan di segala tingkatan.

Laku hidup sebagai hasil interaksi intensif manusia dengan ruang itu pada gilirannya tercermin dalam penataan arsitektur. Bangunan-bangunan suci ditempatkan di arah luanan (timur/utara), di bagian tengah dibangun pemukiman, dan dibagian tebenan dibangun tempat untuk pembuangan limbah/kotoran, kandang dan ternak, termasuk pula kuburan (setra). Landasan konsepsional tentang arah inilah yang menghasilkan pandangan tentang tri angga. Tri angga merupakan landasan etik dan estetik penempatan bangunan Bali yang terdiri atas konsep utama mandala ‘bagian utama atau atas’,

madya mandala‘bagian tengah’, dan nista mandala ‘bagian bawah’. (Arwata, 2010: 11).

Vitalnya makna budaya yang melekat pada arah di Bali, dapat dijejaki melalui perkembangan kosakata atau leksikon bahasa Bali dari perspektif diakronis. Kata secara filosofis merupakan wahana untuk mengekspresikan berbagai gagasan manusia. Dengan demikian, melalui kata pula seseorang dapat melacak konsep-konsep penting yang diwariskan oleh para pendahulunya kepada generasi sekarang. Kata yang diyakini menjadi ‘sarang pengetahuan’ sekaligus tumpuan harapan untuk mendalami makna budaya itu sendiri tidak statis, tetapi cenderung mengalami perubahan-perubahan baik dari perspektif bentuk maupun maknanya. Perbandingan bentuk dan makna kata dari dokumen-dokumen masa lampau dengan kata yang diwarisi saat ini dapat dimanfaatkan untuk melihat dengan lebih jelas evolusi konsep yang ada di dalamnya.

Untuk melihat renik-renik dan kompleksitas evolusi pada bentuk dan makna kata tentang arah dalam sejarah perkembangan bahasa Bali digunakan teori linguistik historis komparatif (selanjutnya disingkat LHK). Dalam kerangka teori LHK, perubahanuntuk setiap satuan kebahasaan pada tataran fonologi terjadi secara teratur, terkondisi, dan juga secara tidak teratur (Jeffers dan Lehiste, 1979: 12). Konstruksi dan fitur-fitur gramatikal, baik morfologi maupun sintaksis membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk bisa berubah. Sementara itu, perubahan pada tataran leksikon lebih cepat terjadi jika dibandingkan dengan satuan kebahasaan lainnya (Mbete, 2002: 105). Itulah sebabnya, perubahan dalam satuan gramatikal sering tidak disadari adanya, kecuali melalui pengamatan saksama dengan membandingkan data bahasa dalam dua masa yang relatif lebih panjang (Jufrizal, 2015: 66).

Evolusi pada tataran wujud leksikon meliputi berbagai jenis perubahan fonologis. Pola perubahan bunyi tersebut menurut Crowley (1992: 3) diklasifikasikan menjadi sembilan pola perubahan bunyi yakni (1) pelemahan dan penguatan (lenition and fortition), (2) penambahan bunyi (sound addition), (3) metatesis (methatesis), (4) peleburan (fusion), (5) perengkahan (unpacking), (6) pemecahan vokal (vowel breaking), (7) asimilasi (assimilation), (8) disimilasi (disimilation), dan (9) perubahan bunyi abnormal (abnormal sound change) (Crowley, 1992: 38-65). Sementara itu,

perubahan pada tataran makna menurut Schendl (2001) dikelompokkan menjadi (1) perluasan, (2) penyempitan, (3) ameliorasi, (4) peyorasi, (5) metafora, (6) mitonimi, dan (7) pemutihan makna (semantics bleaching).

Bersandar pada kerangka teori tersebut perkembangan makna budaya tentang arah mata angin dianalisis. Untuk mendapatkan data penggunaan bahasa Bali Kuna dan bahasa Bali Tengahan, penelitian ini menggunakan prasasti-prasasti yang diterbitkan pada masa Bali Kuna dan karya-karya sastra Bali Tengahan. Sementara itu, data bahasa Bali Modern diambil dari kamus bahasa Bali yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.

II PEMBAHASAN

Di tengah-tengah wacana kerusakan lingkungan yang semakin menggejala di berbagai belahan dunia, penggalian terhadap konsep-konsep kearifan lokal yang berdimensi universal tentang lingkungan terasa semakin mendesak dilakukan. Masyarakat Bali yang beragama Hindu memang memiliki sejumlah filosofi penting yang dapat dijadikan tumpuan harapan untuk menggedor pintu-pintu kesadaran manusia yang kian berjarak dengan alam. Filosofi Vasudhaiva Kutumbakam (kita semua bersaudara) yang termuat dalam pustaka Hitopadesa dapat ditawarkan untuk mengembalikan kesadaran manusia bahwa sejatinya seluruh makhluk di alam semesta ini bersaudara. Pengakuan rasa persaudaraan di antara seluruh ciptaan yang ada di bumi ini tampaknya telah mengakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Oleh sebab itulah dalam bait-bait puja Tri Sandya yang dilantunkan tiga kali sehari ada harapan ideal agar sarwa prani hitangkara yang bermakna seluruh makhluk hidup berbahagia.

Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat kaitannya dengan ritual di Bali. Berdasarkan lontar

Sundarigama, upacara khusus yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan

terhadap alam khususnya tumbuhan disebut dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Panguduh. Pada hari itu masyarakat Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara karena beliaulah Dewa yang menumbuhsuburkan segala yang tumbuh seperti pepohonan (Tim Penyusun, Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama, 2007: 25).

Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengan tumbuhan karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian bahkan urip ‘jiwa’ dari tumbuhan. Bagian-bagian tumbuhan itulah yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan), pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya. Di samping memuliakan binatang, pada hari Tumpek

Uyemasyarakat Bali juga melakukan upacara untuk menghormati binatang dengan sebutan Tumpek Kandang. Senada dengan upacara terhadap tumbuhan, Tumpek Kandang juga bermakna pemuliaan

terhadap binatang yang telah membantu manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dengan jiwa binatang yang dikorbankanlah manusia bisa menikmati lauk pauk untuk kesehatan dan kekuatan jiwa dan raganya. Untuk bertahan hidup, manusia mengorbankan ‘saudara binatang dan tumbuhan’. Usaha untuk memuliakan alam semesta sebagai rumah bersamadalam cakrawala pandang masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari arah mata angin sebagai orientasi ekologi. Arah angin itulah yang menentukan tata ruang Bali sebagai interaksi intensif antara manusia dengan lingkungan. Untuk mendapatkan makna tentang orientasi ekologi masyarakat Bali, penting memahami dinamika leksikon tentang arah dalam sejarah perkembangan bahasa Bali. Melalui dinamika itulah akan dilihat pemahaman sekaligus penghayatan manusia Bali terhadap ekologinya. Menariknya, dari perspektif bahasa khususnya dinamika leksikon, terjadi perubahan orientasi penyebutan arah sepanjang sejarah perkembangan bahasa Bali. Dinamika leksikon dalam sejarah perkembangan bahasa Bali tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

PERKEMBANGAN MAKNA BUDAYA SUMBU UTAMA ARAH

SEBAGAI ORIENTASI EKOLOGI BALI

Oleh:

Putu Eka Guna Yasa Program Studi Sastra Bali

guna_sasda@yahoo.co.id PENDAHULUAN

Penataan ekologi Bali sangat dipengaruhi oleharah mata angin. Hal itu dapat dilihat secara holistik mulai dari tingkat pekarangan keluarga, banjar, desa pakraman, sampai pada pura-pura yang tersebar di seluruh Bali.Astiti (2005: 29) mengatakan bahwa seluruh tata lingkungan tersebut berbasiskan orientasi terbit dan tenggelamnya matahari (kangin-kauh) dan gunung serta laut

(kaja-kelod). Arah gunung dan terbitnya matahari dipandang sebagai luanan dan arah laut serta

tenggelamnya matahari sebagai arah tebenan. Pola orientasi ruang tersebut, pada akhirnya memengaruhi laku hidup masyarakat Bali dalam menata lingkungan di segala tingkatan.

Laku hidup sebagai hasil interaksi intensif manusia dengan ruang itu pada gilirannya tercermin dalam penataan arsitektur. Bangunan-bangunan suci ditempatkan di arah luanan (timur/utara), di bagian tengah dibangun pemukiman, dan dibagian tebenan dibangun tempat untuk pembuangan limbah/kotoran, kandang dan ternak, termasuk pula kuburan (setra). Landasan konsepsional tentang arah inilah yang menghasilkan pandangan tentang tri angga. Tri angga merupakan landasan etik dan estetik penempatan bangunan Bali yang terdiri atas konsep utama mandala ‘bagian utama atau atas’,

madya mandala‘bagian tengah’, dan nista mandala ‘bagian bawah’. (Arwata, 2010: 11).

Vitalnya makna budaya yang melekat pada arah di Bali, dapat dijejaki melalui perkembangan kosakata atau leksikon bahasa Bali dari perspektif diakronis. Kata secara filosofis merupakan wahana untuk mengekspresikan berbagai gagasan manusia. Dengan demikian, melalui kata pula seseorang dapat melacak konsep-konsep penting yang diwariskan oleh para pendahulunya kepada generasi sekarang. Kata yang diyakini menjadi ‘sarang pengetahuan’ sekaligus tumpuan harapan untuk mendalami makna budaya itu sendiri tidak statis, tetapi cenderung mengalami perubahan-perubahan baik dari perspektif bentuk maupun maknanya. Perbandingan bentuk dan makna kata dari dokumen-dokumen masa lampau dengan kata yang diwarisi saat ini dapat dimanfaatkan untuk melihat dengan lebih jelas evolusi konsep yang ada di dalamnya.

Untuk melihat renik-renik dan kompleksitas evolusi pada bentuk dan makna kata tentang arah dalam sejarah perkembangan bahasa Bali digunakan teori linguistik historis komparatif (selanjutnya disingkat LHK). Dalam kerangka teori LHK, perubahanuntuk setiap satuan kebahasaan pada tataran fonologi terjadi secara teratur, terkondisi, dan juga secara tidak teratur (Jeffers dan Lehiste, 1979: 12). Konstruksi dan fitur-fitur gramatikal, baik morfologi maupun sintaksis membutuhkan waktu relatif lebih lama untuk bisa berubah. Sementara itu, perubahan pada tataran leksikon lebih cepat terjadi jika dibandingkan dengan satuan kebahasaan lainnya (Mbete, 2002: 105). Itulah sebabnya, perubahan dalam satuan gramatikal sering tidak disadari adanya, kecuali melalui pengamatan saksama dengan membandingkan data bahasa dalam dua masa yang relatif lebih panjang (Jufrizal, 2015: 66).

Evolusi pada tataran wujud leksikon meliputi berbagai jenis perubahan fonologis. Pola perubahan bunyi tersebut menurut Crowley (1992: 3) diklasifikasikan menjadi sembilan pola perubahan bunyi yakni (1) pelemahan dan penguatan (lenition and fortition), (2) penambahan bunyi (sound addition), (3) metatesis (methatesis), (4) peleburan (fusion), (5) perengkahan (unpacking), (6) pemecahan vokal (vowel breaking), (7) asimilasi (assimilation), (8) disimilasi (disimilation), dan (9) perubahan bunyi abnormal (abnormal sound change) (Crowley, 1992: 38-65). Sementara itu,

perubahan pada tataran makna menurut Schendl (2001) dikelompokkan menjadi (1) perluasan, (2) penyempitan, (3) ameliorasi, (4) peyorasi, (5) metafora, (6) mitonimi, dan (7) pemutihan makna (semantics bleaching).

Bersandar pada kerangka teori tersebut perkembangan makna budaya tentang arah mata angin dianalisis. Untuk mendapatkan data penggunaan bahasa Bali Kuna dan bahasa Bali Tengahan, penelitian ini menggunakan prasasti-prasasti yang diterbitkan pada masa Bali Kuna dan karya-karya sastra Bali Tengahan. Sementara itu, data bahasa Bali Modern diambil dari kamus bahasa Bali yang diterbitkan oleh Badan Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.

II PEMBAHASAN

Di tengah-tengah wacana kerusakan lingkungan yang semakin menggejala di berbagai belahan dunia, penggalian terhadap konsep-konsep kearifan lokal yang berdimensi universal tentang lingkungan terasa semakin mendesak dilakukan. Masyarakat Bali yang beragama Hindu memang memiliki sejumlah filosofi penting yang dapat dijadikan tumpuan harapan untuk menggedor pintu-pintu kesadaran manusia yang kian berjarak dengan alam. Filosofi Vasudhaiva Kutumbakam (kita semua bersaudara) yang termuat dalam pustaka Hitopadesa dapat ditawarkan untuk mengembalikan kesadaran manusia bahwa sejatinya seluruh makhluk di alam semesta ini bersaudara. Pengakuan rasa persaudaraan di antara seluruh ciptaan yang ada di bumi ini tampaknya telah mengakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Oleh sebab itulah dalam bait-bait puja Tri Sandya yang dilantunkan tiga kali sehari ada harapan ideal agar sarwa prani hitangkara yang bermakna seluruh makhluk hidup berbahagia.

Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat kaitannya dengan ritual di Bali. Berdasarkan lontar

Sundarigama, upacara khusus yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan

terhadap alam khususnya tumbuhan disebut dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Panguduh. Pada hari itu masyarakat Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara karena beliaulah Dewa yang menumbuhsuburkan segala yang tumbuh seperti pepohonan (Tim Penyusun, Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama, 2007: 25).

Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengan tumbuhan karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian bahkan urip ‘jiwa’ dari tumbuhan. Bagian-bagian tumbuhan itulah yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan), pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya. Di samping memuliakan binatang, pada hari Tumpek

Uyemasyarakat Bali juga melakukan upacara untuk menghormati binatang dengan sebutan Tumpek Kandang. Senada dengan upacara terhadap tumbuhan, Tumpek Kandang juga bermakna pemuliaan

terhadap binatang yang telah membantu manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dengan jiwa binatang yang dikorbankanlah manusia bisa menikmati lauk pauk untuk kesehatan dan kekuatan jiwa dan raganya. Untuk bertahan hidup, manusia mengorbankan ‘saudara binatang dan tumbuhan’. Usaha untuk memuliakan alam semesta sebagai rumah bersamadalam cakrawala pandang masyarakat Bali tidak dapat dilepaskan dari arah mata angin sebagai orientasi ekologi. Arah angin itulah yang menentukan tata ruang Bali sebagai interaksi intensif antara manusia dengan lingkungan. Untuk mendapatkan makna tentang orientasi ekologi masyarakat Bali, penting memahami dinamika leksikon tentang arah dalam sejarah perkembangan bahasa Bali. Melalui dinamika itulah akan dilihat pemahaman sekaligus penghayatan manusia Bali terhadap ekologinya. Menariknya, dari perspektif bahasa khususnya dinamika leksikon, terjadi perubahan orientasi penyebutan arah sepanjang sejarah perkembangan bahasa Bali. Dinamika leksikon dalam sejarah perkembangan bahasa Bali tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel

Leksikon Tentang Sumbu Utama Arah

Pada Bahasa Bali Kuna, Bahasa Bali Tengahan, dan bahasa Bali Modern

Bahasa Bali Kuna Bahasa Bali

Tengahan Bahasa Bali Modern Makna Padan /kadya/

/den/ /lor/ /uttara/ /kaja/ ‘utara’

/kaŋin/ /daŋin/ /witan/ /purwa/

/wetan/

/purwa/ /kaŋin/ ‘timur’ /kǝlod/

/lod/ /kidul/ /daksina/ /kǝlod/ ‘selatan’ /karuh/

/daruh/ /kulon/ /pascima/ /kauh/ ‘barat’

Mengacu pada tabel di atas, leksikon untuk ‘utara’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kadya/ dan /den/1. Leksikon /kadya/ ‘utara’ dan /den/ ‘utara’ pada bahasa Bali Tengahan tampak digantikan oleh leksikon /utara/ sebagai cermin pengaruh bahasa Sanskerta dan /lor/ sebagai pengaruh bahasa Jawa Kuna. Sementara itu, dalam perkembangannya pada bahasa Bali Modern leksikon /kadya/ dan /den/ terwaris dengan evolusi fonologis. Leksikon untuk ‘selatan’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kəlod/ dan /lod/. Pada bahasa Bali Tengahan leksikon tersebut tampak diganti oleh leksikon /daksina/ sebagai cermin pengaruh bahasa Sanskerta dan /kidul/ sebagai pengaruh bahasa Jawa Kuna. Leksikon untuk ‘timur’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kaŋin/, /daŋin/, /witan/ (pengaruh bahasa Jawa Kuna), /purwa/ (pengaruh bahasa Sanskerta). Pada bahasa Bali Tengahan, leksikon bahasa Sanskerta yaitu /purwa/ dan bahasa Jawa Kuna /witan/ yang sebelumnya memengaruhi bahasa Bali Kuna tampak terwaris. Sementara itu, pada bahasa Bali Modern leksikon /kaŋin/ dan /daŋin/ tampak terwaris. Leksikon untuk ‘barat’ dalam bahasa Bali Kuna terwaris dalam bentuk /karuh/ dan /daruh/. Pada bahasa Bali Tengahan, leksikon tersebut tampak digantikan oleh leksikon bahasa Sanskerta /pascima/ dan bahasa Jawa Kuna /ulon/. Pada bahasa Bali Modern leksikon itu terwaris dalam bentuk /kauh/ dan /dauh/.

Leksikon /kadya/ berdasarkan perkembangan bentuk di atas secara leksikal bermakna ‘utara’. Leksikon ini, mengalami perkembangan makna budaya karena tidak hanya digunakan untuk menunjukkan arah utara, tetapi secara kultural diidentikkan dengan arah ke gunung. Bahkan, dalam kamus bahasa Bali Kuna leksikon /kadya/ diberikan makna ‘utara’, ‘ke arah utara’, atau ‘ke arah gunung’ (Granoka, 1985: 52). Namun demikian, leksikon /kadya/ ‘utara’ yang berioentasi ke gunung seperti yang tersurat dalam prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuna juga mengalami dinamika. Pada sejumlah teks prasasti Bali Kuna terutama prasasti Bebetin dan Sembiran, arah /kadya/ ‘utara’ semula tidak berorientasi ke gunung, tetapi laut. Dengan demikian, prasasti tersebut memberikan informasi

1 Leksikon /kadya/ berdistribusi lebih banyak dalam keseluruhan data prasasti berbahasa Bali Kuna. Prasasti-prasasti yang memuat leksikon tersebut yaitu Prasasti Sukawana A I, Prasasti Bebetin A I, Prasasti Bangli Pura Kehen, Prasasti Gobleg Pura Desa, Prasasti Sembiran A I, Prasasti Batunya, Prasasti Dausa Bukit Indrakila A I, Prasasti Dausa Bukit Indrakila B I, Prasasti Kintamani A 23, Prasasti Kintamani C 25, dan Prasasti Sading A II. Sementara itu, leksikon /den/ hanya digunakan dalam sejumlah prasasti yaitu Prasasti Sembiran A II, Prasasti Serai A II, dan Prasasti Sading A II. Dengan melihat perbandingan distribusi kedua leksikon itu, dapat diidentifikasi bahwa leksikon /kadya/ ‘utara’ sebagai bentuk dasar, sedangkan leksikon /den/ ‘utara’ sebagai bentuk varian.

penting mengenai perubahan penyebutan arah utara yang kemudian berkembang dan merujuk gunung pada bahasa Bali Tengahan maupun Bali Modern.

Prasasti Bebetin yang memuat leksikon /kadya/ ‘utara’ dengan orientasi laut, tidak menyebutkan nama raja sebagai penerbitnya (dikeluarkan pada tahun 818 Saka). Prasasti tersebut mendeskripsikan perhatian raja terhadap benteng di Banwa Baru yang semua penduduknya telah dikalahkan musuh. Oleh sebab itu, penguasa memerintahkan Nayakan Pradana dan Kumpi Widyaruwana untuk membangun suatu bangunan suci yang berhubungan dengan Hyang Api di tempat itu. Bangunan tersebut kemudian ditetapkan batas-batasnya sesuai dengan konsep arah mata angin. Selengkapnya, prasasti Bebetin menyebutkan batas-batas bangunan Hyang Api seperti di bawah ini.

Simayangnya hangga minanga kangin, hangga bukit manghandang kalod, hangga tukad batang karuh, hangga tasik kadya (Prasasti Bebetin, 818 Saka).

Terjemahan.

Batas sebelah timur Minanga, di sebelah selatan Bukit Manghandang, di sebelah Barat sungai Batang, dan di sebelah utara laut (Ardika dan Beratha, 1996 : 47).

Fenomena penyebutan arah /kadya/ yang berorientasi ke laut juga ditunjukkan oleh prasasti Sembiran. Prasasti Sembiran yang dikeluarkan oleh raja Ugrasena 2 pada tahun 844 Saka, mendeskripsikan mengenai permohonan penduduk Desa Julah kepada raja agar diadakan perbaikan terhadap benteng (kuta) tempat tinggalnya. Raja selanjutnya memerintahkan penduduk untuk kembali bertempat tinggal di daerah perbentengan beserta seluruh keluarganya (tua hetu syuruhku ya,

lipetangen anak parumahan di kutanya, marang sentanan). Rajapun menetapkan batas-batas wilayah

perdikan untuk kawasan tersebut. Dalam konteks penetapan batas wilayah perdikan itulah penyebutan arah mata angin terutama /kadya/ ‘utara’ yang merujuk pada laut digunakan.

simayangnya hangga air lutung karuh, hangga duri (lwa) rlwar kalod, hangga air hyang kangin, hangga ampuhan kadya. (Prasasti Sembiran AI, 884 Saka).

Terjemahan.

Batas wilayah perdikannya adalah Air Lutung di barat, di sebelah selatan Duri Lwar-Lwar, di sebelah timur Air Hyang, dan di sebelah utara batasnya adalah laut (Ardika dan Beratha, 1996: 78).

Pada kutipan prasasti di atas, jelas disebutkan bahwa penanda arah utara adalah /kadya/. Arah /kadya/ ‘utara’ tersebut tidak merujuk pada gunung, tetapi laut (ampuhan). Ardika (2003: 93) mengatakan bahwa perubahan penyebutan arah ke laut menjadi selatan dengan leksikon kidul/kalod dan arah ke gunung dengan leksikon lor/kadya di Bali Utara, baru tersurat dalam prasasti Sembiran C yang berangka tahun 1103 Saka. Prasasti yang diterbitkan pada masa pemerintahan raja Jaya Pangus itu menyatakan secara eksplisit bahwa batas-batas desa Julah sebagai berikut :

pinarimandala hingan i taninya, hinganya wetan tukad mamurpur, air lesung, air tabar, rengreng, hinganya kidul, sagara hinganya kulwan, cadin, bakah, renek, air cacaras, hinganya lor, baligbig (Ardika, 1991: 268).

Artinya.

ditetapkan batas keliling dari desa Julah, batasnya di sebelah timur adalah sungai Mamurpur, Air Lesung, Air Tabar, Rengreng, batas di sebelah selatannya adalah laut.

Ardika, (2003: 97) menjelaskan bahwa landasan konsepsional perubahan penyebutan arah utara yang merujuk pada laut menjadi berorientasi pada gunung tersebut, berkaitan erat dengan landasan

2 Raja Ugrasena merupakan raja ke dua yang memerintah kerajaan Bali setelah pemerintahan Sri Kesari Warnadewa. Raja

Tabel

Leksikon Tentang Sumbu Utama Arah

Pada Bahasa Bali Kuna, Bahasa Bali Tengahan, dan bahasa Bali Modern

Bahasa Bali Kuna Bahasa Bali

Tengahan Bahasa Bali Modern Makna Padan /kadya/

/den/ /lor/ /uttara/ /kaja/ ‘utara’

/kaŋin/ /daŋin/ /witan/ /purwa/

/wetan/

/purwa/ /kaŋin/ ‘timur’ /kǝlod/

/lod/ /kidul/ /daksina/ /kǝlod/ ‘selatan’ /karuh/

/daruh/ /kulon/ /pascima/ /kauh/ ‘barat’

Mengacu pada tabel di atas, leksikon untuk ‘utara’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kadya/ dan /den/1. Leksikon /kadya/ ‘utara’ dan /den/ ‘utara’ pada bahasa Bali Tengahan tampak digantikan oleh leksikon /utara/ sebagai cermin pengaruh bahasa Sanskerta dan /lor/ sebagai pengaruh bahasa Jawa Kuna. Sementara itu, dalam perkembangannya pada bahasa Bali Modern leksikon /kadya/ dan /den/ terwaris dengan evolusi fonologis. Leksikon untuk ‘selatan’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kəlod/ dan /lod/. Pada bahasa Bali Tengahan leksikon tersebut tampak diganti oleh leksikon /daksina/ sebagai cermin pengaruh bahasa Sanskerta dan /kidul/ sebagai pengaruh bahasa Jawa Kuna. Leksikon untuk ‘timur’ dalam bahasa Bali Kuna adalah /kaŋin/, /daŋin/, /witan/ (pengaruh bahasa Jawa Kuna), /purwa/ (pengaruh bahasa Sanskerta). Pada bahasa Bali Tengahan, leksikon bahasa Sanskerta yaitu /purwa/ dan bahasa Jawa Kuna /witan/ yang sebelumnya memengaruhi bahasa Bali Kuna tampak terwaris. Sementara itu, pada bahasa Bali Modern leksikon /kaŋin/ dan /daŋin/ tampak terwaris. Leksikon untuk ‘barat’ dalam bahasa Bali Kuna terwaris dalam bentuk /karuh/ dan /daruh/. Pada bahasa Bali Tengahan, leksikon tersebut tampak digantikan oleh leksikon bahasa Sanskerta /pascima/ dan bahasa Jawa Kuna /ulon/. Pada bahasa Bali Modern leksikon itu terwaris dalam bentuk /kauh/