• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN “ASU” DALAM PERSPEKTIF MITOLOG HINDU

Oleh

I Nyoman Duana Sutika

Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana ABSTRAK

Asu dalam perspektif masyarakat Bali tidak serta merta dianggap sebagai binatang rendah

(camah/kotor), tetapi dimuliakan sebagaimana tercermin dalam cerita Suargarohana Parwa dan cerita Sarameya (Adiparwa). Dengan mengambil wujud asu sebagai binatang yang sangat setia pada tuannya, Batara Darma mengantar perjalanan Yudistira bersama istri dan saudara-saudaranya pergi menuju sorga. Begitu juga asu Sarameya dengat sifat kedewataan yang dimilikinya, ia lahir dari ibu bernama Sarama dan ayahnya bernama bagawan Pulaha. Selain itu asu menjadi sarana utama bagi umat Hindu di dalam melaksanakan upacara buta yadnya atau pacaruan. Sejak berabad-abad asu juga menjadi binatang peliharaan bagi masyarakat Bali, menjadi pengaman rumah dari gangguan binatang lainnya.

Kata kunci: Asu, mitologi, kemuliaan I PENDAHULUAN

Keberadaan asu dalam mitologi Hindu tidak hanya dianggap sebagai anjing biasa, tetapi dalam perwujudannya mempunyai sifat-sifat mulia seperti manusia. Dalam keseharian hidup masyarakat (Bali khususnya), anjing menjadi binatang peliharaan kesayangan. Walaupun pada sisi lain ia juga menjadi musuh yang justru menjadi momok bagi masyarakat karena binatang yang satu ini sangat rentan menyebarkan virus rabies.

Keberadaannya selain menjadi teman, anjing umumnya sangat setia kepada tuannya, sebagai penjaga rumah, pengaman terhadap binatang liar yang masuk ke areal rumah tuannya. Sampai saat ini, anjing menjadi ikon bagi kebanyakan masyarakat Bali mengalahkan isu anjing sebagai momok pembawa virus rabies. Kebanyakan masyarakat tidak takut memelihara anjing, bahkan dalam jumlah lebih dari satu ekor. Keberadaan anjing (asu) dalam masyarakat Bali bukanlah hal baru, tetapi telah sejak lama menjadi sumber inspirasi di dalam kehidupan baik secara imanen dan transendental. Dalam mitologi Hindu seringkali binatang (asu) dijadikan ancangan (pelayan/abdi) yang dibedakan dengan anjing dalam kontek binatang peliharaan masyarakat Bali umumnya.

Ada konotasi/pemaknaan simbol yang berbeda ketika anjing disebut cicing (bahasa Bali kasar) karena lebih berkonotasi negatif, seperti anjing gila, anjing penyebar rabies, anjing pemakan kotoran manusia dan sebutan lainnya. Begitu juga sebutan cicing lebih banyak berkonotasi negatif, karena banyak kata /cicing/ dipakai untuk mengumpat atau menyampaikan kondisi dan situasi yang tidak kondusif, seperti cicing ci (anjing kamu), cicing berung (anjing yang terluka parah sehingga menjijikkan), nyicing singal (dikasi hati minta jantung), makuma cicing (anak yang kecilnya ganteng/cantik setelah besar berwajah bodo), dan lain-lain.

Walaupun asu (bahasa Bali alus) mempunyai imanensi yang sama dalam wujud anjing atau

cicing (bahasa Bali kasar), tetapi sebutan asu mempunyai kedudukan atau konotasi berbeda sebagai

binatang yang dimuliakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Perbedaan ragam bahasa sekaligus membedakan makna dan nilai rasa pada imanensi anjing sebagai cicing dan asu. Keberadaan asu dalam konteks ke-Hindu-an banyak ditampilkan baik dalam cerita, seperti Adiparwa (Mahabharata) dan cerita lainnya. Dalam kitab Adiparwa misalnya, asu hadir dalam cerita Sarameya, yaitu asu yang

pecah, semua minyaknya tumpah, disanalah hamba mengambilkannya, minyaknya dan kemudian tanah itu hamba peras, gucinya pun kembali seperti sedia kala”.

84. “kemudian muncullah minyak dari dalam tanah, dan diwadahi dengan guci itu, seperti itulah awal mulanya, hamba memberitahukan yang sebenar-benarnya”, kemudian Sang Hyang Surya berkata, “Jika memang benar seperti itu, sekarang aku yang akan mengupacaraimu, kepada Hyang Pretiwi”, Bagenda Ali sekarang sudah moksa, sekarang sudah berganti cerita.

III Simpulan dan Saran 3.1 Simpulan

GBA merupakan salah satu karya sastra tradisional Bali yang mencerminkan adanya

akulturasi antara kebudayaan Hindu-Islam di Bali, namunkisah dalam teks GBA ini mengambil pemahaman dalam agama Hindu. Tidak terdapat penjelasan lebih mendalam lagi mengenai masuknya agama Islam ke dalam kebudayaan Hindu Bali, sehingga dapat disimpulkan bahwa GBA ini merupakan sebuah cerita rekaan yang tidak ada hubungannya dengan penyebaran agama Islam, sebab dalam teks GBA dikisahkan bahwa seorang Bhagawan yang turun ke bumi, hidup menjadi satu dengan manusia, saling mengasihi satu sama lain. Beliau mewariskan ajaran agama Hindu.

Setelah diadakan kritik teks terhadap naskah GBA, seperti yang telah dipaparkan di atas, ternyata kesalahan salin/ tulis yang dimiliki oleh keempat naskah tersebut tidak sama. Naskah A memiliki kesalahan salin/ tulis, seperti: Substitusi (7), Adisi (5), Omisi (4) dan Lakuna (8). Jumlah keseluruhan kesalahan salin/tulis yang terdapat dalam naskah A yakni sebanyak 24. Kesalahan salin/tulis dalam naskah B, seperti: Substitusi (10), Adisi (5), Omisi (8), Lakuna (9), Transposisi (1), Transposisi Adisi (1) dan Korup (1). Jumlah keseluruhan sebanyak 35, Kesalahan salin/tulis dalam naskah C, yakni Substitusi (21), Adisi (8), Omisi (12), Lakuna (17), Haplografi (1), dan Korup (4). Jumlah keseluruhan sebanyak 63. Naskah D memiliki kesalahan salin/tulis sebanyak 458 yang terdiri atas, Substitusi (216), Adisi (140), Omisi (40), Lakuna (32), Interpolasi (22), Ditografi (2), Haplografi (1), Transposisi (1), Transposisi Substitusi (3) dan Korup (1).

3.2 Saran

Naskah GBA dapat dikatakan telah tersedia dengan baik dan setidak-tidaknya mendekati teks aslinya. GBA perlu ditelaah lebih mendalam lagi dari berbagai aspek, khususnya dari segi sastra, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah GBA ini dapat terungkap. Disamping itu pula, penelitian ini masih sangat jauh dari kata sempurna karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Tim Penyusun. 2014. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar: Badan Pembina bahasa, Aksara dan Sastra Bali Provinsi Bali.

Mulyono, dkk. 1980. “Sejarah Masuknya Islam di Bali”, Denpasar: Proyek Penelitian Pemda Tingkat I Provinsi Bali.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Strukturalisme hingga

Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baroroh Baried, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN “ASU”

DALAM PERSPEKTIF MITOLOG HINDU

Oleh

I Nyoman Duana Sutika

Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana ABSTRAK

Asu dalam perspektif masyarakat Bali tidak serta merta dianggap sebagai binatang rendah

(camah/kotor), tetapi dimuliakan sebagaimana tercermin dalam cerita Suargarohana Parwa dan cerita Sarameya (Adiparwa). Dengan mengambil wujud asu sebagai binatang yang sangat setia pada tuannya, Batara Darma mengantar perjalanan Yudistira bersama istri dan saudara-saudaranya pergi menuju sorga. Begitu juga asu Sarameya dengat sifat kedewataan yang dimilikinya, ia lahir dari ibu bernama Sarama dan ayahnya bernama bagawan Pulaha. Selain itu asu menjadi sarana utama bagi umat Hindu di dalam melaksanakan upacara buta yadnya atau pacaruan. Sejak berabad-abad asu juga menjadi binatang peliharaan bagi masyarakat Bali, menjadi pengaman rumah dari gangguan binatang lainnya.

Kata kunci: Asu, mitologi, kemuliaan I PENDAHULUAN

Keberadaan asu dalam mitologi Hindu tidak hanya dianggap sebagai anjing biasa, tetapi dalam perwujudannya mempunyai sifat-sifat mulia seperti manusia. Dalam keseharian hidup masyarakat (Bali khususnya), anjing menjadi binatang peliharaan kesayangan. Walaupun pada sisi lain ia juga menjadi musuh yang justru menjadi momok bagi masyarakat karena binatang yang satu ini sangat rentan menyebarkan virus rabies.

Keberadaannya selain menjadi teman, anjing umumnya sangat setia kepada tuannya, sebagai penjaga rumah, pengaman terhadap binatang liar yang masuk ke areal rumah tuannya. Sampai saat ini, anjing menjadi ikon bagi kebanyakan masyarakat Bali mengalahkan isu anjing sebagai momok pembawa virus rabies. Kebanyakan masyarakat tidak takut memelihara anjing, bahkan dalam jumlah lebih dari satu ekor. Keberadaan anjing (asu) dalam masyarakat Bali bukanlah hal baru, tetapi telah sejak lama menjadi sumber inspirasi di dalam kehidupan baik secara imanen dan transendental. Dalam mitologi Hindu seringkali binatang (asu) dijadikan ancangan (pelayan/abdi) yang dibedakan dengan anjing dalam kontek binatang peliharaan masyarakat Bali umumnya.

Ada konotasi/pemaknaan simbol yang berbeda ketika anjing disebut cicing (bahasa Bali kasar) karena lebih berkonotasi negatif, seperti anjing gila, anjing penyebar rabies, anjing pemakan kotoran manusia dan sebutan lainnya. Begitu juga sebutan cicing lebih banyak berkonotasi negatif, karena banyak kata /cicing/ dipakai untuk mengumpat atau menyampaikan kondisi dan situasi yang tidak kondusif, seperti cicing ci (anjing kamu), cicing berung (anjing yang terluka parah sehingga menjijikkan), nyicing singal (dikasi hati minta jantung), makuma cicing (anak yang kecilnya ganteng/cantik setelah besar berwajah bodo), dan lain-lain.

Walaupun asu (bahasa Bali alus) mempunyai imanensi yang sama dalam wujud anjing atau

cicing (bahasa Bali kasar), tetapi sebutan asu mempunyai kedudukan atau konotasi berbeda sebagai

binatang yang dimuliakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Perbedaan ragam bahasa sekaligus membedakan makna dan nilai rasa pada imanensi anjing sebagai cicing dan asu. Keberadaan asu dalam konteks ke-Hindu-an banyak ditampilkan baik dalam cerita, seperti Adiparwa (Mahabharata) dan cerita lainnya. Dalam kitab Adiparwa misalnya, asu hadir dalam cerita Sarameya, yaitu asu yang

lahir dari ibu bernama Sarama dan ayah Bagawan Pulaha. Betapapun ia berwujud asu (anjing), tetapi dalam dirinya tercermin sifat-sifat mulia sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Begitu juga wujud

asu dalam Suargarohana Parwa, asu sebagai perwujudan Batara Dharma yang setia mengantar

Yudistira dan saudara-saudaranya menuju sorgaloka.

Dalam konteks yang berbeda, asu juga terdapat dalam Cerita Angling Dharma bersama kekuatan mistisnya, sebagai perwujudan Angling Dharma sendiri. Selebihnya asu adalah binatang yang amat penting fungsinya di dalam pelaksanaan upacara yadnya terutama untuk sarana upacara

Buta yadnya (pacaruan). Perwujudan asu dalam berbagai perspektif inilah yang akan dirangkum

dalam tulisan ini. II PEMBAHASAN

2.1 Asu Sarameya Dalam Cerita Adiparwa

Mitologi Sarameya ini diambil dari cerita Adiparwa ketika Maharaja Janamejaya melaksanakan atau melangsungkan korban suci di Kuruksetra. Saat itu ikut hadir Sang Srutasena untuk menyaksikan jalannya upacara korban suci tersebut. Pada saat upacara sedang berlangsung datanglah Sarameya, seekor anjing turut menyaksikan korban suci tersebut dari jarak yang cukup jauh. Oleh Sang Srutasena anjing tersebut dianggap sangat menggangu jalannya upacara sehingga ia memukul anjing tersebut. Anjing Sarameya lalu berlari meringis kesakitan meninggalkan tempat upacara dan mengadu pada ibunya Sarama, istri bagawan Pulaha akan keadaan dirinya yang dipukul oleh Srutasena, seperti teks berikut:

…,sedeng ning yadna ginawe, hana ta Sarameya, cwana milu manonton yadna nira, Katon pwa ya de sang Crutasena, pinalu nira ta ya ikang asu si Sarameya.

Terjemahan:

…, ketika upacara korban suci sedang dilaksanakan, datanglah asu Sarameya, seekor anjing (asu) yang ikut menonton jalannya upacara. Dilihatlah oleh Sang Crutasena, lalu dipukulnya

asu Saramera tersebut

Ketika anaknya datang sambil meringis kesakitan, Sarama (ibunya) sangat marah dan tidak terima anaknya dipukul oleh Srutasena hanya karena ikut menyaksikan jalannya upacara tersebut. Sarameya juga sama sekali tidak mengganggu jalannya upacara pesajian tersebut, apalagi sampai menjilati yang dapat mengotori persembahan tersebut, hanya melihat dari jarak yang cukup jauh. Untuk membalaskan sakit hatinya kepada Srutasena, Sarama lalu mengutuk agar korban suci yang dilakukan oleh Maharaja Janamejaya tidak bisa mengubah kutuk terhadap dirinya. Kekawatiran akan kutuk Sarama tersebut, Maharaja Janamejaya lalu minta bantuan dan perlindungan kepada Bagawan Srutasrawa yang dipercaya mampu menghindarkan dirinya dari kutuk Sarama.

Ada pelajaran yang dapat dipetik dari cerita ini yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat Bali bahwa betapapun anjing berkeliaran di tempat upacara, sebaiknya jangan pernah mengusir anjing tersebut secara kasar apalagi sampai memukulnya, karena diyakini akan menimbulkan kericuhan (biuta) bagi jalannya upacara yang dilakukan. Kenyataannya dalam setiap berlangsungnya upacara yadnya di Bali (pancayadnya: dewa yadnya, manusa yadnya, pitra yadnya,

rsi yadnya, dan buta yadnya) tidak bisa dipungkiri akan datangnya anjing-anjing yang berkeliaran

mencari makan. Hal ini tercermin pada keberadaan masyarakat pedesaan yang hampir setiap rumah memelihara anjing, sehingga ketika ada upacara yadnya beberapa anjing berebut datang ke tempat upacara tersebut.

Mitologi cerita Sarameya ini seakan menjadi pelajaran dan penghalang bagi seseorang bagi seseorang untuk secara kasar melakukan pemukulan atau kekerasan terhadap binatang terutama anjing karena dapat berakibat fatal. Pesan moralnya adalah bahwa siapapun tidak boleh merendahkan

binatang atau wujud apapun apabila ia tidak mengganggu kenyamanan kita. Apalagi sampai menyakitinya yang kemudian tentu akan menimbulkan ketidakharmonisan karena ada yang tersakiti, walaupun ia dalam wujud anjing. Binatang dan segala jenis kehidupan lainnya diciptakan saling melengkapi antara satu dengan lainnya sehingga mempunyai hak hidup yang sama di hadapan Hyang Pencipta. Asu bukanlah perwujudan binatang buruk sehingga manusia bisa sewenang-wenang menganiaya, apalagi wujud asu dalam mitos ini hadir sebagai anak seorang bagawan Pulaha dan istrinya Sarama, tentu menginspirasi sifat-sifat sebagaimana yang dimiliki oleh manusia.

2.2 Asu dalam Suargarohana Parwa

Setelah menobatkan Pariksit sebagai raja Hastinapura, saatnya Panca Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa, serta istrinya Dewi Draupadi meninggalkan kerajaan Hastinapura menuju Himalaya untuk mencapai kediaman Batara Indra di puncak gunung Mahameru. Seekor anjing (asu) menyertai mereka dalam pengembaraan menuju ke gunung Mahameru. Siang malam mereka berjalan tak mengenal lelah.

Dalam cerita Suargarohana Parwa, tokoh asu sangat inten karena ia memegang peranan penting dalam mengantarkan langkah Yudistira beserta istri dan saudara-saudaranya menuju ke sorga.

Asu dalam konteks cerita ini lebih bermakna filosofis bahwa kematian manusia atau seseorang akan

senantiasa diikuti oleh buah pahala (pala karma) yang dilakukan sebelumnya (suba dan asuba

karma). Apabila seseorang berbuat baik pada kehidupan di dunia ini maka niscaya ia menerima

kebaikan menuju dunia keabadian. Begitu juga sebaliknya, apabila seseorang banyak berbuat kejahatan maka akan menerima keburukan (neraka).

Dalam pandangan tradisi Hindu Nengah Medera menegaskan (hasil wawancara tanggal 26 Apri 2016) bahwa asu secara simbolisme adalah buah perbuatan kita diambil dari istilah suba dan

asuba karma yang mengantarkan setiap orang menuju sorga. Asu (suba adan asuba karma)

merupakan simbol buah perbuatan di dunia yang melekat atau terbawa dalam diri seseorang dan menjadi bekal menuju sorga. Hal inilah yang tergambar dalam perjalanan Yudistira/Dharmawangsa beserta istri dan saudara-saudaranya (panca pandawa). Ketika mulai mendaki gunung Mahameru, istri dan saudara-saudaranya satu persatu jatuh ke dalam jurang dan lenyap di telan bumi, karena tidak bertenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan. Diawali oleh jatuhnya Draupadi, menyusul Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima. Tinggal Yudistira dan anjing hitam (cicing selem) yang tetap setia mengiringi dalam perjalanan. Menurut Nengah Medera (hasil wawancara tanggal 26 April 2018) ini menjadi simbol bahwa kematian manusia terjadi lima kali dimulai Draupadi yang menandakan kematian nafsu dalam diri seseorang. Pada kenyataannya walaupun bersuami lima (panca pandawa), sesungguhnya Draupadi hanya menyintai Arjuna semata. Menyusul kematian Nakula dan Sahadewa sebagai simbol ketampanan dan kepercayaan diri dalam diri manusia. Kemudian disusul oleh kematian Arjuna sebagai simbol keberanian untuk mengalahkan musuh dan disusul oleh Bima sebagai simbol kekuatan (tenaga) fisik dalam diri seseorang. Ini berarti apabila unsur-unsur, seperti nafsu, ketampanan, ketidakpercayaan diri, keberanian dan tenaga sudah tidak ada lagi dalam diri manusia, niscaya ia telah mengalami kematian. Hanya Yudistira (Dharmawangsa) mampu melanjutkan perjalanan karena ia tidak terikat oleh kemelekatan duniawi.

Walaupun terasa sangat berat, Yudistira tidak urung meninggalkan saudara-saudara dan istrinya untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Mahameru. Tidak lama kemudian Yudistira sampai di puncak gunung Mahameru, sekaligus menjadi pintu menuju sorga. Kedatangan Yudistira disambut oleh Batara Indra dengan kereta kudanya. Yudistira dipersilahkan naik ke dalam keretanya, tetapi ia menolak sebelum mendapat keterangan tentang keberadaan Draupadi dan saudara-saudaranya. Batara Indra meyakinkan bahwa Draupadi dan saudara-saudaranya telah mendahului ke sorga.

lahir dari ibu bernama Sarama dan ayah Bagawan Pulaha. Betapapun ia berwujud asu (anjing), tetapi dalam dirinya tercermin sifat-sifat mulia sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Begitu juga wujud

asu dalam Suargarohana Parwa, asu sebagai perwujudan Batara Dharma yang setia mengantar

Yudistira dan saudara-saudaranya menuju sorgaloka.

Dalam konteks yang berbeda, asu juga terdapat dalam Cerita Angling Dharma bersama kekuatan mistisnya, sebagai perwujudan Angling Dharma sendiri. Selebihnya asu adalah binatang yang amat penting fungsinya di dalam pelaksanaan upacara yadnya terutama untuk sarana upacara

Buta yadnya (pacaruan). Perwujudan asu dalam berbagai perspektif inilah yang akan dirangkum

dalam tulisan ini. II PEMBAHASAN

2.1 Asu Sarameya Dalam Cerita Adiparwa

Mitologi Sarameya ini diambil dari cerita Adiparwa ketika Maharaja Janamejaya melaksanakan atau melangsungkan korban suci di Kuruksetra. Saat itu ikut hadir Sang Srutasena untuk menyaksikan jalannya upacara korban suci tersebut. Pada saat upacara sedang berlangsung datanglah Sarameya, seekor anjing turut menyaksikan korban suci tersebut dari jarak yang cukup jauh. Oleh Sang Srutasena anjing tersebut dianggap sangat menggangu jalannya upacara sehingga ia memukul anjing tersebut. Anjing Sarameya lalu berlari meringis kesakitan meninggalkan tempat upacara dan mengadu pada ibunya Sarama, istri bagawan Pulaha akan keadaan dirinya yang dipukul oleh Srutasena, seperti teks berikut:

…,sedeng ning yadna ginawe, hana ta Sarameya, cwana milu manonton yadna nira, Katon pwa ya de sang Crutasena, pinalu nira ta ya ikang asu si Sarameya.

Terjemahan:

…, ketika upacara korban suci sedang dilaksanakan, datanglah asu Sarameya, seekor anjing (asu) yang ikut menonton jalannya upacara. Dilihatlah oleh Sang Crutasena, lalu dipukulnya

asu Saramera tersebut

Ketika anaknya datang sambil meringis kesakitan, Sarama (ibunya) sangat marah dan tidak terima anaknya dipukul oleh Srutasena hanya karena ikut menyaksikan jalannya upacara tersebut. Sarameya juga sama sekali tidak mengganggu jalannya upacara pesajian tersebut, apalagi sampai menjilati yang dapat mengotori persembahan tersebut, hanya melihat dari jarak yang cukup jauh. Untuk membalaskan sakit hatinya kepada Srutasena, Sarama lalu mengutuk agar korban suci yang dilakukan oleh Maharaja Janamejaya tidak bisa mengubah kutuk terhadap dirinya. Kekawatiran akan kutuk Sarama tersebut, Maharaja Janamejaya lalu minta bantuan dan perlindungan kepada Bagawan Srutasrawa yang dipercaya mampu menghindarkan dirinya dari kutuk Sarama.

Ada pelajaran yang dapat dipetik dari cerita ini yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat Bali bahwa betapapun anjing berkeliaran di tempat upacara, sebaiknya jangan pernah mengusir anjing tersebut secara kasar apalagi sampai memukulnya, karena diyakini akan menimbulkan kericuhan (biuta) bagi jalannya upacara yang dilakukan. Kenyataannya dalam setiap berlangsungnya upacara yadnya di Bali (pancayadnya: dewa yadnya, manusa yadnya, pitra yadnya,

rsi yadnya, dan buta yadnya) tidak bisa dipungkiri akan datangnya anjing-anjing yang berkeliaran

mencari makan. Hal ini tercermin pada keberadaan masyarakat pedesaan yang hampir setiap rumah memelihara anjing, sehingga ketika ada upacara yadnya beberapa anjing berebut datang ke tempat upacara tersebut.

Mitologi cerita Sarameya ini seakan menjadi pelajaran dan penghalang bagi seseorang bagi seseorang untuk secara kasar melakukan pemukulan atau kekerasan terhadap binatang terutama anjing karena dapat berakibat fatal. Pesan moralnya adalah bahwa siapapun tidak boleh merendahkan

binatang atau wujud apapun apabila ia tidak mengganggu kenyamanan kita. Apalagi sampai menyakitinya yang kemudian tentu akan menimbulkan ketidakharmonisan karena ada yang tersakiti, walaupun ia dalam wujud anjing. Binatang dan segala jenis kehidupan lainnya diciptakan saling melengkapi antara satu dengan lainnya sehingga mempunyai hak hidup yang sama di hadapan Hyang Pencipta. Asu bukanlah perwujudan binatang buruk sehingga manusia bisa sewenang-wenang menganiaya, apalagi wujud asu dalam mitos ini hadir sebagai anak seorang bagawan Pulaha dan istrinya Sarama, tentu menginspirasi sifat-sifat sebagaimana yang dimiliki oleh manusia.

2.2 Asu dalam Suargarohana Parwa

Setelah menobatkan Pariksit sebagai raja Hastinapura, saatnya Panca Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa, serta istrinya Dewi Draupadi meninggalkan kerajaan Hastinapura menuju Himalaya untuk mencapai kediaman Batara Indra di puncak gunung Mahameru. Seekor anjing (asu) menyertai mereka dalam pengembaraan menuju ke gunung Mahameru. Siang malam mereka berjalan tak mengenal lelah.

Dalam cerita Suargarohana Parwa, tokoh asu sangat inten karena ia memegang peranan penting dalam mengantarkan langkah Yudistira beserta istri dan saudara-saudaranya menuju ke sorga.

Asu dalam konteks cerita ini lebih bermakna filosofis bahwa kematian manusia atau seseorang akan

senantiasa diikuti oleh buah pahala (pala karma) yang dilakukan sebelumnya (suba dan asuba

karma). Apabila seseorang berbuat baik pada kehidupan di dunia ini maka niscaya ia menerima

kebaikan menuju dunia keabadian. Begitu juga sebaliknya, apabila seseorang banyak berbuat kejahatan maka akan menerima keburukan (neraka).

Dalam pandangan tradisi Hindu Nengah Medera menegaskan (hasil wawancara tanggal 26 Apri 2016) bahwa asu secara simbolisme adalah buah perbuatan kita diambil dari istilah suba dan

asuba karma yang mengantarkan setiap orang menuju sorga. Asu (suba adan asuba karma)

merupakan simbol buah perbuatan di dunia yang melekat atau terbawa dalam diri seseorang dan menjadi bekal menuju sorga. Hal inilah yang tergambar dalam perjalanan Yudistira/Dharmawangsa beserta istri dan saudara-saudaranya (panca pandawa). Ketika mulai mendaki gunung Mahameru, istri dan saudara-saudaranya satu persatu jatuh ke dalam jurang dan lenyap di telan bumi, karena tidak