• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.3.4 Pengelompokkan Nilai TP Berdasarkan Musim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3.3.4 Pengelompokkan Nilai TP Berdasarkan Musim"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Dimana :

VC : Kapasitas vektor

m : kepadatan nyamuk hinggap (ekor / orang / jam),

a : rata-rata jumlah gigitan nyamuk (perhari),

p : nilai harapan hidup nyamuk (perhari), dan

n : periode inkubasi ekstrinsik (hari). 3.3.4 Pengelompokkan Nilai TP

Berdasarkan Musim

Tabel 1 Pengelompokkan nilai potensi transmisi (TP) musiman No Musim Bulan 1 Hujan (DJF) Desember-Januari-Februari 2 Peralihan 1 (MAM) Maret-April-Mei 3 Kemarau (JJA) Juni-Juli-Agustus 4 Peralihan 2 (SON) September-Oktober-November

3.3.5 Identifikasi Tahun Bawah Normal (BN), Normal (N) dan Atas Normal (AN) Berdasarkan Curah Hujan Identifikasi sifat hujan tahunan dilakukan dengan klasifikasi berdasarkan kriteria BMKG. Klasifikasi tersebut terbagi menjadi tiga kelompok yaitu : tahun bawah normal; normal; dan tahun atas normal (Tabel 2). Tabel 2 Pengelompokan karakteristik curah

hujan No Karakteristik Kriteria 1 BN <85% CH rata-rata 30 tahunan 2 N 85%-115% CH rata-rata 30 tahunan 3 AN >115% CH rata-rata 30 tahunan

Selanjutnya dibuat nilai TP musiman pada tahun BN, N dan AN berdsarakan curah hujan.

3.3.6 Pemetaan TP

Pemetaan dilakukan dengan software Arc View dengan memasukkan nilai TP yang telah dihitung sebelumnya. Pemetaan hanya dilakukan di kecamatan pusat kabupaten/kota Jawa Tengah karena biasanya DBD hanya terjadi di pusat-pusat kota yang berpenduduk padat. Ada beberapa kabupaten/kota suhu nya merupakan estimasi berdasarkan ketinggian. Estimasi suhu tersebut dilakukan dengan

memodifikasi Rumus Braak (1929) dengan stasiun acuan yang digunakan adalah Stasiun Meteorologi Ahmad Yani, Semarang yang terletak pada ketinggian 3 meter di atas permukaan laut dengan suhu tahunannya 27.6 0

C, sehingga estimasi suhu berdasarkan ketinggiannya menjadi :

Tzi = 27.6 – 0.006h Dimana

Tzi : Suhu berdasarkan estimasi ketinggian (0 C)

h : ketinggian (m)

Melalui software Arc View peta suhu tersebut dirubah menjadi peta TP dengan menggunakan metode VC.

3.3.7 Mencari Hubungan antara Nilai VC dengan IR dan KP

Keeratan hubungan antara nilai kapasitas vektor dengan IR dan KP dianalisis menggunakan uji kolerasi sederhana.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Iklim Jawa Tengah (Jateng)

Jawa Tengah merupakan suatu wilayah yang berada di tengah-tengah Pulau Jawa yang dikelilingi oleh 3 provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut pola curah hujan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Tengah merupakan wilayah yang curah hujannya mengikuti pola monsoon yang memiliki satu puncak musim hujan yang biasanya terjadi pada bulan Desember atau Januari (Gambar 5). Menurut klasifikasi Köppen Jawa Tengah bertipe iklim Am dengan curah hujan tahunan rata-rata 2000 mm, dan suhu rata-rata 21-32 oC.

Gambar 5 Pola curah hujan (mm) dan suhu (0C) rata-rata Jawa Tengah.

(2)

Gambar 6 Diagram alir penelitian. MHD, CH dan KP Jaktim&Mataram MHD/KP f(CH) CH dan KP Jateng MHD Jateng FI n Suhu Data Suhu Pengamatan

Ada / Tidak ? Ada

T

id

ak

DEM

Braak 1929 Peta Isotherm

HBI a a2 p VC TP

IR Jateng Korelasi TP Musiman

Tahun CH BN, N dan AN

TP Musiman perklasifikasi tahun hujan

(3)

4.2 Persamaan Pendugaan Man Hour

Density (MHD) Berdasarkan Curah

Hujan

Menurut Aiken et al. (1980), peningkatan atau penurunan vektor DBD disebabkan oleh curah hujan, baik dalam hal jumlah populasi maupun ukuran tempat perindukan nyamuk. Namun curah hujan yang besar akan menyebabkan genangan air yang digunakan sebagai tempat perindukan nyamuk melimpas sehingga larva atau pupa nyamuk tersebar ke tempat-tempat lain dan tidak sempat menjadi nyamuk dewasa yang bisa berpotensi menularkan penyakit (Hidayati 2008). Pada penelitian ini, didapatkan 3 persamaan antara MHD (Jaktim dan Mataram) dengan curah hujan (Jaktim dan Mataram) yang telah dibuat sebagai dasar untuk menduga MHD wilayah Jawa Tengah . Persamaan 1 dan 2, merupakan persamaan kuadratik dengan 2 periode hujan, sedangkan persamaan 3 merupakan persamaan polynomial dengan 1 periode hujan dan menyertakan faktor pembobot kepadatan nyamuk. Antara persamaan 1 dan 2, data yang digunakan sama. Persamaan 1 menyertakaan intersepsi dalam persamaan regresi, sedangkan persamaan 2 tidak. Namun, karena intersepsi tidak berpengaruh nyata maka untuk proses selanjutnya digunakan persamaan 2, dimana tidak digunakan intersepsi.  Persamaan 1 (R2 = 97.5%) MHD = 0.0216 + 0.00519 CH – 0.000013 CH2 + 0.000004 CH2n-1  Persamaan 2 (R2 = -) MHD = 0.00519 CH – 0.000013 CH2 + 0.000004 CH2n-1  Persamaan 3 (R2 = 84.1%) MHD/KP = (-4x10-8CH2) + (2x10 -5 CH) – 0.0001

Pada penelitian ini persamaan yang digunakan untuk menduga MHD di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah berdasarkan data curah hujan masing-masing kabupaten/kota tersebut yaitu persamaan 3. Berdasarkan persamaan 2 dan 3, yang dianggap lebih rasional adalah persamaan 3, karena pada persamaan 3 digunakan faktor pembobot atau faktor koreksi yaitu data kepadatan penduduk (KP). Diasumsikan KP sebanding dengan kepadatan nyamuk. Nyamuk membutuhkan darah manusia untuk perkembangbiakannya, sehingga semakin banyak penduduk maka ketersediaan makan nyamuk akan semakin besar. Oleh sebab itulah kepadatan nyamuk sebanding dengan KP, sehingga persamaan 3 lebih tepat untuk

menggambarkan keadaan kepadatan nyamuk di Jawa Tengah.

Gambar 7 Hubungan man hour density (MHD, ekor/orang/jam) / kepadatan penduduk (KP, orang/km2) dengan curah hujan (CH, mm) .

Selain adanya faktor koreksi, pada persamaan 3, MHD akan mencapai nilai maksimum pada curah hujan kurang lebih 250-290 mm dan kemudian akan menurun dengan bertambahnya curah hujan yang disebabkan hubungan antara MHD/KP dengan curah hujan pada persamaan 3 (MHD/KP = ((-4x10-8CH2) + (2x10-5CH) – 0.0001) mengikuti persamaan polynomial (Gambar 7). Curah hujan akan menimbulkan tersedianya tempat perindukan nyamuk, sehingga meningkatkan kepadatan nyamuk. Namun curah hujan juga akan menghilangkan tempat perindukan nyamuk melalui limpasan permukaan apabila nilainya sangat besar atau hujan yang terjadi sangat deras.

4.3 MHD Jawa Tengah

Berdasarkan rata-rata MHD bulanan, Kota Surakarta memiliki nilai MHD tertinggi. Tingginya nilai MHD tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk Kota Surakarta yang paling tinggi dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan juga curah hujan dalam jumlah yang cukup (133.3 mm/bulan) untuk menyediakan tempat perindukan nyamuk.

Suhu tidak diperhitungkan dalam persamaan MHD, sehingga nilai MHD terkecil terjadi di Kabupaten Batang. Rendahnya nilai MHD di kabupaten tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk dan curah hujan yang relatif rendah.

Rata-rata MHD bulanan Jawa Tengah menunjukkan MHD terendah terjadi pada setiap musim JJA pada semua kondisi (Gambar 8). Hal tersebut sesuai dengan

(4)

rata-rata curah hujan dan jumlah hari hujan yang terendah pada musim JJA di semua tahun (Gambar 9 dan 10). Curah hujan rata-rata bulanan pada musim JJA yang digambarkan pada gambar 9, menunjukkan pada waktu tersebut curah hujan paling rendah. Selain itu, jumlah rata-rata bulanan hari hujan di Kabupaten Tegal, Cilacap, Semarang dan Kota Semarang menunjukkan pada musim JJA, hujan jarang terjadi, sehingga hujan yang diterima menguap sebelum memenuhi genangan-genangan atau tempat-tempat yang bisa menjadi tempat perindukan nyamuk. Hal tersebut menyebabkan MHD terendah terjadi pada musim JJA di setiap kondisi.

MHD tertinggi, pada semua tahun terjadi pada musim yang berbeda. Pada tahun BN, MHD tertinggi terjadi pada musim DJF, karena pada bulan tersebut curah hujan berada pada kondisi yang optimum yaitu 175.4 mm/bulan, sehingga dibutuhkan hujan yang sering dan optimum untuk menyediakan tempat perindukan nyamuk (Gambar 9 dan 10) agar MHD maksimum.

Berbeda halnya pada tahun N dan AN, MHD tertinggi terjadi pada musim MAM. Pada tahun N dan AN dimana curah hujan diatas rata-rata, hujan yang sering dan dalam jumlah yang besar justru dinilai tidak cocok untuk perkembangbiakan nyamuk, karena pada kondisi tersebut terlalu basah sehingga sedikit tempat perindukan nyamuk akibat curah hujan yang langsung melimpas. Seperti yang terdapat pada Gambar 9 dan 10, maka MHD maksimum pada tahun N dan AN terjadi pada musim MAM dimana hujan dan jumlahnya tidak terlalu besar.

Gambar 8 Man hour density (MHD, ekor/orang/jam) bulanan Jawa Tengah permusim setiap kondisi.

Gambar 9 Curah hujan (CH, mm) rata-rata bulanan Jawa Tengah setiap kondisi.

Gambar 10 Rata-rata jumlah hari hujan bulanan Kota Tegal, Kota Semarang, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Semarang pada setiap kondisi.

Rata-rata MHD pada tahun BN lebih rendah dibanding pada tahun N dan BN. Hal tersebut juga disebabkan oleh curah hujan yang lebih tinggi dan sering pada tahun N dan AN dibanding tahun BN.

Pola rata-rata MHD pada setiap kondisi tidak sama seperti pola rata-rata curah hujan dan hari hujan, karena pada perhitungan MHD, bukan hanya curah hujan yang menjadi faktor penentu melainkan ada faktor lain yaitu kepadatan penduduk.

4.4 Kapasitas Vektor (VC) Jawa Tengah Metode VC merupakan sebuah metode yang menggambarkan tingkat penularan DBD suatu wilayah melalui hubungan antara keberadaan virus Dengue, keberadaan Aedes

(5)

manusia sebagai inang. Suhu memainkan peranan penting dalam metode ini, yaitu mempengaruhi siklus inkubasi virus dan siklus gonotropik vektor. Selain itu curah hujan juga berpengaruh terhadap kepadatan nyamuk vektor dalam hal ketersediaan tempat perindukan.

Pembahasan ini membagi Kabupaten/Kota Jawa Tengah menjadi tiga wilayah berdasarkan ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota, yaitu wilayah dataran tinggi (DT), menengah (DM) dan dataran rendah (DR). Kabupaten/ kota yang termasuk ke dalam wilayah DT merupakan kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kota nya berada pada ketinggian > 500 mdpl. Wilayah DM terdiri dari kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kota nya berada pada ketinggian 100-500 mdpl, sedangkan wilayah DR terdiri dari kabupaten/kota yang kecamatan pusat kabupaten/kotanya berada pada ketinggian < 100 mdpl.

Tabel 3 Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran tinggi (DT) Kab/Kota Ketinggian (mdpl) Suhu (0C) VC Wonosobo 750 23,0 182 Temanggung 585 24,1 198 Salatiga (M) 554 25,3 215 Boyolali 501 26,7 362 Rataan > 500 24,8 239 Tabel 4 Ketinggian kecamatan pusat

kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran menengah (DM) Kab/Kota Ketinggian (mdpl) Suhu (0C) VC Magelang (M) 377 25,0 540 Magelang 331 25,4 298 Semarang 313 25,8 352 Banjarnegara 278 25,9 240 Wonogiri 185 26,5 188 Klaten 175 26,5 539 Karanganyar 134 26,9 308 Sukoharjo 100 26,9 462 Rataan 100-500 26,1 367

Tabel 5 Ketinggian kecamatan pusat kabupaten/kota (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) wilayah dataran rendah (DR) Kab/Kota Ketinggian (mdpl) Suhu (0C) VC Surakarta (M) 96 26,7 4.378 Purbalingga 90 26,8 584 Blora 86 27,1 303 Sragen 85 27,1 401 Pekalongan 50 26,9 460 Banyumas 43 25,8 513 Tegal 41 27,1 434 Purworejo 41 27,1 199 Grobogan 26 27,4 209 Kebumen 21 25,4 374 Kudus 19 27,6 536 Pati 15 27,5 267 Cilacap 10 26,9 404 Demak 8 27,5 467 Pekalongan (M) 8 27,5 3.551 Rembang 8 27,2 161 Kendal 8 27,6 437 Pemalang 7 27,5 620 Brebes 6 27,1 459 Jepara 3 27,7 552 Semarang (M) 3 27,6 2.375 Batang 2 27,6 74 Tegal (M) 2 27,2 3.540 Rataan <100 27,1 926 Wilayah DT terdiri dari 4 kabupaten/kota. Rata-rata bulanan VC tertinggi dari ke-4 kabupaten/kota tersebut terjadi di Kabupaten Boyolali (Tabel 3). Hal tersebut disebabkan oleh ketinggian Kabupaten Boyolali yang paling rendah dibandingkan ke-3 kabupaten/kota lainnya, sehingga suhunya merupakan yang tertinggi. Suhu akan mempengaruhi siklus gonotropik nyamuk, siklus inkubasi ekstrinsik virus Dengue di dalam tubuh nyamuk dan peluang hidup nyamuk. Semakin besar suhu, siklus tersebut akan semakin cepat, sehingga akan meningkatkan kapasitas vektor menularkan DBD.

Wilayah DM terdiri dari 8 kabupaten/kota. Rata-rata bulanan VC tertinggi terjadi di Kota

(6)

Magelang (Tabel 4). Hal tersebut dikarenakan kepadatan penduduk yang tinggi di kota tersebut, sehingga meskipun ketinggian kota tersebut bukan yang terendah diantara ke-7 kabupaten lainnya, nilai VC Kota Magelang mencapai yang tertinggi.

Wilayah DR terdiri dari 23 kabupaten/kota. Rata-rata nilai VC tertinggi yaitu terjadi di Kota Surakarta (Tabel 5). Berdasarkan kepadatan penduduknya, Kota Surakarta merupakan kota paling padat penduduknya di Jawa Tengah, sehingga kepadatan nyamuk pun tinggi. Hal tersebut menyebabkan kapasitas vektor menularkan DBD tinggi.

Rata-rata bulanan VC wilayah DT menunjukkan VC tertinggi terjadi pada Bulan Mei dengan 0,00208 atau 208/100.000, VC terendah terjadi pada bulan Juli (Gambar 11) . Setelah itu VC mulai meningkat pada bulan Agustus hingga Desember, karena pada waktu tersebut curah hujan sudah mulai meningkat.

Gambar 11 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran tinggi (DT).

Rata-rata bulanan VC di wilayah DM, menunjukkan rata-rata bulanan VC tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah pada Agustus (Gambar 12). Pada wilayah DR, VC tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah pada bulan Juli (Gambar 13). Rata-rata bulanan VC dari ketiga wilayah menunjukkan bahwa VC akan meningkat dengan memasuki musim hujan (Desember-Mei) dan akan menurun dengan memasuki musim kemarau (Juni-Agustus). Hal tersebut berkaitan dengan penerimaan curah hujan yang mendukung ketersediaan tempat perindukan nyamuk.

Rata-rata VC dari wilayah DT, DM, dan DR menunjukkan bahwa semakin rendah dataran maka VC akan semakin tinggi, karena

suhu menurun dengan bertambahnya ketinggian. Sesuai dengan Tabel 6, rata-rata VC wilayah dataran rendah lebih besar dibanding dataran menegah dan dataran tinggi. Suhu, curah hujan dan ketinggian tempat dari ketiga wilayah menunjukkan nilai yang lebih besar pada dataran rendah, menengah kemudian dataran tinggi. Suhu memainkan peranan penting dalam siklus gonotropik dan inkubasi ekstirnsik, sehingga pada dataran rendah siklus gonotropik dan inkubasi ekstrinsik terjadi lebih cepat yang ,menyebabkan VC lebih besar. Sama halnya dengan curah hujan, curah hujan yang besar namun tidak lebih besar dari 250-290 mm, akan meningkatkan kepadatan nyamuk, sehingga pada dataran rendah, VC lebih besar.

Gambar 12 Rata-rata kapasitas vektor (VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran menengah (DM).

Gambar 13 Rata-rata kapasitas vektor ( VC, per 100.000) bulanan wilayah dataran rendah (DR).

(7)

Tabel 6 Ketinggian (mdpl), rata-rata bulanan suhu (0C), dan kapasitas vektor (VC, per 100.000) tiap wilayah Dataran Rendah Menengah Tinggi Ketinggian

(mdpl) <100 100-500 >500

Suhu 27,1 26,1 24,8

VC 926 367 239

Persamaan vektorial capacity atau kapasitas vector (VC) pada penelitian ini menekankan hanya pada pengaruh suhu, curah hujan, dan kepadatan penduduk. Pengaruh suhu dan curah hujan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu pada siklus gonotropik, inkubasi ekstrinsik dan kepadatan nyamuk. Kepadatan penduduk juga menentukan kepadatan nyamuk, karena asumsi kepadatan nyamuk sebanding dengan kepadatan penduduk. Kapasitas vektor menularkan DBD paling tinggi diantara 35 kabupaten/kota terjadi di Kota Surakarta (Tabel 7). Apabila dilihat dari suhu dan curah hujan, suhu dan curah hujan di kota tersebut bukan yang paling tinggi, namun karena kepadatan penduduk dikota tersebut yang terpadat, maka mempengaruhi kepadatan nyamuk yang menyebabkan VC maksimum di kota tersebut.

Rata-rata VC Jawa Tengah musiman tahunan menunjukkan VC terendah terjadi pada musim JJA pada semua kondisi (Gambar 14) . Pada tahun BN, TP tertinggi terjadi pada musim DJF, pada tahun N dan AN, VC tertinggi terjadi pada musim MAM. Hal tersebut sama dengan pola MHD.

Rata-rata suhu pada musim DJF akan menurun dengan bertambahnya curah hujan (suhu pada musim DJF BN lebih tinggi daripada musim DJF N dan DJF AN) (Tabel 8). Hal tersebut disebabkan pada saat terjadi hujan, biasanya suhu akan lebih rendah karena keadaan atmosfer yang jenuh. Curah hujan BN lebih rendah dari pada curah hujan N dan AN yang salah satunya disebabkan oleh jumlah hari hujan yang lebih banyak pada curah hujan N dan AN, sehingga atmosfer selalu berada pada keadaan jenuh yang menyebabkan suhu lebih rendah pada musim DJF tahun AN. Pola rata-rata suhu pada musim ini berbanding terbalik pada musim JJA.

Musim MAM merupakan musim peralihan, biasanya pada musim ini hujan terjadi tidak lebih sering dibandingkan pada musim DJF. Hal tersebut menyebabkan suhu pada curah hujan BN lebih tinggi dibanding

pada curah hujan N dan AN. Pola ini berbanding terbalik dengan musim SON. Tabel 7 10 kabupaten/kota dengan rata-rata

kapasitas vektor ( VC, per 100.000) tertinggi beserta suhu 1

(0C) dan curah hujan (mm) No Kab/Kota CH Suhu VC 1 Surakarta (M) 133 26,7 4.378 2 Pekalongan (M) 186 27,5 3.551 3 Tegal (M) 214 27,2 3.540 4 Semarang (M) 178 27,6 2.375 5 Pemalang 179 27,5 620 6 Purbalingga 154 26,8 584 7 Jepara 238 27,7 552 8 Klaten 133 26,5 548 9 Magelang (M) 74 25 540 10 Kudus 149 27,6 536

Gambar 14 Rata-rata kapasitas vektor ( VC, per 100.000) bulanan Jawa Tengah permusim setiap kondisi.

Tabel 8 Rata-rata suhu (0C) Jawa Tengah permusim setiap kondisi

Tahun DJF MAM JJA SON BN 26,4 26,8 26,2 26,8 N 26,5 26,6 26,4 26,8 AN 26,2 26,7 26,5 26,8

1

Rata-rata untuk seluruh kabupaten/kota pada setiap wilayah dengan kecamatan tempat ibukota kabupaten/kota yang berada pada ketinggian yang terendah.

(8)

4.5 Pengamatan Suhu

Tabel 9 Rata-rata bulanan suhu (0C) dan potensi transmisi (TP, per 100.000) Kabupaten/Kota Jawa Tengah No Kabupaten/Kota Suhu (0C) TP 1 Jepara 27,7 552 2 Semarang (M) 27,6 2.375 3 Kudus 27,6 536 4 Kendal 27,6 437 5 Batang 27,6 74 6 Pekalongan (M) 27,5 3.551 7 Pemalang 27,5 620 8 Demak 27,5 467 9 Pati 27,5 267 10 Grobogan 27,4 209 11 Tegal (M) 27,2 3.540 12 Rembang 27,2 161 13 Brebes 27,1 459 14 Tegal 27,1 434 15 Sragen 27,1 401 16 Blora 27,1 303 17 Purworejo 27,1 199 18 Sukoharjo 26,9 462 19 Pekalongan 26,9 460 20 Cilacap 26,9 404 21 Karanganyar 26,9 308 22 Purbalingga 26,8 584 23 Surakarta (M) 26,7 4.378 24 Boyolali 26,7 362 25 Klaten 26,5 548 26 Wonogiri 26,5 188 27 Banjarnegara 25,9 240 28 Banyumas 25,8 513 29 Semarang 25,8 352 30 Kebumen 25,4 374 31 Magelang 25,4 298 32 Salatiga (M) 25,3 215 33 Magelang (M) 25,0 540 34 Temanggung 24,1 198 35 Wonosobo 23,0 182 Rataan 26,6 720

Rata-rata kapasitas vektor (VC) menularkan penyakit DBD terendah terjadi di Kabupaten Batang, sedangkan nilai suhu di Kabupaten tersebut tidak rendah dibandingkan kabupaten/kota lain (Tabel 9). Rendahnya VC disebabkan oleh nilai rata-rata MHD Batang merupakan yang paling rendah diantara kabupaten/kota lainnya. Nilai VC terendah berikutnya terjadi di Kabupaten Wonosobo dimana suhu udara rata-ratanya merupakan yang terendah.

Nilai rata-rata VC (per 100.000) tertinggi terjadi di Kota Surakarta, yaitu sebesar 4378. Angka tersebut berarti dari 100.000 kali nyamuk menggigit manusia, maka sekitar 4378 gigitan yang akan menularkan virus Dengue, namun nilai suhu di Kota Surakarta tidak yang tertinggi (26.7 0C). Tingginya VC disebabkan karena penentuan VC ini memperhitungkan kepadatan penduduk, maka Kota Surakarta yang penduduknya sangat padat memiliki potensi penularan yang tertinggi.

Kabupaten Jepara memiliki suhu yang paling tinggi, namun VC di kabupaten tersebut tidak setinggi di Kota Surakarta, karena walau memiliki suhu yang tinggi, kabupaten tersebut tidak memiliki MHD yang tinggi. Nilai VC di kabupaten tersebut menunjukkan bahwa dari 100.000 kali nyamuk menggigit manusia, hanya sekitar 522 gigitan yang akan menularkan virus Dengue. 4.6 Potensi Transmisi (TP) Sebagai

Gambaran Kapasitas Vektor (VC) Transmission potensial (TP) atau potensi

transmisi merupakan tinggi rendahnya penularan penyakit dalam kajian kapasitas vektor, sehingga TP digambarkan dari nilai VC. Nilai kapasitas vektor (VC) yang tinggi menunjukkan potensi transmisi (TP) yang tinggi, karena diasumsikan faktor koreksi sama dengan 1, sehingga nilai VC sama dengan TP.

Berdasarkan hal tersebut, maka potensi penularan yang tinggi terjadi apabila kapasitas vektor menularkan DBD tinggi, sehingga pada wilayah-wilayah yang memiliki kapasitas vektor tinggi potensi transmisinya pun tinggi.

Potensi penularan yang tinggi di suatu wilayah dikarenakan kapasitas vektor menularkan penyakit tinggi di wilayah tersebut. Potensi penulan tersebut merupakan potensi penularan penyakit DBD yang dipengaruhi oleh vektor dan faktor iklim. Apabila disuatu wilayah berdasarkan iklim berpotensi tinggi tertular penyakit, maka untuk menurunkan kejadian DBD upaya yang

(9)

perlu dilakukan yaitu memberantas vektor sehingga walaupun berdasarkan iklim potensi penularan tinggi, namun karena tidak ada vektor, maka kejadian DBD dapat berkurang.

Upaya pemberantasan vektor tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki sanitasi di wilayah tersebut. Sanitasi yang baik sangat mempengaruhi kepadatan nyamuk. Apabila sanitasi baik maka tempat perindukan nyamuk akan berkurang yang menyebabkan kepadatan nyamuk berkurang. Selain sanitasi, pemberantasan vektor dapat dilakukan dengan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pemberian bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk, dll yang dilakukan secara rutin.

Suatu wilayah yang memiliki potensi penularan DBD rendah berdasarkan iklim rendah, namun memiliki angka kejadian DBD tinggi. Hal tersebut dikarenakan pada wilayah tersebut sanitasi sangat buruk, banyak masyarakat yang membuat penampungan air yang dijadikan tempat perindukan nyamuk, sehingga kepadatan nyamuk tetap tinggi walaupun curah hujan rendah. Selain sistem sanitasi, dapat juga disebabkan oleh belum diadakannya upaya-upaya pemberantasan vektor.

4.7 Peta Sebaran TP DBD

Suhu memainkan peranan penting dalam kajian potensi transmisi DBD di suatu wilayah. Seperti yang kita ketahui, perbedaan ketinggian akan menyebabkan pula adanya perubahan suhu, sehingga potensi penularan penyakit ini pun dapat berubah berdasarkan ketinggian. Selain itu DBD biasa terjadi di pusat-pusat kota seperti pusat-pusat kecamatan masing-masing kabupaten/kota. Antara suatu kecamatan pusat kabupaten/kota bisa berbeda ketinggian, maka akan sangat mungkin antara satu kecamatan pusat kabupaten/kota dengan kecamatan yang lain memiliki potensi penularan DBD yang berbeda-beda.

Tabel 10 Pembagian kelas berdasarkan nilai potensi transmisi ( TP, per 100.000)

Kelas TP

Rendah < 100

Sedang 101-1000

Tinggi >1000

Pembagaian kelas TP tersebut dilakukan berdasarkan peluang kejadian secara stastistika melalui sebaran yang dinilai paling sesuai. Belum ditemukannya pustaka

mengenai klasifikasi penularan DBD, menyebabkan pembagian kelas di atas didasari oleh tingkat peluang 25% dan 75% melalui sebaran yang paling baik.

Tabel 11 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data potensi transmisi (TP) bulanan Bentuk Sebaran N AD P-Value Gamma – 95% CI 3578 82,31 <0,005 Lognormal – 95 % CI 3578 45,79 <0,005 Normal – 95% CI 3578 565,10 <0,005 Weilbull – 95% CI 3578 48,99 <0,010 3 – parameter Lognormal – 95% CI 3578 62,06 * 3 – Parameter Gamma – 95% CI 3578 53,88 * 3- Parameter Weilbull – 95% CI 3578 32,65 <0,005 TP - Threshold P e r c e n t 1,00 00E+ 00 1,00 00 E-01 1,00 00 E-02 1,00 00 E-03 1,00 00 E-04 1,00 00 E-05 1,00 00 E-06 1,00 00 E-07 1,00 00 E-08 1,00 00 E-09 99,99 95 80 50 20 5 2 1 0,01 0 ,0 0 1 25 0 ,0 1 0 75 Shape 32,648 P-Value <0,005 0,6437 Scale 0,006046 Thresh 0,0001901 N 3578 A D 3-Parameter Weibull - 95% CI Probability Plot of TP

Gambar 15 Plot peluang potensi transmisi (TP) menggunakan sebaran 3-parameter Weilbull.

Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa bentuk sebaran yang paling sesuai adalah sebaran weilbull 3-parameter, karena pada sebaran tersebut nilai AD merupakan terkecil dibandingkan sebaran-sebaran lainnya, yaitu sebesar 32.65. Hal tersebut menyebabkan penentuan kelas TP berdasarkan tingkat peluang dilakukan berdasarkan sebaran

(10)

weilbull 3-parameter. Nilai TP pada tingkat peluang 25% dan 75% masing masing adalah sebesar 0.001 dan 0.010. Kelas rendah berada pada TP < 25%, sedang berada pada TP 25%-75%, dan kelas tinggi berada pada TP > 25%-75%, karena TP dalam TP/100.000, maka nilai klasifikasi penularan DBD seperti yang tercantum pada Tabel 10.

Menurut Aiken et al. (1980), peningkatan atau penurunan vektor DBD disebabkan oleh curah hujan, baik dalam hal jumlah populasi maupun ukuran tempat perindukan nyamuk, sehingga dalam penelitian ini, dihasilkan sebaran potensi penularan DBD berdasarkan musim dan tahun. Potensi sebaran penularan penyakit DBD perkasusnya, masing-masing digambarkan dalam Gambar 16-27.

Berdasarkan potensi penularannya, kelas Tinggi merupakan kelas yang berpotensi paling tinggi untuk menularkan penyakit DBD. Hasil penghitungan semua kasus nilai TP berdasarkan estimasi suhu menurut ketinggian menunjukkan kota-kota besar seperti Kota Tegal, Semarang, Pekalongan dan Surakarta hampir pada setiap kondisi masuk ke dalam kelas tinggi, sedangkan Kabupaten Batang hampir pada setiap kondisi masuk ke dalam kelas rendah. Hal tersebut disebabkan rata-rata curah hujan dan kepadatan penduduk Kabupaten Batang rendah, sehingga walau pun suhu di Kabupaten Batang tinggi namun karena curah hujan dan kepadatan penduduk rendah, maka TP nya pun rendah.

Pada musim DJF tahun BN hanya kota Tegal, Pekalongan , Semarang, Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo yang masuk ke dalam klasifikasi kelas tinggi. Selain kota/kabupaten tersebut masuk ke dalam klasifikasi sedang. Hal tersebut juga terjadi pada musim DJF tahun N. Berbeda dengan musim DFN tahun AN, pada musim ini terdapat kabupaten yang masuk ke dalam klasifikasi rendah, yaitu Kabupaten Wonosobo yang terletak didataran tinggi. Letak kecamatan pusat kabupaten/kota diatas berada di dataran tinggi sehingga suhu rendah. Suhu yang rendah akan mempengaruhi siklus gonotropik dan siklus inkubasi ekstrinsik. Siklus gonotropik nyamuk akan menjadi lambat pada suhu rendah, sehingga penularan ringan.

Pola yang hampir sama terjadi pada musim MAM, sedangkan pada musim JJA tahun BN dimana curah hujan relatif rendah menyebabkan hampir semua kabupaten/kota masuk ke dalam klasifikasi rendah kecuali kota-kota besar dan kota/kabupaten yang terletak di dataran rendah. Suhu yang tinggi

di dataran rendah akan mempercepat siklus inkubasi ekstrinsik dan gonotropik, sehingga akan mempercepat nyamuk tersebut menjadi infektif. Rata-rata siklus inkubasi ektrinsik di daratan tinggi terjadi selama 23-25 hari, sedangkan umur hidup nyamuk kira-kira 23 hari, karena itulah maka dataran tinggi kurang potensial untuk menularkan penyakit DBD.

Pada musim JJA tahun N dan AN, tidak semua kebupaten/kota masuk ke dalam klasifikasi rendah. Ada beberapa kota yang masuk ke dalam klasifikasi tinggi yang pada umumnya merupakan kabupaten/kota berpenduduk padat seperti Kota Semarang, Kota Surakarta, dan Kota Tegal.

Kabupaten/kota berpenduduk pada seperti Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Tegal dan Kota Pekalongan pada musim SON semua tahun masuk ke dalam klasifikasi kelas tinggi tertular penyakit DBD. Kabupaten/kota seperti Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Klaten, Kabuaten Purworejo, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Batang pada musim SON masuk ke dalam klasifikasi kelas rendah. Hal tersebut disebabkan curah hujan pada waktu tersebut di masing-masing wilayah rendah, sehingga MHD rendah. Curah hujan mengalami peningkatan pada tahun N dan AN, sehingga hanya Kabupaten Batang (tahun N dan AN) dan Kabupaten Wonosobo (tahun AN) yang masuk ke dalam klasifikasi rendah. Pola sebaran TP pada hampir semua kasus menunjukkan, rata-rata TP tertinggi terjadi di dataran rendah dan berpenduduk padat, walau terjadi beberapa pengecualian seperti pada Kabupaten Batang dan Rembang.

4.8 Hubungan IR dengan VC dan KP IR merupakan jumlah penduduk terkena DBD per 100.000 penduduk. Dalam penelitian ini, terjadi hubungan positif kapasitas penularan (VC) dengan jumlah IR walaupun dengan nilai korelasi yang rendah. Nilai korelasi antara VC dengan IR hanya sebesar 5.7 %, meskipun berdasarkan hasil analysis

of variance (ANOVA), hubungan antara IR

dengan VC nyata (p-value = 0). Rendahnya nilai korelasi tersebut terjadi karena faktor yang diperhitungkan pada persamaan VC hanya faktor curah hujan, suhu dan kepadatan penduduk. Faktor-faktor lain seperti tingkat

immunity penduduk, intervensi upaya pemberantasan vektor dari masing-masing kabupaten (upaya pemberantasan parasit) dan lainnya tidak diperhitungkan dalam persamaan VC.

(11)

Gambar 16 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember – Januari- Februari (DJF) tahun bawah normal (BN).

Gambar 17 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember-Januari-Februari tahun normal (N).

(12)

Gambar 18 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Desember-Januari-Februari tahun atas normal (AN).

Gambar 19 Sebaran potensi penularan (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) tahun bawah normal (BN).

(13)

Gambar 20 Sebaran potensi transmisi (TP) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) Tahun normal (N).

Gambar 21 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Maret-April-Mei (MAM) tahun atas normal (AN).

(14)

Gambar 22 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun bawah normal (BN).

Gambar 23 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun normal (N).

(15)

Gambar 24 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim Juni-Juli-Agustus tahun bawah atas normal (AN).

Gambar 25 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun bawah normal (BN).

(16)

Gambar 26 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun normal (N).

Gambar 27 Sebaran potensi transmisi (TP, per 100.000) demam berdarah dengue (DBD) Jawa Tengah musim September-Oktober-November (SON) tahun atas normal (AN).

(17)

VC (per 100000) IR ( p e r 1 0 0 0 0 0 ) 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Scatterplot of IR vs VC

Gambar 28 Diagram pencar antara kapasitas vektor (VC, per 100.000) dengan incidence rate (IR, per 100.000).

Gambar 29 Hubungan antara kapasitas vektor (VC, per 100.000) dengan kepadatan penduduk (KP, orang/km2).

Hubungan positif terjadi antara VC dengan KP, semakin besar kepadatan pendududuk maka akan meningkatkan VC (Gambar 29). Hal tersebut berkaitan dengan resiko penularan DBD yang tinggi dengan meningkatnya kepadatan penduduk, karena kita ketahui bahwa penyakit DBD merupakan penyakit yang menular. Nyamuk Aedes sp. apabila menggigit orang yang dalam darahnya terinfeksi virus Dengue maka sepanjang umur hidup nyamuk tersebut, nyamuk itu akan selalu menjadi infektif, sehingga besar kemungkinan semakin padat penduduk, semakin banyak penduduk yang digigit oleh nyamuk tersebut. Selain itu, kepadatan penduduk akan berpengaruh kepada kelayakan mendapatkan lingkungan bersih, sebab nyamuk Aedes sp. sangat nyaman berada pada lingkungan yang tidak bersih.

Ada daerah-daerah yang secara iklim berpotensi sedang untuk terjadinya DBD

seperti Kabupaten Tegal, Kabupaten Kudus dan Kabupaten Rembang, namun mempunyai angka kejadian DBD (IR) yang tinggi, hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti sanitasi dan drainase yang kurang baik, kebiasaan menampung air, kebiasaan hidup tidak sehat dan kurangnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah setempat untuk menekan angka kejadian DBD.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. MHD DBD tertinggi pada tahun BN terjadi pada musim DJF. Pada tahun N dan AN MHD tertinggi terjadi pada musim MAM, sedangkan MHD terendah terjadi pada musim JJA di semua tahun.

2. Potensi transmisi (TP) DBD yang ditunjukkan oleh kapasitas vektor, tertinggi pada tahun BN terjadi pada musim DJF . Pada tahun N dan AN potensi penularan tertinggi terjadi pada musim MAM, sedangkan potensi penularan DBD terendah terjadi pada musim JJA.

3. Berdasarkan pengamatan suhu, curah hujan dan kepadatan penduduk, TP yang ditunjukkan oleh VC tertinggi terjadi di Kota Surakarta , sedangkan terendah terjadi di Kabupaten Batang.

4. Berdasarkan hasil pemetaan, pada hampir semua kondisi, Kota Tegal, Semarang, Pekalongan dan Surakarta yang merupakan kota padat penduduk berpotensi tinggi tertular penyakit DBD. Pada hampir semua kondisi, kabupaten/kota yang terletak di dataran rendah berpotensi lebih tinggi tertular penyakit DBD dibandingkan yang di dataran tinggi. Potensi penularan DBD terendah terjadi pada musim JJA tahun BN hampir di semua kabupaten/kota. 5. Terjadi hubungan korelasi positif

yang nyata antara IR dengan VC dengan nilai korelasi 5.6%.

5.2 Saran

Dari penelitian ini didapatkan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu :

Gambar

Tabel  1    Pengelompokkan  nilai  potensi  transmisi (TP)  musiman  No  Musim  Bulan  1  Hujan (DJF)   Desember-Januari-Februari  2  Peralihan  1  (MAM)  Maret-April-Mei  3  Kemarau  (JJA)  Juni-Juli-Agustus  4  Peralihan  2  (SON)  September-Oktober-Nove
Gambar 6  Diagram alir penelitian. MHD, CH dan KP Jaktim&amp;Mataram MHD/KP f(CH)  CH dan KP Jateng MHD Jateng FI n Suhu Data Suhu Pengamatan
Gambar  7    Hubungan  man  hour  density  (MHD,  ekor/orang/jam)  /  kepadatan  penduduk  (KP,  orang/km 2)   dengan  curah  hujan  (CH, mm)
Gambar  8    Man  hour  density  (MHD,  ekor/orang/jam)    bulanan  Jawa  Tengah  permusim  setiap kondisi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas asimetri informasi (AdjSpread) terhadap variabel terikat manajemen laba (discretionary accruals)

Dengan berlandaskan pada prinsip mekanika gerak tersebut dan dengan mempertimbangkan anggapan bahwa penempatan kaki staggered akan menghasilkan hasil tolakan yang

Bangunan penenang merupakan bangunan yang terbuat dari konstruksi beton kedap air dengan kapasitas, ukuran, dan ketinggian seperti dalam gambar.. Bangunan ini dilengkapi dengan

Indikator pengaruh yaitu konsumsi normatif, persentase penduduk dibawah garis kemiskinan, persentase penduduk yang dapat mengakses air bersih, dan persentase padi

Akumulasi timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada ikan kuniran (upeneus sulphureus) di perairan estuaria teluk palu secara berturut- turut, yaitu sebesar 0,568 mg/kg dan 2,242 mg/kg

Gambar 3.1 Lanjutan System Flow Sistem Informasi Cyber Campus Stikom Surabaya yang

Pole yang digunakan pada jaringan fiber optic ini adalah pole yang memiliki tinggi 7 meter dan 9 meter, pole 9 meter digunakan untuk kondisi pemasangan kabel