• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah mencatat bahwa dalam politik luar negeri Indonesia, diplomasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sejarah mencatat bahwa dalam politik luar negeri Indonesia, diplomasi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah mencatat bahwa dalam politik luar negeri Indonesia, diplomasi cenderung menjadi instrumen utama untuk mencapai kepentingan negara. Mulai dari pencarian pengakuan internasional atas kedaulatan, dukungan dan batuan luar negeri, pembentukan forum Non-Blok, kerjasama ASEAN,1 sampai keaktifan di beberapa momen internasional.2 Dalam hal ini, upaya diplomasi yang dilakukan oleh pejabat diplomat resmi telah menjadi bagian utama dalam implementasi prinsip politik luar negeri Bebas-Aktif.

Seiring perubahan zaman, setiap negara dituntut untuk jeli dalam mengeluarkan setiap kebijakan. Munculkan aktor-aktor baru dalam hubungan internasional pasca perang dingin,3 fenomena globalisasi yang mengaburkan batas-batas negara,4 serta lebih spesifik peristiwa 9/11 yang mengantarkan Islam dan terorisme dalam isu internasional5 semakin menambah kompleksnya isu yang perlu dihadapi. Di sisi lain, Indonesia yang baru saja keluar dari rezim orde baru menghadapi berbagai permasalahan domestik yang mengancam stabilitas

1

A.A. Sriyono, Politik Luar Negeri Indonesia dalam Zaman yang Berubah, dalam A.A. Sriyono & D. Djumala (eds.), Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Gramedia, Jakarta, 2004, p. 5-14.

2

Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. Momen-Momen Penting dalam Sejarah Diplomasi

Indonesia (online). <http://www.kemlu.go.id/Pages/History.aspx?IDP=3&l=id>, diakses 12 Maret

2015. 3

S. Ţuţuianu, Towards Global Justice: Sovereignty in an Interdependent World, TMC Asser Press, The Hague, 2013, p. 72.

4

K. Ohmae, The next global stage, Wharton School Publising, New Jersey, 2005, p. 20. 5

B. Cipto, Dunia Islam dan masa depan hubungan internasional di abad 21, LP3M UMY, Yogyakarta, 2011, p. 10-11.

(2)

2 nasional. Isu terorisme yang juga terjadi di dalam negeri seolah menjelaskan bahwa Indonesia tidak bisa lepas dari isu tersebut.6 Terorisme yang merupakan ancaman keamanan memerlukan tindakan sekuritas yang serius. Berbagai upaya diplomatik kemudian dilakukan dengan meminta bantuan kepada beberapa negara lain serta melakukan kerjasama sekuritisasi khusus untuk menangani terorisme.7

Namun di sisi lain, aksi teror di dalam negeri tersebut juga telah memberikan citra negatif Indonesia sebagai negara sarang teroris.8 Aksi teror berkedok agama telah memunculkan pandangan bahwa Islam adalah agama yang ekstrem.9 Lebih spesifik, tindakan yang banyak memakan korban warga negara asing tersebut dinilai sebagai bentuk anti-Barat.10 Fenomena ini semakin menguatkan isu benturan peradaban yang telah berkembang di negara-negara Barat.11 Sehingga, tantangan dalam diplomasi bagi Indonesia adalah mengembalikan citra positif negara. Kementrian Luar Negeri (Kemlu) sebagai ujung tombak kebijakan luar negeri melakukan pembenahan organisasi dan mulai melaksanakan program diplomasi publik pada tahun 2002.12 Model diplomasi publik ini dilakukan untuk menunjukkan citra positif kepada masyarakat

6

R. Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, RoutledgeCurzon, London, 2003, p. 131. 7

G. Wulandari (ed.), Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Terorisme Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, p. 65-67.

8

G. Fealy, ‘Is Indonesia a terrorist base?’, Inside Indonesia (online),

<http://www.insideindonesia.org/is-indonesia-a-terrorist-base>, diakses 29 Maret 2015. 9

Pelita, Mengembalikan Citra Indonesia (online), <http://www.pelita.or.id/baca.php?id=3708>, diakses 29 Maret 2015.

10

Isu anti-Barat diperparah dengan adanya demonstrasi anti Amerika yang dilakukan oleh beberapa kalangan di berbagai belahan dunia sebagai protes atas invasi AS di Irak. Lihat S. Sachs, ‘A Nation At War: International Reaction; Crowds Protest Iraq War In Cities Around World’, The New York Times (online), 22 Maret 2003, <http://www.nytimes.com/2003/03/22/world/nation-war-international-reaction-crowds-protest-iraq-war-cities-around-world.html>, diakses 29 Maret 2015.

11

Lihat S. Huntington, The Clash Of Civilizations And The Remaking Of World Order. Penguin Books India, 1996.

12

J. Melissen (ed.), The New Public Diplomacy - Soft Power in International Relations (ed.), Palgrave Macmillan, New York, 2005, p. 10.

(3)

3 internasional dengan mengusung tema Islam dan Demokrasi di Indonesia.13 Melalui dua tema ini Indonesia berusaha menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi dapat berjalan dalam sebuah negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi tersebut,14 meskipun Indonesia sendiri bukan negara Islam. Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan fenomena negara-negara timur tengah yang konfliktual.15

Namun dalam upaya tersebut, diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat resmi tidaklah cukup. Diplomasi publik perlu mempertimbangkan kemampuan aktor-aktor non-negara yang ada dalam berinteraksi dengan masyarakat internasional. Kesadaran untuk melakukan upaya perbaikan citra tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai entitas negara. Peristiwa 9/11 yang dinilai telah menimbulkan ketegangan antara Barat dengan Islam16 juga direspons oleh kalangan ulama Islam di Indonesia. Salah satunya adalah dengan membentuk International Conference of Islamic Scholars (ICIS) melalui dukungan pemerintah.17

ICIS merupakan forum yang digagas sebagai tempat untuk menyatukan persepsi para ulama dan ilmuwan Islam dunia tentang Islam itu sendiri dan tantangannya di era global. Peserta dalam ICIS berasal dari berbagai kalangan,

13

A.S. Ma'mun, Citra Indonesia Di Mata Dunia, Gerakan Kebebasan Informasi dan Diplomasi

Publik, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Bandung, 2009, p. 212.

14

Promosi Islam dan demokrasi Indonesia tersebut terutama ditunjukkan kepada negara-negara Barat. Lihat Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, Program, Arah Kebijakan dan Strategi

Kementerian Luar Negeri (Online), 6 September 2009, <www.kemlu.go.id> diakses 20 Mei 2014.

15

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Masyarakat Muslim Moderat Modal Diplomasi

Indonesia (Online), 13 Oktober 2011, <www.umy.ac.id> diakses 20 Mei 2014.

16

W.H. Purwanto, Nahdlatul Ulama, Menembus Batas Negara dan Bangsa, CMB Press, Jakarta, 2010, p. 19.

17

Transkrip wawancara dengan KH. Hazim Muzadi dalam H. Fuad, Pemikiran Hasyim Muzadi

(4)

4 mulai dari ulama, akademisi, cendekiawan, maupun utusan kedutaan dari berbagai negara.18 Forum yang didirikan sejak tahun 2004 ini sebenarnya merupakan upaya Nahdlatul Ulama – sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia - untuk memperkenalkan Islam Moderat.19 Islam moderat sendiri dimaknai sebagai sesuatu yang tidak liberal maupun fundamental. Dalam hal ini konsep Islam moderat yang diusung dalam forum tersebut adalah keseimbangan antara keimanan dan toleransi.20 Sehingga, ICIS ditujukan untuk menyatukan persepsi ulama Islam dunia bahwa umat Islam perlu berpandangan moderat sebagaimana konsep rahmatan lil alami (rahmat bagi seluruh alam) yang ada dalam agama Islam. Pandangan ini begitu penting untuk menghilangkan persepsi tentang Islam yang telah diasosiasikan dengan agama teroris, terutama dengan adanya isu ketegangan antara Islam dan Barat.

Meski didukung pemerintah Indonesia, secara struktural ICIS tidak berafiliasi dengan pemerintah karena sifatnya non-official. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa aktor non-official atau non-pemerintah juga mempunyai kepentingan melakukan hubungan diplomatik dalam menanggapi isu internasional. Hal ini memberikan pemahaman bahwa diplomasi bukan satu-satunya aktivitas yang dapat dilakukan oleh pemerintah.21 Diplomasi semacam ini

18

Kementrian Luar Negeri RI. Transkripsi Konferensi Pers Bersama Menteri Luar Negeri

Republik Indonesia Dr. N. Hassan Wirajuda Dan Ketua Umum Pbnu Dr. Kh. Hasyim Muzadi Mengenai Penyelenggaraan International Conference Of Islamic Scholars. Jakarta, 25 Juli 2008 (Online), 25 Agustus 2008,

19

H. Muzadi, ‘Sudah Tepat Diplomasi Publik Menjual Islam Moderat’, Diplomasi, vol. 5, no. 52, 2012, p. 6.

20

Islam liberal dengan toleransinya dinilai dapat mereduksikan iman. Sementara itu Islam fundamental atau ekstrim justru tidak memberikan ruang toleransi. Sehingga dalam hal ini keseimbangan antara keimanan dan toleransi merupakan konsep Islam moderat sebagai sesuatu yang tidak liberal maupun fundamental. Lihat H. Muzadi, ‘ICIS, Islam Moderat dan Interfaith Dialogue”, Diplomasi, vol. 3, no. 32, 2010, p. 12.

21

(5)

5 memang tidak berarti menggantikan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah, melainkan ia berposisi sebagai pelengkap.22 Dalam kaitannya dengan kebutuhan pemerintah untuk mempromosikan Islam dan demokrasi Indonesia, ICIS berdiri dengan adanya dukungan pemerintah. Namun demikian, forum tersebut sifatnya

non-official yang pesertanya berasal dari berbagai aktor baik non-negara maupun

perwakilan resmi negara. Sebagai bentuk inisiatif tokoh muslim Indonesia, peran ICIS bagi negara perlu dikaji, terutama dalam kaitannya dengan upaya Diplomasi Publik oleh pemerintah Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada adanya upaya diplomasi publik pemerintah Indonesia yang disusul dengan kemunculan ICIS sebagai forum yang didirikan untuk menyamakan persepsi ulama Islam dunia, penulis mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Apa peran ICIS dalam diplomasi publik Indonesia?

C. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini secara umum meninjau beberapa literatur tentang diplomasi publik. Penulis mencoba mengkaji beberapa tulisan yang sekiranya relevan dengan penelitian ini terutama yang berkaitan dengan Islam dan demokrasi sebagai tema dalam diplomasi publik Indonesia. Namun literatur lain yang lebih umum juga disertakan dalam tinjauan pustaka ini. Dengan meninjau beberapa tulisan terdahulu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan akademis.

22

I.W. Rasmussen, Toward A Theory of Public Diplomacy, A Quantitative Study of Public

(6)

6 Dalam memahami diplomasi publik Indonesia, Rizal Sukma menjelaskannya melalui tulisan berjudul Soft Power and Public Diplomacy: The

Case of Indonesia. Sebelum muncul kebijakan diplomasi publik, Rizal melihat bahwa Indonesia menghadapi beberapa tantangan domestik yang cukup serius. Di antaranya yaitu perubahan politik dalam negeri sebagai kelanjutan dari lengsernya rezim otoriter menuju era reformasi, munculnya kelompok Islam radikal yang menimbulkan citra negatif, sistem demokrasi yang menuntut legitimasi kebijakan, dan tuntutan berbagai aktor kepentingan dalam hal identitas nasional. Berbagai tantangan politik yang baru tersebut menuntut Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai institusi yang menangani kebijakan luar negeri untuk melakukan penyesuaian dan menentukan pendekatan dan strategi baru. Penyesuaian dijalankan dengan melakukan perbaikan institusional melalui program Benah

Diri. Sementara pendekatan dan strategi baru dalam untuk menghadapi berbagai

problematika diimplementasikan dalam program diplomasi publik.

Dengan beberapa tantangan tersebut, diplomasi publik dilakukan dengan mengusung tema demokrasi dan Islam. Dua tema ini diangkat dengan maksud untuk memperbaiki citra buruk Indonesia di mata internasional. Tantangan pada masa awal reformasi merupakan proses pembelajaran yang sulit. Namun proses pemilihan umum (pemilu) telah membuktikan keberhasilan demokrasi di Indonesia. Pencapaian ini kemudian dipromosikan secara regional melalui forum ASEAN yang kemudian berdampak pada persepsi positif masyarakat internasional.

(7)

7 Sementara itu, isu Islam menempatkan posisi penting terkait kenyataan bahwa masyarakat Islam Indonesia merupakan muslim moderat yang cinta damai, toleran dan harmoni. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah. Sementara gerakan radikalisme yang telah menyita perhatian media sebenarnya sedikit jumlahnya dan tidak merepresentasikan muslim Indonesia. Islam Indonesia yang moderat kemudian dipromosikan dalam berbagai forum bilateral maupun Internasional. Dengan melibatkan pemimpin dan intelektual dari berbagai agama, Indonesia berusaha untuk menunjukkan identitas Islam moderat kepada dunia Islam sendiri serta negara-negara Barat.

Diplomasi publik yang dijalankan tidak hanya ditujukan kepada masyarakat internasional. Deplu secara pasti juga berupaya mengomunikasikan diplomasi publik dalam tataran domestik. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan isu-isu internasional. Upaya tersebut dimaksudkan untuk menggalang berbagai dukungan kebijakan luar negeri terutama dari para aktor pemangku kepentingan.23

Dalam ranah kebijakan luar negeri, Islam telah mendapatkan posisi yang penting. Sebagaimana dipaparkan dalam Identitas Islam Moderat dalam

Kebijakan Luar Negeri Indonesia (2004-2011) oleh Lelly Andriasanti, identitas

Islam moderat berusaha dicitrakan oleh Indonesia sebagai entitas negara yang penting dalam hubungan internasional. Pentingnya faktor Islam dalam kebijakan luar negeri sangat berbeda dengan kebijakan luar negeri dari beberapa masa

23

R. Sukma, ‘Soft Power and Public Diplomacy: The Case of Indonesia’, dalam S.J. Lee dan J. Melissen (eds.), Public Diplomacy and Soft Power in East Asia, Palgrave Macmillan, New York, 2011, p. 97-99

(8)

8 terutama sebelum peristiwa 9/11. Sebelum terorisme menjadi isu internasional, faktor Islam cenderung dihindari meski mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim.

Dalam penjelasan Lelly, Islam moderat dijadikan sebagai identitas Indonesia. Dengan melihat adanya pluralisme, modernitas, dan demokrasi yang berjalan, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan masyarakat dari kelompok-kelompok Islam moderat berupaya menunjukkan identitasnya dengan membedakan diri dari negara-negara muslim lain terutama kawasan Timur Tengah. Pasang surut perpolitikkan yang ada di kawasan tersebut hampir sama dengan pengalaman Indonesia yang pernah dipimpin oleh pemerintahan otoriter. Hal ini menginspirasi Indonesia untuk berbagi pengalaman dalam rangka menunjukkan Islam moderat sebagi model alternatif bagi dunia Islam.

Selain itu, upaya penunjukan identitas tersebut juga dilakukan sebagai respons atas adanya ekspektasi dunia Barat yang ingin memahami dan mendekatkan diri dengan dunia Islam. Pentingnya upaya menangkal terorisme dengan membangun jaringan Islam moderat disadari oleh Barat dengan melihat Indonesia sebagai aktor penting terutama di kawasan Asia tenggara. Dengan pengalaman demokrasi dan Islam moderatnya, Indonesia diharapkan mampu berperan dalam menjembatani antara dunia Islam dengan Barat.

Dengan adanya peran Indonesia sebagai mediator tersebut, Lelly memandang bahwa Indonesia telah berupaya untuk menunjukkan eksistensinya sebagai aktor penting di kancah internasional. Hal ini tidak lepas dari cara pandang Indonesia terhadap dunia yang salah satu sasarannya adalah

(9)

9 meningkatkan peran Indonesia dalam pergaulan internasional. Motivasi tersebut sejalan dengan prinsip politik luar negeri Bebas-Aktif.24

Dalam memahami diplomasi publik Indonesia, secara lebih spesifik Novita Rakhmawati menjelaskan tentang program Interfaith Dialogue atau dialog antar agama melalui penelitiannya yang berudul Interfaith Dialogue in Indonesia

Public Diplomacy: The Role of the Department of Foreign Affairs in Interfaith Dialogue. Sebagai bagian dari program diplomasi publik yang dilakukan oleh

Deplu, Interfaith Dialogue merupakan program yang sangat penting bagi diplomasi Indonesia terutama dalam memperbaiki citra negara setelah mencuatnya isu terorisme berkedok agama.

Program ini dilakukan sebagai inovasi dalam strategi diplomasi sebagai bentuk pendekatan internasional dan domestik (intermestik) terutama setelah munculnya isu terorisme. Interfaith Dialogue yang bertujuan untuk meningkatkan rasa saling pengertian antar agama ini melibatkan berbagai aktor non-negara seperti NGOs, media, pemimpin agama, dan pemuda. Tidak hanya aktor domestik, Interfaith Dialogue juga dilakukan dengan merangkul aktor pemerintah dan masyarakat dari negara lain.

Dengan melihat gencarnya kegiatan Interfaith Dialogue, Novita menganalisa faktor-faktor yang melatarbelakangi Deplu melakukan program Interfaith Dialogue. Menurutnya, munculnya kebijakan diplomasi publik khususnya Interfaith Dialogue tersebut dilatarbelakangi oleh faktor internasional dan domestik. Dalam konteks internasional, faktor pendorong di antaranya ialah

24

L. Andriasanti, Identitas Islam Moderat dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia (2004-2011), Thesis, Universitas Indonesia, Depok, 2012.

(10)

10 globalisasi dan mencuatnya isu agama dalam hubungan internasional, meningkatnya label Islam sebagai agama terorisme, unilateralisme Amerika Serikat, serta fenomena meningkatnya diplomasi multijalur. Sementara itu, dalam ranah domestik, faktor yang telah mempengaruhi adalah adanya kendala hukum dan kapasitas institusi dalam menghadapi isu terorisme, ketegangan persepsi antara dunia Barat dengan Islam, kebutuhan untuk menciptakan keamanan dan perlindungan hak asasi manusia, serta kebutuhan untuk mencitrakan Indonesia sebagai negara muslim terbesar yang damai dan toleran.

Novita menjelaskan bahwa dialog antar agama dapat berpotensi menjadi soft power bagi Indonesia. Dengan melihat masyarakat moderat, peran komunitas agama mulai dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan luar negeri tanpa mengurangi arti penting Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan utama.

Interfaith Dialogue telah memberikan kontribusi dalam diplomasi Indonesia. Kesempatan yang diberikan kepada para pemimpin agama untuk menyuarakan pesan perdamaian membantu memperbaiki citra negara. Selain itu, dengan adanya Interfaith Dialogue, isu-isu low politics seperti pendidikan, gender, pemuda dan ekonomi menjadi aspek penting dalam merespons terorisme dari pada hanya fokus pada isu keamanan militer. Manfaat lain yang bisa didapat dengan adanya Interfaith Dialogue adalah kesempatan untuk memperluas jaringan bagi para pemimpin dan institusi agama. Melalui upaya ini, komunikasi antara

(11)

11 pemerintah dengan masyarakat pun dapat terjalin, baik secara domestik maupun internasional.25

Literatur pertama yang ditulis oleh Rizal di atas memberikan pemahaman secara general bagaimana tema Islam dan demokrasi menjadi bagian penting dalam diplomasi publik Indonesia. Berkaitan dengan latar belakang adanya program diplomasi publik di Indonesia, tulisan Rizal tersebut memang cenderung melihat pada faktor domestik. Pertimbangan atas faktor domestik maupun internasional dapat dilengkapi dengan melihat pada literatur kedua maupun ketiga. Dalam literatur kedua, Lelly melihat diplomasi publik dengan tema Islam moderat sebagai identitas nasional dalam kerangka kebijakan luar negeri. Sementara itu, Novita dalam literatur ketiga lebih spesifik pada program Interfaith Dialogue sebagai bagian dari diplomasi publik. Diplomasi publik sendiri dijelaskan dalam ketiga literatur tersebut sebagai program yang tidak lepas dari peran aktor non-negara. Namun demikian, ketiga literatur tersebut menjelaskan diplomasi publik dalam ranah aktor negara, yaitu pemerintah Indonesia. Untuk itu penjelasan tentang aktor non-pemerintah dalam diplomasi publik menjadi penting untuk memperkaya pemahaman, terutama dalam konteks Indonesia.

Sebagai rujukan, ada beberapa literatur yang menjabarkan bagaimana aktor non-pemerintah berperan dalam diplomasi publik suatu negara. Pertama yaitu tulisan Mehdi Khalaji yang berjudul Through the Veil: The Role of

Broadcasting in U.S. Public Diplomacy toward Iranians. Ia menjelaskan tentang

peran media dalam diplomasi publik Amerika Serikat (AS) terhadap Iran.

25

N. Rakhmawati, Interfaith Dialogue in Indonesia Public Diplomacy: The Role of the

Department of Foreign Affairs in Interfaith Dialogue, Thesis, Universitas Gadjah Mada,

(12)

12 Studinya meneliti tentang permasalahan-permasalahan komunikasi yang dihadapi media AS dalam diplomasi publik terhadap Iran. Beberapa media yang didukung pemerintah AS, seperti VOA’s Persian Television dan Radio Farda, berperan penting dalam memengaruhi masyarakat sipil maupun kaum elit Iran. Khalaji memaparkan bagaimana media AS berusaha untuk mengenalkan kebijakan AS, inisiatif hubungan diplomatik, dan membangun citra positif AS. Dalam upaya ini, media memainkan peran yang sangat penting terhadap persepsi generasi muda Iran.

Salah satu tantangan yang dihadapi media AS adalah kebijakan pemerintah Iran yang kaku dalam mengatur media. Pergantian rezim otoriter telah menerapkan kebijakan untuk menekan kebebasan media swasta baik domestik maupun asing. Pemerintah mengharuskan izin siar, mengawasi konten, bahkan menutup berbagai media yang kontra terhadap pemerintah, serta memblokir berbagai jenis media asing yang dianggap berbahaya. Hal ini menyulitkan media AS untuk menjangkau audien Iran. Tantangan lain yaitu adanya trauma kegagalan demokrasi di Iran yang dianggap karena intervensi kekuatan asing, khususnya Barat. Ditambah dengan ideologi Islam yang kuat, semua yang berasal dari Barat dipersepsikan sebagai hal yang buruk.

Khalaji kemudian membandingkan beberapa media lain dari Eropa dan media swasta AS yang ditujukan kepada Iran. Ia menemukan perbedaan model komunikasi baik kelemahan dan kelebihan. Dengan komparasi ini, tulisannya bermaksud memberikan kritik dan masukan terhadap media yang didukung

(13)

13 pemerintah AS. Hal ini ditujukan agar media dapat lebih optimal menjangkau audien Iran sehingga diplomasi publik terhadap Iran dapat lebih efektif.26

Sementara itu, Barry Sautman dan Li Ying menulis Public Diplomacy

from Below: The 2008 “Pro-China” Demonstrations in Europe and North America. Berbeda dengan literatur sebelumnya, Sautman dan Ying menjelaskan

demonstrasi pro-China oleh diaspora sebagai bagian dari diplomasi publik dalam membangun citra China. Dua penulis ini menunjukkan bagaimana China mendapat kecaman oleh dunia. Kontroversi dimulai dari ketidaksetujuan warga Tibet atas diadakannya Olimpiade Beijing 2008. Berbagai media di berbagai negara kemudian menunjukkan sikap anti-China.

Di sisi lain, muncul berbagai aksi demo oleh diaspora etnis China yang mendukung Pemerintah China. Diaspora yang tersebar di berbagai wilayah terutama di Amerika Utara dan Eropa ini melakukan aksi tersebut atas dorongan dari Kedutaan Besar di masing-masing wilayah. Upaya yang dilakukan oleh komunitas bisnis, pelajar, bahkan individu ini sebenarnya selain untuk menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa Tibet merupakan bagian dari integritas China, mereka juga bermaksud menunjukkan eksistensi etnis China di berbagai negara. Menurut Sautman dan Ying, hal ini membantu pemerintah China dalam memperluas soft power-nya. 27

26

M. Khalaji, ‘Through the Veil: The Role of Broadcasting in U.S. Public Diplomacy toward Iranians’, Policy Focus, vol. 68, April 2007.

27

B. Sautman & L.Ying, Khalaji, M., ‘Public Diplomacy from Below: The 2008 ‘Pro-China’ Demonstrations in Europe and North America’, CPD Perspectives on Public Diplomacy, Paper 11, 2011.

(14)

14 Kedua literatur di atas memiliki perbedaan pokok kajian masing-masing. Pada literatur pertama, Khalaji lebih banyak membahas tentang tantangan media dalam mengomunikasikan kepentingan suatu negara di negara lain. Tulisannya ditujukan untuk mengembangkan model komunikasi media agar perannya lebih efektif dalam diplomasi publik. Sedangkan pada literatur kedua, Sautman dan Ying mengangkat topik tentang peran diaspora dalam membangun citra positif suatu negara. Pentingnya peran diaspora menjadi potensi untuk menyebarkan soft

power.

Kedua literatur terakhir tersebut menunjukkan bahwa aktor non-pemerintah tidak bisa diabaikan dalam diplomasi publik. Masing-masing juga menyinggung tentang image atau citra negara. Hanya saja literatur terakhir lebih jelas mengupas konteks pengalaman diplomasi publik suatu negara dari pada literatur sebelumnya. Sebagaimana kedua literatur diatas, penelitian ini akan membahas tentang peran aktor non-official atau non-pemerintah dalam diplomasi publik. Penelitian akan lebih condong seperti literatur oleh Sautman dan Ying yaitu dengan terlebih dahulu menjelaskan konteks diplomasi publik secara umum di suatu negara. Dalam hal ini penelitian difokuskan pada studi kasus Indonesia, mengingat penelitian tentang peran aktor non-pemerintah dalam diplomasi publik Indonesia masih jarang.

(15)

15

D. Kerangka Konseptual

Konsep Diplomasi Publik

Istilah diplomasi publik pertama kali di utarakan oleh Edmund Gullion pada tahun 1965 ketika pembukaan the Fletcher School of the Edward R. Murrow Center for Public Diplomacy di Tufts University. Ia menjelaskan diplomasi publik sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengaruh sikap publik pada formasi dan kebijakan luar negeri dengan adanya komunikasi yang lebih terbuka terhadap publik internasional.28 Pengertian diplomasi publik dari Gullion ini sebenarnya ditujukan sebagai upaya untuk membedakan model diplomasi tersebut dengan propaganda yang berkonotasi negatif.29 Kemudian, Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat mendefinisikan diplomasi publik sebagai program yang disponsori oleh pemerintah yang bertujuan untuk menginformasikan atau memengaruhi opini publik di negara lain.30 Pengertian lain yang serupa menjelaskan diplomasi publik sebagai upaya pemerintah guna mendapatkan keuntungan atas kebijakan luar negeri yang telah ditentukan dengan cara memengaruhi persepsi publik atau elit negara lain.31

Lebih dari itu, Sharp memandang diplomasi publik sebagai hasil dari interdependensi ekonomi, pesatnya perkembangan komunikasi, serta keinginan atau harapan demokrasi. Sehingga menurutnya, diplomasi publik merupakan proses kontak langsung suatu negara dengan masyarakat negara tertentu untuk

28

C. Wolf Jr. & B. Rosen, Public Diplomacy How to Think About and Improve It, RAND, Pittsburgh, 2004, p. 3.

29

N. Snow & P.M. Taylor, Routledge handbook of public diplomacy, Routledge, New York, 2009, p. 19.

30

Lihat PPDA, About Public Diplomacy, <http://pdaa.publicdiplomacy.org>, diakses 3 Juli 2014. 31

(16)

16 membantu meraih kepentingan dan memperluas nilai-nilai yang dianut oleh negaranya.32 Hal ini selaras dengan Joseph S. Nye yang memaknai diplomasi publik sebagai sebuah instrumen pemerintah suatu negara untuk berkomunikasi dan menarik perhatian publik di negara lain dari pada ditujukan kepada pemerintahnya.33

Keragaman definisi tentang diplomasi publik sebenarnya memiliki maksud yang hampir sama. Diplomasi publik dapat dipahami dengan membedakannya dengan model diplomasi formal atau official diplomacy. Pertama, diplomasi publik bersifat transparan dan disebarkan secara luas, sementara diplomasi formal bersifat tertutup dan lingkupnya sempit. Kedua, diplomasi publik disampaikan oleh pemerintah kepada khalayak luas ataupun kepada masyarakat tertentu, sementara diplomasi formal dilakukan oleh pemerintah kepada pemerintah negara lain. Ketiga, tema dan isu yang diangkat dalam diplomasi publik berhubungan dengan sikap dan perilaku publik, sementara official diplomacy lebih kepada perilaku dan kebijakan negara.34

Perkembangan dalam hubungan internasional menunjukkan adanya kemunculan aktor-aktor baru. Dalam menanggapi isu baru, fokus diplomasi publik tidak hanya sekedar menyampaikan pesan, mempromosikan negara, atau menjalin hubungan langsung dengan publik asing untuk kepentingan nasionalnya. Lebih dari itu, diplomasi publik merambah pada membangun hubungan dengan

32

P. Sharp, ‘Revolutionary States, Outlaw regimes and the Techniques of Public Diplomacy’, dalam J. Melissen (ed.), The New Public Diplomacy Soft Power in International Relations. Palgrave Macmillan, New York, 2005, p. 106.

33

J.S. Nye, ‘Public Diplomacy and Soft Power’, The Annals of The American Academy, vol. 616, no. 1, 2008, p. 95.

34

(17)

17 aktor sipil di luar negeri serta memfasilitasi jaringan antar aktor non-pemerintah di dalam dan luar negeri. hal ini dilakukan dengan mendukung inisiasi aktor non-pemerintah, berkolaborasi dengan agen non-official serta memanfaatkan keahlian aktor lokal.35

Pentingnya aktor non-pemerintah menempatkan Jiang Wang untuk membedakan aktor-aktor dalam diplomasi publik menjadi dua, yaitu national (negara/pemerintah) dan sub-national (non-pemerintah). Selain adanya perkembangan aktor-aktor baru, hubungan internasional menunjukkan adanya tantangan kredibilitas negara sebagai agen utama dalam diplomasi publik, sehingga keterlibatan dan peran aktor non-pemerintah dalam diplomasi publik perlu dikaji.

Salah satu pendekatan yang digunakan Wang adalah Interest and

Capability. Pendekatan ini menjelaskan bahwa aktor non-pemerintah perlu

dilibatkan dalam diplomasi publik. Hal ini karena pertama, aktor non-pemerintah mempunyai motivasi yang sama untuk berkomunikasi dengan masyarakat internasional baik secara ekonomi maupun politik untuk mencapai kepentingan mereka. Di sisi lain, komunikasi antar aktor non-pemerintah dapat menghasilkan pemahaman dan persepsi yang lebih baik pada masyarakat luar terhadap negara yang direpresentasikannya. Dengan demikian aktor tersebut dapat membawakan citra baik. Kedua, aktor non-pemerintah mempunyai kemampuan berupa sumber daya baik yang tangible maupun intangible. Salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh negara adalah kredibilitasnya yang kurang di mata publik

35

(18)

18 internasional. Sementara itu, aktivitas yang dilakukan organisasi lokal dan aktor-aktor sub-national lainnya tidak begitu memperlihatkan adanya persengketaan dengan mitranya di luar negeri. Di samping itu mereka juga mempunyai kemampuan nyata (meskipun terbatas) dalam diplomasi publik. Sebagai contoh, mereka memiliki infrastruktur seperti informasi dan media teknologi, kantor dan perwakilan di luar negeri, serta jaringan dengan masyarakat sipil di luar negeri yang digunakan untuk berbagi common global interests.36

Sebagaimana ulasan di atas, diplomasi publik tidak bisa lepas dari tujuan suatu negara untuk melakukan diplomasi tersebut. Dalam kasus Indonesia, pemerintah memiliki tujuan untuk membangun citra positif sebagai negara yang moderat. Sebagai negara demokrasi, upaya ini tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan fungsi kementrian luar negeri saja. Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri (Menlu) 2001-2009, melihat bahwa diplomasi tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, namun juga perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat.37 Hal ini dikukuhkan oleh Menlu berikutnya, Marty Natalegawa, bahwa upaya tersebut diwujudkan dalam bentuk diplomasi publik. Ini diwujudkan melalui gerakan moderat melalui kerja sama dengan berbagai organisasi.38

ICIS sebagai salah satu forum yang didukung pemerintah Indonesia memiliki sifat yang tidak kaku. Forum ini lebih terbuka dari pada forum seperti

Organization of the Islamic Conference (OIC) yang keanggotaannya bersifat

36

J. Wang, ‘Localising public diplomacy: The role of sub-national actors in nation branding’,

Place Branding, vol. 2, no. 1, 2005, pp. 36-38.

37

R.R.A. Kawilarang, 'Warisan Besar Menlu Hassan Wirajuda', Viva (online), 22 Oktober 2009, <http://dunia.news.viva.co.id/news/read/98969-warisan_besar_menlu_hassan_wirajuda>, diakses 30 Maret 2015.

38

R.M.M.M. Natalegawa, ‘Indonesia Sudah Sejak Awal Menjadi Bagian Dari Gerakan Global Moderat’, Diplomasi, vol. 5, no. 52, 2012. p 4.

(19)

19

state-based. Semua kalangan baik akademisi, ulama, maupun utusan negara dapat

bergabung dalam ICIS. Tujuan dibentuknya forum ini adalah memperkenalkan Islam moderat sebagai respons atas ketegangan Barat dengan Islam. ICIS menjadi media penting dalam komunikasi antara ulama dan ilmuwan Islam Indonesia dengan berbagai kalangan masyarakat internasional.

E. Argumen Utama

Dengan menggunakan konsep diplomasi publik dari Jian Wang, penulis mengajukan argumen bahwa ICIS diselenggarakan sebagai upaya ulama

Indonesia untuk memperkenalkan Islam moderat serta merespons persepsi negatif atas negara akibat isu ketegangan Barat dan Islam. Jaringannya yang luas dan sifatnya yang terbuka telah menciptakan forum dialog bagi berbagai kalangan. Terciptanya forum tersebut menjadi media dalam mempromosikan citra positif Indonesia sebagai negara demokratis dan Islam terbesar yang moderat.

F. Metodologi Penelitian

Secara umum, penelitian ini menjelaskan tentang peran International

Conference of Islamic Scholars (ICIS) dalam diplomasi publik Indonesia. Penulis

berupaya menjabarkan kasus yang diangkat tersebut dengan konsep diplomasi publik. Metode kualitatif digunakan dalam memverifikasi argumen. Adapun metode kualitatif yang dimaksud adalah analisis data non-statistik. Penyajiannya menggunakan pola pikir dari umum ke khusus atau deduktif yaitu penggunaan konsep atau teori yang dibuktikan dan digunakan dalam menjelaskan suatu

(20)

20 peristiwa.39 Dalam pengumpulan data, penulis cenderung menggunakan data sekunder yang berasal dari sumber yang relevan seperti buku, jurnal, karya ilmiah, artikel, dokumen dan sejenisnya baik dari media cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan diplomasi publik Indonesia dan ICIS. Data kemudian dipaparkan secara sistematis agar dapat diambil kesimpulan argumentatif.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini terdiri dari beberapa bab. Bab pertama menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka konsep, argumen utama, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua menjabarkan tentang dinamika diplomasi publik Indonesia secara umum. Bab tiga memaparkan

International Conference of Islamic Scholars (ICIS) serta perannya dalam

diplomasi publik Indonesia. Kemudian Bab empat akan menutup penelitian ini dengan kesimpulan yaitu intisari penelitian.

39

Referensi

Dokumen terkait

Supervisi terhadap tenaga mikroskopis dihubungkan dengan ketepatan diagnosis, terdapat 11 orang (73,3%) disupervisi nilai Kappa jelek dan 4 orang (26,7%) mendapat nilai Kappa

Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan aturan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat

• PT Nusa Raya Cipta Tbk (NRCA), entitas anak SSIA di bidang unit jasa konstruksi, dalam 9M2015 mencatat pendapatan sebesar Rp 2.745,3 miliar (termasuk pengerjaan proyek dari

Hubungan antara perubahan tata guna lahan dengan karakteristik hidrologi (debit puncak dan waktu puncak) pada DAS Lesti dan DAS Gadang menunjukkan nilai debit yang cenderung

Hasil pengamatan rata-rata jumlah daun tanaman pada umur 7 Minggu Setelah Tanam (MST) menunjukkan bahwa pemberian kompos yang berbeda berpengaruh tidak nyata

Penelitian bertujuan untuk mengkarakterisasi isolat bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon dari tanah tercemar oli bekas di kawasan PT Krakatau Steel Cilegon meliputi

Puji dan syukur atas rahmat kasih Tuhan, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar dan baik. Adapun tujuan penyusunan tugas akhir ini adalah untuk

Cakupan belajar sepanjang hayat dan mengembangkan pengetahuan baru, dalam area kompetensi KIPDI-3, telah memotivasi penulis untuk melaksanakan penelitian yang