PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI
PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING
(Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta)
RIO I34051998
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Abstract
Sea Farming as a program of empowerment that based on community development has its advantages for the community. The program focussed to fish culture of Epinephelus fuscoguttatus and it has successful descripted the empowerment grow process in fisheries community at Panggang Island. As the indicator of community empowerment, the community autonomus may based from Arnstein Participation Level (1969). The empowerment that based on community development requires that people have the capacity to define their own needs and to act to have them met. In this case, the community has successful to define their own needs in this fish culture, and they know how to solve that.
RINGKASAN
RIO. PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI
PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING : Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta. (Di bawah bimbingan YATRI INDAH KUSUMASTUTI).
Sea farming sebagai suatu program pemberdayaan komunitas nelayan
merupakan suatu sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Program ini selaras dengan keinginan dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta yang menginginkan kepulauan seribu sebagai ladang dan taman kehidupan bahari yang berkelanjutan. Maka dari itu, program Sea Farming ini diterapkan di komunitas nelayan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta. Sangat menarik ketika bisa mengamati proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan Sea Farming. Penelitian ini fokus terhadap proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan Sea Farming menuju kemandirian komunitas.
Tujuan penelitian ini adalah, pertama untuk menggambarkan proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan Sea Farming di Pulau Panggang. Kedua, menganalsis sejauh mana Sea Farming dapat memandirikan komunitas nelayan. Yang terakhir, menganalisis kebutuhan kelompok nelayan Sea Farming.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik triangulasi data. Subjek dalam penelitian ini adalah komunitas nelayan Sea Farming dan unit analisisnya adalah individu yang tergabung dalam kelompok Sea Farming. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil observasi dan wawancara mendalam dengan informan. Sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumen-dokumen instansi terkait. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan tiga tahapan analisis data, yaitu reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan Sea Farming jika dilihat berdasarkan Delapan Tingkatan Partisipasi Arnstein, telah sampai pada tahap kemitraan dan pendelegasian kekuasaan. Kemandirian secara material telah sangat terlihat jelas dari pengamatan dan pengakuan para informan. Namun secara kelompok masih perlu bianaan lebih jauh lagi. Untuk kemandirian intelektual, masing-masing anggota Sea Farming telah cukup berkembang bahkan sudah dapat mengembangkan teknik budidaya sendiri melalui penggabungan ilmu pelatihan, pengalaman, dan pengetahuan lokal. Kemudian untuk kemandirian manajerial, secara individu sudah cukup tercapai karena tiap anggota sudah mampu merencanakan usaha budidaya dengan baik. Namun secara kelompok masih perlu pendampingan lagi, mengingat bahwa kelompok ini ingin berkembang menjadi satu kelembagaan yang kuat secara aturan dan pengelolaan, yaitu koperasi.
Berdasarkan hasil analisis, kebutuhan kelompok Sea Farming saat ini ada enam poin. Pertama, mereka membutuhkan teknik yang lebih efisien, efektif, ramah lingkungan dan murah. Kedua, pasokan benih yang jelas dan pasti baik dari segi jumlah dan kualitas. Ketiga, pelatihan pengembangan usaha budidaya, khususnya pengelolaan bersama penjualan hasil panen untuk dijual ke pasar. Keempat, pengelolaan kelompok yang kuat. Kelima, pengembangan kelompok menjadi kelompok usaha. Keenam, pemahaman lebih dalam tentang peran masing-masing pihak yang terkait dalam kelembagaan SF sehingga kelompok SF dapat memahami peran dan posisinya dalam kelembagaan SF.
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING
(Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Oleh : RIO I34051998
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING (STUDI KASUS KOMUNITAS NELAYAN SEA FARMING PULAU PANGGANG, KELURAHAN PULAU PANGGANG,
KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA)”
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN KECUALI KUTIPAN YANG ADA DALAM TULISAN INI. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.
Bogor, Agustus 2009
RIO I34051998
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 April 1987 dari Ayah bernama Newdel Marleman dan Ibu Na Swie Lan. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu tahun 1993 di SD Negeri Harapan Baru dan lulus pada tahun 1999, melanjutkan ke SLTP Negeri 13 Bekasi pada tahun 1999 dan lulus tahun 2002, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 4 Bekasi di tahun yang sama dan lulus tahun. Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis masuk di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis pernah mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Music Agriculture Expressions!! (MAX!!) IPB pada tahun 2005 sampai 2008. Menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada tahun 2007 sampai 2009, dan juga aktif di Onigiri Japan Club sejak 2 tahun 2006 sampai sekarang. Selain itu penulis juga pernah bekerja sebagai Asisten Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi dan Mata Kuliah Perilaku Konsumen tahun 2007, Asisten Mata Kuliah Komunikasi Bisnis 2008-2009.
Kegiatan-kegiatan lain di luar kampus yang pernah diikuti oleh penulis juga cukup banyak. Pada tahun 2008, penulis pernah magang pada sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Institut for Global Justice (IGJ) di Jakarta. Kegiatan magang tersebut dilakukan dalam rangka Kuliah Kerja Profesi (KKP). Kemudian pada tahun 2009, menjadi relawan untuk Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Penulis pernah juga menjadi pendamping pada kegiatan “Pembekalan Pendampingan UKM Program Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pola Kemitraan”
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya dalam mengerjakan skripsi ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Skripsi ini berjudul “Pemberdayaan Komunitas Nelayan Melalui Penerapan Program Sea Farming (Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyelesaiannya, baik skripsi ini dan pendidikan penulis di Departemen Sains KPM-FEMA, IPB tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan berkontribusi:
1. Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi sebagai dosen pembimbing akademik dan skripsi yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, koreksi, pemikiran, serta sarannya sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan.
2. Keluarga tercinta (ibu dan kedua adik) yang selalu memberikan dukungan, doa, dan motivasi. Yang selalu menguatkan tekad ketika hati merasa goyah. Almarhum Ayahanda tercinta yang pesan-pesan beliau selalu penulis ingat sebagai pembangkit semangat.
3. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku penguji utama dalam sidang skripsi. 4. Ir. Ana Fatchiya selaku dosen penguji perwakilan departemen.
5. Staf pengajar Departemen Sains KPM-FEMA, IPB. 6. Staf penunjang Departemen Sains KPM-FEMA, IPB
7. Teman-teman dari departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 42 khususnya dan KPM angkatan 38-44.
8. Pihak-pihak dari PKSPL-IPB, anggota kelompok Sea Farming, Pihak-pihak Taman Nasional Kepulauan Seribu Jakarta, Pihak-pihak Kelurahan Pulau Panggang, Teman-teman satu mess selama penelitian di pulau.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan dan doanya.
Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dan masyarakat yang akan menjadikan skripsi ini sebagai rujukan pustaka.
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan ... 4
1.4. Kegunaan... 4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 6
2.1. Tinjauan Pustaka ... 6
2.1.1. Konsep Pemberdayaan.. ... 6
2.1.2. Kategori Kemandirian ... 8
2.1.3. Pengertian Komunitas ... 9
2.1.4. Pengertian Partisipasi ... 10
2.1.5. Konsep Wilayah dan Masyarakat Pesisir... ... 12
2.1.6. Masyarakat Nelayan... ... 13
2.1.7. Konsep Sea Farming... ... 13
2.1.8. Sistem Pengetahuan Lokal... ... 17
2.2. Kerangka Pemikiran ... 17
2.2.1. Kerangka Pemahaman Sea Farming... ... 17
2.2.2. Kerangka Penelitian... ... 22
2.2.3. Hipotesa Pengarah... ... 22
2.2.4. Definisi Konseptual... ... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 24
3.1. Strategi Penelitian ... 24
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
3.3. Jenis dan Sumber Data ... 25
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 26
3.5. Teknik Analisis Data ... 27
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 28
4.1. Letak Geografis dan Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang... 28
4.2. Kondisi Demografis ... 29
4.3. Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang... 31
4.4. Sosial Ekonomi Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang ... 33
4.5. Karakteristik Nelayan di Pulau Panggang... 36
4.6. Konteks Lokasi Sea Farming ... 37
4.7. Ikan Kerapu Sebagai Komoditas Utama Sea Farming ... 39
BAB V PROSES PERKEMBANGAN KEBERDAYAAN ... 42
5.1. Manipulasi, Terapi, dan Pemberitahuan... 44
5.2. Konsultasi dan Placation ... 47
5.2.1. Mandiri Secara Intelektual ... 49
5.2.2. Berbagi Ilmu Sesama Nelayan... 52
5.2.3. Pengetahuan Lokal Dicampur dengan Ilmu Pelatihan... 53
5.2.4. Kemampuan Manajemen Pengelolaan Budidaya Kerapu ... 55
5.3. Kemitraan dan Pendelegasian Kekuasaan ... 57
5.3.1. Pengelolaan Kelompok SF ... 57
5.3.2. Mandiri Secara Ekonomi ... 61
5.4. Simpulan Bab ... 63
BAB VI KEBUTUHAN KOMUNITAS ... 65
6.1. Aspek Teknik Budidaya ... 68
6.2. Ketersediaan Benih ... 69
6.3. Aspek Manajemen Usaha ... 71
6.4. Manajemen Kelompok ... 74
6.5. Kelembagaan Sea Farming ... 76
6.6. Simpulan Bab ... 77
BAB VII SEA FARMING SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN ... 79
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
7.1. Kesimpulan ... 83
7.2. Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 87
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tingkatan Pastisipasi Arnstein (1969) ... 11 2. Nama dan Luas Pulau di Kelurahan Pulau Panggang, 2008 ... 28 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenis Kelamin, ... 30 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenjang Pendidikan,
2008 ... 31 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Pulau Panggang, 2008 ... 34 6. Jenis dan Jumlah Kegiatan Usaha Penduduk Kelurahan Pulau Panggang,
2008 ... 35 7. Road Map SF Berdasarkan Rencana PKSPL-IPB dengan Hasil Pengamatan
di Lapang ... 43 8. Modifikasi Tingkatan Partisipasi Arnstein (1969) oleh Peneliti, Berdasarkan
Hasil Temuan di Lapang ... 44 9. Matriks Kebutuhan Komunitas ... 67
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Tahapan Pemberdayaan ... .7 2. Sistem Kelembagaan SF ... .14 3. Skema Dasar SF ... 15 4. Simulasi SF ... 165. Kerangka Pemahaman Peneliti Tentang SF ... 19
6. Kerangka Penelitian ... 21
7. Balai Hatcheri Karang Congkak ... 38
8. Balai SF di Semak Daun ... 38
9. Keramba Apung di Perairan Sekitar Balai SF Semak Daun ... 39
10. Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 40
11. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) ... 40
12. Sekretariat Kelompok SF ... 58
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepulauan Seribu sebagai bagian dari pemerintahan kota Jakarta telah
menjadi daerah Pemerintahan Administratif Kepulauan Seribu. Wilayah
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta
dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara, Pulau Sebira terletak di jarak sekitar
100 mil dari daratan Teluk Jakarta. Posisi ini bila dikaitkan dengan Jakarta yang
tidak lain adalah sebuah kota pelabuhan, maka Kepulauan Seribu adalah bagian
muka dari Jakarta.
Lokasinya berada antara 06°00’40” dan 05°54’40” Lintang Selatan dan
106°40’45” dan 109°01’19” Bujur Timur. Pada separuh teluk bagian barat,
terdapat beberapa pulau kecil yang sebagian besar telah dipergunakan sebagai
areal permukiman penduduk dan sebagian lainnya dipergunakan sebagai tempat
peristirahatan. Total luas keseluruhan wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu kurang lebih hampir 11 kali luas daratan Jakarta, yaitu luas daratan
mencapai 897.71 hektar dan luas perairan Kepulauan Seribu mencapai 6.997,50
kilometer persegi (Pemda Kep. Seribu, 2004).
Berawal dari Visi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang
menginginkan ”kepulauan seribu sebagai ladang dan taman kehidupan bahari
yang berkelanjutan”. Juga ada Perda No. 55/2001 yang menginginkan
pembangunan pesisir, laut, dan PPK berbasis masyarakat1 maka pemerintah
daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ingin menjadikan Kepulauan
Seribu sebagai salah satu tujuan wisata, baik lokal maupun asing. Selain itu agar
Kepulauan Seribu sendiri dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian bagi
masyarakatnya. Sehingga rehabilitasi ekosisistem pesisir dan laut dan juga
pemberdayaan ekonomi masyarakat pulau menjadi tujuan utama diterapkannya
konsep Sea Farming ini.
Masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang2 sendiri yang berprofesi sebagai
nelayan mencapai 1.722 orang. Ini artinya hampir sebagian besar masyarakat di
Kelurahan Pulau Panggang berprofesi sebagai nelayan. Kebanyakan dari mereka
adalah nelayan kecil yang bekerja secara individu atau kelompok kecil. Hal ini
menjadi permasalahan bagi mereka sendiri, mengingat jika bergerak sendiri atau
dalam kelompok kecil maka hasil yang didapat juga kecil. Selain itu nelayan jika
berlaut mempunyai resiko tinggi, hasil yang didapat sedikit dan tidak menentu.
Nelayan adalah orang-orang yang berusaha “menaklukan”alam, yaitu laut,
sedangkan laut tidak dapat diprediksi dan sumberdaya perikanan bersifat tidak
pasti. Berbagai ancaman bahaya apapun bisa terjadi di laut. Mulai dari cuaca yang
tidak menentu dampai serangan ikan besar yang jumlahnya tidak sedikit di lautan.
Berbeda dengan masyarakat petani/agraris yang ciri sumberdayanya pasti dan
lebih mudah diprediksi.
Rusaknya ekosistem laut sekitar Kepulauan Seribu membuat masyarakat
setempat tidak lagi dapat tergantung sepenuhnya pada laut. Pendapatan mereka
sebagai nelayan berkurang dan mereka tidak mempunyai cukup akses untuk
beralih ke pekerjaan lain, mengingat jarak Kepulauan Seribu yang cukup jauh dari
2
Kelurahan Pulau Panggang terdiri atas 13 pulau tetapi hanya dua pulau yang berpenghuni dan banyak masyarakatnya, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka
Jakarta (± 1 jam ke pulau terdekat) dan memerlukan biaya cukup besar untuk
kapal.
Berdasarkan permasalahan tersebut dikembangkanlah konsep Sea Farming
(SF) yang diterapkan di Kepulauan Seribu khususnya di Kelurahan Pulau
Panggang. Konsep ini diinisiasikan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Laut-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) bekerja sama dengan Dinas Kelautan
dan Perikanan Pemda DKI Jakarta. Konsep dari SF sendiri dapat didefinisikan
sebagai sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan
stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan
sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata
(PKSPL-IPB, 2006). Program ini telah berjalan sejak tahun 2004 dan akan berakhir pada
tahun 2010.
Konsep SF mencoba menggabungkan hal yang pasti dari pengelolaan
sumberdaya agraris dengan kekayaan sumberdaya perairan. Realisasi in terwujud
dalam pembentukan keramba apung dan Balai SF di perairan laut Pulau Semak
Daun yang digunakan untuk pembibitan dan pembesaran ikan kerapu. Pemilihan
kerapu didasarkan karena ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) atau
yang biasa disebut oleh orang pulau sebagai ikan balong (rakus). Pemilihan
kerapu macan didasarkan karena ikan kerapu merupakan komoditas perairan yang
mempunyai nilai jual tinggi di pasaran.
Bidang pembudidayaan ikan kerapu macan dilaksanakan di Pulau
Panggang. Sasarannya adalah komunitas nelayan Pulau Panggang. Output dari
program ini adalah masyarakat diharapkan dapat menjadi mandiri dalam
pertanyaan besar yang melandasi penelitian ini yaitu sejauh prose perkembangan
keberdayaan komunitas nelayan SF di Pulau Panggang sehingga membentuk
kemandirian nelayan baik secara individu maupun kelompok.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka peneliti
merumuskan permasalahan yang akan diteliti. Secara umum rumusan masalah
yang akan diteliti ada dua aspek yaitu partisipasi dan kemandirian.
1. Bagaimana proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan SF
sehingga membentuk kemandirian komunitas?
2. Apa yang menjadi kebutuhan bagi pengembangan kelompok SF saat
ini?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka terdapat beberapa tujuan dari
penelitian ini, yaitu:
1. Menggambarkan proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan
SF di Pulau Panggang.
2. Menganalisis sejauh mana SF dapat memandirikan komunitas.
3. Menganalisis kebutuhan bagi pengembangan kelompok nelayan SF.
1.4. Kegunaan Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi suatu pembelajaran mengenai
dapat menggambarkan proses-proses yang terjadi pada penerapan dan
pengembangan program SF. Penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan
sebagai bahan evaluasi dan literatur terhadap program SF bagi pemerintah,
akademisi, dan PKSPL-IPB khususnya sebagai lembaga yang telah
II. PENDEKATAN TEORITIS
2.1.Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah “membantu” komunitas dengan sumberdaya,
kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat
sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas
(Nasdian, 2006). Berarti pemberdayaan adalah bagaimana membuat komunitas
bisa bekerja sendiri berdasarkan kemampuan yang telah mereka miliki. Tetapi
sebelumnya kemampuan komunitas harus ditingkatkan agar mereka dapat
berpatisipasi dan menyesuaikan diri dalam memenuhi kebutuhan sekarang dan
nanti. Sehingga mereka dapat menentukan dan merancang masa depan mereka
sendiri.
Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community
development (pembangunan masyarakat dan community-based delopment
(pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan tahap selanjutnya muncul
istilah community driven development yang diterjemahkan sebagai pembangunan
yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakan
masyarkat (Randy & Riant, 2007).
Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi bukan sebuah proses instan.
Artinya, perlu ada suatu tahapan dimana setiap tahap terjadi proses perkembangan
menuju perbaikan. Proses tersebut memerlukan waktu yang relatif lama dan
partisipasi menyeluruh dari komunitas itu sendiri. Tidak bisa dijadikan dalam
penyadaran pendayaan hilang sampai program berikutnya datang. Sebagai proses, pemberdayaan
mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.
Gambar 1. Tahapan Pemberdayaan (Randy & Riant, 2007)
Pemberdayaan merupakan proses “pemetaan” dari hubungan atau relasi
subjek dengan objek. Proses ini mementingkan adanya pengakuan subjek akan
kemampuan atau daya yang dimiliki objek. Secara gari besar proses ini melihat
pentingnya mengalirkan daya (kuasa) (flow of power) dari subjek ke objek. Dalam
pengertian yang lebih luas, mengalirnya daya ini merupakan upaya atau cita-cita
untuk mensinerjikan masyarakat miskin ke dalam aspek kehidupan yang lebih
luas. Hasil akhir dari pemberdayaan adalah “beralihnya fungsi individu atau
kelompok yang semula sebagai objek menjadi subjek (yang baru)”, sehingga
relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antar “subjek”
dengan subjek yang lain. Dengan demikian, proses pemberdayaan mengubah pola
relasi lama subjek-objek menjadi subjek-subjek (Nasution, 2006).
Secara operasional, pemberdayaan “bergerak” dari pemahaman sisi dimensi
generatif, yang merupakan suatu proses perubahan dengan menempatkan
kreatifitas dan prakarsa warga komunitas yang sadar diri dan terbina sebagai titik
tolak. Dengan pengertian tersebut pemberdayaan mengandung dua elemen pokok,
yakni: kemandirian dan partisipasi. Dalam konteks ini, yang berorientasi pengkapasitasan
memperkuat kelembagaan komunitas, maka pemberdayaan warga komunitas
merupakan tahap awal menuju kepada partisipasi warga komunitas (empowerment
is road to participation) khususnya dalam proses pengambilan keputusan untuk
menumbuhkan kemandirian komunitas. Dengan kata lain, pemberdayaan
dilakukan agar warga komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai
kemandirian. Dalam pengertian lain pemberdayaan adalah sebuah proses
membantu individual atau kelompok-kelompok yang tidak beruntung dengan cara
mengajarkan mereka bernegosiasi, menggunakan media, terlibat dalam kegiatan
politik, mengerti bagaimana “bekerja system”, dan lainnya (Ife, 1946).
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang
bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat
bersangkutan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan
masyarakat untuk bertahan dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri
dan mencapai kemajuan (Randy & Riant, 2007).
2.1.2. Kategori kemandirian
Dengan kemampuan warga komunitas berpartisipasi diharapkan komunitas
dapat mencapai kemandirian, yang dapat dikategorikan sebagai “kemandirian
material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen (Nasution, 2006).
1. Kemandirian material
Tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri.
Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi materi
dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu
2. Kemandirian intelektual
Merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas
yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang
lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu.
3. Kemandirian manajemen
Kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina
diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan
dalam situasi kehidupan mereka.
2.1.3. Pengertian Komunitas
Komunitas ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam
kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common
interest), baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”. Apabila
anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kelompok kecil, hidup
bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat
memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi
disebut komunitas (Nasdian, 2006).
Dalam suatu komunitas aktifitas anggotanya dicirikan dengan partisipasi
dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan tersebut, dimana
semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah
setempat untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin
ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pembentukan pelayanan
sifat berswadaya, dan kegotongroyongan sehingga proses pembangunan berjalan
efektif (Nasdian, 2006). Dengan demikian kuat atau lemahnya suatu komunitas
dilihat dari tingkat partisipasi anggotanya terhadap suatu kegiatan/program dari
pemerintah. Kesadaran mereka untuk mau ikut serta dalam pemberdayaan sangat
mempengaruhi keefektifan suatu proses pembangunan.
Syahyuti (2005) dalam Furqon (2009), menegaskan bahwa secara umum,
komunitas (community) diartikan sekelompok orang yang hidup bersama pada
lokasi yang sama sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah “kelompok
hidup” (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common interest).
Artinya, ada sosial relationship yang kuat di antara mereka, pada satu batasan
geografis tertentu. Elemen dasar yang membentuk adalah adanya interaksi yang
intensif di antara anggotanya, dibandingkan dengan orang-orang di luar batas
wilayah. Ukuran derajat hubungan sosial, terkait dengan kesamaan tujuan adalah
pemenuhan kebutuhan utama individu dan anggota pembentuk kelompok
masyarakat.
2.1.4. Pengertian Partisipasi
Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas
sendiri, dibimbing oleh cara pikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana
dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol
secara efektif. Partisipasi dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas
dilibatkan dalam tindakan yang yang telah dipilihkan atau dirancang oleh orang
lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses
partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan
tindakan tersebut sebgai subjek yang sadar (Nasution, 2006)
Banyak alasan dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui konsultasi dengan masyarakat
yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan program atau proyek,
dimungkinkan (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan
informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan
alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4)
membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga
memudahkan penerapan (Mitchell, 1997).
2.1.4.1.Tingkatan partisipasi
Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menjawab sampai tingkatan
mana komunitas diikutsertakan dalam program SF ini. Untuk itu peneliti akan
mengukurnya melalui Delapan Tingkatan Patisipasi menurut Arnstein (1969).
Tabel 1. Tingkatan Pastisipasi
Tingkatan partisipasi Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan
1. Manipulasi Komite berstempel Tidak ada partisipasi
2. Terapi Pemegang kekuasaan mendidik
rakyat
3. Pemberitahuan Hak-hak masyarakat dan
pelihan-pilihannya diidentifikasikan
Tokenism
4. Konsultasi Masyarakat didengar, tetapi
tidak dipakai sarannya
5. Placation Saran masyarakat diterima, tetapi tidak selalu dilaksanakan
6. Kemitraan Timbal balik dinegosiasikan
7. Pendelegasian kekuasaan Masyarakat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program
Tingkatan kekuasaan masyarakat
8. Kontrol oleh masyarakat
2.1.5. Konsep Wilayah dan Masyarakat Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas
ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang
masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut,
perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas,
sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar
daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini
masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002)3
Secara teoritis, masyarakat pesisir didefinisikan sebagai masyarakat yang
tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir
memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi
sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir
dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah
pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial
ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.
Sedangkan jika mengacu pada UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dimaksud dengan wilayah
pesisir adalah, daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi
oleh perubahan di darat dan di laut. Kemudian pengertian masyarakat pesisir
3 http://jchkumaat.files.wordpress.com/2007/01/pengertian-pengelolaan-bahan-kuliah-pengelolaan-pesisir-geog.doc
adalah, masyarakat yang terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal yang
bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
2.1.6. Masyarakat Nelayan
Nelayan didefinisikan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan
dalam operasi penangkapan ikan atau budidaya binatang air. Pada budidaya
binatang atau tanaman air, orang yang dikategorikan sebagai nelayan adalah orang
yang melakukan pekerjaan pemeliharaan binatang atau tanaman air. Termasuk
dalam kategori pekerjaan pemeliharaan adalah pekerjaan pembenihan, pemberian
makanan ikan, pemupukan dan pemberantasan hama, pengairan tambak atau
kolam ikan (Dinas Perikanan Propinsi DATI I Jawa Tengah, 1994 dalam Amir
Fadhilah, 2003)
Hal ini berarti bahwa orang yang membuat jaring, istri, anak serta orang tua
nelayan yang tidak aktif dalam operasi penangkapan ikan tidak dimasukan dalam
kategori nelayan. Orang yang bekerja pada waktu pemanenan ikan atau membajak
tambak atau kolam ikan tidak dimasukan ke dalam kategori nelayan (Amir
Fadhilah, 2003)
2.1.7. Konsep Sea Farming
Sea Farming (SF) yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktifitas berbasis
marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan
menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya
Populasi P. Panggang Lokasi Sea Farming Demarcated Fishing Right Implementasi Sea Farming Community Based Agribusiness System
Hatchery Pendeder-1 Pendeder-2
Pendeder-3 Grower Pasar Distribusi Perdagangan Nelayan Stock Enhancement Kesepakatan Lokal Definisi Pelaku SF Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input,
sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output4.
Gambar 2. Sistem Kelembagaan SF (PKSPL-IPB, 2006)
Sub-sistem pendukung merupakan prasyarat awal pembentukan
kelembagaan SF yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor pendukung
(supporting factors) bagi beroperasinya SF di lokasi yang dituju. Dalam
sub-sistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights
sebagai persyaratan batas sistem operasi SF secara geografis (sistem boundary).
Pembentukan sistem fishing rights (FR) ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan riset partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan FR
4
ini tidak dapat dilepaskan dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong
keberhasilan operasi SF secara teknis-ekologis.
Hetchery
Beackyard Hetchery di Masyarakat (Daratan/Pulau)
Beackyard Hetchery
di Laut (Tancap) Pen Culture PendederanBalai Sea Farming
Pembesaran Keramba Apung Restocking 16 Cm Restocking 16 Cm 13 Cm 3 Cm 3 Cm 6 Cm 6 Cm 13 Cm Gambar 3. Skema Dasar SF (PKSPL-IPB, 2006)
Sub-sistem kedua adalah marikultur (budidaya kelautan) di mana kegiatan
pembenihan, pendederan hingga pembesaran komoditas SF dilakukan.
Sub-sistem ini merupakan jantung dari implementasi SF karena input dan output
ekonomi SF pada dasarnya berasal dari sub-sistem marikultur ini. Agar akselerasi
sistem marikultur ini dapat dilakukan sesuai dengan tujuan, maka dalam
sub-sistem ini digunakan pendekatan community-based agribusiness sub-sistem (sub-sistem
agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam SABM ini, sebagian besar
pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat ekonomi langsung
masyarakat lokal. Sebagai contoh, dengan implementasi intermediary mariculture
process yang melibatkan pendeder 1, pendeder 2, dan seterusnya (lihat Gambar 2)
maka alur finansial dalam bentuk perdagangan benih dapat dilakukan
menggantikan sistem konvensional yang hanya terbatas pada grower
(pembesaran). Pen culture Pen culture Pen culture Cage culture Cage culture Stock Enhancement
PASAR
BALAI SEA FARMINGMarikultur
Wisata Bahari
Penangkapan Ikan berkelanjutan Sea Ranching
Gambar 4. Simulasi SF (PKSPL-IPB, 2006)
Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output di mana komoditas SF akan
diperdagangkan melalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku
SF dan pada saat yang sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi
kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Fungsi
konservasi ini dapat melibatkan pemerintah daerah sebagai penjamin pasar bagi
pelaku SF. Dengan kata lain, pemerintah daerah membeli stok dari pelaku SF
bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan pengkayaan
2.1.8. Sistem Pengetahuan Lokal
Mitchell (1997) menjelaskan bahwa konsep sistem pengetahuan lokal
berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional.
Masyarakat lokal atau asli dapat ditemukan di setiap daerah. Dengan definisi
masyarakat lokal atau asli yang cukup beragam tetapi beberapa elemen dasar yang
biasanya termasuk antara lain:
a. Keturunan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh
sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat
b. Sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya, dan agama
yang berbeda kelompok yang lebih dominan.
c. Selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat.
d. Keturunan masyarakat berburu, nomadik, ladang berpindah.
e. Masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok,
pengambilan keputusan melalui kesepakatan serta pengelolaan
sumberdaya secara kelompok
2.2.Kerangka Pemikiran
2.2.1. Kerangka Pemahaman SF
Sebelum memasuki kerangka penelitian, peneliti ingin terlebih dulu
menjelaskan kerangka pemahaman peneliti terhadap proses pemberdayaan
masyarakat Pulau Panggang melalui konsep SF.
Secara konseptual, pemberdayaan terbagi menjadi tiga tahap yaitu, tahap
penyadaran, tahap pengkapasitasan, dan tahap pemberdayaan. Pada saat
diberdayakan dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan sesuatu. Tahap ini
bisa melalui sosialisasi dan prinsip dsarnya adalah membuat mereka mengerti
bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses itu harus dimulai dari dalam diri
mereka. Setelah program disosialikan, tidak semua masyarakat menerima program
tersebut ada yang akomodatif dan ada juga yang resisten. Masyarakat yang
akomodatif tentunya akan mengadopsi program tersebut dan akan berlanjut ke
tahap kedua. Masyarakat yang resisten bukan berarti menolak mentah-mentah
program tersebut, walaupun ada kemungkinan untuk hal tersebut. Mereka
mungkin hanya tidak cocok dengan beberapa metode atau tujuan yang diberikan.
Ini akan menjadi masukan berupa saran dan kritikan terhadap program yang
tentunya akan diperbaiki dan disosialisasikan lagi.
Tahap kedua adalah pengkapasitasan atau biasa disebut capacity building .
mereka diberikan bekal berupa ilmu agar mereka mempunyai kecakapan (skill)
dan dapat berdaya. Cara ini bisa menggunakan pelatihan, workshop, dan seminar.
Proses pengkapasitasan ini mencakup tiga hal yaitu manusia, organisasi dan
sistem nilai. Pada tahap ini juga masyarakat yang telah menerima bekal akan
memberikan masukan dan saran terhadap program berdasarkan pengetahuan yang
mereka punya sebelumnya
Terakhir adalah pendayaan atau pemberian daya. Pada tahap ini mereka
diberikan daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang sesuai dengan apa yang mereka
dapat pada tahap pengkapasitasan. Pada tahap ini mereka juga akan memberikan
masukan dan saran berdasarkan pengalaman yang telah mereka lakukan selama
Pengenalan/Awareness Pengkapasitasan/Capacity Building Pemberdayaan Sosialisasi Perbaikan Respon Respon Respon
Gambar 5. Kerangka Pemahaman Peneliti Terhadap SF
Program PKSPL (sea farming) Kemandirian Komunitas belajar & berkembang -manusia -organisasi -sistem nilai -pelatihan -seminar -workshop Komunitas (masy. P. panggang) Adopsi Masyarakat berdaya Akomodatif Resisten
Secara keseluruhan proses ini adalah proses yang berulang dimana ketika
PKSPL-IPB mensosialisasikan program pada awal pengenalan program akan
mendapat respon berupa penolakan program dari masyarakat yang mungkin
belum mengerti atau tidak memerlukan program ini. Kemudian akan ada
perbaikan dan disosialisasikan lagi. Pada saat pelaksanaan pun ada masukan dari
masyarakat berupa saran mengenai program.
2.2.2. Kerangka Penelitian
Penerapan program SF untuk masyarakat Pulau Panggang khusus untuk
pembesaran ikan kerapu merupakan proses pemberdayaan masyarakat setempat
agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam arti yang lebih luas. Jika
dilihat dari gambar kerangka penelitian maka ada dua aspek yang akan menjadi
fokus utama yaitu aspek kemandirian warga dan partisipasi warga untuk menjadi
anggota dari program SF. Alasan kenapa dua aspek tersebut yang diteliti adalah
karena pemberdayaan merupakan tahap awal agar komunitas dapat berpartisipasi
dalam program lebih khusus dalam proses pengmabilan keputusan yang
dimaksudkan untuk menumbuhkan keandirian komunitas.
Untuk aspek kemandirian, variabel yang akan diukur adalah kemandirian
materi, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen. Peneliti akan
melihat variable mana yang berkembang setelah masyarakat mengikuti program
SF ini. Dalam pemberdayaan Sedangkan untuk aspek partisipasi akan dilihat
menlalui delapan tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) dalam
Mitchell (1997). Delapan tingkatan tersebut adalah manipulasi, terapi,
kontrol oleh masyarakat. Peneliti akan melihat pada level mana masyarakat ikut
serta dalam program SF.
= mempengaruhi = Batasan penelitian
Gambar 6. Kerangka Penelitian
2.2.3. Hipotesa Pengarah
1. Penerapan konsep SF mempengaruhi Partisipasi komunitas nelayan di Pulau
Panggang.
2. Partisipasi komunitas terhadap penerapan dan pengembangan SF telah sampai
pada tahap kemitraan dan pendelegasian kekuasaan. Diharapkan bergerak
menuju kontrol oleh masyarakat.
Program Sea Farming Kemandirian -kemandirian material -kemandirian intlektual Kemandirian manajemen Partisipasi -manipulasi -terapi -pemberitahuan -konsultasi -placation -kemitraan -pendelegasian kekuasaan -kontrol oleh masyarakat Kesejahteraan Masyarakat Tingkat keberdayaan peserta
3. Partisipasi masyarakat dalam tahap kemitraan dan pendelegasian kekuasaan
telah mempengaruhi tingkat kemandirian komunitas dalam hal kemandirian
material, intelektual, dan manajemen.
2.2.4. Definisi Konseptual
1. SF adalah sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada
peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi
kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan
dan pariwisata
2. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan atau pembudidaya ikan.
3. Pemberdayaan adalah Pemberdayaan adalah “membantu” komunitas dengan
sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas
komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa
depan warga komunitas
4. Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri,
dibimbing oleh cara pikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan
proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol
secara efektif.
5. Kemandirian material adalah Kemandirian material adalah kemampuan
produktif guna memenuhi materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk
dapat bertahan pada waktu krisis.
6. Kemandirian intelektual adalah pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh
dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan
itu.
7. Kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina diri dan
menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif hendak membangun (melaporkan bangunan) suatu struktur sosial
masyarakat di tempat penelitian (Agusta, 1998). Oleh karena itu pendekatan
kualitatif mampu menggambarkan dan memberikan pemahaman yang mendalam
dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial yang sedang terjadi. Melalui
metode ini juga peneliti mampu menggali berbagai informasi dan realitas sosial
yang terjadi di Pulau Panggang berdasarkan pemahaman masyarakat tentang SF.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan studi kasus. Hal ini karena
studi kasus merupakan strategi penelitian yang menggabungkan berbagai macam
teknik seperti wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen. Studi kasus disebut
juga strategi penelitian multi dimensi. Studi kasus juga merupakan studi aras
mikro yang menyoroti satu atau beberapa kasus. Dalam penelitian ini yang akan
disorot adalah komunitas lokal di Pulau Panggang yang telah ikut SF.
Tipe studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik. Studi kasus
intrinsik adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan
pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus khusus (Stake, 1994:237 dalam
Sitorus, 1998). Dalam penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan dan mengkaji
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Jakarta.
Penelitian ini difokuskan pada program pemberdayaan masyarakat melalui
penerapan SF. Program SF adalah program yang diinisiasikan oleh PKSPL untuk
masyarakat Pulau Panggang. Lokasi tersebut dipilih karena masyarakat Pulau
Panggang merupakan masyarakat pesisir yang lokasi pulaunya berada di
Kepulauan Seribu, Jakarta. Lokasi tersebut masih bisa dijangkau oleh peneliti baik
dari segi biaya maupun jarak lokasi. Waktu penelitian direncanakan akan dimulai
pada awal Mei sampai akhir Juni. Dilaksanakan selama enam minggu kalender
dan dilakukan mulai tanggal 1 Mei-30 Juni 2009.
3.3.Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis data yaitu, data
primer dan data sekunder. Data primer didapat oleh peneliti dari pengalaman
langsung di lapang dan informasi dari pihak yang berkompeten. Kemudian untuk
data sekunder didapat dari literatur-literatur yang berkaitan dan mendukung
penelitian ini seperti laporan akhir program dari PKSPL-IPB, laporan kelompok,
buku keanggotaan kelompok, laporan akhir dari Suku Dinas Kelautan dan
Perikanan Pemda DKI Jakarta. Data yang digunakan adalah data yang berasal dari
kelompok Sea Farming, PKSPL-IPB, dan Sudin Kelautan dan Perikanan Pemda
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini pengumpulan data
menggunakan teknik triangulasi data yaitu kombinasi dari beberapa teknik
pengumpulan data seperti wawancara mendalam, observasi lapang, dan
penelusuran dokumen dan literatur. Kemudian menggunakan catatan harian
sebagai hasil dari pengamatan di lapangan.
Wawancara mendalam digunakan untuk menggali informasi langsung dari
informan yang sudah ditentukan sebelumnya yang diperkirakan dapat
memberikan data yang akurat. Dilakukan dalam suasana yang informal dan santai
dengan tujuan untuk memahami pandangan tineliti tentang program SF.
Observasi yang dilakukan bersifat observasi berperanserta terbatas.
Artinya peneliti berusaha memahami perilaku atau tindakan informan terhadap
orang lain dengan terlibat secara langsung dalam kegiatan program SF. Peneliti
juga mengamati kejadian dan proses yang terjadi di sekitar lingkungan informan
dan juga masyarakat Pulau Panggang dalam hal program SF.
Selama penelitian di lapang, peneliti mengikuti berbagai macam kegiatan
informan kunci yang menjadi sumber data peneliti. Peneliti ikut memberi makan
ikan, mencari ikan kecil untuk pakan ikan kerapu, kumpul bersama para nelayan
lain dan informan lain. Serta masih banyak lagi kegiatan yang dilakukan peneliti
bersama tineliti dan pihak lain di lapang guna memenuhi ketersediaan data bagi
3.5. Teknik Analisis Data
Sejak penelitian dimulai dan data awal pengumpulan data, maka peneliti
juga melakukan analisis data. Dengan menggunakan tiga tahapan analisis data,
yaitu reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Pertama adalah reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan (Sitorus, 1998). Tujuan dari reduksi data
adalah untuk menajamkan, menggolongkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisir data sehingga peneliti dapat mencapai kesimpulan akhir. Proses
mereduksi data dilakukan sejak peneliti memulai kegiatan dan berlangsung terus
sampai akhir (penyusunan laporan).
Kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk deskriptif
yang mencoba menggambarkan dan memberikan pemahaman tentang proses
penerapan dan pengembangan SF. Sehingga diharapkan dapat menjawab
perumusan masalah yang merupakan tujuan dari penelitian ini.
Ketiga, menarik simpulan melalui verifikasi atau kroscek ulang. Hal ini
dilakukan oleh peneliti dengan cara berdiskusi dengan informan yang menjadi
subjek dalam penelitian ini sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Juga
terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini yang telah memberikan
IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Geografis dan Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang
Pulau Panggang adalah salah satu pulau yang terletak dalam kawasan
Kepulauan Seribu, Jakarta. Berada dalam wilayah Administrasi Kelurahan Pulau
Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kelurahan Pulau Panggang terdiri
atas 13 pulau kecil, yaitu.
Tabel 2. Nama dan Luas Pulau di Kelurahan Pulau Panggang, 2008
No Nama Pulau Luas (hektar) Keterangan
1 Pulau Panggang 9 pemukiman 2 Pulau Pramuka 16 pemukiman 3 Pulau Karya 6 perkantoran/TPU 4 Pulau Peniki 3 navigasi 5 Pulau Karang Bongkok 0,50 peristirahatan 6 Pulau Karang Congkak 0,60 peristirahatan 7 Pulau Kotok Besar 20,75 pariwisata 8 Pulau Air Besar 2,90 peristirahatan 9 Pulau Gosong Sekati 0,20 peristirahatan 10 Pulau Semak Daun 0,75 PHU 11 Pulau Gosong Pandan - peristirahatan 12 Pulau Opak Kecil 1,10 peristirahatan 13 Pulau Kotok Kecil 1,30 PHU
Jumlah 62,10
Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah adalah sebelah
utara berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Kelapa di 05°41’41” LS -
05°41’45” LS, sebelah barat berbatasan dengan perairan laut jawa di 106°44’50”
BT, sebelah timur juga berbatasan dengan perairan Laut Jawa di 106°19’30” BT,
sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Tidung
Pulau panggang melintang dari barat ke timur dan menurut kepercayaan penduduk
sana posisi seperti ini memberikan kebaikan bagi penduduknya.
Sebenarnya jumlah pulau yang ada di Kelurahan Pulau Panggang ada 16
pulau namun akibat abrasi air laut yang tersisa saat ini jadi 13 pulau. Pulau yang
berpenghuni dan banyak penduduk di Kelurahan Pulau Panggang hanya ada
empat pulau yaitu Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Karya dan Pulau Kotok
Besar. Pusat pemerintahan kelurahan berada di Pulau Panggang, sedangkan Pulau
Pramuka dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan
Seribu, Jakarta. Pulau Kotok Besar selain menjadi resort pribadi juga menjadi
tempat penangkaran dan pelestarian elang laut.
Kelurahan Pulau Panggang mempunyai Visi, “Pengentasan Kemiskinan
Sebesar 30% dalam Waktu 3 Tahun”. Biasa disebut dengan 3/30. Misi,
“Pengentasan Kemiskinan Melalui Program Pariwisata dan Budidaya Kelautan
Berbasis Komunitas”.
4.2. Kondisi Demografis
Dengan luas hanya 9 hektar, Pulau Panggang memiliki kepadatan
penduduk yang cukup banyak yaitu 3905 jiwa dengan 433 jiwa per hektarnya
(Kel. P.Panggang dalam Angka 2008). Total penduduk Pulau Panggang dan Pulau
Pramuka saat ini mencapai 5.519 jiwa. Suatu jumlah yang cukup banyak jika
dibandingkan dengan luas Pulaunya. Hal ini mengakibatkan kondisi Pulau yang
sangat padat dengan bangunan rumah bahkan bisa dibilang sudah tidak ada lagi
menimbun sampah, karang-karang mati, pasir dan material lain yang bisa
digunakan untuk membuat pondasi rumah.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenis Kelamin, 2008
Kelompok Umur (thn) Laki-laki (orang) Perempuan (orang) Jumlah (orang)
<15 764 726 1.520 16-30 760 682 1.442 31-45 709 700 1.409 46-60 398 427 825 61-74 107 91 198 >75 4 7 11 Total 2.832 2.687 5.519
Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Gambaran tentang Pulau Panggang adalah sebuah pulau kecil yang padat
dengan rumah-rumah penduduk. Dari ujung timur sampai ujung barat yang ada
hanya rumah, kecuali pada saat air surut maka di ujung timur terlihat pasir putih
pantai. Hanya ada “hutan”5 kecil yang terletak di sebelah selatan Pulau.
Penduduknya sangat padat, banyak orang berseliweran di gang-gang depan rumah
mereka. Lebar jalanan yang memisahkan deretan rumah penduduk hanya sekitar
dua meter.
Sebagian besar penduduk Pulau Panggang bekerja sebagai nelayan dengan
mencapai 1.700 orang, hampir setengah dari jumlah penduduk. Sisanya bekerja
sebagai pegawai negeri, karyawan swasta, ojek laut, dan lain-lain. Bahkan cukup
banyak yang jadi guru (84 orang) karena disana terdapat SD, SMPN 133, dan
SMAN 69 Jakarta.
5
Di Pulau Panggang ada sepetak tanah yang ditumbuhi oleh pohon-pohon dan orang sana menyebutnya sebagai hutan
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenjang Pendidikan, 2008
Pendidikan Pria (orang) Wanita (orang)
Jumlah (orang)
Belum sekolah 204 168 372
Tidak pernah sekolah 9 6 15
Pernah sekolah SD tapi tidak tamat 496 432 928
Tamat SD sederajat 1.206 1.162 2.368
Tamat SMP sederajat 253 262 515
Tamat SMA sederajat 562 544 1.106
Tamat D1 - - - Tamat D2 - - - Tamat D3 19 42 61 Tamat S1 78 70 148 Tamat S2 5 1 6 Tamat S3 - - - Jumlah 2.832 2.687 5.519
Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Jenjang pendidikan di sana pun cukup beragam. Beberapa sekolah negeri
terdapat di Kelurahan Pulau Panggang. Sekolah Dasar (SD) terdapat di Pulau
Panggang, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) terdapat di Pulau Pramuka. Lulusan perguruan tinggi pun cukup banyak,
bahkan sebagian lulusan perguruan tinggi ternama seperti Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Sekolah Tinggi Perikanan
(STP)
4.3. Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang
Berdasarkan etnisnya maka penduduk Pulau Panggang tidak ada yang
merupakan penduduk asli pulau tersebut. Pulau Panggang merupakan tempat para
pelaut Makasar singgah pada jaman dulu. Oleh karena itu sebagian besar beretnis
Mandar. Sisanya berasal dari daerah lain yang mencoba merantau dan mencari
peruntungan baru di sana.
Kehidupan sosial Pulau Panggang tidak jauh berbeda dengan penduduk
lain di Jakarta. Hal ini dikarenakan teknologi yang ada di sana sudah cukup
memadai. Jaringan internet pun sudah masuk dan transportasi menuju Jakarta
setiap harinya ada dua pelayaran dengan waktu tempuh hanya sekitar 2,5 jam
menuju Muara Angke Jakarta. Selain itu Pulau Pramuka yang letaknya
bersebelahan dengan Pulau Panggang merupakan Pulau tujuan pariwisata turis
lokal maupun asing. Setiap harinya, bahkan di hari Sabtu dan Minggu banyak
turis yang datang kesana baik lokal maupun turis asing. Hal ini membuat
penduduk Pulau harus bisa beradaptasi dengan banyak pendatang. Masyarakat
pesisir biasanya juga lebih terbuka terhadap perubahan dan budaya yang berbeda.
Hal ini dikarenakan mereka, terutama nelayan, sering berinteraksi dengan orang
luar. Misalnya saja pada saat menjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Muara Angke.
Berdasarkan hasil pengamatan, penduduk Pulau Panggang mempunyai
rasa kekeluargaan yang sangat kuat. Mungkin ini akibat dari luas Pulau yang kecil
dan rata-rata laki-laki disana menikah dengan wanita asli sana juga. Sehingga
terjalin hubungan keluarga satu sama lain. Terhadap orang luar pun, contohnya
peneliti, mereka sangat ramah bahkan beberapa kali peneliti makan di tempat
mereka dan mengobrol seharian tanpa mengenal usia. Suasana keakraban sangat
dibangun disana. Hampir seperti rumah sendiri ketika tiap kali datang kesana.
Penduduk di sana mayoritas memeluk agama Islam, hampir 100 persen
sudah banyak bahkan bila dibandingkan dengan luas Pulau yang kecil dengan
jumlah penduduk yang bisa mencapai pendidikan tinggi cukup banyak, yaitu
sebesar 215 orang.
4.4. Sosial Ekonomi Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang
Kehidupan perekonomian di Kel. Panggang khususnya di Pulau panggang
dan Pulau Pramuka cukup memberikan gambaran bahwa roda perekonomian
disana berputar. Cukup beragamnya jenis usaha dan pekerjaan masing-masing
penduduk membuat tingkat pertumbuhan ekonomi bisa berkembang walaupun
tidak terlalu signifikan. Jika dilihat dari jenis rumah yang ada disana hampir
semuanya sudah merupakan bangunan permanen bahkan cukup banyak yang
sedang membangun rumahnya (renovasi dan pugar baru). Setiap pagi sampai sore
pun cukup banyak ibu-ibu yang berjualan keliling, baik itu jualan sayur, makanan
ringan, makanan siap santap, kebutuhan rumah tangga, dan makanan khas daerah
sana. Ragam dan jenis usaha ekonomi bisa dilihat dalam Tabel 5.
Berdasarkan jenis pekerjaan memang sebagian besar, mencapai 68 persen,
berprofesi sebagai nelayan. Tetapi tidak sedikit yang menjadi pegawai negeri
karena disana terdapat kantor kelurahan dan kantor kabupaten. Di Pulau Karya,
tinggal pegawai Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Pemda DKI Jakarta.
Tabel 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Pulau Panggang, 2008
No
Jenis Mata
Pencaharian Pria (orang)
Wanita
(orang) Jumlah (orang)
1 Buruh/karyawan swasta 76 46 122
2 PNS 112 80 192
3 TNI/Polri 10 1 11
4 Pedagang 70 84 154
5 Pengrajin 1 7 8
6 Tukang ojek laut 54 1 55
7 Montir 4 - 4 8 Dokter 3 1 4 9 Kepala sekolah 6 8 14 10 Guru 83 76 159 11 Dosen 1 1 2 12 Manager 2 - 2 13 Cleaning service 12 18 30 14 Office boy 4 2 6 15 Sales 1 - 1 16 Pelaut 4 - 4 17 Nelayan 1.722 - 1.722 18 Pensiun/veteran 17 6 23 19 Advokat/pengacara - 1 1 Jumlah 2.182 331 2.513
Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Jumlah tenaga medis di Kelurahan Pulau Panggang bisa dibilang sedikit
bahkan tidak memadai untuk jumlah penduduk yang sebanyak itu. Padahal di
Pulau Pramuka terdapat rumah sakit yang cukup lengkap. Tetapi selama
pengamatan peneliti, rumah sakit tersebut setiap harinya kosong oleh pegawai dan
pasien. Hal ini dikarenakan masyarakat Kelurahan Pulau Panggang jika sakit lebih
Tabel 6. Jenis dan Jumlah Kegiatan Usaha Penduduk Kelurahan Pulau Panggang, 2008
No Jenis Kegiatan Usaha Pria (orang) Wanita (orang)
1 Menjahit 1 7
2 Kripik sukun 1 4
3 Dodol rumput laut 2 2
4 Gemlang 1 2
5 Kerapu 70 -
6 Bandeng 25 35
7 Rumput laut 16 -
8 Ikan hias 48 -
9 Karang hias (transplantasi) 15 -
10 Mesin kapal laut 4 -
11 Ojek kapal besar 38 -
12 Ojek kapal kecil 11 -
13 Warung klontong 70 84
14 Restoran dan Warung Nasi 14 47
Jumlah 321 181
Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Berdasarkan tabel maka terlihat jelas jumlah penduduk yang bekerja di
macam-macam bidang. Warung klontong menempati urutan pertama untuk
penduduk wanita yang berwirausaha. Kebanyakan ibu-ibu disana memang
membuka warung untuk menambah pendapatan keluarga. Mereka tidak bisa
selalu bergantung pada penghasilan suaminya yang nelayan. Selain itu kegiatan
ini juga untuk mengisi waktu senggang mereka menunggu suami pulang
membawa hasil.
Terbanyak kedua adalah nelayan budidaya kerapu, yang memang menjadi
tujuan utama program ini. Semua pelakunya adalah laki-laki, tidak ada wanita
dalam kelompok ini. Kemudian terbanyak selanjutnya adalah yang bekerja
sebagai nelayan ikan hias dan pengusaha kapal motor. Pengusaha kapal motor di
Pulau Panggang cukup banyak, karena kapal motor disana dijadikan alat
Pulau ini pun disebut sebagai “ojeg kapal”. Sekali penyeberangan, penumpang
cukup membayar Rp 2.500,00 saja.
Terdapatnya lembaga keuangan dan Bank juga memberi pengaruh
terhadap perputaran ekonomi di Pulau. Masyarakat bisa meminjam modal bantuan
usaha dari lembaga tersebut dan menggunakannya untuk kepentingan usaha.
Disana beroperasi Bank DKI Jakarta yang berkantor di dalam gedung
pemerintahan kabupaten.
4.5. Karakteristik Nelayan di Pulau Panggang6
Nelayan di Pulau Panggang dapat dibedakan menurut jenis ikan yang
ditangkapnya, peralatan yang digunakan, dan menurut status nelayan.
•Berdasarkan jenis ikan yang ditangkapnya: Nelayan ikan hias, Nelayan udang, Nelayan cumi, Nelayan ikan tongkol, Nelayan kerapu, Nelayan
musiman yang menagkap apa adanya tergantung musim
•Berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan: Nelayan pancing, Nelayan bubu, Nelayan jaring, Nelayan muroami, Nelayan jaring tegur
•Berdasarkan status nelayan: Nelayan mandiri, Nelayan yang bekerja untuk pemilik kapal yang biasanya masih milik keluarga, Nelayan pekerja yang
digaji, Nelayan bagi hasil, Nelayan yang melaut sebagai upaya mendapatkan
tambahan penghasilan
Pada umumnya yang menjadi nelayan adalah yang tidak tamat SD (14,29%)
dan tamat SD (76,19%). Sedangkan semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin kecil presentasinya. Bisa dilihat pada Tabel 7 berikut:
6
Diambil dan disarikan dari : EKSTENSIFIKASI KAPASITAS KELOMPOK SEA FARMING (Laporan Pendahuluan), kerjasama Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan PT. EDECON PRIMAMANDIRI, 2008.
Umumnya nelayan di Pulau panggang melakukan perjalanan/penangkapan
dalam satu hari perjalanan (satu hari), terutama nelayan ikan hias. Hanya sedikit
yang melaut lebih dari satu minggu dalam sekali trip. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat diklasifikasikan;
• Melaut satu hari (pagi sampai sore) dan pada hari keduanya libur. • Tiap hari melaut tetapi hanya setengah hari
• Bila berencana melaut lebih dari satu hari maka yang mereka lakukan umumnya adalah melaut selama enam hari. Mereka tidak melaut pada
hari Jumat (namun ketentuan tidak melaut pada hari Jumat sudah mulai
tidak diberlakukan lagi sejak akhir tahun 80’an)
4.6. Konteks Lokasi SF7
Berdasarkan kondisi geofisik dan oseanografi, di perairan Pulau Semak
Daun dapat diterapkan sistem budidaya pen culture (sistem kandang), cage
culture (sistem karamba jarring apung, KJA), Longline dan sea ranching. Cage culture diterapkan di kawasan perairan laut dangkal yang memiliki kedalaman
5-17 meter pada saat surut dan memiliki arus laut 0,15-0,35 meter/detik dengan
substrat dasar berupa pasir atau batu. Berdasarkan kriteria tersebut, lokasi yang
cocok adalah perairan yang dekat dengan pintu masuk air ke dalam kawasan
karang dalam Pulau Semak Daun. Dari sedikitnya empat pintu masuk dan/atau
keluar air pada saat pasang dan surut, yakni Goba Tipis di utara kawasan, Nawi
dan Blencong di selatan, dan Goba Sempit di Barat Daya. Pintu Goba Tipis
merupakan tempat yang paling cocok.
7
Diambil dan disarikan dari : EKSTENSIFIKASI KAPASITAS KELOMPOK SEA FARMING (Laporan Pendahuluan), kerjasama Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan PT. EDECON PRIMAMANDIRI, 2008.
Gambar 7. Balai Hatcheri Karang Congkak
Gambar 8. Balai SF di Semak Daun
Selain itu lokasi yang cocok untuk budidaya laut dengan menggunakan
sistem cage culture ini adalah perairan yang terletak di sebelah tenggara Pulau
Semak Daun atau di sebelah luar pintu Goba Sempit. Lokasi terakhir ini meskipun
berada di luar perairan karang dalam, relatif terlindungi oleh terumbu karang baik
pada musim barat maupun pada musim timur. Luas kawasan yang potensial untuk
pengembangan cage culture di perairan Pulau Semak daun ini diperkirakan
mencapai 1,81 hektar, yaitu seluas 0,70 hektar di pintu Goba Tipis dan 1,11 hektar