• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD JI ALAH. Berarti: gaji/upah. 1 Ji'alah suatu istilah dalam ilmu fiqh,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD JI ALAH. Berarti: gaji/upah. 1 Ji'alah suatu istilah dalam ilmu fiqh,"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD JI’ALAH

A. Pengertian Ji’alah

Berarti: gaji/upah.1 Ji'alah suatu istilah dalam ilmu fiqh, artinya meminta barang yang hilang dengan bayaran tertentu, atau telah ditentukan besar kecilnya, contohnya adalah seperti perkataan pemilik motor yang hilang, “barang siapa yang dapat mengembalikan motor saya akan saya beri imbalan / bayaran sekian rupiah”, dan sebagainya.2 Menurut Ibnu Rusyd, ji’alah atau Al-Ju’l ialah, pemberian upah atas suatu manfaat yang diduga bakal terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau mencari hamba yang lari.3

Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam ji'alah berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan atau perbuatan tertentu.4 Dalam terminologi fiqh berarti suatu iltizam 5 dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu

1

Husin Al Babsyi, Kamus Al-Kautsar Lengkap, Bangil : Yayasan Pesantren Islam, 1991, Cet-5,, hlm 46

2

M. Shodiq, Kamus Istilah Agama, Bonafida Cipta Pratama, Jakarta: 1991, hlm 162-163

3

Ibnu Rusyd, Bidayatu ‘l-Mujtahid,,Alih Bahasa oleh M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Semarang : Asy-Syifa, 1990, hlm 230

4

Abdul Azis Dahlan [et al], Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1997, Cet-I, hlm 817

5

Secara harfiah, iltizam artinya “keharusan atau kewajiban”. Sedang secara istilahiyah iltizam adalah “akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu untuk”. Lihat Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet-I, hlm 34

(2)

secara suka rela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan, misalnya seorang berkata: “barang siapa yang dapat menemukan surat-surat berharga saya yang hilang, maka ia akan saya beri imbalan upah seratus ribu rupiah”.6

Mazhab Maliki mendefinisikan ji'alah sebagai suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatau jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang.7 Mazhab Syafi’i mendefinisikan ji'alah dengan “seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.8 Definisi yang dikemukakan Mazhab Maliki menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan, sedangkan Mazhab Syafi’i menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.9 Mazhab Hanafi dan Hanbali tidak membuat definisi tertentu terhadap ji'alah, meskipun mereka melakukan pembahasan tentang ji'alah dalam kitab-kitab fiqh.10

6

Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 817

7 Ibid 8 Ibid 9 Ibid 10 Ibid

(3)

Meskipun ji'alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah, ulama Mazhab Hanbali, ia dapat dibedakan dengan Ijarah11 dari lima segi.

Pertama, pada ji'alah upah atau hadiah yang dijanjikan hanya boleh

diterima oleh orang yang menyatakan sanggup untuk mewujudkan apa yang menjadi objek pekerjaan atau perbuatan tersebut, jika pekerjaan atau perbuatan tersebut telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang telah diberikannya meskipun pekerjaan itu belum sempurna dilaksanakannya.

Kedua, pada ji'alah terdapat unsur gharar (penipuan, spekulasi,

untung-untungan) karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan ataupun cara dan bentuk penyelesaian pekerjaannya. Sedangkan dalam ijarah, batas waktu penyelesaian, bentuk pekerjaan, dan cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam perjanjian, sehingga orang yang melaksanakan pekerjaan dalam ijarah harus mengerjakan pekerjaan yang dijadikan objek perjanjian sesuai dengan batas waktu dan bentuk pekerjaan yang disebutkan dalam transaksi. Dengan kata lain, yang dipentingkan dalam ji'alah

11

AL Ijarah berasal dari kata Al Ajru yang berarti Al ‘iwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah). Menurut pengertian syara’, Al Ijarah ialah: “suatau jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.”lihat Sayyid Sabiq, fiqh sunnah, Beirut : Daar Al Fikr, tt, hlm 265

(4)

adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu penyelesaian ataupun bentuk atau cara mengerjakannya.

Ketiga, pada ji'alah tidak dibenarkan adanya pemberian imbalan upah atau

hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan. Sedangkan dalam ijarah, pemberian upah terlebih dahulu dibenarkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian, baik sebelum pekerjaan dilaksanakan maupun ketika pekerjaan sedang berlangsung.

Keempat, tindakan hukum yang dilakukan dalam ji’alah bersifat sukarela.

Sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan (fasakh) selama pekerjaan belum dimulai tanpa menimbulkan akibat hukum, sedangkan ijarah merupakan transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Dengan demikian, jika perjanjian tersebut dibatalkan, maka tindakan itu menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan, salah satu pihak yang melakukan perjanjian ijarah dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang lain jika perjanjian ijarah tersebut dibatalkan.

Kelima, dari segi ruang lingkupnya, Mazhab Maliki menetapkan kaidah

bahwa semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ji'alah boleh menjadi objek dalam transaksi ijarah, tetapi tidak semua yang dibenarkan menjadi objek dalam transaksi ijarah dibenarkan pula menjadi objek dalam transaksi ji'alah. dengan kata lain, ruang lingkup ijarah lebih luas dari pada ruang lingkup ji'alah. berdasarkan kaidah tersebut maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, atau menjadi pembantu rumah tangga selama sebulan misalnya, dapat menjadi objek dalam transaksi ijarah., tetapi tidak menjadi objek

(5)

dalam transaksi ji'alah. Kedua contoh perbuatan tersebut tidak sah menjadi objek transaksi ji'alah karena pihak yang menjanjikan upah pekerjaan tersebut telah mendapatkan manfaat dari kedua pekerjaan tersebut meskipun sumur yang digali tidak sampai menemukan air, atau meskipun pembantu rumah tangga itu belum cukup sebulan bekerja, padahal pihak yang melakukan pekerjaan tersebut tidak berhak menerima hadiah atau upah sebelum pekerjaan tersebut dilaksanakannya dengan sempurna.12

B. Dasar Hukum Ji’alah

Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa ji'alah boleh dilakukan berdasar hal-hal berikut:

a. Firman Allah SWT ketika menguraikan cerita tentang Nabi Yusuf A.S:

Artinya:“Penyeru-penyeru itu berkata: “kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”(Q.S. 12:72).13

b. Hadist yang menceritakan bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan cara ji'alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara

12

Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 818

13

Tim Tashih Departemen Agama, Al Qur’an dan Tafsirnya Jilid V, Jakarta : PT Bhakti Wakaf, 1995, hlm 24

(6)

mereka berhasil mengobati seseorang dengan cara membaca surat Al-Fatihah. Ketika mereka menceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah s.a.w karena takut kalau hadiah itu tidak halal, Rasulullah s.a.w tertawa sambil bersabda:

Artinya : “tahukan Anda bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif)?

Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian” (HR. Al-Jama’ah

[mayoritas ahli hadist] kecuali Nasa’i).

c. ji'alah dapat dibenarkan karena merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebagaimana halnya dengan ijarah dan mudarabah 14 (perjanjian kerjasama dagang).

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ji'alah yang dibenarkan hanya terbatas dalam hal menjanjikan upah untuk mengembalikan budak yang melarikan diri (Al-‘abd Al ‘abiq), meskipun tanpa persyaratan tertentu. Bolehnya melakukan

ji'alah yang khusus untuk mengambalikan budak itu mereka dasarkan pada dalil

hukum yang disebut dengan istihsan 15 (menilai sebagai baik, positif). Mazhab

14

Mudharabah berasal dari kata Al-dharbu fi Al-Ardhi yaitu bepergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata Al Qardhu yang berarti Al Qath’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Disebut juga mu’amalah, yang dimaksud disini, ialah: akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan. Dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Lihat Sayyid Sabiq, Op.cit,, hlm 276

15

istihsan menurut bahasa adalah menganggap sesuatu itu baik. sedang menurut istilah ulama ushul fiqh, istihsan ialah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafiy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Dina Utama Semarang, 1994, hlm110

(7)

Hanafi melarang ji'alah selain perbuatan di atas. Alasan mereka, didalam ji'alah terkandung unsur gharar, karena didalamnya boleh saja tidak ditegaskan batas waktu dan bentuk atau cara melaksanakannya, sebagai mana dijelaskan di atas bahwa perbuatan yang menandung gharar itu sendiri merugikan salah satu pihak dan dilarang dalam Islam.16

Sebagian ulama ada yang melarangnya, diantaranya Ibnu Hazm. Didalam kitab Al-Muhalla, ia mengatakan: “tidak diperbolehkan men-ji’alah-kan seseorang, siapa yang berkata kepada orang lain: “jika kau dapat mengembalikan

kepadaku, budakku yang melarikan diri, maka aku berkewajiban membayarmu sekian dinar. Atau berkata: “jika kau melakukan ini dan ini, aku akan memberikan kepadamu sekian dirham”. Dan kalimat-kalimat lain yang serupa

dengan itu, lalu benar-benar terjadi (berhasil). Atau seseorang berseru dan bersaksi kepada dirinya: “siapa yang dapat membawakanku ini…, maka ia akan

memperoleh…lalu berhasil”, maka orang tadi tidak berkewajiban membayar apa

pun tetapi ia disunahkan menepati janjinya. 17

Demikian pula bagi orang yang dapat mengembalikan budak yang melarikan diri, ia tidak berhak mendapatkan sesuatu. Baik si penyuruh itu tahu bahwa orang-orang yang datang itu benar-benar membawa budaknya yang kabur (melarikan diri), atau tidak. Kecuali jika ia disewa untuk memenuhi tugas tertentu

16

Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 818

17

(8)

dalam waktu tertentu, atau tugas untuk membawanya dari tempat tertentu. Maka si pelaksana berhak mendapatkan bayaran”. 18

Namun bagi kaum yang mewajibkan dibayarnya upah tersebut, dan mereka menentukan wajibnya orang yang memenuhi janjinya, mereka berdalil pada firman Allah:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu.” (Q.S. 5 Ayat 1) Dan di dalam Al-Quran surat Yusuf:

Artinya: “Mereka berkata: kami kehilangan piala raja. Dan siapa yang dapat

mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta. Dan aku menjamin terhadapnya.” (Q.S 12 Ayat 72)

Mereka pun berdalil pada hadits pengobatan dengan ayat Al-Qur’an, dengan upah imbalan beberapa ekor domba.19

C. Rukun Ji’alah a. Lafazh

Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa agar perbuatan hukum (iltizam) yang dilakukan dalam bentuk ji'alah itu dipandang

18

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid III, Kairo : Daar Al Fikr, 1983, hlm 292

19

(9)

sah, maka harus ada ucapan atau shighat20 dari pihak yang menjanjikan upah

atau hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain untuk melakukan perbuatan yang diharapkan dan jumlah upah yang jelas.

Kalimat tersebut tidak mesti lahir dari orang yang secara langsung memerlukan jasa dari orang yang mengerjakan perbuatan yang diharapkan, tetapi dapat saja lahir dari wakilnya atau dari orang lain yang bersedia memberikan imbalam jasa atas keberhasilan pekerjaan itu. karena ji'alah merupakan tindakan hukum yang bersifat sepihak, maka orang yang akan mengerjakan pekerjaan yang diharapkan itu juga tidak harus menyatakan secara tegas bahwa ia bersedia melaksanakan pekerjaan tersebut, meskipun orang yang menjanjikan upah secara tegas menunjuk orang itu untuk melaksanakannya. Ji'alah menjadi sah meskipun hanya ucapan ijab21 yang

ada , tanpa adanya ucapan qabul22.23 Dengan kata lain yaitu, bahwa kalimat lafazh itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.24

20

Shighat akad yang terdiri dari ijab dan Kabul sesungguhnya merupakan ekspresi kehendak (iradah) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari perikatan akad. Lihat Ghufron A Mas’adi, Op.cit, hlm 90

21

Ijab adalah pernyataan pertama yang dinyatakan oleh salah satu dari muta’aqidain yang mencerminkan kesungguhan kehendak untuk mengadakan perikatan. Ibid, hlm 90

22

Qabul adalah pernyataan oleh pihak lain setelah ijab yang mencerminkan kesungguhan kehendak untuk mengadakan perikatan. Ibid, hlm 90

23

Abdul Azis Dahlan [et al], Op.cit, hlm 819

24

(10)

b. Orang yang menjanjikan upahnya

Yang menjanjikan upah itu boleh yang kehilangan atau orang lain.25 c. Jenis pekerjaan

Mencari barang yang hilang.26 d. Upah

Disyaratkan keadaan upah, barang yang tertentu.27

D. Persyaratan Ji’alah

Agar perbuatan ji'alah dapat dipandang sah, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

Pertama, orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang

cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu : baligh, berakal, dan cerdas. Jika orang tersebut kanak-kanak, atau orang gila, atau orang yang berada dibawah pengampuan, maka ji'alah tidak sah. Seadangkan bagi orang yang melaksanakan pekerjaan, jika orangnya telah ditentukan maka ia haruslah orang yang cakap untuk melakukan pekerjaan tersebut. Akan tetapi, jika orangnya tidak ditentukan secara tegas siapapun yang mendengar atau mengetahui adanya ji'alah itu berhak melaksanakannya.

Kedua, upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang

bernilai sebagai harta dalam jumlah yang jelas. Jika upah atau hadiah itu adalah 25 Ibid 26 ibid 27 ibid

(11)

sesuatu yang haram seperti minuman keras maka ji'alah menjadi bathal, karena minuman keras tidak dipandang sebagai harta menurut pendapat ulama dari Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Ketiga, pekerjaan atau perbuatan yang diharapkan itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’. Jika perbuatan itu dilakukan untuk sesuatu yang sia-sia semata-mata perlombaan tertawa selama berjam-jam, maka ji'alah tidak sah. Demikian juga jika perbuatan itu perbuatan yang haram seperti perbuatan yang erotis, maka ji'alah tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :

Artinya: “Dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Q.S. 5 Ayat 2).

Mazhab Syafi’i menambahkan, perbuatan itu harus yang memerlukan usaha dan kemampuan karena orang yang melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan usaha tidak berhak mendapat imbalan upah.

Keempat, mazhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat bahwa dalam

masalah tertentu, seperti untuk mengembalikan budak yang melarikan diri,

ji'alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu. Sedangkan Mazhab Hanbali

berpendapat boleh saja perkerjaan itu dibatasi dengan waktu tertentu.

Kelima, mazhab Maliki menambahkan pula syarat kelima, yaitu pekerjaan

(12)

secara berulang-ulang seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak. 28

E. Pembatalan Ji’alah

Karena mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang ji'alah sebagai perbuatan hukum yang bersifat suka rela menurut mereka baik pihak pertama (pemberi janji) maupun pihak kedua (yang melaksanakan pekerjaan) dapat melakukan pembatalan (fasakh) terhadap ji'alah yang mereka sepakati. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang waktu bolehnya melakukan pembatalan tersebut.29

Mazhab Maliki berpendapat bahwa ji'alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua sedangkan Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan tersebut belum selesai dilaksanakan, sebagai halnya dengan perikatan sukarela lainnya. Apabila salah satu pihak membatalkan ji'alah sebelum pekerjaan dimulai atau pihak kedua yang telah ditentukan dengan tegas orangnya oleh pihak pertama membatalkan ji’alah ketika pekerjaan sedang berlangsung. maka pembatalan itu tidak menimbulkan akibat hukum, baik kepada pihak pertama maupun terhadap pihak kedua. Alasannya ialah, pada kondisi pertama pihak kedua belum melakukan perbuatan

28

Abdul Azis Dahlan [et al], loc.cit

29

(13)

apapun, sedangkan pada kondisi kedua tujuan pihak pertama belum tercapai. Akan tetapi, jika pembatalan dilakukan oleh pihak pertama ketika pihak kedua sedang melaksanakan pekerjaan tersebut, maka menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali pihak pertama wajib membayar upah kepada pihak kedua, sesuai dengan volume atau masa kerja yang telah dilaksanakannya.30

Apabila pekerjaan ji'alah dilaksanakan oleh beberapa orang secara bersama-sama baik mereka telah ditentukan terlebih dahulu oleh pihak pertama ataupun tidak ditentukan sama sekali sebelumnya, kemudian mereka berhasil melaksanakan pekerrjaan tersebut, maka upah atau hadiah yang dijanjikan pihak pertama dibagi diantara mereka secara bersama-sama. Dengan kata lain pihak pertama tidak berkewajiban menambah upah dari jumlah yang telah ditentukan sebelumnya meskipun yang mengerjakannya lebih dari satu orang.31

Selanjutnya, Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa pihak pertama dapat mengubah jumlah upah atau hadiah yang dijanjikannya semula, baik dengan cara menambah jumlahnya atau menguranginya. Akan tetapi, menurut Mazhab Hanbali perubahan tersebut hanya boleh dilakukan ketika pekerjaan itu belum dimulai. Apabila perubahan jumlah tersebut dilakukan setelah pekerjaan yang dimaksud sudah dilaksanakan, khususnya perubahan dalam bentuk pengurangan jumlah hadiah maka perubahan tersebut tidak berlaku. Sedangkan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa perubahan jumlah hadiah tetap

30

ibid

31

(14)

boleh dilakukan oleh pihak pertama selama pekerjaan dimaksud belum berhasil diselesaikan oleh pihak kedua. Akan tetapi, jika pihak pertama mengurangi jumlah upah atau hadiah tersebut ketika pekerjaan sudah berlangsung maka jumlah yang dilakukan ialah jumlah upah yang wajar menurut kebiasaan setempat (Ujrah Al Misl). Alasan Mazhab Syafi’i ialah perubahan yang dilakukan pihak pertama itu dipandang sebagai tindakan pembatalan (fasakh) terhadap pemberitahuannya yang pertama tentang kesediannya untuk memberi upah yang telah ditentukan terdahulu. Pembatalan tersebut melahirkan konsekuensi bahwa pihak pertama wajib memberikan upah yang wajar menurut kebiasaan setempat kepada pihak kedua. 32

32

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adapun rumusan masalah yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana keterkaitan intensitas cahaya, suhu dan kelembapan pada interval waktu satu jam yang

pengembangan, implementasi, dan evaluasi, namun hanya dilaksanakan hingga tahap keempat, yaitu implementasi. Validasi media dilakukan oleh ahli materi, ahli media, dan

dikarenakan pada masalah spare part original sudah tertera segel asli dan juga sudah terjamin dari segi pemasaran spare part, namun dalam proses jual beli

Penilaian portofolio merupakan metode penilaian berkesinambungan dengan berbagai kumpulan informasi atau dokumentasi hasil pekerjaan seseorangyang diambil selama proses

Bagian yang berbatasan dengan sitotrofoblas disebut mesoderm extraembrional somatopleural, kemudian akan menjadi selaput korion (chorionic plate)....  Bagian yang

DFD Level 1 ) PENDAHULUAN TEORI PENUNJANG METODOLOGI PERANCANGAN IMPLEMENTASI UJI COBA KASIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA 6 Registrasi Pengguna Tb Pengguna Data Pengguna Data Pengguna

Dengan konsentrasi yang sama besarnya kenaikan titik didih larutan NaCI 0,1 m adalah dua kali dari larutan urea 0,1 m sebab …C. Sifat koligatif larutan jenis