• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK ARAFAH JL. ARAFAH I NO. F/8 VILLA ILHAMI

ISLAMIC - TANGERANG

PERIODE 20 FEBRUARI – 28 MARET 2013

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

KARTIKA WIDYANTY, S.Farm.

1206313261

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK ARAFAH JL. ARAFAH I NO. F/8 VILLA ILHAMI

ISLAMIC - TANGERANG

PERIODE 20 FEBRUARI – 28 MARET 2013

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Apoteker

KARTIKA WIDYANTY, S.Farm.

1206313261

ANGKATAN LXXVI

FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK JUNI 2013

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Arafah. Shalawat serta Salam semoga selalu tercurah kepada rahmatan lil ‘alamin, Rasulullah saw.

Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa Program Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Indonesia untuk mencapai gelar profesi Apoteker. Selain itu juga memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memahami peran dan tugas Apoteker di dalam suatu apotek. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan bimbingan yang diberikan, kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, Apt., MS., selaku Dekan Fakultas Farmasi UI;

2. Bapak Dr. Harmita, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI yang telah memberikan pengarahan, nasihat dan ilmu selama studi apoteker;

3. Ibu Lily Komiarsih, S.Si., Apt., selaku pembimbing di Apotek Arafah yang telah memberikan ilmu, motivasi dan inspirasi yang bermanfaat bagi penulis; 4. Ibu Dra. Juheini, M.Si., Apt., selaku pembimbing di Fakulta Farmasi UI yang

telah memberikan waktunya untuk ilmu dan saran yang tidak terbatas kepada penulis;

5. Seluruh dosen dan staf tata usaha Fakultas Farmasi UI atas ilmu dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan di Program Profesi Apoteker;

6. Keluarga besar di Apotek Arafah atas kehangatan, keceriaan dan berbagi ilmu selama pelaksanaan PKPA;

7. Keluarga tercinta yang telah memberikan bantuan moril dan materil dan atas kesabarannya, kasih sayang, dukungan, perhatian dan doa untuk menyelesaikan pendidikan profesi Apoteker dengan sebaik mungkin;

8. Rekan PKPA di Apotek Arafah khususnya (Anisa Prima Hilmi, S.Far) yang selalu membantu dan berbagi ilmu selama pelaksanaan PKPA;

(5)

9. Seluruh sahabat dan teman Program Profesi Apoteker, khususnya Apoteker Angkatan LXXVI Fakultas Farmasi UI, selaku teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan dan semangat.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan PKPA ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Tak ada yang penulis harapkan selain sebuah keinginan agar laporan PKPA ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.

Penulis 2013

(6)
(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan... 2

BAB 2 TINJAUAN UMUM ... 3

2.1 Pengertian Apotek ... 3

2.2 Landasan Hukum Apotek ... 3

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek……… ... 5

2.4 Tata Cara Pemberian Izin Apotek... 6

2.5 Kelengkapan Apotek... 10

2.6 Tenaga Kerja Apotek.. ... 11

2.7 Apoteker Pengelola Apotek.. ... 12

2.8 PengalihanTanggung Jawab Apoteker… ... 14

2.9 Pencabutan Surat Izin Apotek... 15

2.10 Sediaan Farmasi.. ... 16

2.11 Pelayanan Kefarmasian di Apotek... 22

2.12 Pengelolaan Narkotika.. ... 27

2.13 Pengelolaan Psikotropika ... 30

2.14 Pengadaan Persediaan Apotek ... 31

2.15 Penentuan Prioritas Pengadaan ... 33

2.16 Strategi Pemasaran Apotek ... 35

BAB 3 TINJAUAN KHUSUS APOTEK ARAFAH ... 37

3.1. Apotek Arafah ... 37

3.2. Visi dan Misi. ... 37

3.3. Tujuan dan Fungsi... 38

3.4. Lokasi dan Tata Ruang ... 38

3.5. Sumber Daya Manusia dan Struktur Organisasi... 39

3.6. Tugas dan Fungsi Setiap Jabatan ... 40

3.7. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Lainnya ... 42

3.8. Pelayanan Kefarmasian Apotek... 45

3.9. Kegiatan Administrasi dan Keuangan ... 48

BAB 4 PEMBAHASAN... 51

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Kesimpulan... 55

5.2. Saran ... 55

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penandaan obat bebas ... 16

Gambar 2.2 Penandaan obat bebas terbatas ... 17

Gambar 2.3 Penandaan obat keras ... 18

Gambar 2.4 Penandaan obat narkotika ... 19

Gambar 2.5 Penandaan untuk jamu ... 20

Gambar 2.6 Penandaan untuk obat herbal terstandar ... 21

Gambar 2.7 Penandaan untuk fitofarmaka ... 21

Gambar 2.8 Matriks analisa VEN-ABC ... 34

Gambar 3.1 Alur penerimaan barang... 44

vii Universitas Indonesia

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Formulir APT-1... 58

Lampiran 2. Contoh Formulir APT-2... 60

Lampiran 3. Contoh Formulir APT-3... 61

Lampiran 4. Contoh Formulir APT-4... 67

Lampiran 5. Contoh Formulir APT-5... 69

Lampiran 6. Contoh Formulir APT-6... 71

Lampiran 7. Contoh Formulir APT-7... 72

Lampiran 8. Peta Lokasi Apotek Arafah ... 73

Lampiran 9. Denah Apotek Arafah ... 74

Lampiran 10. Desain Eksterior Apotek Arafah ... 75

Lampiran 11. Surat Pemesanan Psikotropika ... 76

Lampiran 12. Surat Pemesanan Barang Apotek Arafah ... 77

Lampiran 13. Kartu Stok Barang Apotek Arafah... 78

Lampiran 14. Kwitansi Apotek Arafah ... 79

Lampiran 15. Etiket Obat... 80

Lampiran 16. Struktur Organisasi Apotek Arafah ... 81

Lampiran 17. Laporan Penggunaan Narkotika... 82

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pada pasien (patient oriented) yang mengacu kepada Pharmaceutical Care (PC). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula terfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi sebuah bentuk pelayanan yang komprehensif dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien. Konsekuensi dari adanya perubahan tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan berkomunikasi dengan pasien agar dapat memberikan pelayanan yang baik. Adanya interaksi antara apoteker dengan pasien ini diharapkan mampu mendukung tercapainya tujuan terapi. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

Pelayanan Kefarmasian atau Pharmaceutical Care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan kefarmasian menggambarkan adanya interaksi antara apoteker dengan pasien dan rekan sejawat lainnya, seperti dokter dan perawat. Bentuk interaksi antara apoteker dengan pasien tersebut, antara lain melaksanakan pemberian informasi obat, monitoring penggunaan obat untuk memastikan tujuan akhir terapi dapat dicapai dan proses terapi yang terdokumentasi dengan baik. Adanya interaksi yang baik ini dapat menghindari terjadinya kesalahan dalam pengobatan (medication error). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia tentang Standar Pelayanan Kefarmasian, medication error adalah kejadian merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang seharusnya dapat dicegah. Apoteker juga dapat memberikan konseling bagi pasien untuk meningkatkan pemahaman pasien terhadap terapi yang dijalaninya. Peningkatan pemahaman ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi yang sedang dijalaninya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

(11)

2

Apoteker sebagai penanggung jawab sebuah apotek memiliki peranan yang besar dalam menjalankan fungsi apotek berdasarkan nilai bisnis maupun fungsi sosial, terutama perannya dalam menunjang upaya kesehatan dan sebagai penyalur perbekalan farmasi kepada masyarakat. Apoteker dituntut untuk dapat menyelaraskan kedua fungsi tersebut. Kondisi masyarakat yang semakin kritis terhadap kesehatan mereka dan kemudahan mengakses informasi menjadi tantangan tersendiri bagi apoteker di masa depan. Kunjungan masyarakat ke apotek kini tak sekedar membeli obat, namun untuk mendapatkan informasi lengkap tentang obat yang diterimanya.

Kesiapan institusi pendidikan dalam menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai kompetensi menjadi faktor penting dalam menghasilkan apoteker masa depan yang profesional dan berwawasan serta keterampilan yang cukup. Perkuliahan di kampus tidaklah cukup untuk mewujudkan tujuan ini maka diperlukan adanya praktek sebagai sarana berlatih bagi calon apoteker. Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek merupakan wujud nyata dari Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia untuk mempersiapkan apoteker masa depan yang kompeten di bidangnya. PKPA di Apotek Arafah ini diharapkan memberikan manfaat bagi calon apoteker untuk siap terjun di lingkungan masyarakat guna memberikan pelayanan kesehatan yang tepat.

1.2 Tujuan

Tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diselenggarakan di Apotek Arafah, yaitu:

a. Memahami peran dan fungsi apoteker di apotek.

b. Memahami proses pengelolaan apotek yang dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek.

(12)

BAB 2

TINJAUAN UMUM

2.1 Pengertian Apotek

Apotek adalah tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, serta perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004). Pada perkembangannya, apotek tidak terbatas pada pekerjaaan kefarmasian melainkan pada pelayanan kefarmasian. Pengertian pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan bahan obat, bahan obat dan obat tradisional (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009a). Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien, oleh karena itu pengertian apotek sekarang adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009a).

2.2 Landasan Hukum Apotek

Apotek memiliki landasan hukum yang diatur dalam:

a. Undang-Undang Kesehatan RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan ini mengatur tentang pengertian kesehatan dan sumber daya yang terlibat dalam upaya kesehatan, hak dan kewajiban tenaga kesehatan, perlindungan pasien, pelayanan kesehatan tradisional, pencegahan penyakit, kesehatan reproduksi, kesehatan ibu, bayi dan anak, penyakit menular dan penyakit tidak menular, pembiayaan kesehatan, sumber pembiayaan kesehatan dan ketentuan pidana.

b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Peraturan ini mengatur tentang upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika, pemanfaatan narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan, rehabilitasi medis dan sosial, prekursor narkotika dan peran serta

(13)

4

masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.

c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Peraturan perundang-undangan ini mengatur tentang Undang-undang Psikotropika ini mengatur produksi, peredaran, penyaluran, penyerahan, ekspor dan impor, pengangkutan, transito, pemeriksaan, label dan iklan, kebutuhan tahunan dan pelaporan, pengguna psikotropika dan rehabilitasi, pemantauan prekursor, pembinaan dan pengawasan, pemusnahan, peran serta masyarakat, penyidikan dan ketentuan pidana.

d. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Peraturan ini mengatur tentang asas dan tujuan pekerjaan kefarmasian; penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, atau penyaluran dan pelayanan sediaan farmasi; tenaga kefarmasian; disiplin tenaga kefarmasian; serta pembinaan dan pengawasan pekerjaan kefarmasian. e. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang perubahan atas PP No.26

Tahun 1965 tentang Apotek

Peraturan ini mengatur tentang tugas dan fungsi apotek dikembalikan kepada fungsi semula sebagai sarana penyalur perbekalan farmasi dan sebagai sarana dilakukan pekerjaan kefamasian oleh tenaga-tenaga farmasi dalam rangka pengabdian profesi kepada masyarakat.

f. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Kententuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek

Peraturan ini mengatur tentang ketentuan umum perizinan apotek, pelimpahan wewenang pemberi izin apotek, persyaratan apoteker pengelola apotek (APA), persyaratan apotek, tata cara pemberian izin apotek, pengelolaan apotek, pelayanan apotek, pengalihan tanggung jawab apotek, pencabutan surat izin apotek, pembinaan dan ketentuan pidana terhadap pelanggar, serta ketentuan peralihan apotek.

(14)

g. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian

Peraturan ini mengatur tentang registrasi tenaga kefarmasian, izin praktik dan izin kerja, komite farmasi nasional, pembinaan dan pengawasan tenaga kerja kefarmasian.

h. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Peraturan ini mengatur tentang standar pelayanan farmasi sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi. Di dalam peraturan ini dibahas tentang pengelolaan sumber daya yang dibutuhkan dalam pelayanan farmasi; pelayanan yang dilakukan dan evaluasi mutu pelayanan farmasi.

i. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2003 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek

Peraturan ini mengatur tentang beberapa perubahan ketentuan tata cara pemberian izin apotek dari Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 diantaranya tentang pihak yang berwenang memberi izin apotek; alur dan proses perizinan apotek; ketentuan apoteker pengelola apotek dan apoteker pendamping; pencabutan izin apotek dan ketentuan pidana.

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek (Presiden Republik Indonesia, 1980)

a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.

b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.

d. Sebagai sarana tempat pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.

(15)

6

2.4 Tata Cara Pemberian Izin Apotek

Seorang apoteker harus mampu dan menguasai dengan baik dan benar bagaimana tata cara perizinan apotek sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini, sehingga apoteker harus mampu dan mengetahui persiapan dan tahapan proses perijinan dimana apotek akan berdiri. Sebuah apotek yang akan berdiri harus memiliki tempat lokasi yang telah dilakukan feasibility study-nya dan lengkap dengan segala kriteria dan surat-surat untuk diproses permohonan izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir model APT-1 (lampiran 1) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993, Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai berikut:

2.4.1 Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas KesehatanKabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1 (Lampiran 1). Beberapa lampiran yang disertakan antara lain: a. Salinan Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)

Surat izin ini digunakan bagi apoteker yang menjalankan tugas profesinya di fasilitas pelayanan kefarmasian. SIPA dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan.

b. Salinan denah bangunan

Denah bangunan dibuat sedemikian rupa dengan bangunan apotek sekurang- kurangnya memiliki ruangan untuk peracikan dan penyerahan resep ada sesuai kebutuhan, ruangan administrasi, ruangan apoteker dan toilet sesuai kebutuhan. Ruangan yang tersedia dimanfaatkan sebaik-baiknya dan dalam pembuatan denah harus jelas pembagian ruang di apotek.

c. Surat yang mengatakan status bangunan

Surat yang menyatakan status bangunan dibuat dalam bentuk akta hak milik/sewa/kontrak. Dapat disertakan salinan surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Alamat dan surat izin tempat/bangunan apotek harus jelas.

(16)

d. Daftar asisten apoteker

Daftar asisten apoteker dibuat lengkap dengan data nama, alamat, tanggal lulus dan nomor surat izin kerja. Asisten apoteker bertindak sebagai tenaga teknis kefarmasian di apotek. Surat izin yang dimiliki oleh asisten apoteker adalah STRTTK yang merupakan bukti tertulis dan diberikan oleh Menteri Kesehatan kepada Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah diregistrasi.

e. Daftar terperinci alat perlengkapan apotek

Alat perlengkapan yang digunakan diapotek dibuat daftar nama dengan spesifikasi alat yang jelas dan jumlah alat yang dimiliki apotek. Perlengkapan apotek tersebut terdiri dari alat pembuatan, pengolahan dan peracikan; perlengkapan dan alat perbekalan farmasi; wadah pengemas dan pembungkus; alat administrasi; serta buku standar yang diwajibkan.

f. Surat pernyataan dari APA bahwa tidak bekerja tetap pada perusahaan farmasi lain dan tidak menjadi APA di apotek lain

Apoteker pengelola apotek (APA) memiliki peran sentral pada pelayanan kefarmasian di apotek. APA memiliki fungsi manajerial pada apotek yang dikelolanya. Tugas tersebut dilakukan dengan penuh tanggung jawab sehingga APA tidak dapat bekerja pada perusahaan farmasi atau menjadi APA di apotek lain. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila APA dan apoteker pendamping berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek, sedangkan apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan APA selama APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus-menerus, telah memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain.

g. Akta perjanjian kerja sama Apoteker Pengelola Apotek (APA) dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA)

Apotek dapat didirikan oleh apoteker sebagai pemilik modal ataupun dapat bekerja sama dengan pemilik modal lain. Dalam kerjasama tersebut harus ada akta perjanjian yang dilegalisasi oleh notaris. Akta tersebut berisi perjanjian

(17)

8

antara APA dengan PSA tentang beberapa hal, seperti kesanggupan APA dalam mengelola apotek dan sistem pembagian hasil usaha. Proses pembuatan akta ini yaitu dengan membuat perjanjian yang dituangkan dalam sebuah akta dengan isi perjanjian yang telah disepakati pihak APA maupun PSA. Akta perjanjian tersebut di tanda tangani oleh pihak APA, PSA dan seorang saksi yang menyaksikan perjanjian tersebut. Notaris yang melegalisasi akta tersebut kemudian akan menanda tangani dan mengeluarkan nomor legalitas yang menandakan akta tersebut telah terdaftar dalam buku khusus legalisasi akta perjanjian.

h. Surat pernyataan pemilik sarana tidak terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat

Sebagai seorang Pemilik Sarana Apotek (PSA) harus memiliki kepribadian yang baik dan tidak terlibat pelanggaran undang-undang terutama di bidang obat. PSA memahami peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang obat agar dapat menyediakan fasilitas dan obat-obat yang sesuai dengan perundang-undangan.

2.4.2 Dengan menggunakan Formulir APT-2 (Lampiran 2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek melakukan kegiatan.

2.4.3 Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat- lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir APT-3 (Lampiran 3).

2.4.4 Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

(18)

setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4 (Lampiran 4).

2.4.5 Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3) atau pernyataan ayat (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan SIA dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-5 (Lampiran 5).

2.4.6 Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-6 (Lampiran 6).

2.4.7 Terhadap surat penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat penundaan.

2.4.8 Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan, atau lokasi yang tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam jangka waktu selambat- lambatnya 12 (dua belas) hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasannya dengan menggunakan formulir model APT-7 (Lampiran 7).

Bila Apoteker menggunakan sarana milik pihak lain dalam pendirian apotek, maka harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Penggunaan sarana apotek yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja sama antara Apoteker dan pemilik sarana.

b. Pemilik sarana yang dimaksud harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perudang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang bersangkutan.

(19)

1 0 2.5 Kelengkapan Apotek

Dalam mendapatkan izin apotek, seorang apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan, harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. Beberapa kelengkapan yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah apotek antara lain tempat atau lokasi, bangunan, perlengkapan apotek, tenaga kerja apotek, dan perbekalan farmasi (Umar, 2011).

2.5.1 Lokasi

Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Persyaratan jarak minimum antar apotek tidak dipermasalahkan lagi, akan tetapi ketentuan ini dapat berbeda, sesuai dengan kebijakan/peraturan daerah masing-masing. Lokasi apotek dapat dipilih dengan mempertimbangkan segi pemerataan dan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah praktek dokter, sarana dan pelayanan kesehatan lain, sanitasi dan faktor- faktor lainnya.

2.5.2 Bangunan

Suatu apotek harus mempunyai luas bangunan yang cukup sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek. Bangunan apotek yang baik hendaknya memiliki ruang tunggu pasien, ruang peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi, ruang kerja apoteker, tempat pencucian alat dan kamar kecil. Bangunan apotek sebaiknya juga memiliki sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, sumber penerangan yang dapat memberikan penerangan yang memadai, alat pemadam kebakaran, serta ventilasi dan sanitasi yang baik. Papan nama apotek dipasang di depan bangunan dengan ketentuan memenuhi ukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam diatas dasar putih, tinggi huruf minimal 5 cm, umumnya terbuat dari papan seng yang pada bagian mukanya memuat nama apotek, nama APA, nomor SIA, alamat apotek dan nomor telepon.

(20)

2.5.3 Peralatan Apotek

Suatu apotek baru yang ingin beroperasi harus memiliki peralatan apotek yang memadai agar dapat mendukung pelayanan kefarmasiannya. Peralatan apotek yang harus dimiliki, antara lain:

a. Peralatan pembuatan, pengolahan dan peracikan seperti timbangan, lumpang, alu, gelas ukur dan lain-lain.

b. Peralatan dan tempat penyimpanan alat perbekalan farmasi seperti lemari obat, lemari pendingin (kulkas), lemari khusus untuk narkotika dan psikotropika. Lemari narkotika harus memenuhi persyaratan yang ada dalam Undang- Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.

c. Wadah pengemas dan pembungkus.

d. Perlengkapan administrasi seperti blanko pesanan, salinan resep, buku catatan penjualan, buku catatan pembelian, kartu stok obat, dan kuitansi.

e. Buku-buku dan literatur standar yang diwajibkan, serta kumpulan perundang- undangan yang berhubungan dengan kegiatan apotek.

2.6 Tenaga Kerja Apotek

Berdasarkan Permenkes RI No. 1322/MENKES/SK/X/2002 apotek harus dikelola oleh seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Apotek juga dapat mempekerjakan tenaga pengganti bila diperlukan. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA tersebut harus menunjuk Apoteker Pendamping, yaitu apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan/atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apabila APA dan Apoteker Pendamping berhalangan melakukan tugasnya karena hal-hal tertentu, APA harus menunjuk Apoteker Pengganti, yaitu apoteker yang menggantikan APA selama APA tersebut tidak berada di tempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus-menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain.

Tenaga kerja di setiap apotek dapat berbeda-beda jumlahnya, tergantung pada kebutuhan masing-masing apotek. Sumber daya manusia yang dapat bekerja di apotek selain Apoteker Pengelola Apotek di antaranya adalah Asisten Apoteker, yaitu mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berhak

(21)

1 2 melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker dan bertugas membantu Apoteker Pengelola Apotek dalam melakukan pekerjaan teknis kefarmasian. Tenaga kerja di apotek yang tidak diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan dan perundang-undangan dapat bermacam-macam jenis dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan apotek tersebut, seperti juru resep, kasir dan petugas keamanan.

2.7 Apoteker Pengelola Apotek

Permenkes RI No. 1322/MENKES/SK/X/2002 menjelaskan Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah diberi surat Izin Apotek (SIA). Sebelum melaksanakan kegiatannya, seorang APA wajib memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yang berlaku untuk seterusnya selama apotek masih aktif melakukan kegiatan dan APA dapat melakukan pekerjaannya serta masih memenuhi persyaratan. Seorang APA bertanggung jawab akan kelangsungan hidup apotek yang dipimpinnya dan juga bertanggung jawab kepada pemilik modal apabila bekerja sama dengan pemilik sarana apotek (PSA).

Apoteker yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian harus memenuhi persyaratan-persyaratan, sebagai berikut (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 35, 37, 52, 54):

a. Memiliki keahlian dan kewenangan. b. Menerapkan Standar Profesi.

c. Didasarkan pada Standar Kefarmasian dan Standar Operasional d. Memiliki sertifikat kompetensi profesi.

e. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).

f. Wajib memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) bagi Apoteker Pengelola. g. Apotek (APA) dan Apoteker Pendamping di Apotek.

h. Apoteker Pengelola Apotek (APA) hanya dapat melaksanakan praktek di satu apotek sedangkan Apoteker Pendamping hanya dapat melaksanakan praktek paling banyak di tiga Apotek.

(22)

Surat Tanda Registrasi (STRA) merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi.

STRA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu lima tahun selama masih memenuhi persyaratan. Syarat yang harus dipenuhi apoteker untuk memperoleh STRA adalah (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 40):

a. Memiliki ijazah Apoteker.

b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi.

c. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker.

d. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktek.

e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker dan Apoteker Pendamping untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). SIPA dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. SIPA dapat dibatalkan demi hukum apabila pekerjaan kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin. Syarat yang harus dipenuhi apoteker untuk memperoleh SIPA adalah (Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Pasal 55):

a. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)

b. Tempat atau ada tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian atau fasilitas kesehatan yang memiliki izin.

c. Rekomendasi dari organisasi profesi

Tugas dan kewajiban apoteker di apotek adalah sebagai berikut:

a. Memimpin seluruh kegiatan apotek, baik kegiatan teknis maupun non teknis kefarmasian sesuai dengan ketentuan maupun perundangan yang berlaku. b. Mengatur, melaksanakan, dan mengawasi administrasi.

c. Mengusahakan agar apotek yang dipimpinnya dapat memberikan hasil yang optimal sesuai dengan rencana kerja dengan cara meningkatkan omset, mengadakan pembelian yang sah dan penekanan biaya serendah mungkin.

(23)

1 4 d. Melakukan pengembangan usaha apotek

Wewenang dan tanggung jawab APA meliputi (Umar, 2011): a. Menentukan arah terhadap seluruh kegiatan

b. Menentukan sistem (peraturan) terhadap seluruh kegiatan c. Mengawasi pelaksanaan seluruh kegiatan

d. Bertanggung jawab terhadap kinerja yang dicapai.

2.8 Pengalihan Tanggung Jawab Apoteker

Pengalihan tanggung jawab apoteker diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MenKes/SK/X/2002 (Pasal 19 dan 24), yaitu:

a. Apabila Apoteker Pengelola Apotek (APA) berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA harus menunjuk apoteker pendamping.

b. Apabila APA dan Apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk apoteker pengganti.

c. Apabila APA meninggal dunia, dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat jam, ahli waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

d. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat Apoteker pendamping, pelaporan oleh ahli waris wajib disertai penyerahan resep, narkotika, psikotropika, obat keras dan kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika.

e. Pada penyerahan resep, narkotika, psikotropika dan obat keras serta kunci tersebut, dibuat berita acara serah terima dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

Penunjukkan Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 menjelaskan jika pengalihan tanggung jawab pengelolaan kefarmasian yang disebabkan karena penggantian Apoteker Pengelola Apotik kepada Apotek Pengganti, wajib dilakukan serah terima resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lainnya serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika. Serah terima tersebut dibuat

(24)

Berita Acara Serah Terima yang dibuat rangkap empat dan ditandatangani kedua belah pihak yang melakukan serah terima.

2.9 Pencabutan Surat Izin Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila:

a. Apoteker tidak lagi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.

b. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus menerus.

c. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Narkotika, Undang- Undang Obat Keras dan Undang-Undang tentang Kesehatan.

d. Surat Izin Praktek Apoteker Pengelola Apotek dicabut.

e. Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat pendirian apotek, serta kelengkapan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya baik merupakan milik sendiri atau pihak lain.

Pelaksanaan pencabutan surat izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan:

a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2(dua) bulan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-12.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan Apotek dengan menggunakan Formulir Model APT-13.

Pembekuan Izin Apotek sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) di atas, dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan ini dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-14. Pencairan Izin Apotek yang dimaksud dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Apabila Surat Izin Apotek dicabut, Apoteker Pengelola

(25)

1 6 Apotek atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengamanan yang dimaksud wajib mengikuti tata cara sebagai berikut:

a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu, dan obat lain serta seluruh resep yang tersedia di apotek. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.

b. Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Wilayah Kantor Kementeriaan Kesehatan atau petugas yang diberi wewenang olehnya, tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam huruf (a).

2.10 Sediaan Farmasi

Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Dalam menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah menggolongkan obat menjadi empat golongan, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, narkotika dan psikotropika. Di apotek, selain empat golongan tersebut juga terdapat obat tradisional yang meliputi obat jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Suplemen dan kosmetik merupakan contoh obat bebas yang juga tersedia di apotek dan dibutuhkan oleh masyarakat di samping obat- obatan lainnya.

2.10.1 Obat bebas (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/83)

Obat bebas adalah obat tanpa peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Contoh obat bebas diantaranya obat batuk hitam, analgesik-antipiretik (panadol®) dan antasida (mylanta®). Tanda khusus yang terdapat pada obat bebas adalah lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi hitam.

(26)

2.10.2 Obat bebas terbatas (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/83)

Obat bebas terbatas adalah obat keras yang dalam jumlah tertentu dapat diserahkan tanpa resep dokter. Obat bebas terbatas memiliki tanda peringatan untuk aturan pemakaian, yaitu:

a. P. No. 1. Awas obat keras! Baca aturan pemakaian. Contohnya Decolgen®, Ultraflu® dan Fatigon®.

b. P. No.2. Awas Obat keras! Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Contohnya Betadine gargle® dan Minosep®.

c. P. No.3. Awas Obat keras! Hanya untuk bagian luar dari badan. Contohnya Fosen enema®, Rivanol® dan Canesten®

d. P. No.4. Awas Obat keras! Hanya untuk dibakar.

e. P. No.5. Awas Obat keras! Tidak boleh ditelan. Contohnya Sulfanilamid puyer steril dan Dulcolax® suppositoria.

f. P. No.6. Awas Obat keras! Obat wasir, jangan ditelan. Ambeven® dan Anusol®.

Tanda khusus yang terdapat obat bebas terbatas adalah lingkaran bulat berwarna biru dengan garis tepi hitam.

Gambar 2.2 Penandaan obat bebas terbatas

2.10.3 Obat keras daftar G (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2396/A/SK/VII/86)

(27)

1 8 Obat keras adalah obat yang dapat diperoleh dengan resep dokter. Contoh obat keras, antara lain obat jantung, diabetes, hormon, antibiotik, psikotropika dan semua obat dalam bentuk injeksi. Tanda pada obat keras berupa lingkaran bulat berwarna bulat merah dengan garis tepi hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi dan harus mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter”.

2.10.4 Psikotropika (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997)

Zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku disebut psikotropika. Psikotropika digolongkan menjadi empat golongan:

a. Psikotropika Golongan I

Psikotropika Golongan I adalah psikotropika yang memiliki potensi dalam mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan ini hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, contohnya antara lain etisiklidin dan MDMA (metilendioksi metilamfetamin).

b. Psikotropika Golongan II

Psikotropika Golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin dan fensiklidin.

c. Psikotropika Golongan III

Psikotropika Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya amobarbital, pentazosin, pentobarbital, dan siklobarbital.

d. Psikotropika Golongan IV

Psikotropika Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk

(28)

pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya alprazolam, estazolam, diazepam, barbital dan fenobarbital.

Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa Psikotropika golongan I dan II telah dipindahkan menjadi Narkotika golongan I sehingga lampiran mengenai Psikotropika golongan I dan II pada UU No. 5 tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga obat-obat yang tergolong psikotropika saat ini adalah psikotropika golongan 3 dan 4 dalam lampiran UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika.

2.10.5 Narkotika (Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009)

Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, disebut narkotika. Tanda pada obat narkotika adalah palang medali berwarna merah.

Gambar 2.4 Penandaan obat narkotika

Narkotika dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu: a. Narkotika Golongan I

Narkotika Golongan I adalah narkotika yang memiliki potensi sangat tinggi dalam mengakibatkan ketergantungan.Narkotika golongan ini dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.Narkotika Golongan I dalam jumlah terbatas hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk reagensia diagnostik dan reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Contoh narkotika golongan I

(29)

2 0 antara lain tanaman Papaver somniferum (kecuali bijinya), opium, kokain, heroin dan ganja.

b. Narkotika Golongan II

Narkotika Golongan II adalah narkotika yang dapat digunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi tinggi dalam mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan II antara lain morfin, petidin, metadon dan normetadon. c. Narkotika Golongan III

Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi yang ringan dalam mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan III adalah kodein, dihidrokodein, norkodein dan etilmorfin.

2.10.6 Obat Tradisional

Obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat di apotek tidak hanya obat kimia sintetis melainkan obat tradisional. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat tradisional di Indonesia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu obat jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2004). Produk dalam negeri golongan obat tradisional ini tidak hanya dijual di Indonesia tapi juga memiliki pasar yang baik di Asia Tenggara.

a. Jamu

Obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, maupun cairan yang berisi seluruh bahan nabati atau hewani yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional disebut sebagai jamu. Jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris untuk kemanfaatannya. Contoh produk jamu antara lain Tolak Angin®, Jamu Air Mancur®, Nyonya Meneer® dan Djamu Djago®. Penandaan untuk jamu adalah penulisan kata “jamu” dan tertera logo berupa ranting daun berwarna hijau dalam lingkaran.

(30)

Gambar 2.5 Penandaan untuk jamu b. Obat Herbal Terstandar

Obat herbal terstandar adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tumbuhan obat, hewan, maupun mineral. Selain proses produksi dengan teknologi maju, obat herbal terstandar memiliki pembuktian ilmiah berupa penelitian praklinis (uji menggunakan hewan coba). Contoh obat herbal terstandar yang berada di pasaran adalah Diapet®, Kiranti® dan Diabmeneer®. Penandaan untuk obat herbal terstandar adalah logo jari-jari daun dalam lingkaran.

Gambar 2.6 Penandaan untuk obat herbal terstandar

c. Obat Fitofarmaka

Fitofarmaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah dari penelitian praklinik sampai dengan uji klinik pada manusia dengan kriteria yang memenuhi prinsip etika dan tempat pelaksaan uji memenuhi syarat. Contoh fitofarmaka yang telah menerima sertifikat dari BPOM yaitu produk imunomodulator Stimuno. Penandaan untuk fitofarmaka adalah jari-jari daun yang membentuk bintang dalam lingkaran.

(31)

22

Gambar 2.7 Penandaan untuk Fitofarmaka

2.11 Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, sekarang menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Pelayanan kefarmasian di dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, terdiri dari pelayanan resep, pemberian informasi obat, konseling, pemantauan penggunaan obat, promosi dan edukasi, serta Pelayanan Residensial (Home Care).

2.11.1 Pelayanan Resep a. Skrining resep

Apoteker melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif (nama,SIP dan alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan/paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien), kesesuaian farmasetik (bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian), pertimbangan klinis (adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian dosis, durasi, jumlah obat dan lain- lain).

(32)

b. Penyiapan obat

Penyiapan obat terdiri dari peracikan, penulisan etiket, pengemasan, serta penyerahan obat. Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Penulisan etiket harus jelas dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Sebelum obat diserahkan pada pasien, harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

2.11.2 Pemberian Informasi Obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

2.11.3 Konseling

Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Pada penderita penyakit tertentu, seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

Konseling pasien adalah bagian kompetensi apoteker dalam proses pelayanan kefarmasian. Apoteker berada dalam posisi yang sangat terlihat dan tersedia untuk menjawab pertanyaan pasien tentang obat dan pengobatan alternatif

(33)

24

yang mereka tahu dari sumber informasi lain. Seorang apoteker harus mengembangkan, menerapkan dan memantau kemajuan pasien terhadap hasil terapeutik yang diinginkan. Secara rutin dan akurat mengidentifikasi jumlah dan jenis konseling yang diinginkan/diperlukan oleh pasien untuk memaksimalkan peluang menyelesaikan atau mencegah masalah dalam pengobatan. Selain itu, apoteker mengidentifikasi tingkat pengawasan yang diperlukan oleh pasien sesuai dengan risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh obat pasien, masalah terkait obat, atau penyakit.

Pada proses konseling farmasi apoteker bertindak sebagai konselor dan pasien bertindak sebagai klien. Konseling harus bersifat rahasia, sukarela, dan pengambilan keputusan dilakukan oleh klien sendiri. Ciri khas dari konseling adalah:

a. Tatap muka

Banyak hal pada klien dapat terlihat dan terawasi langsung yang tidak diungkapkan dalam percakapan, misalnya sikap, ekspresi wajah, dan emosi yang dapat diketahui saat bertatap muka.

b. Terencana

Konseling tidak dapat dilakukan secara mendadak, harus direncanakan atau disegaja agar konselor dapat menyiapkan hal-hal yang diperlukan, termasuk menyiapkan situasi dan dirinya sendiri.

c. Mempunyai tujuan

Secara umum tujuan konseling adalah membantu klien melihat permasalahannya secara lebih jelas, baik mengenai dirinya, sikapnya, maupun keinginannya sehingga dapat memilih sendiri pemecahan masalahnya.

d. Lebih dari satu pertemuan

Pada umumnya, konseling dilakukan sampai beberapa kali tergantung pada kebutuhan. Konselor juga harus memantau dan menanyakan kembali hasil dari konseling yang dilakukan.

Beberapa prinsip dasar konseling yang harus diperhatikan apoteker dalam memberikan konseling antara lain:

(34)

a. Menciptakan hubungan yang baik dengan klien

Hubungan yang baik antara konselor dengan klien akan memberikan kepercayaan klien pada konselor, rasa aman dan merasa rahasianya terjamin, sehingga dalam proses penggalian informasi, konselor akan lebih banyak mendapatkan informasi dari klien. Beberapa persyaratan sebagai konselor, antara lain mempunyai kepribadian yang mantap dan penampilan meyakinkan; mempunyai minat terhadap permasalahan klien; menguasai teknis komunikasi dan konseling; menunjukkan rasa empati; menumbuhkan rasa aman dan dapat menjamin kerahasiaan isi pembicaraan; menjadi pendengar yang baik sehingga dapat menangkap dan memahami isi dan suasana pembicaraan dengan tepat; dan mampu meningkatkan status klien dari orang yang memerlukan bantuan menjadi orang yang menentukan dalam membuat keputusan.

b. Menentukan kebutuhan

Konseling tidak dapat terjadi bila klien datang tanpa tahu apa yang dibutuhkan. Sering kali klien datang tanpa dapat mengungkapkan dengan pasti kebutuhannya. Adakalanya klien diminta oleh pihak lain yang merasa perlu klien diberi penyuluhan, sehingga perlu pendekatan lebih awal untuk mengarahkan pembicaraan kearah pencarian masalah atau kebutuhan. Ketika masalah dan tujuan sudah jelas selanjutnya digali kemungkinan pemecahan masalahnya.

c. Partisipasi

Partisipasi konselor lebih banyak dalam menggali masalah. Konselor membantu klien dalam mengidentifikasi faktor yang menimbulkan masalah dan memilihkan pemecahan masalah yang sesuai. Keputusan pemecahan masalah dibuat oleh klien sendiri dan merupakan bagian dari tanggung jawab klien.

d. Perasaan

Konselor membantu klien dalam menumbuhkan kesadaran tentang perasaannya. Oleh karena itu konselor harus dapat mengerti dan menerima perasaan klien (berempati) dan bukan ikut larut dalam perasaan klien (bersimpati).

(35)

26

e. Kerahasiaan

Seringkali apa yang diungkapkan klien merupakan masalah yang sangat pribadi. Kerahasiaan pembicaraan harus dijaga dengan sungguh-sungguh oleh konselor agar klien percaya kepada konselor.

f. Pemberi informasi

Selama pembicaraan, konselor harus memberikan fakta sederhana untuk membantu klien melihat masalahnya. Konselor harus menguasai hal-hal teknis cara pemberian informasi yang baik.

Manfaat dilakukannya konseling dapat dirasakan oleh pasien maupun apoteker. Bagi pasien, konseling dapat mengurangi kesalahan penggunaan obat, menurunkan ketidakpatuhan, mengurangi reaksi obat yang tidak diinginkan, menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan, membantu dalam perawatan kesehatan sendiri, membantu pemecahan masalah dalam situasi tertentu dan dapat menurunkan biaya pengobatan. Bagi apoteker, konseling dapat meningkatkan citra farmasi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, meningkatkan kepuasan kerja, menarik pelanggan dan membantu dalam meraih pasar, serta dapat meningkatkan pendapatan melalui peningkatan penjualan obat. Dalam melakukan konseling, beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan pasien, yaitu jenis penyakit pasien, jenis pengobatan dan kondisi pasien.

2.11.4 Pemantauan Penggunaan Obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu, seperti penyakit

cardiovascular, diabetes , TBC, asma dan penyakit kronis lainnya. Pemantauan

dilakukan terhadap khasiat obat serta efek samping yang kemungkinan dapat terjadi.

2.11.5 Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi (penyebarluasan) informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster dan penyuluhan.

(36)

2.11.6 Pelayanan Residensial (Home Care)

Pelayanan residensial (Home Care) adalah pelayanan apoteker sebagai

care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah-rumah khususnya untuk

kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan terapi kronis lainnya. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Pada aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

2.12 Pengelolaan Narkotika

Pengelolaan narkotika bertujuan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, pengaturan narkotika bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, serta memberantas peredaran gelap narkotika.

Apotek merupakan salah satu sarana kesehatan yang dapat melakukan penyerahan narkotika. Apotek dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter dan pasien. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter. Pengelolaan narkotika di apotek meliputi pemesanan, penyimpanan, pelayanan/penyerahan, pemusnahan, pencatatan dan pelaporan serta dokumentasi.

2.12.1 Pengadaan/Pemesanan Narkotika

Apoteker hanya dapat memesan narkotika melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang telah ditunjuk khusus oleh Menteri, yaitu PT. Kimia Farma dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan peredaran narkotika. Pemesanan narkotika dilakukan dengan menggunakan surat pesanan narkotika asli yang ditandatangani oleh APA yang dilengkapi dengan nama, nomor Surat Izin Apotek (SIA), nomor Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA),

tanggal dan nomor surat, alamat lengkap dan stempel apotek. Satu surat pesanan hanya untuk satu jenis narkotika. Surat pesanan dibuat 4 rangkap, dengan

(37)

28

ketentuan 3 rangkap (termasuk yang asli) diserahkan pada PBF dan 1 rangkap disimpan sebagai arsip di apotek.

2.12.2 Penyimpanan Narkotika (Departemen Kesehatan, 1978)

Bedasarkan Permenkes Nomor 28/MENKES/PER/V/1978 tentang penyimpanan narkotika, apotek harus memiliki tempat khusus untuk penyimpanan narkotika yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. b. Harus mempunyai kunci yang kuat.

c. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya, sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.

d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai.

e. Lemari harus dikunci dengan baik.

f. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika.

g. Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan.

h. Lemari khusus harus ditaruh di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.

2.12.3 Pelayanan/ penyerahan Narkotika

Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 pasal 43, apotek hanya dapat melakukan penyerahan narkotika kepada rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, dan pasien. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dari dokter. Apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar resep yang sama dari seorang dokter atau atas dasar salinan resep dokter (UU No. 9 tahun 1976 Pasal 7). Pada resep narkotika yang baru dilayani sebagian, apotek boleh membuat

(38)

salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang menyimpan resep asli.

2.12.4 Pemusnahan Narkotika

Tujuan dilakukannya pemusnahan narkotika adalah untuk menghapus pertanggungjawaban apoteker terhadap pengelolaan narkotika, menjamin narkotika yang sudah tidak memenuhi persyaratan dikelola sesuai dengan standar yang berlaku, dan mencegah penyalahgunaan bahan narkotika serta mengurangi resiko terjadinya penggunaan obat yang substandar (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 60, pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, atau berkaitan dengan tindak pidana.

Pemusnahan yang dilakukan oleh apotek dengan membuat berita acara pemusnahan narkotika dan dilaporkan kepada pihka-pihak yang terkait. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28/MENKES/PER/I/1978 Tentang Penyimpanan Narkotika dan Undang- Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, berita acara pemusnahan memuat:

a. Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.

b. Nama pemegang izin khusus, apoteker pengelola apotek dan dokter pemilik narkotika.

c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi dari perusahaan atau badan tersebut.

d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan. e. Cara pemusnahan.

f. Tanda tangan penanggung jawab apotek/ pemegang izin khusus, serta saksi- saksi.

(39)

30

Berita acara pemusnahan tersebut dikirimkan dan dibuat rangkap empat untuk ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan, dan satu disimpan sebagai arsip di apotek.

2.12.5 Pencatatan dan Pelaporan Narkotika

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, apotek wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya. Pelaporan penggunaan narkotika telah dikembangkan dalam bentuk perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) sejak tahun 2006 oleh Kementerian Kesehatan. Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) adalah sistem yang mengatur pelaporan penggunaan Narkotika dan Psikotropika dari Unit Layanan (Puskesmas, Rumah Sakit dan Apotek) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan pelaporan elektronik, selanjutnya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan setiap bulannya ke Ditjen Binfar dan Alkes di Kementerian Kesehatan melalui mekanisme pelaporan online yang menggunakan fasilitas internet.

2.13 Pengelolaan Psikotropika

Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau ilmu pengetahuan. Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika, serta memberantas peredaran gelap psikotropika.

(40)

2.13.1 Pemesanan Psikotropika

Pemesanan psikotropika dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK.Surat pesanan tersebut dibuat rangkap tiga, dua rangkap (termasuk yang asli) diserahkan pada PBF, dan satu rangkap disimpan sebagai arsip. Setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika.

2.13.2 Penyimpanan Psikotropika

Penyimpanan psikotropika belum diatur di dalam perundang-undangan atau peraturan lainnya. Dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika maka sebaiknya obat golongan psikotropika disimpan pada rak atau lemari khusus.

2.13.3 Penyerahan Psikotropika

Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lain, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek dilaksanakan berdasarkan resep dokter.

2.13.4 Pemusnahan Psikotropika

Pada Undang-undang No. 5 tahun 1997 pasal 53 disebutkan bahwa pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika, kadaluwarsa, dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita acara.

2.13.5 Pelaporan Psikotropika

Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan melalui perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP). Mekanisme pelaporan psikotropika sama dengan pelaporan narkotika.

(41)

32

2.14 Pengadaan Persediaan Apotek

Pengadaan persediaan farmasi merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan fungsi perencanaan dan penganggaran. Tujuan pengadaan adalah memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku (Quick, 1997). Pengadaan harus memenuhi beberapa syarat (Seto, Yunita & Lily, 2004), yaitu:

a. Doematig, artinya sesuai tujuan/sesuai rencana. Pengadaan harus sesuai kebutuhan yang sudah direncanakan sebelumnya.

b. Rechtmatig, artinya sesuai hak/sesuai kemampuan.

c. Wetmatig, artinya sistem/cara pengadaannya harus sesuai dengan ketentuan- ketentuan yang berlaku.

Secara umum, jenis pengadaan berdasarkan waktu terdiri dari (Quick,1997):

a. Annual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan satu kali dalam satu tahun. b. Scheduled purchasing, yaitu pemesanan dilakukan secara periodik dalam

waktu tertentu misalnya mingguan, bulanan dan sebagainya.

c. Perpetual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan setiap kali tingkat persediaan rendah.

d. Kombinasi antara annual purchasing, scheduled purchasing, dan perpetual

purchasing. Pengadaan dengan pemesanan yang bervariasi waktunya, seperti

cara ini dapat diterapkan tergantung dari jenis obat yang dipesan.

Misalnya, obat impor dari suatu negara dimana devaluasi mata uang menjadi masalah utama, atau obat berharga murah yang jarang digunakancukup dipesan sekali dalam setahun saja. Obat-obatan yang relatif slow moving tetapi digunakan secara reguler dapat dipesan secara periodik setiap tahun (scheduled purchasing), dan obat-obatan yang banyak diminati dan obat- obatan yang harganya sangat mahal maka pemesanan dilakukan secara

(42)

Setelah menentukan jenis pengadaan yang akan diterapkan berdasarkan frekuensi dan waktu pemesanan, maka pengadaan barang di apotek dapat dilakukan dengan berbagai cara (Seto, Yunita & Lily, 2004), yaitu:

a. Pembelian kontan

Dalam pembelian kontan, pihak apotek langsung membayar harga obat yang dibeli dari distributor. Biasanya dilakukan oleh apotek yang baru dibuka karena untuk melakukan pembayaran kredit apotek harus menunjukkan kemampuannya dalam menjual.

b. Pembelian kredit

Pembelian dengan menggunakan cara ini dilakukan pada waktu jatuh tempo yang telah ditetapkan, misalnya 30 hari setelah obat diterima apotek.

c. Konsinyasi (titipan jual)

Pada konsinyasi, barang dari pemilik dititipkan kepada apotek, dimana apotek bertindak sebagai agen komisioner yang menerima komisi bila barang tersebut terjual. Bila barang tersebut tidak terjual sampai batas waktu kadaluarsa atau waktu yang telah disepakati maka barang tersebut dapat dikembalikan pada pemiliknya.

2.15 Penentuan Prioritas Pengadaan

Dalam melakukan pengadaan dibutuhkan penentuan prioritas barang yang akan dipesan. Pemilihan prioritas pengadaan dapat dilakukan dengan berbagai metode.

2.15.1 Analisis VEN (Vital, Esensial, Non Esensial)

Metode ini mengelompokan obat berdasarkan nilai kepentingan dan vitalitas obat terhadap pelayanan kesehatan untuk melayani permintaan untuk pengobatan.

a. V (Vital)

Obat yang tergolong dalam kategori vital adalah obat untuk menyelamatkan hidup manusia atau untuk pengobatan karena penyakit yang mengakibatkan kematian. Pengadaan obat golongan ini diprioritaskan.

Gambar

Gambar 2.1 Penandaan obat bebas
Gambar 2.2 Penandaan obat bebas terbatas
Gambar 2.4 Penandaan obat narkotika
Gambar 2.5 Penandaan untuk jamu  b. Obat Herbal Terstandar
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini pun begitu menyulitkan tatkala terlebih pada orang-orang yang gagap akan teknologi, karena banyak perusahaan yang sekarang ini menaruh minat untuk

Setelah VOC dibubarkan, maka Legiun Mangkunegaran dibentuk dengan dua macam kepentingan, yaitu Legiun merupakan cadangan yang berguna untuk Tentara Hindia Belanda,

Bertolak dari kenyataan tersebut, beberapa feminis terdorong untuk membangun model relasi baru yang tidak patriarkal, melainkan bersandar pada logika kesalingan

Sistem operasi yang berjalan di perangkat Komputer personal biasa digunakan sebagai alat bantu penyelesaian pekerjaan yang banyak dalam waktu singkat, sistem operasi yang

Kemampuan sumber daya dalam proses implementasi kebijakan anggaran pengembangan kompetensi aparatur belum berjalan optimal, hal ini ditandai dengan masih ditemui 17 OPD

3) Pengamatan yang bebas resiko, dengan video dapat mengamati fenomena yang bahaya jika dilihat langsung. 4) Dramatisasi, memungkinkan peserta didik untuk mengamati dan

122 pembuatan akta kelahiran, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengurusan pembagian warisan, dan lain-lain. Karena beberapa masalah tersebut membutuhkan

Observasi dilakukan oleh peneliti bersama supervisor. Tugas supervisor adalah mengamati pelaksanaan kegiatan pembelajaran selama proses pembelajaran. Hasil pengamatan