• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN TANAH WAKAF OLEH NAZHIR DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 (Studi Kasus di Kelurahan Korong Gadang Kota Padang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN TANAH WAKAF OLEH NAZHIR DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 (Studi Kasus di Kelurahan Korong Gadang Kota Padang)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus di Kelurahan Korong Gadang Kota Padang) Darlius*

Email: Darlius0793oke@gmail.com ABSTRAK

Nazhir adalah orang yang ditunjuk untuk mengelola dan mengawasi harta wakaf. Akan tetapi, ada di antara nazhir yang mempergunakan tanah wakaf untuk keperluan pribadinya. Ini tidak sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan harta wakaf dari wakif.Sedangkan tujuan wakif mewakafkan tanah diperuntukkan untuk pembangunan masjid. Menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Pasal 11; Nazhir mempunyai tugas antara lain melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan dan faktor yang menyebabkan nazhir mempergunakan harta benda wakaf untuk kepentingan pribadinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan mengadakan observasi dan wawancara langsung kepada pengurus atau nazhir di Kelurahan Korong Gadang. Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa : 1) Alasan dan faktor yang menyebabkan nazhir menggunakan tanah wakaf untuk kepentingan pribadinya adalah karena tanah wakaf yang digunakan nazhir belum masuk dalam sertifikat tanah wakaf dan tanah itu merupakan tanah wakaf tambahan. 2) tidak adanya pengetahuan nazhir wakaf terhadap peraturan tentang perwakafan secara baik dan benar. 3) kurangnya pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh KUA terhadap nazhir. 4) Perbuatan nazhir yang mempergunakan harta benda wakaf untuk keperluan pribadinya telah melanggar peraturan perundang-undangan pasal 12 jo Pasal 67 ayat (3) dan dapat dikenakan sanksi hukum pidana penjara selama 3 (tiga) tahun atau denda sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

KATA KUNCI: Nazhir, Peruntukan wakaf, UU No. 41 Tahun 2004, dan Korong Gadang

(2)

PENDAHULUAN

Wakaf merupakan salah satu dari bentuk pemberian sebagian harta yang dimiliki oleh seseorang pada instansi atau sekelompok orang tertentu, yang pada saat ini sedang maraknya diperbincangkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf oleh pemerintah, namun sebagian masyarakat banyak kurang memahami tentang permasalahan wakaf tersebut.

Untuk mengungkap permasalahan yang berkembang saat ini penulis merasa perlu menjelaskan tentang wakaf tersebut di mana masih terdapat masyarakat yang kurang paham dengan perbedaan antara wakaf, zakat, infak, dan lain-lain. Menurut arti bahasanya, wakaf berarti menahan atau mencegah, misalnya saya menahan diri dari perjalanan, (Maghniyah, 1996: 635) sedangkan menurut istilah atau syara’, wakaf adalah menahan zat (asal) benda dan mempergunakan hasilnya, yakni menahan benda dan mempergunakan manfaatnya dijalan Allah”. (Sabiq, 1981: 378)

Dalam pengertian syara’ tersebut wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaanya dilakukan dengan jalan menahan (pemilik) asal benda lalu menjadikannya berlaku umum. Yang dimaksud dengan menahan (pemilik) asal benda ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, dipinjamkan, dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.

Sedangkan menurut jumhur ulama, wakaf adalah menahan sesuatu benda yang mungkin diambil manfaatnya (hasilnya) sedangkan bendanya tidak terganggu. Dengan wakaf ini hak penggunaan oleh si wakif dan orang lain menjadi terputus. Hasil benda ini dimanfaatkan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri

kepada Allah SWT”. (Zuhailly, 1989: 154-155)

Dalam hal syarat dari perwakafan itu menurut Sudarsono, menyatakan bahwa syarat dari wakaf itu ada tiga yakni : Tanjiz yang maksudnya adalah diberikan pada waktu ijab dan qabul, Imkan-Tamlik yang maksudnya adalah dapat diserahkan pada waktu itu juga dan yang terakhir adalah Ta’bid yang artinya untuk selama-lamanya atau tidak terbatas waktunya. (Sudarsono, 1992: 498).

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 6 menyebutkan unsur-unsur wakaf yaitu: (Departemen Agama RI, 2004: 6) 1. Wakif

2. Nazhir

3. Harta benda wakaf 4. Ikrar wakaf

5. Peruntukan benda wakaf 6. Jangka waktu wakaf

Berdasarkan pasal di atas, penulis lebih menfokuskan pada pembahasan mengenai pemanfaatan harta benda wakaf karena merupakan salah satu dari unsur wakaf yang sangat penting. Untuk itu, perlu dikaji lebih jauh ke dalam realita kehidupan masyarakat mengenai peruntukannya. Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 Pasal 22 dan pasal 23 dijelaskan bahwa peruntukan harta benda wakaf mencakup dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi (Ibid, 14):

a. Sarana dan kegiatan ibadah;

b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;

d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

e. Kemajuan kesejahteraan umum lainya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

(3)

Sedangkan di dalam pasal Pasal 23 dinyatakan: (1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dilakukan oleh Wakif dalam pelaksanaan ikrar wakaf. (2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

Sedangkan defenisi nazhir dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun1977 Pasal 1 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam Pasal 251 ayat (5) dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (4) yang tidak jauh berbeda menyatakan yakni; “Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya”. (Ibid: 3)

Serta dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 Pasal 11: Nazhir mempunyai tugas ;

a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf,

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya,

c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf,

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Jadi sudah jelaslah bagi penulis akan tujuan dari benda wakaf dan tugas dari seorang nazhir dalam peruntuan harta benda wakaf tersebut. Dalam salah satu ayat dan pasal itu, baik Peraturan Pemerintah dan Kompilasi Hukum Islam maupun Undang-Undang bahwa wakaf diperuntukkan untuk keperluan ibadah dan kesejahteraan umum serta kewajiban nazhirlah untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.

Adapun penelitian yang akan penulis laksanakan adalah Pemanfaatan tanah wakaf di Kelurahan Korong Gadang. Penulis memilih Kelurahan Korong

Gadang karena salah satu kelurahan yang memiliki penduduk dan tempat ibadah yang banyak dari kelurahan yang lain, yaitu 21.986 jiwa dan 7 Masjid, 6 Mushalla, 4 sekolah, dan 2 kantor pemuda serta 1 lapangan bola kaki yang semuanya itu merupakan bangunan yang didirikan di atas tanah wakaf. Untuk lebih jelasnya, data tanah wakaf di Kelurahan Korong Gadang sebagai berikut:2

Tabel 1. Data Bangunan Harta Benda Wakaf Di Korong Gadang N

o

Bangunan Alamat Luas Nazhir

1 Masjid Jihad RW I /RT IV 635 M2

Baharuddi n 2 Lapangan Bola Kaki RW II/RT II 200

M2

Panghulu Siak 3 Kantor Pemuda RW IV/RT I 206,25

M2

Piak Elok 4 Mushala Azakirat RW VI/ RT

V

374 M2

Mauzhar, M. BA 5 Mushala Isthigfar RW VIII/RT

II

405 M2

Mauzhar, M. BA 6 Mushala Nurul Islam RW XI/RT

III

375 M2

Buchari. B 7 Masjid Muhajirin RW XIV/RT

I 2.091 M Zainal Arifin 8 YayasanPendidikan Cendikia RW XII/RT II 80 M2 Irwan Prayitno 9 Masjid Nurul Ihsan RW I/RT II 1.000

M2

Buchari.B 10 Pendidikan Sosial RW II/ RT I 303

M2

Nutyaya 11 Kantor Pemuda RW XIII/RT

IV

154 M2

Amri Ali 12 Masjid Baitul Ihsan RW I/RT III 1.005

M2 Buchari. B 13 Masjid Tasykurun RW V/RT I 2.035 M2 Marah Bayak 14 Mushala Cengkeh RW I/RT II 375

M2

Bakar, M 15 Masjid Nurul Huda RW III/RT

IV 700 M2 Bukhari. B 16 Masjid Nurul Hasanah RW IX/RT I 525 M2 Buchari. B 17 Mushala Kunci RW VII/RT

III 342 M2 Buchari. B 18 Mushala Muhammadiyah RW XII/ RT V 240 M2 Mauzhar, M BA 19 TK. Baitul Ihsan RW VI/RT II 303

M2 Buchari. B 20 SD. O8 Korong Gadang RW II/RT III 845 M2 Drs. Arifin Total Keseluruhan Luas Tanah 12. 593 M2

Berdasarkan data tersebut, penulis melakukan observasi ke lokasi tanah wakaf di Kelurahan Korong Gadang tersebut mengenai peruntukan harta benda wakaf. Pada observasi dan wawancara awal yang penulis lakukan pada tanggal 8 Oktober 2015 di rumah Bapak Suardi DT.

2 Sumber data dari Kantor KUA Kec.

(4)

Rajo Bujang ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Korong Gadang mengatakan;3 “Pada umumnya perwakafan dilakukan hanya dengan kepercayan saja, contohnya diwakafkan tanah untuk pambangunan mesjid, mushalla, atau jalan. Setelah ia berikrar seperti itu, lalu diserahkan begitu saja, sampai menunggu ditandatangani surat-suratnya maupun tidak menggunakan surat menyuratnya. Begitulah masyarakat mewakafkannya. Ada juga yang diwakafkan kepada lembaga seperti Muhammadiyah. Namun, juga masih banyak terabaikan di mana tanah yang telah diwakafkan tidak dikelola sehingga tanah wakaf itu digunakan ahli waris untuk pembangunan kediamannya. Jadi tanah wakaf tersebut tidak sesuai lagi luas semula dengan yang ada sekarang karena telah digunakan tersebut”.

Seperti kasus seorang wakif mewakafkan sebidang tanah seluas 800 meter persegi untuk keperluan pembangunan masjid, setelah dipergunakan untuk pembangunan masjid maka tanah yang terpakai seluas 600 meter. Jadi tanah yang tersisa dipergunakan untuk keperluan lapangan parkir masjid. Namun, karena yang menjadi pengurus masjid adalah seorang nazhir maka ia mempergunakan halaman parkir masjid tersebut untuk membangun sebuah ruko seluas 200 meter di atas tanah wakaf tersebut. Sehingga halaman masjid semula untuk parkir motor jamaah, sekarang telah dipergunakan untuk bangunan kedai yang dibangun oleh nazhir yang diperuntukkan untuk kepentingan pribadi nazhir. Setelah bergantinya kepengurusan masjid, nazhir tersebut tetap menguasai tanah dan bangunan kedai yang ia bangun semula.4

3 Suardi Dt. Rajo Bujang, Pimpinan Adat

Korong Gadang, Wawancara Lansung, Korong Gadang Kota Padang, 8 Oktober 2015

4

Yudarfis (PengurusMasjid Itigfar), Wawancara, Korong Gadang Kota Padang, 8 Oktober 2015

Hal ini menggambarkan bahwa ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah maupun Kompilasi Hukum Islam belum terlaksana dengan baik dalam realita kehidupan masyarakat terutama di Kelurahan Korong Gadang Kecamatan Kuranji Kota Padang. Pengertian Wakaf

Wahbah az-Zuhaili seorang ahli fiqh mengemukakan pengertian wakaf sebagai berikut:

فرصتلا نع سبحلا ةغللا ىف فقولا “Wakaf menurut bahasa adalah menahan harta untuk bertindak hukum (bertasarruf)”.(Zuhaily, 1992: 153). Adapun menurut Abu Luis al-Ma’luf, wakaf secara bahasa yaitu:

ً اوئاق ماد

نكس

Artinya: “Tahan lama dan berhenti”. (al-Ma’luf, , 1986: 914). Menurut Sayyid Sabiq:

ةغللا ىف فقٌلا

ي ,سبحلا :

فقً : لاق

فقي

سبح يأ افقً

سبحي

-اسبح

Artinya: “Wakaf menurut luqhat adalah “menahan” (سبح) dikatakan waqafa- yaqifu- waqfan atau habasa- yahbisu- habsan (menahan). (Sabiq, Jilid III, 1983: 378). Dalam kitab I’anatu at-Thalibin, wakaf secara bahasa yaitu:

سبحلا ةغللاٌى

Artinya: “Wakaf menurut bahasa adalah menahan”. (al-Masyhuri dan al-Dimiyati, Juz III: 157)

Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian wakaf secara bahasa, dapat dinyatakan bahwa wakaf adalah menahan, menghalangi, menghentikan. Kata waqaf ini semakna dengan habasa yang berarti menahan, yaitu menahan sesuatu di jalan Allah.

Sedangkan pengertian wakaf menurut istilah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh adalah sebagai berikut: a. Menurut Mazhab Hanafi

قذصتلاً ,فقاٌلا كله نكح ىلػ نيؼلا سبح

ريخلا ةيج ىلػ ةؼفنولااب

Artinya: “Wakaf adalah menahan materi benda dari hukum kepemilikan wakif dan

(5)

menyedekahkan manfaatnya untuk kebajikan”. (Zuhaili, 1992: 153)

b. Menurut Mazhab Syafi’i

وب عافتنلاا نكوي لاه سبحٌى

,

ونيػ ءاقب غه

هريغً فقاٌلا نه وتبقر ىف فرصتلا غطقي

وؼير فرصبًأ دٌجٌه حابه فرصه ىلػ

ىلاؼت الله ىلا ابرقت ريخً رب ةيج ىلػ

Artinya: “Wakaf adalah menahan suatu benda yang bisa diambil manfaatnya (hasilnya) dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut lepas dari milik orang yang mewakafkan (wakif) serta dimanfaatkan untuk sesuatu yang diperbolehkan oleh agama dan manfaatnya diperuntukkan bagi kebaikan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT”. (Ibid: 154-155)

Dari beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat diketahui bahwa wakaf menurut istilah adalah menahan harta di jalan Allah untuk kemaslahatan umat dan diambil manfaatnya. Ulama berbeda pendapat tentang kepemilikan harta wakaf, di antaranya menurut Imam Abu Hanifah suatu harta yang telah diwakafkan tidak terlepas dari kepemilikan wakif bahkan ia boleh menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, apabila harta itu telah dijadikan wakaf, orang yang berwakaf tidak berhak lagi atas benda itu walaupun harta itu tetap berada di tangannya.

Dalam PP. No. 28 Tahun 1977 disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Menurut Undang-Undang No 41 tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) dinyatakan juga wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya

atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Departemen Agama RI, 2006: 108).

Dengan demikian, pada prinsipnya wakaf adalah menghentikan segala aktifitas yang pada mulanya diperbolehkan terhadap harta tersebut seperti menjual, mewariskan, dan menghibahkannya. Setelah dijadikan harta wakaf untuk keperluan agama serta mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak bisa lagi dimiliki oleh pihak mana pun baik secara individu atau pun kelompok.

Pengertian dan Macam-Macam Nazhir Nazhir dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kerja bahasa Arab “رظ ان ” yang berarti menjaga, memelihara, mengelola, dan mengawasi. Adapun istilah “ رظ انلا ” (nazhir) adalah isim fa’il dari “ رظن ” yang kemudian diartikan pengawas (penjaga). ( Munawwir, 1984: 1533)

Nazhir adalah orang atau kelompok orang yang diserahi tugas memelihara dan mengurus benda wakaf (Departemen Agama RI, 2007: 28). Dalam literatur fiqh, pengelola wakaf disebut dengan nazhir yang berarti pemelihara, manajer, administrator, atau juga disebut dengan mutawalli yang berarti pengelola, manajer, yang diberi kuasa, berkomitmen, dan eksekutif. Ini berarti ia adalah seorang manajer dari harta wakaf. (Rozalinda, 2009: 47).

Dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 disebutkan nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nazhir sebagai pihak yang bertugas mengurus dan memelihara harta benda wakaf yang mempunyai kedudukan penting karena berfungsi atau tidaknya sebuah harta benda wakaf yang telah diwakafkan oleh wakif tergantung pada nazhir itu sendiri. Walaupun nazhir menurut para mujtahid tidak termasuk rukun wakaf, tetapi dalam Undang-Undang No 41 Tahun 2004 memasukkan

(6)

nazhir sebagai salah satu unsur dari wakaf sehingga harta benda wakaf akan tetap terjaga dan terurus dengan adanya nazhir sebagai pemelihara harta benda wakaf.

Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah sebagai sumber dana yang produktif, tentu tentu memerlukan nazhir yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara professional dan bertanggung jawab. Apabila nazhir tidak mampu melaksanakan tugasnya, maka Qadhi (pemerintah) wajib menggantinya dengan tetap menjelaskan alasan-alasannya.

Fleksibilitas dari persyaratan nazhir haruslah disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Kalau selama ini nazhir perseorangan masih dipakai dan ternyata dalam pelaksanaannya tidak memberikan peran yang baik dalam pengelolaan wakaf maka persyaratan nazhir harus berupa badan hukum menjadi keniscayaan agar dapat memberdayakan benda-benda wakaf secara optimal. (Depag RI, h. 62) Dalam fungsinya sebagai pengelola harta benda wakaf, nazhir haruslah memenuhi berbagai persyaratan.

Untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai pengelola wakaf dengan baik dan professional, nazhir haruslah orang-orang yang memenuhi kriteria dan persyaratan nazhir baik secara fiqh maupun peraturan perundang-undangan. Secara umum, nazhir wakaf harus memiliki persyaratan sebagai berikut:

a. Syarat moral, diantaranya paham tentang hukum wakaf dan ZIS, jujur, amanah, tahan godaan, dan punya kecerdasan

b. Syarat manajemen, diantaranya mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership, cerdas secara intelektual, professional dalam bidang pengelolaan harta, memiliki program kerja yang jelas

c. Syarat bisnis, diantaranya mempunyai pengalaman, dan punya ketajaman melihat peluang usaha.

Sedangkan persyaratan nazhir menurut fiqh hanya banyak ditemukan

dalam kitab-kitab fiqkh kontemporer. Adapun syarat nazhir menurut fiqh adalah: a. Adil. Dalam pengertian melaksanakan

perintah agar menjauhi larangan. Ini merupakan persyaratan yang diajukan mayoritas ulama selain Hanabilah. b. Mempunyai keahlian, yaitu kemampuan

personality, baligh, dan berakal dan kemampuan untuk memelihara dan mengelola harta wakaf. Namun para ulama tidak mensyaratkan laki-laki terhadap nazhir wakaf karena Umar ibn Khattab pernah berwasiat kepada Hafsah untuk memelihara harta wakafnya

c. Islam, namun di kalangan Hanafiyah tidak mempersyaratkan Islam bagi nazhir. (Halim, 1999: 62-63)

Semua persyaratan di atas merupakan dasar bagi pemikiran Undang-Undang wakaf kontemporer. Nazhir diposisikan pada tempat yang sangat penting dalam pengembangan dan pengelolaan harta wakaf sehingga Undang-Undang No 41 Tahun 2004 memberikan persyaratan yng lebih ketat kepada seorang nazhir, di mana dia tidak hanya berasal dari tokoh masyarakat, sesepuh desa, kiyai atau pun seorang ulama tetapi juga harus mempunyai kemampuan manajerial.

Menurut pasal 9 Undang-undang Wakaf menyebutkan, nazhir meliputi; a. Perorangan,

b. Organisasi; dan c. Badan hukum.

Untuk menjadi seorang nazhir, haruslah mengikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi Nazhir sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004:

a. Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan;

1) Warga Negara Indonesia; 2) Beragama Islam;

3) Dewasa; 4) Amanah;

(7)

5) Mampu secara jasmani dan rohani; dan

6) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

b. Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persayaratan:

1) Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi

persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan 2) Organisasi yang bergerak di

bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan /atau keagamaan Islam.

c. Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:

1) Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi

persyaratan nazhir

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) a; dan 2) Badan hukum Imdonesia yang

dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

3) Badan hukum yang

bersangkutan bergerak di budang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan /atau keagamaan Islam.

Dalam redaksi yang hampir sama dan lebih spesifik, Pasal 219 Kompilasi hukum Islam (KHI), juga mengemukakan persyaratan bagi seorang Nazhir. Namun, dalam hal kewajiban dan hak Nazhir Undang-undang No 41 Tahun 2004 pasal 42 menjelaskan bahwa: “Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya”. Namun, Kewajiban dan hak-hak nazhir juga diatur dalam Pasal 220 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 7 PP No. 28 Tahun 1977 sebagai berikut:

a. Nazhir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuannya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.

b. Nazhir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana yaang dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

c. Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.

Pada Pasal 222 KHI dan Pasal 8 PP No. 28/1977 dinyatakan: “Nazhir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kekayaan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat”. Soal hak nazhir, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tidak mengaturnya secara rinci, namun hanya secara umum sebagaimana dalam Pasal 12: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 persen”.

Berdasarkan persyaratan di atas, nampaklah bahwa nazhir mempunyai peranan penting dalam perwakafan sehingga harta wakaf bisa dapat terjaga dan kekal sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang nazhir memperoleh pembinaan dan pengawasan dari Badan Wakaf Indonesia dengan syarat nazhir yang berbentuk perseorangan, organisasi, dan badan hukum haruslah terdaftar. Sebagai balas jasa terhadap kinerjanya, nazhir mendapatkan imbalan sebanyak 10% dari hasil pengelolaan dan pengembangan harta

(8)

wakaf. Adanya imbalan/gaji tersebut dapat menjadi pendorong supaya nazhir bisa bekerja dengan sebaik-baiknya.

Tugas dan Hak Nazhir 1. Tugas Nazhir

a) Melakukan Pengadministrasiam Harta Benda Wakaf

Untuk mencapai tertib hukum dalam perwakafan, harta benda wakaf harus diadministrasikan. Adapun pengertian dari administrasi harta benda wakaf adalah serangkaian kegiatan pendataan, penataan, pengelolaan, penginventarisir, penertiban administrasi terhadap harta benda yang dimanfaatkan untuk selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan peruntukannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Dalam proses pengadministrasian harta wakaf yang berupa tanah milik, ada beberapa peraturan yang menjelaskan tentang perwakafan tanah milik, yaitu: 1. Peraturan Pemerintah (PP) No. 28

Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik.

PP No. 28 Tahun 1977 hanyalah wakaf sosial (wakaf umum) di atas tanah milik seseorang atau badan hukum. Adapun tanah yang diwakafkan dalam PP ini hanyalah sebatas tanah milik saja, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya tidaklah diatur. Sebelum diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang wakaf tanah milik ini, Negara Indonesia telah lebih dahulu menerbitkan Undang-Undang No. 50 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria yang dalam Bab II, bagian XI, Pasal 49 diatur tentang wakaf. (Badan Litbang dan Diklat, h. 13)

2. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksana PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/1978 tentang formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan perwakafan tanah milik.

3. Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelagasian wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap kepala KUA Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), dan lain-lain.

4. Instruksi bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 4 Tahun 1990 dan No. 24 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf.

5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Dalam Undang-Undang wakaf pada “Ketentuan Peralihan” disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang “Wakaf” menyebutkan bahwa wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya undang-undang ini, yaitu Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini. Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Kebijakan pemerintah, baik berupa Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah (PP) di atas adalah sebagai upaya untuk melaksanakan tertib administrasi perwakafan. Upaya tertib administrasi terhadap perwakafan tersebut tertuang dalam pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW) sebagai badan hukum yang berupaya menertibkan perwakafan, baik harta benda wakaf yang berupa tanah maupun yang lainnya. Pengalaman operasional pembuatan AIW, sampai saat ini, lebih banyak terkait dengan sertifikat tanah wakaf, khususnya perwakafan tanah milik sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.

(9)

Dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik telah diatur bahwa Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), dan administrasi perwakafan diselenggarakan di KUA Kecamatan. Kepala KUA Kecamatan atas nama nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan pendaftaran tanah wakaf kepada instansi yang berwenanng guna menjaga keutuhan dan kelestariannya.

Setelah selesai Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nazhir diharuskan mengajukan permohonan kepada instansi berwenang setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik tersebut menurut ketentuan PP No. 42 Tahun 2006. Instansi berwenang tersebut mencatatnya pada buku register wakaf dan menerbitkan bukti pendaftaran tanah wakaf.5

Tabel 2. Data Tanah Wakaf Se-Kecamatan Kuranji, Kota Padang

N o Kelurahan Juml ah Luas Berser tifikat Belu m 1 PasarAmbacan g 21 18.868 M2 11 10 2 Anduring 16 8.078 M2 8 8 3 LubukLintah 14 10.557 M2 7 7 4 Ampang 4 3.905 M2 2 2 5 Kalumbuak 20 9.710 M2 10 10 6 KorongGadang 0 12.593 M2 10 10 7 Kuranji 22 19.627 M2 11 11 8 GunungSariak 28 40.001 M2 14 14 9 Sungai Sapih 6 7. 923 M2 3 3 Total Persil 151 130. 205 M2 76 75 Sumber Data: Kantor Urusan Agama Kec. Kuranji Kota Padang

Dari data di atas dapat dipahami bahwa jumlah data harta benda wakaf di Korong Gadang ada 20 Persil, namun perbandingan harta benda wakaf yang telah bersertifakat dengan yang belum bersertifikat masih 50%. Perbandingan ini

5

Sururudin, Proses Administrasi Perwakafan Tanah, suruddin.wordpress.com, 1 Agustus 2016

haruslah menjadi tolak ukur bagi nazhir yang memegang kendali terhadap harta benda wakaf yang berkewajiban melengkapi semua administrasi harta benda wakaf sehingga jelas keberadaan harta benda wakaf ini dengan dibuktikan dengan adanya sertifikat dan kelengkapan administrasi yang baik. Sehingga harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.

b) Pengelolaan dan Pengembangkan Harta Benda Wakaf

Pengelolaan harta benda wakaf tidak bisa dipisahkan dari seorang Nazhir, karena Nazhir adalah orang yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf sebagai mauquf’aliah sangat tergantung pada nazhir wakaf.

Berbicara mengenai pengelolaan wakaf di Indonesia, khususnya pengembangan konsep wakaf tunai yang terhitung masih sangat baru, tidak bisa lepas dari periodesasi pengelolaan wakaf secara umum. Pada periode tradisional, wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang murni dimasukkan dalam kategori ibadah mahdhah (pokok). Yaitu, hampir semua benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik, seperti masjid, mushalla, pesantren dan sebagainya. (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007: 1).

Suatu kebiasaan dalam masyarakat yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh, seperti kyai, ulama, ustadz, pengurus masjid dan lain sebagainya. Orang yang ingin mewakafkan harta kurang tahu persis

(10)

kemampuan yang dimiliki oleh tokoh tersebut.

Begitu juga yang terjadi di Kelurahan Korong Gadang mengenai wakaf secara umum atau pun wakaf tunai, kebanyakan masyarakat mempercayakan penuh harta yang diwakafkan ke masjid kepada pengurus. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di beberapa masjid yang ada di Kelurahan Korong Gadang, diperoleh informasi bahwa pengelolaan wakaf belum terkelola dengan baik. Berikut adalah hasil wawancara dengan pengurus masjid oleh Bapak H. Fathah6 bahwa;

“ya, kalau proses perwakafan di kampung ini hanya diserahkan kepada orang yang di percaya seperti pemuka masyarakat dan tokoh adat oleh masyarakat tanpa di saksikan pegawai KUA, karena begitu percayaan masyarakat pada tokoh tersebut sehingga diserahkan begitu saja”

Begitulah gambaran bagaimana proses perwakafan yang terjadi di tengah masyarakat Korong Gadang, meskipun telah ada peraturan yang mengatur yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Namun kebiasaan yang telah mendarah daging dalam pemahaman masyarakat sehingga proses perwakafan seperti ini sangat sukar untuk diubah oleh masyarakat dan masyarakat juga mencari yang termudah dalam berbuat kebaikan dan tidak disibukkan dengan proses kepengurus perwakafan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

c) Mengawasi dan Melaporkan Harta Benda Wakaf

1. Pengawasan Wakaf

Sebagaimana yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 dalam Pasal 56 Peraturan Pemerintah (PP) yang menyebutkan bahwa:

6

H, Fathah, Ketua RW 03 Kelurahan Korong Gadang, Wawancara Lansung, 28 Februari 2016

a. Pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik aktif maupun pasif.

b. Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap nazhir atas pengelolaan wakaf, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.

c. Pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan nazhir berkaitan dengan pengelolaan wakaf.

d. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik independen.

e. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.7

Selanjutnya pengawasan harta benda wakaf juga diatur dalam Pasal 227 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menentukan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan tugas nazhir dilakukan secara bersama-sama oleh kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan, majelis ulama kecamatan dan pengadilan agama yang mewilayahinya. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 menyebutkan secara rinci dan tegas tentang pengawasan terhadap perwakafan sebagai berikut:

a. Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf.

b. Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menteri mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia.

c. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

7

Pasal 56 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004

(11)

dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia. (Pasal 63)

Selain itu, pengawasan perwakafan yang khusus mengatur tanah milik juga dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Dalam Pasal 13 PP, dinyatakan bahwa pengawasan perwakafan tanah milik dan tata caranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh menteri agama. Kemudian penjelasan dari pasal ini menyebutkan daerah-daerah di tingkat kecamatan. Untuk kemudahan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan sampai ke pusat.

2. Pelaporan harta benda wakaf

Suardi DT. Rajo Bujang8 mengatakan bahwa pelaporan pelaksanaan tugas memang belum pernah dilakukan oleh pengurus masjid selaku Nazhir, hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu, dan juga terdapat perbedaan pendapat dalam internal nazhir dalam mengelola dan mengurusi harta benda wakaf, serta tidak adanya binaan dari Menteri Agama melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat dan/atau Badan Wakaf Indonesia (BWI) kepada nazhir.

Hal yang berhubungan dengan masalah pelaporan harta benda wakaf adalah tugas nazhir sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 ayat 4 Undang-undang wakaf yaitu, nazhir melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Badan Wakaf Indonesia, dan juga di dalam PP No.42 Tahun 2006 Pasal 13 ayat 2 : nazhir wajib membuat laporan secara berkala kepada Menteri Agama dan BWI setempat mengenai kegiatan kegiatan perwakafan.

Selain itu, hal yang berhubungan dengan masalah peneguran atau pembinaan yang akan diperoleh oleh nazhir wakaf berbadan hukum dijelaskan

8

Suardi, merupakan salah satu Nazhir di Korong Gadang dan juga menjabat sebagai pemuka adat salah satu suku di Korong Gadang.

pada Pasal 12 ayat 3 PP N0. 42. Tahun 2006 yang menegaskan: apabila nazhir yang berbadan hukum dalam jangka 1 (satu) tahun sejak AIW dibuatkan tidak melaksanakan tugasnya, maka kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun usul wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian nazhir.

Jadi, pengawasan dan pelaporan harta benda wakaf ini diperlukan agar para nazhir wakaf bisa menjalankan perannya secara baik dan benar, sehingga harta wakaf dapat menghasilkan keuntungan yang memadai. Sedangkan pembinaan dilakukan oleh menteri agama yang bekerja sama dengan Badan Wakaf Indonesia. Dengan adanya pembinaan setidaknya para pengelola harta benda wakaf dapat lebih mengetahui tentang cara pengelolaan dan pemanfaatan tanah wakaf secara baik sehingga dapat bermanfaat untuk nazhir khususunya di Korong Gadang.

2. Hak Nazhir

Nazhir dalam manjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengelola dan pendistribusian harta benda wakaf kepada mauquf’alaih. Semua tugas dan tanggung jawab itu tidak dibiarkan saja, namun hak dari seorang nazhir juga diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pasal 12; “Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh parsen).”

Dalam pasal ini telah dijelakan bahwa nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih pengelolaan harta benda wakaf yang dikelola dengan produktif atau profesional. Namun yang terjadi di lapangan sangat jauh berbeda dengan aturan undang-undang yang berlaku, di mana harta benda wakaf tersebut yang seharusnya dikelola dan dikembangkan dengan baik malah dipergunakan oleh

(12)

nazhir untuk penunjang kebutuhan ekonominya. Semua itu tidak terlepas dari beberapa alasan dan faktor yang menyebabkan nazhir berbuat.

Alasan dan Faktor yang Menyebabkan Nazhir Menggunakan Tanah Wakaf Untuk Kepentingan Pribadinya

Berdasarkan hasil wawancara penulis bersama salah seorang nazhir wakaf, bahwa sampai sekarang pengelolaan wakaf memang telah ditunjuk beberapa orang nazhirnya, tetapi dalam kenyataan di lapangan bahwa yang proaktif dalam mengurusi dan mengelola harta wakaf ini hanya beberapa orang di antara lima orang Nazhir yang telah ditunjuk. Sehingga dengan itulah salah seorang nazhir dapat menggunakan tanah wakaf untuk keperluan pribadinya, hal itu didasari oleh beberapa hal diantaranya:

a. Tanah wakaf yang digunakan oleh nazhir tersebut merupakan tanah wakaf yang tidak masuk dalam sertifikat tanah wakaf yang ada.

Hal ini disebabkan tanah tersebut merupakan tanah wakaf tambahan yang diberikan oleh persatuan dari kaum nazhir tersebut (Irwansyah, Wawancara 28 Maret 2016). Jadi, awal tanah wakaf yang di wakafkan wakif tersebut merupakan tanah wakaf untuk pembangunan mushala yang hanya berkisar lebih kurang 800 Meter, namun dengan giatnya para pengurus mushalla dalam rangka pembangunan dengan melihatnya banyaknya masyarakat sekitar shalat berjamaah di mushalla tersebut, maka dengan itulah para pengurus berupaya menjadikan Mushalla Istigfar tersebut menjadi Masjid Istigfar sebagaimana yang diungkapkan olah Bapak Suardi selaku pengurus dan nazhir wakaf; “Dimulai dari dasar pembangunan Masjid Istigfar, wakaf yang pertama untuk pembangunan mushalla antara pemilik tanah dengan pengurus atau pemuka masyarakat yang di percayakan, misalnya orang tua saya Nurdin Malin Sampono waktu itu selaku wali kampuang, pemilik tanah mewakafkan tanah untuk

membangun mushalla, setelah wakif meninggal ahli warisnya menambah tanah tersebut kepada pengurus dengan cara pengurus memberi uang pada ahli waris akan tetapi tidak disebut dengan jual beli. Sehingga dibangunlah masjid Istigfar masih pada masa orang tua saya (Nurdin Malin Sampono) beliau lah yang membangun masjid ini, sekarang sudah 5 tahun saya jadi pengurus, saat saya jadi pengurus, saya yang kasih dana/uang sehingga saya dikasih tanah beberapa meter seperti itu yang sering saya lakukan, sehingga dasar wakaf hanya yang terdapat dalam sertifikat aja”.

Sampai saat ini luas secara keseluruhan dari tanah wakaf dari semula sampai sekarang sudah mencapai lebih kurang 1500 meter dari upaya yang dilakukan oleh pengurus masjid. Namun, semua itu belum di satukan dalam sertifikat tanah wakaf yang baru atau masih sertifikat tanah wakaf yang lama sedangkan semua tanah wakaf yang telah di tambah belum di sertifikatkan oleh nazhir atau pengurus.

b. Ketika membangun ruko, nazhir tersebut memiliki lahan yang kurang ideal sehingga mempergunakan tanah wakaf yang kosong tersebut untuk mencukupi ukuran bangunan ruko yang sempurna yang di rancang oleh nazhir di depan tanah wakaf (masjid) tersebut.

Ternyata bangunan ini terbentuk dengan sangat mudah disebabkan karena nazhir memiliki lahan yang berbatasan langsung dengan tanah wakaf masjid ini dan sekaligus salah satu pengurus masjid tersebut sehingga sangat leluasa dalam berupaya membangun ruko ini dengan memakai sebagian tanah wakaf masjid yang telah dibeli oleh masjid kepada orang yang telah memberi lahan tanah tersebut.

Dengan jiwa seorang pedagang, nazhir dalam kegiatannya juga sebagai bagian dari pengurus masjid. Ia berjualan atau berdagang di lokasi yang ia bangun tersebut sebagai mana yang diungkapkan oleh Bapak Dt. Lelo Nan Kayo (salah

(13)

seorang nazhir di Korong Gadang); “ya namanya orang dulu! dapat dipahami, bahwa keinginannya adalah uang sehingga ketika dia ditunjuk jadi pengurus, beliau juga mulai membangun kedai kecil di dekat tanah tersebut, sampai berkembang dan bagus padahal semula tanah tersebut tidak seluas bagunannya. Masyarakat sebenarnya menyadari tanah masjid yang digunakan sebagiannya, namun hanya membiarkan saja”.

c. Tanah wakaf yang dipergunakan ini merupakan tanah wakaf yang tidak dikelola dengan baik atau dibiarkan saja tanpa ada perhatian dari nazhir lain. Sebagaimana yang dikatakan Leniardi; “Tanah ini digunakan untuk berkedai kecil-kecilan, kerena ada rezki sehingga dibangun secara permanen dan bagus. Karena tanah ini kosong dan lahan saya kurang sehingga saya gunakan sebagian kecil tanah wakaf yang masih kosong ini, namun setiap bulan saya juga mengeluarkan beberapa persen hasil penjualan untuk masjid tanpa memberitahukan pengurus masjid/tanah wakaf. Seperti saya membayar kontrak/sewanya tanah”. Jadi tanah yang digunakan Nazhir ini memang tanah wakaf masjid. Namun, meskipun digunakan oleh nazhir tetapi tetap dikeluarkan beberapa persen dari hasil penjualan hasil ruko tersebut untuk masjid. d. Nazhir mempergunakan tanah wakaf

tersebut karena belum adanya gambaran dan upaya pengembangan yang dilakukan oleh pengurus atau nazhir yang lain terhadap tanah wakaf tersebut.

Akibatnya, tanah wakaf ini dipergunakan oleh nazhir untuk pembangunan ruko dan itu pun tidak ada larangan dan hambatan yang dilakukan oleh nazhir lain maupun masyarakat sekitar ketika pembangunan itu berlangsung.

Dari alasan yang dikemukakan oleh nazhir, kenapa ia mempergunakan tanah wakaf tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor yang menyebabkan nazhir

mempergunakan harta wakaf untuk kepentingan pribadinya. Adapun yang menjadi faktor penyebabnya sebagai berikut:

a. Dalam proses perwakafan di Kelurahan Korong Gadang masih menganut tata cara Tradisional.

Perwakafan yang dilakukan oleh masayarakat di Korong Gadang selama ini masih menurut kebiasaan yang telah lumrah terjadi semenjak nenek monyangnya dahulu yang mana wakaf pada mulanya hanyalah keinginann seseorang untuk berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa adanya aturan yang pasti. Masyarakat yang ingin mewakafkan tanahnya untuk pembangunan tempat ibadah atau kepada kelompok Muhammadiyah berpatokan kepada ketokohan seseorang atau jabatannya di dalam kampung tersebut sehingga tidak ada yang berpatokan kepada apakah ia mampu dalam mengelola atau mengurus tanah wakaf tersebut atau tidak. Namun hanya bagaimana ia dipercaya di tengah masayarakat seperti angku kali atau wali kampuang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak H. Fathah9 bahwa; “kalau wakaf di kampung ini hanya dengan kepercayaan saja, contohnya mewakafkan sebidang tanah untuk pembangunan masjid hanya kepada tokoh masyarakat, kepala desa atau ustadz tanpa disaksikan oleh pegawai KUA setempat karena sudah saling percaya saja”.

Begitulah gambaran bagaimana proses perwakafan yang terjadi di tengah masyarakat Korong Gadang, meskipun telah adanya peraturan yang mengatur yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Namun kebiasaan yang telah mendarah daging dalam pemahaman

9

H, Fathah, Ketua RW 03 Kelurahan Korong Gadang, Wawancara Lansung, 28 Februari 2016

(14)

masyarakat sehingga proses perwakafan seperti ini sangat sukar untuk diubah oleh masyarakat. Selain itu, masyarakat juga mencari yang termudah dalam berbuat kebaikan dengan tidak disibukkan dengan proses pengurusan perwakafan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004.

b. Pada umumnya, baik nazhir maupun masyarakat belum mengetahui dan memahami peraturan tentang wakaf secara baik dan benar.

Sebagaimana yang dijelaskan pada proses perwakafan di Korong Gadang, bahwa masyarakat masih mengandalkan pengetahuan tata cara perwakafan yang disampaikan oleh para ustazd dan wali kampung atau pemahaman dari zaman dulu dari nenek moyangnya, yang menyampaikan bagaimana tata cara perwakafan. Sedangkan peraturan yang telah dibentuk oleh pemerintah seperti halnya Undang-undang nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf tidak beberapa masyarakat yang mengetahuinya. Jadi, bagaimana akan menjadikan perwakafan yang produktif atau dapat meningkatkan kesejahteraan masayarakat terhadap manfaat wakaf tersebut, sedangkan peraturan yang akan menjadi landasan bagaimana tata cara perwakafan yang baik belum diketahui oleh masyarakat umum khususnya para nazhir wakaf yang nantinya berkewajiban mengelola dan menyalurkan harta benda wakaf tersebut kepada orang yang berhak menerima peruntukannya. Bisa terjadinya kesalahan dari nazhir dalam mengelola dan memperuntukan harta benda wakaf tersebut karena tidak adanya pengetahuan nazhir terhadap peraturan yang berlaku. c. Belum maksimalnya sosialisasi yang

dilakukan oleh KUA atau BWI terhadap peraturan tentang wakaf kepada nazhir.

Seharusnya Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai perpanjangan tangan Kementerian Agama Pusat di setiap daerah proaktif dalam memberikan sosialisasi atau pengarahan kepada nazhir dan

masyarakat umum sehingga apa yang diupayakan oleh Kementerian Agama Pusat terhadap pengelolaan dan pengembangan harta wakaf dapat berjalan dengan baik dan terkelola dengan terstruktur sehingga menjadikan masyarakat sejahtera, salah satunya dengan memberikan pengetahuan dan pembinaan terhadap para nazhir atau pengelola harta wakaf tersebut.

d. Tidak adanya pengawasan dan kurangnyapembinaan terhadap nazhir wakaf yang dilakukan KUA selaku perpanjangan tangan dari Pemerintah pusat.

Sebagaimana yang termuat dalam Bab VII Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyebutkan bahwa menteri Agama melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf dengan mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dengan tetap memerhatikan sarana dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.

Pengawasan yang bersifat umum berupa payung hukum yang memberikan ancaman terhadap pihak yang melakukan penyelewengan dan atau sengketa berkaitan dengan pengelolaan benda wakaf, upaya pengawasan benda wakaf dapat langsung dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 (Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 & KHI, 2012, h. 298) Pasal 56 menyatakan:

(1) Pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik aktif maupun pasif. (2) Pengawasan aktif dilakukan dengan

melakukan pemeriksaan langsung terhadap nazhir atas pengelolaan wakaf, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun.

(3) Pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan atas berbagai

(15)

laporan yang disampaikan nazhir berkaitan dengan pengelolaan wakaf. (4) Dalam melaksanakan pengawasan

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan public independen.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap perwakafan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Secara lebih rinci, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan pengawasan ini dalam Pasal 227: “pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nazhir dilakukan bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan, dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya”.

Peran pemerintah yang memiliki akses birokrasi yang sangat luas dan otoriter dalam penegakan hukum merupakan aspek penting dalam melindungi eksistensi dan pengembangan wakaf secara umum. Demikian juga masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan langsung terhadap pemanfaatan harta-harta wakaf dapat mengawasi secara langsung terhadap jalannya pengelolaan wakaf.

Tentu saja pola pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat bukan bersifat interventif (campur tangan manajemen), namun memantau, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pola pengelolaan dan pemanfaatan wakaf itu sendiri sehingga peran lembaga nazhir lebih terbuka dalam memberikan laporan terhadap kondisi dan perkembangan harta wakaf yang ada.

Dalam melaksanakan tugas pembinaan, menteri dan BWI dapat melakukan kerja sama dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. Ini merupakan suatu hak yang harus didapatkan oleh nazhir sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53;

(1) Nazhir wakaf berhak memperolah pembinaan dari Menteri dan BWI. (2) Pembinaan sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi dan badan hukum;

b. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengokoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf;

c. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi wakaf;

d. Penyiapan dan pengadaan blanko-blanko akta ikrar wakaf, baik benda wakaf tidak benda bergerak dan/ atau benda bergerak;

e. Penyiapan tenaga-tenaga penyuluh penerangan di daerah-daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada nazhir sesuai dengan lingkupnya; dan f. Pemberian fasilitas masuknya

dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf.

Jika semua pembinaan dan pengawasan dilaksanakan dengan maksimal oleh Menteri Agama yang diwakili oleh Kantor Urusan Agama kecamatan setempat dan BWI sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku tentang wakaf sehingga nazhir sebagai pengelola benda wakaf akan lebih bisa mempertanggungjawabkan kinerja dan tugasnya dalam hal pengelolaan dan pengembangkan benda wakaf kepada pemerintah dan masyarakat.

Jasrizal10, salah satu pegawai KUA Kecamatan Kuranji mengatakan bahwa; “kita pernah melakukan pembinaan terhadap nazhir ini 1 kali dalam setahun, itu pun bekerjasama dengan pemerintah Kota Padang. Sehingga pembinaan itu kita

10Jasrizal (Pegawai KUA Kecamatan

(16)

laksanakan di Balai Kota Padang, yang mengikuti pembinaan itu hanyalah perwakilan dari nazhir-nazhir yang ada dibeberapa kecamatan di Kota Padang ini yang kita tunjuk. Semua itu disebabkan karena tidak tersedianya dana yang cukup untuk melakukan pembinaan pada setiap kecamatan di Kota Padang ini”.

e. Nazhir dalam menjalankan tugas dan wewenangnya kurang aktif dan agresif dalam proses pengelolaan sehingga harta wakaf yang di wakafkan wakif tidak jelas batas-batas dan keberadaannya di tengah masyarakat. f. Semakin besarnya kebutuhan

masyarakat akan tanah untuk menyambung kehidupan di atas bumi ini dan mahalnya harga tanah di zaman modern sekarang.

g. Nazhir tidak melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada BWI dan KUA secara berkala.

Suardi DT. Rajo Bujang mengatakan bahwa pelaporan pelaksanaan tugas memang belum pernah dilakukan oleh pengurus masjid selaku Nazhir. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu, dan juga terdapat perbedaan pendapat dalam internal nazhir dalam mengelola dan mengurusi harta benda wakaf, serta tidak adanya binaan dari Menteri Agama melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat dan/atau Badan Wakaf Indonesia (BWI) kepada nazhir.

Hal yang berhubungan dengan masalah pelaporan harta benda wakaf adalah tugas nazhir sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 ayat 4 Undang-Undang wakaf yaitu, nazhir melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Badan Wakaf Indonesia, dan juga di dalam PP No.42 Tahun 2006 Pasal 13 ayat 2 : nazhir wajib membuat laporan secara berkala kepada Menteri Agama dan BWI setempat mengenai kegiatan-kegiatan perwakafan.

Selain itu, hal yang berhubungan dengan masalah peneguran atau pembinaan yang akan diperoleh oleh nazhir wakaf berbadan hukum dijelaskan

pada Pasal 12 ayat 3 PP N0. 42. Tahun 2006 yang menegaskan: apabila nazhir yang berbadan hukum dalam jangka 1 (satu) tahun sejak AIW dibuatkan tidak melaksanakan tugasnya, maka kepala KUA baik atas inisiatif sendiri maupun usul wakif atau ahli warisnya berhak mengusulkan kepada BWI untuk pemberhentian dan penggantian nazhir.

Dari penjelasan bunyi Pasal 12 ayat 3 PP No.42 tahun 2006 ini dapat diambil kesimpulan bahwa selaku nazhir yang tidak menjalankan tugasnya selama setahun setelah AIW dibuat maka kepala KUA berhak mengusulkan kepada BWI untuk memberhentikan dan pergantian nazhir. Tugas nazhir yang tidak berjalan di kelurahan Korong Gadang adalah nazhir yang mengelola harta benda wakaf yang berupa masjid tidak pernah memberikan laporan secara berkala kepada Kementerian Agama semenjak dikeluarkannya Akta Irar Wakaf (AIW) yaitu pada tahun 1992. Padahal dalam Pasal 13 ayat 2 PP No. 42 tahun 2006 menegaskan bahwa nazhir wajib melaporkan secara berkala kepada Menteri Agama dan BWI mengenai kegiatan perwakafan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1).

h. Tidak berjalanya ketentuan pidana kepada pihak yang melanggar peraturan perundang-undangan, terutama nazhir mengambil sebagian tanah wakaf untuk keperluan pribadinya.

Padahal ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 67 ayat (3) BAB IX yang menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang telah ditentukan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dalam pemanfaatan tanah wakaf untuk keperluan pribadi

(17)

nazhir ini sudah jelas melanggar ketentauan pasal ini.

Faktor yang paling berpengaruh yang menyebabkan undang-undang belum terealisasi adalah karena belum terjalinnya hubungan yang harmonis antara nazhir yang telah ditunjuk, sehingga terjadinya penyelewengan peruntukan harta wakaf yang dilakukan oleh nazhir sendiri dan yang menjadi penyebab terakhir adalah karena tidak adanya pengawasan atau pembinaan yang dilakukan dari Kantor Urusan Agama (KUA) terhadap harta benda wakaf maupun nazhir sehingga harta benda wakaf dapat dikelola secara prefesional dan produktif.

Pemanfaatan Tanah Wakaf Untuk Kepentingan Pribadi Nazhir

Secara garis besar persyaratan nadzir dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf memberikan persyaratan yang lebih ketat kepada seorang nadzir, tidak hanya berasal dari tokoh masyarakat, sesepuh desa, kiai ataupun seorang ulama tetapi juga harus mempunyai kemampuan manajerial. Nazhir wakaf meliputi perseorangan, organisasi dan badan hukum yang semuanya haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Warga Negara Indonesia (WNI), b. Beragama Islam,

c. Dewasa, d. Amanah,

e. Mampu secara jasmani dan rohani, dan f. Tidak terhalang melakukan perbuatan

hukum.

Untuk nazhir yang berbentuk organisasi ditambahkan haruslah organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. Sementara untuk nazhir badan hukum haruslah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. (Pasal 9 dan 10). Inilah yang masih

banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan di tengah masyarakat Kelurahan Korong Gadang, di mana proses perwakafan masih menganut kebiasaan yang lama dan penuh dengan kepercayaan. Wakaf diserahkan kepada seorang kiyai, ustazd dan wali kampung sehingga banyak terjadi penyimpangan terhadap pengelolaan harta wakaf di antara pemanfaatan tanah wakaf yang diserahkan kepada nazhir dipergunakan untuk keperluan pribadinya. Padahal harta wakaf yang diserahkan oleh wakif kepada nazhir untuk dikelola dengan baik dan diperuntukkan kepada orang berhak untuk menerimanya sesuai dengan syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam mengelola harta wakaf nazhir diberikan kewajiban atau tanggung jawab untuk mengelola harta wakaf sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, sebagai berikut: Pasal 11; Nazhir mempunyai tugas:

a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai tujuan, fungsi, dan peruntukannya.

c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, seorang nazhir boleh mengambil atau memanfaatkan hasil pengelolaan harta wakaf tersebut untuk keperluannya. Semua itu tidak lebih dari 10 persen saja. Hal ini berlaku terhadap hasil pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh nazhir tidak terhadap harta wakafnya. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12; “Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 parsen”. Namun realitanya, dari hasil penelitian

(18)

yang penulis lakukan terhadap harta benda wakaf yang dikelola oleh nazhir yang di peruntukkan untuk pembangunan Masjid, ternyata dipergunakan oleh nazhir sebagian untuk pembangunan ruko, di mana hasil dari ruko tersebut dipergunakan untuk keperluan kebutuhan sehari-hari dan penyambung hidup atau sebagai mata pencarian si nazhir tersebut. Ini telah jelas menyalahi dan melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga nazhir dapat dijatuhi hukuman pidanan penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau hukum denda paling tinggi Rp. 300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah). Jadi, dari penelitian ini penulis berpendapat bahwa perbuatan nazhir dalam hal menggunakan harta benda wakaf untuk keperluan pribadinya jelas melanggar peraturan yang berlaku dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ini.

Menurut penulis hal ini terjadi karena peranan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang berkerjasama dengan Kementerian Agama, selaku lembaga independen yang lahir berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang memiliki tanggungjawab besar dalam memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia belum maksimal. Seharusnya Badan Wakaf Indonesia dan Kementerian Agama, harus serius dalam membina nazhir agar menjadi nazhir yang lebih profesional, karena nazhir tidak bisa dipisahkan dari sistem perwakafan, yang mana kelestarian dan kelangsungan pengembangan dan pengelolaan harta benda wakaf tergantung dari nazhir. Menurut penulis, dengan disahkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, seharusnya dapat meminimalisir faktor-faktor yang menyebabkan wakaf tidak bisa berkembang produktif. Pemerintah

seyogyanya memberikan pengawasan dan melakukan pembinaan terhadap nazhir

wakaf. Pemerintah harus

menyelenggarakan sejumlah pelatihan dan seminar tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf ke arah produktif. Dengan menerbitkan buku-buku wakaf dan lain sebagainya, yang disertai dengan pengawasan-pengawasan terhadap kerja nazhir itu sendiri. Sehingga terlihat adanya suatu korelasi antara teori-teori yang ada dalam buku-buku, pelatihan atau pun seminar. Dengan realisasi kerja nazhir di lapangan yang bertujuan untuk menunjang kerja nazhir, sehingga profesionalitas pengelolaan wakaf dapat diusahakan, dan wakaf produktif yang dicita-citakan undang-undang, untuk mensejahterakan masyarakat muslim dapat tercapai. Faktor lain yang menyebabkan undang-undang wakaf belum terealisasi adalah karena wakaf dikelola oleh orang-orang yang bukan profesional, dan kualitas SDM pengelola wakaf yaitu nazhir tidak memadai karena rendahnya pendidikan, akibatnya harta wakaf tidak berkembang secara maksimal.

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah penulis lakukan mengenai “Pemanfaatan Tanah Wakaf Oleh Nazhir di Kelurahan Korong Gadang ditinjau menurut Hukum Positif, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan nazhir menggunakan harta benda wakaf untuk kepentingan pribadinya; 1). Tanah wakaf tersebut tidak masuk dalam sertifikat tanah wakaf yang ada pada mulanya, karena tanah tersebut merupakan tanah wakaf tambahan. 2). Dalam proses perwakafan di Kelurahan Korong Gadang masih menganut tata cara Tradisional. 3). Pada umumnya baik nazhir maupun masyarakat belum mengetahui dan memahami peraturan tentang wakaf secara baik dan benar. 4). Belum adanya sosialisasi peraturan tentang wakaf yang dilakukan KUA

(19)

atau BWI. 5). Serta kurangnya pengawasan dan tidak adanya pembinaan terhadap nazhir wakaf yang dilakukan KUA selaku perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.

b. Perbuatan nazhir dalam hal mempergunakan harta benda wakaf untuk keperluan pribadinya tentu telah menyalahi tujuan dari siwakif untuk mewakafkan tanahnya dan perbuatan nazhir telah melanggar peraturan perundang-undangan Pasal 12 jo Pasal 63 ayat (3) dan dapat dikenakan sanksi hukum pidana penjara selama 3 (Tiga) Tahun atau denda sebesar Rp. 300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah).

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Abi Bakar al-Masyhuridan al-Bakri bin Muhammad Syata’ al-Dimiyati, I’anatu

at-Thalibin,Juz III, Mesir: Musthafa al-Halabi, tt

Al-Kahlani Muhammad bin Ismail, Subulu al-Salam, Bandung: MaktabahDahlan, tt, lihatjuga di dalamShahih Muslim, Juz III , (Indonesia: MaktabahDahlan, tt),

An-Nasa’i, Sunan Nasa’i, Beirut: Dar al-Fikri, tt, Bab Ihbas,

Az-Zuhaili, Wahbah, (1989) Fiqih Islam wa Adillah, Damsyik: Dar al-Fikri

Departemen Agama, (2002) al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Pena Pundi Aksara

Departemen Agama, (2006) Bunga Rampai Perwakafan, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf

Departemen Agama, (2000) Kompilasi Hukum Islam di buku III, Jakarta:

Departemen Agama RI, (2004) Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam

Direktorat Jendral BimbinganMasyarakat Islam, (2009) Undang-Undang No. 41 tahun 2004

dan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya, Jakarta

Halim, Abdul. (1999) Hukum Perwakafan Di Indonesia, Jakarta: Quantum

Izzuddin, (2007) Peran dan Fungsi Nadzir wakaf menurut Fiqh dan Hukum Positif (Lubuk

sikarah Kota Solok), Skripsi, IAIN Imam Bonjol Padang

Maghniyah, M. Jawad, (1996) Fiqh Lima Mazhab, terjemahan Masykur, dkk, Jakarta: PT Letera Basritama

Rahmat Hidayat, Tiswarni, (2011) Perwakafan (Filantropi Islam Untuk Kesejahteraan Umat), Jakarta: Safira

Rozalinda, (2009) Manajemen Investasi Wakaf Tunai, Padang: Pustaka al-Hilal Sabiq, Sayyid, (1981) Fiqh Sunnah, Multajam Araby: Darul Fikri

Satria Effendi,M. Zain, (2004) Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurispudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah), Jakarta: Kencana

Soehartono, Irawan, (1995) Metode Penelitian Sosial, Bandung: Rosdakarya Sudarsono, (1992) Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta

Suhendra, M. Hadi, (2007) Pengelolaan Wakaf di Masjid Kelurahan Kuranji Padang ditinjau dari Hukum Islam, Skripsi, IAIN Imam Bonjol Padang

Yulhendri, (2007) Problematika Pelaksanaan Tugas Nadzir Wakaf di Kabupaten Tanah Datar

setelah berlakunya Unsang-Undang No.41 Tahun 2004, Skripsi, IAIN Imam

Bonjol Padang

DAFTAR WAWANCARA

Agusmaniar, Kasi pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Korong Gadang, Wawancara Pribadi, 15 Maret 20016

Dt. Lelo Nan Kayo, Salah Seorang Nazhir di Korong Gadang, Wawancara Pribadi, 25 Maret 2016

Dt. Pangulu Basa, Salah Seorang Tokoh Adat Masyarakat Korong Gadang, Wawancara

Pribadi, 12 Januari 2016

H.Fathah, Salah Seorang Nazhir di Korong Gadang, Wawancara Pribadi, 28 Februari 2016. Jasrizal, Pegawai KUA KecamatanKuranji, Wawancara Pribadi, 05 Mei 2016

Leniardi, Salah Seorang Nazhir di Korong Gadang, Wawancara Pribadi, 25 Februari 2016 Irwansyah, Salah SeorangNazhir di Korong Gadang, Wawancara Pribadi, 28 Maret 2016. Iwan, Lurah Korong Gadang, Wawancara Pribadi, 15 Maret 2016

Nasaruddin Pulungan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kuranji, Wawancara Pribadi, 4 Februari 2016

Suardi, Dt Rajo Bujang. Ketua Penghulu Suku Caniago/Penghulu Adat di Korong Gadang, Wawancara Pribadi, 28 September 2015

Gambar

Tabel 1. Data Bangunan Harta Benda  Wakaf Di Korong Gadang
Tabel 2. Data Tanah Wakaf Se-Kecamatan  Kuranji, Kota Padang

Referensi

Dokumen terkait

Pemuda desa Cihideung Udik yang sebagian besar tidak memiliki lahan pertanian ini hanya melihat pertanian dari buruh tani yang bekerja kasar dengan upah yang kecil sehingga

Pada masa ini pula ditanamkan proses berbahasa Indonesia yang baik, dan bahkan juga masa yang sesuai untuk belajar bahasa asing melalui pemerolehan bahasa (bukan melalui

Untuk mengembangkan media pembelajaran kimia berbasis STEM berupa rangkaian sistem pendeteksi gas karbon dioksida CO2 dan modul STEM interaktif untuk pembelajaran kimia pada

pendekatan komunikasi secara persuasif, menjadikan kualitas untuk hidup bagi para pecandu meningkat, mereka lebih produktif, sudah mulai membangun komunikasi

Penilaian anak dan dalam kategori mulai berkembang pada pra tindakan berjumlah 4 orang anak atau 27% sedangkan pada siklus 1 yaitu 11 orang anak, hal ini disebabkan karena

Dalam suatu perusahan agar terjadi koordinasi yang sempurna maka dibentuk struktur organisasi. Struktur organisasi merupakan suatu jenjang urut-urutan pengaturan di dalam

Abdul Syukur meneliti tentang model dakwah multikultural dan penerapanya oleh da’I NU, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini untuk mengetahui bagaimana

yang terbaik. Petugas yang ada juga sudah menjalankan tugasnya masing- masing dengan baik. Namun, beliau juga tidak menampik apabila ada mesyarakat yang belum puas