BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Stakeholder
Teori stakeholder merupakan teori yang menjelaskan bagaimana manajemen perusahaan memenuhi atau mengelola harapan para stakeholder. Teori
stakeholder menekankan mengenai akuntabilitas organisasi jauh melebihi kinerja
keuangan atau ekonomi sederhana. Teori ini menyatakan bahwa organisasi akan memilih secara sukarela mengungkapkan informasi tentang kinerja lingkungan, sosial dan intelektual mereka, melebihi dan di atas permintaan wajibnya, untuk memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang diakui oleh stakeholder.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang secara umum dikenal dengan stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan (Kusumadilaga, 2010:11). Stakeholder merupakan semua pihak yang keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan, seperti: karyawan, masyarakat, perusahaan pesaing dan pemerintah. Stakeholder juga mempunyai hak terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, seperti halnya pemegang saham (Rosiana, et al, 2013:726).
Ghazali dan Chariri (2007:32) mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholders-nya (shareholders, kreditor, konsumen,
supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain). Dengan demikian,
keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut.
Sekarang ini perusahaan besar biasanya harus memperhatikan berbagai kepentingan khususnya kepentingan masyarakat secara umum. Stakeholders dalam konsep teori ini yang menjadi pusat perhatian adalah keseluruhan pihak atau kontestan yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan (Harahap, 2012:77).
2.1.2 Teori Legitimasi
Teori legitimasi merupakan suatu gagasan tentang kontrak social (social
contract) antara perusahaan dengan masyarakat. Menurut teori ini, keberadaan
perusahaan dalam suatu area karena didukung secara politis dan dijamin oleh mekanisme regulasi yang diterbitkan pemerintah. Maka, agar perusahaan dapat diterima oleh masyarakat, perusahaan tersebut harus mengungkapkan aktivitas sosial perusahaan sehingga akan menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Dengan demikian, ada kontrak sosial secara tidak langsung antara perusahaan dan masyarakat, dimana masyarakat memberi costs dan benefits untuk keberlanjutan suatu korporasi. Karena itu, CSR merupakan kewajiban asasi perusahaan yang tidak bersifat suka rela (Lako, 2011:6).
Teori legitimasi juga berpendapat bahwa perusahaan harus melaksanakan dan mengungkapkan aktivitas CSR semaksimal mungkin agar aktivitas perusahaan dapat diterima oleh masyarakat. Pengungkapan ini digunakan untuk melegitimasi aktivitas perusahaan di mata masyarakat, karena pengungkapan CSR akan menunjukkan tingkat kepatuhan suatu perusahaan (Branco dan Rodrigues, 2008 dalam Rosiana, et al, 2013:726).
Menurut Dowling (1975), (Ghozali dan Chariri, 2007), dalam Purwanto, (2011:15), teori legitimasi sangatbermanfaat dalam menganalisis perilaku organisasi. Kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa : “Karena legitimasi adalah hal yang penting bagi organisasi, batasan – batasanyang ditekankan oleh norma – norma dan nilai–nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan tersebut mendorong pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan lingkungan”.
2.1.3 Corporate Social Responsibility (CSR)
Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara
sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggungjawab organisasi di bidang hukum.
Menurut lingkar studi CSR Indonesia (Nurdizal, 2011:15), CSR adalah upaya sungguh–sungguh dari entitas bisnis untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan agar mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Menurut Philip Kotler (Nurdizal, 2011:16), CSR adalah “A commitment to
improve community well-being through discretionary business practices and contributions of corporate resource”.
Berdasarkan apa yang diungkapkan Philip Kotler tersebut, CSR merupakan sesuatu yang perlu dilakukan, seandainya tidak akan berakibat tidak baik pada perusahaan itu sendiri. Di sini terlihat bahwa CSR dilaksanakan masih sebagai hal yang perlu bukan suatu kewajiban atau suatu peraturan yang diharuskan. Sedangkan di Indonesia saat ini, pelaksanaan CSR merupakan suatu hal yang wajib dilaksanakan, hal tersebut diatur dalam UU Perseroan.
Perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya perlu memiliki prioritas dan strategi. Eksistensi perusahaan dan pencapaian laba jangka panjang merupakan prioritas perusahaan. Perusahaan dalam mencapai prioritas tersebut memerlukan strategi. Kemampuan menghasilkan laba jangka panjang hanya akan terealisasi apabila keberadaan perusahaan dapat berguna dan didukung oleh
stakeholder. Dukungan stakeholder akan terwujud jika dampak negatif pada ranah
sosial, ekonomi, dan lingkungan bukan hanya dapat diminimalisir, tetapi justru dapat memberikan dampak positif yang besar bagi stakeholder (Nurdizal, 2011:16).
Adapun pengertian lain dari tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate
Social Responsibility) adalah kewajiban manajemen untuk membuat keputusan
dan melakukan tindakan yang akan meningkatkan kesejahteraan dan kepentingan masyarakat serta perusahaan (Daft, 2012:182).
Sebagai sebuah konsep yang makin popular, Corporate Social
Responsibility (CSR) ternyata belum memiliki definisi yang tunggal. Menurut The World BusinessCouncil for Sustainable Development (WBCSD) 1995 – Lembaga
Internasional dalam publikasinya “Making Good Business Sense”(Wibisono, 2007:7) mendefinisikan bahwa :
Corporate Social Responsibilty atau tanggung jawab sosial perusahaan
didefinisikan sebagai komitmen dunia bisnis untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi berkelanjutan, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.
Konsep Triple Bottom Line yang dipopulerkan oleh Jhon Elkington, 1997 (Wibisono, 2007:32) memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan, haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit, Perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Hubungan ini kemudian diilustrasikan dalam bentuk segitiga seperti berikut :
Gambar 2.1 Triple Bottom Line (3P) Sumber : Wibisono (2007) Sosial (People) Lingkungan (Planet) Ekonomi (Profit)
Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak hanya bertanggung jawab pada aspek ekonominya saja, namun juga harus memperhatikan pada aspek sosial dan lingkungannya. Konsep CSR akan lebih mudah dipahami, dengan menanyakan kepada siapa sebenarnya pengelola perusahaan (manajer) bertanggung jawab.
Menurut Friedman (Solihin, 2009:6) tanggung jawab sosial perusahaan adalah menjalankan bisnis sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan
(owners), biasanya dalam bentuk menghasilkan uang sebanyak mungkin
dengan senantiasa mengindahkan aturan dasar yang digariskan dalam suatu masyarakat sebagaimana diatur oleh hukum dan perundang-undangan. Dengan demikian, tujuan utama dari suatu perusahaan korporasi adalah memaksimalisasi laba atau nilai pemegang saham.
Meskipun pengertiannya lugas, CSR dapat menjadi sebuah konsep yang sulit dipahami karena orang-orang yang berbeda memiliki keyakinan yang berbeda mengenai tindakan apa yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Konsep Corporate Social Responsibility melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga sumberdaya masyarakat, serta komunitas setempat (lokal). Kemitraan ini merupakan tanggung jawab bersama secara sosial antara
stakeholders.
Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha dapat merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi usahanya (Wibisono, 2007:72). Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat, maka wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Karena perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam suatu tatanan lingkungan masyarakat. Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosa mutualisme. Ketiga, kegiatan CSR ini salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindari konflik sosial.
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), meskipun dalam jangka pendek menguras kas dan menurunkan laba, tetapi dalam jangka panjang ternyata mendatangkan banyak manfaat ekonomi bagi perusahaan (Lako, 2011:90) :
Sebagai investasi sosial yang menjadi sumber keunggulan kompetitif perusahaan dalam jangka panjang.
Memperkokoh profitabilitas dan kinerja keuangan perusahaan.
Meningkatnya akuntabilitas dan apresiasi positif dari komunitas investor, kreditor, pemasok, dan konsumen.
Meningkatnya komitmen, etos kerja, efesiensi, dan produktifitas karyawan.
Menurunnya kerentanan gejolak sosial dan resistensi dari komunitas sekitarnya karena diperhatikan dan dihargai perusahaan.
Meningkatnya reputasi, goodwill dan nilai perusahaan dalam jangka panjang.
Dari sisi perusahaan, terdapat berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan (Susanto, 2009 dalam Sinamo, 2014:11):
1) Mengurangi risiko dan tuduhan terhadap perlakukan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan tanggungjawab sosialnya secara konsisten akan mendapat dukungan luas dari komunitas yang merasakan manfaat dari berbagai aktivitas yang dijalankannya.
2) CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Ketika perusahaan diterpa kabar miring atau bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih mudah memahami dan memaafkannya.
3) Keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mayarakat dan lingkungan sekitarnya.
4) CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan denganpara stakeholder-nya. Pelaksanaan CSR secara konsistenmenunjukkan bahwa perusahaan memiliki kepedulian terhadappihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap lancarnyaberbagai aktivitas serta kemampuan yang mereka raih.
5) Meningkatnya penjualan seperti konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya sehingga memiliki reputasi yang baik.
2.1.4 Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
Alasan utama mengapa suatu pengungkapan diperlukan adalah agar pihak investor dapat melakukan suatu informed decision dalam pengambilan keputusan investasi. Berkaitan dengan keputusan investasi, investor memerlukan tambahan informasi non keuangan. Kebutuhan itu didorong oleh adanya perubahan manajerial yang menyebabkan terjadinya perluasan kebutuhan investor akan informasi baru yang mampu menginformasikan hal-hal yang bersifat kualitatif yang berkaitan dengan perusahaan. Informasi kualitatif dipandang memiliki nilai informasi yang mampu menjelaskan fenomena yang terjadi, dan tindakan apa yang akan diambil oleh manajemen terhadap fenomena tersebut. Informasi kualitatif ini dapat diungkapkan dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Sustainability Reporting meliputi pelaporan mengenai
ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi (Nurlela dan Islahuddin, 2008:7).
Setiap tahap pengelolaan CSR harus didasari kajian dan penilaian saksama. Hasil kajian yang baik akan mendukung perumusan rencana kegiatan yang andal (www.csrindonesia.com). Kajian dan Penilaian (Assessment) itu meliputi :
a. Penilaian Sosial dan Lingkungan untuk Pengambilan Keputusan Investasi (Social and Environmental Aspects of Investment Screening), b. Penilaian Dampak Sosial dan Lingkungan Proyek (Social and
Environmental Impacts Assessment),
c. Survei Data Dasar (Baseline Survey),
d. Penilaian Kebutuhan Masyarakat (Community Needs Assessments), e. Pemetaan Isu Strategis dan Pemangku Kepentingan (Strategic Issues
and Stakeholder Mapping), dan
f. Kajian Kebijakan dan Manajemen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Review on CSR Policy and Management).
Hendriksen dan Widjajant (1991:203), dalam Agustine (2014:43), mendefinisikan pengungkapan (disclosure) sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory), yaitu pengungkapan informasi wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu, dan ada yang bersifat sukarela (voluntary) yang merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku.
Setiap unit/pelaku ekonomi selain berusaha untuk kepentingan pemegang saham dan mengkonsentrasikan diri pada pencapaian laba juga mempunyai tanggung jawab sosial, dan hal itu perlu diungkapkan dalam laporan tahunan, sebagaimana dinyatakan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 (Revisi 1998) Paragraf kesembilan:
Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added
statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup
memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat
voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak
dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Glouter dalam Nurlela dan Islahuddin (2008:6) menyebutkan tema–tema yang termasuk dalam wacana Akuntansi Pertanggungjawaban sosial adalah:
1. Kemasyarakatan
Tema ini mencakup aktivitas kemasyarakatan yang diikuti oleh perusahaan, misalnya aktivitas yang terkait dengan kesehatan, pendidikan dan seni serta pengungkapan aktivitas kemasyarakatan lainnya.
2. Ketenagakerjaan
Tema ini meliputi dampak aktivitas perusahaan pada orang-orang dalam perusahaan tersebut. Aktivitas tersebut meliputi : rekruitmen, program pelatihan, gaji dan tuntutan, mutasi dan promosi dan lainnya. 3. Produk dan Konsumen
Tema ini melibatkan aspek kualitatif suatu produk atau jasa, antara lain keguanaan durability, pelayanan, kepuasan pelanggan, kejujuran dalam iklan, kejelasan/kelengkapan isi pada kemasan, dan lainnya.
4. Lingkungan Hidup
Tema ini meliputi aspek lingkungan dari proses produksi, yang meliputi pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis,
pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan konversi sumber daya alam.
Martin Freedman dalam Kusumadilaga (2010:17) mengatakan bahwa ada tiga pendekatan dalam pelaporan kinerja sosial, yaitu :
1. Pemeriksaan Sosial (Social Audit)
Pemeriksaan sosial mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dari operasi operasi yang dilakukan perusahaan. Pemeriksaan sosial dilakukan dengan membuat suatu daftar aktivitas-aktivitas perusahaan yang memiliki konsekuensi sosial, lalu auditor sosial akan mencoba mengestimasi dan mengukur dampak-dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas tersebut.
2. Laporan Sosial (Social Report)
Berbagai alternatif format laporan untuk menyajikan laporan sosial telah diajukan oleh para akademis dan praktisioner. Pendekatan-pendekatan yang dapat dipakai oleh perusahaan untuk melaporkan aktivitas-aktivitas pertanggungjawaban sosialnya ini dirangkum oleh Dilley dan Weygandt menjadi empat kelompok sebagai berikut:
a. Inventory Approach, Perusahaan mengkompilasikan dan mengungkapkan sebuah daftar yang komprehensif dari aktivitas-aktivitas sosial perusahaan. Daftar ini harus memuat semua aktivitas sosial perusahaan baik yang bersifat positif maupun negatif.
b. Cost Approach, Perusahaan membuat daftar aktivitas-aktivitas sosial perusahaan dan mengungkapkan jumlah pengeluaran pada masing-masing aktivitas tersebut.
c. Program Management Approach, Perusahaan tidak hanya mengungkapkan aktivitas-aktivitas pertanggungjawaban sosial tetapi juga tujuan dari aktivitas tersebut serta hasil yang telah dicapai oleh perusahaan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan itu.
d. Cost Benefit Approach, Perusahaan mengungkapkan aktivitas yang memiliki dampak sosial serta biaya dan manfaat dari aktivitas tersebut. Kesulitan dalam penggunaan pendekatan ini adalah adanya kesulitan dalam mengukur biaya dan manfaat sosial yang diakibatkan oleh perusahaan terhadap masyarakat.
3. Pengungkapan Sosial dalam Laporan Tahunan (Disclosure In
AnnualReport)
Pengungkapan sosial adalah pengungkapan informasi tentang aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan lingkungan sosial perusahaan. Pengungkapan sosial dapat dilakukan melalui berbagai media antara lain laporan tahunan, laporan interim/laporan sementara, prospektus, pengumuman kepada bursa efek atau melalui media masa. Perusahaan cenderung untuk mengungkapkan informasi yang berkaitan dengan aktivitasnya dan dampak yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut. Darwin (2004) dalam Kusumadilaga (2010:20), mengatakan bahwa
Corporate Social Responsibility terbagi menjadi 3 kategori yaitu kinerja ekonomi,
kinerja lingkungan dan kinerja sosial. Sedangkan dalam penelitian ini mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaporan sosial perusahaan berdasarkan standar GRI (Global Reporting Initiative).
Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah jaringan berbasis
organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia (www.globalreporting.org).
Daftar pengungkapan sosial yang berdasarkan standar GRI juga pernah digunakan oleh Dahli dan Siregar (2008) dalam Kusumadilaga (2010:21), dengan menggunakan 6 indikator pengungkapan yaitu : ekonomi, lingkungan, tenaga kerja, hak asasi manusia, sosial dan produk. Indikator-indikator yang terdapat di dalam GRI yang digunakan dalam penelitian yaitu :
1. Indikator Kinerja Ekonomi (economic performance indicator) 2. Indikator Kinerja Lingkungan (environment performance
indicator)
3. Indikator Kinerja Tenaga Kerja (labor practices performance
4. Indikator Kinerja Hak Asasi Manusia (human rights performance indicator)
5. Indikator Kinerja Sosial (social performance indicator)
6. Indikator Kinerja Produk (product responsibility performance
indicator).
2.1.5 Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan adalah kinerja perusahaan yang dicerminkan oleh harga saham yang dibentuk oleh permintaan dan penawaran dipasar modal yang merefleksikan penilaian masyarakat terhadap kinerja perusahaan (Harmono, 2009:233).
Nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar, karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran bagi pemegang saham secara maksimal apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka semakin tinggi kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris (Nurlela dan Islahuddin, 2008:7).
Menurut Christiawan dan Tarigan (2007) dalam Putri (2011:10), terdapat beberapa konsep nilai yangmenjelaskan nilai suatu perusahaan antara lain:
a. Nilai nominal yaitu nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan, dan juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif.
b. Nilai pasar, sering disebut kurs adalah harga yang terjadi dari proses tawar-menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham perusahaan dijual di pasar saham.
c. Nilai intrinsik merupakan nilai yang mengacu pada perkiraan nilai riil suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai intrinsik ini bukan sekadar harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai perusahaan
sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan di kemudian hari.
d. Nilai buku, adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep akuntansi.
Nilai perusahaan dapat diukur melalui nilai harga saham di pasar, berdasarkan terbentuknya harga saham perusahaan di pasar, yang merupakan refleksi penilaian oleh publik terhadap kinerja perusahaan secara riil. Dikatakan secara riil karena terbentuknya harga di pasar merupakan bertemunya titik-titik kestabilan kekuatan permintaan dan titik-titik kestabilan kekuatan penawaran harga yang secara riil terjadi transaksi jual beli surat berharga di pasar modal antara para penjual (emiten) dan para investor, atau sering disebut sebagai ekuilibrium pasar. Oleh karena itu, dalam teori keuangan pasar modal harga saham di pasar disebut konsep nilai perusahaan (Harmono, 2009:50).
Samuel (2000) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008:7) menjelaskan bahwa
enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan)
merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan Wahyudi (2005) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008:7) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut dijual.
Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan perusahaan dan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan, dan manajemen aset. Nilai perusahaan dibentuk melalui indikator nilai pasar saham sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Adanya peluang
investasi dapat memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Astiari, et
al, 2014:2).
Dalam penilaian perusahaan terkandung unsur proyeksi, asuransi, perkiraan, dan judgment. Ada beberapa konsep dasar penilaian yaitu : nilai ditentukan untuk suatu waktu atau periode tertentu; nilai harus ditentukan pada harga yang wajar; penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok pembeli tertentu. Secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan dalam penilaian perusahaan, di antaranya adalah (Kusumadilaga, 2010:22-23) :
a) Pendekatan laba antara lain metode rasio tingkat laba atau price
earning ratio, metode kapitalisasi proyeksi laba;
b) Pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas; c) Pendekatan dividen antara lain metode pertumbuhan dividen; d) Pendekatan aktiva antara lain metode penilaian aktiva; e) Pendekatan harga saham;
f) pendekatan economic value added.
Nilai perusahaan yang sudah go public tercermin dalam harga pasar saham perusahaan, sedangkan pengertian nilai perusahaan yang belum go public nilainya terealisasi apabila perusahaan akan dijual (total aktiva dan prospek perusahaan, risiko usaha, lingkungan usaha, dan lain-lain) (Margaretha, 2011:4).
Pada dasarnya, tujuan manajemen keuangan adalah memaksimumkan nilai perusahaan. Akan tetapi di balik tujuan tersebut masih terdapat konflik antarapemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai kreditur. Jika perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat, sedangkan nilai hutang perusahaan dalam bentuk obligasi tidak terpengaruh sama sekali. Jadi
dapat disimpulkan bahwa nilai dari saham kepemilikan bisa merupakan indeks yang tepat untuk mengukur tingkat efektifitas perusahaan.
Berdasarkan alasan itulah, maka tujuan manajemen keuangan dinyatakan dalam bentuk maksimalisasi nilai saham kepemilikan perusahaan, atau memaksimalisasikan harga saham. Tujuan memaksimumkan harga saham tidak berarti bahwa para manajer harus berupaya mencari kenaikan nilai saham dengan mengorbankan para pemegang obligasi. Nilai perusahaan dapat dilihat melalui nilai pasar atau nilai buku perusahaan dari ekuitasnya (Margaretha, 2011:5).
Nilai perusahaan pada penelitian diproksikan dengan price to book value.
Price to book value yang tinggi akan membuat pasar percaya atas prospek
perusahaan kedepan. Prospek perusahaan yang menjanjikan kebaikan dimasa mendatang, akan membuat para investor yakin terhadap dana yang ditanamnya ke perusahaan. Hal itu juga menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab nilai perusahaan yang tinggi mengindikasikan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Rumus Price To Book Value :
PBV =
2.1.6 Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan suatu keuntungan dan menyokong pertumbuhan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang (Khasmir, 2010:196). Profitabilitas perseroan biasanya dilihat dari laporan laba rugi perseroan (income statement) yang menunjukkan laporan hasil kinerja perseroan.
𝐡𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐬𝐚𝐡𝐚𝐦
Heinze, (1976) dalam Kusumadilaga (2010:24), Profitabilitas adalah faktor yang memberikan kebebasan dan fleksibelitas kepada manajemen untuk melakukan dan mengungkapkan kepada pemegang saham program tanggung jawab sosial secara lebih luas.
Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dapat menarik investor untuk menanamkan dananya guna ekspansi bisnis, sedangkan tingkat profitabilitas yang rendah akan menyebabkan investor menarik dananya. Bagi perusahaan sendiri, profitabilitas digunakan sebagai alat evaluasi atas efektifitas pengelolaan kegiatan operasional perusahaan. Laba sering kali menjadi salah satu ukuran kinerja perusahaan. Dimana ketika perusahaan memiliki laba yang tinggi berarti kinerja perusahaannya baik, dan begitu juga sebaliknya. Setiap perusahaan selalu menginginkan profitabilitas yang tinggi untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan.
Perusahaan akan mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (profitabilitas) baik dari tingkat penjualan, asset, modal maupun saham tertentu. Dalam rasio profitabilitas ini, dapat dikatakan sampai sejauh mana keefektifan dari keseluruhan manajemen dalam menciptakan keuntungan bagi perusahaan. Profitabilitas merupakan hasil dari sejumlah besar kebijakan dan keputusan manajemen dalam menggunakan sumber dana perusahaan.
Hubungan antara profitabilitas perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan telah menjadi postulat (anggapan dasar) untuk mencerminkan pandangan bahwa reaksi sosial memerlukan gaya manajerial.
Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial (Kusumadilaga, 2010:24).
Profitabilitas menggambarkan kinerja fundamental perusahaan ditinjau dari tingkat efisiensi dan efektivitas operasi perusahaan dalam memperoleh laba. Konsep profitabilitas ini dalam teori keuangan sering digunakan sebagai indikator kinerja fundamental perusahaan mewakili kinerja manajemen. Sesuai dengan perkembangan model penelitian bidang manajemen keuangan, umumnya dimensi profitabilitas memiliki hubungan kausalitas terhadap nilai perusahaan. Sedangkan nilai perusahaan secara konsep dapat dijelaskan oleh nilai yang ditentukan oleh harga saham yang diperjualbelikan di pasar modal. Hubungan kausalitas ini menunjukkan bahwa apabila kinerja manajemen keuangan perusahaan yang diukur menggunakan dimensi-dimensi profitabilitas dalam kondisi baik, maka akan memberikan dampak positif terhadap keputusan investor di pasar modal untuk menanamkan modalnya dalam bentuk penyertaan modal, demikian halnya juga akan berdampak pada keputusan kreditor dalam kaitannya dengan pendanaan perusahaan melalui utang (Harmono, 2009:110).
Secara konsep dapat disimpulkan bahwa kinerja fundamental perusahaan yang diproksikan melalui dimensi profitabilitas perusahaan memiliki hubungan kausalitas terhadap nilai perusahaan melalui indikator harga saham dan struktur modal perusahaan berkenaan dengan besarnya komposisi utang perusahaan (Harmono, 2009:111).
Pada penelitian ini, kemampuan perusahaan menghasilkan laba diukur dengan menggunakan rasio return on asset (ROA). Karena, ROA dapat mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aktiva tertentu atau dapat dikatakan pula bahwa ROA merupakan rasio terpenting dari rasio profitabilitas yang ada, yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap rupiah aktiva yang digunakan. Dalam penelitian ini, profitabilitas perusahaan diukur menggunakan Return On Assets (ROA) dengan rumus sebagai berikut:
ROA =
2.2 Hasil Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai sumber referensi atau bahan acuan agar dapat membandingkan penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Rincian mengenai penelitian-penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
𝐋𝐚𝐛𝐚𝐁𝐞𝐫𝐬𝐢𝐡
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Nama dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Variabel
Penelitian Hasil Penelitian 1 Nurlela & Islahuddin (2008) Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Persentase Kepemilikan Manajemen sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta) Variabel Independe: CSR Variabel Moderating: Kepemilikan Manajemen Variabel Dependen: Nilai Perusahaan Bahwa (1) CSR berpengaruh simultan terhadap persentase kepemilikan manajemen (2) hanya persentase kepemilikan manajemen yang berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. 2 Kusumadilaga (2010) Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Profitabilitas Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) Variabel Independen: CSR Variabel Moderating: Profitabilitas Variabel Dependen: Nilai Perusahaan Bahwa pengungkapan CSR berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Profitabilitas sebagai variabel moderating tidak dapat mempengaruhi hubungan pengungkapan CSR dan nilai perusahaan.
3 Putri (2011) Pengaruh Corporate Social Responsibility Disclosure Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Kebijakan Struktur Modal Variabel Independen: CSRD Variabel Moderating: Kebijakan Struktur Modal Menunjukkan bahwa secara parsial, variabel independen yang diteliti yaitu CSR berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan . Pengujian selisih nilai mutlak menunjukkan bahwa
No Nama dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian Sebagai Variabel Pemoderasi Pada Perusahaan Pertambangan Yang Terdaftar Di BEI Variabel Dependen: Nilai perusahaan kebijakan struktur modal merupakan variabel pemoderasi. 4 Agustine (2014) Pengaruh Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan dengan Persentase Kepemilikan Manajamen dan Profitabilitas sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan go public yang Terdaftar di BEI) Variabel Independen: CSR Variabel Moderating: Persentase Kepemilikan Manajemen, Profitabilitas Variabel Dependen: Nilai perusahaan Menunjukkan bahwa CSR tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Persentase Kepemilikan Manajemen dan Profitabilitas secara parsial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. 5 Astiari (2014) Pengaruh Pertanggung Jawaban Sosial Perusahaan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Profitabilitas Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia) Variabel Independen: Pertanggung Jawaban Sosial Perusahaan Variabel Moderating: Profitabilitas Variabel Dependen: Nilai Perusahaan Menunjukkan bahwa (1)pertanggungjawaban sosial perusahaan dapat mempengaruhi nilai perusahaan, (2) profitabilitas tidak mempengaruhi hubungan antara pertanggungjawaban sosial perusahaan dengan nilai perusahaan.
2.3 Kerangka Konseptual
Menurut Erlina (2011:33) kerangka konseptual adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan dengan faktor-faktor yang penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual
Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaaan. Nilai perusahaan akan terjamin tumbuh secara berkelanjutan (sustainable) apabila perusahaan memperhatikan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, karena keberlanjutan merupakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Dimensi tersebut terdapat di dalam penerapan Corporate Social
Responsibility yang dilakukan perusahaan sebagai bentuk pertanggungjawaban
dan kepedulian terhadap lingkungan di sekitar perusahaan. CSR dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri. Corporate Social Responsibility merupakan informasi yang
H1 H2 Profitabilitas (X2) Corporate Social Responsibility (X1) Nilai Perusahaan (Y)
diungkapkan dalam laporan tahunan mengenai pertanggungjawaban perusahaan tentang kepeduliannya terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Maka, berdasarkan gambar 2.2, dapat dijelaskan bahwa CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Sementara profitabilitas dalam penelitian ini adalah sebagai variabel
moderating. Profitabilitas perusahaan merupakan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba bersih dari aktivitas yang dilakukan pada periode akuntansi. Profitabilitas dapat menjadi pertimbangan penting bagi investor dalam keputusan investasinya, karena semakin besar dividen akan semakin menghemat biaya modal. Di sisi lain para manajer dapat meningkatkan kepemilikannya akibat penerimaan dividen sebagai hasil keuntungan yang tinggi. Maka, profitabilitas diharapkan mampu memoderasi hubungan CSR dengan nilai perusahaan tersebut.
2.4 Hipotesis Penelitian
Menurut Erlina (2011:30), “Hipotesis adalah proporsi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris, yang menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara 2 variabel atau lebih. Hipotesis pada penelitian ini adalah :
H1: Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
H2 : Profitabilitas mampu memoderasi hubungan antara Corporate Social