• Tidak ada hasil yang ditemukan

HERPETOFAUNA DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HERPETOFAUNA DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT"

Copied!
301
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

HERPETOFAUNA DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT

Awal Riyanto & Mumpuni

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi – LIPI

Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 46. Cibinong, Jawa Barat, INDONESIA awal_lizards@yahoo.com; awal.riyanto@lipi.go.id

Abstrak— Pulau Bali terkenal akan objek wisatannya,

dari kekayaan budaya maupun alamnya yang menawan. Taman Nasional Bali Barat (TNBB) merupakan kawasan konservasi yang di dalamnya memiliki berbagai ekosistem yaitu savana, hutan bakau, hutan muson dan hutan pegunungan. Pengetahuan mengenai keragaman herpetofauna yang terdapat dalam TNBB ini dapat digunakan sebagai modal dalam pengembangan ekowisata. Dari penelitian dan ditunjang hasil studi pustaka terungkap sebanyak 32 jenis herpetofauna tersebar di berbagai tipe ekosistem di TNBB. Dalam makalah ini disajikan pertelaan dari beberapa jenis dilengkapi infomasi biologi dan ekologi dan waktu pengamatan.

Keywords; TNBB; herpetofauna; ekowisata.

PENDAHULUAN

Taman Nasional Bali Barat (TNBB) secara administrasi pemerintahan terletak dalam 2 kabupaten yaitu Kab. Buleleng dan Jembrana, Propinsi Bali. Secara geografis terletak di sisi barat pulau Bali pada posisi koordinat antara 8o05′ 20″ s.d. 8o 15′ 25″ LS dan 114o 25′ 00″ s.d. 114o 56′ 30″ BT.

Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta SK Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam No.186/Kpts/Dj-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 tentang Pembagian Zonasi Kawasan TNBB, maka zona pemanfaatan di TNBB telah dikelola diantaranya melalui kegiatan kepariwisataan khususnya ekowisata.

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, situs TNBB dan pengamatan langsung di TNBB terlihat bahwa kegiatan ekowisata sudah dilakukan bahkan dikelola secara profisional oleh mitra TNBB dari manca negara. Namun kegiatan ekowisata di TNBB hingga saat ini lebih menjual wisata bahari, adat/kebudayaan dan ekosistem (hutan musim, mangrove dan savanna).

Keanekaragaman jenis baik flora maupun fauna merupakan salah satu modal yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan kegiatan ekowisata terutama dari keunikan maupun eksotisitasnya. Berdasarkan penelusuran literatur dan website TNBB (http://www.tnbalibarat.com/?page_id=24), ternyata

data mengenai keragaman jenis dan potensi flora dan fauna TNBB masih sangat kurang.

Disisi lain, penduduk yang berbatasan langsung dengan hutan kawasan konservasi ini masih mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan, misalnya ketergantungan terhadap sumberdaya kayu bakar untuk keperluan rumah tangga, sumberdaya pakan ternak serta sumberdaya hutan yang seringkali dijadikan komoditi dan diambil dari TNBBl oleh penduduk diantaranya beberapa jenis satwa liar (http://www.tnbalibarat.com/?page_id=20 ). Herpetofauna merupakan kelompok satwa yang terdiri atas kelas Amfibi dan Reptil. Kelompok ini mempunyai keunikan dan menimbulkan daya tarik baik dari segi morfologi, warna, suara maupun perilakunya. Disamping itu, sebagian anggota masyarakat percaya bahwa dengan mengkonsumsi jenis reptil tertentu mempunyai khasiat seperti menambah tenaga, gairah seks maupun obat. Oleh karenanya tidak mengherankan banyak jenis herpetofauna yang laris dalam perdagangan satwa baik untuk keperluan pet, konsumsi maupun laboratorium.

Dalam rangka mendukung pengelolaan TNBB khususnya dalam pengembangan kegiatan ekowisata dengan objek berupa keanekaragaman hayati dan sekaligus salah satu upaya dalam pengurangan ketergatungan langsung penduduk akan sumberdaya hutan maka informasi dan data potensi kehati yang terdapat di kawasan TNBB perlu segera diungkapkan, salah satunya adalah keanekaragaman herpetofauna. Dalam tulisan ini keanekaragaman herpetofauna yang diunkapkan tidak meliputi kelompok laut (marine).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian telah dilakukan dari tanggal 10 hingga 19 April 2012 di wilayah Taman Nasional Bali Barat. Peneletian ini difokuskan pada daerah zona pemanfaatan yang meliputi 6 lokasi, yaitu Cekik (CK), Tegal Bunder (TB), Teluk Terima (TT), Labuan Lalang (LL), Prapat Agung (PA), dan Grojokan (GJ). Tipe ekosistem yang terwakili dalam penelitian ini meliputi savanna, mangrove dan hutan munson.

(2)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

Cara Kerja

Penelitian dilakukan secara eksploratif dengan teknik Visual Searching. Pencarian amfibi dan reptil dilakukan secara aktif pada semua lingkungan yang dianggap sesuai sebagai habitat, seperti serasah, bawah kayu lapuk, tumpukan bebatuan, lubang-lubang di tanah dan pohon, semak-semak, sumber-sumber air, genangan air dan aliran sungai (rocky stream). Pencarian dilakukan secara konsisten pada jam 08.00 hingga 14.00 WIT dan pada jam 17.00 hingga 22.00 WIT, namun jumlah ulangan baik siang maupun malam di masing-masing lokasi tidak sama. Hal ini disebabkan singkatnya durasi penelitian yang tersedia.

Setiap individu yang dijumpai diidentifikasi secara langsung di lokasi. Identifikasi dan tata nama mengacu pada de Rooij (1915, 1917), Iskandar (1998), Iskandar & Colijn (2001), Mausfeld et. al. (2002), Frost et. al. (2006), McKay (2006), dan Murphy et al. (2012). Beberapa individu ditangkap dan disimpan sementara dalam kantong plastik atau blacu untuk dilakukan pemotretan di camp. Khusus untuk individu yang tidak teridentifikasi diproses lebih lanjut sebagai specimen koleksi dan dilakukan identifikasi di laboratorium Herpetologi, Bidang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense) Pusat Penelitian Biologi LIPI dengan membandingkannya pada specimen koleksi yang sudah divalidasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setidaknya sebanyak 32 jenis herpetofauna berhasil tercatat selama penelitian ini yang terbagi dalam 14 suku. Ke-32 jenis tersebut terdiri atas 10 jenis katak, 2 jenis bunglon, 6 jenis cicak/tokek, 4 jenis kadal, 1 jenis biawak, 8 jenis ular dan 1 jenis kura-kura (Tabel 1).

Jumlah jenis yang terungkap ini dibandingkan dengan laporan McKay (2006) untuk kekayaan herpetofauna pulau Bali mencapai 45% (32 jenis vs. 71jenis).

Dalam publikasi McKay (2006) menyebutkan

Occidozyga leavis. Menurut Iskandar (1998), populasi Occidozyga pulau Bali adalah Occidozyga sumatrana.

Hal ini diperkuat dari specimen yang dikoleksi dalam penelitian ini.

Mengingat keunikan dan adanya unsur petualangan dalam usaha menjumpai jenis-jenis herpetofauna di habitatnya, maka kelompok satwa ini dapat dimanfaatkan dalam kegiatan ekowisata seperti halnya kegiatan pengamatan burung (Bird Watching). Pemanfaatan ke arah ekowisata berbasis keanekaragaman herpetofauna dalam hal ini herpeto

watching memerlukan prasarana berupa buku praktis

panduan pengenalan jenis atau field guide dan pemandu wisata.

Buku yang dimaksud harus mudah bagi awam, dilengkapi dengan gambar yang jelas, keterangan singkat dan jelas tentang jenis-jenis bersangkutan, misalnya lokasi, jenis habitat, waktu dan cara dapat menjumpai jenis-jenis tertentu. Pemandu wisata haruslah orang yang mengenal jenis herpetofauna dan perilakunya. Pemandu ini dapat direkrut dari masyarakat setempat yang hidupnya mempunyai ketergantungan langsung dari sumberdaya TNBB. Anggota masyarakat ini sudah tahu betuk seluk beluk medan TNBB dan tinggal diberi pelatihan mengenai pengenalan jenis dan perilaku herpetofauna.

Dengan demikian sejalan dengan asumsi Riyanto (2010) bahwa masyarakat setempat akan mendapatkan peningkatan kesejahteraan dari sektor ekowisata, maka secara otomatis mereka akan menjaga keutuhan hutan sebagai habitat dari berbagai satwaliar di kawasan tersebut.

Di bawah ini dipertelakan secara singkat beserta informasi biolagi dari beberapa jenis yang terungkap pada penelitian ini.

AMFIBI

• Suku Bufonidae (Katak Buduk)

Ingerophrynus biporcatus (Lampiran 1A)

Katak berukuran sedang, dewasa mencapai cm. Permukaan kulit dipenuhi benjolan. Pada bagian kepala terdapat struktur sepasang lipatan kulit. Ciri ini yang membedakan dari jenis lain dalam marganya. Di alam katak ini berfungsi sebagai pengendali serangga. Selain keunikan pada kulit tubuh yang dipenuhi benjolan, suara juga cukup menarik.

• Suku Dicroglossidae

Fejervarya cancrivora (Lampiran 1B)

Katak berukuran sedang, jantan dewasa mencapai 60 mm dan betina mencapai 80 mm. Punggung coklat lumpur terkadang hijau lumut, terdapat bercak gelap yang tidak simetris. Kulit licin terdapat lipatan memanjang. Jari kaki berselaput sampai ujung terkecuali pada jari keempat. Mangsa berupa serangga. Katak ini juga menjadi mangsa bagi ular seperti jenis

Dendrelaphis spp. Dapat dijumpai di habitat payau

hingga sungai dalam hutan munson.

Occidozyga sumatrana (Lampiran 1C)

Katak ini berukuran kecil, jantan dewasa mencapai 30 mm dan betina mencapai 45 mm. Kepala berukuran kecil. Gendang telinga tersembunyi. Rahang bawah tanpa tonjolan atau tanpa struktur seperti gigi. Kulit halus dengan sedikit bintil. Habitat berupa genangan air atau kubangan atau aliran air dangkal termasuk di hutan munson. Mangsa jenis berupa serangga kecil dan tempayaknya. Dapat dijumpai saat usai hujan atau di malam hari.

(3)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

• Suku Microhylidae (Katak Bermulut Kecil)

Microhyla palmipes (Lampiran 1D)

Katak berukuran kecil mencapai 18 mm. Kepala dan mulut kecil, gendang telinga tersembunyi. Ujung jari tangan dan kaki membesar membentuk piringan kecil, dengan lekuk sirkum marginal di sepanjang tepiannya yang memisahkan sisi atas dengan bawah. Jari kaki berselaput hingga 2/3 atau 3//4 bagian, yang hampir mencapai piringan jari pertama dan jari kelima kaki. Kulit halus atau dengan sedikit bintil di punggung, pada bagian pelupuk mata terdapat sebuah bintil kecil. Dapat dijumpai selepas hujan baik pada siang maupun malam hari dengan mendengarkan suara yang mirip patikan korek api yang terus-menerus. Biasanya bersembunyi di bawah rerumputan pada genangan air. Mangsa berupa semut dan rayap.

• Suku Ranidae (Katak Sejati)

Hylarana chalconota (Lampiran 1E)

Katak berukuran sedang, panjang dari moncong hingga anus mencapai 70 mm. Kodok jantan lebih kecil dari yang betinanya. Moncong runcing, mata besar menonjol dan tubuh ramping. Kaki panjang dan ramping, dengan selaput renang penuh hingga ke ujung, kecuali pada ujung jari keempat. Ujung jari tangan dan kaki melebar menyerupai cakram. Warna tubuh bervariasi dari krem kekuningan hingga kehijauan. Biasanya terdapat bintik-bintik hitam bulat yang letaknya tidak beraturan. Lipatan dorsolateral jelas. Permukaan perut berwarna putih. Permukaan kulit licin.

Aktif di malam hari. Dapat dijumpai di sekitar kolam, selokan, saluran air atau sungai kecil dari kawasan pertanian hingga hutan munson. Mangsa berupa serangga.

• Suku Rhacophoridae (Katak Pohon)

Polypedates leucomystax (Lampiran 1F)

Katak berukuran sedang, panjang dari moncong hingga anus mencapai 50 mm pada jantan dewasa dan 80 mm pada betina dewasa. Permukaan kulit halus, tanpa lipatan, tonjolan maupun bintil. Warna bervariasi dari coklat muda kekuningan, keabu-abuan hingga putih pucat. Punggung terkadang terdapat pola titik gelap atau garis gelap memanjang. Permukaan perut berwarna putih.

berbintil halus, berwarna putih sedikit keemasan. Kulit bagian kepala seolah melekat pada tengkorak. Jari tangan berselapaut setengah atau bahkan tanpa selaput. Jari kaki berselaput hingga ruas paling ujung kecuali pada jari keempat yang hanya mencapai ruas kedua.

Aktif sejak menjelang senja hingga malam sekitar pukul 21.00. Dapat dijumpai pada habitat yang berair

baik pada tipe ekosistem pertanian hingga hutan munson. Mangsa berupa serangga.

REPTIL

• Suku Agamidae (Londok/Bunglon)

Bronchocela jubata (Lampiran 1G)

Bunglon kebun yang berukuran sedang, panjang total mencapai 550 mm dengan panjang ekor sekitar 4/5 panjang total. Keunikan selain dapat berubah warna, pada tengkuk hingga punggung terdapat struktur gerigi yang menyerupai surai. Kepala bersegi. Pada dagu terdapat kantung lebar. Punggung berwarna hijau muda hingga hijau tua, terkadang terdapat semacam garis putih menyilang tubuh. Sisi perut kekuningan. Sisik berlunas.

Aktif dari pagi sekitar pukul 08.00 hingga senja. Malah hari tidur di atas ranting maupun semak. Mangsa berupa serangga.

• Suku Scincidae (Kadal)

Cryptoblepharus cursor (Lampiran 1H)

Kadal berukuran kecil, panjang moncong hingga anus mencapai 40 mm, panjang total hingga ujung ekor memcapai 95 mm. Punggung coklat dengan pola garis kuning kecoklatan di atas mata hingga lengan. Garis ini diapit garis hitam. Bagian ventral putih. Habitat berupa tumpukan sampah maupun semah di bibir pantai. Mudah dijumpai saat aktif dipagi hari sekitar pukul 08.00 hingga 11.00 atau menjelang senja sekitar pukul 16.00 hingga 17.00.

Eutropis multifasaciata (Lampiran 1I)

Kadal berukuran sedang, tubuh relatif gemuk. Panjang total mencapai 300 mm, panjang moncong hingga anus mencapai 100 mm. Sisik punggung berlunas tiga, pada sisik yang besar hingga lima. Warna dan polanya sangat bervariasi. Umumnya coklat baik dengan maupun tanpa garis hitam di punggung. Sisi tubuh dengan variasi warna dari oranye, kuning hingga merah. Termasuk kosmopolit, dapat dijumpai disekitar pemukiman hingga dalam hutan. Aktif di pagi hari hinga senja.

• Suku Varanidae (Biawak)

Varanus salvator (Lampiran 1J)

Kadal berukuran besar dengan kuku yang kuat dan ekor panajang pipih. Panjang total mencapai 0,6 m, panjang moncong hingga anus mencapai 1,5 m. Punggung berwarna keabu-abuan hingga hitam dengan atau tanpa pola bercak kembang tersusun sebagai garis melintang berwarna putih, kuning atau merah kecoklatan. Dapat dijumpai di hutan munson, lahan pertanian, mangrove maupun savannah. Aktif di siang hari dan istirahan di malah hari pada batang dekat sungai atau habitat perairan.

(4)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

• Suku Colubridae

Ahaetulla prasina (Lampiran 1K)

Ular sangat panjang dan langsing berwarna hijau (jarang keabuan) dengan kepala berbentuk segitiga sama kaki yang lancip. Panjang total mencapai 350 mm. Aktif di siang hari dan malam tidur pada pohon maupun semak. Dapat dijumpai di lahan pertanian hingga hutan munson. Jenis ini relative agresif dan berbisa, namun tidak membahayakan bagi manusia. Telur dieram dalam tubuh dan melahirkan bayi antara 4 hingga 10 ekor. Mangsa berupa kadal, katak, burung kecil dan mamalia kecil.

Cerberus schneiderii (Lampiran 1L)

Ular air atau payau berukuran sedang dengan keunikan posisi mata di kepala bagian atas dam hidung di atas moncong. Panjang total mencapai 1,2 m, panjang moncong hingga anus 0,6 m. Warna bervariasi dari pucat abu-abu hingga merah bata. Mudah dijumpai di malam hari dari pukul 18.00 hingga 21.00 saat menunggu mangsa di sungai bagian tepi dengan substrat umumnya berlumpur. Siang hari istirahat dalam liang di tepi sungai ataupun di hutan mangrove. Mangsa berupa ikan.

Jenis ini tergolong berbisa ringan dan tidak membahayakan bagi manusia. Sebelumnya dikenal sebagai C. rynchops, namun hasil penelitian Murphy

et al. (2012) untuk populasi Indonesia dinakan sebagai C. schneiderii.

Bungarus candidus (Lampiran 1M)

Berukuran sedang hingga besar dengan pola warna garis melintang putih hitam. Panjang total mencapai 1,6 m. Bagian perut putih. Aktif di malam hari dengan mangsa berupa katak, kadal, ular dan mamalia kecil. Sekali bertelur antara 4 hingga 10 butir. Dapat dijumpai dari lahan pertanian, hutan munson, mangrove hingga savannah. Jenis berbisa dan berakibat fatal bagi manusia.

• Suku Pythonidae (Sanca)

Python reticulatus (Lampiran 1N)

Berukuran sangat besar dan berotot. Panjang total mencapai 10 m, namun umumnya sekitar 3 m. Warna coklat kekuningan dengan pola yang unik seperti batik. Mangsa berupa mamalia, burung dan kadal. Sebagian besar waktunya dihabiskan dalam aktivitas di daratan (tanah), namun jenis ini juga baik dalam memanjat dan berenang. Dapat dijumpai di lahan pertanian dan hutan munson.

• Suku Bataguridae

Cuora amboinensis (Lampiran 1O)

Kura-kura air tawar berukuran sedang dengan keunikan perisai perut dapat ditutup sehingga kepala

dapat disembunyikan dan adanya garis kuning pada bagian kepala yang mengelilingi tepi bagian atas dan pada bagian pipi. Panjang mencapai 22 cm. Mangsa berupa tumbuhan, jamur dan invertebrata. Telur berjumlah antara 2 hingga 6 butir. Dapat dijumpai di habitat perairan dari daerah lahan pertanian hingga hingga hutan munson.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini setidaknya terungkap 32 jenis satwa kelompok herpetofauna yang mempunyai potensi sebagai obyek dalam pengembangan kegiatan ekowisata diantaranya dengan kegiatan “herp

watching”. Kegiatan ini membutuhkan pemandu

lapangan yang mengenal jenis dan perilaku satwa bersangkutan. Pemandu lapangan ini dapat direkrut dari penduduk setempat yang diberi pelatihan khusus. Diharapkan penduduk setempat yang semula menggantungkan hidup secara langsung dari sumber daya hutan di TNBB, akan mendapatkan peningkatan kesejahteraan dari sektor ekowisata dan secara otomatis mereka akan menjaga keutuhan hutan sebagai habitat dari berbagai satwa liar di kawasan tersebut.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan dan staf Taman Nasional Bali Barat atas perijian dan fasilitas selama penelitian, rekan-rekan dalam tim PKPP dengan tajuk “Peningkatan Ekowisata di TN Bali Barat Melalui Pengungkapan Keanekaragaman Fauna Vertebrata (Mamalia, Burung, Reptil dan Amfibi)”. Penelitian ini dibiayai oleh DIKTI melalui program PKPP 2012 dengan nomor kontrakBBB.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Frost, D. R., T. Grant, J. N. Faivovich, R. H. Bain, A. Haas, C. F. B. Haddad, R. O. De Sa’, A. Channing, M. Wilkinson, S. C. Donnellan, C. J. Raxworthy, J. A. Campbell, B. L. Blotto, P. Moler, R. Drewes, R. A. Nussbaum, J. D. Lynch, D. M. Green and W. C. Wheeler. 2006. The Amphibian Tree of Life. Bulletin of the American Museum of Natural History 297. New York, USA.

[2] de Rooij, N. 1915. The Reptiles of the Indo Australian Archipelago I (Lecertilia, Chelonia, Emydosauria), E.I. Brill, Ltd, Leiden.

[3] de Rooij, N. 1917. The Reptiles of the Indo Australian Archipelago (Ophidia), E.I. Brill, Ltd, Leiden.

[4] Iskandar, D.T. 1998. The Amphibians of Java and Bali, Research and Development Center for Biology LIPI-GEF-Biodiversity Collection Project, Bogor.

[5] Iskandar, D.T. and E. Colijn. 2001. A Checklist of Southeast Asian and New Guinean Reptiles, Part I, Serpentes, BCP (LIPI, JICA, PHPA), The Gibbon Foundation and Institute Technology of Bandung.

[6] Mausfeld, P., A. Schmitz, W. Bohme, B. Misof, D. Vricradic and C.F.D. Rocha. 2002. Phylogenetic Affinities of Mabuya atlantica Schmidt, 1945, Endemic to the Atlantic Ocean Archipelago of Fernando de Noronha (Brazil): Necessity of Partitioning the Genus Mabuya Fritzinger, 1826 (Scincidae: Lygosoma). Zoologischer Anzeiger 241: 281-293.

(5)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

[7] McKay, J.L. 2006. Field Guide of the Amphibians and Reptiles of Bali, Krieger Publishing Company, Malabar, Florida.

[8] Murphy, J.C., Voris, H.K. and D.R. Karns. 20012. The dog-faced water snakes, a revision of the genus Cerberus Cuvier, (Squamata, Serpentes, Homalopsidae), with the description of a new species. Zootaxa 3484: 1-34.

[9] Riyanto A. 2010. Komunitas Herpetofauna dan Potensinya bagi Sektor Ekowisata pada Kawasan Ketenger-Baturraden di Selatan Kaki Gunung Slamet, Jawa Tengah. Biosfera 27(2): 60-67.

[10] http://www.tnbalibarat.com/?page_id=20. Keadaan Umum Taman Nasional Bali Barat. Akses tanggal 10 Januari 2013. [11] http://www.tnbalibarat.com/?page_id=24. Potensi Flora

Fauna Taman Nasional Bari Barat. Akses tanggal 10 Januari 2013.

(6)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

TABEL I. HERPETOFAUNA YANG DIJUMPAI SELAMA PENELITIAN DI KAWASAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT.

Taksa CK TB TT LL PA GJ Munson Savana Mangrove Lokasi Tipe Ekosistem Pengamatan Waktu Keunikan

Amfibi Anura (Katak) 1. Bufonidae 1. Duttaphrynus melanostictus 1 1 1 0 0 1 1 0 1 17.00-21.00 morfologi, suara 2. Ingerophrynus biporcatus 1 0 1 0 1 1 0 1 17.00-21.00 morfologi, suara 2. Dicroglossidae 3. Fejervarya cancrivora 1 1 1 1 0 1 1 0 1 17.00-21.00 morfologi, suara 4. Fejervarya

limnocharis 0 1 1 1 0 1 1 0 1 17.00-21.00 morfologi, suara,

5. Occidozyga

sumatrana

0 0 0 0 0 1 1 0 0 17.00-21.00 morfologi, suara 3. Microhylidae

6. Kaloula baleata 0 1 0 0 0 0 1 0 0 17.00-21.00 morfologi, warna 7. Microhyla palmipes 1 1 0 1 0 1 1 0 0 17.00-21.00 morfologi, suara, warna 4. Ranidae 8. Hylarana chalconota 1 1 1 1 0 1 1 0 1 17.00-21.00 morfologi, suara, warna 9. Hylarana

nicobariensis 0 1 1 0 0 0 1 0 1 17.00-21.00 suara, warna morfologi,

5. Rhacophoridae 10. Polypedates leucomystax 0 1 0 0 0 0 1 0 0 17.00-21.00 morfologi, suara, warna Reptil Lacertilia 6. Agamidae 11. Bronchocela jubata 0 1 1 1 0 1 1 0 0 09.00-17.00 Dan 18.00-21.00 morfologi, warna 12. Draco volans 1 0 0 1 0 0 1 0 1 09.00-16.00 morfologi,

warna 7. Gekkonidae 13. Cosymbotus platyurus 0 1 0 0 0 0 1 0 1 17.00-21.00 morfologi, warna 14. Cyrtodactylus fumosus 0 0 1 0 0 1 1 0 0 17.00-21.00 morfologi, warna 15. Gehyra mutilata 0 0 0 1 0 0 1 0 0 17.00-21.00 morfologi,

warna

16. Gekko gecko 0 1 1 0 0 1 1 0 0 17.00-21.00 morfologi, warna, suara 17. Hemidactylus frenatus 0 0 1 0 1 1 1 1 1 Siang maupun malam morfologi, warna 18. Hemidactylus garnoti 0 0 0 0 0 1 1 0 0 17.00-21.00 morfologi, warna 8. Scincidae 19. Cryptoblepharus baliensis 0 0 0 1 0 0 1 0 0 09.00-16.00 morfologi, warna 20. Cryptoblepharus cursor 1 0 0 0 1 0 0 0 1 09.00-16.00 morfologi, warna 21. Eutropis multifasciata 0 0 1 0 1 0 1 1 1 09.00-16.00 morfologi, warna 22. Eutropis rugifera 1 0 0 0 0 0 1 0 0 09.00-16.00 morfologi,

warna 9. Varanidae

23. Varanus salvator 0 1 1 0 0 0 1 0 1 09.00-16.00 morfologi, warna Serpentes (Ular)

10. Colubridae 24. Ahaetulla

prasina 0 0 1 1 0 0 1 0 0 09.00-16.00 17.00-21.00 dan morfologi, warna

25. Cerberus schneiderii 0 0 1 0 0 0 1 0 1 17.00-21.00 morfologi, warna 26. Chrysopelea paradisi 1 0 0 0 0 0 1 0 0 09.00-16.00 morfologi, warna 27. Lycodon aulicus 1 0 0 0 0 0 1 0 0 09.00-16.00 morfologi,

(7)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

Taksa CK TB TT LL PA GJ Munson Savana Mangrove Lokasi Tipe Ekosistem Pengamatan Waktu Keunikan

capucinus warna

11. Elaphidae 28. Bungarus

candidus 0 0 1 0 0 0 0 0 1 17.00-21.00 morfologi, warna

12. Pythonidae 29. Python molurus bivittatus 0 0 1 0 0 0 1 0 0 Siang maupun malam morfologi, warna 30. Python reticulatus 0 0 1 0 0 0 1 0 0 Siang maupun malam morfologi, warna 13. Viperidae (Crotalidae) 31. Trimeresurus albolabris 0 1 0 0 0 1 1 0 0 17.00-16.00 morfologi, warna Testudinata 14. Bataguridae 32. Cuora amboinensis 0 1 0 0 0 0 1 0 0 Siang maupun malam morfologi, warna pada kepala Jumlah 10 14 16 10 3 13

LAMPIRAN I. FOTO BEBERAPA JENIS HERPETOFAUNA TAMAN NASIONAL BALI BARAT.

Keterangan: A. Ingeriphrynus biporcatus, B. Fejervarya cancrivora, C. Occidozyga sumatrana, D. Microhyla palmipes, E. Hylarana

chalconota, F. Polypedates leucomystax, G. Broncochela jubata, H. Cryptoblepharus cursor, I. Eutropis multifasciata, J. Varanus salvator,

(8)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

JENIS-JENIS MAKROZOOBENTOS DI ESTUARI

PORONG SIDOARJO JAWA TIMUR

Ayu Eka Mekar Sari, Tarzan Purnomo, Winarsih Jurusan Biologi FMIPA, Universitas negeri Surabaya

ABSTRAK

Estuari Porong merupakan muara dari Sungai Porong yang berasal dari percabangan Sungai Brantas Jawa Timur. Estuari Porong terletak di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengaliran lumpur lapindo ke Sungai Porong juga diduga berpengaruh terhadap biota yang hidup di sungai tersebut. Bentos adalah suatu organisme yang hidup di permukaan dasar perairan dan atau di dalam sedimen perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis makrozoobentos yang terdapat di perairan Estuari Porong. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi dengan pengambilan sampel pada 5 stasiun pada Estuari porong Sidoarjo dengan metode purposive sampling. Pengambilan data dilakukan pada akhir musim kemarau, yaitu pada tanggal 9 September 2012 pukul 09.00 WIB. Pengambilan sampel makrozoobentos menggunakan alat pengambil sedimen petersen grab kemudian diidentifikasi sampai tingkat spesies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makrozoobentos yang ditemukan pada Estuari Porong terdiri atas 23 spesies dan spesies dominan adalah Mictyris platycheles, Chironomus sp., dan Potamocorbula faba

Kata kunci: Estuari Porong, Makrozoobentos PENDAHULUAN

Estuari Porong terletak di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Karakteristik Estuari Porong, yaitu tinggi permukaan tanah hampir sama dengan tinggi permukaan air laut rata-rata dengan beda elevasi 1– 1,5 meter. Topografi landai dan bibir pantai lebih rendah dari permukaan air pasang, menyebabkan pergerakan air sungai saat pasang lebih lambat bahkan cenderung bergerak ke darat mengisi daerah pertambakan dan persawahan. Selain itu, pergerakan arus sejajar pantai dari arah barat ke timur, ketinggian gelombang antara 0,5–2 meter, sedimen umumnya merupakan sedimen lumpur dan tumbuhan bakau, daratan digunakan lahan pertambakan oleh masyarakat. Perairan muara sungai ini merupakan daerah kaya unsur hara dan jasad renik sebagai makanan alami, maka daerah ini biasanya merupakan daerah pengasuhan (nursery

ground) dan daerah tempat untuk mencari makan

(feeding ground) bagi berbagai jenis biota laut. Bentos adalah suatu organisme yang hidup di permukaan dasar perairan dan atau di dalam sedimen perairan (Kordi, 2007). Bentos dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas perairan yang tercemar karena bentos hidupnya menetap atau melekat pada dasar perairan sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu perairan (Soegianto, 2004)..

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan jenis-jenis makrozoobentos yang terdapat di Estuari Porong Sidoarjo Jawa Timur.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan pada akhir musim kemarau yaitu pada bulan 9 September 2012 pukul 09.00 WIB yang merupakan waktu pantai surut terjauh, yaitu -120 cm. Pengambilan sampel dilakukan di lima stasiun yaitu stasiun 1 (07o 32’ 29,0 “LS, 112 o 50’ 26,0”BT), stasiun 2 (07o 33’ 32,2”LS, 112 o 51’ 21,6”BT), stasiun 3 (07o 32’ 01,3”LS, 112 o 51’ 07,6”BT), stasiun 4 (07o33’53,9”LS, 112o 52’ 05,5”BT) dan stasiun 5 (07o 32’ 05,5”LS, 112o 52’ 13,9”BT). Identifikasi makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Taksonomi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Surabaya.

Alat yang digunakan untuk pengambilan sampel makrozoobentos di lapangan adalah petersen grab berukuran 20 x 20 cm berat 20 kg, botol koleksi, kantung plastik, kertas label, alkohol 70%, saringan berukuran 0,5 mm; sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.

Makrozoobentos diambil dengan cara mengeruk dasar sungai dengan menggunakan

petersen grab, lumpur dan makrozoobentos yang

terambil diambil subsampel sebesar ¼ petersen

grab (Soegianto, 2004). Setelah itu makrozoobentos dibersihkan, dengan cara lumpur dan makrozoobentos yang terambil dimasukkan ke dalam ember yang di dalamnya diberi kain penyaring berukuran 0,5 mm disiram air beberapa kali sampai bersih. Makrozoobentos yang terkumpul pada kain penyaring diambil dengan pinset dan dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70%. Makrozoobentos diidentifikasi berdasarkan Dharma (2005), Carpenter dan Niem (1998) dan Website Foto Biodiversitas Indonesia (http://www.fobi.web.id/).

(9)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, makrozoobentos yang ditemukan di Estuari Porong Sidoarjo pada 5 stasiun didapatkan hasil pada stasiun 1 ditemukan 8 spesies makrozoobentos, yaitu Mictyris platycheles yang berjumlah 12,

Littorina scraba yang berjumlah 4, Varuna yui

yang berjumlah 1, Episesarma Palawanense yang berjumlah 1, Episesarma mederi yang berjumlah1,

Metaplax elegans yang berjumlah 1, Ocypode cordimanus yang berjumlah 1, dan Merapenaeus affinis yang berjumlah 1.

Pada stasiun 2 ditemukan 8 spesies makrozoobentos, yaitu Metaplax elegans yang berjumlah 1, Episesarma versicolor yang berjumlah 1, Uca tetragon yang berjumlah 1, Theora lata yang berjumlah 1, Chironomus sp yang berjumlah 6, Varuna yui yang berjumlah 1, Nereis sp yang berjumlah 1, dan Natica sertata yang berjumlah 2.

Pada stasiun 3 ditemukan 10 spesies makrozoobentos, yaitu Varuna yui yang berjumlah

2, Episesarma Palawanense yang berjumlah 1,

Metaplax elegans yang berjumlah 1, Ocypode cordimanus yang berjumlah 1, Chironomus sp yang

berjumlah 1, Littorina melanostoma yang berjumlah 7, Littoraria articulata yang berjumlah 2, Heliacus variegates yang berjumlah 1, Fissilabia sp. yang berjumlah 1, Nerita albicilla yang berjumlah 1.

Pada stasiun 4 ditemukan 7 spesies makrozoobentos, yaitu Potamocorbula faba yang berjumlah 26, Natica sertata yang berjumlah 10,

Nereis sp yang berjumlah 1, Mactra queenslandica

yang berjumlah 1, Theora lata yang berjumlah 1,

Nassarius leptospirus yang berjumlah 1, dan Episesarma Palawanense yang berjumlah 1.

Pada stasiun 5 ditemukan 4 spesies makrozoobentos, yaitu Nerita albicilla yang berjumlah 1, Larva udang yang berjumlah 3,

Potamocorbula faba yang berjumlah 25, Littorina melanostoma yang berjumlah 4 (Tabel 1, Tabel 2).

Tabel 2. Jenis-jenis makrozoobentos yang ditemukan di stasiun penelitian

Stasiun Spesies Jumlah

Individu 1 Mictyris platycheles 12 Littorina scraba 4 Varuna yui 1 Episesarma Palawanense 1 Episesarma mederi 1 Metaplax elegans 1 Ocypode cordimanus 1 Merapenaeus affinis 1 2 Metaplax elegans 1 Episesarma versicolor 1 Uca tetragonon 1 Theora lata 1 Chironomus sp 6 Varuna yui 1 Nereis sp 1 Natica sertata 2 3 Littorina melanostoma 7 Littoraria articulate 2 Ocypode cordimanus 1 Varuna yui 2 Heliacus variegates 1 Fissilabia sp. 1 Chironomus sp. 16 Nerita albicilla 1 Metaplax elegans 1 Episesarma palawanense 1 4 Potamocorbula faba 26 Natica sertata 10 Nereis sp 1 Mactra queenslandica 1 Theora lata 1 Nassarius leptospirus 1 Episesarma Palawanense 1 5 Nerita albicilla 1 Larva udang 3 Potamocorbula faba 25 Littorina melanostoma 4

Tabel 2. Hasil identifikasi jenis-jenis makrozoobentos di Estuari Porong Sidoarjo

No Nama spesies Jumlah 1 Mictyris platycheles 12 2 Littorina scraba 4 3 Varuna yui 4 4 Episesarma Palawanense 3 5 Episesarma mederi 1 6 Metaplax elegans 3 7 Ocypode cordimanus 3 8 Merapenaeus affinis 1 9 Episesarma versicolor 1 10 Uca tetragon 1 11 Theora lata 2 12 Chironomus sp 22 13 Nereis sp 2 14 Natica sertata 12 15 Littorina melanostoma 11 16 Littoraria articulate 2 17 Heliacus variegates 1 18 Fissilabia sp. 1 19 Nerita albicilla 2 20 Potamocorbula faba 51 21 Mactra queenlandica 1

(10)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6 22 Nassarius leptospirus 1 23 Larva udang 3 Jumlah 144 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, makrozoobentos yang ditemukan di Estuari Porong Sidoarjo pada 5 stasiun terdiri atas 23 spesies, yaitu

Mictyris platychele yang berjumlah 12, Littorina scraba yang berjumlah 4, Varuna yui yang

berjumlah 4, Episesarma Palawanense yang berjumlah 3, Episesarma mederi yang berjumlah 1,

Metaplax elegans yang berjumlah 3, Ocypode cordimanus yang berjumlah 3, Merapenaeus affinis

yang berjumlah 1, Episesarma versicolor yang berjumlah 1, Uca tetragon yang berjumlah 1,

Theora lata yang berjumlah 2, Chironomus sp.

yang berjumlah 22, Nereis sp yang berjumlah 2,

Natica sertata yang berjumlah 12, Littorina melanostoma yang berjumlah 11, Littoraria articulata yang berjumlah 2, Heliacus variegates

yang berjumlah 1, Fissilabia sp. yang berjumlah 1,

Nerita albicilla yang berjumlah 2, Potamocorbula faba yang berjumlah 51, Mactra queenlandica yang

berjumlah 1, Nassarius leptospirus yang berjumlah 1, dan Larva udang yang berjumlah 3.

Pada stasiun 1 spesies yang paling dominan adalah Mictyris platycheles, yang ditemukan berjumlah 12 dari 22 jumlah individu yang ditemukan. Mictyris adalah satu-satunya genus dalam Famili Mictiridae yang terdapat di wilayah indo pasifik barat dan Australia. Mictyris

platycheles mendominasi di daerah Victoria

Australia, spesies ini berkerumun dalam jumlah yang besar pada permukaan pasir saat air surut (Gary et al., ). Penelitian yang dilakukan Warwick

et al., (1990) di Eaglehawk Neck, Tasman Peninsula, Tasmania menunjukkan bahwa kegiatan makan dan menggali yang dilakukan oleh Mictyris platycheles menganggu habitat meiobentik yang

ada di dalamnya karena substrat yang ditempati

Mictyris platycheles menjadi berbeda dengan

substrat yang tidak terdapat Mictyris platycheles yang mana substrat yang tidak terdapat Mictyris

platycheles lebih halus.

Pada stasiun 2 dan stasiun 3, spesies yang mendominasi adalah Chironomus sp. yang ditemukan dalam fase larva. Sastrawijayan (1991) menyebutkan bahwa Chironomus sp. merupakan hewan makro invertebrata yang digunakan sebagai indikator biologis pencemaran organik pada kategori perairan yang tercemar berat. Keberadaan

Chironomus sp. menandakan pemanfaatan suatu

perairan untuk kegiatan domestik oleh masyarakat di sekitar perairan. Chironomus sp. bersifat toleran dan memiliki kemampuan osmoregulasi yang baik, sehingga organisme tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi ekstrim yang ada di sekitarnya (Kawuri et al., 2012).

Pada stasiun 4 dan 5, Potamocorbula faba merupakan spesies yang paling dominan. Penelitian yang dilakukan Ambarwati dan Trijoko (2011a) di pesisir pantai Sidoarjo menunjukkan bahwa selama periode sampling, Potamorbula faba satu-satunya kerang yang dapat ditemukan dalam kepadatan yang sangat tinggi, yaitu 3.549-10.000 individu/m2. Beberapa faktor dapat menyebabkan kondisi ini salah satunya karena wilayah muara dari Sungai Kepetingan yang berada dalam kondisi tidak harmonis akibat pencemaran organik dan anorganik. Dalam ekosistem tercemar, hanya organisme yang resisten yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak. Karakter morfologi unik

Potamocorbula faba mendukung kelangsungan

hidup mereka pada lingkungan yang ekstrem. Bentuk katup yang inequivalve memungkinkan katup tertutup rapat, sehingga dapat melindungi diri mereka selama kondisi ekstrem seperti salinitas yang ekstrem. Kerang ini memiliki insang eulamelibrancia juga mendukung cara makan kerang tersebut secara suspension feeder. Keberadaan retractile siphon juga mendukung kegiatan menggali sehingga juga meningkatkan tingkat kelangsungan hidup mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, Reni. Trijoko. 2011a. Morphological Characters of Suspension Feeder Bivalve Potamocorbula Faba (Bivalvia: Corbulidae).

Proceeding of International Conference of Biological Science Faculty Biology Universitas Gajah Mada.

Ambarwati, Reni. Trijoko. 2011b. Functional Morphology of Deposit Feeder Bivalve Theora lata (Bivalvia : Semelidae).

Proceeding of International Conference on Basic Science Brawijaya University.

Carpenter, Kent E. Volker H. Niem. 1998. The

Living Marine Resources of the Western Central Pasific. Rome: Food and agriculture

organization of the United Nations.

Dharma, Bunjamin. 2005. Recent and Fossil

Indonesian Shell. Hackenheim: Conchbooks.

Gary, Poore. Shane T. Ahyong. 2004. Marine

Decapod Crustacea of Southern Australia.

Collingwood: CSRIO Publising.

Kawuri, Lintang Rina. Mustofa Niti Suparjo, Suryanti. 2012. Kondisi Perairan Berdasarkan Bioindikator Makrozoobentos di Sungai Seketak Tembalang Kota Semarang. Journal of management of

(11)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

Kordi, M. Ghufran H. 1996. Parameter Kualitas Air. Surabaya: Karya Anda.

Sastrawijaya, A. Tresna. 1991. Pencemaran

Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.

Soegianto, Agoes. 2004. Metode pendugaan

pencemaran perairan dengan indikator biologis. Surabaya: Airlangga University

Press.

Warwick, R.M. K.R Clarke. J.M. Gee. 1990. The Effect of Disturbance by Soldier Crabs Mictyris platycheles H. Milne Edwards on Meiobenthic Community Structure. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 135: 19-33.

Website Foto Biodiversitas Indonesia (http://www.fobi.web.id/).

(12)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

PERSEPSI DAN PERAN PEREMPUAN DALAM UPAYA

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI

KAWASAN CAGAR ALAM PULAU DUA, SERANG

PROPINSI BANTEN

Dewi Elfidasari1, Rindu Ayu2, Lutfah S. Nurusman3

1Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia, Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta Selatan

2Program Studi Internasional Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta Selatan

3Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Kampus UI Depok

E-mail : d_elfidasari@uai.ac.id

ABSTRAK

Minimnya peranan kaum perempuan dalam program konservasi keanekaragaman hayati (Kehati) kawasan cagar alam di Indonesia menunjukkan terabaikannya potensi dan kemampuan mereka dalam upaya pelestarian kehati di kawasan tersebut. Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) yang terletak di Teluk Banten juga merupakan salah satu kawasan lindung bagi keanekaragaman burung dan vegetasi mangrove di Propinsi Banten. Tujuan dari penelitian adalah mengetahui persepsi dan peran/potensi kaum perempuan di sekitar kawasan dalam rangka konservasi kehati di kawasan hutan mangrove CAPD Serang, Propinsi Banten. Selain itu penelitian ini juga mengidentifikasi dan mempelajari faktor-faktor sosial, ekonomi kaum perempuan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan karakteristik sistem sosialnya. Survei dilakukan pada tiga desa yaitu, Desa Sawah Luhur, Desa Kemayungan, Desa Margaluyu. Sebanyak 60 orang responden berhasil diwawandarai, terdiri dari kaum ibu dengan usia berkisar antara 16-60 tahun. Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa Persepsi perempuan di sekitar kawasan CAPD tentang konsep perlindungan kawasan CAPD sudah ada tapi masih terbatas. Pengetahuan perempuan di sekitar CAPD tentang manfaat perlindungan kawasan tersebut masih relatif rendah. Eksplorasi yang dilakukan terhadap kawasan CAPD masih dilakukan, umumnya berkaitan dengan perekonomian keluarga. Peran yang dilakukan perempuan di sekitar kawasan CAPD sebagai upaya perlindungan kawasan CAPD sangat terbatas

sekali, sesuai dengan tingkat pemahaman mereka yang sangat minim

Kata Kunci : Persepsi, peran, perempuan, konservasi, CAPD

PENDAHULUAN

Pulau dua yang terletak di Teluk Banten Pantai Utara Jawa Barat merupakan salah satu daerah lahan basah yang telah ditetapkan sebagai wilayah utama bagi konservasi burung-burung air pada tahun 1937, berdasarkan keputusan Gubenur Jenderal Hindia Belanda tanggal 30 Juli 1937 No. 21 Stbl 474 (Milton dan Mahadi, 1985; Partomihardjo, 1986).

Secara geografis Pulau Dua terletak pada koordinat antara 06o01’LS dan 106o12’BT, merupakan dataran rendah dengan luas sekitar 30 ha. Vegetasi yang tumbuh pada kawasan tersebut merupakan komunitas mangrove, 60% didominasi oleh Rhizopora apiculata khususnya pada bagian selatan pulau, sedangkan pada bagian timur ditumbuhi oleh Avicenia marina.

Salah satu bentuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di Kawasan cagar alam adalah membantu meningkatkan kesadaran masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi fisik daerah dan sosial masyarakat dengan basis pemanfaatan sekaligus pelestarian sumberdaya alam yang mengacu pada konsep berkelnjutan suatu ekosistem yaitu, effective conservation on

sustainable utilization and equitable sharing of benefit.

Namun keterpaduan program pembangunan dan pelestarian kawasan cagar alam pada umumnya cenderung mengabaikan peran perempuan di sekitar kawasan tersebut, dalam hal ini peran perempuan

(13)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

nelayan. Minimnya peranan kaum perempuan dalam program konservasi keanekaragaman hayati di kawasan cagar alam di Indonesia menunjukkan terabaikannya potensi dan kemampuan mereka dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan Cagar Alam Pulau Dua yang juga merupakan salah satu kawasan mangrove yang dilindungi. Fenomena itu ditunjang oleh beberapa data hasil penelitian Rafdinal et al (2003) yang menyatakan bahwa mayoritas program pengembangan masyarakat hanya memepertimbangkan suara laki-laki sebagai “suara

masyarakat”, sehingga sebetulnya yang disebut

Community awareness adalah Men awareness only.

Padahal kaum perempuan juga banyak berinteraksi dengan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti mencari kayu bakar, bahan makanan seperti ketam, kepiting, udang dan ikan-ikan sebagai bahan makanan dalam rumah tangga.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi dan peran kaum perempuan dalam kaitannya dengan konservasi Kawasan Cagar Alam Pulau Dua Serang, Propinsi Banten. Fokus penelitian meliputi (1) Mengetahui potensi dan persepsi kaum perempuan di sekitar kawasan dalam rangka konservasi keanekaragaman hayati di kawasan hutan mangrove Cagar Alam Pulau Dua Serang, Propinsi Banten. (2) Mengidentifikasi dan mempelajari faktor-faktor sosial, ekonomi kaum perempuan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan karakteristik sistem sosialnya.

METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan keterpaduan antara penelitian survey dengan kekuatan utama pada kuisioner serta penajaman fenomena menggunakan wawancara mendalam (Indepth Interview) dan FGD (Focus Group Discussion). Perangkat Penelitian yang digunakan adalah kuisioner survey, bahan wawancara mendalam, tape rercorder, kamera, analisis data sekunder dan observasi partisipatif. Adapun kerangka pelaksanaan penelitian terdiri dari :

Tempat dan Waktu Penelitian

Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan Metode Porposive Sampling, yaitu di desa-desa sekitar Cagar Alam Pulau Dua Serang, Propinsi Banten. Pemilihan lokasi tersebut dipertimbangkan atas dasar keragaman populasi penduduk dan tingkat interaksi perempuan nelayan terhadap pemanfaatan sumber daya hutan mangrove. Waktu penelitian selama 10 bulan

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan memadukan antara penelitian survey dengan

kekuatan utama pada kuisioner, serta penajaman fenomena menggunakan wawancara mendalam (Indepth Interview), FGD (Focus Group

Discussion) dan pengamatan lapangan (Rafdinal, et al.2003; Handayani, et al. 2001; Singgarimbun dan

Efferndi, 1995). Jumlah responden yang diwawancarai ditentukan sebanyak 15% dari total populasi perempuan dewasa di daerah studi. Pemilihan responden dilakukan secara acak

Analisis Data

Berdasarkan data primer dan sekunder yang diperoleh, maka pengolahan data selanjutnya diolah dan analisis secara deskripsi menggunakan histogram.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Survei dilakukan pada tiga desa yaitu, Desa Sawah Luhur, Kemayungan dan Margaluyu. Tiap desa disebarkan 30 kuesioner yang dilakukan oleh 3 orang tenaga pencacah. Jumlah responden yang berhasil dikumpulkan sebanyak 60 orang dengan usia responden berkisar antara 16-60 tahun. Secara terperinci, berdasarkan usia responden dapat diinformasikan bahwa responden berusia 16-24 tahun sebanyak 10 orang, usia 25-34 tahun sebanyak 16 orang, usia 35-44 tahun sebanyak 24 orang, usia 45-54 tahun sebanyak 16 orang, dan usia 55 tahun keatas sebanyak 4 orang.

Berdasarkan tingkat pendidikan responden, maka sebagian besar responden (sebanyak 30 orang atau 50%) hanya pernah mengecap bangku pendidikan hingga tahap sekolah dasar (SD) saja. Hanya 2 orang responden yang merupakan sarjana, 10 orang tamat SMA dan 6 orang tamat SMP, sisanya sebanyak 12 orang tidak pernah mengecap bangku pendidikan. Berdasarkan jumlah anggota keluarga yang menghuni satu rumah dengan responden, maka sebagian besar responden (sebanyak 28 orang) memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 5 hingga 7 orang dalam satu rumah. Sisanya berkisar antara 2 hingga 4 orang keluarga.

Berdasarkan penghasilan yang rata-rata diperoleh setiap bulan, sebanyak 26 orang memiliki penghasilan berkisar antara 200 ribu hingga 500 ribu setiap bulan, sebanyak 24 orang memiliki penghasilan kurang dari 200 ribu setiap bulan dan hanya 2 orang saja yang memiliki rata-rata penghasilan perbulan lebih dari satu juta rupiah.

Berdasarkan jenis pekerjaan responden, sebanyak 22 orang adalah ibu rumah tangga, 8 orang tidak bekerja (merupakan remaja putus sekolah yang tidak memiliki aktivitas), 18 orang petani (yang mengerjakan sawah orang lain), enam orang pedagand, empat orang berprofesi sebagai guru, 2 orang adalah pelajar di SMA dan SMP (Gambar 6)

(14)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

Gambar 6. Jumlah responden berdasarkan jenis pekerjaan

Berdasarkan pengetahuan responden di sekitar kawasan CAPD mengenai jenis tumbuhan dan hewan yang terdapat di kawasan CAPD, diperoleh sebanyak 76,67% menjawab mengetahui jenis tumbuhan dan hewan di dalam kawasan CAPD, sebanyak 16,67% menjawab tidak tahu, dan sisanya tidak menjawab (Gambar 1). Sedangkan

berdasarkan pengetahuan mengenai manfaat jenis tumbuhan dan hewan yang terdapat di kawasan CAPD, diperoleh data sebanyak 56,67% menjawab mengetahui manfaat jenis tumbuhan dan hewan di dalam kawasan CAPD, sebanyak 26,67% menjawab tidak tahu, dan sebanyak 16,67% tidak menjawab (Gambar 2).

Berdasarkan pengetahuan responden di sekitar kawasan CAPD mengenai perlindungan terhadap kawasan CAPD, diperoleh data

sebanyak 76,67% menjawab mengetahui bahwa kawasan CAPD merupakan kawasan yang

dilindungi, sebanyak 16,67% menjawab tidak tahu bahwa CAPD adalah kawasan lindung, dan sisanya sebanyak 6,67% tidak menjawab (Gambar 3).

Berdasarkan pengetahuan responden di sekitar kawasan CAPD mengenai perlunya perlindungan terhadap kawasan CAPD, sebanyak

80% menjawab perlu upaya perlindunga terhadap kawasan CAPD, sebanyak 6,67% menjawab tidak perlu, dan sebanyak 13,33% tidak menjawab (Gambar 4). Sedangkan berdasarkan pengetahuan Gambar 1. Pengetahuan mengenai jenis

tumbuhan dan hewan di CAPD

Gambar 2. Pengetahuan mengenai manfaat jenis tumbuhan dan hewan di CAPD

Gambar 9. Pengetahuan mengenai perlindungan terhadap kawasan CAPD

Gambar 10. Pengetahuan mengenai perlunya perlindungan terhadap kawasan CAPD

(15)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

responden di sekitar kawasan CAPD mengenai manfaat perlindungan/ konservasi terhadap kawasan CAPD, sebanyak 20% menjawab bahwa kawasan CAPD bermanfaat mencegah abrasi pantai akibat terjangan ombak laut, 33% menjawab untuk menjaga kelestarian tumbuhan dan hewan yang berada di kawasan CAPD, dan terbanyak (46,67%)

tidak menjawab (Gambar 5). Dari data tersebut diketahui bahwa hampir sebagian besar perempuan yang berada di sekitar kawasan CAPD tidak mengetahui manfaat dari perlindungan terhadap kawasan CAPD. Hal ini menunjukkan bahwa minim sekali pengetahuan mereka mengenai manfaat konservasi kawasan CAPD.

Berdasarkan materi kuesioner mengenai kontribusi CAPD bagi perekonomian keluarga, sebanyak 30% responden menjawab bahwa kawasan CAPD berfungsi sebagai penghasil kayu bakar bagi kehidupan mereka, 25% menjawab sebagai tempat mencari ikan, 18,33% sebagai tempat mencari kerang atau tiram, 15% sebagai sumber sayur mayur keluarga, 8,33% sebagai sumber tanaman hias untuk dijual kembali dan sisanya sebanyak 3,33% tidak menjadikan kawasan CAPD sebagai sumber bagi keluarga (Gambar 6). Dari data tersebut terlihat bahwa sebagai besar perempuan di sekitar kawasan CAPD memanfaatkan kawasan CAPD tersebut sebagai sumber penghidupan keluarga, baik itu hanya sekedar menjual kayu bakar hingga pengambilan tumbuhan dan satwa yang berada di dalam kawasan cagar alam untuk sumber perekonomian keluarga.

Sedangkan berdasarkan jenis ekplorasi terhadap CAPD, seluruh responden menjawab

pernah melakukan esplorasi meski jenisnya berbeda-beda (Gambar 7). Sebanyak 35,29% dari responden menyatakan pernah dan sering melakukan pengambilan kayu di dalam kawasan CAPD, bukan hanya yang kayu-kayu yang telah mati ada juga beberapa yang melakukan penebangan guna mendapatkan kayu bakar. Sebanyak 20,59% melakukan pengambilan tumbuhan baik untuk keperluan hidup (sebagai sayuran) maupun untuk dijual sebagai tanaman hias. Sebanyak 20,59% juga melakukan penembakan burung, sebagian besar untuk kepentingan perekonomian yaitu untuk dijual kembali atau untuk dikonsumsi. Sebanyak 14,71% mengambil telor burung dan sisanya sebanyak 8,82% membunuh binatang selain burung (Gambar 7). Data diatas menginformasikan bahwa eksplorasi CAPD juga dilakukan oleh kaum perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan perekonomian keluarga.

Gambar 5. Pengetahuan mengenai manfaat perlindungan kawasan CAPD

Gambar 6. Kontribusi kawasan CAPD bagi keluarga

Gambar 7. Jenis eksplorasi terhadap kawasan CAPD oleh responden

Gambar 8. Penanggung jawab konservasi kawasan CAPD menurut responden

(16)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

Berdasarkan pertanyaan mengenai siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perlindungan CAPD, sebanyak 38,33% responden menjawab tidak tahu siapa yang bertanggung jawab terhadap kawasan CAPD. Sebanyak 26,67% responden menjawab pemerintah sebagai penanggungjawab perlindungan kawasan CAPD, 18,33% menjawab masyarakat-lah yang bertanggungjawab terhadap konservasi CAPD dansebanyak 16,67% menjawab petugas jagawana CAPD (Gambar 8). Informasi ini kembali menjelaskan bahwa hampir sepertiga perempuan di sekitar kawasan CAPD tidak mengetahui siapa yang bertanggung jawab terhadap perlindungan kawasan CAPD, sehingga peran mereka untuk ikut melakukan perlindungan sangatlah minim.

KESIMPULANDANSARAN Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan :

1. Pengetahuan perempuan di sekitar kawasan CAPD tentang konsep perlindungan kawasan CAPD sudah ada tapi masih terbatas

2. Pengetahuan perempuan di sekitar kawasan CAPD tentang manfaat perlindungan kawasan CAPD masih relatif rendah

3. Eksplorasi perempuan di sekitar kawasan CAPD terhadap kawasan CAPD masih dilakukan, berkaitan dengan perekonomian keluarga

4. Upaya perlindungan kawasan CAPD sudah dilakukan perempuan di sekitar kawasan CAPD sesuai tingkat pemahaman mereka Saran

Perlu ditingkatkan upaya penyuluhan bagi perempuan di sekitar kawasan CAPD untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang manfaat dan pentingnya konservasi. Perlu dibina usaha peningkatan perekonomian keluarga sehingga tidak mengandalkan eksplorasi kawasan hutan CAPD

UCAPANTERIMAKASIH

Penelitian ini mendapat bantuan dana dari DP2M Ditjen DIKTI DEPDIKNAS, untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, M. 1996. Gender Sebagai Alat Analisi Sosial. Jurnal Analisis Sosial 4 : 3-6

Fortmann, L., dan D. Rocheleau. 1989. Why

Agroforestry Needs Women : Four Myths and case study. In Women’s Role in Forest

Resource Management. Food and Agriculture Organization. Bangkok. Pp.33-36

Handayani, I.P., B. Giripurwo, Nurhayati dan S. Widiono. 2000. Presepsi Perempuan

Terhadap Perilaku Konservasi Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Kerincai Seblat (TNKS). Kumpulan Ringkasan

Penelitian (Small Research Grants) 2000-2001 TNKS. KEHATI-DepHut Jakarta. PP.21-34 Holzner, B. 1997. Perempuan dan Pembangunan :

Kebijakan-kebijakan. Di dalam R. Saptahari

dan B. Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial : Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Penerbit P.T. Pustaka Utama Grafitti, Jakarta.

International Labour Organization. 1989. The

Bankura Story : Rursal Women Organize For Change. In Women’s Role in Forest Resource

Management. Food ang Agricultutal Organize. Bangkok. Pp. 139-169

Kattel, B. 1992. Gender dan Lingkungan :

Beberapa Isu untuk Penelitian di Indonesia.

Dalam Forum ITB-York University. Dalam Gender dan Pembangunan. Research Aeries Paper. 35. PPLH-ITB. Bandung.

Mosse, J.A. 1996. Gender dan Pembangunan. Penerbit Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar. Yogyakarta.XXII + 283

Pitaya, B. 2001. Presepsi Masyarakat terhadap Alang-alang (Studi kasus di Duku Klangan, Glalaharajo Cangkringan, Slamet DI Yogyakarta. Journal Hutan Rakyat. Vol. III.2:4

Rachman. 1996. Presepsi Masyarakat Terhadap

Lingkungan, Dalam Buletin Edelweiss,

TNGP-Cibodas. Vol. IV.37

Rafdinal, W. Ekyaruti, D. Astiani dan H. Prayoga. 2002. Kajian Potensi Perempuan Dayak Serta

Peluang Pemberdayaannya Dalam Rangka Konservasi Keanekaragaman Di Taman Nasional Betung Katihun (TNBK) Kalimantan Barat. Program Penelitian Dasar di Perguruan

Tinggi (DIKTI)

Rafdinal, dan D. Elfidasari. 2006. Kajian potensi

perempuan nelayan dalam rangka konservasi hutan mangrove di kawasan Pesisir Pantai Peniti Kabupaten Pontianak Kalimantan barat. Program Penelitian Kajian Wanita

(DIKTI-2006)

Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode

Penelitian Survei. Lembaga Penelitian

Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Sosial (LP3ES). Jakarta. X + 36.

(17)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

PENGARUH PEMBERIAN FILTRAT DAUN KATUK

TERHADAP MOTILITAS SPERMATOZOA DAN KADAR

MDA DARAH MENCIT (Mus musculus) YANG

TERPAPAR ASAP ROKOK

Dwi Ratna Mustikasari, Tjandrakirana, dan Nur Qomariyah

Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri Surabaya

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang filtrat daun katuk untuk membuktikan bahwa filtrat daun katuk dapat meningkatkan motilitas spermatozoa dan menurunkan kadar Malondialdehid (MDA) sebagai indikator radikal bebas. Subyek 60 ekor mencit jantan yang dibedakan dalam 5 kelompok perlakuan yaitu Ko (kontrol normal), K1 (kontrol terpapar asap rokok), P1 (terpapar asap rokok yang diberi filtrat daun katuk 2 mL/100grBB/hari), P2 (terpapar asap rokok yang diberi filtrat daun katuk 2,5mL/100grBB/hari), dan P3 (terpapar asap rokok yang diberi filtrat daun katuk 3mL /100grBB/hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian filtrat daun katuk dapat meningkatkan (P<0,05) motilitas (>50%) spermatozoa dan menurunkan kadar MDA (P<0,05, >2,00 mmol/mL).

Kata kunci: asap rokok, daun katuk, kualitas spermatozoa.

ABSTRACT

This research was carried out to prove that the katuk leaves filtrate can improves sperm quality and the concentration of malondialdehyde (MDA) as an indicator of free radicals is lower. The subjects of this reaserch are 60 male mice that were divided into 5 groups; Ko (normal control), K1 (exposured cigarette smoke control), P1 (exposed to cigarrete smoke and given katuk leaves filtrate 2mL/100grBW/day), P2 (exposed to cigarette smoke and given katuk leaves filtrate 2,5 mL/100grBW/day), and P3 (exposed to cigrette smoke and given katuk leaves filtrate 3ml / 100grBW/hari). The results showed that katuk leaves filtrate can increase (P <0.05) the concentrations (> 80 million / ml) and the motility (> 50%) of spermatozoa, also MDA levels decreased (P <0.05,> 2.00 mmol / mL), but the normal morphology spermatozoa wasn’t difference (P <0.05).

Keywords: cigarette smoke, katuk leaves, and sperm quality.

PENDAHULUAN

Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan ancaman besar bagi kesehatan di dunia (Emmons, 1999). Bahaya-bahaya merugikan akibat merokok sudah sering diketahui dalam iklan-iklan, spanduk-spanduk di sepanjang jalan, bahkan dalam kemasan rokok itu sendiri. Jika pola merokok tetap berlanjut, maka jumlah angka kematian akibat merokok diperkirakan akan mencapai sekitar 10.000.000 orang per tahun pada tahun 2020, dan 70% di antaranya akan terjadi di negara-negara berkembang di berbagai belahan dunia (WHO dalam Karim, 2011).

Asap rokok yang dihirup seorang perokok aktif mengandung komponen gas dan partikel. Komponen gas yang sangat rentan menimbulkan radikal bebas terdiri dari karbon monoksida, karbon dioksida, oksida dari nitrogen dan senyawa hidrokarbon, sedang komponen partikel terdiri dari tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan kadmium. (Zavos dkk., 1998). Telah banyak penelitian membuktikan bahwa kebiasaan merokok meningkatkan radikal bebas yang berisiko menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya adalah infertilitas, yang disebabkan oleh kelainan konsentrasi, morfologi dan motilitas spermatozoa (Saleh dkk., 2003).

Menurut Senior (2007) daun katuk merupakan sumber vitamin C alami yang sangat baik yang mengandung vitamin C jauh lebih tinggi daripada jeruk maupun jambu biji, yang selama ini telah kita kenal sebagai sumber vitamin C yang cukup baik (Santoso, 2009). Daun katuk mengandung tujuh senyawa aktif yang dapat merangsang sintesis hormon steroid dan senyawa eukosanoid yang ddapat merangsang sel-sel Leydig untuk mengeluarkan hormon testosteron yang berperan dalam proses spermatogenesis, sehingga jumlah spermatozoa akan meningkat seiring dengan pemberian filtrat daun katuk secara oral. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian filtrat daun katuk terhadap kualitas spermatozoa mencit yang terpapar asap rokok.

(18)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

Surabaya, 19 Januari 2013

18

MATERI DAN METODE

Rancangan penelitian ini adalah pre-postest

design dan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Sejumlah 60 ekor mencit jantan sebagai subyek dibedakan dalam 5 kelompok perlakuan yaitu Ko (kontrol normal), K1 (kontrol terpapar asap rokok), P1 (terpapar asap rokok yang diberi filtrat daun katuk 2 mL/100grBB/hari), P2 (terpapar asap rokok yang diberi filtrat daun katuk 2,5mL/100grBB/hari), dan P3 (terpapar asap rokok yang diberi filtrat daun katuk 3mL /100grBB/hari). Asap rokok dipapar selama 20 hari dan pemberian filtrat daun katuk selama 10 hari. Pada hari ke-31 mencit dibedah untuk diambil vas defferennya dan dibuat larutan stok dengan jalan meletakkan vas defferen dalam cawan yang berisi NaCl fisiologis 0,9%, kemudian vas defferen diplurut dalam wadah yang berisi NaCl fisiologis 0,9%. Larutan stok digunakan untuk mengamati motilitas spermatozoa (Soehadi, dkk. 1983). Pengambilan sampel darah dilakukan menggunakan spuit didaerah jantung untuk diuji kadar MDA dalam darah mencit. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan anava satu arah dan BNT pada taraf uji 5%..

HASIL

Semua data untuk hasil penelitian berdistribusi normal setelah diuji kenormalannya, dilanjutkan dengan uji t yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan motilitas spermatozoa pada kelompok kontrol terpapar asap rokok dan kelompok perlakuan filtrat daun katuk pada perlakuan awal dan perlakuan akhir. Data diuji menggunakan anava satu arah untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan, data yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji BNT sehingga akan terlihat perbedaan terkecilnya.

Motilitas spermatozoa

Hasil uji anava menunjukkan bahwa pemberian filtrat daun katuk berpengaruh (P<0,05) terhadap motilitas spermatozoa mencit terpapar asap rokok, dapat dilihat dari peningkatan motilitas yang mencapai >50% pada masing-masing kelompok perlakuan filtrat daun katuk. Berdasarkan uji BNT diketahui bahwa hasil terbaik pada ketiga kelompok perlakuan filtrat daun katuk untuk parameter motilitas adalah dosis 3 mL/100grBB/hari.

Morfologi normal spermatozoa

Kadar Malondialdehid (MDA)

Data pendukung dalam penelitian ini berupa jumlah kadar MDA mencit yang didapat dengan mengujikan sampel darah mencit ke laboratorium biokimia Universitas Airlangga.

Hasil uji t pada data berupa kadar MDA menunjukkan bahwa ttab(2,13) < thit(16,6;3,7;5,4;10,3). Pemberian filtrat daun katuk dengan dosis bertingkat memberikan perbedaan

(P>0,05) yang semakin besar seiring dengan pertambahan dosis filtrat daun katuk.

Kelompok perlakuan Rerata motilitas (%) ± SD Pretes Postes Ko 71,25 71,25 0,000 K1 71,25 27,25 31,113 P1 27,25 52,5 17,854 P2 27,25 66,25 27,577 P3 27,25 73,75 32,880 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Pretest Postest Ko K1 P1 P2 P3 Perlakuan Rerata motil ita s s permat ozoa

Gambar 2. Diagram rerata hasil pengamatan motilitas spermatozoa pada masing-masing

perlakuan

Tabel 2. Rerata hasil pengamatan

motilitas spermatozoa (juta/ml)

Tabel 4. Rerata hasil pengamatan kadar MDA

(19)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

Surabaya, 19 Januari 2013

19

PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis data dari penelitian yang telah dilakukan ternyata didapatkan hasil bahwa pemberian filtrat daun katuk berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi dan persentase motilitas pada masing-masing perlakuan setelah dipapar asap rokok.

1. Motilitas spermatozoa (%)

Terdapat pengaruh (P>0,05) pemberian paparan asap rokok terhadap penurunan motilitas spermatozoa mencit. Selain konsentrasis spermatozoa, hasil penelitian ini juga menunjukkan hasil yang signifikan bagi penurunan motilitas spermatozoa. Hal ini dikarenakan penyebab dari turunnya konsentrasi maupun motilitas sama yaitu stress oksidatif yang ditimbulkan dari pengaruh paparan asap rokok. Stress oksidatif mengakibatkan rusaknya membran sel terutama membran sel organ-organ reproduksi diantaranya adalah membran sel testis, tubulus-tubulus seminiferus hingga menyebar menuju membran sel spermatozoa maupun sel Sertoli hingga membran mitokondria dalam sel Leydig. Bila mitokondria dalam sel terutama sel Leydig terganggu atau rusak maka proses spermatogenesis akan mengalami gangguan. Selain itu penurunan motilitas spermatozoa kemungkinan disebabkan oleh senyawa alkaloid yang diduga dapat mengganggu aktifitas enzim ATP-ase pada membran sel spermatozoa dibagian tengah ekor (Kong, dkk. dalam Sukmaningsih, 2010).

Pemberian filtrat daun katuk dapat meredam stress oksidatif akibat meningkatnya radikal bebas di dalam sel. Sama dengan penjelasan sebelumnya pada konsentrasi spermatozoa, bahwa daun katuk berfungsi sebagai antioksidan yang akan mendonorkan elektron pada kekurangan elektron yang dimiliki oleh radikal bebas sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi lagi dengan sel-sel lain yang berada didekatnya, sehingga membran sel testis,

tubulus-tubulus seminiferus maupun membran sel mitokondria spermatozoa akan terbebas dari radikal bebas sehingga mitokondria dari sel spermatozoa dapat memproduksi ATP kembali sehingga energi untuk pergerakan spermatozoa dapat terbentuk kembali. Pemberian filtrat daun katuk pada spermatzooa mencit yang terpapar asap rokok dapat meningkatkan rerata persentase >50% spermatozoa yang progresif seiring dengan peningkatan dosis pemberian filtrat daun katuk.

2. Kadar Malondialdehid (ng/mL)

Berdasarkan hasil penelitian, kadar MDA menunjukkan adanya peningkatan pada masing-masing kelompok saat pengambilan data kedua yaitu mencit setelah dipapar asap rokok kecuali perlakuan kontrol, di dukung oleh hasil analisis uji t yang menunjukkan bahwa thit pada kelompok perlakuan kontrol terpapar asap rokok lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya peningkatan stres oksidatif dan timbulnya ROS akibat akumulasi radikal bebas pada kelompok mencit tersebut meskipun pada sampel perlakuan filtrat daun katuk dosis 2.5 ml/100grBB/hari dan 3 ml/100kgBB/hari perbedaannya tidak begitu mencolok dibandingkan kelompok kontrol setelah dipapar asap rokok. Peningkatan ROS pada infeksi bakteri mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan membran eritrosit. Eritrosit sangat rentan terhadap senyawa oksidan, dan sebagai akibat dari peristiwa peroksidasi lipid pada eritrosit adalah terjadinya lisis atau yang biasa dikenal dengan hemolisis (Arkhaesi, 2008). Hasil penelitian pada pengambilan data setelah diberi perlakuan filtrat daun katuk menunjukkan bahwa jumlah kadar MDA pada kelompok perlakuan lebih besar (15,471;13,064;10,925 mmol/mL) dari pada kelompok kontrol sakit yang dipapar asap rokok tanpa diberi filtrat daun katuk (8,993 mmol/mL). Akan tetapi, meskipun jumlah kadar MDA pada Kelompok perlakuan Kadar MDA (mmol/mL) ± SD Pretes Postes Ko 7,972 7,972 0,000 K1 7,972 8,993 0,722 P1 8,993 15,471 4,581 P2 8,993 13,064 2,879 P3 8,993 10,925 1,366 4.94 4.96 4.98 5 5.02 Pretest Postest Ko K1 P1 P2 P3

Gambar 4. Diagram rerata hasil pengamatan kadar MDA pada masing-masing perlakuan

R era ta k ad ar M D A ( m m ol /mL ) Perlakuan

(20)

Prosiding Seminar Nasional Biologi-IPA 2013 - ISBN: 978-979-028-573-6

Surabaya, 19 Januari 2013

20

kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok

kontrol masih terjadi penurunan jumlah kadar MDA pada perlakuan dosis bertingkat. Tingginya kadar MDA pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol sakit dimungkinkan karena daya tahan tubuh mencit yang berbeda-beda terhadap paparan asap rokok sehingga bisa saja mencit yang digunakan sebagai sampel uji pada kelompok perlakuan mengalami stress oksidatif dan kerusakan lipid terparah daripada sampel kelompok kontrol.

SIMPULAN

Pemberian filtrat daun katuk dapat meningkatkan konsentrasi dan motilitas spermatozoa serta menurunkan kadar MDA dalam darah mencit jantan (Mus musculus) yang terpapar asap rokok, namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap morfologi normal spermatozoa. Pemberian filtrat daun katuk yang memberikan pengaruh terbaik adalah dosis 3 ml/100grBB/hari.

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Sjamsul. 2008. Radikal bebas. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo : Surabaya

Arkhaesi, Nahwa. 2008. Kadar Malondialdehyde (MDA) Serum Sebagai Indikator Prognosis Keluaran Pada Sepsis Neonatorum. Thesis.

Tidak dipublikasikan.Universitas Diponegoro: Semarang

Emmons, K. 1999. Smooking cessation and tobacco control. Chest Journal.Vol. 116: 490-492. 2002

Hermawanto H.H., Hadiwidjaja. 2012. Analisis Sperma pada Infertilitas Pria. Artikel. PPDS Patologi Klinik RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang.

Karim, Darwin. 2011. Pengaruh paparan asap rokok elektrik terhadap motilitas, jumlah sel sperma dan kadar mda testis mencit jantan (Mus musculus, l.). Thesis. Ttidak dipublikasikan. Universitas negeri Sumatera: Sumatera.

Santoso, Urip. 2009. Manfaat Daun Katuk Bagi Kesehatan Manusia Dan Produktivitas

Ternak. Diakses

melaluihttp://uripsantoso.wordpress.com/2

kesehatan-manusia-dan-produktivitas-ternak/ pada tanggal 12 Februari 2012.

Senior. 2007.Daun katuk jaga mutu sperma. Diakses

melalui:

http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cy bermed/detail.aspx?x=Nutrition&y=cy

bermed pada tanggal 12 Februari 2012.

Soehadi K. dan Arsyad K. M. 1983. Analisis Sperma. Airlangga University Press.

Surabaya

Sukmaningsih, A.A. 2007. Penurunan jumlah spermatosit pakiten dan spermatid tubulus seminiferus testis pada mencit (mus

musculus) yang dipaparkan asap rokok. Jurnal Biologi XIII. Vol.2 : 31 – 35

Zavos PM, Correa, JR., Karagounis, CS., Ahparaki, A.,Phoroglou, C., dan Hicks, CL. 1998. An electron microscope study of the axonemal ultrastructure in human spermatozoa from male smokers and nonsmokers. Fertil Steril. Vol. 69: 430-434 .

Gambar

Gambar 6. Jumlah responden berdasarkan jenis pekerjaan
Gambar 2. Produksi IAA oleh 4 isolat Azotobacter dari Manado,  pada media  dengan penambahan  NaCl berbagai  konsentrasi dari 0 sampa 3 hari inkubasi
Gambar 2.  Peta Kawasan Cagar Biosfer Lore Lindu dan  pembagian zonasinya (Sumber Purwanto,  2011) dan lokasi penelitian (lingkar merah)
Gambar 3. Tanah Ulayat masyarakat Toro di Cagar Biosfer Lore  Lindu
+7

Referensi

Dokumen terkait

dalam analisis ini didapatkan dari frekuensi data curah hujan yang tersedia dengan menggunakan metode partial duration seriesi atau pemilihan data curah hujan dengan nilai

Untuk melihat nilai curah hujan secara deret waktu dilakukan pengambilan satu titik stasiun pengamatan curah hujan pengamatan (pos hujan Cengkareng ), hal yang sama juga pada

Untuk mengetahui struktur vertikal hutan hujan tropis dataran rendah di lokasi penelitian, maka setiap individu pohon yang ditemukan pada plot sampel dikelompokkan

Di penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan adalah (i) Perancangan alat pengukur curah hujan otomatis, (ii) Merancang modul pengirim data dari arduino, (iii)

Di penelitian ini, langkah-langkah yang dilakukan adalah (i) Perancangan alat pengukur curah hujan otomatis, (ii) Merancang modul pengirim data dari arduino, (iii)

Berdasarkan uraian di atas, maka tahapan penelitian sebagai berikut: (1) pengumpulan data sekunder berupa : koordinat stasiun curah hujan, data curah hujan, dan kalender tanam

Hasil analisis menunjukan bahwa nilai hubungan antara TRMM dengan data BMKG untuk mengetahui nilai curah hujan bulanan, jumlah hari hujan bulanan, dan curah hujan maksimum selama 24

Langkah Pengolahan Data No Analisis Perhitungan Data yang diperlukan Metode 1 Ujixkonsistensixdataxcurahxhujan Data curah hujan MetodexRAPS 2 Perhitungan curahxhujan efektif Data