• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI POLA ASUH DAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA UNTUK MENURUNKAN PREVALENSI STUNTING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI POLA ASUH DAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA UNTUK MENURUNKAN PREVALENSI STUNTING"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 12

Artikel Hasil Penelitian

IDENTIFIKASI POLA ASUH DAN KETAHANAN PANGAN KELUARGA UNTUK MENURUNKAN PREVALENSI STUNTING

Nurhayati Darubekti

Universitas Bengkulu, Kota Bengkulu, Indonesia E-mail: ndarubekti@unib.ac.id

Abstrak

Kejadian balita stunting masih merupakan masalah yang dihadapi Indonesia. Di Kabupaten Seluma, pada tahun 2018 ditemukan kasus balita kurus 5,7%, sangat kurus 0,7%, dan stunting 21,98% dari sasaran balita sebanyak 11.583 balita, dan tahun 2019 ditemukan kasus balita kurus 1,50%, sangat kurus 0,4%, dan stunting 10,6% dari 10.674 balita. Kabupaten Seluma menjadi lokus penurunan stunting pada Tahun 2020. Stunting atau masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang masih menghantui Provinsi Bengkulu. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh dan ketahanan pangan keluarga untuk menurunkan prevalensi stunting. Jenis penelitiannya adalah studi kasus pada masyarakat desa pesisir di Desa Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam kepada ibu hamil, dan keluarga dengan anak usia 0-23 bulan. Pada saat penelitian, ada 37 anak usia 0-23 bulan, 1 (satu) anak terindikasi stunting. Hasil identifikasi kepada 6 ibu hamil dan keluarga dengan anak usia 0-23 bulan menunjukkan bahwa kejadian stunting berkaitan dengan praktek pengasuhan anak yang kurang baik, anak tidak mendapat imunisasi dasar lengkap, ibu dan anak tidak aktif dalam kegiatan posyandu, rumah tangga tidak memiliki sarana jamban yang layak, anak tidak memiliki jaminan layanan kesehatan, dan lemahnya ketahanan pangan keluarga.

Kata Kunci: ketahanan pangan keluarga, pola asuh, stunting

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu tripel ganda permasalahan gizi yaitu stunting (pendek),

wasting (kurus), dan overweight (obesitas). Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)

selama tiga tahun terakhir, stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 dengan angka 27,5 persen menjadi 29,6 persen pada tahun 2017 dan pada 2018 mengalami peningkatan kembali menjadi 30,8 persen. Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health

Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di

regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4 persen (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Prevalensi balita stunting di Indonesia pada tahun 2018 tercatat dalam hasil Riskesdas 2018 sebesar 29,9 persen sedangkan target RPJMN 2019 yaitu 28 persen. Hal ini menunjukan bahwa perlunya perhatian khusus guna tercapainya target dalam perbaikan gizi masyarakat terfokus pada stunting. Prevalensi stunting di Indonesia masih ada 2 provinsi yang mempunyai prevalensi stunting di atas 40 persen yang tergolong sangat tinggi, dan 18 provinsi mempunyai prevalensi stunting antara 30-40 persen yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29 persen. Angka ini

(2)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 13 mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5 persen. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6 persen pada tahun 2017.

Stunting juga menghantui Provinsi Bengkulu. Berdasarkan data pemantauan status gizi Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, presentase jumlah stunting di sepuluh kabupaten/kota di Bengkulu dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan. Di Bengkulu, hasil maping tahun 2017 ternyata rata-rata 29,4 persen jumlah stunting. Dari presentase tersebut, angka tertinggi terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara dengan jumlah 35,8 persen. Padahal dalam standar nasional angka toleransi stunting hanya 20 persen (Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, 2018; Angraini, dkk., 2019). Di Kabupaten Seluma, pada tahun 2018 ditemukan kasus balita kurus 5,7%, sangat kurus 0,7%, dan stunting 21,98% dari sasaran balita sebanyak 11.583 balita, dan tahun 2019 ditemukan kasus balita kurus 1,50%, sangat kurus 0,4%, dan stunting 10,6% dari 10.674 balita. Kabupaten Seluma menjadi lokus penurunan stunting pada Tahun 2020.

Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0-59 bulan, dimana tinggi badan menurut umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi (< -2 SD) dari standar median WHO. Stunting akan berdampak dan dikaitkan dengan proses perkembangan otak yang terganggu, dimana dalam jangka pendek akan berpengaruh pada kemampuan kognitif, dalam jangka panjang akan mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang kerja dengan pendapatan lebih baik. Dalam jangka panjang, anak stunting yang berhasil mempertahankan hidupnya, pada usia dewasa cenderung akan menjadi gemuk (obese), dan berpeluang menderita Penyakit Tidak Menular (PTM), seperti hipertensi, diabetes, kanker, dan lain-lain. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia menunjukkan adanya tren (kecenderungan) PTM meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013, dimana diperkirakan ada 70-an juta penduduk dewasa (>18 tahun) yang menderita PTM (Kemenkes RI, 2016; Muljati, Triwinarto, dan Budiman, 2011).

Hasil penelitian Sihadi dan Djaiman (2011) menunjukkan bahwa variabel yang terkait dengan terjadinya anak balita pendek, yaitu pada level individu adalah konsumsi energi anak balita. Pada level rumah tangga, terutama adalah pola asuh anak, tinggi badan ibu, sanitasi, dan status ekonomi rumah tangga. Pada level provinsi adalah kemiskinan. Level provinsi mempunyai kontribusi 51,9 persen, individu 34,9 persen, dan rumah tangga 13,2 persen terhadap terjadinya anak balita pendek. Proporsi balita pendek 44,5 persen dapat diturunkan menjadi 42,5 persen bila konsumsi energi balita diperbaiki, menjadi 40,8 persen bila konsumsi energi rumah tangga diperbaiki, menjadi 43,2 persen bila ekonomi rumah tangga diperbaiki, menjadi 32,6 persen bila pola asuh diperbaiki, menjadi 35,8 persen bila ibu tidak pendek, menjadi 39,4 persen bila pendidikan ibu diperbaiki, dan menjadi 41,4 persen bila kemiskinan di tingkat provinsi diperbaiki.

Menurut WHO (2013) faktor penyebab terjadinya stunting yaitu faktor rumah tangga dan keluarga, pemberian makan pendamping yang tidak memadai, faktor menyusui, dan penyakit infeksi. Hasil penelitian Aramico, Sudargo, Susilo (2013) pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah menunjukkan bahwa pola asuh yang kurang baik berisiko 8,07 kali lebih besar dibanding pola asuh yang baik, dengan hasil persentase masing-masing status gizi stunting yaitu 53% dan 12,3%. Subjek penelitian dengan pola asuh kurang baik berisiko 8 kali lebih besar terkena stunting dibanding dengan subjek penelitian dengan pola asuh yang baik. Astari, Nasoetion, dan Dwiriani (2005) menemukan hubungan antara karakteristik keluarga, pola pengasuhan dan kejadian stunting anak usia 6-12 bulan.

(3)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 14 Merujuk pada pola pikir UNICEF, masalah stunting terutama disebabkan karena ada pengaruh dari pola asuh, cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan, lingkungan, dan ketahanan pangan (Masrin, Paratmanitya, dan Aprilia, 2014). Mengacu pada “The Conceptual Framework

of the Determinants of Child Undernutrition”, “The Underlying Drivers of Malnutrition”, dan

“Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia”, penyebab langsung masalah gizi pada anak, termasuk stunting, adalah konsumsi makanan dan status infeksi. Adapun penyebab tidak langsungnya meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola asuh pemberian ASI/MP ASI, pola asuh psikososial, penyediaan MP ASI, kebersihan dan sanitasi, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.

Estimasi UNICEF baru-baru ini menunjukkan bahwa dengan tidak adanya tindakan yang tepat waktu, jumlah anak yang mengalami wasting atau kekurangan gizi akut di bawah 5 tahun dapat meningkat secara global sekitar 15 persen tahun ini karena COVID-19. Ini berarti ada peningkatan risiko wasting, suatu kondisi yang ditandai dengan berat badan rendah jika dibandingkan dengan tinggi badan, Juga di Indonesia banyak keluarga yang kehilangan pendapatan rumah tangga sehingga menjadi kurang mampu membeli makanan sehat dan bergizi untuk anak-anak mereka. Pada saat yang sama, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami wasting akan lebih cenderung mengalami stunting, atau memiliki tinggi badan yang rendah untuk usia mereka, dan dapat mengakibatkan lebih banyak anak

stunting di Indonesia. Bahkan sebelum COVID-19, Indonesia sudah menghadapi masalah gizi

yang tinggi. Saat ini, lebih dari dua juta anak menderita gizi buruk dan lebih dari tujuh juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami stunting.

Prevalensi stunting masih tinggi, oleh karena itu penelitian ini ingin membahas lebih dalam lagi dari sisi pola asuh dan ketahanan pangan tingkat keluarga. Pola asuh anak merupakan perilaku yang dipraktikkan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) dalam pemberian makanan, pemeliharaan kesehatan, pemberian stimulasi, serta dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang. Kasih sayang dan tanggung jawan orang tua juga termasuk pola asuh (Asrar, Hadi, dan Boediman, 2009). Pola asuh (caring), termasuk di dalamnya adalah:

1. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses menyusu segera setelah lahir melalui kontak antara kulit bayi dengan kulit ibunya dan berlangsung minimal selama 1 jam.

2. Bayi mendapat ASI Eksklusif adalah bayi umur sampai 6 bulan yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain kecuali obat, vitamin dan mineral (Sulistianingsih dan Sari, 2018) 3. Bayi umur 6-11 bulan yang mendapat vitamin A biru

4. Anak balita usia 12-59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A merah

5. Memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS)/ Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) 6. Balita Ditimbang 4 kali atau lebih dalam 6 Bulan Terakhir

7. Pemberian Makanan Tambahan (PMT)

8. Remaja Puteri Umur 12-18 Tahun Mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) 9. Ibu Hamil Mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)

10. Ibu Hamil Risiko Kurang Energi Kronis (KEK) Mendapat Makanan Tambahan 11. Ibu Nifas Mendapat Kapsul Vitamin A

(4)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 15 Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan (Masrin et al., 2014). Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia tahun 1996 merumuskan bahwa ketahanan pangan terwujud apabila semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Indonesia, sebagai salah satu negara yang menyatakan komitmen untuk melaksanakan Deklarasi Roma menerima konsep ketahanan pangan tersebut yang dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996. Namun konsep ketahanan pangan di Indonesia juga memasukkan aspek keamanan, mutu dan keragaman sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata serta terjangkau. Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga pada tahun 1996 juga menghasilkan rumusan konsep ketahanan pangan rumah tangga yang didefinisikan sebagai berikut: “Ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif.” (Rachman dan Ariani, 2002)

Data dunia menunjukkan bahwa sekitar 151 juta anak mengalami stunting dan 50 juta anak mengalami wasting pada tahun 2017. Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia masih memiliki tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. Berdasarkan laporan Global Food Security Index tahun 2017, Indonesia berada di peringkat 69 dari 113 negara. Sementara ketahanan gizi di Indonesia juga masih mengalami masalah jika dilihat dari proporsi kekurangan gizi pada anak balita. Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2018, proporsi balita di Indonesia yang masuk kategori status gizi kurang dan buruk sebesar 17,7%. Sementara proporsi balita yang kurus (wasting) dan pendek stunting pada tahun 2018 masing-masing sebesar 10,2% dan 30,8%. Berpedoman pada ambang batas yang ditetapkan oleh WHO, Indonesia bias dikatakan belum bebas dari masalah gizi masyarakat karena prevalensi stunting masih melebihi 20%, wasting 5%, serta underweight 10 persen (Sutyawan, Khomsan, dan Sukandar, 2019)

Tujuan Khusus, dan Urgensi (keutamaan) penelitian yang diajukan: 1. Data tentang pola asuh dan ketahanan pangan keluarga untuk menurunkan prevalensi stunting; 2. Data tentang upaya tindakan perubahan formulasi kebijakan dan perencanaan program yang tepat. Manfaat penelitian: 1. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan ibu menyusui. 2. Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu menyusui, bayi dan anak balita. 3. Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak prasekolah, terutama melalui peningkatan peran ibu dalam keluarganya.

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Desa Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dan FGD kepada 6 ibu hamil dan 37 keluarga dengan anak umur 0-23 bulan, sedangkan data sekunder diperoleh dari data Puskesmas setempat.

(5)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 16 Kategori Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak umur 0-60 bulan adalah Sangat Pendek (< -3 SD), Pendek (-3 SD sampai dengan < -2 SD), Normal (-2 SD sampai dengan 2 SD) Tinggi (>2SD).

Dimensi ketahanan pangan sangat luas mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran dan dimensi sosial-ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya. Untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, tingkat pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, perubahan kehidupan sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan kesehatan dan status gizi (Rachman dan Ariani, 2002).

Analisis data penelitian bersifat induktif, adalah proses penarikan kesimpulan dari investigasi kasus yang kecil secara detail untuk mendapatkan gambaran besarnya, yang dilakukan selama proses pengumpulan data sampai laporan penelitian selesai dikerjakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut ini karakteristik ibu hamil sasaran 1.000 HPK di Desa Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu menurut Kelengkapan Konvergensi Layanan Pencegahan Stunting 2019-2020.

Tabel 1. Karakteristik Ibu Hamil menurut Kelengkapan Konvergensi Layanan Pencegahan Stunting 2019-2020

No Indikator Jumlah %

1 Ibu hamil periksa kehamilan paling sedikit 4 kali selama kehamilan 6 100 2 Ibu hamil mendapatkan dan minum 1 tablet tambah darah (Pil FE) setiap hari minimal

selama 90 hari

6 100 3 Ibu bersalin mendapatkan layanan nifat oleh nakes dilaksanakan minimal 3 kali 0 0 4 Ibu hamil mengikuti kegiatan konseling gizi atau kelas ibu hamil minimal 4 kali selama

kehamilan

6 100 5 Ibu hamil dengan resiko tinggi dn/atau Kekurangan Energi Kronis (KEK) mendapat

kunjungan kerumah oleh bidan desa secara terpadu minimal 1 bulan sekali

0 0

6 Rumah tangga ibu hamil memiliki sarana akses air minum yang aman 5 83,33 7 Rumah tangga ibu hamil memiliki sarana jamban keluarga yang layak 5 83,33

8 Ibu hamil memiliki jaminan layanan kesehatan 6 100

Sumber: Kelurahan Desa Kungkai Baru, Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Tabel 2. Karakteristik Anak 0 s/d 23 Bulan menurut Kelengkapan Konvergensi

Layanan Pencegahan Stunting 2019-2020

No Indikator Jumlah %

1 Bayi usia 12 bulan ke bawah mendapat imunisasi dasar lengkap 28 75,67 2 Anak usia 0-23 bulan diukur berat badannya di posyandu secara rutin setiap bulan 37 100 3 Anak usia 0-23 bulan diukur panjang/tinggi badannya oleh tenaga kesehatan terlatih

minimal 2 kali dalam setahun

36 97,29 4 Orang tua/pengasuh yang memiliki anak usia 0-23 bulan mengikuti kegiatan konseling gizi

secara rutin minimal sebulan sekali

0 0

5 Anak usia 0-23 bulan dengan status gizi buruk, gizi kurang, dan stunting mendapat kunjungan ke rumah secara terpadu minimal 1 bulan sekali

0 0

6 Rumah tangga anak usia 0-23 bulan memiliki sarana akses air minum yang aman 36 97.29 7 Rumah tangga anak usia 0-23 bulan memiliki sarana jamban keluarga yang layak 32 86,48

8 Anak usia 0-23 bulan memiliki akte kelahiran 37 100

9 Anak usia 0-23 bulan memiliki jaminan layanan kesehatan 31 83,78 10 Orang tua/pengasuh yang memiliki anak usia 0-23 bulan mengikuti kelas pengasuhan

minimal sebulan sekali

0 0

(6)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 17 Pada saat penelitian, ada 37 anak usia 0-23 bulan, dari ke 37 anak usia 0-23 tahun tersebut, 1 (satu) anak terindikasi stunting. Hasil identifikasi kepada 6 ibu hamil dan keluarga dengan anak usia 0-23 bulan menunjukkan bahwa penyebab langsung stunting berberkaitan dengan empat faktor, yaitu akses terhadap makanan bergizi, praktek pemberian makanan bayi dan anak, akses pelayanan kesehatan, dan akses kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya fasilitas air bersih dan sanitasi. Sedangkan penyebab tidak langsungnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan.

Hasil wawancara dengan keluarga dengan anak terindikasi stunting tentang pola asuh (caring) adalah: tidak ada Inisiasi Menyusu Dini (IMD), bayi kurang mendapat ASI Eksklusif, bayi umur 6-11 bulan tidak mendapat vitamin A biru, bayi usia 12-59 bulan tidak mendapat kapsul vitamin A merah, ketika ibu bermur 12-18 tahun tidak mendapat Tablet Tambah Darah (TTD), ketika ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) tetapi tidak rutin diminum, ketika ibu dalam masa nifas mendapat Kapsul Vitamin A tetapi tidak rutin diminum.

Sejak awal pandemi Covid-19, Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu telah menyusun rencana pencegahan stunting dengan memperkuat peranan kader Posyandu khususnya untuk memantau kesehatan ibu hamil melalui grup media sosial. Meskipun Posyandu ditutup, layanan dan fasilitas untuk ibu hamil tetap dibuka, semua bidan berkoordinasi melalui grup komunikasi sehingga semua ibu hamil bisa dipantau. Saat ini, pelayanan kesehatan seperti Posyandu sudah dibuka kembali dengan menetapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19. Pemantauan kesehatan ibu hamil untuk mencegah stunting meliputi pemantauan gizi ibu hamil sampai semester ketiga, pemberian tablet penambah darah, dan pemantauan pemberian ASI eksklusif bagi ibu menyusui. Dinas kesehatan juga memantau perkembangan kesehatan bayi dan balita dengan memberikan vitamin A, serta memantau tumbuh kembangnya melalui Posyandu.

Penurunan stunting memerlukan intervensi yang komprehensif. Sosialisasi 9 pesan inti selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dalam menanggulangi stunting, yaitu (1) selama hamil makan makanan beraneka ragam, (2) selama hamil memeriksakan kehamilannya 4x, (3) minum tablet tambah darah, (5) bayi yang baru lahir inisiasi menyusui dini, (6) merikan ASI eksklusif selama 6 bulan, (7) timbang berat badan bayi secara rutin setiap bulan, (8) berikan imunisasi dasar wajib bagi bayi, (9) lanjutkan pemberian asi hingga usia 2 tahun, berikan makanan pendamping ASI secara bertahap pada usia 6 bulan dan tetap memberikan ASI.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab stunting dibedakan atas dua, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung stunting adalah kurangnya asupan gizi yang cukup dan ancaman infeksi berulang. Secara tidak langsung, stunting disebabkan oleh pola asuh ibu atau keluarga, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, sanitasi lingkungan, dan pelayanan kesehatan. Penyebab utama stunting adalah kurangnya asupan gizi atau gizi buruk, terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Dimulai dari fase kehamilan atau 270 hari hingga anak berusia 2 tahun atau 730 hari. 1.000 HPK ini merupakan periode terpenting kehidupan anak, yang sangat menentukan kesehatan dan kecerdasan anak.

Kurangnya pengetahuan tentang gizi dan pola asuh yang salah berdampak pada kondisi gizi ibu hamil dan anak. Karena anaknya ingin cepat besar maka seorang ibu menganggap Air Susu Ibu saja tidak cukup, kemudian diberi susu formula, bahkan makanan tambahan yang lain. Untuk menjamin adanya asupan gizi yang cukup pada 1.000 HPK, perlu didukung oleh adanya ketahanan pangan keluarga. Ketahanan pangan maupun gizi keluarga sangat berkorelasi dengan akses masyarakat terhadap pangan.

(7)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 18 Hasil penelitian terhadap keluarga dengan anak terindikasi stunting menunjukkan bahwa kemampuan rumah tangga lemah dalam menyediakan pangan bagi anggota keluarganya, tidak dapat menghasilkan pangan sendiri, sering tidak mampu membeli pangan dalam jumlah, kualitas dan variasi sesuai dengan lingkungan setempat, dan tidak mampu melakukan aktivitas produktif secara rutin. Dapat dikategorikan bahwa rumah tangga dengan anak terindikasi stunting berstatus rawan pangan karena memiliki proporsi pengeluaran pangan sebesar 67% dan tingkat konsumsi energi terbesar yaitu 61%. Pada kategori rawan pangan ini berarti bahwa proporsi pengeluaran pangan rumah tangga tinggi dan tingkat konsumsi energi kurang. Artinya, tingkat kesejahteraan keluarga atau ketahanan pangan rendah.

Tingkat konsumsi pangan merupakan salah satu faktor penyebab langsung terhadap permasalahan gizi balita yang erat kaitannya dengan ketahanan pangan rumah tangga. Berdasarkan data hasil penelitian, anak balita yang tinggal di rumah tangga yang rawan pangan memiliki tingkat kecukupan zat gizi (energi, protein, kalsium, besi, dan seng) yang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Agbadi et al. (2017) yang menunjukkan bahwa anak-anak dari rumah tangga yang tahan pangan menerima asupan zat gizi sesuai nilai yang direkomendasikan dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang rawan pangan. Kondisi rumah tangga yang rawan pangan tidak mampu memenuhi angka kecukupan zat gizi. Menurut M’Kaibi et al. (2015), asupan zat gizi (energi, protein, zat besi, seng, kalsium) pada anak meningkat secara signifikan seiring dengan ketahanan pangan rumah tangga juga meningkat. Faktor risiko stunting pada anak usia 12-24 bulan adalah tingkat kecukupan energi yang rendah, tingkat kecukupan protein yang rendah, tingkat kecukupan seng yang rendah, berat badan lahir rendah, dan paparan pestisida yang tinggi. Risiko tertinggi adalah paparan pestisida yang tinggi (Wellina, Kartasurya, dan Rahfilludin, 2016).

Tingkat pendidikan ibu dan pendapatan keluarga merupakan determinan penting yang mendukung keragaman konsumsi pangan anak usia 6-59 bulan. Dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan tinggi, rumah tangga berpenghasilan rendah cenderung memberi makan yang kurang beragam kepada anak-anak mereka. Hal ini menunjukkan pentingnya tingkat pendidikan orang tua terutama ibu, karena kualitas makanan pada anak balita sangat bergantung pada perilaku dan keputusan ibu yang biasanya merawat anak.

Status gizi balita dapat digunakan sebagai indikator output dalam sistem ketahanan pangan keluarga. Hubungan antara ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi terbukti dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa rumah tangga tahan pangan mampu menyediakan makanan yang beragam untuk anak-anak mereka sehingga tercapai status gizi optimal, sedangkan rumah tangga yang rawan pangan cenderung memberi makanan yang padat energi dan kekurangan zat gizi mikro sehingga berdampak pada kekurangan gizi pada anak.

Pandemi Covid 19 ditengarai menimbulkan ancaman krisis pangan. Oleh karena itu perlu didorong upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan. Setiap keluarga dapat memanfaatkan lahan pekarangannya sebagai sumber pangan secara berkelanjutan untuk meningkatkan ketersediaan, aksesibilitas, pemanfaatan, dan pendapatannya. Ketahanan pangan tidak hanya terkait dengan kecukupan bahan pangan, tetapi juga kemampuan memanfaatkan sumber daya lokal untuk memproduksi sendiri bahan pangan.

KESIMPULAN

Hasil identifikasi kepada ibu hamil dan keluarga dengan anak usia 0-23 bulan menunjukkan bahwa penyebab langsung stunting berkaitan dengan empat faktor, yaitu akses terhadap makanan bergizi, praktek pemberian makanan bayi dan anak, akses pelayanan kesehatan, dan akses kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya fasilitas air bersih dan

(8)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 19 sanitasi. Sedangkan penyebab tidak langsungnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan.

Hasil wawancara dengan keluarga dengan anak terindikasi stunting tentang pola asuh (caring) adalah: tidak ada Inisiasi Menyusu Dini (IMD), bayi kurang mendapat ASI Eksklusif, bayi umur 6-11 bulan tidak mendapat vitamin A biru, bayi usia 12-59 bulan tidak mendapat kapsul vitamin A merah, ketika ibu bermur 12-18 tahun tidak mendapat Tablet Tambah Darah (TTD), ketika ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) tetapi tidak rutin diminum, ketika ibu dalam masa nifas mendapat Kapsul Vitamin A tetapi tidak rutin diminum.

Hasil penelitian terhadap keluarga dengan anak terindikasi stunting menunjukkan bahwa kemampuan rumah tangga lemah dalam menyediakan pangan bagi anggota keluarganya, tidak dapat menghasilkan pangan sendiri, sering tidak mampu membeli pangan dalam jumlah, kualitas dan variasi sesuai dengan lingkungan setempat, dan tidak mampu melakukan aktivitas produktif secara rutin.

Penurunan stunting memerlukan intervensi yang komprehensif, diantaranya sosialisasi 9 pesan inti selama 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dalam menanggulangi stunting, masyarakat perlu dididik dan didekatkan dengan jenis pangan yang bisa disediakan secara mandiri. Pandemi Covid 19 ditengarai menimbulkan ancaman krisis pangan. Oleh karena itu perlu didorong upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan pekarangan.

DAFTAR PUSTAKA

Agbadi, P., Urke, H. B. & Mittelmark, M. B. Household food security and adequacy of child diet in the food insecure region north in Ghana. PLoS One 12, 1–16 (2017).

Angraini, W., Pratiwi, B. A., Amin, M., Yanuarti, R., & Harjuita, T. R. (2019). Berat Badan Lahir sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Ilmiah AVICENNA, 14(2), 1–51.

Aramico, B., Sudargo, T., dan Susilo, J., (2013). Hubungan sosial ekonomi, pola asuh, pola makan dengan stunting pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah. JURNAL GIZI DAN DIETETIK

INDONESIA, 1(3), 121–130.

Asrar, M., Hadi, H., & Boediman, D. (2009). Pola asuh, pola makan, asupan zat gizi dan hubungannya dengan status gizi anak balita masyarakat Suku Nuaulu di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 6(2), 84. https://doi.org/10.22146/ijcn.17716

Astari, L. D., Nasoetion, A., & Dwiriani, C. M. (2005). Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Pengasuhan dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan. Media Gizi & Keluarga, 29(2), 40–46.

Fazilah, Z., Sudirman, & Yani, A. (2019). Masalah Pola Asuh Ibu pada Kejadian Stunting. https://doi.org/10.31227/osf.io/tym4d

Kemenkes RI. (2016). Situasi Balita Pendek. Pusat Data Dan Informasi.

Masrin, Paratmanitya, Y., & Aprilia, V. (2014). Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan stunting pada anak usia 6-23 bulan. JURNAL GIZI DAN DIETETIK INDONESIA, 2(3), 103–115.

Muljati, S., Triwinarto, A., & Budiman, B. (2011). Determinants of Stunting in Children 2-3 Years of Age At Province Level. Pgm, 34(1), 50–62.

(9)

Copyright © 2020, Universitas Muhammadiyah Metro 20

M’Kaibi, F. K., Steyn, N. P., Ochola, S. & Du Plessis, L. Effects of agricultural biodiversity and seasonal rain on dietary adequacy and household food security in rural areas of Kenya. BMC Public Health 15, 1–11 (2015). Rachman, H. P. S., & Ariani, M. (2002). Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran dan Strategi. FAE, 20(1), 12–24. Rahmi, R. D. M., Suratiyah, K., & Mulyo, J. H. (2013). Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Kecamatan

Ponjong Kabupaten Gunung Kidul. Agro Ekonomi, 24(2), 190–201.

Saputri, R. A., & Tumangger, J. (2019). Hulu-Hilir Penanggulangan Stunting di Indonesia. JPI: Jurnal of Political

Issues, 1(1), 1–9.

Sihadi, & Djaiman, S. P. H. (2011). Peran Kontekstual terhadap Kejadian Balita Pendek di Indonesia. PGM, 34(1), 29–38.

Suharyanto, S. (2017). Karakteristik Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Berbasis Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi Di Provinsi Bali. SEPA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 11(2), 191– 199. https://doi.org/10.20961/SEPA.V11I2.14176

Sulistianingsih, A., & Sari, R. (2018). ASI Eksklusif dan Berat Lahir berpengaruh terhadap Stunting pada Balita 2-5 Tahun di Kabupaten Pesawaran. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 15(2), 45–51.

Supriyanto, Y., Paramashanti, B. A., & Astiti, D. (2017). Berat badan lahir rendah berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. JURNAL GIZI DAN DIETETIK INDONESIA, 5(1), 23–30.

Sutyawan, Khomsan, A., Sukandar D., Pengembangan Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Kaitannya dengan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dan Status Gizi Anak Balita, Amerta Nutr, 201-211, DOI: 10.2473/amnt.v3i4.2019. 201-211

Wellina, W. F., Kartasurya, M. I., & Rahfilludin, M. Z. (2016). Faktor Risiko Stunting pada Anak Umur 12-24 Bulan. Jurnal Gizi Indonesia, 5(1), 55–61.

Wulandari, Rahayu, F., & Darmawansyah. (2019). Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Kerkap Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Ilmiah

Referensi

Dokumen terkait

Stranas Stunting 2018-2024 juga menetapkan kelompok sasaran prioritas, yaitu ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0–23 bulan atau keluarga 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan

FORM APLIKASI PENGAJUAN KEPENGURUSAN PRONAMADU..  Nama

Sehingga pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi I Denpasar yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa adalah melindungi diri agar hak asasi terdakwa mendapat

Sifat migrasi Co-60 di dalam kolom tanah tersusun oleh dua kurva eksponensial yang menunjukkan bahwa pada larutan pH 12 akan terdiri atas dua fraksi migrasi yang

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, observasi dan dokumentasi, metode observasi yaitu terlibat langsung dalam proses produksi program REGGAE

Dengan cara memasukkan yang benar (papan dayung harus masuk ke dalam air sebelum semua gaya terpakai untuk menekan footstretcher), maka kita bisa mengurangi gaya

Hasil analisis statistik deskriptif yang berkaitan dengan skor hasil belajar IPA siswa bergaya kognitif FD yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

Each transformer shall be provided with 3 (three) approved devices for indicating the hottest spot temperatures of primary &amp; secondary windings and oil. Each