• Tidak ada hasil yang ditemukan

LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI WLAYAH KERJA PUSKESMAS KARANGNONGKO KABUPATEN KLATEN TAHUN 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI WLAYAH KERJA PUSKESMAS KARANGNONGKO KABUPATEN KLATEN TAHUN 2009"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI WLAYAH KERJA PUSKESMAS KARANGNONGKO

KABUPATEN KLATEN TAHUN 2009 Istianna Nurhidayati, Nurfitriah

Program Studi SI Keperawatan STIKES Muhammadiyah Klaten email:istianna nurhidayati.14@gmail.com.

ABSTRACT: Infeksi saluran pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia. ISPA menyebabkan 4 iuta dan 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia dibawah lima tahun pada setiap tahunnya. Di Puskesmas Karangnongko ISPA temasuk dalam urutan pertama dari 10 besar penyakit pada tahun 2008. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko yang bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita dengan mengaitkan faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang meliputi kepadatan hunian, ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, jenis bahan bakar memasak, dan saluran pembuangan asap dapur. Penelitian ini menggunakan rancangan case control 55 sampel yang berusia 0-5 tahun. Analisis hasil dengan menggunakan uji Chi Square pada Confident interval (CI) 95% dan - < 0.05. Untuk mengukur tingkat risiko lingkungan, dengan kejadian ISPA dengan mencari nilai odds Ratio (OR).

Hasil analisis diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara lingkungan ftsik rumah yang meliputi faktor kepadatan hunian (OR=4,235 p=0,001), luas ventilasi (OR=5,125 p=0,000), jenis lantai (OR=4,986 p=0,000), jenis dinding (OR=4,618 p=0,000), jenis bahan bakar masak (OR=4,781 p=0,012) dan keberadaan saluran pembuangan asap dapur (OR=9,462 p=0,000).

Kesimpulan adalah ada hubungan yang bermakna antara lingkungan fisik rumah yang meliputi kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis dinding, jenis bahan bakar masak dan keberadaan saluran pembuangan asap dapur dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko. Saran dari peneliti adalah perlu ditingkatkan dan diperhatikan konstruksi bangunan rumah, perlu penyuluhan tentang pentingnya lingkungan rumah sehat.

(2)

A. PENDAHULUAN

ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di Negara berkembang. ISPA menyebabkan empat juta dari I 5 juta perkiraan kernatian pada anak berusia di bawah lima tahun pada setiap tahun. Sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi muda (usia kurang dari dua bulan) (WHO, 2002).

Hapsara (2004) menyebutkan bahwa di Indonesia penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan. Berdasarkan keluhan responden Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001, ISPA termasuk dalam prevalensi tertinggi untuk 10 kelompok penyakit terbanyak nomor tiga sebanyak 24% setelah penyakit gigi dan mulut, serta gangguan refraksi dan penglihatan.

Menurut data di Puskesrnas Karangnongko ISPA termasuk dalam sepuluh besar penyakit dan masih menduduki urutan pertama di Puskesmas Karangnongko Klaten.

Sepuluh Besar Penyakit

Di Puskesmas Karangnongko KlatenTahun 2008

No. Jenis Penyakit Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Paryakit ISPA Diare Gastitis (maag) Mgrur Gatal-gatal

Penyakit kulit lainya Peyakit Gigi lainya Influenza Caries Gigi Hipertensi 3348 2174 945 752 676 609 602 521 331 176 JUMLAH 10134

Berdasarkan data di Puskesmas Karangnongko, kunjungan pasien balita penderita penyakit ISPA meningkat dari 2360 pada tahun 2007 dan mengalami peningkatan kasus pada tahun 2008 menjadi 3348, berarti ada peningkatan kasus sebanyak 988. Berdasar data kesehatan lingkungan tahun 2008 di Puskemas Karangnongko, dari 4285 rumah yang disurvei terdapat 2576 (60%) rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan 1709 (40%) rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan (DinKes, 2007).

Perumahan merupakan satrah satu kebutuhan pokok manusia, bahwa kontruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit. Kondisi

(3)

sanitasi perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menjadi penyebab penyakit ISPA dan Tuberculosis.

Pencemaran lingkungan seperti asap yang berasal dari sarana transportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan terutama ISPA. Perubahan iklim terutama suhu, kelembaban dan curah hujan merupakan beban ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA, oleh karena itu upaya untuk tercapainya tujuan pemberantasan penyakit ISPA ialah dengan memperhatikan atau menanggulangi faktor risiko lingkungan (Depkes, R. I, 2004).

B. METODOLOGI PENELITIAN

Desain penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan rancangan case control yaitu dengan menentukan penyakitnya terlebih dahulu baru ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit tersebut.

Populasi penelitian ini adalah balita berumur 0-5 tahun yang menderita ISPA dan berobat di Puskesmas Karangnongko pada bulan Maret-April 2009, bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Klaten.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dengan purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan tujuan tertentu. Peneliti melakukan teknik purposive sampling pada 3 Desa yang ada di wilayah Kerja puskesmas Karangnongko Klaten. Responden yang digunakan yaitu ibu balita yang berusia 0-5 tahun yang memenuhi kriteria inklusi serta berada di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Klaten. Pemilihan subjek control dengan cara menyetarakan (matching) individu yang jenis kelamin dan umur dengan interval umur satu bulan.

Alat ukur yang diperlukan dalam penelitian ini adalah catatan medik, kuesioner, meteran (roll meter). Catatan medik digunakan untuk menentukan subjek sebagai penderita ISPA atau bukan. Kuesioner digunakan sebagai alat untuk memperoleh informasi dari subjek penelitian yang tidak bisa diukur secara nyata dan hanya bisa dilakukan dengan melakukan wawancara dengan ibu subjek. Meteran (roll meter) digunakan untuk pengukuran luas ventilasi dan luas lantai. Cara mengukumya dengan menarik pita roll meter sesuai dengan yang hendak diukur, kemudian dicatat.

Analisis data dilakukan dengan uji statistik Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95%, a = 5% untuk mengetahui hubungan setiap variabel pada lingkungan fisik rumah dengan variabel kejadian ISPA pada anak balita. Untuk mengetahui tingkat risiko lingkungan rumah terhadap kejadian ISPA digunakan nilai Odd Ratio (OR).

(4)

C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. HASIL

a. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan umur

Umur balita dibagi lima golongan yaitu mulai dari umur < 1 tahun, 1-2 tahun, 2-3 tahun, 3-4 tahun, 4-5 tahun, lengkapnya disajikan pada table l berikut:

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Umur Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

Golongan Umur (Tahun) Kasus Kontrol F % F % <l tahun 1-2 tahun 2-3 tahun 3-4 tahun 4-5 tahun 13 28 9 2 3 23,6 50,9 16,4 3,6 55 13 28 10 1 3 23,6 50,9 16,4 316 5,5 Jumlah 55 100,0 55 100,0

Berdasarkan diatas dapat dilihat bahwa balita yang terserang penyakit ISPA paling banyak pada golongan umur 1-2 tahun sebesar (50,9%).

1) Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

Jenis Kelamin Kasus Kontrol

F % F % Laki-laki Perempuan 30 25 54,5 45,5 30 25 54,5 45,5 Jumlah 55 100,0 55 100,0

Berdasarkan pada tabel 2 dapat dilihat bahwa jumlah kasus ISPA lebih banyak dari jenis kelmain laki-laki yaitu (54,5%).

(5)

2) Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kepadatan hunian Tabel 3 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan

Kepadatan Hunian Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

Kepadatan Hunian Kasus Kontrol

F % F % Padat Tidak Padat 36 19 65,4 34,6 17 38 30,9 69,1 Jumlah 55 100,0 55 100,0

Berdasarkan pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kepadatan hunian pada kelompok kasus 65,5% padat, sedangkan pada kelompok control 69% tidak padat.

3) Karakteristik subyek penelitian berdasarkan luas ventilasi

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Luas Ventilasi Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

Luas Ventilasi Rumah Kasus Kontrol

F % F %

Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat 35 20 63,6 36,4 14 41 25,5 74,5 Jumlah 55 100,0 55 100,0

Berdasarkan pada tabel 4 dapat dilihat bahwa luas ventilasi rumah pada kelompok kasus 63,6% tidak memenuhi sayat, sedangkan pada kelompok kontrol 74,5% memenuhi syarat.

4) Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis lantai

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

Jenis Lantai Rumah Kasus Kontrol

F % F %

Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat 32 23 58,2 41,8 12 43 21,8 78,2 Jumlah 55 100,0 55 100,0

Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa jenis lantai rumah pada kelompok kasus 58,2% tidak memenuhi syarat, sedangkan pada kelompok kontrol 78,2% memenuhi syarat.

(6)

5) Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis dinding

Tabel 6 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Dinding Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

Jenis Dinding Rumah Kasus Kontrol

F % F %

Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat 36 19 65,5 34,5 15 40 27,3 72,7 Jumlah 55 100,0 55 100,0

Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat bahwa jenis dinding rumah balita pada kelompok kasus 65,5% tidak memenuhi syarat, sedangkan pada kelompok kontrol 72,7% memenuhi syarat.

6) Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis bahan bakar masak

Tabel 7 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Memasak (BBM) Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

BBM Kasus Kontrol

F % F %

Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat 51 4 92,7 7,3 40 15 72,7 27,3 Jumlah 55 100,0 55 100,0

Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat bahwa jenis bahan bakar masak keluarga balita pada kelompok kasus 92,7% tidak memenuhi syarat, sedangkan pada kelompok kontrol 72,7% memenuhi syarat.

7) Karakteristik subyek penelitian berdasarkan saluran pembuangan asap dapur

Tabel 8 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Keberadaan Saluran Pembuangan Asap Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

Keberadaan Saluran Pembuangan Asap Kasus Kontrol F % F % Tidak Ada Ada 41 14 74,5 25,5 13 42 23,6 76,4 Jumlah 55 100,0 55 100,0

Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa keberadaan saluran pembuangan asap dapur rumah balita pada kelompok kasus 74,5%

(7)

tidak ada, sedangkan pada kelompok kontrol 76,4% ada saluran pembuangan asap.

8) Hubungan Antar Variabel

Tabel 9 Hasil Analisis Bivariat Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

No. Variabel Df P value OR Cl

1 2 3 4 5 6 Kepadata Hunian Luas Ventilasi Jenis Lantai Jenis Dinding BBM

Saluran Pembuangan Asap

1 1 1 1 1 1 0,001 0,000 0,000 0,000 0,012 0,000 4,235 5,125 4,986 4,618 4,781 9,462 1,908<OR<9,402 2,261<OR<11,619 2,164<OR<11,486 2,066<OR<10,327 1,472<OR<15,530 3,968<OR<22,560

Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa keberadaan saluran pembuangan asap dapur rumah balita pada kelompok kasus 74,5% tidak ada, sedangkan pada kelompok kontrol 76,4% ada saluran pembuangan asap.

Berdasarkan pada Tabel 9 dapat dilihat nilai p tertinggi pada variabel bahan bakar masak yaitu p = 0,012 variabel lainnya dengan nilai sama yaitu p = 0,000 dan nilai OR terbesar pada variabel Saluran Pembuangan Asap yairu OR = 9,462 dengan C1 = 3,968<OR<22,560 sedangkan nilai OR terendah pada variaber Jenis Dinding yaitu OR = 4,618 dengan CI = 2,066<OR<10,327.

2. PEMBAHASAN

a. Hubungan Antara Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,000 karena nilai p < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, dengan kata lain rumah yang padat penghuni terbukti merupakan faktor risiko terjadi penyakit ISPA pada balita. Nilai OR = 4,235 menunjukan bahwa balita yang tinggal di rumah padat penghuni memiliki risiko terkena penyakit ISPA 4,235 kali lebih besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah yang tidak padat penghuni. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sulistiyowati (2003) menyatakan bahwa kepadatan hunian

(8)

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

Kepadatan hunian yang tidak baik (kurang dari 9 m2/orang) akan meningkatkan frekuensi kontak, kepadatan populasi dan konsentrasi serta kedekatan antara orang yang menjadi sumber penularan dan orang yang rentan diantara populasi serta memudahkan penularan dari organisme-organisme penyebab ISPA (WHO, 2001). Kepadatan penghuni merupakan perbandingan antara luas lantai dalam rumah dengan jumlah individu yang menghuni rumah tersebut. Untuk empat orang calon penghuni rumah maka diperlukan luas rumah 36 m2. Berdasarkan Kepmenkes RI No. 829.MENKES/SK/VII/1999 bahwa luas ruang tidur minimal 8 m, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruangan tidur, kecuali anak di bawah umur lima tahun.

Kepadatan yang berlebihan akan memudahkan penyakit-penyakit seperti tuberculosis, influenza yarg ditularkan dari satu orang ke yang lain. Di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko untuk kepadatan huniannya masih banyak yang tidak memenuhi syarat atau padat penghuninya karena dalam satu rumah ditempati ada yang lebih dari satu kepala keluarga.

b. Hubungan Antara Luas Ventilasi Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil dari uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,000 karena nilai p < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA pada balita dengan kata lain rumah dengan luas ventilasinya tidak memenuhi syarat terbukti merupakan faktor resiko terjadinya penyakit ISPA pada balita. Nilai OR = 5,125 menunjukan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki resiko terkena penyakit ISPA 5,125 kali lebih besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi memenuhi syarat.

Hasil penelitan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sulistiyowati (2003) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kej adian penyakit ISPA.

Salah satu upaya mencegah terjadinya ISPA adalah pemasangan genteng kaca dan perbaikan ventilasi yaitu dengan membuat jendela yang dapat dibuka agar terjadi pertukaran udara dalam ruangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan i999 (Kepmenkes RI No 829/MENKES/SK/VII/1999) luas minimal ventilasi adalah 10% dari luas lantai. Pengaturan letak ventilasi sedapat mungkin dijauhkan dari

(9)

sumber pencemar, pengaturan waktu masuk udara segar misalnya pada pagi hari diupayakan dibuka agar terjadi pertukaran udara dalam ruangan.

Luas ventilasi adalah lubang penghawaan pada ruangan agar sirkulasi udara dalam ruangan menjadi baik dan menghilangkan gas-gas yang tidak menyenagkan sehingga pemasangan ventilasi itu sangat penting bagi pembangunan suatu rumah dan itupun harus disesuaikan dengan syarat kesehatan perumahan yaitu l0% dan luas lantai.

c. Hubungan Antara Jenis Lantai Dengan Kejadian penyakit ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,000 karena nilai p < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, dengan kata lain rumah yang jenis lantainya tidak memenuhi syarat terbukti merupakan faktor risiko terjadinya penyakit ISPA pada balita. Nilai OR = 4,986 menunjukan bahwa balita yang tinggat di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat memiliki resiko terkena penyakit ISPA 4,986 kali lebih besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat.

Makin rendah kualitas lantai rumah resiko terjadinya penyakit ISPA pada Balita semakin tinggi. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanto dkk (2000) bahwa jenis lantai setengah plester dan tanah akan banyak mempengaruhi kelembaban rumah, kondisi rumah yang lembab dan susah dibersihkan merupakan tempat berkembang biak mikroorganisme pathogen termasuk kuman ISPA.

Jenis lantai tanah tidak baik dari segi kebersihan udara dalam rumah dan kemungkinan timbulnya masalah kecacingan, maka sebaiknya agar terhindar dari penyakit gunakan jenis lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Di wilayah Puskesmas Karangnongko masih banyak masyarakat yang jenis lantai rumahnya belum memenuhi syarat, sebagian besar masih dari tanah atau setengah plester.

d. Hubungan Antara Jenis Dinding Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0.000 karena nilai p < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, dangan kata lain rumah yang jenis dinding tidak memenuhi syarat terbukti merupakan faktor risiko terjadinya penyakit ISPA pada Balita. Nilai OR = 4,618

(10)

menunjukan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan jenis dinding tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena penyakit ISPA 4,986 kali lebih besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan jenis dinding memenuhi syarat.

Dinding rumah yang terbuat dari anyaman dan rumbia, anyaman bambu dan papan atau kayu masih dapat ditembus udara, sehingga dapat mernperbaiki penghawaan, tetapi sulit untuk dapat menjamin kebersihannya dari debu yang menempel didinding. Oleh karena itu sebaiknya memakai bahan dinding yang mudah dibersihkan dan bersifat permanent (Lubis.S.Soesanto, 2000).

e. Hubungan Antara Jenis Bahan Bakar Masak (BBM) Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,006 karena nilai p < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara jenis bahan bakar masak dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, dengan kata lain rumah yang jenis bahan bakar masaknya tidak memenuhi syarat terbukti merupakan faktor risiko terjadinya penyakit ISPA pada Balita. Nilai OR = 4,781 menunjukan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan bahan bakar masak tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena penyakit ISPA 4,781 kali lebih besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan bahan bakar masak memenuhi syarat.

Hal ini mungkin dikarenakan responden tinggal di daerah pedesaan sehingga mereka memanfaatkan bahan bakar dari alam yaitu kayu bakar dan sebagian lagi menggunakan kompor minyak yang relative rebih mudah dan murah untuk memperolehnya dibandingkan jika menggunakan kompor gas atau lishik. Maka apabila penghawaan rumah tidak baik dan tidak ada saluran pembuangan asap dapur, maka asap akan memenuhi seluruh ruangan. Asap akan memperparah sakit pernafasan. Oleh karena itu sebaiknya digunakan bahan bakar yang tidak menimbulkan pencemaran udara misal menggunakan kompor gas atau listrik.

f. Hubungan Antara Saluran Pembuangan Asap Dapur Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita

Berdasarkan hasil uji Chi Square diperoleh hasil p = 0,000 karena nilai p < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara saluran pembuangan asap dapur dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, dengan kata lain rumah yang tidak ada saluran pembuangan asap dapur terbukti merupakan fartor risiko terjadinya penyakit ISPA pada Balita, Nilai OR = 9,462 menunjukkan bahwa balita yang tinggal di rumah yang tidak ada saluran pembuangan asap dapur memiliki risiko terkena

(11)

penyakit ISPA 9,462 kali lebih besar dibanding dengan balita yang tinggal di rumah yang ada saluran pembuangan asap dapur.

Keberadaan saluran pembuangan asap dapur sangat penting ketika menggunakan bahan bakar masak terutama kayu dan kompor minyak saluran pembuangan asap dapur diperlukan untuk penyaluran asap keluar ruangan. Sebaiknya diletakan tepat diantara tungku atau dekat dengan tungku (Ditjen PPN & PL, 2003) agar asap dapur dapat langsung keluar rumah dan tidak terhirup oleh penghuni rumah terutama bayi dan balita.

Hal ini sependapat dengan hasil penelitian Lubis dkk (1996) bahwa ada hubungan yang bermakna antara rumah yang banyak asap dapur dengan kejadian penyakit ISPA.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis, maka kesimpulan panelitian ini adalah "Ada hubungan positif antara lingkungan fisik rumah yang baik dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Kabupaten Klaten"

Adapun faktor lingkungan fisik rumah juga berpengaruh yaitu :

a) Ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Kabupaten Klaten (p value = 0.00 1, OR = 4,235 ).

b) Ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Kabupaten Klaten (p value = 0,000, OR = 5,125).

c) Ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Kabupaten Klaten (p value = 0.000, OR = 4,986).

d) Ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Kabupaten Klaten (p value = 0,000, OR = 4,618).

e) Ada hubungan yang bermakna arltarajenis bahan bakar masak yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Kabupaten Klaten (p value=0,012, OR=4,781). f) Ada hubungan yang bermakna antara keberadaan saluran pembuangan

asap dapur yang memenuhi syarat dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangnongko Kabupaten Klaten (p value = 0,000, OR = 9,462).

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H. Mukty, H. A. (2005) Dasar-dasar IImu penyakit paru, cetakan Ke-3, Airlangga University press, Surabaya.

Bustan, M. N. (2000) Epidemiorogi penyakit Tidak Menular, Rineka Cipta, Jakarta.

Depkes. R. I. (2002) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Bakti Husada, Jakarta.

_________. (1996) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen. PPM &PL, Jakarta.

_________. (2004) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Bakti Husada Jakarta.

_________. (1991) Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Pusat Pendidikankan Tenaga Kesehatan, Jakarta.

Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten. (2009) Profil Kesehatan Puskesmas Karangnongko.

Ditjen PPM & PLP. (2000) Pedoman Teknis Klinik Sanitasi untuk Puskesmas, Bakti Husada, Jakarta.

Ditjen. PPM & PLP. (2003) Prosedur Kerja Surveilans Faktor Resiko penyakit Menular dalam Intensifikasi pemberantasan penyakit Menular Terpadu Berbasis Wilayah, Bakti Husada, Jakarta.

Hapsara, H. R. (2004) Pembangunan Kesehatan di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hidayat, A. Azis Alimul. (2007) Metode Penelitian Keperawatan dan Teknis Analisis, Salemba Medika, Jakarta.

(13)

Hidayati, S., Munowaroh, S. (1999) lnfeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita. Pedoman Tatalaksana Praktis untuk Petugas Puskesmas, INRUD, Yogyakarta.

Irianto, K. (2004) Gizi dan Pola Hidup Sehat,Yrama Widya, Bandung.

Lubis, A, Soewasti, S. S, Kusnindar, Nainggolan, R, Djarismawati, Sukar. (1996) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Batuk dengan Nafas Cepat pada Balita, Buletin Penelitian Kesehatan, Jakarta.

Notoatmodjo. (1997) Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT Rineka Cipta, Jakarta. Sastroasmoro, S., Ismail, S. (2002) Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis,

ed.2., Sagung Seto, Jakarta.

Soemirat. (2002) Kesehatan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Soesanto, S. S., Lubis, A., Atmosukarto, K. (2000) Hubungan Kondisi Perumahan dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru, Medika Litbang Kesehatan Vol. X. No. 2. Hal : 27-30, Jakarta.

Sudijono, Anas. (2004) Pengantar Statistik Pendidikan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sugiyono. (2006) Statistika untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung.

Sulistyowati. (2003) Hubungan Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Mojosongo Kecamatan Jebres Tahun 2003, Karya Tulis Ilmiah, Kesling-POLTEKES, Yogyakarta.

WHO. (2002) Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang, EGC, Jakarta.

_____. (2001) Planet Kita Kesehatan Kita, Gadjah Mada University press, Yogyakarta.

Wulansari, A. (2004) Hubungan Kondisi Fisik Rumah, Kelembaban, Pencahayaan dan Kepadatan Hunian dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita, Karya Tulis Ilmiah, FKM-UNDIP, Sernarang www. Fkm-undip.Or.Id. Download tanggal 23 April 2009.

Gambar

Tabel 1  Distribusi Frekuensi Subyek  Penelitian Berdasarkan  Umur  Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten
Tabel 4  Distribusi Frekuensi Subyek  Penelitian Berdasarkan  Luas Ventilasi Rumah Di  Wilayah Kerja Puskesmas  Karangnongko Klaten
Tabel 7  Distribusi Frekuensi Subyek  Penelitian Berdasarkan  Jenis Bahan Bakar Memasak (BBM) Di  Wilayah Kerja  Puskesmas Karangnongko Klaten
Tabel 9  Hasil Analisis Bivariat Hubungan Lingkungan Fisik  Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Di  Wilayah  Kerja Puskesmas Karangnongko Klaten

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan persentase degradasi Direct violet secara fotolisis, ozonolisis, dan penyinaran matahari dengan penambahan katalis % Degr adasi Waktu (menit) % Degr adasi Waktu

Hasil penelitian disimpulkan secara umum, pelaksanaan promosi di Dinas Pendidikan Palopo kurang sesuai dengan syarat-syarat yaitu pendidikan, pengalaman dan prestasi

Hal inilah yang kemudian yang menjadikan pembangunan menjadi kontradiksi untuk dibicarakan dalam berbagai kasus-kasus pembangunan di kawasan negara paska kolonial dan salah

Perbedaan tersebut menunjukkan, bahwa masing-masing perlakuan memiliki pengaruh yang berbeda dari eksplan yang ditanam pada media MS yang dimodifikasi dengan pemberian

bahwa dalam memenuhi Pasal 28 ayat (2) Peraturan Bupati Karawang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Perikanan dan Kelautan

Dari analisis data yang dilakukan dengan program SPSS dinyatakan bahwa biaya periklanan dan biaya promosi penjualan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan

Karakteristik dari pendekatan penjualan berorientasi konsumen yang dipraktekkan oleh beberapaperusahaan adalah menjalin hubungan baik dengan konsumen,

Fakultas : Fakultas Arsitektur dan Desain Unika Soegijapranata Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Proyek Akhir Arsitektur tahap Landasan Teori dan Program dengan judul