• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dipaparkan penjelasan mengenai teori dari variabelvariabel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dipaparkan penjelasan mengenai teori dari variabelvariabel"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dipaparkan penjelasan mengenai teori dari variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini.

2.1 Motivasi Berprestasi

2.1.1 Pengertian Motivasi

Menurut Sobur (2009) motivasi adalah seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong dan dorongan yang timbul dari diri sendiri dengan memiliki tujuan akhir. Sobur (2009) juga mengatakan bahwa motivasi itu berarti membangkitkan daya gerak atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasaan atau tujuan.

Sedangkan menurut Blanchard & Thacker (2010) motivasi adalah suatu arahan, dorongan, persistensi, dan sejumlah usaha yang dikeluarkan seseorang untuk mencapai tujuan yang spesifik.

Lebih jauh, menurut Gea, Wulandari, dan Babari (2002) motivasi juga merupakan daya dorong yang mengarahkan perilaku seseorang dan segala kekuatannya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya, yang muncul dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan.

Berdasarakan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah sejumlah proses daya gerak yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya dan terjadinya dorongan-dorongan yang dikeluarkan oleh seseorang dengan segala kekuatannya untuk mencapai tujuan spesifik yang diinginkannya.

(2)

2.1.2 Jenis-Jenis Motivasi

McClelland (dalam Walgito, 2010) berpendapat bahwa motivasi itu dapat dibedakan dalam :

1) Motivasi untuk berprestasi (Need of Achievement)

Motivasi untuk berprestasi merupakan dorongan untuk mengungguli orang lain, mendapatkan prestasi, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar yang ada untuk mencapai suatu kesuksesan. Individu yang mempunyai tingkat motivasi untuk berprestasi cukup tinggi akan meningkatkan performancenya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

2) Motivasi untuk berkuasa (Need of Power)

Motivasi untuk berkuasa adalah motivasi yang membuat orang lain berprilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berprilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Motivasi untuk berkuasa ini sangat berhubungan dengan motivasi dalam mencapai suatu posisi kepemimpinan.

3) Motivasi untuk berafiliasi atau bersahabat (Need of Affiliation)

Motivasi untuk berafiliasi adalah keinginan untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, selalu mencari teman dan mempertahankan hubungan yang telah dibina dengan individu tersebut, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain.

(3)

2.1.3 Pengertian Motivasi Berprestasi

Menurut Santrock (2003), motivasi berprestasi itu adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu demi tercapainya suatu standar kesuksesan atau melakukan usaha dengan tujuan untuk mendapatkan suatu kesuksesan. Sedangkan menurut McClelland dan Atkinson (dalam Djiwandono, 2002), motivasi yang paling penting untuk seseorang mendapatkan prestasi yang baik adalah motivasi berprestasi, dimana seseorang cenderung berjuang untuk mencapai sukses atau memilih kegiatan yang berorientasi untuk tujuan kesuksesan.

Atkinson dan Raynor (dalam Santrock, 2003) menambahkan bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, memiliki harapan untuk sukses yang lebih besar daripada ketakutan akan kegagalan, serta tekun pada setiap usahanya ketika menghadapi tugas dan keadaan yang sulit.

Lebih jauh, menurut Hawadi (2001), motivasi berprestasi adalah daya penggerak dalam diri untuk mencapai prestasi sesuai dengan yang ditetapkan oleh individu itu sendiri. Hawadi (2001) menambahkan bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menampilkan tingkah laku yang berbeda dengan orang yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah.

2.1.4 Karakteristik atau Ciri-ciri Motivasi Berprestasi

Beberapa penelitian memaparkan karakteristik motivasi berprestasi. Karakteristik motivasi berprestasi tersebut adalah :

(4)

1. Pemilihan Tugas

a. Tingkat Kesulitan Tugas

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi biasanya mempunyai kecenderungan untuk berorientasi pada tugas (McClelland, 1987; Morgan dkk, 1987). Mereka memilih tugas yang memiliki kesulitan yang sedang daripada tugas yang memiliki tingkat kesulitan tinggi atau rendah (Santrock, 2001; Kingston & White, dalam Setiawati, 1996). Mereka mempunyai tujuan yang realistic dengan derajat kesukaran yang sedang dimana memungkinkan mereka untuk berhasil. (McCleland & Winter, dalam McCleland, 1987).

b. Tugas-tugas yang Menantang

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi senang dengan tugas-tugas yang menantang (Enggen & Kauchak, 1997; Parson dkk, 2001). Sebaliknya, individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah menghindari tugas-tugas yang menantang (Eggen & Kauchak, 1997). Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi mencari tugas-tugas yang menantang dimana mereka merasa tugas tersebut dapat mereka selesaikan dengan usaha dan ketekunan (Ormrod, 2003).

c. Tugas-tugas yang memperlihatkan keunggulan

Individu ini lebih mencoba untuk mengerjakan dan menyelesaikan lebih banyak tugas serta tertarik dalam memilih tugas dalam persaingan dimana mereka berkesempatan untuk bersaing dengan orang lain karena situasi persaingan terdapat kemungkinan untuk melebihi orang lain. (McClelland, 1987).

(5)

2. Kebutuhan akan Umpan Balik

Untuk karakteristik ini, seorang individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dapat menerima dan menginginkan umpan balik yang bersifat korektif (Eggen & Kauchak, 1997: Parson dkk, 2001). Mereka memperhatikan umpan balik konkrit dari bagaimana cara mereka mengerjakan tugas dimana umpan balik ini selanjutnya akan dipergunakan untuk memperbaiki prestasinya. (McClelland & Winter, dalam McClelland, 1987).

3. Ketangguhan dalam Mengerjakan Tugas

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi selalu berusaha mengatasi rintangan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan (Kingson & White, dalam Setiawati, 1996). Mereka gigih dalam mengejar waktu yang mereka sudah tetapkan untuk mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan gigih untuk bekerja dengan baik (Santrock, 2001; Parson dkk, 2001).

4. Pengambilan Tanggung Jawab

Individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi mempunyai kecenderungan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dikerjakannya (McClelland, 1987). Mereka bertanggung jawab terhadap permasalahan yang mereka hadapi (Morgan dkk, 1987).

(6)

5. Penambahan Usaha-usaha tertentu

Individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah biasanya melakukan usaha-usaha kecil dalam menghadapi ujian atau tugas yang mereka hadapi (Eggen & Kauchak, 1997). Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung untuk memperbesar usahanya agar berhasil (Pintrich & Schunk, 1996).

6. Prestasi yang Diraih

Individu dengan motivasi berprestasi rendah mempunyai standar nilai yang rendah, sedangkan individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki standar nilai yang tinggi (Eggen & Kauchak, 1997). Individu dengan motivasi berprestasi tinggi menetapkan standar kemampuan yang lebih tinggi begitu standar yang terdahulu dapat dilampaui. (Ormrod, 2003).

7. Kepuasan dalam Mengerjakan Tugas

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi merasa berhasil dan merasa puas apabila telah mengerjakan tugas (McClelland & Winter, dalam McClelland, 1987; Morgan dkk, 1987). Mereka merasa puas apabila telah melakukan tugas dengan sebaik mungkin secara umum didasarkan pada keunggulan yang ditetapkan oleh dirinya sendiri (Kingston & White, dalam Setiawati, 1996).

(7)

8. Ketakutan akan Kegagalan

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki harapan untuk sukses yang lebih kuat daripada ketakutan akan kegagalan (Ormrod, 2003). Sedangkan individu dengan motivasi berprestasi rendah cenderung merasakan ketakutan akan kegagalan dan melakukan perlindungan dari perasaan malu pada saat melakukan kegagalan (Eggen & Kauchah, 1997).

2.1.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

McClelland (dalam Siregar ,2006) menyebutkan ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang, yaitu :

1. Keluarga

Motivasi berprestasi seseorang dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial seperti orangtua dan teman (Eastwood, 1983). Sedangkan McClelland dalam Schultz & Schultz (1994) mengatakan bahwa bagaimana cara orangtua mengasuh anak berpengaruh terhadap motivasi berprestasi anak.

2. Konsep Diri

Konsep diri merupakan bagaimana seseorang berfikir mengenai dirinya sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu, maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehinggah berpengaruh dalam bertingkah laku.

(8)

3. Jenis Kelamin

Prestasi yang tinggi biasanya diidentifikasikan dengan maskulinitas, sehinggah banyak para wanita belajar tidak maksimal khususnya jika wanita tersebut berada diantara para pria, yang menurut Stein & Bailey (dalam Fernald & Fernald, 1999) sering disebut sebagai motivasi menghindari kesuksesan.

4. Pengakuan dan Prestasi

Individu akan lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras apabila dirinya merasa diperdulikan, dihargai atau diperhatikan oleh orang lain serta dirinya mendapatkan prestasi yang baik.

2.1.6 Pengukuran Motivasi Berprestasi

Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan dalam mengukur tingkat motivasi berprestasi dari seseorang. Morgan, King, Weisz, dan Schopler (1986) menyebutkan bahwa alat ukur yang paling sering dipergunakan adalah :

1. Tes Proyeksi

Pengukurannya yaitu dengan cara menyimpulkan tema dari cerita yang dibuat oleh individi berdasarkan gambar yang diperlihatkan kepadanya. Adapun tes proyeksi ini yang paling terkenal dalam mengukur motivasi berprestasi yaitu Thematic Apperception test (TAT) dari McClelland yang merupakan modifikasi dari Murray.

(9)

2. Kuesioner

Alat ini terdiri atas sejumlah pernyataan atau pertanyaan tentang apa yang akan dilakukan atau apa yang lebih suka dilakukan oleh individu.

3. Observasi tingkah laku dalam situasi tertentu

4. Analisa karya seni atau literatur dari tulisan individu yang bersangkutan.

Dari beberapa alat ukur yang telah diutarakan diatas, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan alat ukur berupa kuesioner dalam bentuk skala. Adapun kuesioner ini sendiri merupakan suatu daftar yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu hal dalam suatu bidang untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden dalam suatu penelitian (Koentjaraningrat, dalam Oktarina, 2002).

2.2 Pola Asuh

2.2.1 Pengertian Pola Asuh

Pola asuh orang tua merupakan perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif (Nuraeni, 2006).

Menurut Meichati (1978) Pola asuh didefinisikan sebagai perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pola asuh menurut Darling (1999) adalah aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.

(10)

Sementara menurut Huxley (2002) pola asuh merupakan cara di mana orangtua menyampaikan atau menetapkan kepercayaan mereka tentang bagaimana menjadi orangtua yang baik atau buruk.

Berdasarakan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah proses aktivitas orang tua untuk mempengaruhi anak dimana orang tua menanamkan nilai-nilai yang dipercayai kepada anak dalam rangka mendidik anak, memberi perlindungan serta memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2.2.2 Jenis-Jenis Pola Asuh

Baumrind (1966) mengemukakan tiga jenis pola pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada anak-anaknya, yaitu :

1. Pola pengasuhan authoritarian (otoriter)

Orang tua dalam pola pengasuhan ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti dengan cara memaksa, memerintah ataupun menghukum. Tujuannya adalah untuk membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar yang sudah ditentukan. Mereka menganggap bahwa diri mereka lah otoritas tertinggi dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu mereka tidak menerima dan mengenal arti kata kompromi dan komunikasi yang sifatnya dua arah. Mereka cenderung membatasi segala aktifitas anak serta meminta anak-anak mereka untuk harus menerima dan melakukan segala sesuatu yang mereka minta. Mereka percaya dengan membatasi segala aktifitas anak serta sikap anak yang menerima dan melakukan segala sesuatu yang mereka minta adalah salah satu bentuk hormat dan tanggung jawab kepada orang tua.

(11)

2. Pola pengasuhan authoritative (otoritatif)

Orang tua dalam pola pengasuhan ini lebih mengutamakan kepentingan serta kebutuhan anak dan mereka lebih mengarahkan kegiatan anak dalam bentuk sikap rasional. Mereka mempunyai sikap lebih terbuka dalam hal kompromi dan komunikasi yang sifatnya dua arah. Mereka memberikan kebebasan kepada anak dalam mengatur dan melakukan segala aktifitasnya tetapi mereka juga memberikan batasan antara kesenangan dan tugas serta antara kebebasan dan tanggung jawab. Mereka membuat dan menetapkan peraturan keluarga dengan mempertimbangkan perkembangan anak mereka menjadi lebih baik, bukan dengan pertimbangan apa yang anak mereka sukai atau tidak. 3. Pola pengasuhan permissive (permisif).

Orang tua dalam pola pengasuhan ini memberikan kebebasan yang lebih besar kepada anak dalam melakukan dan mengatur segala aktifitasnya sendiri, bahkan dalam pengambilan keputusan. Orang tua dalam pola pengasuhan ini juga memiliki sikap tidak memberikan hukuman kepada anak yang melakukan kesalahan. Mereka membuat diri mereka sebagai sosok pemenuh kebutuhan sehari-hari saja tetapi tidak membuat diri mereka sebagai sosok ideal yang dapat dicontoh oleh anak mereka dikemudian hari.

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Supartini (2004) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengasuhan orangtua kepada anak-anaknya, yaitu :

(12)

1. Usia Orangtua

Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu tua atau muda mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.

2. Keterlibatan Orangtua

Kedekatan ibu dan anak sama pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan dengan cara bekerja sama dengan ibu dalam melakukan pengasuhan terhadap anak.

3. Pendidikan Orangtua

Shifrin dalam Wong (2001) dalam Supartini (2004) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua untuk lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan diantaranya berasal dari latar belakang pendidikan orangtua.

4. Pengalaman dalam Mengasuh Anak

Orangtua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan pengasuhan.

(13)

Stress yang dialami orangtua akan mempengaruhi kemampuan orangtua dalam menjalankan peran pengasuhannya terutama dalam kaitannya dengan startegi Coping yang dimiliki oleh anak.

6. Hubungan Suami Istri

Hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak pada kemampuan dalam menjalankan perannya sebagai orangtua dan merawat serta mengasuh anak dengan penuh rasa bahagia .

2.2.4 Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh

Papalia, dkk (2007) mengatakan pola pengasuhan orang tua akan berdampak pada karakteristik perilaku anak. Karakteristik tersebut adalah :

1) Pola pengasuhan otoritatif membuat karakteristik anak menjadi lebih mandiri, mampu mengatasi masalah dengan pengendalian stress yang baik, dapat berkerja sama dengan orang lain, dan lebih mempunyai motivasi untuk mendapatkan hal-hal baru.

2) Pola pengasuhan otoriter membuat karakteristik anak menjadi lebih penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, cemas, tidak percaya diri dan sukar dalam bekerja sama dengan orang lain.

3) Pola pengasuhan permisif membuat karakteristik anak menjadi lebih agresif dalam bertindak, kurang mandiri, tidak patuh mentaati peraturan yang ada, dan mempunyai sikap mau menang sendiri.

(14)

Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan dalam mendapati jenis pola pengasuhan seseorang. Morgan, King, Weisz, dan Schopler (1986) menyebutkan bahwa alat ukur yang paling sering dipergunakan adalah :

(15)

1. Kuesioner

Alat ini terdiri atas sejumlah pernyataan atau pertanyaan tentang apa yang akan dilakukan atau apa yang lebih suka dilakukan oleh individu.

2. Observasi tingkah laku dalam situasi tertentu

3. Analisa karya seni atau literature dari tulisan individu yang bersangkutan.

4. Wawancara

Dari beberapa alat ukur yang telah diutarakan diatas, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan alat ukur berupa kuesioner dalam bentuk skala. Adapun kuesioner ini sendiri merupakan suatu daftar yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu hal dalam suatu bidang untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden dalam suatu penelitian (Koentjaraningrat, dalam Oktarina, 2002).

2.3 Mahasiswa 2.3.1 Remaja

Remaja atau adolescene berasal dari bahasa latin “adolescere” yang berarti “tumbuh” atau “menjadi dewasa”. Istilah ini mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Monks (1999) membagi remaja dalam tiga kelompok usia, yaitu :

(16)

Berada pada rentang usia 12-15 tahun. Pada masa ini terdapat sikap dan sifat negatif yang belum terlihat dalam masa kanak-kanak. Individu sering merasa bingung, cemas, takut, dan gelisah (Ahmadi & Sholeh, 1991).

2. Middle Adolescence (remaja pertengahan)

Berada pada rentang usia 15-18 tahun. Pada masa ini individu menginginkan sesuatu dan mencari-cari sesuatu. Merasa sunyi dan merasa tidak bisa mengerti dan tidak dimengerti oleh orang lain. (Ahmadi & Sholeh, 1991).

3. Late Adolescence (remaja akhir)

Berada pada rentang usia 18-22 tahun. Pada masa ini, individu mulai merasa stabil, mulai mengenal dirinya, mulai menyadari tujuan hidup dan mempunyai pendirian tertentu. (Ahmadi & Sholeh, 1991)

2.3.2 Mahasiswa

2.3.2.1 Pengertian Mahasiswa

Kamisa (1997) mengartikan bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi. Montgomery dalam Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa perguruan tinggi atau universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu dalam mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya dalam melatih keterampilan verbal dan berfikir kritis.

Mahasiswa menurut Monks, dkk (2001) dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang usia 17-21 tahun. Ditambahkan oleh Papalia, dkk (2007) bahwa pada usia ini termasuk dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda atau

(17)

young adulthood. Pada usia ini, perkembangan individu ditandai dengan adanya pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai dapat membuat keputusan untuk diri mereka sendiri.

2.3.2.2 Ciri-ciri Mahasiswa

Mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain (Kartono, 1985) :

1. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi.

2. Diharapkan dapat bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil.

3. Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi.

4. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan professional.

2.4 Motivasi Berprestasi dan Pola Asuh

Mahasiswa sering mengalami masalah, salah satunya merasa tidak mampu mengikuti pelajaran tertentu sehingga mengulang beberapa kali pelajaran tersebut. Hal ini dapat menyebabkan mahasiswa akan pesimis terhadap masa depannya, keinginan untuk sukses semakin surut, yang akhirnya dapat mempengaruhi motivasi berprestasinya (Prabandari, 1989).

Bagi Mahasiswa, motivasi untuk berprestasi dan tampil baik merupakan faktor penting bagi keberhasilan di bangku perkuliahan (Ariyanto & Prawasti dalam Siregar 2006). Untuk mengembangkan motivasi berprestasi perlu peran

(18)

orangtua yang menetapkan suatu standar performance yang tinggi (McClelland dalam Schultz & Schultz, 1994).

Ini sejalan dengan penelitian oleh Moh. Surya (1979). Moh. Surya melakukan penelitian pada siswa SMA se-kotamadya Bandung dan menemukan bahwa faktor-faktor non intelektual mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan siswa. Salah satu faktornya adalah keluarga. Hal ini menunjukan bahwa keluarga khususnya orangtua sangat penting bagi keberhasilan siswa khususnya dalam bidang akademik.

Begitu juga dalam penelitian Manis Rihernati (1997) yang meneliti tentang hubungan intensitas perhatian orangtua terhadap prestasi belajar siswa kelas II SMA Negeri Cirebon menunjukan bahwa perhatian orangtua memberikan peranan positif dan signifikan terhadap prestasi belajar. Menurut penelitian tersebut, munculnya kemampuan siswa dalam mencapai prestasi belajar yang relatif tinggi merupakan hasil gabungan dari berfungsinya faktor-faktor diri siswa seperti minat dan bakat serta berfungsinya faktor-faktor pendukung seperti fasilitas, guru, serta orangtua dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa perhatian orangtua merupakan salah satu faktor pendukung yang mempengaruhi anak mencapai prestasi belajar.

Kedua penelitian itu juga dikuatkan oleh penelitian oleh Arin Dwi aryani (1999) yang meneliti tentang hubungan persepsi pola asuh orangtua dengan motivasi berprestasi siswa kelas II SMAN Cimahi, dimana penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pola asuh Authoritarian dengan motivasi berprestasi siswa dan terdapat hubungan yang positif antara pola asuh Authoritative dengan motivasi berprestasi siswa. Hal ini juga serupa dengan penelitian Siti Rachmi (2000) terhadap siswa kelas II SMAN Baleendah Bandung yang menunjukan bahwa pola asuh Authoritarian dan Permissive yang diterapkan akan semakin rendah motivasi berprestasi siswa

(19)

sedangkan pola asuh Authoritative dapat meningkatkan motivasi berprestasi siswa.

Penelitian-penelitian tersebut memperlihatkan bahwa pola asuh orangtua sebagai salah satu faktor dan aspek penting yang dapat mendukung perilaku siswa atau anak untuk mencapai prestasi yang baik. Pola asuh orangtua berpengaruh terhadap perkembangan intelektual anak, termasuk perkembangan motivasi berprestasi anak tersebut. Apabila pola asuh orangtua dapat menunjang motivasi berprestasi yang tinggi, tentu prestasi belajar anak juga akan tinggi.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengolahan data yang dilakukan yaitu pemeriksaan (editing), (coding), dan tabulasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis tabel frekuensi

Plaxis output dapat dipanggil dengan mengklik toolbar Plaxis output, atau dari start menu yang bersesuaian dengan program plaxis. Toolbar Calculation pada

Tahap Desain, pada tahan ini dilakukan proses perancangan desain topologi usulan untuk PDII-LIPI sesuai dengan analisa kondisi eksisting yang mencakup topologi

Berdasarkan hasil yang diperoleh jenis biochar sekam padi, tongkol jagung dan tempurung kelapa dengan konsentrasi biochar 6 g/kg tanah, 12 g/kg tanah, dan 18

Menurut Nida (1969), menerjemahkan berarti mengalihkan isi pesan yang terdapat dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) sedemikian rupa sehingga orang

Selain kata, dalam sintaksis terdapat frase, yaitu satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif atau disebut juga sebagai gabungan kata yang

Dan kami juga sangat mengharapkan yang membaca makalah ini akan bertambah motivasinya dan mengapai cita-cita yang di inginkan, karena saya membuat makalah ini mempunyai arti

yang menetapkan dan membedakan sunnah fi‘liyah menjadi empat hal, pertama, terkait perihal tabiat, seperti perihal Nabi tentang berdiri, makan, minum, dan