• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BAHAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN LUNTUR DAN INTENSITAS WARNA KAIN MORI BATIK HASIL PEWARNAAN DAUN ALPUKAT (PERSEA AMERICANA MILL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH BAHAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN LUNTUR DAN INTENSITAS WARNA KAIN MORI BATIK HASIL PEWARNAAN DAUN ALPUKAT (PERSEA AMERICANA MILL"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH BAHAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN

LUNTUR DAN INTENSITAS WARNA KAIN MORI BATIK

HASIL PEWARNAAN DAUN ALPUKAT (PERSEA AMERICANA

MILL

(2)
(3)

Pengaruh Bahan Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur dan Intensitas Warna Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan Daun Alpukat (Persea americana Mill.) The Influence of Fixation To The Fastness And Color Intensity of Batik Calico of Avocado Leaves Coloration (Persea Americana Mill.) Rohmad Eko Prayitno1), Susinggih Wijana2) ,Beauty Suestining Diyah D.2) 1)

2)

Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran No. 1 Malang 65145 *email: rekoprayitno@gmail.com

Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi terhadap intensitas dan ketahanan luntur warna kain mori batik dengan menggunakan pewarna alami serbuk daun alpukat. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor pertama adalah bahan fiksasi yaitu tawas, tunjung dan kapur tohor. Faktor kedua adalah konsentrasi bahan fiksasi yaitu 5%, 10% dan 15% (b/v). Hasil perlakuan terbaik

menggunakan Multiple Attribute, yaitu pada perlakuan menggunakan bahan fiksasi kapur tohor (CaO) dengan konsentrasi 15% (b/v) dengan nilai intensitas warnanya yaitu nilai L* sebesar 35.99 ; nilai a* sebesar +19.57 ; nilai b* sebesar +23.93 ; ΔE (perbedaan warna) sebesar 14.46 yang berarti ada pengaruh besar. Gabungan dari nilai L*, a* dan b* menghasilkan warna yang terlihat oleh mata berwarna coklat. Uji ketahanan gosokan kering dan basah menunjukkan nilai SS (Stainning Scale) sebesar 2.00 (baik) dan 5.87 (cukup baik). Uji ketahanan pencucian menunjukkan nilai SS (Stainning Scale) sebesar 3.87 (baik) dan nilai GS (Grey Scale) sebesar 0.67 (baik sekali). Hasil uji intensitas warna menunjukkan bahwa bahan fiksasi tunjung mampu mengikat L* lebih kuat. Bahan fiksasi kapur tohor mampu mangikat axis nilai a* dan b* lebih kuat. Sedangkan bahan fiksasi tawas mempunyai kekuatan paling lemah untuk mengikat L*, a* dan b*. Konsentrasi bahan fiksasi tidak berpengaruh terhadap kekuatan mengikat axis nilai a* dan b*, tetapi hanya mampu mengikat nilai L*. Semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi, maka ketahanan luntur warnanya semakin baik. Kata kunci : fiksasi, intensitas warna, ketahanan luntur warna, pewarnaan batik, tanin Abstract The research aimed at knowing the influence of concentration difference and fixative materials to the intensity and colour fastness of batik calico. The research used Randomized Block Design. The first factor is fixation, that is alum, lotus, unslaked lime. Second factor is fixative material concentration, that is 5%, 10% and 15% (b/v). The best treatment results by using multiple attribute, that is at the treatment by using fixative materials of unslaked lime (CaO) with concentration of 15% (b/v) with color intensity of L* value of 35.99; a* value of +19.57; b* value of +23.93; ∆E (color differences) of 14.46 that means great influence. The composite of L*, a*, and b* values produced color that is not seen by eyes in brown. Test of wet and dry rub resistance showed Staining Scale (SS) of 2.00 (good) and 5.87 (good enough). While th e laundering durability showed Staining Scale (SS) of 3.87 (good) and Grey Scale (GS) of 0.67 (very good). The test results of color intensity indicated that lotus fixative lotus can be binding axis values L* strongly. alum fixative has the weakest strengt h, both to binding the L*, a* and b*. fixative material concentration isn’t affect to binding the axis values of a* and b*, but only to binding the axis values of L*. The more fixative material concentration, then the colour fastness is better. Keywords: fixation, colour intensity, colour fastness, batik coloration, tannin

hampir menyentuh USD 100 juta. Namun karena pengaruh krisis global ekspor batik turun di 2009 menjadi hanya USD 76,01 juta. Semula batik hanya dikenal di lingkungan keraton di Jawa dan dibuat dengan sistem tulis sedangkan pewarna yang digunakan berasal dari alam baik tumbuh tumbuhan maupun binatang (Atikasari, 2005).

(4)

lokasi penyebaran, teknologi maupun desainnya. Berdasarkan data Departemen Perdagangan

(2010), sejak tahun 2006, nilai ekspor batik Indonesia ke mancanegara sudah cukup besar mencapai USD 74,23 juta dan pada 2008, nilai 1

Industri batik umumnya menggunakan pewarna sintetik dalam proses pewarnaan kain batik. Menurut Kristijanto dan Hartati (2013), menyatakan bahwa zat warna sintetik tersebut lebih baik dibanding zat warna alami karena komposisinya tetap, penggunaannya jauh lebih mudah, hasil pewarnaannya lebih cerah dan mempunyai ketahanan luntur yang baik. Namun demikian, zat warna sintetik tersebut juga mempunyai kekurangan, yaitu harganya relatif mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Dampak yang ditimbulkan oleh zat warna sintetik membuat pengrajin tekstil mulai kembali menggunakan zat warna alam yang tidak dapat ditiru oleh zat warna sintetik. Salah satu bahan alam yang dapat dimanfaatkan yaitu daun alpukat. Selama ini daun alpukat banyak digunakan sebagai bahan obat. Secara visualisasi, warna dari daun alpukat sendiri adalah hijau gelap (Maryati dkk., 2007). Secara kimiawi daun buah alpukat mengandung saponin, alkaloida, tanin dan flavonoida. Kandungan tanin pada daun alpukat dapat dijadikan sebagai pewarna alami batik tulis dengan kenampakan warna coklat. Kelebihan zat warna alam adalah beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak beracun, sedangkan kekurangan zat warna alami adalah belum mempunyai standar warna, ketahanan luntur rendah, dan proses untuk mendapatkan masih sulit. Ketahanan luntur warna merupakan unsur yang sangat menentukan mutu suatu pakaian atau bahan berwarna. Pada penelitian ini akan dicoba menggunakan pewarna alami daun alpukat berbentuk serbuk. Bahan pewarna alami serbuk daun alpukat diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Lestari (2014). Kain mori primissima digunakan sebagai contoh karena mengandung selulosa 94% (Soeprijono dkk.,1974 dalam Suheryanto, 2010). Menurut Sewan (1978) serat selulosa mempunyai sifat sangat higroskopis sehingga memungkinkan pewarna dapat terserap dengan baik. Jenis batik tulis digunakan sebagai contoh sebab batik tulis masih mempunyai prospek pasar yang besar. Hal ini terbukti dengan meningkatnya ekspor batik Indonesia dari tahun ke tahun. Selain itu, batik tulis juga lebih dikenal secara umum daripada jenis batik yang lain. Fiksasi merupakan tahapan paling penting setelah proses pencelupan warna, karena fiksasi merupakan suatu tahapan untuk mengunci warna. Penggunaan larutan fiksatif dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna menjadi tidak mudah pudar serta tahan terhadap gosokan

(Ruwana, 2008). Pada tahapan fiksasi pewarna digunakan variasi bahan diantaranya tunjung (FeSO4), tawas (KAl(SO4)2.12H2O), dan kapur tohor (CaO). Penggunaan bahan fiksasi tersebut dikarenakan harganya yang terjangkau dan mudah didapatkan dipasaran. Umumnya pengrajin batik tidak ada takaran tertentu dalam penggunaan larutan fiksasi. Pengrajin melihat kualitas batik hanya berdasarkan visualnya. Oleh karena itu, perlu diketahui pengaruh variasi dan konsentrasi bahan fiksasi terhadap ketahanan luntur dan intensitas warna hasil pewarnaan daun alpukat pada kain batik. BAHAN DAN METODE Alat dan bahan Alat yang digunakan untuk penelitian pendahuluan antara lain yaitu nampan, gelas ukur, kain saring, pengaduk, panci, kompor, timbangan, gelas ukur, canting, gawangan, panci dan kompor kecil. Alat yang digunakan untuk proses fiksasi diantaranya bak penampung, gelas ukur, dan timbangan. Alat yang digunakan untuk uji diantaranya

Laundrymeter, Crockmeter, Grey Scale, dan Stainning Scale. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain yaitu 20 gram serbuk pewarna daun alpukat, 200 ml air sebagai pelarut, dan kain mori primissima. Sedangkan bahan yang digunakan untuk proses fiksasi yaitu yaitu tawas

(KAl(SO4)2.12H2O), tunjung (FeSO4) dan kapur tohor (CaO). Metode Penelitian Penelitian ini

menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang tersusun berdasarkan dua faktor yaitu perbedaan konsentrasi (B) dan bahan fiksasi yang digunakan (A). Faktor A yaitu tawas

(KAl(SO4)2.12H2O), tunjung (FeSO4) dan kapur tohor (CaO). Faktor B yaitu 5% ; 10% dan 15% (b/v). Tahapan proses fiksasi pewarna daun alpukat : 1. 20 gram serbuk pewarna daun alpukat dilarutkan dengan 200 ml air. 2. Kain mori di mondarting awal menggunakan tawas. 3. Kain

(5)

Kain yang telah kering selanjutnya dilakukan proses penguncian warna (fiksasi) sesuai faktor-faktornya. 5. Proses terakhir adalah mencuci kain batik tersebut dan kemudian mengeringkannya dengan cara di jemur. 2

6. 7.

Kain yang telah jadi diuji berdasarkan ketahanan luntur dan intensitas warna. Hasil perlakuan terbaik diaplikasikan pada produk batik tulis.

kecenderungan warna hitam atau sangat gelap, sedangkan nilai 100 menyatakan kecenderungan warna terang/putih. Hasil rerata nilai L* menunjukkan bahwa bahan fiksasi tawas akan

mengarahkan warna paling terang, dilanjutkan kapur dan tunjung yang paling gelap. Pada saat pencelupan terjadi reaksi antara tannin (asam tannat atau asam galotannat) pada daun alpukat dengan logam Fe2+ dari bahan fiksasi tunjung yang menghasilkan garam kompleks (ferro tanat). Garam kompleks tersebut terbentuk karena adanya ikatan kovalen koordinasi antara ion logam dan ion non logam (Taofik dkk., 2010). Demikian halnya dengan kain mori dengan bahan fiksasi tawas menunjukkan warna paling muda dari pada dua bahan fiksasi lainnya. Sama halnya dengan bahan fiksasi kapur tohor maka terjadi reaksi ionik dengan tannin (asam tannat atau asam galotannat) dengan ion Al3+ pada tawas.

Analisis Analisis pengujian fisik hasil penguncian warna (fiksasi) kain batik yang meliputi Nilai L*, a*, dan b* (Hutching, 1999), pengujian ketahanan luntur warna kain terhadap pencucian rumah tangga (SNI ISO 105C06:2010), pengujian ketahanan luntur warna kain terhadap gosokan (SNI 0288-2008). Pemilihan alternatif terbaik dilakukan dengan menggunakan metode Multiple Attribute (Zelleny, 1982). HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Nilai L* Hasil penelitian mnunjukkan rerata nilai L* yang dihasilkan antara 33.12 - 43.97. Rerata nilai L* tertinggi dihasilkan dari perlakuan dengan bahan fiksasi tawas (KAl(SO4)2.12H2O) dengan konsentrasi 5% (b/v)). Rerata nilai L* terendah dihasilkan dari perlakuan dengan bahan fiksasi tunjung (FeSO4) dengan konsentrasi 10% (b/v)). Pada analisis ragam menunjukkan perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi memberikan pengaruh nyata. Perbedaan konsentrasi bahan fiksasi memberikan pengaruh yang nyata. Sedangkan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang nyata. pengaruh perbedaan konsentrasi bahan fiksasi terhadap rerata nilai L* dapat dilihat pada Tabel 1.

Uji Nilai a* Menurut Nugraha (2009) nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Hasil penelitian menunjukkan rerata nilai a* yang dihasilkan yaitu antara 3.40-19.57. Pada analisis ragam menunjukkan perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi memberikan pengaruh nyata. Perbedaan konsentrasi bahan fiksasi memberikan pengaruh yang tidak nyata, artinya tidak perlu ada uji lanjut. Sedangkan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Pengaruh perbedaan bahan fiksasi terhadap rerata nilai a* disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Uji DMRT pada taraf uji 5% pengaruh perbedaan konsentrasi bahan fiksasi terhadap rerata nilai L* Perlakuan Perbedaan bahan Konsentrasi Rerata fiksasi bahan fiksasi nilai L* 5% 43.97g Tawas 10% 43.17g (KAl(SO4)2.12H2O) 15% 41.90g 5% 34.33c Tunjung (FeSO4) 10% 33.55ab 15% 33.12a 5% 38.93f Kapur tohor (CaO) 10% 37.71e 15% 35.99d Keterangan : notasi yang berbeda menunjukkan perlakuan beda nyata DMRT 5%

Tabel 2. Pengaruh perbedaan bahan fiksasi terhadap rerata nilai a* Perbedaan Bahan Fiksasi Rerata Notasi Nilai a* (+) 11.41 b Tawas (KAl(SO4)2.12H2O) 3.48 a Tunjung (FeSO4) 19.07 c Kapur tohor (CaO) BNT 0.48 Keterangan : notasi yang berbeda menunjukkan beda nyata BNT 5% Bahan fiksasi yang berbeda akan menghasilkan nilai a* yang berbeda nyata, hal ini ditunjukkan oleh notasi yang

(6)

berbeda pada masing-masing faktor. Artinya pengaruh masingmasing bahan fiksasi menunjukkan perbedaan yang signifkan. nilai a* tertinggi sampai terendah yaitu mulai dari kapur tohor, tawas dan tunjung. Menurut Saati (2004), peningkatan nilai

Menurut Pomeranz dan Meloans (1994) nilai L* menyatakan tingkat gelap terang dengan kisaran 0-100 dimana nilai 0 menyatakan 3

+a* (tingkat kemerahan) yang cukup tinggi, menunjukkan adanya sumbangan warna pigmen dominan merah dan sebagian cenderung kearah merah orange. Artinya berdasarkan urutan rerata nilai nilai +a*, bahan fiksasi kapur tohor akan menghasilkan arah warna merah paling tua,

dilanjutkan tawas menghasilkan arah warna merah agak muda dan tunjung menghasilkan arah warna merah paling muda.

Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan Pengujian dilakukan menggunakan alat Crockmeter. Kain hasil uji tersebut kemudian dinalisis menggunakan Stainning Scale sebagai standar penilaian, sebab kain yang diuji adalah kain putih yang telah ternodai oleh bahan uji (kain batik). Semakin rendah nilai SS, maka penilaian ketahanan luntur warnanya semakin baik.

Uji Nilai b* Hasil penelitian menunjukkan rerata nilai b* yang dihasilkan yaitu antara 10.10-23.93. Pada analisis ragam menunjukkan perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi memberikan pengaruh nyata. Perbedaan konsentrasi bahan fiksasi memberikan pengaruh yang tidak nyata, artinya tidak perlu ada uji lanjut. Sedangkan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Pengaruh perbedaan bahan fiksasi terhadap rerata nilai a* disajikan pada Tabel 3.

1. Uji Gosokan Kering Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi maka nilai ketahanan lunturnya juga semakin baik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai CD seiring penambahan konsentrasi bahan fiksasi. Grafik uji ketahanan gosokan kering dapat dilhat pada Gambar 1. Rerata nilai CD (Stainning Scale)

8.00 7.00

Tabel 3. Pengaruh perbedaan bahan fiksasi terhadap rerata nilai b* Perbedaan Bahan Fiksasi Rerata Notasi Nilai b* (+) 21.56 b Tawas (KAl(SO4)2.12H2O) 10.53 a Tunjung (FeSO4) 23.13 c Kapur tohor (CaO) BNT 0.92 Keterangan : notasi yang berbeda menunjukkan beda nyata BNT 5%

7.20

6.00 5.00 4.00 3.00 2.00

5.10 4.50

4.50 4.00 3.30

3.30 2.70 2.00

1.00 0.00 5% 10% 15% Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 1. Grafik uji ketahanan gosokan kering Jika dievaluasi secara deskriptif, rerata ketahanan luntur warna sudah baik. Hal ini sudah sesuai dengan pendapat Herlina (2007) yang menyatakan bahwa hasil penguncian warna (fiksasi) ketahanan lunturnya minimal cukup dengan nilai CD sebesar 3.00. Hal ini diduga karena molekul zat warna masih terikat kuat didalam serat kain. Sulaeman

(7)

(2000) juga menyebutkan adanya Ca2+ dari larutan kapur, ataupun Al3+ dari larutan tawas akan menyebabkan ikatan antara ion-ion tersebut dengan tanin yang telah berada di dalam serat berikatan dengan serat sehingga molekul zat pewarna alam yang berada di dalam serat menjadi lebih besar.

Bahan fiksasi yang berbeda akan menghasilkan nilai b* yang berbeda nyata, hal ini ditunjukkan oleh notasi yang berbeda pada masing-masing faktor. Artinya pengaruh masingmasing bahan fiksasi menunjukkan perbedaan yang signifkan. nilai b* tertinggi sampai terendah yaitu mulai dari kapur tohor, tawas dan tunjung. Penambahan bahan fiksasi yang berbeda-beda akan mengarahkan warna kain yang berbeda. Menurut Kristijanto dan Soetjipto (2013), kain mori dengan bahan fiksasi kapur tohor menunjukkan warna kuning lebih tua dari pada tawas dan tunjung hal ini disebabkan pada zat pewarna tersebut terjadi reaksi ionik antara tannin (asam tannat atau asam galotannat) dengan ion Ca2+ pada kapur tohor yang menghasilkan endapan kuning. Berbeda pada bahan fiksasi lainnya yaitu tawas dan tunjung yang tidak membentuk endapan kuning seperti kapur tohor, sehingga kekuatan mengikat axis nilai b* lebih rendah dibandingkan kapur tohor.

2. Uji Gosokan Basah Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi maka nilai ketahanan lunturnya juga semakin baik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai CD seiring penambahan konsentrasi bahan fiksasi. 4

Rerata nilai CD (Stainning Scale)

Grafik uji ketahanan gosokan basah dapat dilhat pada Gambar 2. 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00

zat warna alam yang dalam proses pewarnaannya harus melalui penggabungan dengan kompleks logam, sehingga zat warna ini akan lebih tahan daya lunturnya. Tawas, tunjung dan kapur tohor merupakan kelompok kompleks logam yang berguna untuk memperbaiki ketahanan luntur dari pewarna mordan (alam). Adanya ketahanan luntur yang kuat pada kain mori dengan bahan fiksasi tunjung dan tawas terhadap pencucian berkaitan dengan terjadinya ikatan tanin daun alpukat yang mampu masuk ke dalam serat kain secara makasimum dan berikatan kuat dengan serat kain mori (Sulasminingsih, 2006). Sebaliknya untuk bahan fiksasi kapur tohor (Menurut Asri, 2005 dalam Atikasari, 2005) zat warna tidak mampu masuk ke dalam serat secara maksimum dikarenakan putusnya ikatan antara serat kain dengan autoskrom sehingga daya serap kain hilang dan menyebabkan sisa zat warna hanya melekat pada permukaan serat saja.

8.00 7.20 6.40 5.10

5.90 4.50

5% 10% 15% Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 2. Grafik uji ketahanan gosokan basah Ketahanan luntur zat warna terhadap gosokan basah mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan gosokan kering. medium air maka molekul zat warna akan ikut terbawa oleh air, atau dapat dikatakan disini terjadi proses imbibisi (Herlina, 2007). Menurut Hasanudin dkk., (2001) jika serat kain dicelupkan pada air, hal ini akan

menyebabkan penggembungan pada serat sehingga molekul zat warna akan mudah keluar saat penggosokan. Diduga nilai tahan luntur warna pada gosokan basah lebih rendah dibandingkan gosokan kering disebabkan oleh adanya penambahan molekul air pada saat pengujian.

(8)

bahwa semakin besar konsentrasi bahan fiksasi, maka nilai GS (Grey Scale) juga akan semakin menurun atau semakin baik. Grafik uji ketahanan pencucian berdasarkan nilai Grey Scale dapat dilhat pada Gambar 4.

Nilai CD (Stainning Scale)

9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00

Nilai CD (Grey Scale)

Uji Ketahanan Kelunturan Terhadap Pencucian 1. Berdasarkan Nilai Skala Penodaan (Stainning Scale) Hasil uji ini menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi yang digunakan maka nilai SS juga akan semakin turun atau semakin baik. Grafik uji ketahanan pencucian berdasarkan nilai Stainning Scale dapat dilhat pada Gambar 3.

[VALUE] 0 [VALUE] [VALUE] 1 [VALUE] 1 [VALUE][VALUE]1 3 1 [VALUE] [VALUE] 1 2 [VALUE] 5 5% 10% 15% Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 4. Grafik uji ketahanan pencucian berdasarkan nilai Grey Scale

8.00 5.60

5%

3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0

5.60 4.53

10%

Penggunaan tunjung sebagai bahan fiksasinya memberikan nilai terbaik dibandingkan kapur tohor dan tawas. Kain batik yang difiksasi dengan tawas tidak tahan terhadap larutan basa (pencucian), sedangkan fiksasi tunjung dan kapur tohor mempunyai ketahanan yang cukup tinggi pada suasana basa. Hal ini diduga dikarenakan berhubungan dengan kuat lemahnya ikatan antara serat dan zat warna. (Ginopadmojo, 1978 dalam Ruwana, 2008) menyatakan bahwa reaksi bahan fiksasi kapur dan tawas tersebut tidak menghasilkan garam

4.53 3.87 2.67

15%

Konsentrasi bahan fiksasi (b/v)

Gambar 3. Grafik uji ketahanan pencucian berdasarkan nilai Stainning Scale Menurut Ratyaningrum dan Giari (2005), zat warna mordan (alam) ini merupakan 5

( ) menghasilkan nilai 14.46. Nilai tersebut menunjukkan ada “pengaruh besar” terhadap perubahan warna. Artinya proses penguncian warna (fiksasi) memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan warna.

(9)

tunjung, kedua reaksi terakhir ini (kapur dan tawas tidak menghasilkkan garam kompleks, tetapi senyawa - senyawa berikatan ionik). Lebih jelasnya ausokrom dalam tanin akan dapat berikatan lebih baik dengan molekul-molekul serat kain apabila didukung dengan adanya garam-garam kompleks.

Tabel 5. Hasil perlakuan terbaik berdasarkan ketahanan luntur warna Parameter

Perlakuan Terbaik Hasil uji dengan metode Multiple Attribute menunjukkan perlakuan yang terbaik adalah dengan menggunakan bahan fiksasi kapur tohor dengan konsentrasi 15% (b/v)). Hasil

perlakuan terbaik berdasarkan intensitas warna dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil perlakuan terbaik berdasarkan ketahanan luntur warna dapat dilihat pada Tabel 5.

Gosokan kering Gosokan basah Pencucian (SS) Pencucian (GS)

Nilai L* Nilai a* Nilai b*

Bahan fiksasi kapur tohor dengan konsentrasi 15% 35.99 +19.57 +23.93

Perbedaan warna (ΔE)

Keterangan

14.46 (Pengaruh Besar)

Belum terstandar uji intensitas warna hasil penguncian warna

5.87 (cukup baik) 3.87 (baik) 0.67 (baik sekali)

Keterangan

Belum terstandar uji ketahanan luntur warna hasil penguncian warna

Hasil perlakuan dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa bahan fiksasi). Hasil penelitian pada perlakuan kontrol menunjukkan nilai gosokan kering sebesar 6.40 (cukup baik), gosokan basah sebesar 12.87 (kurang), nilai uji pencucian (SS) sebesar 9.10 (cukup), nilai uji pencucian (GS) sebesar 3.60 (cukup). Penentuan perlakuan terbaik untuk uji ketahanan luntur didasarkan pada analisis secara deskriptif. Analisis tersebut berdasarkan nilai CD yang dihasilkan. Moerdoko dkk., (1975) menyatakan bahwa semakin rendah nilai CD maka kualitas tahan luntur warnanya juga semakin baik. Herlina (2007) juga menyatakan bahwa hasil penguncian warna (fiksasi) ketahanan lunturnya minimal cukup dengan nilai CD sebesar 3.00. Secara keseluruhan nilai ketahanan luntur warna pada perlakuan terbaik mempunyai nilai lebih rendah atau lebih baik dibandingkan kontrol. Diduga pada perlakuan kontrol (tanpa bahan fiksasi) ketika dilakukan uji, baik gosokan maupun pencucian molekul warna terlepas, warna pada bahan tekstil diserang oleh zat kimia dan gerak mekanik sehingga apabila ikatan antara zat pewarna dan serat lemah, warna pada kain akan luntur. Penambahan bahan fiksasi (garam kompleks) sangat penting untuk meningkat ketahanan luntur pewarna alami. Penambahan bahan fiksasi mengakibatkan molekul zat warna menjadi lebih besar. Sulaeman dkk., (2000) juga menyebutkan adanya Ca2+ dari larutan kapur, ataupun Al3+ dari larutan tawas akan menyebabkan ikatan antara ion-ion tersebut dengan tanin yang telah berada di dalam serat berikatan dengan serat sehingga molekul zat pewarna alam yang berada di dalam serat menjadi lebih besar. Hal ini mengakibatkan molekul zat pewarna alam akan sukar keluar dari pori-pori serat dan akan memperkuat ketahanan luntur.

(10)

Tabel 4. Hasil perlakuan terbaik berdasarkan intensitas warna Parameter

Bahan fiksasi kapur tohor dengan konsentrasi 15% 2.00 (baik)

Hasil perlakuan dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa bahan fiksasi). Hasil penelitian pada perlakuan kontrol menunjukkan nilai L* sebesar 48.7, nilai a* sebesar +19.57, dan nilai b* sebesar +23,93. Nilai intensitas warna tersebut menunjukkan jika kain batik difiksasi menggunakan kapur tohor, maka arah warna merah menjadi berkurang. Arah warna kuning menjadi berkurang juga tetapi kecenderungan warnanya menjadi lebih gelap, sesuai dengan nilai L* yang menurun.

Perpaduan antara nilai a*,b* dan L* tersebut jika diamati secara langsung, terlihat berwarna coklat kemerahan. Seharusnya jika kadungan tanin pada daun alpukat akan mengarahkan warna coklat. Diduga penggunaan larutan mordanting dengan tawas menyebabkan warnanya menjadi coklat kemerahan. Sesuai penelitian oleh Manurang (2012), menyatakan bahwa warna kain katun yang dihasilkan tanpa penambahan tawas, warna dihasilkan adalah coklat muda. Sedangkan dengan metode mordanting awal menggunakan tawas, warna yang dihasilkan coklat kemerahan. Pengaruh perbedaan nilai 6

Kristijanto, A., Soetjipto H. 2013. Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau. Jurnal MIPA. Vol 4. No.1. Fakultas Sains dan Matematika. Salatiga.

KESIMPULAN Hasil uji intensitas warna menunjukkan bahwa bahan fiksasi tunjung mampu mengikat L* lebih kuat. Bahan fiksasi kapur tohor mampu mengikat axis nilai a* dan b* lebih kuat dibandingkan yang lain. Bahan fiksasi tawas mempunyai kekuatan paling lemah, baik untuk mengikat L*, a* dan b*. Konsentrasi bahan fiksasi tidak berpengaruh terhadap kekuatan mengikat axis nilai a* dan b*, tetapi hanya mampu mengikat nilai L*. Bahan fiksasi tunjung menghasilkan warna coklat tua, kapur tohor coklat kemerahan, dan tawas coklat muda. Hasil uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian menunjukkan bahwa ketahanan luntur warna terkuat sampai terlemah secara berurutan dihasilkan dari bahan fiksasi kapur tohor, tunjung dan tawas. Semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi, maka ketahanan luntur warnanya semakin baik (nilai GS dan SS semakin rendah).

Lestari, P. 2014. Ekstraksi Tanin Dari Daun Alpukat (Persea Americana Mill.) Sebagai Pewarna Alami (Kajian Proporsi Pelarut dan Waktu Ekstraksi). Jurnal Teknologi Pertanian. PP : 1-6. Universitas Brawijaya. Malang Manurang, M. 2012. Aplikasi Kulit Buah Manggis (Garcia

mangostana L.) Sebagai Pewarna Alami Pada Kain Katun Secara Pre-Mordanting. Jurnal Kimia VI (2) : 183-190. Universitas Udayana. Bukit Jimbaran Maryati, S. Fidrianny, I. dan Ruslan, K. 2007. Telaah Kandungan Kimia Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Sekolah Farmasi ITB. Bandung

DAFTAR PUSTAKA Atikasari, A. 2005. Kualitas Tahan luntur Warna Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan. Universitas Negeri Semarang Press. Semarang

Nilai

ekspor batik Indonesia. Perdagangan RI. 2010

Departemen

Pomeranz Y and Meloan CE. 1994. Food Anlysis Theory and Practise. Van Nostrand Reinhold Company. New York

(11)

Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Pencucian Rumah Tangga 105-C06:2010

Ratyaningrum, F. dan Giari N. 2005. Kriya Tekstil. Unesa University Press. Surabaya

Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Gosokan 0288-2008

Ruwana, L. 2008. Pengaruh Zat Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada Proses Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah Kayu Jati (Tectona grandis). Universitas Negeri Semarang. Semarang

Hasanudin, et al. 2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya pada produk Batik dan Tekstil Kerajinan Yogyakarta. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta

Saati, E. A. 2004. Studi Efektivitas Ekstrak Pigmen Antosianin Bunga Mawar (Rosa sp.) terhadap Sumbangan Warna dan Daya Antioksidan pada Produk Makanan. Penelitian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Muhammadiyah. Malang

Herlina, S. 2007. Fiksasi Bahan Alami Buah Markisa dan Jeruk Nipis dalam Proses Pewarnaan Batik dengan Zat Warna Indigisol. Seni dan Budaya Yogyakarta. Yogyakarta Hutching, J.B. 1999. Food Color and Apearance. Aspen publisher Inc., Maryland. 7

Sulaeman. 2000. Peningkatan Ketahanan Luntur Warna Alam Dengan Cara Pengerjaan Iring. Laporan Kegiatan Penelitian Balai Besar Kerajinan dan Batik. Yogyakarta Sulasminingsih. 2006. Studi Komparasi Kualitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak Kulit Kayu Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam Diazo. Universitas Negeri Semarang. Semarang Nugraha, S. 2009. Analisis Warna. Departemen ITP : FATETA IPB Taofik, E. Yulianti, A. Barizi, dan E.K. Hayati. 2010. Isolasi dan identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Air Daun Paitan (Thitonia diversifolia) Sebagai Bahan Insektisida Botani Untuk Pengendalian Hama Tungau Eriophyidae. Universitas Maulana Malik Ibrahim. Malang Zelleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw-Hill Co. New York

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karna itu saya memberikan saran untuk menerapkan pemeriksaan secara subjektif ini dengan pengukuran beban kerja menggunakan metode NASA-TLX sebelum operator mulai

Tujuan dalam penelitian dan pengembangan ini adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi kondisi sosial budaya masyarakat pesisir di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang,

[r]

Fasilitas radiografi dan tomografi neutron, RN1 tidak mampu mengamati akar tanaman padi pada usia 4 minggu kebawah karena ukuran akar masih terlalu kecil untuk dapat

Oleh karena itu, meskipun para pendukung atau orang-orang yang terlibat dalam suatu pertunjukan teater itu sama, tapi jika sutradaranya berbeda, maka akan menghasilkan suatu

Kalimat pasif Kuantar kau ke surga terdiri atas tiga bagian kalimat yang fungsi sintaktis masing-masingnya adalah predikat, subjek, dan keterangan.Predikat kuantar

1 Kata kunci dari dokumen yang akan diunggah disertai nama. File ini memuat: -

Untuk memudahkan pemahaman terhadap RNAi dalam melakukan inaktivasi gen, pada Gambar 3 memperlihatkan proses hibridisasi mRNA oleh RNA pendek (short RNA/sRNA) yang