• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Daging merupakan salah satu bahan makanan yang hampir sempurna,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Daging merupakan salah satu bahan makanan yang hampir sempurna,"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging merupakan salah satu bahan makanan yang hampir sempurna, karena mengandung gizi yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein hewani, energi, air, mineral dan vitamin (Soeparno, 2005). Kebutuhan daging sapi di Indonesia sangat tinggi, Rumah Potong Hewan sangat berperan pada penyediaan konsumsi daging di pasaran. Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan bangunan yang di desain dengan kontruksi khusus untuk memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat (Anonim, 1999). Untuk memperoleh kualitas daging yang baik dan ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) maka perlu diterapkan sistem pengawasan terhadap hewan potong di RPH dengan baik serta ditunjang dengan sarana dan prasana baik yang mendukung.

Rumah Potong Hewan secara garis besar mempunyai bangunan utama dan bangunan pendukung. Bangunan utama merupakan ruangan yang secara langsung menangani hewan potong dari proses pengistirahatan hewan potong sampai proses pembagian karkas dan siap untuk dipasarkan, sedangkan bangunan pendukung merupakan kantor administrasi yang mempunyai tugas untuk mendata hewan yang masuk dan karkas yang diedarkan.

Bangunan utama RPH terdiri dari daerah kotor dan daerah bersih. Daerah kotor terdiri dari tempat pemotongan hewan, tempat penyelesaian pemotongan

(2)

hewan, ruang untuk jeroan, ruang untuk kepala dan kaki, ruang untuk kulit dan ruang postmortem. Sedangkan daerah bersih terdiri dari tempat penimbangan karkas, tempat keluar karkas, ruang pelayuan, ruang pembekuan, ruang pembagian karkas dan ruang pengemasan daging. Daerah bersih dan daerah kotor dipisahkan dengan tujuan untuk menjaga kualitas produk daging agar tetap higienis, karena ini mempengaruhi juga terhadap kesehatan konsumen. Proses penanganan hewan potong sangat berperan penting pada penyediaan daging ASUH karena mempengaruhi terhadap kualitas dari daging yang dihasilkan.

Higiene daging tak lepas dari beberapa faktor diantaranya perlakuan hewan sebelum dipotong sampai selesai proses pemotongan dan proses pembagian karkas untuk siap dipasarkan. Semua peralatan yang digunakan selama proses pemotongan hewan harus steril dan kendaraan pengangkut daging hasil RPH harus memenuhi syarat yang berlaku, ini bertujuan untuk menjaga daging tetap higienis sampai di tangan konsumen.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses penanganan hewan potong di RPH Giwangan Kota Yogyakarta?

(3)

Tujuan

1. Mengetahui proses penanganan hewan potong di RPH Giwangan Kota Yogyakarta.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan

Rumah Potong Hewan (RPH) adalah komplek bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Rumah Pemotongan Hewan merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan : 1) pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama), 2) pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (antemortem inspection) dan pemeriksaan karkas dan jeroan (postmortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia, 3) pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan antemortem dan pemeriksaan postmortem guna pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan (Anonim, 1999).

Persyaratan Rumah Potong Hewan

Persyaratan suatu RPH meliputi : persyaratan lokasi, persyaratan sarana, persyaratan bangunan dan tata letak, persyaratan peralatan, persyaratan karyawan dan perusahaan serta persyaratan kendaraan pengangkut daging.

Persyaratan lokasi, lokasi RPH harus sesuai dengan rencana umum tata ruang dan rencana detail tata ruang wilayah, yaitu tidak berada di tengah kota,

(5)

letak lebih rendah dari pemukiman penduduk, tidak berada di dekat industri logam atau kimia, tidak berada di daerah rawan banjir serta lahan luas (Anonim, 2010).

Persyaratan sarana, rumah Pemotongan Hewan harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung minimal meliputi : akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan potong dan kendaraan daging, sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah yang cukup dan tersedia terus menerus serta adanya fasilitas penanganan limbah padat dan cair (Anonim, 2010).

Persyaratan bangunan dan tata letak, bangunan dan tata letak komplek RPH meliputi : bangunan utama, area penurunan hewan (unloading sapi) dan kandang penampungan/kandang istirahat hewan, kandang penampungan khusus hewan ternak ruminansia betina produktif, kandang isolasi, ruang pelayuan berpendingin (chilling room), area pemuatan (loading) karkas atau daging, kantor administrasi dan kantor dokter hewan kantin dan mushola, ruang istirahat karyawan dan tempat penyimpanan barang pribadi (locker)/ ruang ganti pakaian, kamar mandi dan WC, fasilitas pemusnahan bangkai/produk yang tidak dapat dimanfaatkan/insenerator, sarana penanganan limbah dan rumah jaga (Anonim, 2010). Setiap bangunan RPH harus dipisahkan antara daerah bersih dan daerah kotor dengan maksud untuk mencegah kontaminasi silang antara bagian-bagian karkas yang dianggap bersih dan jeroan hewan potong. Proses-proses yang dilakukan di daerah kotor adalah pemingsanan, penyembelihan dan pengeluaran darah, pemisahan kepala, kaki dan ekor dari karkas, pengulitan dan pengeluaran jeroan. Proses selanjutnya dari pengubahan hewan menjadi daging dilakukan di

(6)

daerah bersih yaitu pembelahan karkas, pemeriksaan postmortem, pemisahan bagian-bagian/pemotongan (cutting), pendinginan dan bila diperlukan pembekuan (Sanjaya, 2007).

Persyaratan peralatan, peralatan yang digunakan harus dibuat sesederhana mungkin dan mudah dibersihkan. Selain itu peralatan di RPH juga harus tidak mudah berkarat. Pembersihan alat-alat cukup dilakukan dengan air yang dibubuhi desinfektan, desinfektan yang sering digunakan di Indonesia adalah senyawa khlor (Sanjaya, 2007). Semua alat terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif dan mudah dibersihkan, alat yang langsung bersentuhan dengan daging tidak bersifat toksik, dilengkapi dengan rel dan alat penggantung karkas, dilengkapi sarana desinfektan, dan dilengkapi peralatan khusus karyawan (Anonim, 2010).

Persyaratan karyawan dan perusahaan, karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya minimal sekali setahun, karyawan mendapat pelatihan tentang higiene dan mutu. Petugas pemeriksa harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan pemeriksaan antemortem dan postmortem serta pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner (Anonim, 2010).

Persyaratan kendaraan pengangkut daging, daging hasil RPH diangkut keluar dengan menggunakan mobil boks tertutup yang bagian dalam nya dilapisi dengan isolator panas. Orang ataupun benda lain tidak diizinkan untuk berada atau masuk kedalam bagian dalam dari kendaraan ini (Sanjaya, 2007).

(7)

Proses Penanganan Hewan Potong

Pengangkutan hewan potong, transportasi ternak atau pengiriman ternak sangat penting dalam proses penyembelihan yang akan dilakukan karena mengingat akan kesejahteraan hewan (mencegah hewan stress dan memperhatikan animal welfire) serta jika penanganan yang salah dapat mengakibatkan kerugian ekonomi serta potensi kerugian – kerugian produksi seperti kematian, dehidrasi dan kualitas daging. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam pengangkutan ternak adalah metode memuat dan menurunkan hewan yang baik, faktor kelelahan dan lama waktu perjalanan, serta pencegahan terhadap gejala dehidrasi terhadap hewan ternak (Cahyadi, 2013). Prinsip penanganan hewan saat unloading : a) Tetap tenang dan mempertahankan kendali selama penanganan, b) Turunkan ternak dari truk dalam kelompok, c) Biarkan ternak mengamati lingkungan dan turun truk dengan sendirinya, d) Gunakan alat bantu apabila diperlukan, e) Pencahayaan yang baik (pindahkan hewan dari gelap ke terang), f) Hilangkan gangguan yang ada, g) Desain fasilitas unloading harus baik dan meminimalkan terjadinya cedera pada hewan ternak (lantai tidak licin) (Anonim, 2013).

Persyaratan sapi yang boleh dipotong, beberapa syarat yang harus dipenuhi hewan potong antara lain : disertai surat kepemilikan, disertai bukti pembayaran retribusi/pajak potong, memiliki surat ijin potong, dilakukan pemeriksaan antemortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang paling lambat 24 jam sebelum penyembelihan, diistirahatkan paling lambat 12 jam sebelum penyembelihan dilakukan, penyembelihan dilakukan di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan, pelaksana pemotongan hewan dilakukan di

(8)

bawah pengawasan dan menurut petunjuk-petunjuk pemeriksa yang berwenang, tidak dalam keadaan bunting. Syarat syarat tersebut diatas untuk hewan potong tidak bisa dipenuhi jika dilakukan penyembelihan darurat (Anonim, 1993). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan ternak adalah : (1) ternak harus sehat, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan atau mantri hewan yang berwenang. Yang dimaksud dengan ternak sehat yaitu ternak tersebut tidak mengalami sakit, (2) ternak harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan, (3) ternak yang sudah tidak produktif lagi, atau tidak dipergunakan lagi sebagai bibit, dan (4) ternak yang disembelih dalam keadaan darurat (Soeparno, 2005).

Kandang Peristirahatan, ternak sebelum disembelih sebaiknya dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam sampai 24 jam. Ternak diistirahatkan mempunyai maksud agar ternak tidak stress, darah dapat keluar sebanyak mungkin dan tersedia energi agar proses rigormortis berjalan sempurna (Soeparno, 2005). Pengistirahatan ternak dapat dilaksanakan dengan hewan dipuasakan atau tanpa dipuasakan. Pengistirahatan dengan pemuasaaan mempunyai maksud untuk memperoleh berat tubuh kosong (BTK = bobot tubuh setelah dikurangi isi saluran pencernaan, isi kandung kencing dan isi saluran empedu) dan mempermudah proses penyembelihan bagi ternak agresif dan liar. Pengistirahatan tanpa puasa dimaksudkan agar ketika disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin dan ternak tidak mengalami stress (Soeparno, 2005). Perubahan-perubahan kondisi tubuh hewan potong disebabkan karena hewan itu berjalan sampai ke rumah pemotongan ataupun naik kendaraan.

(9)

Perubahan-perubahan tersebut dapat berupa kehilangan bobot badan, luka-luka atau lecet karena jatuh, atau kalau hewan itu diangkut dengan kereta api atau truk bisa terjadi kesukaran bernafas karena ventilasi tidak cukup. Pengandangan (di rumah pemotongan hewan) itu sendiri banyak pengaruhnya terhadap tingkat terjadinya lecet atau luka dan direkomendasikan agar hewan-hewan yang paling rentan untuk memperoleh penderitaan tersebut (sifatnya liar) hendaknya menempatkan kandang yang paling sepi di rumah pemotongan hewan (Eldridge, 1998). Hampir semua kasus kerusakan urat daging yang diakibatkan oleh luka lecet yang cukup luas menyebabkan terbebaskannya enzim kedalam aliran darah (Lawrie, 1995).

Pemeriksaan antemortem, sebelum dilakukan pemotongan, hewan yang akan dipotong diperiksa terlebih dahulu kondisi fisik umumnya atau biasa disebut dengan pemeriksaan antemortem. Pemeriksaan antemortem bertujuan untuk menentukan apakah hewan menunjukkan adanya penyakit atau kelainan-kelainan yang berpengaruh pada mutu daging, apakah ada gejala yang menunjukkan indikasi terhadap organ-organ tertentu/bagiang-bagiannya yang memerlukan penelitian yang mendalam, misalnya meningitis, tetanus, rabies. Secara umum yang harus diteliti pada pemeriksaan antemortem adalah : 1) kesan umum berhubungan dengan kesehatan dan keadaan gizinya serta apa ada kelelahan/kepanasan, 2) sikap jalannya, tegak, penglihatan atau pandangan, bugar atau tidak, 3) kulit, 4) rongga mulut, rongga hidung, kebasahan hidung, selaput lendir mata, vagina, ambing 5) suhu badan (Budiharta, 2004). Keputusan pemeriksaan antemortem menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No.413/Kpts/TN.310/7/1992 yaitu : 1) hewan potong diizinkan dipotong tanpa

(10)

syarat, apabila dalam pemeriksaan antemortem ternyata hewan potong tersebut sehat, 2) hewan potong diizinkan dipotong dengan syarat, apabila dalam pemeriksaan antemortem ternyata bahwa hewan tersebut menderita atau menunjukkan gejala penyakit ; coryza gangrenosa bovum, haemorraghic septicaemia, cachexia influenza equorum, epithelimia, aktinomikosis, aktinobasilosis, piroplasmosis, mastitis, brusellosis, surra, arthritis, hernia, edema, fraktura, abses, dan tuberculosis, 3) ditunda untuk dipotong, pada keadaan-keadaan ; hewan yang lelah, pemeriksaan belum yakin bahwa hewan yang bersangkutan adalah sehat oleh karenanya harus dalam pengawasan, 4) hewan potong ditolak untuk disembelih dan kemudian dimusnahkan menurut ketentuan yang berlaku di Rumah Potong Hewan atau tempat potong yang lain, apabila dalam pemeriksaan antemortem ternyata ditemukan bahwa hewan potong tersebut menderita atau menunjukkan gejala penyakit ; anemia contagious equorum, pleura pneumonia contagious bovum, apthae epizootica, morbus maculosus equorum, rinderpest, variola ovine, pestis bovine, blue tongue akut, radang pada gangren emphisematosa, malleus, rabies, sakaromikosis akut dan kronis, mikotoksitosis, kolibasilosis, botulismus, listeriosis, tetanus, busung gawat, dan toksoplasmosis akut (Departemen Pertanian, 1992).

Proses pemotongan, setelah sapi lolos pada pemeriksaan antemortem oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk, melalui proses registrasi dan dinyatakan memenuhi syarat, maka sapi dibawa masuk ke ruang persiapan penyembelihan untuk melalui proses penyembelihan (Anonim, 1992). Pada dasarnya ada dua teknik pemotongan pada ternak, yaitu : 1) teknik pemotongan

(11)

secara langsung, dan 2) teknik pemotongan secara tidak langsung. Pemotongan secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat, dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memotong arteri karotis dan vena jugularis serta oesofaghus. Pemotongan ternak secara tidak langsung yaitu, ternak dipotong setelah dilakukan pemingsanan dan setelah ternak benar benar pingsan. Maksud dari pemingsanan ialah : 1) memudahkan pelaksanaan penyembelihan ternak, 2) agar ternak tidak tersiksa dan terhindar dari resiko perlakuan kasar , dan 3) agar kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik (Soeparno, 2005). Pemotongan ternak besar di Indonesia biasanya dilakukan secara Islam. Proses penyembelihan harus tidak terlalu lama atau ternak harus cepat mati, sehingga tidak tersiksa terlalu lama. Ternak disembelih oleh modin, yang menghadap kiblat, sehingga kepala ternak ada di sebelah selatan dan ekor disebelah utara. Selama proses penyembelihan, setelah bagian kulit, otot, arteri karotis, vena jugularis, trachea dan esophagus terpotong, dilakukan pengeluaran darah dengan pisau (Soeparno, 2005). Pengeluaran darah secara sempurna baru akan terlaksana setelah 5-10 menit setelah penyembelihan. Lalu dilakukan pemisahan kepala dan kaki. Kepala dipisahkan dengan memotong leher secara lurus antara tulang kepala dan tulang atlas, sampai terpisah dari badan. Kaki dipotong di sendi bawah lutut, lalu dilakukan pengulitan dapat sambil digantung/di lantai. Lalu dilakukan pembagian karkas (Sanjaya, 2007). Ada beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik (Swatland, 1984), yaitu : (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak harus tidak mengalami stress, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin,

(12)

(4) kerusakan karkas harus minimal dan cara pemotongan harus ; (5) higienis, (6) ekonomis, dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (rumah tempat pemotongan hewan) (Soeparno, 2005).

Proses penyelesaian pemotongan, terdiri dari proses pengulitan, eviserasi, pembagian karkas dan pelayuan. 1) Pengulitan, dimulai setelah pemotongan kepala dan pemotongan ke empat kaki bagian bawah (Smith et al, 1978). Pengulitan dapat dilakukan di lantai, di gantung dan menggunakan mesin (Soeparno, 2005). Pengulitan diawali dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki, dan kulit dipisahkan mulai dari ventral kearah punggung tubuh dan diakhiri dengan pemotongan ekor (Soeparno, 2005). 2) Eviserasi, setelah selesai proses pengulitan maka tahap selanjutnya adalah eviserasi, yaitu mengeluarkan organ pencernaan (rumen, intestinum, hati, empedu) dan isi rongga dada (jantung, esopaghus, paru, trachea). Tahap-tahap eviserasi menurut Soeparno (2005) dilaksanakan sebagai berikut : rongga dada dibuka dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada, rongga abdominal dibuka dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah abdominal, memisahkan penis atau jaringan ambing dan lemak abdominal, belah bonggol pelvic dan pisahkan kedua tulang pelvic, buat irisan sekitar anus dan tutup dengan kantung plastik, pisahkan esophagus dengan trachea, keluarkan vesica urinaria dan uterus jika ada, keluarkan organ perut yang terdiri dari intestinum, mesenterium, rumen dan bagian lain dari lambung serta hati dan empedu, diafragma dibuka dan dikeluarkan organ dada yang terdiri dari jantung, paru-paru dan trachea. Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan

(13)

menjadi bagian dari karkas. Eviserasi dilanjut dengan pemeriksaan organ dada (Smith et al., 1978). Dan karkas untuk mengetahui karkas diterima atau ditolak untuk dikonsumsi manusia. 3) Potongan karkas, potongan karkas pada sapi menurut Soeparno (2005) potongan primal karkas sapi dari potongan setengah dibagi lagi menjadi potongan seperempat, yang meliputi potongan seperempat bagian depan yang terdiri dari bahu (chuck) termasuk leher, rusuk, paha depan, dada yang terbagi menjadi dua yaitu dada depan (brisket) dan dada belakang (plate). Bagian seperempat belakang yang terdiri dari paha (round), dan paha atas (rump), loin yang terdiri dari shortloin dan sirloin, flank beserta ginjal dan lemak yang menyelimutinya. Pemisahan pada karkas bagian depan dan seperempat belakang dilakukan diantara rusuk 12 dan 13 (rusuk terahir diikutkan pada seperempat belakang). Cara pemotongan primal karkas adalah sebagai berikut : hitung tujuh vertebral central kearah depan (posisi karkas tergantung ke bawah), dari perhubungan sacralumar. Potong tegak lurus vertebral column dengan gergaji. Pisahkan bagian seperempat depan dengan pemotongan melalui otot-otot intercostals dan abdominal mengikuti bentuk melengkung dari rusuk ke-12, pisahkan bagian bahu dari rusuk dengan memotong tegak lurus melalui vertebral column dan otot-otot intercostalis atau antara rusuk ke-5 dan ke-6. Pisahkan rusuk dari dada belakang dengan membuat potongan anterior ke posterior. Pisahkan bahu dari dada depan dengan memotong tegak lurus rusuk ke-5, kira-kira arah proksimal terhadap tulang siku (olecranon). Paha depan juga dapat dipisahkan (Soeparno, 2005). Cara pemotongan primal karkas seperempat belakang diawali dengan memisahkan lemak dekat pubis dan bagian posterior otot abdominal.

(14)

Pisahkan flank dengan memotong dari ujung distal tensor fascilata, anterior dari rectus femoris kearah rusuk ke-13, (kira-kira 20 cm dari vertebral column). Pisahkan bagian paha dari paha atas dengan memotong melalui bagian distal terhadap ichium kira-kira berjarak 1 cm, sampai bagian kepala dari femur (Soeparno, 2005). Paha atas dipisah dari sirloin dengan potongan melewati antara vertebral sacral ke-4 dan ke-5 dan berakhir pada bagian ventral terhadap acetabulum pelvis. Sirloin dipisahkan dari shortloin dengan suatu potongan tegak lurus terhadap vertebral column dan melalui vertebral lumbar antara lumbar ke-5 dan ke-6 (Soeparno, 2005). 4) Pelayuan, adalah penanganan karkas atau daging segar postmortem yang secara relatif belum mengalami kerusakan microbial dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu diatas titik beku karkas atau daging (-1,50C). Selama pelayuan terjadi peningkatan keempukan dan flavor daging. Pelayuan lebih lama 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigormortis dapat disebut pematangan (Soeparno, 2005).

Pemeriksaan postmortem, menurut Badan Standarisasi Nasional (1999) pemeriksaan postmortem adalah pemeriksaan kesehatan jerohan, kepala dan karkas setelah disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang. Pemeriksaan hewan setelah dipotong ini bertujuan : (a) mengenali kelainan atau abnormalitas pada daging, isi dada, dan isi perut, sehingga hanya daging yang baik yang akan dijual atau dikonsumsi, (b) untuk menjamin bahwa proses pemotongan dilakukan dengan baik, (c) meneguhkan hasil pemeriksaan postmortem, (d) menjamin kualitas dan keamanan daging. Pemeriksaan

(15)

postmortem yang dilakukan di Indonesia antara lain adalah pemeriksaan karkas, pemeriksaan kepala, pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati serta limpa. Jika terdapat kondisi abnormal lain pada karkas, organ-organ internal atau bagian-bagian karkas lainnya maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Keputusan hasil pemeriksaan akan menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak (Soeparno, 2005). Keputusan yang diambil sesudah hewan diperiksa dagingnya menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No.413/Kpts/TN.310/7/1992 adalah : (1) daging dapat diedarkan untuk dikonsumsi, yaitu daging dari hewan yang tidak menderita suatu penyakit atau daging hewan yang menderita penyakit yang bersifat lokal, (2) daging dapat diedarkan untuk dikonsumsi dengan syarat sebelum peredaran, (3) daging dapat diedarkan untuk dikonsumsi dengan syarat selama peredaran dibawah pengawasan petugas yang berwenang, (4) daging dilarang dikonsumsi, jika dagingnya berasal dari hewan potong yang mengandung penyakit berbahaya bagi manusia. Daging yang diterima baik tanpa syarat langsung diberi cap dan daging yang diterima dengan syarat diberi cap setelah syarat-syarat nya dipenuhi (Departemen Pertanian, 1992).

Higiene Daging

Definisi daging menurut SNI 01-3929-2008 yaitu daging merupakan bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku. Daging segar adalah daging yang baru disembelih tanpa mengalami perlakuan apapun. Daging segar dingin adalah daging yang mengalami proses pendinginan

(16)

setelah pemotongan sehingga suhu bagian dalam daging 0 – 70C. Daging beku adalah daging yang mengalami proses pembekuan pada suhu di bawah -150C (Anonim, 1999).

Proses penyimpanan daging

Daging yang dapat diedarkan untuk dikonsumsi sebelum diedarkan harus dilayukan selama sekurang-kurangnya 8 jam dengan cara menggantungkan di dalam ruangan pelayuan yang sejuk, cukup ventilasi, terpelihara baik dan bersih. Daging yang baik tidak boleh ditambahkan zat yang dapat mengubah warna aslinya, dicegah kontak antara daging dengan lantai dan dijaga agar daging tidak terkontaminasi (Anonim, 2008). Proses penyimpanan daging dapat dilakukan dengan proses refrigerasi dan penyimpanan beku. 1) Refrigerasi, penyimpanan karkas atau daging pada temperatur dingin, meskipun dalam waktu yang singkat, diperlukan untuk mengurangi kontaminasi atau untuk mengendalikan kerusakan dan perkembangan mikroorganisme. Kemungkinan kerusakan daging atau karkas selama penyimpanan dingin dapat diperkecil dengan cara penyimpanan karkas dalam bentuk yang belum di potong-potong. Penyimpanan daging dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relatif singkat, karena adanya perubahan-perubahan kerusakan yang meningkat sesuai dengan lama waktu penyimpanan (Soeparno, 2005). 2) Penyimpanan beku, pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging. Proses pembekuan tidak berpengaruh pada sifat kualitatif maupun organoleptik termasuk warna, flavor. Nilai nutrisi daging secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dari penyimpanan beku dalam jangka waktu terbatas. Perubahan kualitas daging beku sangat

(17)

minimal pada temperatur penyimpanan -180C, sehingga temperatur pembekuan ini dipergunakan sebagai dasar penyimpanan beku (Soeparno, 2005).

Distribusi daging

Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No.413 Tahun 1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging beserta Hasil Ikutannya, alat transportasi harus terbuat dari bahan anti karat, berlantai licin, sudut pertemuan antara dinding dan lantai melengkung, mudah dibersihkan, dilengkapi alat gantung atau kait yang cukup dan lampu penerangan serta tidak dibuka selama perjalanan (Departemen Pertanian, 1992).

Kendaraan pengangkut daging harus memenuhi persyaratan : (1) boks kendaraan untuk mengangkut daging harus tertutup, (2) lapisan dalam boks pada kendaraan harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, mudah dirawat serta mempunyai sifat insulasi yang baik, (3) boks dilengkapi dengan alat pendingin yang dapat mempertahankan suhu bagian dalam karkas +70C dan suhu bagian dalam jeroan +30C, (4) suhu ruangan dalam boks pengangkut daging beku maksimal -180C, (5) bagian dalam boks dilengkapi alat penggantung karkas, (6) kendaraan pengangkut babi harus terpisah dari bagian lain (Badan Standarisasi Nasional, 1999).

Daging harus dibawa dengan tempat yang tertutup. Apabila daging telah dipotong maka harus dimasukkan ke tempat yang di dalamnya di buat lapisan alumunium atau bahan lain yang dibuat sedemikian rupa sehingga mudah

(18)

dibersihkan. Para pembawa daging harus sehat dan tidak boleh menderita penyakit menular (Departemen Pertanian, 1992).

Tempat penjualan daging dipasar harus terpisah dari tempat penjual komoditif lainnya. Bangunan permanen dengan lantai kedap air, ventilasi cukup, langit-langit tidak mudah lepas bagiannya, dinding tembok dengan permukaan licin dan berwarna terang atau terbuat dari porselin putih. Daging yang dijual dengan menjajakan sekeliling dari rumah ke rumah harus ditempatkan didalam wadah tertutup, sedapat dapatnya berwarna putih dan tidak berkarat (Anonim, 2010).

Petugas pemotongan hewan dan penanganan daging harus sehat khususnya tidak mempunyai luka, tidak mempunyai penyakit dan bebas dari penyakit menular yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter yang diperbarui tiap tahun, memelihara kebersihan badan khususnya sering melakukan pencucian tangan dan tidak merokok selama melakukan tugasnya, memelihara kesehatan tempat bekerja, selain petugas penanganan hewan potong dan penanganan daging, tidak seorang pun diperkenankan berada di ruang pemotongan hewan dan penanganan daging tanpa seizin kepala RPH (Anonim, 2010).

(19)

BAB III

MATERI DAN METODE

Materi

Materi yang digunakan dalam menyusun Tugas Akhir ini dengan cara pengambilan data sekunder yang berupa data fasilitas di RPH Giwangan dan data jumlah pemotongan sapi di RPH Giwangan Kota Yogyakarta dilaksanakan pada saat Praktek Kerja Lapangan (PKL) periode 2 Maret sampai dengan 2 Mei 2015. Kegiatan yang dilakukan meliputi : proses unloading sapi, proses pengistirahatan hewan potong, pemeriksaan antemortem, pemotongan hewan, proses penyelesaian pemotongan, pemeriksaan postmortem dan distribusi daging.

Metode

Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah dengan cara melakukan observasi, wawancara, praktek secara langsung dan analisa data secara deskriptif.

(20)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dari kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang bertempat di Rumah Potong Hewan (RPH) Giwangan Kota Yogyakarta, berdasarkan hasil pengamatan langsung kondisi di lapangan, lokasi RPH strategis yaitu dekat dengan jalan raya sehingga akses transportasi keluar masuk RPH sangat mudah. Di RPH Giwangan juga terdapat beberapa sarana dan prasarana yang cukup memadai dan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Diantaranya RPH Giwangan mempunyai bangunan utama yang terdiri dari daerah kotor dan daerah bersih.

Proses penyembelihan hewan potong di RPH Giwangan sesuai dengan syariat islam dan disembelih oleh juru sembelih muslim yang bersertifikat. Setelah hewan potong diistirahatkan di kandang istirahat selama beberapa waktu, dilakukan pemeriksaan antemortem kemudian hewan potong (sapi) di giring ke killing box kemudian diikat pada kedua kaki dan direbahkan menghadap kiblat. Penyembelihan dilakukan menggunakan pisau tajam dan memotong 4 saluran, yaitu arteri karotis, vena jugularis, oesopaghus dan kerongkongan. Kemudian dilakukan proses pengulitan, dilanjutkan proses pengeluaran jeroan (eviserasi) serta dilakukan pemeriksaan postmortem pada organ hati, paru-paru, jantung. Selanjutnya karkas di gantung di rel penggantung dan dibelah menjadi 2 bagian dan dilakukan penimbangan karkas serta diberikan cap. Setelah karkas ditimbang

(21)

kemudian dilakukan proses parting daging yang dilakukan di ruang Unit Penanganan Daging (UPD) pada daerah bersih.

Setelah selesai proses parting daging kemudian daging di tempatkan di wadah penampung daging, dipisahkan antara daging dengan jeroan dan kemudian dimasukkan ke dalam kendaraan pengangkut daging, selanjutnya daging dipasarkan di pasar dan depot daging di wilayah Yogyakarta. Daging dipasarkan di Pasar Pathuk, Pasar Beringharjo, Pasar Gamping, Pasar Godean, Depot Gedongkuning, Depot Dongkelan, Depot Kauman dan Depot Jagalan.

Penanganan Hewan Potong

Penanganan hewan potong dilakukan sebelum proses penyembelihan di RPH yaitu handling (penanganan hewan), pada saat proses transportasi hewan dari asal daerah ke RPH. Proses pengangkutan sapi dilakukan dengan menggunakan truk berkapasitas muatan 6-8 ekor sapi, proses pengangkutan sapi yang datang ke RPH Giwangan sudah baik dan juga memperhatikan kesejahteraan hewan, pengangkutan sapi dengan muatan 6-8 ekor setiap truk dapat menghindarkan dari resiko berdesakan dan juga tersedia ruang gerak yang cukup untuk sapi. Proses unloading (penurunan) sapi yang dilakukan di RPH Giwangan sudah cukup baik serta fasilitas unloading sapi di RPH Giwangan sudah baik. Sapi yang baru datang kemudian diturunkan dari truk pengangkut secara hati-hati serta tetap diperhatikan agar sapi tidak terpeleset.

(22)

Proses penanganan hewan potong di RPH Giwangan Kota Yogyakarta tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan proses penanganan hewan potong RPH Giwangan

Dilanjutkan proses pengistirahatan hewan potong, dilakukan di kandang istirahat yang telah disediakan di RPH. Tujuan dari peristirahatan ternak adalah : 1) agar ternak tidak stress, 2) agar pada saat disembelih darah keluar sebanyak mungkin, 3) agar cukup tersedia energi (Soeparno, 2005). Hewan potong dipuasakan selama 12-24 jam dengan tujuan untuk memperoleh berat tubuh kosong yang maksimal dan mempermudah proses penyembelihan hewan potong. Pengistirahatan hewan potong di RPH Giwangan tersaji dalam Gambar 2. Prosesnya sudah memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu hewan dipuasakan dan di tempatkan di kandang istirahat selama 12-24 jam sebelum dilakukan pemotongan.

Pemeriksaan Antemortem

Pengulitan Pengistirahatan Ternak

Penyembelihan

Pemeriksaan Posmortem Penimbangan dan pemberian cap

Parting Daging Distribusi Daging

(23)

Gambar 2. Kandang peristirahatan ternak

Dilanjutkan dengan pemeriksaan antemortem yang dilakukan di kandang jepit, tersaji pada Gambar 3. Pemeriksaan antemortem bertujuan untuk menentukan hewan potong apakah terindikasi kelainan-kelainan pada tubuh hewan potong yang akan mempengaruhi pada mutu daging, pemeriksaan antemortem meliputi : kondisi tubuh hewan potong, sikap jalan, penglihatan atau pandangan mata, kulit, rongga mulut, rongga hidung, selaput lendir mata, vagina, ambing, suhu badan. Keputusan antemortem menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian No.413/Kpts/TN.310/7/1992 yaitu : hewan potong diizinkan dipotong tanpa syarat, hewan potong diizinkan dipotong dengan syarat, hewan potong di tunda untuk dipotong, hewan potong ditolak untuk dipotong. Pemeriksaan antemortem yang di lakukan di RPH Giwangan sudah baik, setiap hewan potong yang akan dipotong dilakukan proses pemeriksaan antemortem, apabila terdapat hewan potong yang mengalami kelaianan akan ditunda penyembelihannya dan ditempatkan di kandang isolasi, hewan potong yang diketahui bunting tidak akan dilakukan pemotongan dan kemudian ditempatkan di kandang isolasi.

(24)

Gambar 3. Pemeriksaan antemortem

Hewan potong yang lolos dari pemeriksaan antemortem selanjutnya akan digiring ke tempat penyembelihan, tersaji pada Gambar 4. Pada dasarnya ada dua teknik penyembelihan yaitu secara langsung dan tidak langsung (Soeparno, 2005). Proses penyembelihan hewan potong di RPH Giwangan secara langsung dan sesuai syariat islam, yaitu hewan potong direbahkan di tempat penyembelihan dengan mengahadap kiblat dan kemudian disembelih di bagian leher sampai dipastikan memotong arteri karotis, vena jugularis dan oesopaghus. Setelah hewan potong dipastikan telah mati maka kepala dipotong dan dipisahkan dari tubuh.

(25)

Gambar 4. Proses penyembelihan

Setelah selesai proses pemotongan maka dilanjutkan dengan proses pengulitan, tersaji pada Gambar 5. Pada dasarnya proses pengulitan ada dua teknik yaitu pengulitan di lantai dan pengulitan digantung menggunakan mesin. Proses pengulitan yang dilakukan di RPH Giwangan dilakukan dilantai dan menggunakan pisau tajam, pengulitan dimulai dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian perut kemudian dilanjutkan pengulitan di bagian kaki, setelah itu digantung dan kulit dipisahkan dari ventral kearah punggung tubuh.

(26)

Dilanjutkan dengan proses eviserasi, yaitu pengeluaran organ dalam hewan potong yang meliputi rumen, intestinum, hati, empedu, jantung, esopaghus, paru-paru. Adapun teknik eviserasi yaitu dengan cara rongga dada dibuka kearah ventral tengah tulang dada kemudian organ dalam dikeluarkan dan dilakukan proses pemeriksaan postmortem, tersaji pada Gambar 6.

Pemeriksaan postmortem bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya keabnormalitasan pada organ dalam hewan potong, untuk menjamin bahwa proses pemotongan dilakukan dengan baik serta untuk menjamin kualitas dan keamanan daging. Pemeriksaan daging harus dilakukan seefisien dan secepat mungkin untuk mengetahui apakah daging dapat diedarkan ke masyarakat mengingat adanya penularan penyakit (Sanjaya, 2007). Pemeriksaan postmortem yang dilakukan di RPH Giwangan sudah berjalan baik dan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, pemeriksaan yang dilakukan yaitu memeriksa organ hati, paru-paru dan jantung. Pada pemeriksaan organ hati dilakukan dengan cara hati disayat menggunakan pisau dan dilihat ada atau tidaknya cacing Fasciola, jika diketahui terdapat cacing maka akan dipisahkan dan tidak dipasarkan. Hati yang mengandung Fasciola hepatica tidak menular ke manusia, tetapi penolakan dilakukan karena adanya cacing ini akan menyebabkan hati keras dan berkapur, konsumen tidak akan menerima sebagai bahan pangan layak konsumsi (Sanjaya, 2007).

(27)

Gambar 6. Pemeriksaan postmortem

Setelah selesai proses eviserasi dan pemeriksaan postmortem, dilanjutkan dengan pemberian cap legalitas pada karkas, tersaji pada Gambar 7 dan Gambar 8. Ini dimaksudkan sebagai syarat bahwa karkas layak dan aman untuk dipasarkan serta aman untuk dikonsumsi masyarakat. Kemudian dilanjutkan dengan penimbangan karkas, dilakukan dengan cara karkas digantung ditimbang dengan timbangan elektrik.

(28)

Gambar 8. Penimbangan karkas

Proses selanjutnya adalah pelayuan karkas, yaitu penanganan karkas atau daging segar yang secara relatif belum terkontaminasi, dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu dan bertujuan untuk meningkatkan keempukan daging. Selama pelayuan terjadi peningkatan keempukan dan flavor daging. Pelayuan lebih lama 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigormortis dapat disebut pematangan (Soeparno, 2005). Namun dalam pelaksanaannya, di RPH Giwangan tidak dilakukan proses pelayuan daging. Ini disebabkan karena karkas harus segera dipasarkan agar cepat sampai pasar karena mengingat aktifitas jual beli di pasar dimulai dini hari.

Proses selanjutnya adalah parting daging, tersaji pada Gambar 9. Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor setelah pemotongan, meliputi metode pelayuan, pH karkas dan daging, metode penyimpanan dan preservasi (Soeparno, 2005). Parting daging dilakukan pada daerah bersih dimana pencemaran biologik, kimiawi dan fisik masih rendah, dengan tujuan agar daging tetap dalam kondisi baik dan tetap higienis serta untuk mempertahankan kualitas baik dari daging

(29)

yang dihasilkan. Di RPH Giwangan proses parting daging di lakukan di ruang Unit Penanganan Daging (UPD) yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan yang sudah sesuai dengan syarat yang berlaku. Daging yang telah di potong kecil-kecil kemudian ditempatkan pada bak stainless steel, dipisahkan antara daging dengan jeroan.

Gambar 9. Proses parting daging

Setelah selesai proses parting daging, kemudian daging di tempatkan di kendaraan pengangkut daging untuk dipasarkan, tersaji pada Gambar 10. Daging hasil RPH diangkut dengan mobil boks tertutup dan orang ataupun benda lain tidak diizinkan masuk ke dalam dari kendaraan (Sanjaya, 2007). RPH Giwangan dilengkapi dengan fasilitas kendaraan pengangkut daging, kendaraan ini dilengkapi juga dengan pendingin namun tidak digunakan dikarenakan distribusi daging hasil RPH Giwangan tidak terlalu jauh jaraknya. Daging hasil RPH Giwangan diedarkan di Pasar Beringharjo, Pasar Pathuk, Pasar Gamping, Pasar Godean. Selain di pasarkan di pasar pasar tersebut, daging hasil RPH juga dipasarkan di beberapa depot, antara lain Depot Gedongkuning, Depot Dongkelan, Depot Kauman dan Depot Jagalan.

(30)

Gambar 10. Kendaraan pengangkut daging

Jumlah Hewan yang Dipotong serta Karkas yang Dihasilkan

Rumah Potong Hewan (RPH) Giwangan merupakan salah satu penghasil daging di wilayah Yogyakarta, pemasaran daging hasil RPH Giwangan dipasarkan di berbagai pasar dan depot di wilayah Kota Yogyakarta. Jumlah hewan yang dipotong serta jumlah karkas yang dihasilkan RPH Giwangan periode Bulan Januari sampai dengan Bulan April 2015 tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah pemotongan sapi dan daging yang dihasilkan selama Bulan Januari sampai dengan April 2015

No Bulan Jumlah Sapi Rata-rata per hari Jumlah daging Rata-rata per hari 1. Januari 2015 412 ekor 14 ekor 79976 kg 2500 kg 2. Februari 2015 394 ekor 14 ekor 68814 kg 2460 kg 3. Maret 2015 449 ekor 14 ekor 76076 kg 2455 kg 4. April 2015 478 ekor 15 ekor 78781 kg 2626 kg

Berdasarkan data yang diperoleh penulis, data jumlah pemotongan hewan periode Januari sampai dengan April 2015, yaitu pada Bulan Januari 2015 sebanyak 421 ekor sapi dan 79976 kg daging, Bulan Februari 394 ekor dan 68814

(31)

kg daging, Bulan Maret 449 ekor dan 76076 kg daging dan pada Bulan April 478 ekor dan 78781 kg daging. Rata-rata pemotongan per hari adalah, Januari 14 ekor per hari dan 2500 kg daging per hari, Februari 14 ekor per hari dan 2460 kg daging per hari, Maret 14 ekor per hari dan 2455 kg daging per hari, April 16 ekor per hari dan 2626 kg daging per hari. Berdasarkan data tersebut, RPH Giwangan Kota Yogyakarta sudah bisa mencukupi kebutuhan daging masyarakat khususnya di wilayah Kota Yogyakarta. Pemasaran daging hasil RPH Giwangan dipasarkan di : Pasar Pathuk, Pasar Beringharjo, Pasar Gamping, Pasar Godean. Selain di pasarkan di pasar pasar tersebut, daging hasil RPH juga dipasarkan di beberapa depot, antara lain Depot Gedongkuning, Depot Dongkelan, Depot Kauman dan Depot Jagalan.

Higiene Daging

Daging hasil RPH Giwangan dipasarkan di wilayah Yogyakarta. Penanganan daging dilakukan di ruang Unit Penanganan Daging (UPD), di ruang tersebut daging hasil pemotongan kemudian akan di parting untuk mempermudah dalam proses pengangkutan daging ke pasar dan depot daging. Proses penanganan daging di RPH Giwangan sudah sesuai dengan persyaratan yang berlaku, peralatan yang digunakan dalam penanganan daging juga sudah memenuhi syarat agar daging tetap baik dan higienis sampai di pasar. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam higiene daging, antara lain higiene karyawan, higiene peralatan dan higiene ruang penanganan daging.

Persyaratan personal para pekerja dan petugas pemeriksa daging di RPH Giwangan sudah dilaksanakan cukup baik. Para pekerja dan petugas pemeriksa

(32)

daging diberlakukan pemeriksaan kesehatan setiap setahun sekali. Pakaian yang digunakan dalam proses penanganan daging juga sudah sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu memakai celemek, namun masih ada sebagian yang tidak menggunakan celemek.

Setiap pegawai yang menangani daging secara langsung harus sehat dan bersih serta harus menjalani pemeriksaan rutin kesehatan setiap tahun nya. Jika dinyatakan tidak memenuhi syarat sehat maka pekerja tidak diperbolehkan bekerja (Gracey et. al., 1999). Persyaratan peralatan di RPH Giwangan sudah memenuhi syarat yang berlaku. Peralatan yang digunakan antara lain pisau, kampak dan pengasah pisau. Setiap pekerja umumnya memiliki lebih dari satu pisau, pisau yang digunakan untuk memotong hewan potong tidak digunakan dalam proses parting daging ini dimaksudkan untuk menjaga daging agar tetap higienis.

Setelah digunakan, pisau hanya dicuci dengan air yang mengalir dan tidak menggunakan alkohol. Sterilisasi kimia biasanya menggunakan ishopropyl alcohol 70-90% yang merupakan antiseptic termurah namun merupakan antiseptic yang efektif dan efisien (Waluyo, 2004). Peralatan yang digunakan di RPH Giwangan juga dilengkapi dengan meja stainless steel yang berfungsi untuk alas parting daging serta bak stainless steel yang digunakan sebagai wadah daging, serta untuk memindahkan daging ke kendaraan pengangkut daging, tersaji pada Gambar 11 dan Gambar 12.

(33)

Gambar 11. Meja stainless steel

Gambar 12. Bak stainless steel

Penanganan daging ditempatkan pada satu ruangan khusus, bertujuan untuk menjaga daging agar tetap baik dan higienis, di RPH Giwangan terdapat satu ruangan yang khusus digunakan untuk proses penanganan daging yaitu ruang Unit Penanganan Daging (UPD), tersaji pada Gambar 13. Ruang ini di desain khusus dengan seluruh bagian tembok dilapisi dengan porselin, juga dilengkapi dengan penggantung karkas.

(34)

Setelah selesai proses parting daging, dilakukan pembersihan ruangan dengan menyemprotkan air tekanan tinggi, agar sisa-sisa dari proses parting daging dapat terbuang dan agar tetap bersih jika akan digunakan lagi.

(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penanganan Hewan Potong di RPH Giwangan sudah baik dan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Higiene Daging di RPH Giwangan sudah baik dan sesuai dengan persyaratan yang berlaku, namun masih ada beberapa proses yang belum sesuai dengan persyaratan yang berlaku yaitu proses pelayuan daging tidak dilakukan.

Saran

Rumah Potong Hewan (RPH) Giwangan merupakan penyedia daging di wilayah Yogyakarta, dalam hal ini sebaiknya melaksanakan proses-proses penanganan daging dengan lebih baik lagi, proses pelayuan sebaiknya dilakukan karena dengan proses pelayuan kualitas daging yang dihasilkan akan menjadi lebih baik, serta petugas yang menangani daging sebaiknya menggunakan pakaian yang telah dianjurkan yaitu memakai celemek, ini bertujuan untuk meminimalkan kontaminasi terhadap daging.

Gambar

Gambar 1. Bagan proses penanganan hewan potong RPH Giwangan
Gambar 2. Kandang peristirahatan ternak
Gambar 3. Pemeriksaan antemortem
Gambar 4. Proses penyembelihan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merupakan suatu lembaga yang memiliki wewenang dalam mengatur kompetensi lulusan dokter gigi di Indonesia bekerja sama dengan

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah “untuk meningkatkan produktivitas proses pemotongan Nata de Coco dengan memberikan usulan perbaikan lini

Nilai kekasaran permukaan suatu produk pada proses permesinan disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah kecepatan potong, sudut pemotongan, kecepatan pemakanan,

Tujuan dari penelitian tugas akhir ini adalah untuk menghasilkan sebuah alat bantu pegang untuk mendukung proses pemotongan plat dengan mempergunakan hasil

Misalnya pada proses klaim, petugas TPP IGD juga bertugas untuk membuat Surat Elegibilitas Pasien (SEP), maka petugas TPP IGD harus mengetahui diagnosis pasien

Apabila proses untuk registrasi asrama mengharuskan calon penghuni untuk datang langsung ke asrama Universitas Telkom, dengan mahasiswa lebih dari 6000 dan waktu registrasi

Radiografer/petugas radiologi , dalam hal pemeriksaan dengan tindakan tidak invasif maka informasi dapat diberikan oleh radiografer/petugas radiologi

Transport procurement memiliki beberapa lingkup aktivitas, antara lain mengatur proses registrasi dan mempersiapkan dokumen vendor hingga siap digunakan, mengatur proses perpanjangan