• Tidak ada hasil yang ditemukan

STEREOTIPE KE-TIONGHOA-AN: SEBUAH ANALISIS SEMIOTIKA BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STEREOTIPE KE-TIONGHOA-AN: SEBUAH ANALISIS SEMIOTIKA BUDAYA"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

455

STEREOTIPE KE-TIONGHOA-AN:

SEBUAH ANALISIS SEMIOTIKA BUDAYA

Ronald Maraden Parlindungan Silalahi

(Mahasiswa Program Doktoral, Departemen Linguistik,

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, [email protected])

Abstrak

Terma stereotipe berasosiasi dengan pelabelan yang melekat pada suatu individu atau kelompok atas dasar keanggotaan yang dimiliki. Pada hakikatnya pelabelan ini merupakan suatu konstruksi sosial-budaya yang hidup, berkembang, serta bahkan diwariskan antargenerasi. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi landasan bagi seseorang untuk memberikan label atas individu atau kelompok lainnya. Label yang diberikan dapat bersifat positif atau negatif sejalan dengan nilai-nilai yang dipahami bersama dalam konteks sosial-budaya. Hampir setiap etnis berasosiasi dengan stereotipe tertentu. Demikian pula halnya dengan Etnis Tionghoa (ET) yang sudah lama hadir dalam konteks lintas budaya di Indonesia. Pekerja keras dan eksklusif adalah sejumlah stereotipe yang selalu diasosiasikan dengan ET. Menilik pada keberadaan stereotipe sebagai suatu konstruksi sosial-budaya dan merujuk pada banyaknya stereotipe yang berasosiasi dengan ET maka tulisan ini diarahkan untuk merekonstruksi stereotipe ke-Tionghoa-an. Penelitian ini adalah penelitian analisis wacana dengan menggunakan ancangan semiotika budaya. Dalam perspektif semiotika budaya stereotipe dapat dimaknai sebagai suatu bentuk konotasi yang berkembang dalam konstruksi budaya tertentu; bahkan melalui proses pembongkaran semiologis dapat dilihat sejumlah stereotipe yang telah berkembang menjadi mitos. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dalam hal ini, peneliti melakukan wawancara kepada dua kelompok responden: mahasiswa dan dosen Universitas Bunda Mulia dengan latar budaya yang berbeda (keturunan Tionghoa dan non Tionghoa) dengan persentase yang sama (seimbang). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan implikasi bagi pengembangan penelitian semiotika secara khusus yang terkait kajian budaya.

Kata kunci: Stereotipe, Ke-Tionghoa-an, Semiotika, Budaya

1. Pendahuluan

Istilah Tionghoa di Indonesia merujuk pada identitas yang dilekatkan bagi warga Indonesia keturunan Tiongkok. Sejarah bangsa Indonesia menujukkan secara nyata keberadaan etnis ini. Warga Tionghoa perantauan (atau yang awam dikenal dengan nama Huaqiao) di Indonesia secara dominan berasal dari sejumlah provinsi di selatan Tiongkok, seperti Guangdong, Fujian, dan Guangxi (Purcell, 1965).

Dalam sejarah bangsa Indonesia, alasan ekonomi menjadi faktor yang mendorong kaum perantau Tionghoa di Indonesia. Bencana alam, kemiskinan, dan kerusuhan yang berujung pada

(2)

456

kemerosotan ekonomi pada pertengahan abad-19 menjadi faktor yang mendasari terjadi imigrasi besar-besaran ke Hindia Belanda pada masa itu (Houn, 1973). Di samping itu, alasan-alasan politis di Tiongkok yang dipicu dengan peralihan kekuasaan dari dinasti Ming (1368-1644) ke Qing (1644--1911) menjadi faktor yang melandasi hijrahnya warga tiongkok ke daerah atau negara lainnya (Dahana, 2010). Etnis Tionghoa (ET) selalu diasosiasikan dengan faktor-faktor ekonomi. Perkembangan perkonomian Indonesia tidak terlepas dari pengaruh warga Tionghoa. Bidang-bidang yang terkait dengan perdagangan, industri, dan bisnis selalu diasosiasikan dengan ET atau yang awam dikenal dengan orang keturunan.

Dalam konteks pluralisme di Indonesia, ET diposisikan sebagai warga minoritas. Hal ini ditinjau dari jumlah penduduk dan keyakinan warga keturunan Tiongkok ini, yang secara dominan adalah non-muslim (sebagai agama mayoritas di Indonesia). Fenomena sosial ini pada akhirnya memberi kesan eksklusif bagi ET. Eksklusivisme ET hidup beriringan dengan berbagai macam tudingan atau pelabelan baik yang bersifat positif dan negatif. Pekerja keras dan giat atau bahkan pelit dan sombong adalah sejumlah label yang acap kali diberikan bagi ET.

Pemberian label bagi ET di atas dapat dianggap sebagai bentuk-bentuk stereotipe. Stereotipe adalah nilai atau keyakinan yang secara umum disepakati bersama mengenai suatu karateristik yang dimiliki kelompok tertentu di dalam masyarakat (Baumeister dan Finkel, 2010, hlm, 345). Stereotipe merupakan suatu bentuk konotasi yang secara mendasar dapat dibagi menjadi positif dan negatif (Baumeister dan Finkel, 2010). Stereotipe positif berkaitan dengan pemberian nilai yang bersifat positif sedangkan stereotipe negatif berkaitan dengan nilai-nilai negatif yang diasosiasikan terhadap kelompok masyarakat tertentu. Sebagai contoh adalah giat dan pekerja keras atau eksklusif dan pelit masing-masing merupakan stereotipe positif dan negatif bagi ET di Indonesia.

Stereotipe pada hakikatnya merupakan suatu bentuk pemaknaan atas identitas yang dimiliki kelompok masyarakat tertentu. Dalam perspektif semiotika, stereotipe atau pelabelan atas kelompok masyarakat tertentu merupakan suatu bentuk pemaknaan. Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes (1957) mengembangkan konsep signifiant dan signifie yang lebih awal dikembangkan oleh Saussure (1916) dan menyatakan bahwa pemaknaan merupakan hubungan atau relasi [R] antara signifiant atau expression [E] dan signifie atau contenu [C]. Dalam kognisi manusia, hubungan ketigannya terdiri atas lebih dari satu tahap (Hoed, 2011, hlm,

(3)

457

84). Tahap pertama atau yang dikenal dengan nama sistem primer (denotasi) terjadi pada saat tanda dicerap untuk pertama kalinya (Hoed, 2011). Dalam hal ini, terdapat relasi [R1] antara E1 dan C1. Sistem pemaknaan ini akan berkembang pada sistem berikutnya atau yang dikenal dengan nama sistem sekunder yang menunjukkan relasi [R2] antara E2 dan C2 (Hoed, 2011). Pengembanan dalam hal ini dapat terjadi pada segi E (yang menghasilkan lebih dari satu E untuk C yang sama) atau pada segi C (yang menghasilkan lebih dari satu C untuk E yang sama) (Hoed, 2011). Sistem sekunder dengan pengembangan pada segi E dinamakan Metabahasa, sedangkan pengembangan pada segi C dinamakan Konotasi (Hoed, 2011).

Pemaparan di atas dapat dicontohkan sebagai berikut. Pemaknaan Tionghoa sebagai warga keturunan Tiongkok terjadi pada sistem primer (denotasi) Istilah Tionghoa ini dapat diekpresikan melalui ekspresi kebahasaan seperti cokin, dan lain-lain. Pada tataran ini, terjadi pengembangan terjadi pada segi E atau yang dikenal dengan metabahasa. Pengembanagan pada segi C terhadap E dapat dilihat dari pelabelan yang diberikan bagi ET, seperti eksklusif dan ekonomis. Pemaparan di atas tercermin dalam gambar di bawah ini.

Gambar 1. Metabahasa (diadaptasi dari Barthes (1957))

Gambar 2. Konotasi (diadaptasi dari Barthes (1957))

E2 R2 C2

E1 R1 C1

Cokin

Tionghoa Orang keturunan Tiongkok METABAHASA DENOTASI E2 R2 C2 KONOTASI E1 R1 C1

Tionghoa Orang keturunan Tiongkok

DENOTASI

‘Warga eksklusif’ ‘Warga yang ekonomis’

(4)

458

2. Metodologi

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan ancangan semiotika. Rekonstruksi stereotipe ke-Tionghoa-an dalam penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan beragam interpretasi atas ET. Oleh karena itu, sejalan dengan gagasan dasar semiotika dapat dilihat bahwa Tionghoa dapat dipandang sebagai suatu tanda.

Pengumpulan data dilakukan melalui proses wawancara kepada 40 informan dosen dan mahasiswa dengan komposisi 20 (dua puluh) informan keturunan Tiongkok dan dua puluh informan keturunan non-Tiongkok di Indonesia. Keempat puluh informan tersebut diwawancara dan diminta untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan bagaimana cara padang mereka terhadap ET di Indonesia secara umum dan secara khusus di beberapa daerah, seperti 1. ET Medan 2. ET Surabaya 3. ET Solo 4. ET Benteng (Tangerang) 5. ET Bangka-Belitung

Tionghoa dalam hal ini dibagi menjadi lima sesuai dengan sejumlah penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Pertanyaan yang disampaikan diarahkan pada stereotipe positif dan negatif baik secara umum dan spesifik yang diasosiasikan dengan ET

3. Analisis

Analisis dibagi dalam sejumlah bagian sesuai dengan informasi yang diperoleh dalam proses wawancara.

a. Perspektif Non-Tionghoa Terhadap ET

Istilah non-Tionghoa dalam tulisan ini merujuk pada orang-orang yang tidak merupakan keturunan Tiongkok. Penulis sendiri tidak memberikan batasan mengenai asal muasal informan dan latar belakang sosial dan budaya. Hal ini diakukan untuk memperoleh perspektif yang meluas mengenai ET dalam perpektif Non-Tionghoa.

(5)

459

Informan non-Tionghoa cenderung memberikan label negatif bagi ET. Perhitungan dan cenderung pelit merupakan label yang disandingkan oleh seluruh informan bagi ET. Stereotipe ini dibangun berdasarkan pengalaman informan dengan orang-orang Tionghoa. Akan tetapi, sejumlah responden juga mengaku bahwa pelabelan ini diwariskan dari orang lain, seperti keluarga atau teman. Pewarisan ini merupakan bentuk penolakan terhadap eksistensi ET dalam kehidupan sosial di Indonesia. Pada sejumlah Informan (secara khusus perempuan), penolakan ini terlihat secara jelas dari respon mereka yang berkata “Jangan kawin sama orang Cina”.

Informan menyatakan bahwa etnis Tionghoa terlalu eksklusif mereka cenderung menutup diri dari orang lain dan berorientasi pada hal-hal yang mereka kuasai secara komunal oleh etnis mereka sendiri sehingga cenderung dianggap memiliki cara pandang sempit. Hal-hal yang terkait dengan tradisi Tiongkok cenderung tidak dipahami atau diketahui oleh warga non-Tiongkok karena warga Tionghoa cenderung menutup diri dari pergaulan sosial. Warga Tionghoa juga cenderung berorientasi pada faktor-faktor ekonomi, seperti bisnis dan perdagangan. Dalam bidang pergaulan, informan menyatakan bahwa ET hanya bergaul dalam lingkungan mereka sendiri dan tidak terlalu membuka pintu bagi warga atau etnis lainnya.

Akan tetapi, seluruh reponden juga memberikan label positif bagi ET. Pekerja keras dan memiliki determinasi yang tinggi. Seluruh informan mengasosiasikan hal ini dengan faktor-faktor ekonomi. Sejumlah informan bahkan menyatakan bahwa ET lahir dengan kesabaran dan kemampuan dalam mengelolah bisnis. Label-label positif ini dibangun berdasarkan pengalaman responden dalam konteks sosial.

b. Perspektif ET atas Stereotipe Ke-Tionghoa-an

Secara umum, informan Tionghoa memberikan label yang positif atas identitas yang mereka miliki. Label negatif diberikan kepada warga Tionghoa yang secara sosial dan geografis memiliki perbedaan. Sebagai contoh cara pandang informan Tionghoa Solo terhadap orang Tionghoa Medan dan sebaliknya. Pada bagian ini, analisis akan difokuskan pada cara pandang warga Tionghoa secara umum terhadap identitas ke-Tionghoa-an mereka.

ET cenderung memberikan label positif bagi dirinya sendiri. Label positif yang diberikan mencakupi hal-hal yang terkait dengan kemampuan mengelolah bisnis dan perdagangan. Giat, rajin, dan pekerja keras adalah sejumlah stereotipe yang diberikan. Sejumlah Informan

(6)

460

menyadari bahwa Ekonomi adalah bidang yang harus mereka kuasai karena bidang ini

merupakan bidang yang dinilai “aman” dan memiliki kecenderung konflik yang kecil dibanding

bidang-bidang lainnya. Menghindari konflik dan berjaya dalam zona aman menjadi latar belakang bagi penguasaan ekonomi oleh ET.

Hidup dalam zona aman adalah falsafah hidup yang diyakini oleh ET. Sepanjang hadirnya ET di Indonesia, mereka telah hidup dalam bayang-bayang bahkan di bawah dominasi kaum mayoritas. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa ET sudah menjadi korban pembantaian dan penjarahan seperti pada tahun 1740 dan 1825-1830. Oleh karena itu, untuk dapat bertahan, mereka tetap menjadi kaum minoritas tetapi berjaya dalam bidang-bidang yang dapat mereka kuasai.

Informan Tionghoa memberikan label ekonomis dalam varian leksikal hemat terhadap ET. Pelabelan ini disandarkan pada falsafah hidup yang diajarkan pada mereka “banyak mendapat dan sedikit mengeluarkan”. Latar historis menjadi landasan terbentuknya stereotipe ini. Perjalanan ET di Indonesia diawali dengan kondisi-kondisi yang sulit secara ekonomi. Oleh karena itu, untuk dapat bertahan, mereka harus dapat mengelolah keuangan secara ekonomis.

c. Latar Sosial sebagai dasar Pengklasifikasian ET

Dalam tulisan ini, analisis juga diarahkan pada cara pandang informan atas sejumlah golongan Tionghoa yang ada di Indonesia. Melalui penelusuran literatur penulis menemukan lima golongan ET yang lebih lanjut menjadi dasar pengklasifikasian ET dalam penelitian ini. Lima golongan yang dimaksud adalah ET Medan, Surabaya, Solo, Benteng, dan Bangka-Belitung. Penulis juga menemukan sejumlah informan yang tidak termasuk dalam kelima ET di atas dan tidak ingin dikategorisasikan dalam salah satu ET walaupun secara geografis berdekatan. Sebagai contoh, informan keturunan Pematang Siantar tidak ingin dimasukkan dalam kategorisasi ET Medan walaupun secara geografis berdekatan. Penulis menemukan bahwa Informan Tionghoa cenderung memberikan label negatif bagi ET yang memiliki latar belakang yang berbeda. Citra negatif ini direpresentasikan juga melalui penggunaan pronomina Cina.

Label eksklusif disandingkan pada ET Medan serta Bangka-Belitung. Informan Tionghoa menggeneralisasikan kedua ET di atas dengan label eksklusif karena mereka dinilai tidak dapat berbaur dalam berbagai aspek kehidupan dengan warga non-Tionghoa. Pengelompokan dan

(7)

461

kecenderungan untuk menutup diri dirasa sangat nyata dalam kedua kelompok di atas. Ekslusivisme juga tercermin dalam ET Benteng. Akan tetapi, sifat eksklusif ini hanya terjadi pada ranah-ranah yang terkait dengan tradisi dan budaya. Dalam pergaulan sehari-hari, ET Benteng dapat bergaul dengan warga lainnya bahkan dalam sektor-sektor yang terkait dengan perdagangan.

Sementara itu, label toleran dan terbuka diasosiasikan kepada ET Surabaya dan Solo. Keberterimaan dalam kedua ET di atas sangat nyata terlihat. Perkawinan dengan warga non-Tionghoa, asimilasi linguistik, dan akulturasi budaya hidup tumbuh dan berkembang. Warga non-Tionghoa cenderung dapat menerima identitas ke-Tionghoa-an dan sebaliknya dengan warga Tionghoa.

Penolakan ET terhadap kelompok masyarakat Tionghoa lainnya secara nyata terlihat melalui proses wawancara. Pemberian label licik dan kasar atas sebuah ET di Sumatera Utara menunjukkan adanya penolakan bagi ET tertentu oleh warga Tionghoa. Penolakan dalam hal ini mencakupi penolakan dalam hal pergaulan dan pernikahan.

ET Surabaya selalu diasosiasikan sebagai warga yang kaya. Hal ini tercermin dari gaya hidup dan keseharian mereka. Akan tetapi, citra negatif ini ditutupi oleh kemampuan mereka dalam bersosialisasi. Sejumlah Informan menyatakan bahwa walaupun menguasai perdagangan, ET Surabaya dapat hidup secara toleran melalui gaya komunikasi berbahasa Jawa dialek ET Surabaya.

d. ET dalam Perspektif Non-Tionghoa dan Tionghoa

Pada bagian ini, penulis membandingkan cara padang informan Tionghoa dengan informan non-Tionghoa terkait dengan sterotipe ke-Tionghoa-an. Dalam hal ini, penulis mempertahankan ekspresi kebahasaan yang digunakan oleh informan karena ekspresi kebahasaan mengandung konotasi-konotasi tertentu. Penggunaan satuan linguistik yang berbeda akan mengaburkan arti yang hendak dikomunikasikan.

Secara umum, informan non-Tionghoa memberikan label negatif bagi ET. Pelit, eksklusif, dan cara pandang sempit yang merupakan asosiasi yang disandingkan bagi ET, secara semantis merujuk pada konotasi yang bersifat negatif. Akan tetapi, ketika stereotipe ini dibenturkan dengan cara pandang ET, mereka cenderung menggunakan label ekonomis,

(8)

462

menghindari konflik, dan cara pandang untuk menjaga diri. Menurut ET, mereka pada hakikatnya tidak pelit mereka hanya menjaga agar pemasukan dan pengeluaran keuangan terjaga. Hal ini sejalan dengan falsafah hidup yang diwariskan kepada mereka. Eksklusivisme ET pada hakikatnya terbentuk karena mereka hendak menjaga diri mereka dari konflik. Keterlibatan dengan mayoritas dapat memicu konflik yang pada akhirnya berdampak buruk bagi keberadaan ET di Indonesia. Keinginan untuk menjaga diri dari konflik, pada akhirnya, membawa mereka pada cara pandang yang berorientasi pada usaha untuk menjaga diri. Oleh karena itu, sentralitas kehidupan kaum Tionghoa umumnya berpusat pada perdagangan dan bisnis. Perbandingan cara pandang Informan Tionghoa dan non-Tionghoa di atas tercermin dalam tabel berikut ini.

Non-Tionghoa Tionghoa

Stereotipe Interpretasi Stereotipe Interpretasi

Pelit Kikir atau lokek.

(sumber: http://kbbi.web.id/)

Ekonomis Bersifat hati-hati dalam pengeluaran uang

(sumber: http://kbbi.web.id/) Eksklusif Terpisah dari yang lain

(sumber: http://kbbi.web.id/)

Menghindari Konflik

Menghindari perselisihan yang dapat berujung pada hal-hal yang merugikan. Menguasai ekonomi Mendominasi bidang-bidang Ekonomi Hidup dalam Zona Aman

Ekonomi adalah Zona aman yang cenderung tidak terlalu memicu konflik

Cara pandang sempit

Hanya berorientasi pada aspek-aspek tertentu

Cara pandang yang bersifat menjaga

Cara pandang yang berusaha menjaga kemungkinan terjadinya konflik. Tabel 1. Perbandingan Cara Pandangan Tionghoa dan Non-Tionghoa Terhadap ET

Merujuk pada pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa stereotipe ET merupakan suatu bentuk konotasi. Konotasi yang dibangun berbeda bergantung pada latar belakang pihak atau orang yang memberikan interpretasi. Konotasi dalam perspektif Tionghoa dan Non-Tionghoa tersaji dalam gambar berikut ini.

(9)

463

Dalam pemaparan di atas, informan menggunakan pronomina Cina untuk menghadirkan konotasi negatif di balik etnis Tionghoa. Di samping itu, penulis juga menemukan sejumlah pronomina yang merujuk pada ET, seperti Cokin, Hua Kiau, dan Non-Pribumi. Dalam perpektif semiotika, ekspresi-ekspresi ini dapat dianggap sebagai bentuk-bentuk metabahasa atas tanda Tionghoa. E2 R2 C2 E1 R1 C1 Tionghoa Orang keturunan Tiongkok ‘Ekonomis’ ‘Menghindari konflik’ ‘Hidup dalam zona

aman’

‘Cara Pandang yang

bersifat menjaga’ Gambar 5. Konotasi ET dalam Perspektif

Tionghoa Gambar 4. Konotasi ET dalam Perspektif

Non Tionghoa E2 R2 C2 E1 R1 C1 Tionghoa Orang keturunan Tiongkok ‘Pelit’ ‘Eksklusif’ ‘Menguasai Ekonomi’ ‘Cara Pandang Sempit’

E2 R2 C2

E1 R1 C1

Cokin

Tionghoa Orang keturunan Tiongkok METABAHASA DENOTASI Hua Kiau Non-Pribumi Cina

(10)

464

4. Simpulan

Tionghoa, dalam tulisan ini, dipandang sebagai suatu tanda yang dimanifestasikan dalam beragam ekspresi dan diinterpretasikan dalam beragam makna. Istilah Tionghoa yang sedianya bermakna warga keturunan Tionghoa diinterpretasikan dalam sejumlah konotasi. Pembangunan konotasi dalam hal ini bergantung sepenuhnya dari pemberi interpretasi. Non-Tionghoa cenderung memberikan label negatif bagi etnis Tionghoa. Pelit, eksklusif, menguasai ekonomi, cara pandang sempit adalah sejumlah interpretasi yang diasosiasikan dengan ET. Sejalan dengan label negatif tersebut, ET cenderung membangun interpretasi yang mengandung citra positif, seperti ekonomis, menghindari konflik, hidup dalam zona aman, dan cara pandang yang bersifat menjaga.

Benturan makna juga terjadi pada saat orang Tionghoa memberikan interpretasi atas ET yang berbeda latar sosialnya. Konotasi negatif, seperti licik, kasar, dan pelit adalah sejumlah citra negatif yang diberikan pada beberapa ET. Sementara itu, citra positif selalu berkaitan dengan ET yang memiliki kemampuan berbaur dan memiliki toleransi yang tinggi dengan orang-orang Non-Tionghoa.

Konotasi dengan citra negatif disampaikan dengan menggunakan pronomina-pronomina yang berbeda. Pronomina Tionghoa mengandung citra yang positif jika dibandingkan dengan pronomina Cina (dalam dialek Indonesia ataupun Jawa), Cokin (warga Tionghoa Jakarta), Hua Kiau (perantauan Tionghoa), serta Non-Pribumi. Dapat disimpulkan bahwa untuk menghadirkan Tionghoa dalam citra yang negatif orang akan menggunakan pronomina-pronomina tertentu.

Daftar Acuan

Barthes, R (1957). Mythologies. Paris: Seuil

Baumeister, R. F dan E. J. Finkel. (2010). Advanced social psychology: the state of the science. Oxford: Oxford University Press

Dahana, A (2000). Kegiatan awal masyarakat Tionghoa di Indonesia. Wacana Vol 2. No.1, April 2000. (sumber: http://faculty.wcas.northwestern.edu/bodenhausen/BRAdvanced.pdf yang diakses pada 13 Juli 2016)

Hoed, B. H (2011). Semiotik dan dinamika sosial budaya. Depok: Komunitas Bambu. Houn, F. W. (1973) A short history of Chinese communism. Eaglewoof Cliff: Prantice Hall

(11)

465

Mc Garty, C. et al (2002). Stereotypes as explanations: the formation of meaningful beliefs about social groups. Cambridge: Cambridge University Press

Purcell, V. (1965) The Chinese in Southeast Asia. London: Oxford University Press

Saussure, F. (1916). Cours de linguistique generale. Paris: Payot (terjemahan Bahasa Indonesia oleh R Hidayat dan H. Kridalaksana)

(12)

466

TUBUH PEREMPUAN ANTARA SEKSUALITAS DAN KOMODITAS (ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP KOMODIFIKASI TUBUH

PEREMPUAN DALAM IKLAN)

Ronny Yudhi Septa Priana

(Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

[email protected])

Abstrak

Komodifikasi seksualitas tubuh perempuan dalam sebuah tayangan iklan dianggap sebagai hal yang lumrah dan diyakini merupakan suatu kewajaran. Hal ini tidak terlepas dari budaya patriaki kita yang sangat kental, yang nyudutkan pada tindakan laki-laki terhadap perempuan semata pada alat pertukaraan, artinya perempuan untuk mendapatkan suatu nilai harus melalui pertukaran. Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana kemudian media menempatkan perempuan dalam kaitan ekonomi politik media, dan bagaimana sesungguhnya realitas dan kedudukan perempuan tersebut di masyarakat. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk melihat konstruksi perempuan pada iklan melalui Kode-kode semiotik pada sebuah iklan. Data penelitian adalah sebuah iklan yang dianggap mengesploitasi tubuh perempuan dan mengkomodifikasikannya dalam betuk tayangan iklan televisi dalam hal ini peneliti memilih iklan Cat Avian sebagai objek penelitian. Berdasarkan hasil analisis dari kode-kode yang digunakan dalam iklan, memperlihatkan bahwa media lebih cenderung menempatkan diri pada motif ekonomi yang dibangun dalam kapiltalisme media yang berujung pada suksesnya iklan tanpa menghiraukan pada aspek etika, kesan eksploitasi dalam adegan iklan sangatlah kental, serta kecenderungan pelecehan pada perempuan secara tidak sadar menjadi suatu pemahaman yang biasa, baik dalam kalangan perempuan itu sendiri yang baik secara sadar ataupun tidak kemudian tidak mempermasalahkannya. Oleh karenanya ketegasan akan regulator terhadap kode etik periklanan haruslah menjadi kunci utama untuk menekan pada pelanggaran iklan seperti ini.

Kata Kunci : Komodifikasi, Seksualitas, Semiotika, Roland Barthes,

1. Pedahuluan

Perkembangan teknologi informasi memudahkan manusia untuk mencari dan mendapatkan serta memenuhi kebutuhan informasi. Masyarakat dapat mengakses informasi melalui beragam media baik cetak maupun elektronik bahkan media online untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka, seperti berita, hiburan, pendidikan, olahraga, bisnis serta lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut mendorong media berlomba-lomba untuk menyuguhkan informasi secara porposional sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Dengan kata lain media menyuguhkan informasi dan masyarakat menikmati informasi tersebut sesuai

(13)

467

dengan porsinya. Selain masyarakat yang menggunakan jasa media massa terdapat pula perusahaan yang merupakan produsen produk berupa barang maupun jasa yang juga menggunakan jasa media massa secara berbeda yakni untuk memasarkan produk mereka melalui iklan, dengan harapan masyarakat selain mengakses informasi yang mereka butuhkan juga akan melihat iklan yang ada dalam media yang digunakan.

Media massa merupakan sarana pendukung aktifitas komunikasi massa dalam proses penyampaian pesan kepada pemirsa yang heterogen dengan perbedaan latar belakang dengan sifat pesan yang umum agar pemirsa mampu menerima pesan yang disampaikan. Televisi merupakan media massa elektronik yang menyampaikan informasinya secara audio visual. Informasi yang disampaikan melalui televisi lebih jelas karena sifat audio visualnya sehingga khalayak yang menggunakannya bukan hanya dapat mendengar informasi tapi dapat melihat setiap peristiwa melalui frame- frame yang di tayangkan. Fungsi televisi sama dengan fungsi media lainnya yakni memberi informasi dan menghibur. Tujuan utama khalayak menonton televisi, yakni untuk memeroleh informasi, selanjutnya mendapatkan hiburan. Bagi para pengiklan televisi masih dipandang sebagai media yang paling efektif dalam menyampaikan pesan iklan yang ditujukan kepada khalayak ramai. Perkembangan media yang sangat pesat termasuk kehadiran media online tetap tidak dapat mengalahkan kekuatan dari pengaruh televisi sebagai media periklanan yang utama.

Selain bentuknya yang audiovisual iklan televisi memiliki daya tarik lain yakni kehadiran model perempuan dalam iklan. Kehadiran model perempuan dalam iklan berpotensi mempengaruhi pola pikir masyarakat tentang citra perempuan. Perempuan dipilih sebagai model iklan karena pada dasarnya perempuan yang cantik dan seksi akan disukai oleh kaum laki-laki dan juga kaum perempuan itu sendiri, karena kaum perempuan merasa senang melihat perempuan cantik dan seksi untuk menjadi reverensi tubuh yang diinginkan untuk terlihat cantik dan seksi. Konstruksi tubuh perempuan yang mengisi ruang iklan pun kemudian direpresentasikan melalui kehadiran model dengan fisik yang ideal seperti berkulit putih dan mulus, berwajah cantik, bertubuh seksi dan menarik perhatian.

Baran dan Davis (2010) menyatakan bahwa televisi merupakan sistem pesan yang menanamkan atau menciptakan pandangan terhadap dunia, yang walaupun kemungkinan tidak akurat, tetapi menjadi realitas hanya karena kita sebagai manusia percaya bahwa hal tersebut adalah realitas dan mendasarkan penilaian kita terhadap dunia sehari-hari kepada realitas nyata. Penonton seolah tidak sadar bahwa apa yang mereka anggap nyata dan sesuai dengan keadaan

(14)

468

sebenarnya hanyalah sebuah kenyataan semu yang hanya ada di dalam media massa yang telah dibentuk oleh media itu sendiri, karena media menyajikan suatu tayangan yang ditujukan agar dipercaya oleh masyarakat dengan menggambarkan apa yang ada di dunia nyata tetapi dibumbui dengan imajinasi untuk menarik perhatian pemirsa. Salah satunya adalah dengan menawarkan produk melalui tayangan dengan balutan seksualitas.

Tayangan-tayangan iklan bernuansa sensualitas dan seksualitas saat ini telah menjadi konsumsi tayangan televisi seakan-akan hal tersebut adalah suatu hal yang biasa memperlihatkan daya tarik seks dengan menggunakan model perempuan yang atraktif dan pose yang provokatif, akibatnya banyak iklan-iklan di televisi negara kita mengabaikan etika, baik etika beriklan maupun etika bisnis dan akhirnya tubuh perempuan menjadi objek komodifikasi. Komodifikasi seperti yang dikatakan oleh Vincent Mosco (1996) merupakan proses yang menggambarkan bagaimana cara kapitalisme mendapatkan modal atau nilai real melalui transformasi nilai guna menjadi nilai tukar atau dapat dikatakan sebagai proses mentransformasikan produk yang nilainya ditentukan oleh kemampuan produk tersebut dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial menjadi produk yang mempunyai nilai yang diatur untuk bisa dibawa kepada pasar (marketplace). Sedangkan dalam iklan komodifikasi yang dimaksud adalah adanya pemanfaatan tubuh perempuan untuk dijadikan komoditas dimana tubuh perempuan memiliki nilai guna untuk dijual dan menjadi nilai tukar agar produsen mendapatkan keuntungan dari tubuh perempuan tersebut. Menjual tubuh perempuan disini adalah dengan memanfaatkan tubuh perempuan sebagai media menyampaikan pesan dalam iklan dengan mengekploitasi tubuh perempuan demi keuntungan yang ingin dicapai.

Penelitian ini berfokus pada bagaimana tubuh perempuan dijadikan objek seksualitas dan komoditas dalam iklan televisi. Tayangan iklan televisi yang menjadi objek penelitian adalah iklan cat kayu Avian. Iklan tersebut merupakan sebagian dari sekian banyak iklan yang mengekploitasi tubuh perempuan dalam tayangannya. Selain itu Iklan cat kayu Avian termasuk iklan yang mendapat surat teguran Komisi Penyiaran Indonesia dan dilarang tayang di berbagai stasiun televisi komersial karena dianggap melanggar etika, dan bersifat pornoaksi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana tubuh perempuan dijadikan objek seksualitas dan dikomodifikasikan dalam iklan.

(15)

469

2. Televisi dan Perkembangan Iklan Televisi

Televisi sebagai salah satu bentuk perkembangan teknologi komunikasi massa merupakan sumber informasi yang memiliki keunikan dalam penyampaian pesannya. Hal ini karena televisi menggunakan teknik produksi yang menyajikan gambar-gambar visual secara khusus serta membutuhkan indera penglihatan dan pendengaran yang kemudian disebut media audio visual. Mulyana (2003, hlm.3) menyatakan bahwa televisi adalah perkembangan medium berikutnya setelah radio dengan karakter yang spesifik yaitu audio dan visual.dampak siarannya menyebabkan seolah-olah tidak ada lagi batas satu negara dengan negara lain.

Pesan-pesan yang disampaikan melalui televisi ditujukan untuk khalayak umum, sehingga siapa saja dapat menyaksikan apa yang ditayangkan oleh televisi. Sehingga Televisi dianggap sebagai media yang lebih memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan dibanding radio dan media cetak. Subakti (2008) menyatakan bahwa televisi merupakan medium komunikasi massa yang paling akrab dengan masyarakat karena kemampuannya mengatasi faktor jarak dan waktu.

Televisi saat ini menyajikan berbagai program tayangan yang menarik, dimana berbagai stasiun televisi memberikan pilihan kepada masyarakat untuk menyaksikan tayangan yang ingin mereka saksikan, tayangan-tayangan tersebut dapat dipilih dengan sendirinya oleh masyarakat dengan minat untuk menonton yang berbeda-beda dari setiap masyarakat. Untuk mendapatkan program yang diingikan oleh masyarakat tentu stasiun televisi khususnya televisi komersial memerlukan biaya produksi yang tidak sedikit, maka disinilah peran iklan yang membuat televisi komersil tetap hidup dan melayani pemirsanya. Bahkan Biagi (2010) mengatakan sesungguhnya isi televisi dipenuhi oleh iklan, dan iklanlah yang disampaikan pada penonton.

Iklan televisi merupakan media pemilik sebuah produk yang diciptakan oleh biro iklan, kemudian disiarkan televisi dengan berbagai tujuan, diantaranya sebagai informasi produk dan mendorong penjualan. Oleh karena itu iklan televisi harus memiliki segmen berdasarkan pilihan segmen produk, untuk memilih strategi media, agar iklan itu sampai kepada sasaran. Dalam produksi iklan televisi, diperlukan beberapa strategi, misalnya membuat iklan televisi yang terkesan eksklusif namun hanya memerlukan biaya produksi yang rendah dan atau membuat iklan tersebut untuk sedapat mungkin mengkomunikasikan seluruh informasi tentang produk yang ditawarkan menjadi lebih menarik (Bungin, 2001, hlm.39).

(16)

470

Iklan televisi saat ini semakin berkembang dan beragam jenisnya, disamping karna memang membutuhkan daya kreativitas yang tinggi juga karna daya beli masyarakat terhadap iklan televisi yang selalu bervariasi karena tekanan ekonomi. Kategori besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media ini, dimana iklan televisi dibangun dari kekuatan visualisasi objek dan kekuatan audio, dan simbol-simbol yang divisualisasi lebih menonjol dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Iklan televisi adalah salah satu dari iklan lini atas (above the line) umumnya terdiri atas iklan sponsorship, iklan layanan masyarakat, iklan spot, promo ad, dan iklan politik. Dimana durasi tayang iklan yang pendek maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada pemirsa dalam waktu beberapa detik (Bungin, 2011, hlm.111).

3. Komodifikasi dalam Iklan

Komodifikasi digambarkan oleh Vincent Mosco (1996) sebagai cara kapitalisme dengan membawa akumulasi tujuan kapitalnya atau mudahnya dapat digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi sebuah nilai tukar. Terkait dengan komodifikasi yang terjadi di media, Mosco memformulasikan tiga bentuk komodifikasi, yakni isi, khalayak, dan pekerja.

Pertama, komodifikasi isi (content) menjelaskan bagaimana konten atau isi media yang diproduksi merupakan komoditas yang ditawarkan. Konten media dibuat sedemikian rupa dengan segala cara demi mendapat perhatian audiens yang tinggi.

Kedua, komodifikasi khalayak dimana khalayak dijadikan komoditas oleh media untuk mendapatkan iklan dan pemasukan. Perusahaan media membuat program untuk disaksikan oleh khalayak dan selanjutnya jumlah khalayak yang menonton dan juga waktu yang disediakan untuk menonton inilah yang dijual kepada pihak pengiklan. Sementara pengiklan membayar biaya iklan produk mereka dan menayangkan melalui media dengan harapan mendapatkan perhatian khalayak yang pada akhirnya khalayak akan menggunakan produk tersebut.

Ketiga, komodifikasi pekerja (labour). Bahwa perusahaan media massa pada kenyataannya tak berbeda dengan pabrik-pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi konten dan mendapatkan penghargaan terhadap upaya menyenangkan khalayak melalui konten tersebut, melainkan juga menciptakan khalayak sebagai pekerja yang terlibat dalam mendistribusikan konten sebagai sebuah komoditas (Mosco, 1996, hlm.158)

(17)

471

Dalam prosesnya sebuah iklan tidak lepas dari tiga komponen komodifikasi diatas yakni Isi dimana terdapat produk yang ditawarkan didalam iklan selain produk yang ditawarkan ada pula beberapa pendukung lain diantara model iklan yang ikut berperan dalam suksenya iklan tesebut, yang berikutnya adalah khalayak yang merupakan target penjualan iklan, yang terakhir adalah pekerja dimana terdapat beberapa komponen pekerja diantaranya pekerja media, produsen iklan, peembuat iklan, model iklan atau brand ambasador, dan terakhir khalayak/pemirsa yang merupakan user sekaligus objek sasaran iklan tersebut.

Persaingan di bidang periklanan khususnya pada iklan televisi menjadikan produsen produk dan pembuat iklan berpikir keras dalam menentukan konsep iklan yang akan dibuat untuk produk yang akan dijual. Salah satu cara yang dipilih adalah dengan menggunakan tubuh perempuan, karena perempuan dinilai memiliki daya tarik tersendiri dimata khalayak, baik dari kecantikan parasnya maupun keseksian tubuhnya dianggap mampu dengan cepat menarik perhatian khalayak. Hal inilah yang kemudian digunakan oleh produsen iklan untuk menarik perhatian khalayak pada durasi iklan yang cukup singkat dengan materi iklan yang biasa saja namun dengan hadirnya tubuh perempuan dalam iklan yang kemudian dijadikan komoditas maka akan meningkatkan nilai iklan tersebut di mata khalayak. Dengan kata lain produk apapun yang diiklankan dengan menggunakan model perempuan dan mengekploitasi tubuh perempuan akan mendapat perhatian dari penonton.

4. Seksualitas dan komodifikasi Tubuh Perempuan dalam Iklan

Iklan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tayangan program televisi khususnya televisi komersial. Kehadiran iklan sesungguhnya menjadi hiburan dan kebutuhan tersendiri bagi pemirsa terlebih bagi mereka yang membutuhkan gambaran suatu produk, maka kehadiran iklan menjadi referensi tersediri bagi mereka. Namun saat ini terdapat kecenderungan yang berbeda dalam iklan yang ditayangkan. Produk seakan-akan tidak menjadi perhatian utama dalam iklan namun konsep dan bagaimana cara membuat iklan tersebut menarik itulah yang menjadi perhatian utama.

Kehadiran perempuan sebagai Brand Ambasador dengan pesona dan daya tarik seksual dengan wajah cantik, kulit mulus dan seksi serta dibalut pakaian yang minim dan memperlihatkan bentuk tubuh yang sensual menjadi daya tarik tersendiri serta menjadi magnet yang kuat bagi pemirsa untuk melihat tayangan iklan dari awal samapi akhir dengan durasi tayangan cepat. Tubuh perempuan menjadi komoditas yang diunggulkan dalam menarik

(18)

472

perhatian penonton sehingga tujuan iklan televisi dapat tecapai dengan baik, yakni produk dapat dikenal oleh masyarakat sehingga tumbuh minat untuk membeli dan menggunakan produk yang diiklankan.

Komodifikasi tubuh perempuan dalam iklan ditunjukan dengan memperlihatkan anggota tubuh perempuan yang dapat mengundang birahi lelaki atau juga anggota tubuh intim perempuan dengan pakaian terbuka. Pada dasarnya yang dimaksud dengan bagian tubuh yang merangsang itu adalah bagian tubuh perempuan yang dapat merangsang birahi laki-laki. Bagian tubuh itu bahkan sampai keseluruhannya termasuk telapak tangan, mata, mulut, dan kaki (Hoed, 2014, hlm.161).

Eksploitasi tubuh perempuan dan kemudian menjadi komoditas dalam iklan tidaklain untuk menarik perhatian dari pemirsa. Asumsinya adalah semakin sensual model iklan maka akan semakin banyak penonton atau pemirsa yang memperhatikan iklan tersebut maka secara tidak langsung secara bersamaan produk yang diiklankan turut pula menjadi perhatian. Maka kemudian tubuh perempuan dijadikan objek komoditas dan dikomodifikasikan untuk mendapat keuntungan yang tinggi baik dari produk maupun iklan itu sendiri. Namun secara tidak langsung hal ini menyakiti perempuan itu sendiri karena perempuan dianggap rendah dan memiliki nilai guna jika tubuhnya dikomodifikasi demi keuntungan ekonomis semata.

Berikut deskripsi hasil analisis berdasarkan analisis semiotika Roland Barthes terhadap iklan cat kayu dan besi Avian. Iklan berdurasi 30 detik ini mengambil latar tempat danau taman kota. Iklan ini sempat tayang di televisi tahun 2013 namun akhirnya tidak ditayangkan kembali setelah beberapa stasiun televisi mendapat teguran dari KPI karena dianggap melanggar kode etik dan menjurus pada pornografi.

Pada tahap awal khalayak didorong untuk mengetahui produk dan keunggulan produk sehingga khalayak dapat memaknai nilai guna iklan sebagai informasi dan khalayak menyadari adanya pesan yang disampaikan melalui iklan tersebut terjadi relevansi terhadap signifikansi antara tanda dengan penanda pada tahapan ini tukang cat memegang cat dan digunakan untuk mengecat kursi taman. Namun pada tahapan selanjutnya, terjadi perubahan makna pesan menjadi hiburan dan terjadi perbedaan intepretasi khalayak ketika tubuh

(19)

473

perempuan mulai ditampilkan. Pada tahapan pemaknaan kedua dalam iklan inilah yang berbeda-beda antara khalayak yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan proses pemaknaan tahap kedua ini khalayak akan dipengaruhi oleh latarbelakang mereka sehingga makna yang mereka terima atas iklan yang sama yang mereka lihat akan berbeda antara satu sama lain. Proses pemaknaan terjadi ketika khalayak tertarik untuk melihat iklan tersebut dan memiliki rasa ingin tahu atas iklan yang disampaikan, sehingga khalayak berusaha memaknai apa yang mereka saksikan dan mengetahui makna dari pesan yang disampaikan dalam iklan tersebut.

Pada signifikasi tahap kedua ini iklan cat avian memainkan interpretasi khalayak berupa emosi yang berhubungan dengan isi yang menjelaskan gejala alam dalam iklan cat avian khalayak mengetahui sebelumnya bahwa kursi taman bar saja dicat oleh tukang cat. Ketika model perempuan hadir dan menduduki kursi taman maka interpetasi berdasarkan gejala alam dan realitas bahwa jika menduduki kursi yang baru di cat maka baju akan kotor. Namun kemudian interpretasi khalayak dipudarkan dengan eksploitasi tubuh perempuan pada adengan berikutnya dalam iklan tersebut.

Pada bagian akhir sebagian tubuh perempuan sengaja diambil dengan hanya pada bagian tertentu Medium shot, Medium close up, Close up dan tidak keseluruhan yakni hanya pada betis dan paha hingga paha bagaian atas hingga pangkal paha bagian belakang tubuh perempuan sambil mengibaskan rambut. Eksploitasi tubuh perempuan pada bagian ini dilakukan agar khalayak merasa terhibur dan terus menyimak mengenai produk yang diiklankan dan diberi hiburan di akhir iklan tersebut sehingga perempuan dikomodifikasi untuk kepentingan keuntungan semata.

Iklan cat Avian perempuan tidak lagi dinilai kegunaannya sebagai pemeran model iklan,tetapi sebagai pemikat iklan dengan menonjolkan tubuh perempuan yang dikomodifikasi untuk menjual produk sehingga masyarakat akan beranggapan bahwa perempuan sengaja digunakan sebagai model iklan hanya karena memiliki nilai pada tubuhnya untuk dikomodifikasi dan dapat menarik perhatian masyarakat.

(20)

474

5. Simpulan

Simbol yang menggambarkan komodifikasi tubuh perempuan dalam iklan berdasarkan analisis semiotika milik Roland Barthes yaitu: dialog yang mengandung makna erotisme, setting tidak sesuai konteks iklan, pakaian, gerak tubuh, ekspresi wajah yang menggoda laki-laki.

Tubuh perempuan dijadikan komoditas dalam iklan dengan memperlihatkan bagian intim tubuh perempuan, keindahan tubuh perempuan disajikan pada iklan yang tidak ada kaitannya dengan kecantikan maupun keseksian tubuh perempuan itu sendiri. Perempuan hanya dijadikan pemanis dan pemuas hasrat laki-laki dalam iklan yang berkaitan erat dengan laki-laki, dan perempuan seolah tidak berdaya atas kekuasaan yang dimiliki pembuat iklan sehingga cenderung dikomodifikasi tubuhnya demi mendapatkan keuntungan.

Bahasa tubuh adalah komunikasi pesan nonverbal, bahasa tubuh merupakan proses pertukaran pikiran dan gagasan dimana pesan yang disampaikan dapat berupa isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, sentuhan, lambang yang digunakan, diam, waktu, suara, serta postur dan gerakan tubuh, dalam iklan bahasa tubuh digunakan untuk mempertegas penyampaian pesan oleh model iklan terhadap produk iklan tersebut. Pemaknaan tanda bahasa terjadi apabila manusia mengaitkan penanda dengan petanda. Oleh karena yang dibicarakan adalah tanda bahasa, kaitan antara penanda dan petanda didasari oleh konvensi sosial. Bahasa terdiri dari tanda-tanda yang tersusun secara linier dan berdampingan. Susunan antar tanda dikatakan didasari oleh relasi sintagmatik linear, tanda bahasa juga dapat dilihat dalam rangka relasi asosiatif (Hoed, 2014, hlm. 6).

Pengambilan gambar dalam iklan juga mampu mempresepsikan makna tertentu setiap detail pengambilan gambar terhadap objek itu sendiri, karena dengan waktu pengambilan gambar yang tepat serta tehnik pengambilan gambar yang sesuai maka akan menghasilkan gambar yang baik untuk sebuah produksi iklan. Jenis pengambilan gambar dapat berupa jarak kamera terhadap objek yaitu Extreme long shot, Long shot, Medium long shot, Medium shot, Medium close up, Close up, Extreme close up, kemudian dalam sudut pengambilan gambar seperti yakni high angle, straight-onangle, serta low angle, kemudian dalam pergerakan kamera seperti pen dan tilt yang menambah nilai keindahan iklan itu sendiri.

Setting bertindak sebagai konteks yang menentukan latar warna suatu iklan. Setting dalam sebuah iklan bisa jadi tidak terlalu jelas atau sebaliknya, dapat pula berupa koleksi dan beberapa properti yang spesifik. Semakin jelas setting iklan, maka akan semakin mudah pula

(21)

475 pesan iklan tersampaikan.

Daftar Acuan

Hoed, B. H. (2014). Semiotik & dinamika sosial. Jakarta: Komunitas Bambu

Mosco, V. (1996). The political economy of communication: rethinking and renewal. Sage Publications

Mulyana, D. (2008). Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Sumadiria, H. (2005). Jurnalistik Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Sobur. A. (2001). Analisis teks media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Subakti. (2008). Awas tayangan televisi. Jakarta: PT. Elex Media Komputerindo

Wahyudi, J.B. (1997). Dasar-Dasar jurnalistik radio dan televisi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti

(22)

476

KONOTASI DAN CITRA FIGUR MANUSIA DAN HEWAN PADA KELOMPOK ARCA-ARCA MEGALITIK DI KAWASAN

PASEMAH, SUMATERA SELATAN

Rr. Triwurjani

(Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, [email protected])

Abstrak

Representasi arca-arca megalitik Pasemah mengetengahkan gambaran figur manusia, hewan dan gambaran manusia dengan hewan yang digambarkan secara bersama-sama dalam monolith (satu batu). Gambaran figur-figur ini memperlihatkan suatu adegan tertentu yang secara harafiah menggambarkan wujud manusia atau hewan namun kadang tidak lazim dalam ukuran normal manusia atau hewan pada umumnya. Begitu banyak variasi yang ditampilkan pada kelompok arca-arca di lereng pegunungan Dempo (± 3159 m dpal) Sumatera Selatan ini menarik untuk dikaji dalam perspektif semiotik, untuk mengetahui makna di balik gambaran arca-ara megalitik tersebut. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena budaya yang dianggap sebagai tanda, semiotik mempunyai beberapa aliran dalam teorinya. Dalam kajian ini digunakan teori semiotik Roland Barthes yang mengemukakan analisis denotasi dan konotasi serta mitos dan ideologi dalam tahapan langkahnya. Hal ini dipilih karena analisis denotasi secara tidak langsung dapat menjadi bagian dari tahapan deskripsi arkeologi. Hasil deskripsi yang dihubungkan dengan konotasi dalam konteks arkeologi ini memperlihatkan bahwa pendekatan semiotik dalam kajian ini tidak ditujukan untuk membongkar mitos melainkan menemukan mitos-mitos sehingga dapat diketahui bahwa bahwa arca-arca megalitik di kawasan Pasemah semata-mata dibuat untuk

dipersembahkan kepada sang pendahulu yang dianggap nenek moyang sebagai “divine power”

pemegang kuasa tertinggi.

Kata kunci: arca megalitik, konteks arkeologi, denotasi, konotasi, ideologi 1. Pendahuluan

Citra mempunyai arti bermacam-macam seperti gambaran, melukiskan anggpan ataupun representasi dari sesuatu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI1) citra adalah rupa, gambar atau gambaran atau yang dimiliki oleh banyak orang. Citra itu pula yang dimaksud dalam makalah ini, yaitu gambaran sekaligus kesan yang melukiskan atau ingin disampaikan sebagai hasil pola pikir yang telah disepakati dalam suatu budaya atau masyarakat tertentu. Dengan kata lain, citra dapat juga diartikan sebagai gambaran dari sesuatu.

Citra yang digambarkan pada arca megalitik Pasemah di Sumatera Selatan, yang menggambarkan manusia dan hewan secara umum adalah seram, besar dan menakutkan. Ciri-ciri tersebut diperoleh dari gambaran secara umum pada wajah arca figur manusia

1 kbbi.web.id/citra, 02.05.00.7062016

(23)

477

maupun arca kepala manusia dengan mata digambarkan bulat besar dan menonjol keluar, hidung besar, mulut mengatup dengan bibir tebal, alis tebal dengan dahi yang besar dan lebar serta bentuk tulang rahang yang tampak kokoh dan sangat menonjol. Begitu pula pada gambaran tubuh dan anggota badan lainnya tampak besar dan kokoh.

Hampir semua figur manusia yang tergambarkan dalam arca-arca Pasemah mempunyai wajah yang berkesan seram. Hal ini diakui pula oleh penduduk di sekitar tempat arca ditemukan. Saat ditemukan, sering terdapat arca yang kepalanya sudah tidak ada karena ditebas dengan parang. Ini disebabkan mereka sering diganggu oleh mimpi-mimpi buruk sehingga menebas kepala arca itu.

Menurut bentuknya, arca-arca ini dapat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu arca manusia, arca hewan, dan arca hewan dengan manusia. Figur manusia dan hewan digambarkan secara bersama dalam satu batu (monolith). Gambaran figur manusia dan hewan ini menunjukkan seolah mereka sedang bersama-sama melakukan suatu aktivitas tertentu, seperti mengendarai hewan, menunggang hewan, menaklukkan hewan, memangku hewan, dan seterusnya. Arca-arca tersebut menunjukkan badan yang miring atau condong ke depan, ke belakang, miring ke samping, dan seterusnya. Semuanya seolah menimbulkan gerak tertentu yang dinamis. Atas dasar itu, seorang ahli prasejarah Belanda von Heine Geldern menyebut arca-arca megalitik Pasemah sebagai strongly dynamic agitate (von Heine Geldern, 1945).

Hal tersebut berbeda dengan penggambaran arca megalitik yang biasanya digambarkan sangat sederhana, yaitu hanya menyerupai figur manusia yang terdiri dari kepala dan tubuh saja, tidak mempunyai anggota badan. Arca megalitik ini seperti menhir (batu tegak) yang diberi relief wajah pada bagian atasnya sehingga sering disebut sebagai arca menhir. Kadang-kadang pada arca menhir ini digambarkan jenis kelaminnya berupa phalus atau jenis kelamin perempuan. Atas dasar itu, arca megalitik Pasemah mempunyai citra yang berbeda dengan arca menhir sebelumnya, meskipun sama-sama menggambarkan suatu figur manusia.

Dalam megalitik terjadi perkembangan unik, yaitu artefak yang ada berhubungan atau selalu dihubungkan dengan figur-figur tertentu, seperti binatang yang dipakai sebagai lambang pemujaan. Permasalahannya bagaimana konstruksi manusia dan hewan dalam kelompok arca megalitik di kawasan Pasemah? Bagaimana citra arca megalitik

(24)

478

Pasemah pada Kawasan Pasemah yang terletak di lereng Pegunungan Dempo, Sumatera selatan.

Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan semiotik Barthes, yang di dalamnya terdapat aspek sintagmatik dan paradigmatik untuk memahami struktur dan sistem arca. Dalam konsep sintagmatik, tanda dilihat sebagai suatu susunan yang terdiri dari hubungan unsur yang membentuk suatu sistem. Gabungan unsur-unsur itu disebut dengan sintagme, suatu susunan yang bersifat linear yang mempunyai makna masing-masing. Dalam konsep paradigmatic, tanda dilihat sebagai hubungan antarkomponen dalam suatu struktur dengan komponen lain di luar struktur yang bersifat asosiatif yang berada dalam suatu sistem. Konsep sistem menjadi penting dalam proses konotasi dan terbentuknya mitos yang oleh Barthes disebut sebagai pemaknaan sistem sekunder (Hoed, 2014, hlm. 23--24, hlm. 43).

Ditinjau dari aspek sistem, arca megalitik Pasemah terdiri dari kumpulan pahatan pada material batu yang membentuk suatu figur yang tersusun dari kepala, badan, tangan dan kaki yang digambarkan baik sebagian maupun secara keseluruhan. Gambaran arca tersebut antara lain arca figur manusia, arca hewan dan arca figur manusia dengan figur hewan, dan sebagainya. Setiap sistem arca terdiri dari unsur-unsur yang tersusun secara linear, misalnya pada arca kepala, arca figur manusia tunggal, arca figur manusia jamak, arca figur manusia dengan gajah, arca figur manusia dengan kerbau, arca figur manusia dengan ular, arca figur manusia dengan buaya, arca figur manusia dengan babi, dan arca figur manusia dengan harimau.

Untuk mempermudah mengetahui relasi antara penanda dan petanda yang terdapat di dalam tanda yang dalam hal ini adalah arca, dilakukan klasifikasi terlebih dahulu untuk mengetahui persamaan dan perbedaaan pada arca sebagai sistem tanda. Di dalam proses ini, secara tidak langsung telah diperoleh tataran penandaan atau makna pada tingkat pertama yang disebut dengan makna denotatif dengan petanda yang di dalamya terdapat konsep dan penanda yang di dalamnya terdapat ekspresi dari tanda. Pengembangan makna pada tataran kedua adalah pengembangan dari segi konsep atau isi yang oleh Barthes disebut dengan konotasi. Di dalamnya melibatkan ‘ideologi tanda’. Konotasi itu sendiri adalah “makna baru yang diberikan pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuan atau konvensi baru yang ada dalam

(25)

479

2. Denotasi dan Konotasi Tipe-Tipe Arca Pasemah.

Berikut ini akan diuraikan relasi-relasi tersebut melalui analisis sintagmatik dan paradigmatik sebagai dasar upaya untuk mendekati makna yang sesungguhnya, mengingat pendukung langsungnya sudah tidak ada. Mengikuti langkah Barthes, proses berlangsung sejak pada tingkat denotasi, konotasi, sampai pada mitos dan ideologi. Pembahasan dilakukan pada tipe arca sebagai hasil analisis klasifikasi.

2.1 Tipe Arca Kepala

Arca kepala adalah arca yang dipahatkan hanya bagian kepalanya saja. Arca itu bukan merupakan bagian atau potongan dari arca yang lain. Arca kepala ini ditemukan di situs-situs Pasemah, antara lain Situs Talang Pagar Agung, Rindu Hati, dan Tinggi Hari. Beberapa di antaranya ada yang sudah menjadi koleksi Museum Balaputradewa Palembang. Di antara enam arca kepala ini ada dua yang ditemukan in situ, yaitu di dalam kubur batu dan Situs Gunung Megang. Arca kepala yang ditemukan di kubur batu tidak memakai penutup kepala, diletakkan di tengah dinding berlawanan dengan pintu masuk. Arca kepala lainnya ditemukan masih terpendam dalam tanah pada kebun sayur di Gunung Megang. Dindingnya diberi semen oleh pihak BPCB Jambi. Arca kepala ini berasosiasi dengan figur manusia menunggang gajah dalam kondisi telentang dekat dolmen dan kubur batu.

Arca kepala ini terdiri atas bentuk kepala, telinga, mata, hidung, mulut, perhiasan anting, atau penutup kepala. Penutup kepala ini digambarkan ada yang berbentuk helm dengan tepian yang membulat dan ada tepian yang meruncing serta ada pula penutup kepala yang berbentuk destar. Pemaknaan pada sistem arca kepala ini selanjutnya mempertimbangkan tanda-tanda lainnya dalam konteks situs.

1 2 3 4 5 6

(26)

480

Gambaran wajah pada arca kepala tersebut tampak menunjukkan wajah bervariasi. Ada wajah yang memberikan kesan seram, ada pula wajah orang tua, bahkan ada wajah yang tampaknya wajah perempuan karena rambutnya di sanggul seperti sanggul yang biasa dipakai kaum perempuan (nomor 3). Arca kepala dengan wajah seram digambarkan berukuran besar (nomor 1) dan berukuran kecil (nomor 2) berukuran tinggi ± 40 cm, dan bisa diangkat. Tiga arca kepala lainnya menggunakan penutup kepala berupa helm (nomor 4,5, dan 6). Ada pula yang digambarkan seperti topeng seperti pada arca kepala yang diberi nomor: 4 dari situs Rindu Hati.

Secara konotasi, gambaran kepala dapat diartikan sebagai mewakili bagian dari keseluruhan tubuh manusia. Seperti halnya pada foto kepala (pasfoto) adalah juga mewakili gambaran keseluruhan orang yang dimaksud. Dengan demikian, gambaran kepala manusia adalah hal yang sangat penting. Adapun pesan yang ingin disampaikan dari konotasi ini adalah bahwa bagian kepala adalah bagian yang dianggap mempunyai kesaktian sehingga menjadi penting. Ada alasan mengapa bagian kepala menjadi hal yang penting untuk ditampilkan atau digambarkan daripada bagian tubuh yang lain. Menurut Kruyt dalam Koentjaraningrat (1993, hlm. 11--48), dalam kepercayaan animisme dan dinamisme, tubuh manusia mempunyai zat halus yang dapat memberi kekuatan hidup (gaib) yang disebut dengan zielestof, yaitu bagian kepala, wajah, rambut, kuku, jeroan, pusat ludah keringat, air mata, air seni, dan kotoran manusia. Selain itu, alat kelamin juga dianggap mempunyai kekuatan gaib dengan kemampuan reproduksi dan penciptaan. Gambaran wajah kaku, makin seram makin sakral, dan menakutkan dianggap sebagai penolak bala dan dapat mengusir roh jahat. Selain sebagai penolak bala, wajah menakutkan ini juga untuk menakut-nakuti roh jahat.

Di situs Talang Pagar Agung, arca kepala (nomor 2) ditemukan dalam bilik batu. Kubur ini adalah tempat yang suci dan sakral sehingga arca kepala tersebut merupakan benda suci yang sangat penting. Arca itu digambarkan dengan ekspresi wajah seram dan menakutkan dengan bentuk mata bulat melotot dan mulut seolah mengatup seolah memperlihatkan ekspresi seram dan menakutkan bahkan dalam bentuknya yang seperti “topeng”. Pahatan kedok muka juga ada pada sarkofagus di Bali (Soejono, 2008). Bentuk mata melotot, memberikan kesan seram, yang dimaksud adalah sebagai lambang penolak bala. Penggambaran yang semakin seram akan semakin ditakuti oleh makhluk-makhluk lain yang dapat mengganggu perjalanan arwah.

(27)

481

Kepala dapat juga menyampaikan pesan sebagai pemimpin, sebagai tanda orang yang mepunyai kekuasaan dan dihormati, biasanya seorang kepala suku. Apabila ia meninggal, segala yang berhubungan dengan kepemimpinan tersebut dimanifestasikan, dihormati dan dilindungi, yang semuanya dilakukan dengan mengadakan suatu upacara besar untuk menghormati arwah yang sesudah meninggal sebagai leluhurnya. Oleh karena itu, untuk menghormati orang yang sudah meninggal tersebut, kepalanya diberi penutup kepala sebagai tanda kebesaran dan penghormtan. Dengan demikian, pesan yang ingin disampaikan adalah selain berfungsi sebagai pelindung baik dari cuaca maupun dari roh-roh jahat, penutup kepala mungkin juga berfungsi sebagai manisfestasi ingin lebih menghormati orang yang meninggal atau dapat menunjukkan bahwa orang yang dikuburkan berasal dari kalangan tertentu—bukan kalangan biasa. Hal ini juga menunjukkan identitas dan salah satu cara merepresentasikan seorang pemimpin. Pada masa sekarang, bentuk dan material penutup kepala dapat dianggap sebagai atribut sosial yang juga menunjukkan kedudukan seseorang di dalam masyarakat. Misalnya, golongan pemuka agama memakai sorban, sedangkan golongan ksatria memakai helm. Siapapun bisa mengenakan penutup kepala. Yang membedakan adalah material dan bentuknya yang disesuaikan dengan norma-norma pada suatu masyarakat.

Penggambaran wajah seram, kesan menakutkan, baik dalam ukuran besar maupun kecil, adalah merupakan hal yang biasa ditemukan dalam peninggalan nenek moyang manapun di dunia, khususnya, di tempat-tempat tertentu yang berkaitan dengan pemujaan arwah, baik itu di kuburan atau di tempat-tempat tertentu yang berkaitan dengan orang meninggal. Oleh karena itu, wajar apabila temuan arca kepala dengan wajah menakutkan, misalnya seperti topeng, terdapat di dalam kubur batu, seperti temuan arkeologis di Situs Talang Pagar Agung, Kabupaten Lahat. Begitu pula dengan penggambaran arca kepala besar yang sekarang disimpan di Museum Balaputradewa Palembang; dapat menunjukkan bahwa bagian kepala manusia adalah benda yang sangat penting dan dianggap mempunyai kekuatan sakti untuk menolak bala serta dapat melindungi diri dari gangguan roh-roh jahat, dalam perjalanan manusia yang sudah mati ke alam arwah. Apalagi jika orang yang meninggal adalah pemimpin, kepala suku, atau orang yang dihormati. Semakin besar arca kepala yang dibuat; semakin besar penghormatan kepada arwah leluhur; dan semakin besar kesaktian yang dimiliki. Tanda penghormatan itu dapat pula digambarkan dengan diberi perhiasan pada telinga ataupun

(28)

482

penutup kepala. Bentuk dan ekspresi sengaja diciptakan untuk menolak bala atau gangguan roh jahat yang dapat menganggu perjalanan arwah ke dunia atas/dunia arwah. Beberapa ekspresi arca digambarkan dengan kesan wajah orang tua, bukan wajah anak. Wajah orang tua dianggap mempunyai wibawa besar, sedangkan wajah anak-anak dianggap tidak memunyai wibawa. Di daerah Sumba, Indonesia bagian timur, masyarakatnya masih menjalankan tardisi megalitik—wajah orang tua menjadi prasyarat untuk membuat arca menhir. Dengan penggambaran wajah orang tua, diharapkan arca mempunyai wibawa yang besar sehingga dihormati oleh yang masih hidup dan juga memberi penghargaan tinggi kepada arwah leluhur dalam laku penghormatan dan pemujaan (Sukendar, 1993, hlm. 375). Kesan ini tampak nyata pada arca wajah figur manusia menunggang gajah dan membawa senjata di Situs Gunung Megang serta wajah figur manusia membawa nekara dan membawa belati dari Situs Belumai. Kedua arca ini berasosiasi dengan kubur batu. Gambaran penutup kepala berupa helm, mengingatkan akan tokoh prajurit sebagai lambang tokoh pejuang yang selalu bertempur melawan musuh. Gambaran pertempuran dan perjuangan ini bisa saja diartikan sebagai suatu komunitas yang selalu berjuang menundukkan alam yang ganas pada waktu itu. Alam yang juga penuh dengan binatang buas dan menghadapi serangan dari suku-suku lain. Selain musuh yang nyata juga ada musuh yang bersifat gaib, seperti roh-roh jahat yang dapat mengganggu perjalanan ke alam arwah

Di dalam kepercayaan megalitik, menghormati arwah leluhur adalah suatu keharusan, begitu pula menghormati orang tua, pendahulu, yang pada akhirnya dianggap sebgai nenek moyang adalah suatu yang terus dilakukan sepanjang kehidupannya untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di dunia. Arwah leluhur dianggap mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk membantu hasil panen melimpah dan menjauhkan rakyat dari bahaya yang mengancam. Mengadakan upacara pemujaan untuk menghormati dan melindungi perjalanan arwah leluhur dipercaya dapat mengabulkan apa yang diminta rakyatnya.

(29)

483 ... Denotasi makna primer Konotasi makna sekunder Sistem Sekunder

Gambar 2: Skema Konotasi Arca Pasemah Menurut Model Barthes E2.

- Ada pengagungan terhadap hewan tertentu yang dianggap mempunyai utiliti seperti gajah dan kerbau

- Hewan sebagai kendaraan arwah (gajah dan kerbau) - Wajah seram sebagai penolak bala

- Manusia dengan anak sebagai bentuk kasih sayang kepada yang lebih kecil (rakyat)

C.2

- Ada kepercayaan pada kekuatan alam seperti hewan-hewan, di samping puncak-puncak gunung - Gajah dan kerbau mempunyai tubuh besar dan kuat, dianggap mempunyai kekuatan supranatural dan juga sebagai kendaraan menuju alam arwah.

KONOTASI E1

berbagai bentuk dan variasi arca dengan kelengkapannya atributnya. Arca kepala, Arca manusia mengapit, menunggang dan memangku gajah; arca manusia mengapit dan menunggang kerbau, arca manusia diterkam harimau, dst.

C1

- Ada pengagungan atau penghormatan terhadap hewan-hewan tertentu yang dianggap mempunyai utiliti seperti gajah dan kerbau. -Hewan sebagai kendaraan arwah

-Wajah seram menunjukkan sebagai penolak bala -Penggambaran manusia dengan anak sebagai bentuk kasih sayang kepada yang

lebih kecil (rakyat) Sistem Primer Gambar 1: Skema Metabahasa Arca Pasemah Menurut Barthes

METABAHASA E2

Ada simbol dari bentuk dan atribut yang menunjukan adanya suatu hierarki, arca lengkap, kurang lengkap dan tidak lengkap (sedehana) dan wahananya

C2

berbagai bentuk dan variasi arca dengan kelengkapannya atributnya. Arca manusia mengapit, menunggang dan memangku gajah; arca manusia mengapit dan menunggang kerbau, arca manusia diterkam harimau, dst. E1

Berbagai bentuk: arca kepala, arca manusia, arca hewan,

arca manusia dan hewan

C1

Arca manusia dengan anak, manusia dengan gajah, manusia dengan kerbau, manusia dengan babi, manusia dengan buaya dan manusia dengan harimau Sistem Sekunder Sistem Primer Metabahasa Makna Sekunder Bahasa Objek Makna Primer

(30)

484

2.2 Tipe Arca Figur Manusia Tunggal

Arca figur manusia tunggal adalah arca figur manusia yang digambarkan secara utuh—bukan sebagian saja. Arca tersebut digambarkan memiliki kepala, badan, dan anggota badan, baik tangan, kaki, maupun keduanya. Arca ini digambarkan ada yang lengkap memakai penutup kepala dan perhiasan; ada juga yang tidak. Kelengkapan lainnya adalah nekara dan senjata berupa belati panjang yang dibawa, dan arca ini berasosiasi dengan kubur batu. Secara sintagmatik, penggambaran arca-arca figur manusia tersusun dari kepala, penutup kepala, badan, kaki, pakaian, perhiasan, lingkaran konsentris dan benda yang dibawa. Berikut ini adalah bebrapa gambaran sikap arca figur manusia tunggal:

Tipe arca figur manusia tunggal dapat dibaca sebagai arca figur manusia dengan sikap berdiri, ada yang memakai destar, membawa senjata berupa belati pajang dan nekara. Arca tersebut memakai busana model ponco, memakai penutup kepala bentuk destar dan memakai perhiasan berupa anting, dua gelang tangan. Arca lainnya dapat dibaca sebagai arca figur manusia duduk dan arca figur manusia rebah. Proses

III. TANDA

Kehidupan akhirat digambarkan di alam dunia

Gambar 3: Proses Semiologis Arca Pasemah menurut Skema Mitis Barthes, (2010).

1. Penanda

Ada hierarki dari simbol berbagai bentuk dan variasi arca dengan kelengkapannya atributnya yang menunjukkan arca lengkap, kurang lengkap dan tidak lengkap (sedehana) dengan wahana-wahananya.

2. Petanda

- kepercayaan pada leluhur, (ancestor worship), berkembang subur dan kehidupan sangat tergantung pada alam. - Ada tata masyarakat yang teratur, ada pemimpin dengan atribut lengkap, ada rakyat dengan atribut sederhana.

3. Tanda I.PENANDA:

Tingkat kebudayaan masyarakat Pasemah masih berada pada tingkat misstis

II. PETANDA Kultus nenek moyang sebagai pemilik kekuasaan tertinggi (divine power);

Pemujaan terhadap hewan sebagai simbol kekuatan supranatural, dll. Bahasa Mitos 2 3 4 6 5 1

(31)

485

selanjutnya berdasarkan sistem yang terbentuk dari tataran pertama atau denotasi yang menggambarkan arca secara harafiah, dengan melihat konteks temuan lainnya dalam suatu situs, maka dapat diberi makna sesuai dengan konteksnya. Kubur batu adalah tempat yang sakral dan dianggap paling mudah untuk berhubungan dengan roh-roh nenek moyang orang yang sudah meninggal dunia (Koentjaraningrat, 1992, hlm. 254). Dengan demikian, arca yang berasosiasi dengan kubur batu merupakan arca yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral pula, misalnya, sebagai arca penjaga kubur batu, pengawal dari gangguan roh-roh jahat yang mengganggu perjalanan, dan sebagainya.

Dari gambaran ini diketahui bahwa gambaran arca yang paling lengkap adalah arca figur manusia dari Situs Belumai. Berdasarkan atribut di dalam hierarkinya, ia menduduki tempat yang paling tinggi, yang bisa saja melambangkan pemimpin ataupun pemuka agama. Belati atau senjata dikonotasikan sebagai lambang kekuasaan. Jadi, mereka yang memakai belati adalah orang yang berkuasa. Sementara itu, nekara adalah alat upacara, alat yang menimbulkan bunyi tabuhan dan ritme tertentu. Nekara adalah benda suci. Orang yang membawa kedua benda tersebut sudah tentu merupakan manifestasi dari orang yang sangat tinggi kedudukannya, dalam hal ini adalah pemuka agama.

Pada arca figur manusia berdiri, yang paling lengkap unsurnya adalah arca Belumai 1, sedangkan empat arca lainnya dipahatkan bagian muka saja, yang menunjukan ciri-ciri arca menhir.

Pemuka agama juga berperan sebagai pemimpin upacara yang menghubungkan antara alam roh yang berisi pengaruh-pengaruh kuat dan tidak kelihatan kepada masyarakat yang melakukan upacara. Oleh karena itu, perannya sangat besar dan penting dalam menyambungkan dunia yang nyata dan tersembunyi atau sedikit orang yang mengetahui. Ia dianggap sebagai orang yang mempunyai ilmu pengetahuan, mampu menghimpun kekuatan dari dunia yang berada di luar jangkauan manusia biasa. Pada masa sekarang, orang yang mempunyai pengetahuan tersebut biasanya disebut dengan dukun (Atkinson, 1985, hlm. 7--13). Pemuka agama mempunyai status sosial yang tinggi karena dianggap cakap dan memiliki ilmu pengetahuan serta mampu melakukan banyak hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa. Di dalam masyarakat yang masih sederhana, kepemimpinan ditentukan oleh kekuatan sakti yang dimilikinya dan mampu menguasai urusan masyarakat yang tidak dimiliki oleh individu lain. Kepemimpinan

Gambar

Gambar 1. Metabahasa (diadaptasi dari Barthes (1957))
Tabel 1. Perbandingan Cara Pandangan Tionghoa dan Non-Tionghoa Terhadap ET
Gambar 4. Konotasi ET dalam Perspektif  Non Tionghoa E2  R2 C2 E1  R1   C1 Tionghoa Orang keturunan Tiongkok ‘Pelit’  ‘Eksklusif’  ‘Menguasai Ekonomi’
Gambar 2: Skema Konotasi Arca Pasemah  Menurut Model Barthes E2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan ( Burn dalam Dhieni:2008:7) membaca merupakan proses penerimaan simbol oleh sensori, kemudian menginterprestasikan simbol, atau kata yang dilihat atau

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

diketahui pula bahwa semakin tinggi afek negatif suatu keluarga akan semakin tinggi pula konflik orangtua dan perilaku internal yang terjadi pada anak. Berdasarkan hasil

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tekanan penyebab trauma yang dialami oleh tokoh Ajo Kawir, dampak trauma yang diderita, dan mendeskripsikan bentuk

Aliterasi ‘persamaan bunyi konsonan yang digunakan dalamPuisi Kerikil tajam dan yang Terampas dan yang Putus karya Chairil Anwar adalah bunyi konsonan /p/, /s/, /g/,

Pada pengujian calon induk dari 24 famili yang dihasilkan secara komunal diperoleh keragaan pertumbuhan terbaik pada populasi persilangan antara betina GIMacro dengan jantan Musi

Rata-Rata Populasi Tetran,;,chus pada Tanaman Berumur 4 Bulan di Pertanaman Bagian Pinggir dan Tengah. Rata-Rata Papulasi Tetran,;,chus pad a Tanaman Berumur 7

Karena metode penangguhan tidak menggunakan tarif pajak yang akan berlaku saat perbedaan temporer mengalami pembalikan, mereka tidak dapat mengukur kemungkinan manfaat atau