• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA POSITIVE RELIGIOUS COPING STYLE DENGAN PENERIMAAN DIRI SURVIVOR GEMPA YOGYAKARTA INTISARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA POSITIVE RELIGIOUS COPING STYLE DENGAN PENERIMAAN DIRI SURVIVOR GEMPA YOGYAKARTA INTISARI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA POSITIVE RELIGIOUS COPING STYLE DENGAN PENERIMAAN DIRI

SURVIVOR GEMPA YOGYAKARTA

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara positive religious coping style dengan penerimaan diri survivor gempa Ygyakarta. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah ada hubungan positif antara positive religious coping style dengan penerimaan diri survivor gempa Yogyakarta, yaitu semakin tinggi positive religious coping style yang dilakukan individu, maka semakin tinggi pula penerimaan dirinya. Sebaliknya, semakin rendah positive religious coping style yang dilakukan maka semakin rendah pula penerimaan dirinya.

Subyek dalam penelitian ini adalah orang-orang yang selamat dari gempa Yogyakarta, yang beragama Islam. Jumlah subjek sebanyak 75 orang. Adapun skala yang digunakan adalah skala positive religious coping style yang mengacu pada Brief Rcope Items and Factor Loadings for Oklahoma City Study (Pargament, 1998) dan disusun dari tujuh aspek yang dikemukakan Pargament, sementara skala penerimaan diri survivor gempa disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan Sheerer (1949; Cronbach, 1963).

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi product moment Pearson melalui prosedur bivariate correlation dari program SPSS 11,0 for Windows untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kedua variabel. Analisis data menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan sebesar 0,596 (p = 0,000 atau p < 0,01). Hal ini berarti, meningkatnya positive religious coping individu diiringi dengan meningkatnya tingkat penerimaan diri survivor gempa. Hasil analisis tambahan menunjukkan, dari tujuh aspek positive religious coping, hanya ada empat aspek yang mempengaruhi penerimaan diri, yaitu benevolent religious reappraisal, spiritual connection, religious purification, dan religious forgiveness Kata Kunci : Positive Religious Coping Style, Penerimaan Diri Survivor Gempa

(2)

HUBUNGAN ANTARA POSITIVE RELIGIOUS COPING STYLE DENGAN PENERIMAAN DIRI

SURVIVOR GEMPA YOGYAKARTA

Pengantar

Gempa di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 disebabkan Gerakan Blok Sesar / Patahan yang dipicu oleh zona penunjaman lempeng tektonik di Laut Selatan Yogyakarta, lokasi gempa 37 km di selatan kota Yogyakarta pada kedalaman 17 km (Nunik, 2006).

Data menunjukkan bahwa korban meninggal di seluruh DIY dan Jawa Tengah mencapai 5872 orang, dengan perincian 4772 di DIY dan 1010 di Jawa Tengah, dengan korban luka 33.752 orang, puluhan ribu rumah rusak, dan ribuan fasilitas umum juga mengalami kerusakan (Mediacenter, 2006).

Perubahan mendadak dalam kehidupan, sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Bencana gempa bagi sebagian warga Yogyakarta, telah membuat perubahan mendadak dalam kehidupan sehari-hari. Bagi yang mentalnya tidak kuat menerima perubahan buruk tersebut, akan mengalami trauma. Bahkan mengarah pada ketidak-sehatan jiwa dan trauma yang berkepanjangan bila perubahan tersebut sangat buruk bagi kehidupannya (Jon, 2006).

Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Depkes RI, Dr. Rustam S Pakaya, MPH dalam Laporan Perkembangan Masalah Kesehatan Akibat Gempa Bumi (Sonorajogjamediacenter, 2006) menyatakan bahwa tekanan dan ketegangan yang

(3)

meningkat dari hari ke hari pada gilirannya akan berpengaruh pada kondisi jasmaniah-fisiologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pakaya juga mengajukan beberapa cara untuk mengurangi stress diantaranya dengan: mengenal diri, yaitu dengan menerima kelebihan dan kekurangan diri, dan melakukan olahraga secara tepat dan teratur

Berbagai perubahan yang terjadi pada korban gempa menuntut mereka untuk melakukan penyesuaian terhadap keadaan mereka. Sidell (Sidell, 1997; Gordon 2002) menyatakan bahwa sikap yang muncul saat individu melakukan penyesuaian dan adaptasi terlihat sebagai sebuah mekanisme coping yang unik pada setiap orang.

Lazarus (McCrae, 1984; Gorsuch and Schaefer, 1993) menyatakan bahwa coping adalah suatu pelaksanaan respon atas ancaman yang muncul. Pada awalnya, beberapa teori menyatakan bahwa coping secara garis besar adalah proses secara tidak sadar terhadap konflik intrapsikis, namun kemudian Lazarus model memperlihatkan bahwa stressor secara umum berasal dari lingkungan eksternal individu dan respon coping merupakan strategi sadar individu.

Menghadapi semua permasalahan kehidupan, manusia sadar bahwa ia tidak bisa menghadapi semua permasalahannya sendirian. Saat ini mulai terlihat bahwa manusia mulai kembali kepada hal-hal yang berbau agama dan spiritual untuk membantu mengatasi permasalahan kehidupan yang semakin luas serta kompleks. Najlah Naqiyah (Naqiyah, 2005) dalam artikelnya untuk Penanganan Trauma Pasca Tsunami menyatakan ada beberapa intervensi yang tepat untuk meringankan dampak negatif trauma dan ancaman yang dialami korban gempa,

(4)

yakni salah satunya adalah dengan identitas religius / spiritual. Hal ini mencerminkan kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada relaitas kehidupan. Agama berperan mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup. Dikatakannya bahwa dalam penghayatan keislaman, terdapat pengembangan kesadaran bahwa sesuatu akan kembali kepada Tuhan (innalillahi wa inna ilaihi rajiun). Konsep ini akan memberikan penerimaan tulus atas musibah. Makna yang diresapi seperti kepasrahan total kepada Tuhan akan lebih memudahkan individu membantu dirinya sendiri (self help).

Hal ini menimbulkan asumsi bahwa positive religious coping dapat meningkatkan penerimaan diri survivor gempa. Di dalam hal ini, agama dibutuhkan dalam proses coping untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam kehidupan seseorang. Untuk itulah, maka peneliti tertarik untuk meneliti peranan positive religious coping style dalam penerimaan diri survivor gempa.

Metode Penelitian

Dalam mengambil data yang diperlukan pada penelitian ini, peneliti menggunakan skala, artinya digunakan skala-skala psikologis untuk mengungkap atribut-atribut psikologis yang dijadikan variabel dalam penelitian. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Positive Religious Coping Style serta Skala Penerimaan Diri survivor gempa.

Skala Positive Religious Coping Style terdiri dari 33 aitem yang disusun berdasarkan Brief Rcope Items and Factor Loadings for Oklahoma City Study

(5)

(Pargament, 1998), yang terdiri dari tujuh aspek, yakni: Seeking spiritual support (Mencari dukungan spiritual), Religious forgiveness (Pengampunan religius), Collaborative religious coping (Religius Coping kolaboratif / kerja sama), Spiritual connection (Keterhubungan secara spiritual), Religious purification (Penyucian secara agama), Benevolent religious reappraisal (Penilaian agama yang menguntungkan), Religious focus (Fokus secara religius) (Pargament, dkk, 1998).

Skala Penerimaan Diri survivor gempa terdiri dari 34 aitem, disusun dari aspek-aspek yang dikemukakan Sheerer (1949; Cronbach, 1963) yaitu: Memiliki keyakinan akan kapasitasnya untuk menghadapi kehidupan; Menghargai dirinya sebagai personal yang sederajat dengan orang lain; Tidak memandang dirinya sebagai aneh ataupun abnormal, tidak berpikir bahwa orang lain menolaknya; Tidak pemalu atau sadar diri; Berani bertanggung jawab atas perilakunya sendiri; Mengikuti standar personal termasuk pada saat menyesuaikan dengan tekanan eksternal; Menerima kritik dan pujian secara objektif; Tidak menyalahkan dirinya atas keterbatasan yang dimiliki atau mengingkari kelebihan yang dimiliki; Tidak mengingkari dorongan-dorongan dan emosi yang ada pada dirinya, ataupun merasa bersalah atasnya.

Masing-masing skala terdiri dari item-item favourable dan unfavourable yang memiliki lima alternatif jawaban dengan skor 1-5, yaitu: sangat sesuai (SS), sesuai (S), kurang sesuai / antara sesuai dan tidak (KS), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS).

(6)

Sebelum digunakan dalam penelitian, masing-masing skala diuji cobakan terlebih dahulu untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan mengambil data try out dan diolah dengan SPSS 11,00 for windows untuk mendapatkan hasil uji validitas dan uji reliabilitas skala. Analisis menghasilkan Skala Penerimaan Diri survivor gempa yang memiliki Koefisien Alpha sebesar 0,7839 dengan koefisien korelasi item berkisar antara 0,2593 sampai dengan 0,6376, sementara Skala Positive Religious Coping Style memiliki Koefisien Alpha sebesar 0,8950 dengan koefisien korelasi item berkisar antara 0,3092 sampai dengan 0,7350.

Hasil Penelitian

Uji normalitas dengan menggunakan tekhnik one sample kolmogorof smirnof test dari program SPSS 11,0 for Windows diperoleh sebaran skor variabel penerimaan diri adalah normal dengan nilai K.S.Z = 0,895 (p = 0,400 atau p > 0,05). Sementara hasil sebaran skor variabel positive religious coping style adalah normal dengan K.S.Z = 0,795 (p = 0,553 atau p > 0,05).

Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan analisis statistik compare means SPSS for Windows 11.0 dan diperoleh bahwa variabel penerimaan diri dan positive religious coping style adalah linear dengan F = 46,699 (p = 0,000 atau p < 0,05). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan variabel penerimaan diri dan positive religious coping style mengikuti garis linear (membentuk garis

(7)

lurus) dan kecenderungan menyimpang dari garis linearnya sebesar p = 0,186 atau p > 0,05.

Analisis data untuk mengetahui hubungan kedua variabel menggunakan korelasi product moment Pearson melalui prosedur bivariate correlation dari program SPSS 11,0 for Windows. Dari hasil analisis, diperoleh besarnya koefisien korelasi antara variabel penerimaan diri dan positive religious coping style adalah 0,596 (p = 0,000 atau p < 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi yang sangat signifikan antara variabel penerimaan diri dan positive religious coping style pada survivor gempa, sehingga hipotesis yang diajukan dapat diterima.

Hasil lain yang diperoleh adalah nilai koefisien determinasi (R squared) sebesar 0,355 yang berarti bahwa positive religious coping memberikan sumbangan efektif sebesar 35,5 % terhadap penerimaan diri pada survivor gempa.

Analisis tambahan yakni analisis mengenai hubungan antara aspek-aspek positive religious coping style dengan variabel penerimaan diri untuk melihat seberapa jauh tiap-tiap aspek variabel independent mempengaruhi variabel dependent. Analisis dilakukan dengan analisis regresi, yang memperlihatkan bahwa dari tujuh aspek yang ada pada variabel positive religious coping style, hanya ada empat aspek yang berperan mempengaruhi penerimaan diri pada survivor gempa. Keempat aspek itu adalah Benevolent religious reappraisal, Spiritual connection, Religious purification, dan Religious forgiveness.

Kombinasi keempat aspek mempengaruhi variabel penerimaan diri dengan koefisien determinasi (adjusted R square) sebesar 0,411. Hal ini berarti bahwa 41,1 % dari variabel penerimaan diri pada survivor gempa dapat dijelaskan oleh

(8)

kombinasi aspek Benevolent religious reappraisal, Spiritual connection, Religious purification dan Religious forgiveness, sedangkan sisanya (100 % - 41,1 % = 59,9 %) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain.

Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris hubungan antara positive religious coping style dengan penerimaan diri pada survivor gempa Yogyakarta. Berdasarkan hasil analisis dari data yang diambil dari lapangan, terlihat bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara variabel penerimaan diri dan positive religious coping style pada survivor gempa, dan dari sekian faktor yang meningkatkan penerimaan diri survivor gempa, positive religious coping style berperan memberikan 35,5 %.

Najlah Naqiyah (Naqiyah, 2005) menyatakan bahwa identitas religius / spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas pengalaman hidup, karena dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan makna luar biasa kepada realitas kehidupan, agama akan mampu mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan tulus atas musibah yang terjadi. Sementara literatur menunjukkan bahwa individu cenderung melihat Tuhan dan perkumpulan agama (God and their congregation) sebagai sebuah sumber cinta dan dukungan dibandingkan sebagai sumber rasa sakit dan hukuman (e.g., Croog and Levine 1972; Bearon and Koenig 1990; Pargament, 1998). Hal ini sesuai dengan hasil

(9)

penelitian yang memperlihatkan hubungan yang sangat signifikan antara positive religious coping style dengan penerimaan diri pada survivor gempa.

Penerimaan diri yang tinggi akan bencana yang menimpa dan tingkat positive religious coping style yang tinggi secara otomatis memperlihatkan korelasi antara keduanya. Hal ini terlihat pada kondisi subjek yang rata-rata memiliki tingkat penerimaan diri yang sedang (37 orang) dan tinggi (36 orang) dan sisanya sangat tinggi, sementara tingkat positive religious coping style subjek sedang dan tinggi dengan mayoritas memiliki tingkat positive religious coping style yang sangat tinggi (52 orang). Kondisi subjek yang mengarah pada positive religious coping style yang sangat tinggi kemungkinan disebabkan oleh dasar religius masyarakat, yakni adanya budaya agamis (Islam) yang berusaha ditanamkan oleh masyarakat sendiri.

Studi awal yang dilakukan oleh Pargament (Pargament, 1998) mengenai positive-negative religious coping menjelaskan ada dua pola religious coping style yakni positive dan negative, dimana positive religious coping lebih dominan digunakan oleh individu. Dalam hal ini, memperlihatkan bahwa ada kecenderungan positif individu akan agama yang digunakan dalam proses coping, yang nantinya akan menentukan langkah yang akan diambil, sehingga individu akan melakukan penilaian secara religius, memiliki tujuan religius dalam coping, dan melakukan aktivitas coping religius. Dengan semua fungsi agama tersebut, maka agama akan mengurangi kesedihan dan psychological distress (e.g., Cook & Wimberley, 1983; McIntosh et al, 1993; The Fetzer Institute, 1999; Tixand Frazier, 1998; Pargament, et. al., 1992).

(10)

Hasil analisis regresi data di lapangan memperlihatkan bahwa dari ketujuh aspek positive religious coping style, ada empat aspek yang benar-benar berpengaruh pada penerimaan diri survivor gempa, yakni Benevolent religious reappraisal, Spiritual connection, Religious purification, dan Religious forgiveness.

Benevolent religious reappraisal memperlihatkan bahwa survivor mampu menggambarkan / mendefinisikan kembali situasi gempa melalui agama secara baik dan menguntungkan, yakni bagaimana individu tetap berusaha untuk khusnudzon (berprasangka baik kepada Tuhannya) sesuai dengan konsep Islam untuk membentuk keikhlasan dalam hati umatNya.

Spiritual connection memperlihatkan bahwa survivor gempa berusaha mencari mencari rasa keterhubungan dengan kekuatan transenden yakni Allah SWT yang telah memberikan musibah atau cobaan gempa. Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall (Zohar & Marshall, 2002), dengan cerdas secara spiritual, orang akan mampu untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan, karena ia akan memiliki tanggapan terhadap situasi yang menyakitkan / tidak menyenangkan serta memaknainya. Selain itu, individu akan mengenali motif diri yang paling dalam, memiliki kesadaran diri yang tinggi, serta akan terbuka menerima pengalaman. Hal-hal inilah yang akan mengarahkan individu pada penerimaan diri.

Religious purification memperlihatkan bahwa individu berusaha untuk mencari pembersihan spiritual melalui amalan religius. Hal ini didasarkan pada konsep ketakwaan di dalam Islam. Muhammad ‘Ustman Najati (Najati, 2000) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan takwa yakni hendaknya seseorang

(11)

menjaga dirinya dari murka dan adzab Allah SWT dengan cara menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat dan senantiasa mematuhi ajaran Allah. Saat seseorang memiliki keinginan untuk memiliki ketakwaan ini, maka ia akan terdorong untuk berperilaku baik, mengembangkan potensi diri, dan menghindari perilaku yang negatif dan menyimpang. Religious purification inilah yang nantinya akan mengarahkan individu pada kematangan dan keseimbangan kepribadian, yang pada akhirnya mengantarkan individu pada kebahagiaan dan kesehatan mental.

Religious forgiveness, memperlihatkan bahwa individu berusaha mencari pertolongan agama dengan membiarkan pergi setiap kemarahan, rasa sakit dan ketakutan yang berkaitan dengan sakit hati, dalam hal ini adalah ketakutan, kekecewaan, kehilangan, dan kekhawatiran yang muncul akibat gempa. Dalam Islam, terdapat konsep bahwa dalam menghadapi musibah, manusia harus mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Konsep keimanan dalam Islam yang mencakup ucapan, hati dan perilaku juga berlaku dalam hal ini, bahwa kata innalillahi wa inna ilaihi raji’un bukan hanya sekedar pengucapan semata, namun diikuti dengan pengembangan kesadaran bahwa segalanya adalah milik Tuhan (Allah) dan semuanya pasti akan kembali kepada Tuhan, dimana harus tampak dalam keseharian adanya penerimaan yang tulus akan kehilangan yang dialami dan kondisi yang ada saat ini.

Pargament mengemukakan penelitian Conway (Pargament, 1992) yang menyatakan bahwa agama pada umumnya terlibat dalam proses coping. Dalam penelitian ini, religius dijadikan dimensi tersendiri (aspek) dalam coping (The

(12)

religious dimension of coping). Hal ini kemungkinan berhubungan dengan teori Pargament (Pargament, dkk, 1992; Pargament, dkk, 1998) mengenai sumber daya yang umum (generalized resources) dan aktivitas spesifik terhadap situasi (situation-specific activities).

Pargament mengemukakan bahwa agama bekerja dalam proses coping bila sumber daya yang umum (generalized resources) dirubah menjadi aktivitas spesifik terhadap situasi (situation-specific activities). Di hadapan stressfull life event, kepercayaan umum dalam beragama dan pengamalannya harus dirubah menjadi bentuk coping yang spesifik. Bentuk coping yang spesifik inilah yang nampak menjadi mediator kritis antara peristiwa khusus dalam kehidupan, sumber daya umum dan hasil akhir (Pargament, dkk, 1992; Pargament, dkk, 1998). Hasil penelitian awalnya mendukung pendapatnya ini, dan data menunjukkan bahwa religious coping lebih memiliki memiliki implikasi langsung terhadap kesejahteraan individu (well-being) dalam menghadapi masa sulit bila dibandingkan dengan sumber daya umum yang didapat dari agama.

Selanjutnya, Pargament (Gorsuch, 1993) menyatakan bahwa secara khusus, religius coping efektif dalam menghadapi aspek-aspek tertentu dari situasi stressor, semacam sesuatu yang di luar kontrol personal.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara variabel penerimaan diri dan positive

(13)

religious coping style pada survivor gempa. Semakin tinggi positive religious coping style yang dilakukan individu, maka semakin tinggi pula penerimaan dirinya. Sebaliknya, semakin rendah positive religious coping style yang dilakukan individu, akan semakin rendah pula penerimaan dirinya. Dengan demikian hipotesis yang diajukan dapat diterima.

Di samping itu, hasil analisis regresi data di lapangan memperlihatkan bahwa dari ketujuh aspek positive religious coping style, ada empat aspek yang benar-benar berpengaruh pada penerimaan diri survivor gempa, yakni Benevolent religious reappraisal, Spiritual connection, Religious purification, dan Religious forgiveness.

Saran-saran

Di dalam penelitian ini, terdapat beberapa kekurangan yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti mencoba untuk memberikan beberapa saran.

Untuk subjek penelitian, menghadapi musibah yang terjadi, hendaknya survivor bersikap lebih terbuka menerima secara ikhlas apa yang terjadi, tanpa melupakan bahwa semua orang harus tetap berjuang untuk melanjutkan hidup. Bukan hanya sekedar menyambung hidup, melainkan untuk memperbaiki situasi dan kondisi yang ada saat ini. Diharapkan, survivor meningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhannya dan menetapkan hati dalam keyakinannya akan Tuhan, dengan berprasangka baik kepada Allah apapun yang terjadi, dengan

(14)

meningkatkan kepedulian terhadap sesama serta saling mendukung dan menolong satu sama lain, meningkatkan ibadah-ibadah agama, serta menghilangkan perasaan-perasaan buruk yang muncul.

Untuk para relawan, pembimbing, dan konselor survivor gempa hendaknya mengarahkan survivor gempa untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaannya dalam menghadapi musibah yang terjadi.

Pemerintah / pejabat setempat hendaknya dapat mempertahankan tradisi keagamaan dalam masyarakat yang sudah ada selama ini, serta terus meningkatkannya dan mendukung kegiatan keagamaan yang ada di masyarakat, sebab peran sosial dalam menghadapi musibah sangatlah penting.

Untuk penelitian ke depan, perlu lebih mencermati metode pengambilan data serta pada saat proses pengambilan data, seperti menjalin hubungan dengan survivor gempa, sehingga jawaban yang dituangkan adalah berdasarkan kepercayaan dan tidak merasa menjadi suatu beban. Penelitian ke depan diharapkan mampu lebih mengembangkan serta memperluas konsep religious coping, membentuk teori yang lebih mendalam dan ilmiah sesuai dengan agama dan budaya keIslaman.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

R DENGAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN : TYPHUS ABDOMINALIS DI RUANG BOUGENVILLE RSUD BOYOLALI Dalam penyusunan laporan tugas akhir ini penulis menyadari masih

Perkembanga titik panas atas hotspot pada hari ini pukul 17.00 WIB berdasarkan pantauan citra satelit NOAA-18 total Sumatera Nihil dan Riau Nihil, Confidance 70% Riau Sejumlah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pro- ses terapi murottal yang dilakukan pada anak ADHD dan untuk mengetahui pe- ngaruh terapi

Tujuan penelitian ini adalah : mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengisian buku KIA dalam deteksi dini risiko tinggi ibu hamil di Puskesmas

Adapun alokasi untuk memenuhi target IKU tersebut di dalam DIPA DJA TA 2017 telah dialokasikan pendanaan dengan pagu sebesar Rp197.726.000,- dengan realisasi sebesar

Tombol ini berguna untuk memasukkan lagu ini ke dalam koleksi lagu favorit anda.. Tekan tombol ini jika ingin melihat preview videonya sebelum

2) investasi dalam bentuk dana talangan untuk penyehatan perbankan yang akan segera dicairkan dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan. 3) penanaman modal di

Hasil penelitia n menunjukkan bahwa untuk produksi kultur campuran, media LB memberikan hasil berupa aktivitas enzim yang relatif lebih besar dibandingkan dengan