• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses Perencanaan Hingga Pengesahan Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam Di Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semenjak tumbangnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi kebijakan Pemerintah tentang asas tunggal berubah. Ormas-ormas atau organisasi apapun mendapat angin segar untuk bernafas, sehingga tidak lagi semua organisasi berasaskan Pancasila. Banyak organisasi yang kembali ke khittahnya semula. Ormas-ormas Islam mengembalikan asasnya kepada Islam. Ormas Islam yang dulunya bergerak di bawah tanah, karena tidak mau menerima asas tunggal, kembali hidup bebas di udara Republik Indonesia.

(2)

Sejak awal sejarah Indonesia, perkembangan penerapan syariah Islam di Indonesia telah dimulai dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara pada masa lampau. Upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang sangat besar, bukan saja dari para kalangan ulama, tetapi juga dukungan dari kalangan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan.

Kita masih dapat menyaksikan hingga saat ini jejak-jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam pada masa lampau di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi keberadaan hukum Islam. Berbagai kitab hokum Islam ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau Kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam, setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata, sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun Masjid besar di Ibukota Negara, sebagai wujud simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di Negara mereka.

(3)

dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia terdapat pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping adanya komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini. (Mahendra; 2008)“.

Berbagai suku yang datang ke Batavia tersebut menjadi cikal bakal orang Betawi di kemudian hari. Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun Mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru (Mahendra; 2008).

Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 Masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. (Al-Maududi; 1995)

Compendium Freijer itu sendiri ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa

(4)

lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa. (Al-Maududi; 1995)

Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya.

(5)

Tidak ada catatan yang rinci untuk memastikan kapan perda-perda yang bernuansa syariah itu muncul di Indonesia. Namun melihat perkembangannya Perda syariah mulai tumbuh ketika perdebatan panjang tentang perubahan UUD 1945, 1999, 2002 yang juga terjadi perdebatan tentang berlakunya syariah islam di Indonesia. Kemudian diterapkan di daerah khusus NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Hal ini menjadi lebih semarak dengan seiring menguatnya dorongan atas pelaksanaan otonomi daerah di awal-awal tahun 1999. Ditahun-tahun tersebut, bisa dikatakan sebagai era dimana Pemerintahan Daerah seperti burung yang mendapatkan kebebasannya hingga ia bisa melakukan apapun yang dibutuhkan dan disukainya. Dalam konteks kebebasan tersebut, Pemerintah lokal tidak hanya mulai membenahi diri secara struktural tapi juga melengkapi birokrasinya dengan berbagai produk Peraturan Daerah.(Santoso; 2000)

Seperti juga berbagai isu dan permasalahan yang terus datang timbul tenggelam, wacana perda bernuansa syariat menggelinding begitu saja ditengah keramaian perdebatan nasionalisme dan tuduhan terorisme terhadap umat Islam. Walau dengan definisi dan batasan yang tidak begitu jelas mengenai apa sesungguhnya indikator yang tepat bagi penamaan sebuah kebijakan syariah Islam, Perda-perda tersebut pada akhirnya lebih dikenal sebagai perda syariah. Karena, sekalipun tak disebut secara eksplisit sebagai Perda Syariat Islam, tak bisa disangkal bahwa dalam kebijakan daerah itu ada ideologi keislaman yang hendak ditegakkan melalui perda tersebut. Yaitu, menegakan kebenaran, memberantas kezaliman dengan asumsi-asumsi keislaman.

(6)

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Salah satu contoh pro dan kontra Perda Syariah terjadi di Kota Tasikmalaya

“Pemerintah Kota Tasikmalaya atas Perda No 12 tahun 2009 tentang Pembangunan

Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan pada Ajaran Agama Islam dan Norma-norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya.” (kompas.com rabu 6/6/2012).

Anehnya, Perda ini dikritik anggota dewan dan tokoh-tokoh Indonesia dan menganggapnya bertentangan dengan aturan (UU) yang lebih tinggi..Apa yang terkandung dalam Perda Tasikmalaya bahkan dikecam sebagai sesuatu yang inkonstitusional oleh aktivis LSM seperti Kelompok Setara Institute. (kompas.com rabu 6/6/2012).

Penelitian mengenai Perda Syariah yang bernuansa agama (khususnya Islam) dilakukan pada tahun 2007 oleh Robin Bush, diketahui sekitar 78 Perda, di 52 Kabupaten dan Kota, tidak termasuk SK Bupati, Walikota dan Gubernur dan draft yang belum diputuskan oleh DPRD. (Robin Bush; 2007).

(7)

keberadaan perda-perda syariah ini dapat dinilai sebagai sebuah ancaman terhadap hak-hak sipil dalam beragama, antara lain adalah: pertama, karena aturan yang ada dalam perda ini bersifat diskriminatif tidak hanya terhadap jenis kelamin tertentu yaitu perempuan tetapi juga terhadap umat beragama yang non Islam.

Kedua, karena aturan yang ada dalam perda ini membatasi hak seseorang untuk memilih agama dan kepercayaannya dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya tersebut. Ketiga, karena aturan yang ada dalam perda tersebut melanggar hak seseorang untuk menerima pendidikan sesuai dengan yang mereka inginkan. Keempat, karena aturan dalam Perda ini juga membatasi hak seseorang untuk membina keluarga seperti yang mereka inginkan. Dengan mewajibkan seseorang untuk terampil baca tulis Al-Quran, akan mempersulit sesorang yang ingin membina rumah tangga dalam melaksanakan niatnya, sementara baca tulis Al-Quran bukanlah syarat sah atau tidaknya sebuah pernikahan

(8)

Keleluasaan Pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan mendorong Pemerintah daerah menjadi sangat produktif dalam melahirkan kebijakan publik, termasuk Peraturan Daerah (perda). Hampir setiap jengkal kehidupan di daerah tak lepas dari Perda. Akibat terlalu banyaknya Perda yang dilahirkan, bahkan ada anggota DPRD dan Bupati yang lupa berapa jumlah Perda yang telah dikeluarkan. Karena begitu banyaknya Perda, Pemerintah pusat harus berpusing-pusing menelaah keberadaan perda yang tidak sesuai dengan Perundang-undangan Nasional. Saat ini setidaknya terdapat sekitar 12 ribu perda yang sedang direview dan siap untuk dibatalkan (Sumber: Tempo, 14 Mei 2006).

Akibat banyaknya pro kontra terhadap perda yang berbau syariah membuat pemerintah pusat juga turut memberikan tindakan. Media Indonesia sempat mengangkat masalah ini dalam editorialnya berjudul ‘Perda Sumber Masalah’ berpendapat bahwa Perda dibuat sebagai solusi bukan menjadi sumber masalah (Editorial Media Indonesia Kamis 20 Juli 2011).

Kebijakan kreatif yang dikeluarkan sejumlah penguasa di daerah justru menimbulkan biaya tinggi, yang akhirnya berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi baik lokal maupun nasional. Untuk mengatasinya diperlukan terobosan politik misalnya melalui audit legislasi nasional seperti yang ditawarkan Menko Polhukam dimana seluruh Perda yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan bertentangan dengan semangat UUD 1945 harus dicabut.

(9)

diskriminasi dan pengabaian kesataraan semua warga negara di depan hukum dalam Indonesia yang menganut negara hukum, bahkan hendak mengubah Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama (Islam).

Kekhawatiran demikian sangat beralasan mengingat didirikannya negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945--dengan segala amandemennnya, justru dimaksudkan sebagai dasar bagi negara demokrasi yang menjunjung tinggi kesamaan warga negara di depan hukum. Di beberapa daerah, praktik dari Perda dan aturan-aturan tersebut telah memberikan efek diskriminasi bagi pelayanan publik yang sangat nyata (Subair Umam dkk, 2007). Namun bagi para pendukungnya, proses ini adalah bagian dari perjuangan mereka yang belum selesai bagi didirikannya Indonesia itu sendiri. Kegagalan di tingkat nasional untuk mengubah Indonesia menjadi Negara agama (Islam) mendorong mereka untuk mengubah startegi dengan “desa mengepung kota”, yaitu memunculkan berbagai aturan yang bernuansa agama di derah-daerah untuk mengubah pondasi Negara Indonesia menjadi Negara berdasarkan agama Islam (Haedar Nasir, 2007). Salah satu hasil kebijakan publik di daerah adalah Perda. Sudah tentu lahirnya Perda sangat bersinggungan dengan kepentingan daerah bersangkutan. Perda yang kini ada cukup menjadikan isu untuk ditela’ah adalah perda yang mengacu dan bernuansa pada Syariah yang sudah diundangkan di berbagai daerah. Setidaknya terdapat 22 daerah yang mengimplemantasikan perda yang mengatur persoalan moralitas dan implementasi syariah Islam di semua lini kehidupan.

(10)

Tabel 1. Perda yang bernuansa syariah di Kabupaten/Kota

NO JENIS PERDA DAERAH PELAKSANA

1. Perda 24/2004 tentang Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat

Padang Pariaman

2. Perda 10/2001, wajib baca Quran untuk siswa dan pengantin. Perda 6/2002, Wajib Berbusana Muslim

Solok

3. Perda 11/2001, pemberantasan dan pencegahan maksiat

Sumatera Barat

4. Instruksi Walikota, 7-3-2005, pemakaian busana muslim

Kota Padang

5. Peraturan wajib busana muslim Siswa Pasaman Barat 6. Perda 24/2000 Pelarangan Pelacuran.

Instruksi Walikota 3/2004 Program peningkatan Keimanan

Kota Bengkulu

7. Perda 8/2005, Pemberantasan Maksiat Kota Tangerang 8. Perda13/2002 Pemberantaaan Maksiat Sumatera Selatan 9. Perda 2/2004 Pemberantasan Maksiat Kota Palembang 10. Edaran Walikota 29-8-2003,wajib jilbab

untuk siswa

Kota Cianjur

11. Program Gerakan Pembangunan Masyarakat berakhlaqul Kharimah, Sept 2001

Kabupaten Cianjur

12. Perda 6/2000 tentang Kesusilaan. Sedang dibentuk tim kajian perda penerapan Syariah Islam

Garut

13. Edaran Bupati 2001, Peningkatan Kualitas Keimanan dan Ketaqwaan

Tasikmalaya

14. SE Bupati 450/2002 Pemberlakuan Syariat Islam

Pamekasan

15. Perda 14/2001 Penanganan Pelacuran Jember 16. Perda 7/1999, Prostitusi, Surat Edaran

Bupati, wajib busana muslim dan baca Quran

(11)

untuk siswa

17. Perda 6/2002 Ketertiban Sosial, pemberantasan pelacuran, pengaturan pakaian dan pemberantasan kumpul kebo

Kepulauan Riau

18. Perda 10/2003 Pencegahan Maksiat Gorontalo 19. Perda 12/2003 Jilbab bagi PNS dan

penambahan jam pelajaran agama Islam

Gowa

20. Perda 4/2003, Busana Muslim dan baca Al Quran untuk siswa dan calon pengantin

Bulukumba

21. Gerakan bebas buta aksara Quran Kabupaten Maros 22. Pengaturan Desa Padang, Bulukumba tentang

Penganiayaan

Kabupaten Bulukumba

23. Perdes Mengenai Zina, Qadraf, Khamr dan Judi

Idem

24. Perda Zakat, sedekah dan infak Lombok Timur 25. April 2005, Hizbut Tahir dan PPP

membentuk Komite Persiapan perda Syariat

Riau

26. 2001, Pembentukan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam

Sulawesi Selatan

Sumber: Diolah dari Gatra No.25/2006; Tempo, 14 Mei 2006; Retno Hanani,

2006.

Kehadiran Perda-perda anti maksiat ataupun Perda yang bernuansa pada syariah Islam, tidak saja menarik dicermati karena adanya pro dan kontra, tetapi juga terdapat pergulatan ide yang ada di balik Perda-perda tersebut. Perda sebagai produk dari kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari sebuah proses politik yang dapat dilatarbelakangi oleh berbagai macam kepentingan dan idealisasi politik yang dianut oleh para pembuat kebijakan.

(12)

umum yang di dalamnya terdapat banyak nilai-nilai tidak saja kolektif tetapi juga individual yang harus dipertimbangkan sebagai norma dasar kehidupan bersama. Dilihat dari kemunculan berbagai Perda bernuansa syariah Islam tersebut, nuansa yang berkembang hampir sama, yakni nafas melindungi kepentingan publik yang bernama moralitas kolektif dengan menggunakan pelaksanaan syariat Islam sebagai instrument operasionalnya.

Undang-Undang Otonomi Daerah telah memberikan kewenangan yang lebih kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur tata pemerintahan dan masyarakat di daerah tersebut. Dalam perkembangannya, arus baru ini mendapatkan respon yang beragam dari masing-masing Pemerintah Daerah. Salah satu respon yang menimbulkan kontroversi adalah Pemberlakuan Peraturan-Peraturan Daerah yang berlandaskan syariat (hukum agama), dalam konteks ini adalah Islam, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perda Syariah.

Dalam peraturan yang sudah ada, norma-norma sosial masyarakat, dan juga norma budaya, sebenarnya telah diatur tentang persoalan-persoalan yang diangkat oleh Perda syariah. Artinya, jika ini bukan sesuatu yang sudah memiliki aturan, kenapa harus dibuat aturan yang baru lagi. Tentu timbul pertanyaan, apakah seruan moral Pemerintah, petuah tokoh masyarakat, dan wibawa norma budaya tidak lagi mendapatkan penghormatan, sehingga diperlukan peraturan baru yang lebih memberikan “sterssing” yang kuat kepada masyarakat.

(13)

dengan arus demokrasi, di sisi lain kerinduan pemberlakuan hukum-hukum Tuhan juga menguat.

Tentu saja, sebuah produk ketika masuk ke pasar menarik respon dari masyarakat. Dalam konteks Perda syariah ini kita bisa membagi masyarakat menjadi dua golongan, yaitu Pro (yang mendukung) dan Kontra (yang menolak). Kelompok yang Pro berharap Perda syariah dapat menjadi solusi bagi berbagai masalah yang membelit bangsa dewasa ini. Harapan ini tampaknya dipengaruhi oleh kegagalan Negara mengintegrasikan program-program politik, budaya, dan ekonomi, dengan sistem nilai-nilai dan worldview yang hidup dalam masyarakat dan juga kegagalan (kurang berhasilnya) modernisasi dalam berbagai bidang yang dilakukan negara. Bagi masyarakat yang tidak setuju, Perda syariah dinilai antara lain mengganggu kerukunan antar umat beragama, tetapi bagi masyarakat yang setuju, menerapkan syariah lewat Perda dianggap sebagai perintah agama .

Hadirnya ranperda wajib belajar membaca Al-Quran di Kabupaten Serdang Bedagai yang diusung usung oleh fraksi PPP yang kemudian menjadi usulan inisiatif DPRD Kabupaten Serdang Bedagai dalam sidang paripurna penyampaian 14 ranperda dan 3 ranperda inisiatif pada tanggal 13 desember 2010, setelah mendapat pengkajian dan evaluasi oleh Badan Legislasi Daerah (Banlegda) DPRD Kabupaten Serdang Bedagai langsung menimbulkan pro kontra di kalangan anggota DPRD, pemerintah daerah dan di tengah masyarakat.

(14)

masyarakat Serdang Bedagai terutama kalangan tokoh-tokoh Islam maupun kalangan ulama.

Dijelaskan bahwa kehadiran ranperda ini sangat diperlukan karena sesuai dengan visi misi Kabupaten Serdang Bedagai untuk menciptakan masyarakat pancasialis, religius, modern, kompetitif dan berwawasan lingkungan. Kata religius yang terdapat dalam visi misi tersebut memerlukan dukungan, salah satunya dengan Peraturan Daerah (perda) yang mendukung yakni Perda yang bersifat syariah salah satunya Perda nomor 19 tahun 2012 tentang Wajib Belajar Membaca Al-Quran Bagi Pelajar Beragama Islam di Kabupaten Serdang Bedagai.

Selain itu masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai yang mayoritas beragama islam sehingga sangat tepat jika kewawajiban membaca Al-quran ini di jadikan sebuah aturan yang mengikat di tengah masyarakat. Kehadiran perda nomor 19 tahun 2012 ini nantinya berfungsi untuk mengingatkan para orang tua agar lebih mengawasi pendidikan agama anak-anaknya sejak usia dini. Bila nanti benar-benar ditetapkan, kehadiran perda baca-tulis Al-quran ini tidak akan menimbulkan masalah. Perda tersebut hanya berlaku bagi umat Islam.

(15)

pelajar melaporkan ke pimpinan DPRD dan menghantarkan draf ranperda wajib membaca Al-Quran untuk disepakati dan disahkan dalam paripurna dewan tanggal 10 November 2011 sebagai perda inisiatif DPRD Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2011.

Kehidupan masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai yang heterogen dan tidak menganut satu agama saja dan masih terdapat banyaknya penyakit sosial masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten serdang Bedagai, menyebabkan sebuah permasalahan ketika wajib belajar membaca Al-Quran di ajukan ke dalam sebuah Ranperda. Masyarakat Serdang Bedagai saat ini lebih memerlukan peraturan-peraturan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka bukan urusan agama yang dicampurkan kedalam dunia politik. Masyarakat lebih memerlukan perhatian kalangan eksekutif dan legislatif dalam bidang ekonomi dan pendidikan karena itu yang merupakan hal mendasar yang sangat diperlukan masyarakat Serdang Bedagai saat ini.

(16)

PENGESAHAN PERDA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG WAJIB BELAJAR MEMBACA AL-QURAN BAGI PELAJAR BERAGAMA ISLAM DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana proses perencanaan hingga pengesahan Perda nomor 19 tahun 2012 tentang Wajib Belajar Membaca Al-quran Bagi Pelajar Beragama Islam di Kabupaten Serdang Bedagai, meskipun masih terjadi pro dan kontra di kalangan anggota DPRD Kabupaten Serdang Bedagai terhadap perda ini ?”

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan proses perjalanan perencanaan hingga pengesahan Perda nomor 19 tahun 2012 tentang Wajib Belajar Membaca Al-quran Bagi Pelajar Beragama Islam di Kabupaten Serdang Bedagai.

D. Manfaat penelitian

Gambar

Tabel 1. Perda yang bernuansa syariah di Kabupaten/Kota

Referensi

Dokumen terkait

Laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak

Sistem berbasis agen bergerak dan berinteraksi satu sama lain dan lingkungan mereka secara otonom menggunakan model komputasi, sistem tersebut menggunakan pemodelan

Saat ini melalui salah satu program kegiatannya, DED Rehabilitasi Sedang Berat Gedung Kantor , Pemrintah Kota Manado telah mengarahkan suatu kebijakan

Menyangkut kesehatan, agaknya makna valensi yang paling sesuai adalah dalam kontek kimia, yakni elektron-elektron sebuah atom yang dapat membentuk ikatan kimia dengan

Pendidikan seorang anak adalah sebuah tanggung jawab bersama. Setiap anak adalah bibit yang harus diberi stimulus pofitif dari lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik.

Perbaikan sifat fisika tanah, seperti tanah yang bertekstur pasir atau tanah yang mempunyai fraksi pasir lebih tinggi (>70%) dapat dilakukan dengan pembenah kompos

Tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 diperoleh tingkat efektivitas penerimaan retribusi persampahan/kebersihan masih tergolong rendah dan tidak efektif, pemerintah

Penelitian ini bertujuan untuk:(1) mengetahui kompetensi kepribadianKepala Madrasah di MA Ponpes Yasrib Lapajung Watansoppeng, (2) mengetahui pembinaan karakter peserta didik