• Tidak ada hasil yang ditemukan

Full Paper P00091

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Full Paper P00091"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

RI N GK ASAN

Perkawinan usia dini atau perkawinan dini banyak sekali terjadi di wilayah-wilayah di Jawa tengah. Tidak ter-ekspose nya perkawinan dini dikarenakan hal tersebut masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan atau bahkan merupakan aib yang harus ditanggung. Kota Salatiga yang dikenal dengan sebutan sebagai titik JOGLOSEMAR (Jogja, Solo dan Semarang) merupakan kota kecil yang menjadi area bertemunya 3 kota besar, dimana banyak anak muda yang mengenyam pendidikan di kota ini. Kerawanan yang timbul adalah banyaknya pernikahan usia dini khususnya dikalangan remaja dan mahasiswa.

Penelitian ini bertujuan antara lain untuk menjelaskan factor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di Kota Salatiga dan mengetahui dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga.

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian diskriptif dengan unit amatan adalah para pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian, dengan key informan meliputi: keluarga atau individu yang melakukan perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini, para pihak terkait dengan kependudukan seperti, Bapermas kota Salatiga, pengurus PKBI, Ikatan Bidan Salatiga. Sedangkan unit analisisnya adalah dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio-ekonomi keluarga dan faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di Salatiga. Untuk mendukung metodetersebut dilakukan triangulasi data dengan mengabungkan beberapa teknik pengumpulan data seperti wawancara, study dokumen dan observasi partisipatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan anak dan orang tua menjadi salah satu variable terhadap ketidak-tahuan hukum structural terkait dengan kebijakan perkawinan dan pentingnya menghindari perkawinan usia dini, minimnya pengetahuan dan pendidikan tentang sexualitas secara benar menjadi variabel penyebab paling besar terjadinya “kecelakaan” sehingga pernikahan dini “terpaksa” dilakukan. Lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang semakin permisif (longgar) dikarenakan kesibukan orang tua karena pekerjaan, dan lingkungan pertemanan yang kurang sehat menjadi variable terjadinya hubungan sex pra-nikah dan menjadi factor potensial terjadinya perkawinan usia muda.

Sedangkan dampak yang terjadi meliputi dampak social-psychologis, khususnya pihak wanita dan dampak ekonomi menjadi hal paling vital pada semua pasangan.

Keywords: Pernikahan usia dini, dampak social-psychologis, dampak

(3)

DAMPAK PERKAWINAN USIA DINI TERHADAP KONDISI SOSIO-EKONOMI KELUARGA DI KOTA SALATIGA JAWA TENGAH

DAFTAR ISI

Bab 1. Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ...5

C. Tujuan Penelitian ...5

D. Manfaat Penelitian ...6

Bab 2. Kajian Pustaka A. Konsep Perkawinan Diri ...7

B. Penyebab Perkawinan Dini ...7

C. Kerangka Pikir Penelitian ...9

Bab 3. Metode Penelitian A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ...10

B. Unit Amatan dan Unit Analisa ...10

C. Tehnik Pengumpulan Data ...10

D. Tehnik Analisa Data ...10

Bab 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini ...13

1. Faktor Pendidikan Anak dan Orang Tua ...14

2. Rasa Ingin Tahu dan Pergaulan ...16

3. Lingkungan Keluarga ...19

4. Pendidikan ...25

B. Dampak Perkawinan Usia Dini ...27

Bab 5. Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan ...31

B. Rekomendasi dan Saran ...32

Daftar Pustaka ... 38

(4)

DAM PAK PERK AWI N AN U SI A DI N I

T ERH ADAP K ON DI SI SOSI O-EK ON OM I K ELU ARGA

DI K OT A SALAT I GA J AWA T EN GAH

1

Oleh:

Daru Purnomo, Drs.,M.Si dan Seto Herwandito S.Pd.,M.M.M.Ikom2

BAB 1.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2012 lalu, masyarakat dikejutkan dengan berita seorang pengusaha kuningan asal Bedono, yaitu Syekh Pujiono atau sering disebut sebagai “ Syekh Puji” yang berumur 43 tahun menikahi seorang gadis cilik Lutfiana Ulfa, yang baru berumur 12 tahun. Perkawinan siri mereka menjadi suatu berita yang banyak menimbulkan pro kontra pada masyarakat. Jika ditelusuri, perkawinan adalah merupakan suatu bentuk ikatan yang dilakukan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam membentuk suatu keluarga (Subekti, 2006: 537-538). Sedangkan menurut Undang-undang3 yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum perkawinan ini menggantikan hukum perkawinan yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek (Statsblad 1917 Nomor 129).

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

      

1 

Disajikan dalam Sosialisasi Hasil Penelitian BKKBN Perwakilan Jawa Tengah Pada Tanggal 23  Desember 2013 di Hotel Patrajasa Semarang 

(5)

Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan menurut undang-undang perkawinan juga dikatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum dan kepercayaannya masing-masing.

Di dalam Undang-undang tersebut syarat yang harus dipenuhi adalah pihak pria harus sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita harus sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam faktanya banyak sekali perkawinan usia muda yang terjadi di Indonesia ini. Data BKKBN4 mennyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi atau ranking 37 dunia pada kasus pernikahan usia dini. Sedangkan data dari RISKEDAS 20105 menunjukan bahwa prevalensi umur perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebanyak 41,9 persen.

Menurut SDKI Tahun 2007, 17 persen wanita yang saat ini berumur 45-49 tahun menikah pada umur 15 tahun, sedangkan proporsi wanita yang menikah pada umur 15 tahun berkurang dari 9 persen untuk umur 30-34 tahun menjadi 4 persen untuk wanita umur 20-24 tahun.

Menurut data Susenas Tahun 2010, secara nasional rata-rata usia kawin pertama di Indonesia 19.70 tahun, rata-rata usia kawin didaerah perkotaan 20.53 tahun dan di daerah perdesaan 18.94 tahun, masih terdapat beberapa propinsi rata-rata umur kawin pertama perempuan dibawah angka nasional. Sedangkan menurut data dari BKKBN6 bahwa Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke 7 dari 10 peringkat dalam laju pertumbuhan penduduk terbesar di Indonesia.

Kota Salatiga dikenal dengan sebutan sebagai titik JOGLOSEMAR (Jogja, Solo dan Semarang) merupakan kota kecil yang menjadi area bertemunya 3 kota besar, dimana banyak anak muda yang mengenyam pendidikan di kota ini. Yang menjadi kerawanan adalah karena menjadi titik bertemu dari 3 kota, dan banyak anak muda yang mengenyam pendidikan, maka dikhawatirkan banyak sekali terjadi pernikahan usia muda. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan pengurus PKBI

      

(6)

Salatiga yang menyatakan bahwa tingkat perkawinan dini yang disebabkan karena kehamilan yang tidak disengaja cenderung mengalami peningkatan khususnya dikalangan remaja dan mahasiswa7.

Berdasarkan data dari Bapeda8 Pada tahun 2010 Jumlah penduduk perempuan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk laki-laki, jumlah penduduk laki-laki adalah 85.901 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 88.333 jiwa. Salatiga terbagi kedalami 4 kecamatan, yaitu : Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Argomulyo dan Kecamatan Sidomukti. Dari keempat kecamatan tersebut, jumlah penduduk menurut usia sekolah (umur 6 tahun- 24 tahun), Kecamatan Sidorejo9 menempati urutan pertama dibanding dengan 3 kecamatan yang lain dengan jumlah penduduk 17.437 jiwa, (Tingkir = 12.254 Jiwa, Argomulyo = 11.899 Jiwa, dan Sidomukti = 13.659 Jiwa),

Jika dilihat dari laju pertumbuhan penduduk (2000 – 2010), menunjukkan bahwa kota Salatiga memiliki angka laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,09 %, (jika dilihat dari tingkat propinsi, salatiga termasuk kedalam tiga terbesar LPP di Jawa Tengah setelah Kota Semarang dam Kabupaten Jepara).

      

(7)

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk Hasil SP-2000 dan SP-2010 Kota

Salatiga

Kecamatan

Jumlah Penduduk

LPP 2000-2010 SP2000*) SP2010

(1) (2) (3) (4)

1 Argomulyo 33 764 40 101 1,75

2 Tingkir 37 806 39 871 0,54

3 Sidomukti 34 016 38 756 1,32

4 Sidorejo 47 450 51 604 0,85

Jumlah 153 036 170 332

Sumber: BPS, tahun 2011

Dibandingkan dengan Kabupaten/Kota di provinsi Jawa Tengah, laju pertumbuhan penduduk Kota Salatiga termasuk dalam kategori tinggi (tiga terbesar setelah kota Semarang dan Kabupaten Jepara), bahkan jika dibanding rata-rata laju pertumbuhan di tingkat provinsi yang hanya mencapai 0,37% maka nampak sekali bahwa Salatiga termasuk kota dengan tingkat kelahiran (Total Fertility Rate/ TFR) yang cukup tinggi, yakni sekitar 2,7. TFR yang tinggi pada umumnya berkorelasi dengan jumlah usia produktif yang besar dan peristiwa perkawinan yang terjadi pada suatu wilayah.

(8)

Berdasarkan data dan fakta-fakta yang telah dikemukakan diatas, maka Kota Salatiga menjadi hal yang penting untuk dikaji mengenai pernikahan usia muda, dimana kota Salatiga memiliki TFR yang cukup tinggi yakni sebesar 2,7 (SP-2010 dan pada tahun 2013 menurun menjadi 2,6), disamping indeks unmet need yang paling tinggi di provinsi Jawa Tengah. Oleh sebab itu penelitian ini layak untuk diteliti.

B. Rumusan Masalah

1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda di Kota Salatiga?

2. Bagaimanakah dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga?

C. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan factor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di

2.4

UNMET

 

NEED

 

KABUPATEN/KOTA,

 

PROVINSI

 

JAWA

 

TENGAH

 

2011

(9)

2. Mengetahui dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran mengenai dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio ekonomi keluarga di Kota Salatiga.

(10)

BAB 2.

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Perkawinan Dini

Definisi umur anak dalam Undang-undang (UU) Pemilu No.10 tahun 2008 (pasal 19, ayat1) hingga berusia 17 tahun. Di Indonesia, menurut UU No 1/1974 tentang perkawinan, perempuan di atas usia 16 tahun diperbolehkan untuk menikah. Namun, UU Perlindungan Anak Tahun 2002 menetapkan bahwa siapa pun di bawah usia 18 tahun masih tergolong usia remaja. Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut.

Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentoleri pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita

B. Penyebab Perkawinan Dini

(11)

rumah tangganya, begitu pula suaminya di tuntut lebih memiliki tanggung jawab karena harus mencari nafkah.

Namun secara umum, perkawinan dini ini tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi. Menurut Hadi Supeno, ada tiga faktor atau sinyalemen ini yaitu: (1) Tradisi lama yang sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia anak-anak sebagai suatu hal yang wajar. Dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya tidak segera memperoleh jodoh, orang tua merasa malu karena anak gadisnya belum menikah atau orang menyebutnya sebagai “perawan tuwo”, sterotipe ini bagi orang tua merupakan tabu keluarga, sehingga mereka akan segera mengawinkan anak perempuannya apabila sudah dianggap “dewasa”. (2) Faktor kedua adalah budaya eksploitasi terhadap anak dengan berbagai dalih. Budaya ini membuat anak tidak berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang mengeksploitasi anak atas nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi atau harga diri bisa mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap terpandang tanpa memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri atau belum, apakah anak perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial ataukah belum. Ada yang mengeksploitasi anak karena mental hedonis, mencari kesenangan pada banyak hal termasuk poligami dengan anak-anak di bawah umur. Ada pula yang karena kelainan mental, pedophilis. Alasan lain bahkan mengeksploitasi anak atas nama agama, walaupun banyak tokoh agama telah tegas menyatakan bahwa perkawinan pada usia anak bukanlah ajaran agama. (3) Faktor ketiga adalah faktor hukum, dimana secara hukum perkawinan usia anak dilegitimasi oleh Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang-undang ini memperbolehkan anak berusia 16 tahun untuk menikah, seperti disebutkan dalam pasal 7 ayat 1, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19

(sembilanbelas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enambelas) tahun.”

(12)

Tahun 2002 yang menetapkan bahwa siapa pun di bawah usia 18 tahun masih tergolong usia remaja atau belum dewasa.

Fenomena perkawinan dini adalah fakta perilaku seksual remaja yang melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta kultur masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas dua dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial. Anggapan pendidikan tinggi tidak penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Posisi tersebut dalam perspektif kesetaraan dan keadilan gender berarti telah memarginalkan pihak perempuan.

Tingginya angka pernikahan usia anak, menunjukkan bahwa pemberdayaan law enforcement dalam hukum perkawinan masih rendah. Apapun alasannya, masa muda adalah masa yang sangat indah untuk dilewatkan, dengan hal-hal yang positif. Masa muda adalah waktu untuk membangun emosi, kecerdasan dan fisik. Ketiganya merupakan syarat dalam menjalani kehidupan yang lebih layak pada masa depan. Fenomena tersebut menuntut perhatian semua pihak untuk memperhatikan masa depan anak sebagai generasi yang akan melanjutkan pembangunan bangsa dan negara. Haruskah direnggut kemerdekaan anak hanya karena sebuah ketakutan? Benarkah pernikahan di bawah umur satu-satunya solusi atas kekahwatiran-kekhawatiran yang ada? Pertanyaan ini dapat di jawab dengan sikap ilmiah dan bijaksana.

C. Kerangka Pikir Penelitian

(13)

BAB 3.

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian diskriptif. Pendekatan dan jenis penelitian ini digunakan agar diperoleh suatu pencandraan terhadap kasus perkawinan usia dini secara lebih mendalam sehingga diperoleh suatu gambaran yang mendalam terkait dengan substansi permasalahannya.

B. Unit Amatan dan Unit Analisa

Satuan amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang satuan analisis (Ihalauw, 2004:178). Oleh karena itu, yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah para pihak yang terkait dengan permasalahan penelitian, dengan key informan meliputi: keluarga atau individu yang melakukan perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini, para pihak terkait dengan kependudukan seperti, Bapermas kota Salatiga, pengurus PKBI, Ikatan Bidan Salatiga.

Terkait dengan unit analisa, Abell (dalam Ihalauw, 2004:174) menyatakan bahwa satuan analisis adalah hakekat dari populasi yang tentangnya hasil penelitian berlaku. Unit Analisis dalam penelitian ini adalah dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio-ekonomi keluarga dan faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di Salatiga.

C. Teknik Pengumpulan Data

(14)

Adapun teknik triangulasi mengabungkan beberapa teknik pengumpulan data seperti :

1. Wawancara.

Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan tanya jawab kepada informan yang dilakukan untuk memperoleh gambaran dan infromasi yang seluas-luasnya berkaitan dengan persoalan yang diteliti.

2. Observasi partisipatif.

Observasi partisipatif yaitu teknik pengambilan data dimana peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari sumber data. Lebih lanjut Stainback dalam (Sugiyono, 2006: 256), menyatakan bahwa dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati yang dikerjakan orang yang dileliti, mendengarkan yang diucapkan orang yang diteliti dan berpartisipasi dalam aktivitas orang yang diteliti.

3. Study Dokumen.

Dalam rangka memperoleh gambaran yang obyektif dan utuh atas fakta – fakta yang dilapangan maka study dokumen perlu dilakukan. Kajian pustaka. Study dokumen dilakukan untuk melengkapi hasil wawancara dan observasi dalam penelitian kualitatif. Studi dokumen yaitu menghimpun data dari berbagai literature yang berhubungan dengan topik skripsi ini. Dokumen dapat berupa dokumen tertulis dan tidak tertulis. Dokumen tertulis dapat berupa sejarah kehidupan, peraturan, kebijakan, karya tulis, sedangkan dokumen dalam bentuk tidak tertulis dapat berupa gambar dan foto.

(15)

D. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan analisis deskriptif kualitatif terhadap setiap data yang diperoleh dari lapangan dengan berbagai teknik pengumpulan data yang dipakai. Setelah melakukan analisis dan intepretasi data, selanjutnya penulis melaporkan hasil penelitian yang sudah dilakukan. Dalam penelitian kualitatif data yang ada dianalisis dan disusun dalam wujud kata-kata ke dalam teks yang diperluas (Miles dan Huberman 1992: 15-16). Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan melalui tiga tahap (Sugiyono, 2006: 276-284).

1. Tahap Reduksi Data.

Mereduksi data merupakan kegiatan merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dari setiap data yang diperoleh dilapangan. Pada tahap ini peneliti melakukan reduksi data dengan memilih mana data yang penting, membuat kategori dan memilah data yang tidak penting. Reduksi data akan memberikan gambaran yang jelas, dan akan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya untuk memperlengkapi data yang dicari.

2. Tahap Penyajian Data (Data Display).

Dalam penelitian kualitatif penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowcahart. Lebih lanjut Miles

and Huberman dalam (Sugiyono, 2006 : 280) menyatakan bahwa paling sering penyajian data dalam kualitatif disajikan dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Data display dapat juga berupa grafik, matrik, network

(jejaring kerja), dan chart.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification).

(16)

yang dirumuskan pada bab pertama, tetapi mungkin juga tidak, karena rumusan masalah dalam penelitian kualitatif ada yang bersifat sementara dan berkembang dilapangan. Kesimpulan juga dapat berupa temuan baru. Kesimpulan ini dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.

(17)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dipaparkan hasil penelitian yang terkait dengan faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda dan dampaknya terhadap kondisi sosio-ekonomi keluarga.

Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Usia Dini

Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:

• Masalah ekonomi keluarga

• Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau mengawinkan anak gadisnya

• Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992: 65).

Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu:

• Ekonomi, Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu

• Pendidikan, Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur

• Faktor orang tua, Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya

• Media massa, Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks

(18)

1. Faktor Pendidikan (Anak dan Orang Tua)

Banyak peneltian yang menunjukkan bahwa faktor pendidikan baik pendidikan orang tua ataupun pendidikan formal si anak merupakan salah satu variabel (yang mungkin tidak berdiri sendiri) yang menyebabkan terjadinya perkawinan dini. Pendidikan yang rendah atau putus sekolah mau tidak mau menjadi peluang terjadinya perkawinan usia dini, karena tidak adanya kegiatan yang bersifat formal yang membatasi terjadinya suatu peristiwa perkawinan. Berdasarkan hasil penelitian Rafidah dkk (2009) menyatakan bahwa jika pasangan memiliki pendidikan yang rendah, maka potensi untuk melakukan pernikahan dini (nikah pada usia < 20 tahun) adalah 2,9 kali lebih besar jika dibandingkan meraka yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi.

Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh East West Center (EWC) menunjukkan bahwa Usia Kawin Pertama (UKp) berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan daerah tempat tinggal. Perempuan daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan rendah cenderung UKP-nya tinggi, dimana UKP < 18 tahun perempuan yang berpendidikan SD sebesar 50%, SMP 40%, dan 10 % berpendidikan > SMP. Proporsi ini agak berbeda pada perempuan yang ada di perkotaan dimana masing-masing proporsi UKP-nya adalah sebagai berikut: SD sebesar 40%, SMP sebesar 20%, dan diatas SMP sebesar 5%.

Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa hasil-hasil penelitian sebelumnya semakin memperkuat temuan penelitian ini, hal ini nampak dari pernyataan Siti Latifah10 yang melakukan UKP pada usia 16 tahun dengan tingkat pendidikan lulus SMP, demikian halnya dengan tingkat pendidikan orang tua yang bersangkutan yang hanya mengenyam bangku SD.

…….”ngih pripun malih wong kulo sampun mboten sekolah lan

ugi bapak nyereng terus supados kulo ken emah-emah…ngih

kulo pasrah pun nikahaken”…..(ya gimana lagi, karena saya juga sudah ngak sekolah dan juga bapak terus-menerus mendesak untuk berkeluarga…ya akhirnya saya pasrah untuk dinikahkan…)

(19)

Dalam kasus ini faktor pendidikan (putus sekolah karena ketiadaan biaya) menjadi faktor pendorong kenapa Latifah akhirnya memutuskan untuk menikah, namun demikian ada faktor lain yaitu desakan orang tua dan juga ketidak-tahuan hukum struktural terkait kebijakan perkawinan merupakan faktor eksternal terjadinya perkawinan usia dini. Hal ini nampak jelas dari pernyataan orang tua Latifah,

“…… karena anaknya sudah besar dan sudah bekerja dan

mengantarkan anak untuk hidup berumah tangga itu kan

kewajiban orang tua,….jadi ya sudah semestinya anak

segera dinikahkan untuk menghindari resiko……di desa ini

sudah biasa nikah usia segitu (16 tahun), bahkan ada yang

dibawah 16 tahun sudah nikah…….”

Dari kasus tersebut semakin memperkuat bahwa tingkat pendidikan yang rendah merupakan faktor pendorong terjadinya perkawinan dini (kasus Siti Latifah). Ketidak-tahuan hukum struktural juga menunjukkan bahwa tidak disemua wilayah memiliki pemahaman yang sama terkait aturan hukum perkawinan dan arti pentingnya pengunduran usia kawin dalam membangun suatu keluarga (kasus orang tua Latifah). Keely11 menyatakan bahwa perempuan yang masih berada dalam sebuah institusi pendidikan cenderung untuk menikah seusai sekolah, sehingga institusi membuat perempuan menikah di usia lanjut. Pendidikan yang rendah akan berdampak pada terputusnya informasi yang diperoleh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi selain itu juga dapat meningkatkan kemungkinan aktivitas remaja yang kurang. Wajib belajar 9 tahun kelihatannya belum menjadi sesuatu indikator terjadinya penundaan usia kawin, karena selesai pendidikan 9 tahun mereka masih berada pada usia yang rentan untuk terjadinya perkawinan dini, apalagi setelah mereka lulus SMP dan tidak mendapat kesempatan belajar dan bekerja yang baik, maka pilihan terbaik adalah pernikahan.

      

11 

(20)

2. Rasa Ingin Tahu dan Pergaulan12

Siswa SMA berada pada masa remaja yaitu usia antara 14-18 tahun. Pada masa ini telah terjadi kematangan organ-organ reproduksinya. Kematangan organ reproduksi ditandai dengan adanya mimpi basah pada pria dan terjadinya menstruasi pada wanita disebut pubertas. Hormon-hormon reproduksi telah berfungsi dengan sempurna pada masa ini. Hormon-hormon reproduksi yang sebelumnya dihasilkan dalam jumlah sangat terbatas karena pengaruh kelenjar pineal dan thyroid telah dihasilkan dalam jumlah yang cukup sehingga mempengaruhi secara hormonal remaja.

Kelenjar hipofise mensekresikan hormon gonadotrofin yang memicu gonade (kelenjar kelamin) untuk menghasilkan hormon-hormon kelamin yaitu testosteron untuk pria dan estrogen untuk wanita. Hormon-hormon kelamin selain menghasilkan spermatozoa dan sel telur juga menumbuhkan ciri-ciri kelamin sekunder seperti perubahan suara, timbulnya rambut pada organ genitalia, tumbuh kumis, dan tumbuh jakun pada pria. Sementara itu, pada wanita muncul ciri-ciri sekunder seperti payudara membesar, timbulnya rambut pada organ genitalia, dan pinggul membesar (Soewolo, 2000). Secara biologis remaja yang telah mengalami pubertas telah siap untuk melakukan tugas reproduksi.

Perubahan hormonal di dalam tubuh menyebabkan perubahan cara pandang remaja terhadap berbagai permasalahan. Secara psikologis banyaknya hormon yang dihasilkan juga mempengaruhi pandangan terhadap lawan jenis sehingga terjadi peningkatan ketertarikan terhadap lawan jenis. Suardiman (1995) menyatakan bahwa remaja pada fase akhir memiliki minat yang meningkat terhadap lawan jenis (heteroseksualitas). Sementara itu, Encharta (2005) menyatakan bahwa pada masa remaja terjadi peningkatan perilaku seksual. Lebih lanjut, dorongan untuk hubungan seks akan semakin besar jika ada rangsangan atau stimulus dari luar dalam bentuk gambar, bacaan, atu cerita.

Rasa ingin tahu yang besar mendorong siswa untuk memperoleh informasi tentang seks dari berbagai sumber. Rasa ingin tahu, ketidakmampuan menyeleksi informasi, dan tiadanya bimbingan dari orang dewasa menyebabkan informasi

      

(21)

yang diperoleh tidak benar. Lebih lanjut, kemudahan memperoleh informasi menyebabkan semakin banyak informasi yang diperoleh remaja. Informasi yang masuk merupakan stimulus yang kuat. Dorongan internal akibat banyaknya hormon yang dihasilkan ditambah stimulus yang kuat akan semakin memperbesar dorongan siswa untuk mencoba melakukan hubungan seks.

Rasa ingin tahu memang menjadi alasan kenapa pasangan tersebut melakukan hubungan sexual dan akhirnya menjadi hamil. Keingintahuan tersebut menjadi hasrat dan memiliki keberanian diri untuk mencoba bersama dengan pasangannya. Lemahnya membentengi diri serta adanya pergaulan di lingkungan yang baru (sekolah, kampus, pertemanan, kelompok/komunitas, dll) menjadikan akses untuk mendapat referensi mengenai hubungan sexual menjadi mudah. Adanya internet serta HP yang berteknologi tinggi memudahkan mereka di dalam mencari film porno. Hal ini terjadi seperti pada pasangan “D” (26 tahun) dan “T” (24 tahun) yang memutuskan untuk menikah muda pada umur 19 dan 17 tahun, dalam status “D” sebagai mahasiswa dan “T” saat itu masih siswi SMA kelas III (“D” baru saja lulus kuliah, akan tetapi belum mendapat kerja, sedangkan T karena terlanjur hamil dan dikeluarkan dari sekolah).

(Petikan Wawancara dengan pasangan “D” dan “T”)

“ ...Pertama sih timbul rasa ingin tahu mengenai hubungan

sexual rasanya seperti apa, keingin tahuan ini akibat dari

menonton film porno yang teman-teman punyai, biasanya ada

video di HP teman-teman dan saya meng-copy dan menonton di

HP saya sendiri. Setelah melihat video itu timbul rasa ingin

mencoba....Paling mudah adalah dengan pasangan/pacar saya.

Satu kali mencoba dan selanjutnya beberapa kali hingga akhirnya

menjadi ketagihan dan mengakibatkan pacar saya hamil. Saya

tidak memakai alat pelindung (kondom) karena malu untuk

membeli di apotik atau toko, selain itu saya belum menikah,

sehingga apabila masuk ke apotik/ toko untuk membeli kondom

(22)

Untuk pasangan selanjutnya “Y” (26 tahun) dan “E” (26 tahun) yang menikah pada usia 18 tahun pada saat mereka masih duduk di bangku SMK. Pernikahan yang mereka jalani sebenarnya dikarenakan kondisi yang mengharuskan mereka untuk lanjut ke pernikahan, yaitu MBA (Marriage by

Accident) atau hamil duluan. Hal ini disebabkan karena pergaulan dengan

lingkungan sekitar seperti di dunia pendidikan, kumpul-kumpul dengan teman-teman membuat mereka penasaran akan bidang atau hal yang baru yaitu sex. Peredaran film-film porno diantara kumpulan tersebut menambah rasa penasaran untuk mencoba.

(Petikan Wawancara dengan pasangan “Y” dan “E”)

”...Mulanya dulu saya pacaran dengan “E” pada waktu SMK

hingga sekarang menjadi istri saya. Bersama dengan teman-teman

SMK dulu, saya sering menonton film porno. Dari menonton

inilah lalu timbul rasa ingin mencoba dengan pacar, awalnya sih

hanya pegang-pegang saja dan akhirnya malah keterusan

melakukan hubungan sex. Kebetulan orang tua dari “E” semua

kerja sehingga pada saat rumah kosong saya melakukan

hubungan tersebut. Selain itu adanya teknoligi internet dan HP

menjadikan mencari film porno semakin mudah. Karena

“kebablasan” akhirnya “E” menjadi hamil, dan mau tidak mau

saya harus menikahinya”.

(23)

akan semakin memperbesar dorongan siswa untuk mencoba melakukan hubungan seks.

Seperti yang diungkapkan oleh Videllia Engelien Pontoh, SS13 bahwa Pada era globalisasi ini, pembicaraan soal seks seakan-akan menjadi trend bagi kalangan remaja, tanpa kita sadari. Sangat lazim, kita menjumpai kaum remaja membawa Handphone maupun Smartphone, yang bisa digunakan untuk mengakses internet. Melalui alat canggih tersebut, mereka bisa mengakses konten-konten yang terkait dengan pornografi, mulai dari berita, gambar, maupun video. Cukup dengan mengakses Google maupun Youtube dan memasukkan kata-kata atau istilah-istilah tertentu akan muncul materi pornografi. Meskipun Kementrian Komunikasi dan Informatika telah memblokir ratusan ribu, bahkan jutaan situs-situs pornografi, namun tidak dapat memblokir seluruhnya.

Orang yang kecanduan pornografi akan berusaha mencari materi-materi pornografi, seperti kecanduan alkohol maupun narkoba. Tahap berikutnya adalah eskalasi, pecandu akan mencari materi pornografi yang lebih bervariasi, seperti pornografi kekerasan yang menyimpang. Tahap ketiga adalah desensitisasi, materi pornografi yang tadinya dianggap tabu, illegal dan tidak bermoral, menjadi sesuatu yang normal dan sebagai hal yang biasa saja. Tahap terakhir adalah keluar dari kebuasaan, yang tadinya hanya mengkonsumsi pornografi, kini berusaha mempraktekkan, seperti pelecehan seksual, pergi ke tempat pelacuran, seks bebas, pemerkosaan bahkan memaksa pasangan untuk mempraktekkan hubungan seks yang menyakitkan.

3. Lingkungan Keluarga14

Menurut seorang psikolog, Sarwono, dalam bukunya “Psikologi Remaja”, pendidikan seksualitas yang harus diberikan kepada remaja sebaiknya mencakupnorma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Pendidikan seksualitas bertujuan menjelaskan aspek-aspek anatomis, biologis, psikologis, moralitas serta nilai-nilai budaya dan agama.

      

13 

http://sulut.kemenag.go.id/file/file/Katolik/ipkh1363215396.pdf 

(24)

Pendidikan seksualitas bertujuan untuk membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksualitas dan membimbing remaja menjalani kehidupan dewasa yang sehat dan bertanggungjawab.

Sedangkan Menurut Dr Rose Mini AP, M.Psi, psikolog pendidikan, seksualitas bagi anak wajib diberikan orangtua sedini mungkin, saat anak masuk

play group (usia 3-4 tahun), karena pada usia ini anak sudah mengenal organ

tubuh mereka. Salah satu cara menyampaikan pada anak dapat dimulai dengan mengajari mereka membersihkan alat kelaminnya sendiri, setelah buang air kecil maupun buang air besar, agar anak dapat mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.

Pendidikan ini pun secara tidak langsung dapat mengajari anak untuk tidak sembarangan mengijinkan orang lain menyentuh alat kelaminnya. Pada usia balita, orangtua dapat memberitahu berbagai organ tubuhnya, mulai rambut, kepala, tangan, kaki, perut, alat kelamin (penis/vagina). Jelaskan juga perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misalnya jika si kecil memiliki saudara yang berlawanan jenis. Pada usia 5-10 tahun, anak cenderung aktif bertanya, misalnya dari mana aku berasal. Orang tua harus siap memberikan jawaban, misalnya dengan menunjukkan gambar ibu yang sedang hamil dan terlihat bayi di dalam perut ibu. Perlu juga diajarkan bahwa alat kelamin merupakan hal yang pribadi, jika ada orang lain yang memegang alat kelamin tanpa sepengetahuan orang tua, agar anak berteriak. Hal ini sebagai salah satu usaha preventif agar anak terhindar dari pelecehan seksual. Pada masa menjelang remaja dan remaja, biasanya anak-anak sudah mengalami pubertas, di mana perubahan tubuhnya secara morfologi sudah terlihat.

(25)

Kurangnya pengertian yang diberikan oleh keluarga menjadikan mereka merasa tabu untuk masalah sex, sehingga mereka akan merasa canggung untuk menanyakan hal tersebut kepada keluarga. “D” memiliki orang tua yang semuanya bekerja, ibunya berprofesi sebagai pedagang daging di pasar, sedangkan ayahnya memiliki profesi sebagai pengusaha kayu. Frekuensi pertemuan mereka antara anak dan orang tua sangatlah jarang terjadi, sehingga lingkungan keluarga juga merupakan salah satu faktor yang utama dalam terjadinya nikah usia muda.

(Petikan Wawancara dengan pasangan “D” dan “T”)

“...Keluarga memang mendukung apa yang sudah saya lakukan,

habis mau gimana lagi karena sudah hamil duluan. Tapi di

dalam keluarga saya sangat jarang dalam membahas mengenai

pendidikan sex. Bagi mereka membicarakan hal ini menjadi

sangat tabu, karena biasanya pembicaraan seperti ini adalah

pembicaraan orang dewasa. Selain itu jarang sekali bisa

berkumpul dengan keluarga, saya ada acara sendiri dan orang

tua juga memiliki kesibukan sendiri. Saya jarang sekali

mendapatkan pembicaraan mengenai pendidikan sex, bahkan

hampir tidak pernah”

Sedangkan untuk pasangan “Y” dan “E” pasangan ini memiliki latar belakang yang religius, orang tua mereka bahkan sempat menjadi majelis. Tapi pembicaraan mereka mengenai dunia sex masih dianggap tabu oleh mereka, sehingga hampir tidak pernah membahas mengenai bidang ini. Hasilnya adalah anak-anak makin penasaran akan dunia sex, dan lingkungan kuliah mereka sangat membantu untuk mencari tahu mengenai dunia sex tanpa ada kontrol dari orang tua.

(Petikan Wawancara dengan pasangan “Y” dan “E”)

“Orang tua dari “E” adalah majelis di salah satu Gereja di

(26)

ayah saya meninggal sewaktu saya duduk di Sekolah Dasar.

Pengertian mengenai sex atau dunia sex, hampir tidak pernah

diberikan kepada saya. Beranjak dewasa rasa ingin tahu

mendorong saya untuk mencari mengenai sex. Orang tua dari

“E” juga tidak pernah membicarakan mengenai sex, karena

“saru” atau tabu. Jadi tidak ada pendidikan sex atau mengenai

sex yang diberikan kepada kami. Itu sebabnya kami melakukan

hubungan sexual dan akhirnya hamil.

Dari hasil kedua wawancara diatas dapat dilihat bahwa lingkungan keluarga memiliki peranan penting di dalam pendidikan sex untuk anak. Sudah seyogyanya apabila keluarga mendampingi dan memberi pemahaman mengenai dunia sex supaya tidak terjerumus ke dalam sex bebas ataupun norma-norma yang ada di dalam masyarakat dan agama.

Pertama-tama perlu disadari bahwa lingkungan awal bertumbuh kembangnya seorang anak adalah lingkungan keluarga. Dalam hal ini, ayah dan ibu bertanggungjawab untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anak-anaknya, sehingga mereka memahami apa yang terjadi dan apa yang mungkin terjadi pada diri remaja. Pendidikan seksualitas di sekolah juga dapat memberikan peranan penting dalam hal peningkatan pengetahuan, tingkah laku dan sikap yang sesuai bagi para remaja. Selain itu, peran serta masyarakat secara luas juga diperlukan supaya tercipta iklim pemberian informasi mengenai pendidikan seks yang tepat dan sesuai untuk remaja. Jika pendidikan seksulitas telah dilakukan, baik secara formal dan informal, maka bisa dipastikan pernikahan dini, penyakit kelamin, kehamilan yang tidak diinginkan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan lain-lain akan berkurang. Jika remaja sudah mendapatkan pendidikan seksual yang terarah, maka mereka dapat mengontrol diri mereka sendiri dan tidak terjerumus dalam pergaulan bebas.

Menurut Friedman (1998)15 menyatakan bahwa tipe-tipe keluarga dibagi atas keluarga inti, keluarga orientasi, keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga

      

(27)

yang sudah menikah, sebagai orang tua, atau pemberi nafkah. Keluarga inti terdiri dari suami istri dan anak mereka baik anak kandung ataupun anak adopsi. Keluarga orientasi (keluarga asal) yaitu unit keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan. Keluarga besar yaitu keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah seperti kakek dan nenek, paman dan bibi13.

Sedangkan Keluarga menurut Khairuddin16:

• Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil umumnya terdiri dari ayah,ibu dan anak.

• Hubungan sosial di antara nggota keluarga relatif tetap dan berdasarkan ikatan darah, perkawinan atau adopsi.

• Hubungan antara keluarga yang di jiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa penuh tanggung jawab.

• Keluarga berfungsi untuk merawat,memelihara dan melindungi anak dalam rangka sosialisasi agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial14.

Fungsi keluarga Menurut Horton dan Hurt (2001)17sebagai berikut : 1. Fungsi Biologis

Fungsi biologis berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami istri. Keluarga ialah lembaga pokok yang secara absah memberikan uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual. Apabila salah satu pasangan kemudian tidak berhasil menjalankan fungsi biologisnya, di mungkinkan akan terjadinya gangguan dalam keluarga yang biasanya berujung pada perceraian dan poligami.

2. Fungsi Sosialisasi Anak

Fungsi sosialisasi menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui fungsi ini, keluarga berusaha mempersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang di anut oleh

      

16 

Khairuddin, Sosiologi Keluarga. Liberti, Jogyakarta; 2002 

17 

(28)

masyarakat serta mempelajari peranan yang di harapkan akan di jalankan mereka. Keluarga yang seperti ini akan menyosialisasikan anak-anak dan ketergantungan terhadap orang tua.

3. Fungsi Afeksi

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan kasih sayang atau rasa dicinta. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak, kebutuhan kasih sayang sangat diharapkan bisa di perankan oleh keluarga. Akan tetapi perlu di waspadai apabila kebutuhan afeksi itu kemudian di ambil alih oleh kelompok lain di luar keluarga

4. Fungsi Edukatif

Keluarga merupakan guru pertama dalam mendidik manusia, hal itu dapat di lihat dari pertumbuhan seorang anak mulai dari bayi, belajar jalan-jalan, hingga mampu berjalan,semuanya di ajari oleh keluarga. Tanggung jawab keluarga untuk mendidik anak-anaknya sebagian besar atau bahkan mungkin seluruhnya telah di ambil oleh lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Oleh karena itu, muncul fungsi laten pendidikan terhadap anak, yaitu melemahnya pengawasan dari orang tua.

5. Fungsi Religius

Fungsi religius dalam keluarga merupakan salah satu indikator keluarga sejahtera,Keluarga sejahtera adalah keluarga yang di bentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak. Pendidikan agama dalam keluarga tidak saja bisa di jalankan dalam keluarga, menawarkan pendidikan agama,seperti pesantren, tempat pengajian majelis taklim dan sebagainya.

6. Fungsi Protektif

Fungsi ini bertujuan agar para anggota keluarga dapat terhindar dari hal-hal yang negatif, dalam setiap masyarakat keluarga memberikan perlindungan fisik, ekonomis, dan psikologi bagi anggotanya.

7. Fungsi Rekreatif

(29)

Dewasa ini, tempat-tempat hiburan banyak berkembang di luar rumah karena berbagai fasilitas dan aktivitas rekreasi berkembang dengan pesatnya.

8. Fungsi Ekonomis

Keluarga adalah unit primer yang memproduksi kebutuhan ekonomi bagi kebutuhan keluarga, keadaanya seperti sebuah pabrik, masing-masing bertugas sesuai dengan tugasnya. keluarga di posisikan sebagai tempat bekerja bagi para anggotanya yang dewasa ini sudah berubah.

9. Fungsi Penentuan Status

Keluarga di harapkan mampu menentukan status bagi anak-anaknya.Yang dapat di jalankan dari fungsi status ini ialah menentukan status berdasarkan jenis kelamin. Latihan membedakan peran itu di lakukan secara konsisten selama bertahun-tahun sehingga membawa anak laki-laki dan perempuan kepada kematangan fisik dengan perbedaan yang besar dalam tanggapan,perasaan,serta kecenderungan mereka kelak

4. Pendidikan18 (Pendidikan Sexualitas)

Dalam hal pendidikan minimnya guru di sekolah menengah umum di dalam memberikan pendidikan sex menjadikan mereka antusias dan penasaran akan dunia sex, sehingga dari ketidak tahuan mereka lalu mereka mencoba mencari tahu dengan menonton film-film porno,dan akhirnya mencoba untuk mengetahui rasanya berhubungan sexual.

Pendidikan merupakan bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak mampu

melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

Pendidikan yang rendah menjadi salah satu pemicu nikah diusia dini. Tidak hanya pendidikan umum tentang kesehatan, namun pendidikan agama dan pendidikan tentang kesehatan reproduksi juga sangat penting bagi anak-anak. Dengan adanya berbagai pendidikan tersebut, maka seseorang dapat mengetahui

      

18 

http://pb.acehmail.com/wp‐content/uploads/2013/06/KELOMPOK‐10POTRET‐ PERNIKAHAN‐DINI‐DALAM‐BINGKAI‐KUTARAJA.pdf 

(30)

bagaimana cara menjaga kesehatan reproduksi, serta mereka juga dapat mengetahui bagaimana efek pernikahan di usia dini. Baik efek yang dilihat dari segi kesehatan, psikologi, ekonomi dan sebagainya.

Tema pernikahan dini bukan menjadi suatu hal yang baru untuk diperbincangkan, padahal banyak resiko yang harus dihadapi mereka yang melakukannya. Banyak pula hal-hal yang memicu nikah di usia dini. Salah satunya yaitu tingkat pendidikan yang rendah dan pengetahuan akan seks kurang. Tingkat pendidikan yang rendah dapat dilihat dari presentasi prestasi rata- rata siswanya kurang. Baik itu prestasi akademik maupun prestasi dalam bidang seni dan kreatifitas.

Pendidikan tentang seks dini yang dimaksud bukanlah untuk mengajarkan untuk berbuat seks dini, namun lebih kepada bimbingan, serta menginformasikan kepada bagaimana resiko seks diusia dini. Pendidikan seks dini bukanlah mengajarkan untuk melakukan seks diusia dini, namun untuk mengajarkan mereka agar lebih mengetahui bagaimana efeknya, sehingga mereka tau dan dapat menghindarinya. Sebab itu, untuk menekan laju pernikahan dini tersebut bukan hanya menjadi tugas pemerintah semata tapi semua pihak juga harus dilibatkan termasuk orang tua, tokoh agama dan lembaga pendidikan.

(Petikan Wawancara dengan pasangan “D” dan “T”)

“...Dulu (“D”) sewaktu sekolah hanya ada pelajaran mengenai

budi pekerti, dan biologi. Tetapi pelajaran mengenai

pendidikan sex jarang atau bahkan tidak diajarkan, sehingga

pengetahuan mengenai pendidikan sex harus diakui

kurang...”

Sedangkan “Y” dan ‘E” yang mulai berpacaran semenjak SMA kelas 2 menuturkan bahwa pendidikan sex memang tidak diajarkan di sekolah.

(Petikan Wawancara dengan pasangan “Y” dan “E”)

“...Pendidikan sex memang tidak diajarkan di sekolah kami,

(31)

pelajaran-pengetahuan kami mengenai sex sangatlah kurang, dan hal ini

yang menjadi kurangnya benteng dalam diri sendiri...”

Dampak Perkawinan Usia Dini19

Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda adalah:

• Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga

• Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya

• Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja. (Mohammad Fauzil Adhim, 2002).

Dampak perkawinan usia muda akan menimbulkan hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap keluarga mereka masing-masing. Dampak yang ditimbulkan akibat perkawinan usia dini antara lain:

1. Dampak terhadap suami istri, tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istrti yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi

2. Dampak terhadap anak-anaknya, masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak

      

19

http://lppm.trunojoyo.ac.id/upload/penelitian/penerbitan_jurnal/01_Pamator%20Vol %203%20No%201%20April%202010.pdf 

(32)

3. Dampak terhadap masing-masing keluarga, selain berdampak pada pasangan suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antara anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya yang terjadi adalah perceraian. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan di antara kedua belah-pihak

Dari wawancara yang dilakukan oleh penulis terdapat beberapa dampak yang terjadi pada pernikahan dini pasangan “D” dan “T”, dan Siti Latifa yaitu: Dampak ekonomi, atau dari sisi ekonomi, karena yang laki-laki belum memiliki pekerjaan sehingga otomatis belum mendapat penghasilan untuk menafkai keluarga. Mereka harus bergumul dengan kesulitan-kesulitan ekonomi demi menyambut si bayi, katakanlah biaya dokter, obat, popok, makanan, dan lain-lain.

Selain dampak ekonomi, dampak sosial dirasa sangat berat juga. Tempat tinggal mereka masih bergabung dengan keluarga dari pihak laki-laki di daerah pinggiran atau bisa dibilang desa, otomotis dampak sosial dengan lingkungan sekitar harus mereka tanggung. Mereka harus mengeluarkan biaya untuk menjenguk orang sakit atau bayi, biaya pernikahan (sumbangan mantenan), dll.

Selain dampak ekonomi, dampak lainnya adalah dari aspek pendidikan. Karena hamil, maka perempuan tersebut harus keluar dari sekolah karena aturan sekolah yang tidak membolehkan siswa yang hamil, sehingga menyebabkan masa depan pendidikan menjadi terbengkalai dan menyebabkan ia harus mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan pendidikan dan otomatis memupus semua cita-cita di bidang pendidikan.

(33)

(Petikan Wawancara Pasangan “D” dan “T”)

“...Kalau yang paling berat dampaknya adalah ekonomi, karena

saya baru saja lulus kuliah dan belum dapat kerja, otomatis belum

memiliki penghasilan. Padahal ada biaya-biaya yang harus

disiapkan, seperti: persalinan, makan dan minum, biaya periksa,

obat dan dokter dan lain sebaginya…..masalah ini juga

merupakan sumber percekcokan yang sering terjadi di keluarga.

Selain itu ada pula dampak pendidikan, si “T” harus keluar dari

sekolah karena peraturan sekolah tidak membolehkan siswi yang

hamil. Si “T” awal-awal mengetahui bahwa ia hamil sempat stress,

saya pun juga demikian karena belum pernah terjadi dalam hidup

saya bakalan seperti ini jadinya. Si “T” juga nampak diam saja

karena stress, mungkin karena ia belum siap menerima keadaan

bahwa ia hamil lalu jadi stress, atau bisa juga merasa malu

dengan keluarga, saudara dan teman-teman karena hamil...”.

(34)

Dampak selanjutnya yang terjadi adalah kematangan dari perempuan tersebut. Pada saat hamil, dia masih berstatus sebagai mahasiswa, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis dari si perempuan. Tekanan dan omongan dari lingkungan (teman, masyarakat) menjadikan ia harus menahan malu dan sakit lantaran sudah berbadan dua, kondisi ini membuat si perempuan maupun laki-laki menjadi stress.

Terdapat juga dampak dari aspek pendidikan. Karena hamil, maka perempuan tersebut haruslah cuti untuk fokus terhadap kehamilan, sehingga menyebabkan terbengkalainya urusan perkuliahan dan menyebabkan ia harus mundur dalam menempuh pendidikan (lulus). Sedangkan yang laki-laki karena ia tidak hamil, maka ia tetap menyelesaikan perkuliahan supaya cepat lulus dan mendapat pekerjaan.

Dampak terberat yang mereka alami yaitu ekonomi menjadi satu masalah yang paling berat. Berikut adalah Petikan Wawancara Pasangan “Y” dan “E”

“...Wah kalau dampak paling berat ya jelas ekonomi, statusku saja

saat itu masih kuliah..belum ada penghasilan apa-apa. Untung

ada orang tua yang mau membantu dalam semuanya, termasuk

biaya dokter dan obat. Dampak psikologis juga ada terutama di

“E” karena dia anak bungsu, mendengar ia hamil langsung stress,

ada perasaan malu, malu terhadap orang tua, teman-teman.

Awalnya kami berusaha untuk menutupi akan kehamilan ini, akan

tetapi menginjak 3 bulan bentuk tubuh “E” berubah, lalu

akhirnya saya bilang ke orang tua “E”. Si “E” sempat cuti untuk

melahirkan tetapi setelah melahirkan lalu lanjut kuliah lagi,

(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Latar belakang pendidikan anak dan orang tua menjadi salah satu variable terhadap ketidak-tahuan hukum structural terkait dengan kebijakan perkawinan dan pentingnya menghindari perkawinan usia dini. Kondisi ini menyebabkan acuan perkawinan berdasarkan pada adat tradisi yang berlaku atau terjadi di lingkungannya. Demikian halnya rendahnya pendidikan anak karena ketiadaan biaya (terutama perempuan) menyebabkan ketidak-berdayaan/ kerentanan perempuan untuk mampu menolak keinginan orang tua (berumah tangga).

2. Minimnya pengetahuan dan pendidikan tentang sexualitas secara benar menjadi variabel penyebab paling besar terjadinya “kecelakaan” sehingga pernikahan dini “terpaksa” dilakukan. Rasa ingin tahu, ketidakmampuan menyeleksi informasi, dan tiadanya bimbingan dari orang dewasa terkait dengan sexualitas menyebabkan informasi yang diperoleh tidak benar. Lebih lanjut, kemudahan memperoleh informasi menyebabkan semakin banyak informasi yang diperoleh remaja. Informasi yang masuk merupakan stimulus yang kuat, dorongan internal akibat banyaknya hormon yang dihasilkan ditambah stimulus yang kuat akan semakin memperbesar dorongan siswa untuk mencoba melakukan hubungan seks. 3. Lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang semakin permisif

(longgar) dikarenakan kesibukan orang tua karena pekerjaan, dan lingkungan pertemanan yang kurang sehat menjadi variable terjadinya hubungan sex pra-nikah dan menjadi factor potensial terjadinya perkawinan usia muda.

(36)

5. Dampak secara ekonomi menjadi hal paling vital pada semua pasangan dalam kasus penelitian ini. Mereka (pasangan muda) pada dasarnya secara ekonomi sama sekali belum siap, karena masih sekolah/ kuliah dan belum memiliki pekerjaan, sehingga potensi terjadinya disharmonisasi keluarga sangat kuat yang disebabkan karena tekanan ekonomi.

B. Rekomendasi/ Saran

1. Sosialisasi dan advokasi melalui saluran/jaringan formal maupun informal (memaksimalkan peran TOGA dan Tomas) secara intensif harus dilakukan secara terencana dan terus-menerus terkait dengan pentingnya menghindari perkawinan usia muda.

2. Internalisasi Kependudukan dan Keluarga Berencana melalui pendidikan sexualitas, kesehatan reproduksi, dan perilaku menyimpang harus dikenalkan sejak dini. Ada banyak kompetensi dasar dan inti di sekolah yang sebenarnya terkait dengan persoalan-persoalan remaja (misal perilaku menyimpang) yang jika disusun secara matang materinya dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk mengenalkan pendidikan sexualitas kepada para remaja (tingkat SMP, dan SMA sederajat). Untuk tingkat perguruan tinggi disarankan untuk membangun dan membentuk komunitas di kalangan mahasiswa yang dipersiapkan menjadi leader di bidang kependudukan dan keluarga berencana yang berperan untuk menyebarkan “virus” peduli kependudukan kepada teman sebayanya melalui media dan berbagai kegiatan yang berdekatan dengan dunia kemahasiswaan.

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, R.K. 1996. Early Marriage and Chilbearing: Risk and Consequences. http://who.int/repro ductive-health/

Hanum. 1997. Perkawinan Usia Belia. Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada dengan Ford Foundation Yogyakarta. Yogyakarta: UGM

Mantra, Ida Bagus. 2000. Demografi Umum. Pustaka Pelajar: Yogyakarta Madani, Yusuf, “Pendidikan Seks untuk Anak dalam Islam” Panduan bagi Orang

Tua, Ulama, Guru dan Kalangan lainnya. Pustaka Zahra, 2003. Microsoft Encharta Referenced Library. 2005. Microsoft Corporation. Miles, Matthew. 1992. Analisis data kualitatif. UI-Press. Jakarta. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan untuk SMA Tahun 2007.

Pambudy MN. Perkawinan anak melanggar undang-undang perkawinan. [diunduh 29 April 2013]. Didapat dari:

http://cetak.kompas.com/read, 2008.

Palu B. Menyelamatkan generasi muda. [Diunduh tanggal 6 Mei 2013]. Didapat dari: www.bappenas.go.id, 2010.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006.

Silverthorn, Dee Unglaub. 2004. Human Physiology. An Integraed Aproach. Newyork: Benjamin Cummings.

Suardiman, Siti Partini. 1995. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

ALFABETA. Bandung

Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Tahun 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

http://female.kompas.com/read/xml/2011/09/27/14583631. UU

(38)
(39)
(40)

PERKAWINAN USIA MUDA

&

DAMPAKNYA

Fakta Pernikahan Usia Muda

• Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan jumlah perkawinan dini terbanyak di dunia.

• Untuk level ASEAN, Indonesia berada di urutan kedua terbanyak setelah Kamboja • Rata-rata kelahiran pada remaja (Age

Specific Fertility Rate/ASFR) usia 15-19 tahun meningkat dari 35 per 1.000 kelahiran hidup pada 2007 menjadi 45 per 1.000 di 2012.

(41)

Continue

• Hasil Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) 2010

menyatakan 46%

perempuan Indonesia

menikah sebelum berusia

20 tahun.

• Prevalensi umur

perkawinan pertama

perempuan usia 10-14

tahun (4,8 persen) dan usia

antara 15-19 tahun

sebanyak 41,9 persen

Fakta Di Salatiga

• Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Salatiga (2000-2010) sebesar 1,09 persen

• LPP Salatiga adalah terbesar ke-3 di Provinsi Jateng setelah Kota Semarang dan Kabupaten Jepara, sedangkan rata-rata LPP provinsi 0,37 persen

• Salatiga memiliki TFR sebesar 2,7 Æcukup tinggi diatas nasional (2,6) Target MDG 2,1 ???? • Unmet need Salatiga sebesar 12

(42)

Rumusan Masalah

• Faktor-faktor apa sajakah yang

menyebabkan terjadinya perkawinan usia

muda di Salatiga ?

• Bagainanakah dampak perkawinan usia

muda terhadap kondisi sosio ekonomi

keluarga ?

• Intervensi kebijakan apakah yang harus

dilakukan untuk mengendalikan terjadinya

perkawinan usia muda ?

Tujuan Penelitian

• Mengetahui dampak perkawinan usia

muda terhadap kondisi sosio ekonomi

keluarga di Kota Salatiga

• Menjelaskan faktor-faktor penyebab

(43)

Metodologi

Pendekatan & Jenis Penelitian

• Kualitatif – Diskriptif Æcases study

Unit Amatan & Analisis

• Keluarga atau individu yang melakukan perkawinan usia dini, orang tua dari individu yang melakukan perkawinan usia dini.

• Dampak perkawinan usia muda terhadap kondisi sosio-ekonomi keluarga dan faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia muda di Salatiga

Continue

Teknik Pengumpulan Data

:

• Observasi

• Wawancara

• Studi Dokumen

Analisis Data:

(44)

Kerangka Pikir Penelitian

Latar belakang pendidikan (anak dan orang tua)

• Pada wilayah pedesaan dan pinggiran UKP perempuan berkorelasi

dengan tingkat pendidikan.

• Pendidikan yang rendah khususnya untuk perempuan (putus sekolah) memiliki potensi yang tinggi untuk terjadinya pernikahan muda Æ posisi tawar yang rendah terhadap tradisi atau keinginan orang tua • Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah dan kuatnya tradisi

berpotensi terjadinya perkawinan usia dini terhadap anaknya

(45)

Continue: Temuan Hasil Penelitian

Rasa Ingin Tahu dan Pergaulan

• pernikahan dini yang tinggi memiliki korelasi dengan kehamilan tidak diinginkan (KTD) di kalangan remaja.

• KTD berhubungan dengan pernikahan dini lantaran mayoritas korban KTD terpaksa memilih pernikahan sebagai solusinya. • KTD di kalangan remaja terjadi karena rasa keingin-tahuan yang

tinggi tentang sex tidak tersalurkan secara benar

• Modernisasi dan “melek media” tidak selalu berkembang secara linear

• Ketidakmampuan remaja dalam menseleksi informasi dari dunia maya menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang (Sex bebas) • Pergaulan di tempat yang salah semakin memperkuat perilaku

menyimpang

Continue: Temuan Hasil Penelitian

Lingkungan Keluarga

• Perubahan sosial yang senantiasa berubah tidak diikuti perubahan fungsi dari keluarga yang seharusnya semakin berkembang (pranata keluarga)

• Ketidak tahuan dan Ketidak-mampuan orang tua tentang pendidikan sex, menyebabkan pendidikan sex tidak dikenalkan secara dini di keluarga (Inkonsistensi cara pandang & cara pikir orang tua)

(46)

Continue: Temuan Hasil Penelitian

Minimnya Pengetahuan Tentang Pendidikan

Sex

• Pendidikan Sex masih dipahami secara salah/ negatif • Sex baik dikalangan keluarga, lingkungan masyarakat

dan bahkan pendidikan masih dianggap tabu • Minimnya pendidikan sex (kespro) bermuara pada

tren peningkatan seks bebas, dan terjadinya perkawinan usia muda karena KTD

• Terpaan media yang demikian kuat tidak dibarengi dengan kemampuan “melek media” yang benar

• Dampak social-psychologis secara umum paling dirasakan oleh kaum perempuan yang melakukan perkawinan usia muda, dampak ini meliputi angka putus sekolah karena “terpaksa”, tertutupnya masa depan (social climbing jauh dari jangkauan), tingkat stress yang tinggi karena merasa malu dan dikucilkan, dan belum siap sebagai ibu rumah tangga.

• Dampak secara ekonomi menjadi hal paling vital pada semua pasangan dalam kasus penelitian ini. Mereka (pasangan muda) secara ekonomi sama sekali belum siap, karena masih sekolah/ kuliah dan belum memiliki pekerjaan, sehingga potensi terjadinya disharmonisasi keluarga sangat kuat yang disebabkan karena tekanan ekonomi.

(47)

Rekomendasi

• Internalisasi pendidikan sexualitas sejak dini, baik pada tingkatan keluarga maupun pendidikan formal. Pendidikan seksualitas bertujuan untuk membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksualitas dan membimbing remaja menjalani kehidupan dewasa yang sehat dan bertanggungjawab. • Penguatan peran keluarga dan sekolah terkait

dengan pendidikan sexualitas (berdasarkan kasus penelitian perkawinan usia dini terjadi didorong karena KTD pada usia sekolah cukup memprihatinkan)

• Revitalisasi program kependudukan dan keluarga berencana dengan lebih

mendekatkan pada dunia remaja/ bersentuhan langsung dengan dunia anak remaja

Continue Rekomendasi

(48)

Gambar

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk Hasil SP-2000 dan SP-2010 Kota

Referensi

Dokumen terkait

Kita dapat memperkirakan bahwa pada saat itu, Nazaret telah sedemikian rupa diabaikan sehingga tidak ada hal baik yang dapat diharapkan muncul dari mereka yang tinggal di

Prasasti mempunyai sifat resmi sebagai suatu keputusan atau perintah yang diturunkan oleh seorang raja atau penguasa, sehingga dalam penulisannya ada aturan- aturan penulisan

Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif, Untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam

Hasil dari penelitian ini terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) dampak keberadaan hiburan malam (band) terhadap perilaku remaja baik berdampak positif maupun negatif, (2) faktor

Pada modul pengirim sinyal terdiri dari beberapa komponen antara lain Load Cell yang digunakan untuk sensor berat cairan intravena, sensor Photodiode yang

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui bentuk pernikahan usia muda di Desa Serabi Barat, untuk menjelaskan apa saja faktor yang mempengaruhi masyarakat

Bentuk campur kode penyisipan unsur kata yakni: (1) penyisipan unsur kata bahasa Indonesia 98 tuturan, (2) penyisipan unsur kata bahasa Inggris 76 tuturan,

sebuah konsep untuk merencanakan dan mengelola sumber daya perusahaan yang meliputi dana, sumber daya manusia, mesin, waktu, material dan kapasitas yang berpengaruh untuk